4
alkohol karena kesusahan selalu ada terutama manusia yang tidak mempercayai Tuhan.
6
Sesuai dengan penjelasan tersebut di atas penulis tertarik untuk membuat penelitian kedalam sebuah judul skripsi dengan judu
l “STRATEGI KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI PENYALAHGUNAAN CIU
DIKALANGAN ANAK
SMA STUDI
KASUS DI
POLRESTA SURAKARTA”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembatasan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam suatu rangkaian pelaksanaan penelitian, perumusan masalah yang jelas akan
menghindari pengumpulan data yang tidak perlu, dapat menghemat biaya, waktu, tenaga, penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penulisan sebagai berikut:
1. Apa yang mendorong anak-anak SMA itu mengkonsumsi ciu?
2. Bagaimana upaya Kopolisian dalam menanggulangi penyalahgunaan ciu
di kalangan anak SMA di Surakarta? 3.
Bagaimana bentuk sanksi yang diberikan kepada anak SMA dalam penyalahgunaan ciu?
6
Sofyan S Willis, Op.Cit., Hal. 158-159.
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penyebab anak SMA di Surakarta mengkonsumsi ciu.
2. Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan kepolisian dalam
menanggulangi penyalahgunaan ciu di kalangan anak SMA di Surakarta. 3.
Untuk mengetahui apa saja sanksi yang diberikan kepada anak SMA di Surakarta yang mengkonsumsi ciu.
Manfaat yang diharapkan dan diambil oleh penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai hukum
pidana. b.
Untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai strategi kepolisian dalam menanggulangi penyalahgunaan ciu di kalangan anak SMA.
c. Memberikan sumbangan pemikiran dan sumber informasi bagi
masyarakat dalam bidang hukum pidana, khususnya mengenai strategi kepolisian dalam menganggulangi penyalahgunaan ciu di kalangan
anak SMA. 2.
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi
masyarakat banyak dalam menyikapi hal seperti ini.
6
D. Kerangka Pemikiran
Sudut pandang etimologis ”Juvenile Delinquency” berarti kejahatan anak, akan tetapi pengertian ini menimbulkan konotasi cenderung negatif,
bahkan negatif sama sekali. Atas pertimbangan tata fikir yang moderat dan mengingat kepentingan subjek, maka beberapa ilmuwan memberanikan diri
mengartikan “juvenile delinquency” menjadi kenakalan anak. Dalam konsep ini telah terjadi pergeseran aktivitas secara kualitatif, pergeseran subjekpun
dalam perkembangan berikutnya terjadi pula. Dalam kaitan ini “juvenile delinquency
” berarti kenakalan remaja. Pengertian ini lebih memandai untuk dibakukan sebab lebih relevan dengan kondisi materiil subjek dan kondisi
materiil aktifitasnya. Perbuatan anak delinquent menurut sudut pandang ilmu hukum,
teristimewa hukum pidana terdapat beberapa perbuatan yang nyata-nyata melawan hukum. Di tengah-tengah masyarakat banyak bukti yang
menunjukkan bahwa kerap kali terjadi peralihan hak yang melawan hukum dilakukan oleh anak deliquent. Di samping itu anak deliquent sering
melakukan delik penipuan dan penggelapan terhadap barang-barang tertentu. Perbuatan-perbuatan tersebut diperberat lagi dengan delik-delik kekerasan
yang ancamannya khusus tertuju kepada nyawa dan jasmani seseorang. Tidak kalah sering dilakukan oleh anak delinquent adalah delik yang
dikwalifikasikan dengan kejahatan pemeransan. Delik ini lebih sering dilakukan di terminal-terminal dan stasiun kereta api atau di tempat-tempat
ramai dikunjungi oleh orang.
7
Delik-delik tersebut dihimpun dalam buku kedua Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP tentang Kejahatan. Anak-anak delinquent
bukan hanya melakukan delik-delik tertentu sebagaimana dimuat dan diancam dalam buku kedua KUHP, akan tetapi juga melakukan pelanggaran-
pelanggaran tertentu sebagaimana dimuat dan diancam dalam buku ketiga KUHP dan delik tertentu di luar KUHP. Perbuatan-perbuatan tertentu
meliputi pelanggaran dan kejahatan sebagai berikut:
7
1. Keamanan umum bagi orang atau barang dan kesehatan
2. Ketertiban umum
3. Terhadap penguasa umum
4. Terhadap orang yang memerlukan pertolongan
5. Kesusilaan dan penyalahgunaan narkoba atau minuman keras.
Ada pedoman yang paling mudah dan amat sederhana untuk mengerti suatu perbuatan tergolong kenakalan remaja, jika perbuatan tersebut bersifat
melawan hukum, anti sosial, anti susila dan melanggar norma-norma agama yang dilakukan oleh subjek yang masih berusia remaja yang menurut sebagian
psikolog umur 11- 21 tahun maka perbuatan tersebut cukup alasan untuk disebut kenakalan remaja Juvenile Delinquency. Para penegak hukum
memandang umur subjek tersebut menjadi dua alternatif, secara yuridis formal kenakalan remaja berada pada dua alternatif. Pertama, apabila pelakunya di
bawah 16 tahun maka hal tersebut akan tunduk pada Pasal 45,46 dan 47 KUHP, sedangkan pada alternatif kedua, yakni apabila pelakunya berumur di
7
Sudarsono, 1990, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta, Hal.1-4.
8
atas 16 tahun ke atas maka berdasarkan Pasal 45 dan 46 KUHP anak delinquent tersebut dilakukan sama dengan para kriminal lain.
8
Dijelaskan juga dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
“Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainya sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat 2 huruf e dan anak yang terlibat dalam produksi dan distribusinya dilakukan melalui
upaya pengawasan, pencegahan, perawatan dan rehabilitasi.” Masyarakat tidak saja dipandang sebagai warga Negara yang pasif
berperan pada pembinaan hukum Nasional, tetapi dapat menjadi faktor utama terhadap sosial kontrol untuk terciptanya kebenaran dan keadilan hukum atau
dapat menjadi social engineering terhadap proses pembinaan anak nakal baik terhukum atau anak awam terhadap hukum. Dalam perilaku sosial masyarakat,
psikologi sosial menunjukkan adanya perbedaan peranan masyarakat yang berada di kota metropolitan dan megapolitan dengan masyarakat pedesaan
kota kecil. Wujud tanggung jawab masyarakat desa tampak riil terhadap bentuk-bentuk kejahatan pada umumnya dan atau kejahatan yang dilakukan
anak-anak. Partisipasi dan kesadaran masyarakat desa lebih konstitusional, jika dibandingkan dengan masyarakat metro dan megapolitan. Seperti tindak
pidana yang tergolong perjudian, pelacuran, sabu-sabu, ekstasi, tawuran, menjadi budaya kejahatanpelanggaran yang dilegitimasi oleh aparat penegak
hukum atau masyarakat itu sendiri.
9
8
Ibid, Hal. 85.
9
Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: PT Gramedia, Hal. 54.
9
Pada garis besarnya masalah-masalah sosial yang timbul karena perbuatan-perbuatan anak remaja dirasakan sangat mengganggu kehidupan
mayarakat baik di kota maupun di plosok desa, akibatnya sangat memilukan kehidupan masyarakat menjadi resah perasaaan tidak aman bahkan sebagian
anggota-anggotanya menjadi terasa terancam hidupnya. Problema tadi hakikatnya menjadi tanggung jawab bersama di dalam kelompok. Hal ini
bukan berarti masyarakat harus membenci masayarakat delinquent atau mengucilkannya akan tetapi justru sebaliknya, masyarakat dituntut secara
moral agar mampu mengubah anak-anak delinquent menjadi anak saleh, paling tidak mereka dapat dikembalikan dalam kondisi sebelumnya.
Keresahan dan perasaan terancam tersebut pasti terjadi sebab kenakalan- kenakalan yang dilakukan anak remaja pada umumnya:
10
1. Berupa ancaman terhadap hak milik orang lain yang berupa benda, seperti
pencurian, penipuan dan penggelapan. 2.
Berupa ancaman terhadap keselamatan jiwa orang lain, seperti pembunuhan dan penganiayaan yang menimbulkan matinya orang lain.
3. Perbuatan-perbuatan ringan lainya, seperti pertengkaran sesama anak,
minum-minuman keras, begadang atau keliaran sampai larut malam.
E. Metode Penelitian