Dampak Pemanenan Kayu Terhadap Terjadinya Keterbukaan LantaiI Hutan

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA
KETERBUKAAN LANTAI HUTAN
MUHDI
Program Ilmu Kehutanan
Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Agar kayu dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomis diperlukan kegiatan
pemanenan kayu. Dalam pelaksanaannya, kerusakan lingkungan yang disebabkan
kegiatan pemanenan kayu tidak bias dihindarkan. Kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan berupa kerusakan pada tegakan tinggal dan tanah.
Kerusakan hutan saat ini telah menjadi isu politik yang penting di tingkat
internasional. Hutan tropis Indonesia telah diakui sebagai paru- paru dunia yang
mampu menjaga ekosistem bumi dari kemerosotan lingkungan. Selain itu, dalam
rangka kebijakan pengelolaan hutan yang lestari, dipandang perlu untuk mengurangi
kerusakan tegakan tinggal serta pengaruhnya terhadap flora dan fauna lainnya
dalam rangka menjamin terpeliharanya sumberdaya hutan.
Elias (1999) menyatakan bahwa saat ini kondisi hutan alam akibat kegiatan
pengelolaan hutan yang dilakukan selama ini telah menyebabkan kerusakan
lingkungan yang semakin parah, maka harus diakui bahwa selama ini pengelolaan
hutan alam terutama pemanenan kayunya masih tidak dilakukan secara profesional,

sehingga keseluruhan sistem silvikultur yang diterapkan mengalami kegagalan. Hal
ini antara lain dikarenakan selama ini sistem dan teknik pemanenan kayu yang
ramah lingkungan masih diabaikan dan tidak sesuai dengan sistem silvikultur yang
digunakan.
Reduced Impact Timber Harvesting (RITH) telah menjadi fokus pembicaraan
dan diskusi dalam ma syarakat kehutanan Indonesia selama dekade terakhir ini.
Karena teknik RITH merupakan faktor yang sangat menentukan dalam mencapai
pengelolaan hutan yang lestari, yang sudah dipersyaratkan dalam ecolabelling.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya keterbukaan tanah akibat
pemanenan kayu dengan teknik RITH dan konvensional.

LOKASI DAN METODE PENELITIAN
Penelitian lapangan dilaksanakan di areal HPH PT. Suka Jaya Makmur pada
bulan Mei sampai dengan Juli 2000.
Petak penelitian terdiri dari petak pemanenan kayu dengan teknik konvensional
dan petak pemanenan kayu dengan teknik RITH. Petak penelitian ini masing- masing
seluas 10 – 15 ha yang di dalamnya dibuat 3 (tiga) plot permanen/pengukuran
dengan ukuran masing- masing 100 m x 100 m (1 ha).
Plot-plot permanen/pengukuran diletakkan secara sistematis pada kedua
petak penelitian sedemikian rupa sehingga mewakili tempat - tempat sebagai berikut

: (1) Di lokasi tempat pengumpulan kayu (TPN), (2) Di lokasi jalan sarad utama dan
(3) Di lokasi jalan sarad cabang.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada 2 macam yaitu data sekunder
dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui wawancara dan mengutip dari
buku atau laporan- laporan yang ada sebagai sumber data. Pengumpulan data primer

©2004 Digitized by USU digital library

1

dilakukan melalui kegiatan pengamatan dan pengukuran keterbukaan tanah pada
plot permanen/pengukuran yang telah dibuat.
Keterbukaan lantai hutan akibat penebangan merupakan luas daerah yang
terbuka akibat penebangan pohon berikut vegetasi lain. Pengukuran rumpang
dilakukan dengan mengukur arah dan jarak titik-titik profil pada garis batas terluar
dari tempat jatuhnya pohon berupa ruang terbuka akibat pohon yang ditebang ke
titik proyeksi.
Keterbukaan akibat penyaradan adalah luas tanah yang terbuka akibat
kegiatan penyaradan, yakni luas tanah yang terbuka akibat jejak traktor atau bekas
lintasan batang kayu yang disarad. Pengukuran keterbukaan lantai hutan dilakukan

dengan cara mengukur luas jalan sarad yang terdapat dalam petak.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keterbukaan Tanah Akibat Penebangan
Keterbukaan tanah akibat penebangan yang terbentuk pada penelitian ini
merupakan celah dalam areal hutan terjadi akibat penebangan (secara buatan),
sehingga memberikan kesempatan permudaan atau tumbuhan lain mendapatkan
cahaya cukup untuk tumbuh. Terbentuknya rumpang diakibatkan oleh pohon yang
ditebang. Sebelum pohon rebah mencapai tanah telah menimpa tegakan tiang dan
pohon, pancang dan semai di sekitarnya sehingga mengakibatkan pohon-pohon
tersebut mengalami kerusakan atau tumbang, serta membuat areal terbuka.
Adapun hasil keterbukaan tanah akibat penebangan kayu pada teknik
pemanenan kayu konvensional dan RITH dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas rumpang akibat penebangan kayu teknik RITH dan konvensional.
No
No.
Intensitas
Luas Keterbukaan Tanah Akibat Penebangan
.
Plot

Penebangan
Konv.
RITH
Konvensional
RITH
m2
ha
%
m2
ha
%
1.
I
6
6
1440,7
0,144 14,14 1054, 0,105 10,54
2.
II
6

5
1517,7
1
15,17
1
4
8,63
3.
III
6
5
1307,6
0,151 13,07
863,0 0,086 10,28
7
1028,
3
0,130
0
0,102

7
8
Jumlah
18
16
4266,0
0,422 42,66 2945, 0,294 0,294
6
0
5
5
Rataan
6
5,3
1422,0
0,142 14,22
981,7 0,098
9,81
2
1

Tabel 1 menunjukkan luas keterbukaan tanah akibat penebangan kayu ratarata per hektar pada petak pemanenan kayu konvensional sebesar 1422,0 m2 (14,22
%) atau 1 pohon ditebang membentuk luas keterbukaan tanah sebesar 237,0 m2 /ha
(2,37 %). Sedangkan pada penebangan kayu RITH seluas 981,7 m2 /ha (9,81 %)
atau menebang 1 pohon menjadikan keterbukaan tanah sebesar 185,2 m2 (1.85
%). Hal ini memperlihatkan bahwa dengan penebangan kayu RITH dapat
mengurangi luas keterbukaan sebesar 51,8 m2 atau 21,86 % dari luas keterbukaan
yang dibentuk pada penebangan konvensional.

©2004 Digitized by USU digital library

2

Faktor yang mempengaruhi luasan rumpang antara lain kerapatan tegakan,
diameter dan tinggi pohon yang ditebang, bentuk tajuk, kemiringan lapangan,
intensitas penebangan, teknik penebangan dan tanaman melilit (Sularso, 1996).
Intensitas penebangan semakin besar menyebabkan luas rumpang yang
terbentuk semakin besar pula seperti pada plot 1 dengan intensitas penebangan 6
pohon menimbulkan rumpang seluas 1054,1 m2 (10,54 %) dan plot 2 (RITH)
seluas 863 m2 (8,63 %) dengan intensitas penebangan 5 pohon. Dan bila
dibandingkan dengan petak pemanenan kayu konvensional dengan intensitas

penebangan 6 pohon/ha menimbulkan luas keterbukaan yang lebih besar, yakni
rata- rata 1422 m2 (14,22 %), hal ini disebabkan pohon yang ditebang meluncur ke
bawah dan tidak terarah/tidak terkonsentrasi. Luas keterbukaan tanah terbentuk
tidak begitu luas jika pohon yang ditebang mengelompok, sehingga jatuhnya tajuk
dapat diarahkan pada satu arah.
Teknik penebangan RITH mengarahkan pohon- pohon yang ditebang utamanya
dapat ditarik/disarad dengan mudah, aman dari resiko kerusakan pecah batang, dan
mencari tempat jatuhnya pohon yang tidak banyak merusak tegakan di sekitarnya,
serta posisi jatuhnya mengelompok menyebabkan luas keterbukaan menjadi
sempit/lebih kecil. Arah rebah yang baik akan memudahkan penyaradan, ehingga
manuver alat sarad dapat dikurangi.
Potensi tegakan pada petak pemanenan kayu RITH sebesar 432 pohon/ha
lebih besar dari petak pemanenan kayu konvensional sebesar 408 pohon per hektar.
Apabila potensi ini diasumsikan menyebar merata, maka dengan menebang 1 pohon
pada petak pemanenan kayu RITH menimbulkan luas keterbukaan sebesar 1,85 %
dan pohon yang rusak sebanyak 7,99 pohon/ha. Pada petak pemanenan kayu
konvensional dengan luas rumpang sebesar 2,37 % dan jumlah pohon yang rusak
9,67 pohon/ha. Kerusakan tegakan tinggal ini akan menjadi besar apabila potensi
tegakannya sama/sebanding., maka kerusakan di petak pemanenan kayu
konvensional dari 9,67 pohon/ha menjadi 10,23 pohon/ha.

Penelitian ini menunjukkan bahwa 1 batang pohon yang ditebang dengan cara
RITH telah merusakan 16 pohon lainnya dan 24 pohon mengalami cacat/rusak akibat
pemanenan kayu konvensional. Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan teknik
RITH sebesar 31,8 pohon/ha atau 1 pohon yang ditebang merusakkan 8,83 pohon di
sekitarnya dan akibat penebangan kayu konvensional sebesar 44,4 pohon/ha atau
rata- rata 1 pohon ditebang merusakkan pohon lain sebesar 12 pohon.
Pada penelitian ini teknik penebangan RITH dapat memperkecil luas rumpang
rata- rata 58,5 m2 atau 24,20 %. Ukuran luas rumpang belum ada
ketentuan/patokan yang pasti untuk menilai baik/buruknya pemanenan kayu.
Semakin kecil luas rumpang maka kerusakan tegakan tinggal makin rendah.
Besarnya rumpang ini akan mempengaruhi daya hidup jenis - jenis pohon yang
bersifat toleran (tahan terhadap naungan) serbuan gulma, liana serta besarnya erosi
tanah karena curah hujan yang tinggi (Manan, 1995).

©2004 Digitized by USU digital library

3

Luas Keterbukaan Tanah (m2)


1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
I

II
No. Plot
Konvensional

III
RITH

Gambar 2. Histogram luas keterbukan tanah rata-rata per hektar akibat penebangan
kayu.

Keterbukaan Tanah Akibat Penyaradan
Keterbukaan tanah merupakan salah satu bentuk kerusakan tegakan dan lantai
hutan akibat penebangan, penggusuran serta pengikisan oleh traktor teruatama
pada kegiatan pembuatan jalan sarad, penyaradan dan pembuatan tempat
pengumpulan kayu (TPn).
Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi keterbukaan tanah adalah
kerapatan tegakan, kemiringan lapangan, intensitas pemanenan kayu serta teknik
pemanenan kayu.
Penggeseran dan pemadatan tanah oleh gerakan alat (traktor) pada
penyaradan kayu mengekspos tanah terhadap proses fisik dan kimia tanah yang
kompleks. Seringkali terlihat tanah becek dan genangan air pada bekas jalan sarad
yang miring mengakibatkan terganggunya fungsi hidrologi, tanah longsor serta tidak
aman bagi fisik tanah di bawahnya. Berbeda dengan rumpang akibat penebangan
kayu, lapisan tanah atas (top soil) sedikit sekali terkelupas oleh dorongan kayu
roboh yang meluncur ke bawah, dan terdongkelnya akar pohon.
Pelaksanaan pemanenan kayu teknik konvensional tidak dilengkapi dengan
peta penyebaran pohon dengan skala 1 : 1000 dan semata- mata mengandalkan
pengalaman operator penyaradan dan satu orang pembantu (cooperator) yang biasa
dilakukan pada kegiatan pemanenan kayu oleh perusahaan pemegang HPH.
Sedangkan pemanenan kayu RITH, operator penyarad kayu sebelum melaksanakan
pekerjaanya dibekali teknik penyaradan yang berpedoman TPTI dan ketentuan
lainnya untuk menambah keterampilan operator. Juga digunakan peta penyebaran
pohon termasuk rencana jalan sarad yang akan dibuat.
Luas dan persentase keterbukan lantai hutan akibat penyaradan kayu dapat
dilihat pada Tabel 2.

©2004 Digitized by USU digital library

4

Tabel 2.

Luas dan persentase keterbukaan lantai hutan, akibat penyaradan kayu
RITH dan konvensional.
No.
No.
Intensitas
Luas Keterbukaan Tanah Akibat Penyaradan
Plot
Penebangan
Konv.
RITH
Konvensional
RITH
m2
ha
%
m2
ha
%
1.
I
6
6
3466, 0,346 34,66 1531,
0,15
15,3
2.
II
6
5
0
6
11,47
4
310,
4,80
3.
III
6
5
1147, 0,114 8,64
480,6 0480
5,38
1
7
538,3 0,05
864,5 0,086
38
4
Jumlah
18
16
5477, 0,547 54,77 2550,
0,25 25,50
7
7
3
50
Rataan
6,0
5,3
1825, 0,182 18,25 850,1 0,08
8,50
90
5
50

Tabel 2 memperlihatkan bahwa dengan intensitas penebangan kayu rata- rata
per hektar sebesar 6
pohon pada petak pemanenan kayu konvensional
menimbulkan keterbukaan lantai hutan seluas 1825,90 m2 /ha atau 18,25 %, atau
dengan menyarad 1 batang kayu menimbulkan luas keterbukaan lantai hutan
sebesar 304 m2 (3,04 %). Sedangkan pada petak pemanenan kayu RITH dengan
intensitas penebangan kayu 5,3 pohon per hektar menimbulkan keterbukaan tanah
sebesar 850,13 m2 (8,50 %) atau 1 batang kayu yang disarad menimbulkan luas
keterbukaan tanah sebesar 160 m2 (1,60 %). Dengan demikian penyaradan kayu
pada pemanenan kayu teknik RITH dapat mengurangi luas keterbukaan tanah
sebesar 143 m2 atau dapat mengurangi keterbukaan areal sebesar 47,04 % bila
dibandingkan dengan penyaradan kayu pada pemanenan kayu konvensional.
Panjang jalan sarad pada petak pemanenan kayu RITH dan konvensional
sepanjang 1067 m dan 1330 m. Luas keterbukaan lantai hutan pada masing- masing
petak (10 ha) sebesar 5208 m2 dan 8725 m2 , sehingga didapatkan lebar jalan sarad
rata- rata sebesar 4,88 m dan 6,56 m. Jumlah panjang jalan sarad pada petak
pemanenan kayu RITH lebih pendek sepanjang 273 m atau 22,79 % dari yang
dihasilkan pada petak pemanenan kayu konvensional.
Beberapa aspek yang dapat mengurangi luas keterbukaan lantai hutan seperti
mengikuti rencana jalan sarad yang dibuat, mengetahui letak pohon di peta maupun
di lapangan dan mengurangi kegiatan pemotongan kontur secara berurutan tegak
lurus. Untuk menarik kayu pada lapangan curam dengan arah naik lereng, biasanya
jalan sarad dibuat diagonal terhadap garis tinggi. Sehingga terpaksa ada penggalian
dan penimbunan tanah dan bagian yang terbuka untuk membuat jalan sarad ini
biasanya lebih besar dari tempat yang datar. Penyaradan harus menghindari daerah
becek (daerah kardinal negatif), pemotongan arus sungai menyebabkan daerah lain
sebelum kayu sempat disarad sudah tergenang air dan tidak menyerahkan pekerjaan
penyaradan kepada pembantunya yang belum berpengalaman.
Penyaradan akan lebih baik dan aman bila jalan sarad yang dibuat bergerak
dari daerah tinggi menuju ke daerah rendah, gerakan traktor lebih mudah
menggususr tanah dari pada harus menggeruk dari bawah yang membahayakan
keselamatan operator dan alat dari timbunan atau longsoran tanah. Dapat pula
dilaksanakan dengan membuat jalan sarad menelusuri punggung bukit (ridges) dan
kayu yang tergeletak di bawah ditarik dengan kabel traktor.
Teknik penyaradan kayu konvensional umumnya kurang mematuhi pedoman
TPTI. Disamping itu operator penyaradan menyuruh pembantunya (helper) untuk
mencari kayu yang akan disarad dan tidak adanya rencana jalan sarad yang dibuat

©2004 Digitized by USU digital library

5

dalam peta maupun di lapangan serta kurang bisa membaca peta penyebaran
pohon.
Operator dan helper pada kegiatan penebangan dan penyaradan kayu diupah
dengan sistem borongan yaitu dihitung dari volume bersih setelah ditarik dan
dibucking di TPn dimana biaya pembuatan jalan sarad tidak diperhitungkan. Kondisi
ini menyebabkan operator yang hanya mengusahakan kayu dapat dikeluarkan/ditarik
sebanyak dan secepat mungkin tanpa memperhatikan kerusakan tegakan tinggal
dan keterbukaan lantai hutan menjadi besar.
Kerapatan tegakan yang menyusun areal sangat mempengaruhi besarnya
kerusakan tegakan tinggal dan keterbukaan lantai hutan. Pada saat traktor
menggusur, me ndongkel dan mendorong pohon yang dilewati, timbul kerusakan
pohon lain di sekitarnya, arah rebah pohon tidak beraturan akan membentur dan
mendorong pohon lain sehingga mengalami tumbang/cacat.

Luas Keterbukaan (m2)

3000
2500
2000
1500
1000
500
0
I

II
No. Plot
Konvensional

III

RITH

Gambar 3. Histogram luas keterbukaan lantai hutan akibat penyaradan kayu
konvensional dan RITH.
Sukanda (1998) mendapatkan keterbukaan lantai hutan akibat penyaradan
kayu rata- rata per hektar seluas 1642 m2 dengan intensitas pemanenan kayu 8,3
pohon/ha dan 976 m2 dari 5,67 pohon/ha yang dipanen. Atau dalam 1 (satu) pohon
dipanen menimbulkan luas keterbukaan lantai hutan sebesar 197 m2 (1,98 %) dan
172 m2 (1,72 %).

3.

Keterbukaan Tanah Akibat Pemanenan Kayu
Hasil keterbukaan lantai hutan akibat pemanenan kayu dapat dilihat pada Tabel

Tabel 3.

Luas keterbukaan tanah akibat pemanenan kayu rata-rata per hektar
setelah penebangan dan penyaradan.
Tek. PK
Intensit
Luas Keterbukaan Tanah (m2 )
Luas Total
as
Akibat
Akibat Penyaradan
m2
%
Peneba
Penebangan
ngan
m2
%
m2
%
Konvensi
6
1421,9
14,21
1825,9
18,25
3247,
32,47
onal
5,3
9
9,81
0
8,50
89
18,32
RITH
981,92
850,13
1832,
04

Pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa luas keterbukaan lantai hutan pada petak
pemanenan kayu konvensional sebesar 3247,89 m2 (32,47 %) atau rata-rata 1
pohon dipanen menyebabkan luas keterbukaan tanah 541 m2 (5,41 %). Sedangkan
pada petak pemanenan kayu RITH sebesar 1832,04 m2 (18,32 %) atau rata- rata 1

©2004 Digitized by USU digital library

6

pohon dipanen sebesar 345 m2 (3,45 %). Selisih luas keterbukaan lantai hutan
kedua pemanenan kayu tersebut sebesar 1415 m2 . Hasil tersebut menunjukkan
bahwa dengan pemanenan kayu RITH dapat mengurangi luas keterbukaan lantai
hutan sebesar 43,59 % dari hasil yang diakibatkan pemanenan kayu konvensional.
Elias
(1997) memperoleh hasil
penelitian keterbukaan tanah akibat
pemanenan kayu pada dua areal HPH sebesar 27,79 % dan 32,02 %, hasil ini
menunjukkan persentase yang hampir sama
dengan keterbukaan tanah yang
dihasilkan pada petak pemanenan kayu konvensional (32,47 %) dan lebih besar dari
pada luas keterbukaan yang terjadi pada petak pemanenan kayu RITH (18,32 %).
Untuk melihat gambaran keterbukaan tanah akibat pemanenan kayu pada
petak pemanenan kayu konvensional dan petak pemanenan kayu RITH dapat dilihat
pada Gambar 4.
Luas Keterbukaan Tanah (m2)

4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
I

II
No. Plot
Konvensional

III
RITH

Gambar 4. Keterbukaan tanah akibat pemanenan kayu konvensional dan RITH.

KESIMPULAN

1. Luas keterbukaan tanah pada petak pemanenan kayu konvensional sebesar
3247,89 m2 (32,47 %) dengan intensitas penebangan 6,0 pohon/ha, terdiri
dari keterbukaan tanah yang disebabkan oleh penebangan kayu seluas
1421,99 m2/ha (14,22 %) dan akibat penyaradan kayu seluas 1825,90
m2/ha (18,26 %).
2. Luas keterbukaan tanah pada petak pemanenan kayu RITH sebesar 1832,04
m2 (19,32 %) dengan intensitas penebangan 5,3 pohon/ha, terdiri dari
keterbukaan tanah yang disebabkan oleh penebangan kayu seluas 981,92
m2/ha (9,82 %) dan akibat penyaradan kayu seluas 850,13 m2/ha (8,50 %).
3. Pemanenan kayu dengan teknik RITH mampu mengurangi keterbukaan tanah
dibandingkan dengnan pemanenan kayu konvensional.

©2004 Digitized by USU digital library

7

DAFTAR PUSTAKA

Elias. 1997. State of The Art of Timber Harvesting Operations in The Tropical Natural
Forest in Indonesia. Paper Presented on Exchange Meeting Between Staffts of
Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, Bogor, Indonesia and Staffts
of Shimane University, Japan 30 June 1997 in Shimane. Japan.
Elias. 1999. Reduced Impact Timber Harvesting in The Indonesian Selective Cutting
and Planting System. Penerbit IPB Press. Bogor.
Manan, S.
1996.
Sustainable Tropical Forest Management .
Is It A Mission
Impossible ? Penerbit Majalah Duta Rimba Vol. XXVII No. 3- 4.
Muhdi. 1998. Analisis Biaya dan Produktivitas Penyaradan Kayu Sistem Kuda- kuda
dan Pengangkutan Kayu dengan Lokotraksi di Hutan Rawa Gambut. Skripsi
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Sukanda, A. 1998.
Pemanenan yang Terencana dan Terkendali untuk
Meminimalisasi Kerusakan Hutan di Wanareset Sangai, Kalimantan Tengah.
Paper.
Sularso, H. 1996. Analisis Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu
Terkendali dan Konvesnional Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI). Tesis Pascasarjana IPB Bogor. Tidak Diterbitkan.
Undang- undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

©2004 Digitized by USU digital library

8