Skenario 1: 30 hutan, 55 perkebunan, 6 kebun campuran dan 4 semak Skenario 2: 35 hutan, 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak Skenario 3: 43 hutan, 43 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak Skenario 4: 33 hutan,

143 tingkat pendapatan dan jenis mata pencahariannya sehingga secara tidak langsung tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk membayar jasa lingkungan yang diterimanya. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Yunus 2005 bahwa WTP rata-rata nilai keberadaan flora fauna dilindungi dan habitat sangat tergantung dari tingkat pendidikan masyarakat, tingkat pendapatan dan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Selanjutnya Yunus 2005 mengemukakan bahwa pengaruh variabel pendidikan, mata pencaharian dan pendapatan terhadap WTP nilai keberadaan erat kaitannya dengan persepsi masyarakat akan manfaat yang terkandung di dalam sumberdaya hutan. Analisis Penggunaan Lahan Alternatif Hasil simulasi lima skenario penggunaan lahan alternatif di Sub DAS Konaweha Hulu menghasilkan komposisi luas tutupan masing-masing jenis penggunaan lahan hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar adalah sebagai berikut:

1. Skenario 1: 30 hutan, 55 perkebunan, 6 kebun campuran dan 4 semak

belukar.

2. Skenario 2: 35 hutan, 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak

belukar.

3. Skenario 3: 43 hutan, 43 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak

belukar.

4. Skenario 4: 33 hutan, 52 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak

belukar.

5. Skenario 5: 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak

belukar. Peta skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 32, Gambar 33, Gambar 34, Gambar 35 dan Gambar 36. 144 Gambar 32. Peta Skenario 1 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Gambar 33. Peta Skenario 2 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 145 Gambar 34. Peta Skenario 3 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Gambar 35. Peta Skenario 4 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 146 Gambar 36. Peta Skenario 5 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Analisis Aspek Lingkungan Analisis kelayakan lingkungan skenario penggunaan lahan alternatif didasarkan pada kriteria keputusan decison criteria yakni yakni ketersediaan air supply atau debit minimum Q min dan dan rasio antara ketersediaan supply, S dengan kebutuhan air demand, D. Hubungan antara proporsi luas masing-masing jenis penggunaan lahan terhadap kriteria tersebut dianalisis dengan simulasi menggunakan persamaan regresi linier berganda. Hubungan antara proporsi luas tutupan masing-masing jenis penggunaan lahan hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar ketersediaan air atau debit minimum dijelaskan melalui Persamaan 46 terdahulu. Hasil simulasi hubungan antara proporsi masing-masing jenis penggunaan lahan terhadap ketersediaan air atau debit minimum dalam satuan m 3 detik dan m 3 disajikan pada Lampiran 30 dan Tabel 32. 147 Tabel 32. Rasio Ketersediaan dan Kebutuhan Air berbagai Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050 Alternatif Ketersediaan Air Kebutuhan Air Rasio SD m3detik juta m3 m3detik juta m3 Skenario 1 31.8 82.4 33.3 86.3 0.95 Skenario 2 36.6 94.9 33.3 86.3 1.10 Skenario 3 37.4 96.9 33.3 86.3 1.12 Skenario 4 35.5 92.0 33.3 86.3 1.07 Skenario 5 36.8 95.4 33.3 86.3 1.11 Skenario 1 = 30 hutan, 55 perkebunan, 6 kebun campuran dan 4 semak belukar Skenario 2 = 35 hutan, 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 3 = 43 hutan, 43 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 4 = 33 hutan, 52 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar Skenario 5 = 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar H = hutan, K = perkebunan, Kc = kebun campuran, Sb = semak belukar, C = koefisien regresi linier Luas kondisi eksisting: Hutan= 43 , perkebunan=43 , kebun campuran=6 dan semak belukar=3 Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar Tabel 32 menunjukkan bahwa jika skenario 1 penggunaan lahan alternatif dengan proporsi luas hutan minimal 30 akan menghasilkan air tersedia atau debit minimum Q min sebesar 31,8 m 3 detik atau setara dengan 82,4 juta m 3 . Jika skenario 1 diterapkan maka rasio antara ketersediaan S dengan kebutuhan air D adalah 0,95. Angka tersebut berarti bahwa skenario 1 penggunaan lahan alternatif tidak layak diterapkan karena debit minimum yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kebutuhan air tahun 2050. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif dengan proporsi luas hutan 35 akan menghasilkan debit minimum sebesar 36,6 m 3 detik atau 94,9 juta m 3 , sehingga rasio antara ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,10. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan skenario 1. Selanjutnya skenario 3 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan luas tutupan hutan 43 dan penggunaan lahan lainnya sesuai dengan kondisi eksisting, maka ketersediaan air atau debit minimum yang dihasilkan adalah 37,4 m 3 detik atau 96,9 juta m 3 sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,12. Angka tersebut juga lebih baik jika dibandingkan dengan rasio ketersediaan dan kebutuhan air skenario 1 dan skenario 2. Skenario 4 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu yang merupakan modifikasi skenario 3 pencadangan 10 hutan untuk areal penggunaan lain akan menghasilkan debit minimum sebesar 35,5 m 3 detik atau 92,0 juta m 3 , sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,07. Angka tersebut lebih rendah jika 148 dibandingkan dengan rasio ketersediaan dan kebutuhan air skenario 2 dan skenario 3. Skenario 5 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan proporsi luas tutupan hutan adalah 40 akan menghasilkan debit minimum sebesar 36,9 m 3 detik atau 95,4 juta m 3 sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,11. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan skenario 1, skenario 2 dan skenario 4. Angka-angka yang diperlihatkan pada Tabel 32 di atas menunjukkan bahwa seluruh skenario penggunaan lahan alternatif DAS Konaweha Hulu mempunyai kecenderungan yang sama terhadap debit minimum. Nilai rasio ketersediaan dan kebutuhan air skenario 2, skenario 3, skenario 4 dan skenario 5 lebih dari 1 yang berarti bahwa keempat skenario tersebut mampu mengatasi defisit air ketersediaan air lebih besar dari kebutuhan air hingga tahun 2050. Namun demikian rasio ketersediaan dan kebutuhan air untuk skenario 1 kurang dari 1 yang berarti bahwa skenario tersebut tidak dapat mengatasi defisit air hingga tahun 2050. Analisis Aspek Ekonomi Analisis biaya didasarkan pada luas hutan yang harus dipelihara agar fungsinya menjaga tata air tetap terjaga. Hasil analisis biaya pemeliharaan fungsi hutan skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Lampiran 31 dan Tabel 33. Tabel 33. Biaya Pemeliharaan Fungsi Hutan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Alternatif Luas Hutan ha Biaya Milyar Rupiah Skenario 1 101398 152 Skenario 2 118297 177 Skenario 3 145337 218 Skenario 4 111537 167 Skenario 5 135197 203 Catatan : 1. Standar pemeliharaan fungsi hutan = Rp. 1500000 per hektar UNDP dan KLH, 1999 2. Luas hutan masing-masing sesuai Lampiran 30 dan Lampiran 31 Tabel 33 menunjukkan bahwa biaya yang diperlukan untuk memelihara fungsi hutan pada skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu 149 berkisar antara 152 milyar rupiah sampai dengan 218 milyar rupiah. Jika luas hutan kondisi eksisting 2011 dipertahankan, maka diperlukan biaya 218 milyar rupiah. Jika 10 dari hutan kondisi eksisting dialokasikan untuk areal penggunaan lain APL pertambangan, maka diperlukan biaya sebesar 167 milyar rupiah. Sedangkan biaya yang harus dialokasikan untuk implementasi RTRW dengan luas hutan 35 adalah 177 milyar rupiah dan implementasi arahan fungsi kawasan lindung sebagaimana skenario 5 dibutuhkan biaya sebesar 203 milyar rupiah. Selanjutnya yang dimaksud dengan penerimaan return adalah nilai ekonomi air water yield dan nilai ekonomi hasil hutan non kayu masing-masing skenario penggunaan lahan alternatif. Hasil air merupakan debit minimum yang merupakan ketersediaan air dan dihasilkan akibat pemeliharaan satu satuan luas hutan di DAS Konaweha Hulu. Sedangkan hutan merupakan kawasan hutan yang harus dipertahankan agar debit aliran minimum dapat menjamin kebutuhan air hingga tahun 2050. Nilai ekonomi air untuk kebutuhan domestik dan industri menggunakan pendekatan harga pasar standar PDAM yakni Rp. 3.755 per m 3 , sedangkan nilai ekonomi air untuk kebutuhan irigasi menggunakan pendekatan kemauan untuk membayar WTP air irigasi dengan harga satuan Rp. 15,32 per m 3 . Nilai ekonomi hutan yang dihitung adalah nilai ekonomi hasil hutan non kayu, mencakup nilai ekonomi flora dan fauna, karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan. Berdasarkan hal ini maka nilai ekonomi hutan per satuan luas adalah Rp. 14.974.617,- per hektar yang merupakan nilai kumulatif dari nilai ekonomi rotan Rp. 672.236, madu Rp. 221.033, karbon Rp. 13.351.500, nilai pilihan Rp. 198.000, nilai warisan Rp. 248.417 dan nilai keberadaan Rp. 283.750. Dari nilai penerimaan return dan biaya cost yang harus dikeluarkan pada masing-masing skenario penggunaan lahan alternatif, maka dilakukan analisis rasio penerimaan R dengan biaya C. Perhitungan nilai RC menggunakan Persamaan 38 RC = Nilai Ekonomi Air dan Hasil Hutan non KayuBiaya Pemeliharaan Fungsi Hutan, data nilai ekonomi hasil hutan non kayu Persamaan 37 dan Tabel 150 28, data nilai ekonomi air masing-masing skenario, dan hasil perhitungan biaya pemeliharaan fungsi lindung kawasan hutan setiap skenario Lampiran 31 UNDP dan KLH, 1999. Hasil analisis RC skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Tabel 34. Tabel 34. Nilai RC Skenario Penggunaan Lahan Alternatif DAS Konaweha Hulu Penggunaan Lahan Luas Hutan ha Hasil Air Juta m3 Biaya Penerimaan RC Alternatif milyar Rupiah milyar Rupiah Skenario 1 101398 82.4 152 1546 10.16 Skenario 2 118297 94.9 177 1803 10.16 Skenario 3 148716 96.9 218 2209 10.13 Skenario 4 114917 92.0 167 1701 10.17 Skenario 5 135197 95.4 203 2056 10.14 Catatan: 1. Proporsi kebutuhan air domestik = 3,8 , industri = 4,7 , irigasi = 91.5 2. Harga satuan air domestik dan industri = Rp. 3.755 per m3, irigasi = Rp. 15,32 per m3 3. Nilai ekonomi hutan = Rp 14.974.617 per hektar 4. Standar pemeliharaan fungsi hutan = Rp. 1500000 per hektar KLH dan UNDP, 1999 Tabel 34 merupakan hasil analisis RC penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai RC semua skenario cukup besar dengan nilai lebih dari 10. Nilai RC tertinggi dicapai skenario 3 dengan nilai RC adalah 10,17. Besarnya nilai RC untuk semua skenario disebabkan karena besarnya nilai penerimaan dari hasil hutan non kayu dengan memperhitungkan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh jasa lingkungan keberadaan hutan seperti flora dan fauna, nilai penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan hutan. Selain itu analisis RC juga memperhitungkan nilai ekonomi hasil air. Fakta yang kontradiktif dengan nilai penerimaan yang besar, maka nilai biaya yang diperlukan masing-masing skenario relatif rendah. Hal ini disebabkan karena hutan yang dipertahankan merupakan hutan yang sudah eksis sehingga tidak dilakukan penambahan luas hutan, akibatnya biaya yang diperlukan hanya bersifat biaya pemeliharaan fungsi kawasan hutan. Analisis Aspek Sosial Analisis sosial dilakukan untuk mengetahui kelayakan sosial berbagai penggunaan lahan alternatif yang terlebih dahulu memenuhi persyaratan kelayakan lingkungan dan kelayakan ekonomi. Hasil analisis aspek tingkat penerimaan para 151 pihak terhadap lima skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Analisis Penerimaan Para Pihak terhadap Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Penggunaan Lahan Alternatif Penerimaan Para Pihak Keterangan Skenario 1 Diterima Sudah tersosialisasi, implementasi UU No. 41 1999 Skenario 2 Diterima Sudah tersosialisasi, implementasi RTRW Skenario 3 Diterima Sudah tersosialisasi, kondisi eksisting Skenario 4 Ada penolakan Penolakan DPR, DPRD, Perguruan Tinggi, LSM Skenario 5 Diterima Sudah tersosialisasi sejak 2008 Tabel 35 menunjukkan bahwa skenario 4 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu masih potensial mengalami penolakan dari para pihak antara lain DPR pusat, DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Perguruan Tinggi dan LSM lokal. Hal ini terbukti dengan banyaknya penolakan dari pihak-pihak tersebut di atas tentang rencana pemerintah untuk menjadikan Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai Kawasan Ekonomi Khusus KEK pertambangan dengan konsekuensi pemerintah provinsi meminta penurunan status hutan menjadi areal penggunaan lain APL seluas 300.000 hektar dimana sekitar 5.000 hektar merupakan hutan lindung. Selanjutnya skenario 1 dan skenario 2 penggunaan lahan alternatif dapat diterima oleh para pihak karena kedua skenario tersebut sudah menjadi kebijakan sejak tahun 1999 yang lalu sehingga para pihak yang berkepentingan tidak menolak kebijakan tersebut. Hal ini disebabkan karena skenario 1 merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang hingga saat masih berlaku, sedangkan skenario 2 merupakan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara yang mulai berlaku sejak tahun 2005. Skenario 5 penggunaan lahan alternatif merupakan implementasi arahan fungsi kawasan lindung yang ditetapkan oleh BPDAS Sampara dimana luas hutan lindung di DAS Konaweha adalah 40 dari luas DAS Konaweha yang mulai ditetapkan tahun 2008. Walaupun 152 skenario 5 belum tersosialisasi dengan baik karena baru ditetapkan tahun 2008, namun diduga tidak akan mengalami penolakan dari pihak-pihak berkepentingan. Fakta tersebut di atas juga diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pemeliharaan kawasan hutan di DAS Konaweha pernah dilakukan di era tahun 1970an melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan. Kegiatan tersebut dilakukan di beberapa wilayah di DAS Konaweha seperti Unaaha, Wawotobi, Pondidaha, Abuki, Sampara, Tirawuta, Tinondo dan Mowewe. Pada era tahun 1990an juga dilakukan kegiatan serupa yang disebut dengan hutan kemasyarakatan dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Beberapa wilayah yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka. Kegiatan tersebut cukup berhasil ditinjau dari aspek sosial karena hingga saat ini tidak ada penolakan dari para pihak. Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif DAS Konaweha Kelayakan skenario penggunaan lahan alternatif menggunakan kriteria decision tool sebagai berikut: rasio ketersediaan dan kebutuhan air SD, rasio RC, dan penerimaan para pihak aspek sosial. Hasil analisis kelayakan penggunaan lahan alternatif disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050 Alternatif Aspek Lingkungan Aspek Ekonomi Aspek Sosial SD RC Penerimaan Para Pihak Skenario 1 0.95 10.16 dapat diterima, implementasi UU No. 41, 1999 Skenario 2 1.10 10.16 dapat diterima, RTRW Konawe dan Kolaka Skenario 3 1.12 10.13 dapat diterima, kondisi eksisting Skenario 4 1.07 10.17 ada penolakan, belum disetujui, APL pertambangan Skenario 5 1.11 10.14 dapat diterima, arahan fungsi kawasan BPDAS Sampara Keterangan: Skenario 1 = 30 hutan, 55 perkebunan, 6 kebun campuran dan 4 semak belukar Skenario 2 = 35 hutan, 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 3 = 43 hutan, 43 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 4 = 33 hutan, 52 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar Skenario 5 = 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar H = hutan, K = perkebunan, Kc = kebun campuran, Sb = semak belukar, C = koefisien regresi linier Luas kondisi eksisting: Hutan= 43 , perkebunan=43 , kebun campuran=6 dan semak belukar=3 Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar 153 Tabel 36 menunjukkan bahwa skenario 1 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan luas hutan 30 , perkebunan 55 , kebun campuran 6 dan semak belukar 4 akan menghasilkan debit minimum yang lebih kecil dari kebutuhan air sehingga nilai rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 0,95 dengan nilai RC sebesar 10,16 dan secara sosial diterima para pihak karena merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kelayakan berdasarkan tiga komponen yang dinilai yakni aspek lingkungan, ekonomi dan sosial, maka skenario 1 tidak layak diterapkan karena nilai SD 1, RC 1 dan secara sosial diterima oleh para pihak. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif yang merupakan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka dengan luas hutan 35 dikombinasikan dengan 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar akan mampu menghasilkan debit minimum yang lebih besar dari kebutuhan air, sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,10 dan nilai RC sebesar 10,16 dan secara sosial dapat diterima karena sesuai dengan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif layak diterapkan karena semua komponen yang dinilai memenuhi sarat yakni nilai SD 1, RC 1 dan secara sosial tidak menimbulkan masalah karena sesuai dengan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka yang sebelumnya ditetapkan melalui proses sosialisasi yang cukup lama. Skenario 3 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu yang merupakan kondisi penggunaan lahan eksisting dengan luas tutupan hutan 43 , 43 perkebunan dan 6 kebun campuran serta 3 semak belukar layak diterapkan karena menghasilkan debit minimum yang melebihi kebutuhan air dengan nilai SD 1, nilai RC 1 dan secara sosial diterima oleh para pihak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa skenario 4 yang merupakan modifikasi skenario 3 dengan alokasi 10 hutan untuk areal penggunaan lain APL pertambangan belum bisa diterapkan walaupun nilai SD 1 dan RC 1 karena hingga saat ini belum mendapat persetujuan pihak-pihak terkait sehingga masih ada penolakan. Sedangkan skenario 5 yang merupakan rencana implementasi arahan fungsi kawasan lindung DAS Konaweha dengan proporsi luas hutan yang harus dipertahankan minimal 40 dikombinasikan dengan 46 perkebunan, 5 kebun 154 campuran dan 4 semak belukar layak diterapkan baik ditinjau dari aspek lingkungan, ekonomi maupun faktor sosial. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka disimpulkan bahwa skenario 2, skenario 3, dan skenario 5 penggunaan lahan alternatif layak diterapkan sesuai indikator SD ≥ 1, sedangkan skenario 1 dan skenario 4 tidak layak diterapkan. Hasil analisis menggunakan indikator lingkungan, ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa komposisi 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar merupakan alternatif penggunaan lahan terbaik untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha. Analisis Kebijakan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Produk kebijakan pada tingkat nasional yang berkaitan dengan penatagunaan lahan antara lain adalah Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur tentang luas kawasan hutan yang harus di pertahankan yakni 30 dari luas DAS dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur penataan ruang berdasarkan fungsi lindung utama kawasan yakni kawasan lindung dan kawasan budidaya. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 menggunakan unit DAS, sedangkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 menggunakan unit administrasi. Berkaitan dengan kedua produk kebijakan tersebut, maka pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diduga memberikan kontribusi terhadap kebijakan penatagunaan lahan di tingkat daerah kabupatenkota melalui pemberian berbagai kewenangan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah seperti pengelolaan sumberdaya alam skala kecil pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup. Kebijakan yang terkait dengan penatagunaan lahan di tingkat daerah provinsi dan kabupatenkota juga merujuk pada ketiga kebijakan tersebut di atas. Beberapa produk kebijakan yang terkait dengan ini antara lain: Peraturan Daerah Perda provinsi dan kabupatenkota tentang Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW, Perda 155 tentang pengelolaan tambang skala kecil, Perda tentang Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik, Perda tentang Pemanfaatn Hasil Hutan non Kayu dan lain-lain. Kebijakan yang terkait dengan penatagunaan lahan di tingkat daerah kabupatenkota dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW kabupatenkota mengacu pada batas yuridiksi formal batas administrasi sehingga sulit diterapkan untuk mengatur penatagunaan lahan yang menggunakan batas alam ekologi seperti DAS Konaweha. Hal inilah yang dirasakan sulit untuk menerapkan konsep pengelolaan DAS secara terpadu untuk mencapai “satu DAS satu rencana dan satu pengelolaan” atau “one watershed one plan and one management”. Kebijakan pada tingkat daerah provinsi dan kabupatenkota yang mengatur penatagunaan lahan, alokasi sumberdaya alam, dan tanggung jawab pembiayaan masing-masing kabupatenkota hingga saat belum ada. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang diharapkan dapat memfasilitasi pengembangan kebijakan terkait dengan hal-hal tersebut di atas hingga saat ini juga belum maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan belum adanya Peraturan Daerah Perda dan Peraturan Gubernur yang mengatur tata guna lahan, sistem alokasi sumberdaya dan tanggung jawab pembiayaan bagi masing-masing wilayah otonom di DAS Konaweha. Satu-satunya produk kebijakan tingkat kabupatenkota yang berhubungan dengan tata guna lahan adalah RTRW yang menggunakan batas yuridiksi formal. Penetapan fungsi kawasan pada masing-masing RTRW kabupatenkota hanya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tanpa memperhitungkan dampak hidrologi khususnya pada aspek ketersediaan air jangka panjang. Akumulasi implementasi kebijakan penatagunaan lahan melalui RTRW bagi kabupatenkota di DAS Konaweha terlihat dari pola perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha. Akumulasi kebijakan tersebut menyebabkan perubahan luas hutan dari 55 pada tahun 1999 menjadi 47 pada tahun 2008. Perubahan tersebut diikuti dengan peningkatan luas perkebunan dari 35 pada tahun 1999 menjadi 40 pada tahun 2008, sedangkan kebun campuran dan semak belukar meningkat dari 3,8 dan 2,6 pada tahun 1999 menjadi 5,5 dan 3,3 pada tahun 2008. 156 Implementasi kebijakan selama kurang lebih 10 tahun telah memberikan dampak hidrologi yang cukup besar. Koefisien aliran permukaan meningkat dari 36,3 pada tahun 1999 menjadi 47,1 pada tahun 2008, pada kurun waktu tersebut maka koefisien regim sungai meningkat dari 5,7 menjadi 13,8 pada tahun 2008. Kebijakan tersebut juga memberikan dampak cukup serius terhadap penurunan ketersediaan air. Selama 10 tahun terakhir ini telah terjadi penurunan ketersediaan air dari 36 m 3 detik menjadi 20 m 3 detik. Berdasarkan hal ini maka implementasi kebijakan penatagunaan lahan melalui RTRW masing-masing kabupatenkota semakin memperburuk kondisi hidrologi DAS Konaweha, oleh karena itu maka perlu ada langkah-langkah konkrit yang ditujukan untuk mengatur tata guna lahan agar kondisi hidrologi DAS Konaweha tetap baik khususnya ketersediaan air jangka panjang tetap terjamin. Jika implementasi kebijakan penatagunaan lahan di DAS Konaweha melalui penerapan RTRW kabupatenkota akan memberikan dampak terhadap perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali. Jika kebijakan implementasi RTRW berjalan terus tanpa dilakukan perubahan, maka pada periode 2011-2015 luas hutan diperkirakan menjadi 43,2 , sedangkan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing 43,1 , 5,3 dan 3,6 . Pada periode 2036-2040 maka akan terjadi penurunan luas hutan rata-rata menjadi 26,2 , sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar akan meningkat menjadi 50,2 , 6,8 dan 4,9 . Jika perubahan penggunaan lahan tersebut mengikuti kecenderungan sebelumnya, maka pada tahun 2050 luas hutan diperkirakan menjadi 21,5 , sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar akan meningkat menjadi 52,1 , 7,3 dan 5,3 . Perubahan penggunaan lahan yang merupakan akibat implementasi kebijakan RTRW bagi kabupatenkota dipastikan akan mempengaruhi kondisi hidrologi khususnya ketersediaan air di DAS Konaweha. Analisis kebijakan penggunaan lahan di DAS Konaweha dilakukan dengan membandingkan kebijakan implementasi RTRW kabupatenkota yang sedang berjalan dengan skenario penggunaan lahan alternatif ditinjau dari perspektif lingkungan, ekonomi dan sosial. Analisis yang didasarkan pada perspektif 157 lingkungan menggunakan alat keputusan berupa ketersediaan air dan rasio antara ketersediaan dan kebutuhan air SD. Analisis yang didasarkan pada perspektif ekonomi menggunakan alat keputusan berupa rasio penerimaan dengan biaya RC, sedangkan analisis berdasarkan perspektif sosial menggunakan alat keputusan berupa penerimaan para pihak stakeholders acceptable. Analisis perbandingan antara kebijakan tata guna lahan yang sedang berjalan dengan penggunaan lahan alternatif tidak mengikutsertakan skenario 1 dan skenario 4 karena hasil analisis kelayakan dinyatakan tidak layak Tabel 37. Tabel 37. Analisis Perbandingan antara Kebijakan Tata Guna Lahan Eksisting dengan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050 Alternatif Aspek Lingkungan Aspek Ekonomi Aspek Sosial SD RC Penerimaan Para Pihak Skenario 2 1.10 10.16 dapat diterima, RTRW Konawe dan Kolaka Skenario 3 1.12 10.13 dapat diterima, kondisi eksisting Skenario 5 1.11 10.14 dapat diterima, arahan fungsi kawasan BPDAS Sampara Kebijakan Eksisting 0.44 10.05 akan terjadi konflik kepentingan terkait dengan sumberdaya air Keterangan: Skenario 2 = 35 hutan, 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 3 = 43 hutan, 43 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 5 = 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar Kebijakan Eksisting = 22 hutan, 53 perkebunan, 8 kebun campuran, 5 semak belukar Skenario 1 dan skenario 4 penggunaan lahan alternatif tidak disertakan karena analisis sebelumnya tidak layak R=penerimaan mencakup nilai ekonomi hasil hutan non kayu dan air, APL = areal penggunaan lain Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar; S: supply, D: demand; R: return; C: cost Tabel 37 menunjukkan kebijakan tata guna lahan melalui implementasi RTRW kabupatenkota di DAS Konaweha akan berimplikasi terhadap penurunan ketersediaan sumberdaya air sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air menjadi 0,44. Nilai tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai SD skenario 2, skenario 3, dan skenario 5. Oleh karena itu ditinjau dari perspektif lingkungan maka kebijakan tersebut tidak layak untuk dipertahankan. Berdasarkan perspektif ekonomi, maka kebijakan eksisting masih layak untuk dipertahankan karena nilai RC 1, walaupun nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai RC skenario 2 dan skenario 5. Berdasarkan perspektif sosial, maka kebijakan eksisting tidak dapat dipertahankan karena kemungkinan besar akan menimbulkan konflik kepentingan antar daerah berkaitan dengan alokasi sumberdaya air mengingat kebijakan tersebut tidak mampu mengatasi defisit air hingga tahun 2050. 158 Uraian-uraian tersebut di atas mengindikasikan bahwa kebijakan tata guna lahan yang selama ini diimplementasikan melalui RTRW kabupatenkota seyogyanya ditinjau kembali dan dianjurkan untuk tidak dilanjutkan. Kebijakan tersebut hanya dapat dipertahankan hingga tahun 2030 yakni ketika ketersediaan air lebih dari atau sama dengan kebutuhan air. Oleh karena itu maka skenario penggunaan lahan alternatif yang ditawarkan layak untuk dipertimbangkan oleh pengambil keputusan di tingkat provinsi dan kabupatenkota. Tiga skenario penggunaan lahan alternatif yang ditawarkan harus didukung dengan regulasi agar dapat menjadi kebijakan yang nantinya dapat diterapkan di DAS Konaweha. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha yang terjadi adalah penurunan luas hutan diikuti pertambahan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar. Jumlah penduduk mempengaruhi penurunan luas hutan mengikuti persamaan: y = 196 e -0,01X , dimana y adalah luas hutan dari luas DAS Konaweha Hulu, e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818 dan X adalah jumlah penduduk ribuan jiwa. 2. Penurunan luas hutan menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan mengikuti persamaan: y = 158,8 e -0,03X dan penurunan debit minimum mengikuti persamaan: y = 18,6 e 0,01X , dimana y adalah koefisien aliran permukaan dan debit minimum m 3 detik, e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818 dan X adalah luas hutan luas DAS Konaweha Hulu. 3. Ketersediaan sumberdaya air menurun sementara kebutuhan air meningkat dari tahun ke tahun. Defisit air di DAS Konaweha akan terjadi pada periode 2026- 2030 dengan nilai defisit sekitar 0,9 m 3 detik, sedangkan defisit air periode 2046- 2050 adalah 17,9 m 3 detik. 4. Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha adalah 32,5-37,5 dari luas DAS Konaweha Hulu. 5. Pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS Konaweha untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya air didasarkan pada proporsi nilai manfaat ekonomi air masing- masing kabupatenkota, sehingga tanggung jawab pembiayaan bagi Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan masing-masing sebesar 37 , 28 , 21 dan 14 dari total biaya yang diperlukan. 160 6. Kebijakan penggunaan lahan eksisting di DAS Konaweha hanya bisa menjamin keberlanjutan sumberdaya air hingga periode 2026-2030. Komposisi penggunaan lahan utama yang terdiri dari 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran, 4 semak belukar dan 5 penggunaan lahan lainnya merupakan penggunaan lahan terbaik untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diuraikan terdahulu, maka dirumuskan beberapa saran: 1. Penurunan fungsi hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan DAS Konaweha akan mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya air sehingga diperlukan upaya yang ditujukan untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan khususnya penurunan luas hutan. Upaya-upaya tersebut antara lain koordinasi dan pengawasan yang ketat terhadap eksploitasi hutan, standar ketat konversi hutan, dan reorientasi prioritas pembangunan daerah. 2. Pada kondisi surplus air maka alokasi air untuk kebutuhan sektor domestik, industri dan irigasi mempunyai prioritas yang sama. Pada kondisi defisit, maka prioritas utama pemenuhan kebutuhan air berturut-turut adalah sektor domestik, irigasi dan industri. 3. Mengingat terbatasnya anggaran pembangunan daerah yang bersumber dari dana alokasi khusus DAK, maka sebaiknya biaya pemeliharaan fungsi DAS Konaweha dibebankan kepada pemakai air melalui penarikan pajak air 10 dari biaya pemakaian air. Berdasarkan hal ini maka diperlukan regulasi seperti Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur. 4. Mengingat kebijakan penggunaan lahan eksisting DAS Konaweha hanya dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya air hingga periode 2026-2030, maka seyogyanya diterapkan kebijakan penggunaan lahan dengan komposisi 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran, 4 semak belukar. DAFTAR PUSTAKA Abaje, I.B., O.F. Ati, and S. Ishaya. 2009. Nature of Potable Water Supply and Demand in Jema’a Local Government Area of Kaduna State, Nigeria. Research Journal of Environmental and Earth Sciences 11: 16-21, 2009. ISSN: 2041-0492 Maxwell Scientific Organization, 2009. Adenike, A.A., and O.B. Titus. 2009. Determinants of Willingness to Pay for Improved Water Supply in Osogbo Metropolis; Osun State, Nigeria. Research Journal of Social Sciences, 4:1-6, 2009. Department of Agricultural Economics, Ladoke Akintola. University of Technology, Ogbomoso. Agus, F., M. Van Noordwijk, dan S. Rahayu. 2004. Dampak Hidrologis Hutan, Agroforestri, dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. Prosiding Lokakarya di PadangSingkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre. Arif, S.S. 2003. Menuju Pengelolaan Sumberdaya Air Yang Berkelanjutan. National Project Coordinator on Water Resources Management. Prosiding Seminar FAO-Bappenas, Jakarta. Atmanto, S.D. 1998. Air untuk Kesejahteraan Rakyat : Reformasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan dan Berdimensi Kerakyatan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Reformasi Hukum dan Kebijaksanaan di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta. Aylward, D. 2005. Land Use, Hydrological Function and Economic Valuation. In: Forest, Water and people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and L.A. Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2005. Program Pembangunan Daerah Propeda dan Program Pembangunan Tahunan Daerah Propetada Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2006. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kolaka. 2000-2008. Kabupaten Kolaka Dalam Angka Tahun 2000-2008. Kolaka, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe. 2000-2008. Kabupaten Konawe Dalam Angka Tahun 2000-2008. Unaaha, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2005. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2004. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2008a. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2008. Kendari, Sulawesi Tenggara. 162 Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2008b. Statistik Air Minum Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2009. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2008. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara. Barbier, E.B. 1995. The economics of forestry and conservation: Economic values and policies. Commonwealth Forestry Review 741:128-140. Barbieri, A.F. 2006. Household life cycles, population mobility and land use in the Amazon: Some comments and research directions. Universidade Federal de Minas Gerais, Brazil. Begum, N., J. Narayana, and A. Kumar. 2010. Land UseLand Cover Changes in the Catchment of Water Bodies in and Around Davangere City, Katnataka. International Journal of Ecology and Environmental Sciences 36 4:277-280, 2010. National Institute of Ecology, New Delhi, India. Biswas, A.K. 1997. Water Resources. Environmental Planning, Management, and Development. McGraw-Hill, New York, USA. Biswas, A.K., and C.Tortajadab. 2010. Water Supply of Phnom Penh: An Example of Good Governance. International Journal of Water Resources Development Publication details, including instructions for authors and subscription information: Third World Centre for Water Management, Mexico . Bonell, M, and L.A. Bruijnzeel. 2005. Forest, Water and people in the Humid Tropics. Published by Cambridge University Press. Bosscher, A. 1984. Basic Hydrology and Water Resource Development. Lecture Note. International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences. BPDAS Sampara. 2008. Rencana Pengelolaan Terpadu DAS Konaweha. Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sampara Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest a Primer. FAO Forestry 134:1-37. Bruijnzeel, L.A. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion : A State of Knowledge Review. Humid Tropics Programme of the International Hydrological Programme of UNESCO, Paris, and Vrije Universiteit, Amsterdam. Bruijnzeel, L.A. 2004. Hydrological Functions of Tropical Forest: Not Seeing the Soil for the Trees. Agriculture, Ecology and Environment. Doi: 10.1006jagee.2009.01.015. 163 Champ, P.A. 1997. Using Donation Mechanisms to Value Nonuse Benefit from Public Goods. Journal of Environmental Economics and Management 33: 155-162. Chandler, F.J.C., and Suyanto. 2004. Pengakuan dan Pemberian Imbalan bagi Penyediaan Jasa Daerah Aliran Sungai DAS. Prosiding Lokakarya di PadangSingkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre. Darusman, D. 1993. Nilai Ekonomi Air untuk Pertanian dan Rumah Tangga: Studi Kasus di Sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Makalah Disampaikan pada Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia. Bandung, 29 Juli 1993. Darusman, D., dan Bahruni. 2005. Aspek Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Sumberdaya Air serta Kontribusinya terhadap Pemerintah Daerah dan Masyarakat. Prosiding Seminar Pemanfaatan Air di Kawasan Konservasi. Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Departemen Kehutanan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Statistik Industri Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara. Direktorat Jenderal Pengairan. 1986. Buku Petunjuk Perencanaan Irigasi. Bagian Penunjang untuk Standar Perencanaan Irigasi. CV. Galang Persada, Bandung. Direktur Jenderal Sumberdaya Air. 2002. Juni-September 2002 Persediaan Air Irigasi Tidak Mencukupi. Departemen Kimpraswil Republik Indonesia. Jakarta. Internet : Www.Google.Com Djajadiningrat, S.T. 1997. Pengantar Ekonomi Lingkungan. Penerbit: LP3ES, Jakarta. Drigo, R. 2005. Trends and Patterns of Tropical Land Use Change. In: Forest, Water and people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and L.A. Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press. Duerr, A.W. 1960. Fundamental of Forestry Economics. McGraw-Hill, Book Company. New York, Toronto, London. Dumairy. 1992. Ekonomi Sumberdaya Air, Pengantar ke Hidronomika. BPFE, Yogyakarta. Dyah, R.P. 2000. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sungai Menyongsong Abad-21. Orasi Ilmiah Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Sungai, Universitas Diponegoro, Semarang. 164 Dziegielewski, B. 2003. Strategy fo managing water demand. Journal on Water Resources Update. Universities Council on Water Resources. University of Illinois, USA. Eagle, J.G., and D.R. Betters. 1998. Analysis, the Endangered Species Act and Economic values: A comparison of Fines and Contingent Valuation Studies. Journal of Ecological Economics 26:165-171. Economic and Environment Program for Southeast Asia EEPSEA and World Wild Fund for Nature WWF. 1998. The Indonesian fires and haze of 1997: The economic toll. 1-8. Unpublished Report. Enters, T. 1998. A Framework for the Economic Assessment of Soil Erosion and Soil Conservation. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. Cabi Publishing. Environmental Protection Agency EPA. 2000. Projecting Land-Use Change A Summary of Models for Assessing the Effects of Community Growth and Change on Land-Use Patterns. United State Environmental Protection Agency, Washington DC, USA. Fakultas Kehutanan IPB. 1999. Laporan Akhir Kajian Sistem Nilai Hutan Produksi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Fares, Y.R. 2003. Water resouces management in tropical river catchments. Journal of Environmental Hydrology, Volume 11 Paper 14 November 2003. Fluid Research Centre, School of Engineering, University of Surtey, Guildford, England. Fauzi, A. 2004. Mencermati Implementasi Undang-Undang Sumberdaya Air. Web Site: www.unisosdem.org.id Field, B.C. 1994. Environmental Economics, An Introductions. The McGraw- Hill, Book Company Inc. New York, Tokyo, Toronto, Singapore. Fox, J. J.B. Vogler, O.L. Sen, A.L. Ziegler, and T.W. Giambelluca. 2011. Simulating land-cover change in Montane Mainland Southeast Asia. Geography, University of Hawaii, Manoa, USA. Freeman, A.M. 1993. The Measurement of Environmental and Resource Value, Theory and Methods. Washington, D.C. Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan : Sutomo, S dan K. Mangiri. Edisi Kedua. Penerbit UI-Press, Jakarta. Glover, D., and J. Timothy. 1999. Indonesia’s Fires and Haze, The Cost of Catastrophe. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore and International Development Research Center, Canada. Gregory, G.R. 1972. Forest Resource Economics. John Wiley and Sons. New York, USA. 165 Hairiah K., SM Sitompul, Meine van Noordwijk, and Cheryl Palm. 2001. Method for Sampling Carbon Stocks Above and Below Ground. ASB Lecture Note 4B:1-22. Huang, H.Q, Y.L. Cai, and J. Peng. 2007. Modeling the spatial pattern of farmland using GIS and multiple logistic regression: a case study of Maotiao River Basin, Guizhou Province, China. Environ Model Assess 2007 , China. Husnan, S., dan S. Muhammad. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. Penerbit : UPP AMP YKPN, Yogyakarta. International Water Management Institute. 2006. Gobal Water Outlok to 2025. Averting an Impending Crisis. International Food Policy Research Institute. Washington, D.C, USA. Iriawan, N., dan S.P. Astuti. 2008. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Penerbit: Andi, Yogyakarta. Isnugroho, 2002. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia, Jakarta. Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, dan U. Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kiersch, B., and S. Tognetti. 2002. Land-Water Linkages in Rural Watershed : Results from the FAO Electronic Workshop. Land Use and Water Resources research, FAO, Rome, Italy. Kodoatie, R.J., Suharyanto, S. Sangkawati, dan S. Edhisono. 2002. Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Otonomi Daerah. Penerbit : Andi Yogyakarta. Kramer, R.A., and D.E. Mercer. 1997. Valuing a Global Environmental Good: U.S. Resident Willingness to Pay to Protect Tropical Rain Rorest. Journal of Land Economics 732:196-210. Lerner, D.N., and B. Harris. 2009. The relationship between land use and groundwater resources and quality. Journal of Land Use Policy 265 2009 S265-S273.. Published by Elsevier Ltd, All rights reserved. Little, C., A. Lara, J. McPhee, and R. Urrutia. 2009. Revealing the impact of forest exotic plantations on water yield in large scale watershed in South- Central Chile. Journal of Hydrology 374 2009 162-170. Published by Elsevier Ltd, All rights reserved. Loomis, J., T. Brown, B. Lucero, and G. Peterson. 1996. Improving Validity Experiments of Contingent Valuation Methods: Results of Efforts to Reduce the Disparity of Hypothetical and Actual Willingness to Pay. Journal of Land Economics 724:450-461. 166 Mahbub, B. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Air Berwawasan Lingkungan pada Pengembangan Wilayah. Orasi Ilmiah Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Sungai, Universitas Diponegoro, Semarang. Maltima, J.M., S.M. Mugatha, R.S. Reid, L.N. Gachimbi, A. Majule, H. Lyaruu, D. Pomey, S. Mathai, and S. Mungisha. 2009. The linkages between land use change, land degradation and biodiversity across East Africa. African Journal of Environmental Science and Technology. Vol 3 10 pp. 310- 325, october 2009. Maltima, J.M., J.M. Olson, S.M. Mugatha, S. Magisha, and T. Mutie. 2010. Land use changes, impacts and option for sustaining productivity and livelihood in the basin of Lake Victoria. Journal of Sustainable Development in Africa. Volume 12, No. 3, 2010. Clarion University of Pennsylvania, USA. Manoli, E., P. Katsiardi, G. Arampatzis, and D. Assimacopoulos. 2005. Comprehensive Water Management Scenarios for Strategic Planning. Global NEST Journal, Vol 7, No 3, pp 369-378, 2005. Copyright© 2005 Global NEST. Printed in Greece. All rights reserved. Rhodes Island, Greece. Marshall, E., M. Caswell, S. Malcolm, M. Motamed, J. Hrubovcak, C. Jones, and C. Nickerson. 2011. Measuring the Indirect Land-Use Change Associated With Increased Biofuel Feedstock Production. A Review of Modeling Efforts. United States Department of Agriculture. Economic Research Service, USA. Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab, Jilid 1. Edisi Kedua. Diterbitkan oleh IPB PRESS, P.O. Box 199, Bogor. Mays, L.W., and Y.K. Tung. 1992. Hydrosystems Engineering and Management. McGraw-Hill, New York, USA. McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati : Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Kusdyantinah Penerjemah. Terjemahan dari: Economics and Biological Diversity: Developing and Using Economics Incentives to Conserve Biological Resources. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. McWhinney, S. 2005. Introducing the New Water Efficiency Labelling and Standards WELS Scheme. Water Services Assosiation of Australia Journal. Issue No. 3, May, 2005. Departement of the Envoronment and Heritage, Australia. Mena, C.F., S.J. Walsh, and R.E. Bilsborrow. 2010. Demographic, Socieconomic, and Biophysical Factors Affecting Land Use and Land Cover Change in The Northern Ecuadorian Amazon: Factors, Statistical Models, and Spatial Explicit Simulations. Carolina Population Center and Geography Department, University of North Carolina, USA. 167 Murdiyarso, D. 2005. Water Resources Management Policy Responses to Land Cover Change in South East Asian River Basins. In: Forest, Water and people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and L.A. Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press. Pawitan, H., R. Boer, Y. Kusmaryono, dan J.S. Baharsyah. 2003. Perubahan Iklim Global dan Dampaknya terhadap Masa Depan Sumberdaya Air dan Ketersediaan Air di Indonesia. Prosiding: Seminar Hari Air Sedunia, Jakarta. Pearce, D., and D. Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUCN Earthscan Publications Ltd. London. Perusahaan Daerah Air Minum PDAM Kota Kendari. 2010. Rencana Pengembangan Peningkatan Pelayanan Konsumen Kota Kendari. Kendari, Sulawesi Tenggara. Purwanto, E., dan J. Ruijter. 2004. Hubungan antara Hutan dan Fungsi Daerah Aliran Sungai. Prosiding Lokakarya di PadangSingkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre. Purwanto, M.Y.J. 1995. Water Demand for Industry, Village and City. Seminar on Water Demand in Developing Country, Tokyo, Japan. Purwanto, M.Y.J, and Sutoyo. 2010. Water Resources Assessment for City Area. Proceedings of The International Conference. The Quality Information for Competitive Agricutural Based Production System and Commerce. IPB International Convention Center, Bogor, 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan. 1999. Inventarisasi Hidrologi di 15 Daerah Aliran Sungai DAS. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat. Disertasi Doktor Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ramdan, H., Yusran, dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah : Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Cetakan Pertama. Penerbit Alqaprint Jatinangor, Bandung. Randal, A. 1987. Resource Economic. John Wiley Sons, Inc. New York, Chichester, Brisbane, Singapore, Toronto. Richard, M. 1997. The Potential for Economic Valuation of Watershed Protection in Mountainous Areas : A Case Study from Bolivia. Mountain Research and Development. Of land use change. Journal of Global Environmental Change. 15 2005 23 – 31. 168 Rudel, T.K., O.T. Coomes, E. Moran, F. Achard, A. Angelsen, J. Xu, and E. Lambin. 2005. Forest transitions: towards a global understanding. Journal of Global Environmental Change 15 2005 23 – 31. Published by: Elsevier, Ltd. All rights reserved. Sanim, B. 2003. Ekonomi Sumberdaya Air dan Manajemen Pengembangan Sektor Air Bersih Bagi Kesejahteraan Publik. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sanim, B. 2005. Handout Mata Kuliah : Ekonomi Lingkungan dan Analisis Kebijakan. Fakultas Ekonomi Manajemen FEM, Institut Pertanian Bogor. Schaldach, R., and J.A. Priess. 2008. Integrated Models of the Land System: A Review of Modelling Approaches on the Regional to Global Scale. Center for Environmental Systems Research University of Kassel, Kurt- Wolters-Str. 3, Germany. Seckler, D., U. Amarasinghe, D. Molden, R. de Silva, and R. Barker. 1998. World Water Demand and Supply, 1990 to 2025: Scenarios and Issues. Research Report 19. International Water Management Institute, P O Box 2075, Colombo, Sri Lanka. Setiawan, A. 2000. Nilai Ekonomi Hutan Raya Wan Abdul Rachman Provinsi Lampung. Thesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sihite, J.H.S. 2004. Valuasi Ekonomi dari Perubahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Besai-DAS Tulang Bawang Lampung. Disertasi Doktor, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Singh, V.P. 1992. Elementary Hydrology. Departement of Civil Engineering Louisiana State University. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, USA. Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Industri Lestari dengan Pertanian Konservasi. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Konservasi Tanah dan Air. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sinukaban, N. 2005. Implication of Regional Autonomy on Watershed Management. Paper Presented on Seminar for Contennial Commemoration of the Indonesian Soil Research Institute, Bogor. Sinukaban, N. 2008. Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam Mitigasi Banjir. Prosiding Seminar Konservasi Tanah dan Air. Forum DAS Provinsi Lampung. Bandar Lampung, Indonesia. Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Penerbit: Universitas Indonesia. Jakarta, Indonesia. Soeparmoko, M. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Suatu Pendekatan Teoritis. Edisi Ketiga. Penerbit: BPFE Yogyakarta. Anggota IKAPI No. 008. 169 Soeparmoko, M. 2006. Panduan dan Analisis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Konsep, Metode Penghitungan dan Aplikasi. Edisi Pertama. Penerbit: BPFE Yogyakarta. Anggota IKAPI No. 008. Spash, C.L. 1997. Ethics and Environment Attitudes with Implication for Economic Valuation. Journal of Environmental Management 50:403-416. Suara Merdeka. 2004. Tahun 2020 Indonesia Kekurangan Air Bersih. Senin, 13 Desember 2004. Internet : www.google.com Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara.2010. Debit Rata-Rata Sungai Konaweha Tahun 1993 – 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara. Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara.2009. Rekapitulasi Data Curah Hujan Bulanan Stasiun Hujan Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Sulistiyono, N. 2006. Penilaian Ekonomi pada Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 Studi Kasus di DAS Ciliwung Hulu, DAS Ciesek, Kabupaten Bogor. Thesis Magister Sains Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Suratiah, K. 2006. Ilmu Usahatani. Penerbit: Penebar Swadaya Jakarta. Jakarta, Indonesia. Swanson, T.M. 1996. The Economic of Environment Degradation, The Tragedy for the Commons. UNEP. Edward Elgar Publishing. Cheltenham - UK, Brookfield - USA. Tang, Z., B.A. Engel, B.C. Pijanowski, and K.J. Lim. 2005. Forecasting land use change and its environmental impact at a watershed scale. Journal of Envoronmental Management, 76 2005 35 – 45. Published by: Elsevier, Ltd. All rights reserved. Doc:10.1016j.jenvman. 2005.01.006. Taufik, Y., A. Nikoyan, dan La Baco, 2001. Studi Pengembangan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Kabupaten Kolaka. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kolaka dengan Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Tietenberg, T. 1992. Environmental Economics and Policy. Harpers Collins College Publisher Inc. New York. UNEP and FAO. 1999. The Future of Our Land. Facing the Challenge. United Nation Environment Programme. Food And Agriculture Organization, Rome, Italy. United Nation Development Programme UNDP dan Kementerian Lingkungan Hidup KLH, 1998. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Dampak, Faktor dan Evaluasi. Jilid I. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Jakarta. 170 Van Noordwijk, M., F. Agus, D. Suprayogo, K. Hairiah, G. Pasha, B. Verbist, dan Farida. 2004. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai DAS. Prosiding Lokakarya di PadangSingkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre. Verburg, P, G.H.J. de Koning, K. Kok, A. Veldkamp, and J. Bouma. 1999. A spatial explicit allocation procedure for modelling the pattern of land use change based upon actual land use. Ecological Modelling 116 1999 45 – 61. Elsevier, Wageningen, Netherlands. Verburg, P.H, T. Veldkamp, and J.P. Lesschen. 2011. Exercises for the CLUE-S model. The CLUE Modelling Framework. Ecological Modelling. Elsevier, Wageningen, Netherlands. Wainger, L.A., J. Rayburn, and E. W. Price. 2007. Review of Land Use Change Models Applicability to Projections of Future Energy Demand in the Southeast United States. University of Maryland, Center for Environmental Science Chesapeake Biological Laboratory, USA. Ward, A.D., W.J. Elliot. 1992. Environmental Hydrology. Lewis Publisher, Boca Raton, New York, London, Tokyo. World Health Organization WHO. 2009. Jumlah Air Minimal Kebutuhan Rumah Tangga. Technical Notes for Emergencies, Technical Note No. 9. WHO Regional Office for South-East Asia. Wood, E.C., G.G. Tappan, and A. Hadj. 2004. Undertanding the drivers of Agricultural land use change in South-Central Senegal. Journal of Arid Environments. Published by Elsevier, Ltd. All right reserved. Doc: 10.106. Yunus, L. 2005. Metode Penilaian Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan Studi Kasus di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Disertasi Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Yusnaini, S., A. Niswati, M.A.S. Arif, and M. Nonaka. 2008. The Changes of Earthworm Population and Chemical Properties of Tropical Soil Under Different Land Use System. Journal of Tropical Soils, Vol. 13, No. 2, 2008. Yuwono, S.B. 2011. Alternatif Pengembangan Sumberdaya Air Berkelanjutan DAS Way Betung Kota Bandar Lampung. Disertasi Doktor pada Program Studi Pengelolaan DAS Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 171 Lampiran 1. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1991 Lampiran 2. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1999 172 Lampiran 3. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 2011 Lampiran 4. Proporsi Luas Masing-masing Jenis Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu Tahun 1991-2011 Penggunaan Lahan Luas 1991 1999 2001 2004 2005 2006 2008 2011 Hutan 66,6 55,3 51,3 50,1 49,2 48,8 47,0 43,6 Perkebunan 26,0 34,8 38,3 39,0 39,5 39,6 40,0 42,0 Kebun Campuran 3,0 3,8 4,0 4,5 4,7 4,8 5,5 6,5 Semak Belukar 1,7 2,6 2,9 3,0 3,0 3,1 3,3 3,5 Tegalan 0,7 1,2 1,3 1,5 1,7 1,8 2,1 2,5 Lahan Terbuka 0,6 1,1 0,7 0,4 0,3 0,2 0,5 0,6 Permukiman 0,6 0,9 0,9 1,0 1,0 1,0 1,1 1,3 Sawah 0,2 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,8 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Keterangan: Luas DAS Konaweha Hulu adalah 337.992 hektar. 173 Lampiran 5. Analisis Keragaman Anova Pengaruh Waktu terhadap Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu Analysis of Variance x, y1 Source DF SS MS F P Regression 1 177.012 177.012 17.01 0.054 Error 2 20.815 10.408 Total 3 197.827 Analysis of Variance x, y2 Source DF SS MS F P Regression 1 100.801 100.801 13.36 0.067 Error 2 15.087 7.544 Total 3 115.888 Analysis of Variance x, y3 Source DF SS MS F P Regression 1 2.1125 2.1125 281.67 0.004 Error 2 0.0150 0.0075 Total 3 2.1275 Analysis of Variance x, y4 Source DF SS MS F P Regression 1 1.0125 1.0125 15.00 0.061 Error 2 0.1350 0.0675 Total 3 1.1475 Lampiran 6. Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Tahun 2011-2050 Periode Hutan Perkebunan Kebun Campuran Semak Belukar 5 1991-1995 66.6 26.0 3.0 1.7 10 1996-2000 55.3