Perjanjian pengangkutan selalu diadakan secara lisan, tetapi didukung oleh dokumen yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi dan mengikat.
13
Dokumen pada pengangkutan udara terdiri dari tiket penumpang dan tanda pengenal bagasi pada perjanjian pengangkutan dibuat secara lisan namun
perjanjian ini tetap mengikat kedua belah pihak, pernyataan ini dipertegas pada Pasal 1338 KUH Perdata yang menetapkan: “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya ”.
Jadi dalam hal ini masing – masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi guna untuk melancarkan kegiatan pengangkutan.
b. Pengertian Perjanjian Pengangkutan Udara
Pasal 1 angka 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 menetapkan, perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang
danatau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang danatau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain.
Sedangkan menurut pendapat H.M.N. Purwosutjipto, yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dengan
pengirim, dimana pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu
dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan
14
Menurut sifatnya, dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak, yaitu pengirim dan pengangkut sama tinggi, tidak seperti dalam
perburuhan, di mana para pihak tidak sama tinggi, yakni majikan mempunyai
13
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Loc.Cit, hlm 46
14
H. M. N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3 Hukum Pengangkutan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hlm 3
kedudukan lebih tinggi daripada si buruh. Kedudukan para pihak dalam perjanjian perburuhan ini disebut kedudukan subordinasi, sedangkan kedudukan para pihak
dalam perjanjian pengangkutan adalah kedudukan yang sama tinggi atau kedudukan koordinasi.
15
Dasar dari perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban dan merupakan sebuah perjanjian, maka
perjanjian pengangkutan pun harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu sebagai berikut :
1. Kata sepakat dari para pihak, diatur dalam Pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata,
kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, diatur dalam Pasal 1330 KUH
Perdata adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat
hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. 3.
Suatu hal tertentu, diatur dalam Pasal 1333 KUH Perdata suatu perjanjian harus mempunyai objek suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya
sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan jumlahnya. 4.
Suatu sebab yang halal, diatur dalam Pasal 1336 KUH Perdata yang menyatakan bahwa jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu
15
ibid, hlm 7
sebab yang halal ataupun jika ada suatu sebab lain daripada yang dinyatakan, perjanjian demikian adalah sah.
Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak-pihak dalam perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subjektif. Dalam hal syarat subjektif
tidak terpenuhi, maka perjanjiannya bukan batal demi hukum melainkan salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.
Syarat ketiga dan keempat adalah mengenai objeknya suatu perjanjian sehingga disebut syarat objektif. Dalam hal syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian
itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
16
c. Para Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan Udara
Pihak – pihak yang terlibat dalam perjanjian pengangkutan udara adalah sebagai
berikut : 1.
Pengangkut Secara umum, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum dagang KUHD tidak
dijumpai defenisi pengangkut, kecuali dalam pengangkutan laut. Definisi pengangkut pada pengangkutan kapal dilihat dalam Pasal 466 KUHD berisi
pengangkut adalah barangsiapa yang baik dengan perjanjian carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan, maupun dengan perjanjian jenis lain, mengikatkan
diri untuk meyelenggarakan pengangkutan barang atau orang Pasal 521 KUHD,
16
Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 8