Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara

(1)

ALOKASI OPTIMAL PENGGUNAAN SUMBERDAYA

LAHAN KRITIS DENGAN SISTEM AGROFORESTRI

UNTUK PENINGKATAN ROSOT KARBON

DI SULAWESI TENGGARA

RR. CITRA RAPATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

ALOKASI OPTIMAL PENGGUNAAN SUMBERDAYA LAHAN KRITIS UNTUK PENINGKATAN ROSOT KARBON DI SULAWESI TENGGARA

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2008

Rr. Citra Rapati


(3)

ABSTRAK

RR. CITRA RAPATI. 2008. Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua dan RIZALDI BOER sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Perubahan iklim adalah fenomena global akibat Gas Rumah Kaca (GRK) yang tengah menjadi perhatian dunia pada saat ini karena merupakan ancaman serius yang dampaknya meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, berubahnya dinamika serangan hama dan penyakit tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil dan punahnya keanekaragaman hayati. Untuk mengatasi permasalahan ini secara bersama-sama disepakati Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang kemudian tindak lanjut pengaturan pelaksanaan komitmen tersebut dituangkan dalam Protokol Kyoto. Salah sat mekanisme yang mengatur penurunan emisi GRK dalam Protokol Kyoto ialah mekanisme pembangunan bersih yang biasa disebut dengan Clean Development Mechanism (CDM). Indonesia memiliki potensi cukup besar untuk menurunkan emisi GRK lewat CDM, salah satunya di sektor kehutanan. Salah satu wilayah yang cukup potensial dan cukup luas untuk pelaksanaan kegiatan CDM kehutanan ialah daerah sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), Sulawesi Tenggara.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui alokasi optimal penggunaan sumberdaya lahan kritis dengan sistem agroforestri untuk peningkatan rosot karbon di Sulawesi Tenggara. Untuk menjawab tujuan tersebut, perlu diketahui luas lahan layak Kyoto untuk ikut dalam kegiatan CDM, kondisi sistem pertanian yang ada, pemilihan alternatif sistem agroforestri dengan pendekatan analisis finansial dan analisis sensitivitas serta mengetahui berapa alokasi sumberdaya lahan optimal digunakan analisis program tujuan ganda.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa daerah sekitar TNRAW memiliki potensi lahan layak Kyoto seluas 45 416 ha. Sistem pertanian yang ada hanya memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar TNRAW sebesar 27.81% per tahun. Alternatif sistem agroforestri yang paling layak secara finansial adalah kombinasi tanaman Jati (Tectona grandis sp.), Mete (Anacardium occidentale), Jagung (Zea mays L.) dan Pisang (Musa sp.) pada tiap kelas lereng. Analisis sensitivitas yang dilakukan menunjukkan parameter yang paling berpengaruh terhadap perubahan NPV dan BCR adalah suku bunga dan luas lahan. Kendala implementasi alternatif sistem agroforestri potensial diantaranya keuangan, ketersediaan tenaga kerja dan aksesibilitas. Hasil analisis program tujuan ganda menunjukkan solusi optimal baru menggunakan 13.1% dari lahan yang tersedia.

Kata kunci : CDM, perubahan iklim, gas rumah kaca, lahan kritis and sistem agroforestri


(4)

ABSTRACT

RR. CITRA RAPATI. 2008. Optimum Allocation of Critical Land Resources Through Agroforestry System to Enhance Carbon Sink in South East Sulawesi (BONAR M. SINAGA as Chairman and RIZALDI BOER as Member of the Advisory Committe)

Climate change is a global phenomenon caused by the increase of Green House Gases (GHG) concentration in the atmosphere. This has been a world concern as it has serious threat to human kind. Climate change may lead to decrease of food production, water shortage, increase of sea level, etc. To cope with this problem, parties under United National agreed to establish a climate change convention (UNFCCC). Further arrangement for the implementation of the commitment under the convention is elaborated in Kyoto Protocol. One of mechanisms under the Kyoto Protocol that regulate GHG emissions by industrialized countries is clean development mechanism (CDM). Indonesia has big potential to implement CDM activities on forestry sector. One of potential region in Indonesia for implementing forestry CDM is areas surrounding Rawa Aopa Watumohai National Park (RAWNP), South East Sulawesi.

The objective of the study in general is to assess optimum allocation of critical land resources for the development of agroforestry system in enhancing carbon sink in South East Sulawesi. In this regards, it is important to know the area of eligible land for implementing carbon sink project under CDM and also existing agriculture system, and potential agroforestry systems to be implemented in the study area. The selection of potential agroforestry system suitable for the study area is facilitated by using financial and sensitivity analysis approaches. The optimum allocation of critical land resources for the carbon sink project was assessed using the Multiple Goal Programming.

The results of this study suggest that eligible area for carbon sink project under CDM near RAWNP is about 45 416 ha. The current agricultural system can cover only about 27.81% of the total community need per year. The most appropriate agroforestry system based on the financial analysis approach is a system that combines teak (Tectona grandis sp.), cashew (Anacardium occidentale), corn (Zea mays L.) and banana (Musa sp.) in each land use system. From sensitivity analysis, it was suggested that the most significant parameters that affect NPV and BCR are interest rate and land size. The main constraints for the the implementation of the alternative agroforestry system are financial, human resources and accesibility. From analysis of Multiple Goal Programming, it was indicated that optimal solution only use about 13.1% of the available land .

Keywords : CDM, climate change, green house gases, critical land and agroforestry system


(5)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB


(6)

ALOKASI OPTIMAL PENGGUNAAN SUMBERDAYA

LAHAN KRITIS DENGAN SISTEM AGROFORESTRI

UNTUK PENINGKATAN ROSOT KARBON

DI SULAWESI TENGGARA

RR. CITRA RAPATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Judul Tesis : Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara

Nama Mahasiswa : Rr. Citra Rapati NRP : A151030051

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Disetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir.Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSi Ketua Anggota

Diketahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir.Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Ujian : 24 Juli 2008 Tanggal Lulus :


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN .... ... .. viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Kerangka Pemikiran ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Konvensi Perubahan Iklim ... 13

2.2. Clean Development Mechanism (CDM) ... 14

2.3. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) ... 19

2.4. Agroforestri ... 21

2.5. Analisis Kelayakan Proyek dan Analisis Sensitivitas ... 30

2.6. Program Tujuan Ganda ... 32

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 36

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 36

3.2. Batasan Penelitian ... 36

3.3. Metode Pengambilan Sampel ... 36

3.4. Penentuan Data dan Sumber Data ... 37

3.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 38

3.5.1. Inventarisasi Lahan Layak untuk CDM ... 38

3.5.2. Identifikasi Sistem Pertanian Lokal dan Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Masyarakat ... 38

3.5.3. Alternatif Sistem Agroforestri Potensial dan Analisis Kelayakan Finansialnya ... 38


(9)

ii

3.5.4. Identifikasi Kendala-Kendala Implementasi Alternatif Sistem

Agroforestri Potensial ... 41

3.5.5. Analisis Optimasi Penggunaan Lahan ... 41

3.5.5.1. Persamaan-Persamaan Fungsi Program Tujuan Ganda ... 41

3.5.5.2. Asumsi-Asumsi Penyusun Koefisien Input Analisis Program Tujuan Ganda ... 43

3.5.5.3. Analisis Postoptimal ... 46

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 49

4.1. Kondisi Biofisik ... 49

4.1.1. Kondisi Tanah ... 49

4.1.2. Keadaan Iklim ... 49

4.2. Kondisi Sosial Ekonomi ... 50

4.2.1. Kependudukan ... 50

4.2.2. Penggunaan Lahan ... 51

4.2.3. Tingkat Pendidikan ... 52

4.2.4. Mata Pencaharian ... 53

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

5.1. Luas Lahan Layak Kyoto di Dalam dan Sekitar TNRAW Berdasarkan Kelas Kelerengan ... 54

5.2. Sistem Pertanian dan Perekonomian Masyarakat di Sekitar TNRAW ... 59

5.2.1. Pendapatan Masyarakat dari Sektor Pertanian dan Peranannya Terhadap Pendapatan Total Masyarakat ... 60

5.2.2. Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Sekitar TNRAW ... 64

5.3. Alternatif Sistem Agroforestri Potensial untuk Dikembangkan di Dalam dan Sekitar TNRAW ... 66

5.3.1. Kelayakan Sistem Agroforestri di Sekitar TNRAW ... 72

5.3.2. Dampak Perubahan Potensi Karbon, Harga Karbon, Biaya Transaksi, Tingkat Suku Bunga dan Luas Lahan terhadap Kelayakan Usaha ... 79

5.4. Kendala-kendala Implementasi Alternatif Sistem Agroforestri Potensial .... 91

5.5. Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri di Sekitar TNRAW ... 92


(10)

iii

5.5.1. Optimalisasi Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis ... 92

5.5.2. Peningkatan Initial Front Payment (IFP) ... 98

5.5.3. Peningkatan Initial Front Payment (IFP) dan Ketersediaan Tenaga Kerja ... 102

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 108

6.1. Kesimpulan ... 108

6.2. Saran ... . 109

DAFTAR PUSTAKA ... . 110


(11)

ALOKASI OPTIMAL PENGGUNAAN SUMBERDAYA

LAHAN KRITIS DENGAN SISTEM AGROFORESTRI

UNTUK PENINGKATAN ROSOT KARBON

DI SULAWESI TENGGARA

RR. CITRA RAPATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

ALOKASI OPTIMAL PENGGUNAAN SUMBERDAYA LAHAN KRITIS UNTUK PENINGKATAN ROSOT KARBON DI SULAWESI TENGGARA

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2008

Rr. Citra Rapati


(13)

ABSTRAK

RR. CITRA RAPATI. 2008. Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua dan RIZALDI BOER sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Perubahan iklim adalah fenomena global akibat Gas Rumah Kaca (GRK) yang tengah menjadi perhatian dunia pada saat ini karena merupakan ancaman serius yang dampaknya meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, berubahnya dinamika serangan hama dan penyakit tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil dan punahnya keanekaragaman hayati. Untuk mengatasi permasalahan ini secara bersama-sama disepakati Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang kemudian tindak lanjut pengaturan pelaksanaan komitmen tersebut dituangkan dalam Protokol Kyoto. Salah sat mekanisme yang mengatur penurunan emisi GRK dalam Protokol Kyoto ialah mekanisme pembangunan bersih yang biasa disebut dengan Clean Development Mechanism (CDM). Indonesia memiliki potensi cukup besar untuk menurunkan emisi GRK lewat CDM, salah satunya di sektor kehutanan. Salah satu wilayah yang cukup potensial dan cukup luas untuk pelaksanaan kegiatan CDM kehutanan ialah daerah sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), Sulawesi Tenggara.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui alokasi optimal penggunaan sumberdaya lahan kritis dengan sistem agroforestri untuk peningkatan rosot karbon di Sulawesi Tenggara. Untuk menjawab tujuan tersebut, perlu diketahui luas lahan layak Kyoto untuk ikut dalam kegiatan CDM, kondisi sistem pertanian yang ada, pemilihan alternatif sistem agroforestri dengan pendekatan analisis finansial dan analisis sensitivitas serta mengetahui berapa alokasi sumberdaya lahan optimal digunakan analisis program tujuan ganda.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa daerah sekitar TNRAW memiliki potensi lahan layak Kyoto seluas 45 416 ha. Sistem pertanian yang ada hanya memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar TNRAW sebesar 27.81% per tahun. Alternatif sistem agroforestri yang paling layak secara finansial adalah kombinasi tanaman Jati (Tectona grandis sp.), Mete (Anacardium occidentale), Jagung (Zea mays L.) dan Pisang (Musa sp.) pada tiap kelas lereng. Analisis sensitivitas yang dilakukan menunjukkan parameter yang paling berpengaruh terhadap perubahan NPV dan BCR adalah suku bunga dan luas lahan. Kendala implementasi alternatif sistem agroforestri potensial diantaranya keuangan, ketersediaan tenaga kerja dan aksesibilitas. Hasil analisis program tujuan ganda menunjukkan solusi optimal baru menggunakan 13.1% dari lahan yang tersedia.

Kata kunci : CDM, perubahan iklim, gas rumah kaca, lahan kritis and sistem agroforestri


(14)

ABSTRACT

RR. CITRA RAPATI. 2008. Optimum Allocation of Critical Land Resources Through Agroforestry System to Enhance Carbon Sink in South East Sulawesi (BONAR M. SINAGA as Chairman and RIZALDI BOER as Member of the Advisory Committe)

Climate change is a global phenomenon caused by the increase of Green House Gases (GHG) concentration in the atmosphere. This has been a world concern as it has serious threat to human kind. Climate change may lead to decrease of food production, water shortage, increase of sea level, etc. To cope with this problem, parties under United National agreed to establish a climate change convention (UNFCCC). Further arrangement for the implementation of the commitment under the convention is elaborated in Kyoto Protocol. One of mechanisms under the Kyoto Protocol that regulate GHG emissions by industrialized countries is clean development mechanism (CDM). Indonesia has big potential to implement CDM activities on forestry sector. One of potential region in Indonesia for implementing forestry CDM is areas surrounding Rawa Aopa Watumohai National Park (RAWNP), South East Sulawesi.

The objective of the study in general is to assess optimum allocation of critical land resources for the development of agroforestry system in enhancing carbon sink in South East Sulawesi. In this regards, it is important to know the area of eligible land for implementing carbon sink project under CDM and also existing agriculture system, and potential agroforestry systems to be implemented in the study area. The selection of potential agroforestry system suitable for the study area is facilitated by using financial and sensitivity analysis approaches. The optimum allocation of critical land resources for the carbon sink project was assessed using the Multiple Goal Programming.

The results of this study suggest that eligible area for carbon sink project under CDM near RAWNP is about 45 416 ha. The current agricultural system can cover only about 27.81% of the total community need per year. The most appropriate agroforestry system based on the financial analysis approach is a system that combines teak (Tectona grandis sp.), cashew (Anacardium occidentale), corn (Zea mays L.) and banana (Musa sp.) in each land use system. From sensitivity analysis, it was suggested that the most significant parameters that affect NPV and BCR are interest rate and land size. The main constraints for the the implementation of the alternative agroforestry system are financial, human resources and accesibility. From analysis of Multiple Goal Programming, it was indicated that optimal solution only use about 13.1% of the available land .

Keywords : CDM, climate change, green house gases, critical land and agroforestry system


(15)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB


(16)

ALOKASI OPTIMAL PENGGUNAAN SUMBERDAYA

LAHAN KRITIS DENGAN SISTEM AGROFORESTRI

UNTUK PENINGKATAN ROSOT KARBON

DI SULAWESI TENGGARA

RR. CITRA RAPATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(17)

Judul Tesis : Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara

Nama Mahasiswa : Rr. Citra Rapati NRP : A151030051

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Disetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir.Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSi Ketua Anggota

Diketahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir.Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Ujian : 24 Juli 2008 Tanggal Lulus :


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN .... ... .. viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Kerangka Pemikiran ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Konvensi Perubahan Iklim ... 13

2.2. Clean Development Mechanism (CDM) ... 14

2.3. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) ... 19

2.4. Agroforestri ... 21

2.5. Analisis Kelayakan Proyek dan Analisis Sensitivitas ... 30

2.6. Program Tujuan Ganda ... 32

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 36

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 36

3.2. Batasan Penelitian ... 36

3.3. Metode Pengambilan Sampel ... 36

3.4. Penentuan Data dan Sumber Data ... 37

3.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 38

3.5.1. Inventarisasi Lahan Layak untuk CDM ... 38

3.5.2. Identifikasi Sistem Pertanian Lokal dan Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Masyarakat ... 38

3.5.3. Alternatif Sistem Agroforestri Potensial dan Analisis Kelayakan Finansialnya ... 38


(19)

ii

3.5.4. Identifikasi Kendala-Kendala Implementasi Alternatif Sistem

Agroforestri Potensial ... 41

3.5.5. Analisis Optimasi Penggunaan Lahan ... 41

3.5.5.1. Persamaan-Persamaan Fungsi Program Tujuan Ganda ... 41

3.5.5.2. Asumsi-Asumsi Penyusun Koefisien Input Analisis Program Tujuan Ganda ... 43

3.5.5.3. Analisis Postoptimal ... 46

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 49

4.1. Kondisi Biofisik ... 49

4.1.1. Kondisi Tanah ... 49

4.1.2. Keadaan Iklim ... 49

4.2. Kondisi Sosial Ekonomi ... 50

4.2.1. Kependudukan ... 50

4.2.2. Penggunaan Lahan ... 51

4.2.3. Tingkat Pendidikan ... 52

4.2.4. Mata Pencaharian ... 53

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

5.1. Luas Lahan Layak Kyoto di Dalam dan Sekitar TNRAW Berdasarkan Kelas Kelerengan ... 54

5.2. Sistem Pertanian dan Perekonomian Masyarakat di Sekitar TNRAW ... 59

5.2.1. Pendapatan Masyarakat dari Sektor Pertanian dan Peranannya Terhadap Pendapatan Total Masyarakat ... 60

5.2.2. Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Sekitar TNRAW ... 64

5.3. Alternatif Sistem Agroforestri Potensial untuk Dikembangkan di Dalam dan Sekitar TNRAW ... 66

5.3.1. Kelayakan Sistem Agroforestri di Sekitar TNRAW ... 72

5.3.2. Dampak Perubahan Potensi Karbon, Harga Karbon, Biaya Transaksi, Tingkat Suku Bunga dan Luas Lahan terhadap Kelayakan Usaha ... 79

5.4. Kendala-kendala Implementasi Alternatif Sistem Agroforestri Potensial .... 91

5.5. Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri di Sekitar TNRAW ... 92


(20)

iii

5.5.1. Optimalisasi Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis ... 92

5.5.2. Peningkatan Initial Front Payment (IFP) ... 98

5.5.3. Peningkatan Initial Front Payment (IFP) dan Ketersediaan Tenaga Kerja ... 102

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 108

6.1. Kesimpulan ... 108

6.2. Saran ... . 109

DAFTAR PUSTAKA ... . 110


(21)

iv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Luas Lahan yang Tersedia pada Tahun 1990 dan 2000 untuk Kegiatan

Penambatan Karbon ... 4

2. Tipe Kegiatan Penambatan Karbon Hutan dan Lahan yang Tersedia (dihitung dari data tahun 1990) ... 18

3. Kandungan Karbon di Lima Jenis Pool Karbon pada Sistem Agroforestri Kebun (home garden agroforestry) Umur Rata-rata 13.4 Tahun ... 31

4. Jenis Data dan Sumber Data pada Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara ... 37

5. Analisis Postoptimal Alokasi Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara ... 46

6. Jumlah Responden yang Diwawancarai di Desa Contoh ... 51

7. Statistik Penggunaan Lahan di Kab. Bombana dan Konawe Selatan ... 52

8. Statistik Pendidikan di Kecamatan Contoh di Sekitar TNRAW ... 53

9. Jenis-jenis Mata Pencaharian Masyarakat di Sekitar TNRAW ... 53

10. Luas Lahan Berdasarkan Kelas Lereng di Dalam dan Sekitar TNRAW ... 55

11. Luas Lahan Layak Kyoto di Dalam dan Sekitar TNRAW Tahun 2001 ... 57

12. Luas Lahan Kyoto Berdasarkan Kelas Kelerengan Dalam dan Sekitar TNRAW ... 58

13. Aktivitas Ekonomi Utama Masyarakat di Sekitar TNRAW ... 59

14. Sistem Pertanian di Sekitar TNRAW ... 60

15. Sumber-Sumber Pendapatan Masyarakat dan Kontribusinya dalam Pendapatan Total ... 63

16. Kontribusi Pendapatan Sektor Pertanian terhadap Pendapatan Total ... 64


(22)

v

18. Persentase Pendapatan Total Rata-rata Terhadap Pengeluaran Total Rata-rata Pada Tahun 2004 ... 66 19. Luas Lahan Layak Kyoto di Sekitar TNRAW Berdasarkan Kelas

Kelerengan ... 68 20. Klasifikasi Jenis Tanaman Preferensi Masyarakat ... 68 21. Potensi Rosot Karbon Sistem Agroforestri per Hektar Selama 30 Tahun ... 73 22. Pendapatan, Biaya dan Keuntungan Pengusahaan Pola Tanam dengan

Sistem Agroforestri ... 74 23. Pola Tanam Terbaik pada Tiap Kelas Lereng Berdasarkan Keuntungan ... 76 24. Pola Tanam Kurang Baik pada Tiap Kelas Lereng Berdasarkan

Keuntungan ... 77 25. Analisis Finansial Pengusahaan Pola Tanam dengan Sistem Agroforestri

di Sekitar TNRAW ... 79 26. Potensi Rosot Karbon Tanaman Penyusun Sistem Agroforestri ... 81 27. Persentase Perubahan Nilai NPV dan BCR Akibat Perbedaan Potensi

Karbon ... 82 28. Persentase Perubahan Nilai NPV dan BCR Akibat Perubahan Harga

Karbon ... 83 29. Persentase Perubahan Nilai NPV dan BCR Akibat Perubahan Biaya

Transaksi ... ... 84 30. Analisis Sensitivitas Pengaruh Perubahan Tingkat Suku Bunga terhadap

NPV ... 86 31. Analisis Sensitivitas Pengaruh Perubahan Tingkat Suku Bunga terhadap

BCR ... 87 32. Analisis Sensitivitas Pengaruh Perubahan Luas Lahan terhadap NPV ... 89 33. Analisis Sensitivitas Pengaruh Perubahan Luas Lahan terhadap BCR ... 90 34. Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem

Agroforetri di Sekitar TNRAW ... 94 35. Pencapaian Tujuan Pendapatan dan Jasa Lingkungan Rosot Karbon di


(23)

vi

36. Nilai Sisa Pemakaian Sumberdaya dalam Alokasi Optimal Lahan Kritis ... 97 37. Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem

Agroforestri di Sekitar TNRAW dengan Peningkatan Initial Front Payment (IFP) ... 99 38. Pencapaian Tujuan Pendapatan dan Jasa Lingkungan Rosot Karbon di

Sekitar TNRAW dengan Peningkatan Initial Front Payment (IFP) ... 100 39. Nilai Sisa Pemakaian Sumberdaya dalam Alokasi Optimal Lahan Kritis

dengan Peningkatan Initial Front Payment (IFP) ... 101 40. Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem

Agroforestri di Sekitar TNRAW dengan Peningkatan Initial Front Payment (IFP) dan Tenaga Kerja ... 103 41. Pencapaian Tujuan Pendapatan dan Jasa Lingkungan Rosot Karbon di

Sekitar TNRAW dengan Peningkatan Initial Front Payment (IFP) dan Tenaga Kerja ... 104 42. Nilai Sisa Pemakaian Sumberdaya dalam Alokasi Optimal Lahan Kritis


(24)

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Kerangka Pemikiran : Proses Penelitian Alokasi Optimal Penggunaan

Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara ... 10 2. Definisi Hutan Sesuai SK Menteri Kehutanan No. 14/2004 dan

Kesepakatan COP 8 untuk Kriteria Pelaksanaan Proyek CDM ... 54 3. Peta Kelas Lereng di Dalam dan Sekitar TNRAW Tahun 2001 ... 56 4. Peta Lahan Layak yoto di Dalam dan Sekitar TNRAW ... 57 5. Peta Lahan Layak Kyoto Berdasarkan Kelas Lereng di Dalam dan

Sekitar TNRAW ... 58 6. Persentase Responden Menurut Jenis Tanaman Tahunan yang Biasa

Ditanam ... 67 7. Pemanfaatan Lahan untuk Kelas Lereng I ... 70 8. Pemanfaatan Lahan untuk Kelas Lereng II ... 71 9. Pemanfaatan Lahan untuk Kelas Lereng III ... 71 10. Pemanfaatan Lahan untuk Kelas Lereng IV ... 72 11. Persentase Permasalahan Berdasarkan Informasi Responden ... 91 12. Persentase Kendala Implementasi Proyek CDM di Sekitar TNRAW ... 92


(25)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng I dengan

Kombinasi Jati, Kakao, Jagung dan Padi gogo ... 114 2. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng I dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 117 3. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng I dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Pisang ... 120 4. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng I dengan

Kombinasi Akasia, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 123 5. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng II dengan

Kombinasi Jati, Kakao, Jagung dan Padi gogo ... 126 6. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng II dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 129 7. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng II dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Pisang ... 132 8. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng II dengan

Kombinasi Akasia, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 135 9. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng III dengan

Kombinasi Jati, Kakao, Jagung dan Padi gogo ... 138 10. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng III dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 141 11. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng III dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Pisang ... 144 12. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng III dengan

Kombinasi Akasia, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 147 13. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng IV dengan

Kombinasi Jati, Kakao, Jagung dan Padi gogo ... 150 14. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng IV dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 153 15. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng IV dengan


(26)

ix

16. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng IV dengan

Kombinasi Akasia, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 159 17. Analisis Sensitivitas Pengaruh Potensi Karbon Terhadap NPV ... 162 18. Analisis Sensitivitas Pengaruh Potensi Karbon Terhadap BCR ... 163

19. Analisis Sensitivitas Pengaruh Harga Karbon Terhadap NPV ... 164

20. Analisis Sensitivitas Pengaruh Harga Karbon Terhadap BCR ... 165 21. Analisis Sensitivitas Pengaruh Biaya Transaksi Terhadap NPV ... 166

22. Analisis Sensitivitas Pengaruh Biaya Transaksi Terhadap BCR ... 167 23. Analisis Sensitivitas Pengaruh Tingkat Suku Bunga Terhadap NPV ... 168

24. Analisis Sensitivitas Pengaruh Tingkat Suku Bunga Terhadap BCR ... 169 25. Analisis Sensitivitas Pengaruh Luas Lahan Layak Kyoto Terhadap

NPV dan BCR ... 170 26. Input dan Output Analisis Program Tujuan Ganda Solusi Optimal

Basis ... 171 27. Input dan Output Analisis Postoptimal Anggaran 35% Initial Front

Payment (IFP) ... 173 28. Input dan Output Analisis Postoptimal Anggaran 50% Initial Front

Payment (IFP) ... 175 29. Input dan Output Analisis Postoptimal Anggaran 35% Initial Front

Payment (IFP) dan Peningkatan Tenaga Kerja 20% ... 177

30. Input dan Output Analisis Postoptimal Anggaran 50% Initial Front

Payment (IFP) dan Peningkatan Tenaga Kerja 50% ... 179 31. Input dan Output Analisis Postoptimal Anggaran 100% Initial Front

Payment (IFP) dan Peningkatan Tenaga Kerja 100% ... 181 32. Input dan Output Analisis Postoptimal Anggaran 200% Initial Front


(27)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama Gas Rumah Kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO2) yang memiliki kontribusi terbesar

berasal dari negara industri. Gas ini memiliki kemampuan menyerap panas yang berasal dari radiasi matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi. Penyerapan ini telah menyebabkan pemanasan atmosfer atau kenaikan suhu dan perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, dengan jumlah penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi yang terbatas, Indonesia berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim bagi lingkungan dan kehidupan bangsa Indonesia. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil dan punahnya keanekaragaman hayati (Kementerian Lingkungan Hidup 2004).

Perubahan iklim merupakan sebuah ancaman serius. Karena itu diperlukan usaha bersama yang harus dilakukan secara global. Untuk itu dibentuklah sebuah konvensi yang dikenal dengan Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) untuk Perubahan Iklim, tahun 1992 yang dikenal dengan sebutan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Tujuan utama UNFCCC adalah menstabilkan konsentrasi GRK di lapisan atmosfer pada tingkat yang aman bagi sistem iklim. Karena konvensi ini sifatnya tidak mengikat dan


(28)

2

tidak ada target waktu untuk pencapaian penurunan emisi maka pada pertemuan tahunan ketiga tahun 1997 disepakati Protokol Kyoto (Murdiyarso 2003).

Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim mengatur penurunan emisi GRK akibat kegiatan manusia sehingga dapat menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer dan tidak membahayakan sistem iklim bumi. Protokol Kyoto menetapkan aturan mengenai tata cara, target, mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta prosedur penaatan dan penyelesaian sengketa (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004).

Negara-negara maju (Annex 1) telah diwajibkan untuk melakukan kegiatan pengurangan dampak (mitigasi) perubahan iklim dengan menekan emisi CO2 sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode komitmen I tahun 2008-2012. Di dalam Protokol Kyoto terdapat tiga mekanisme fleksibilitas yang dapat digunakan untuk membantu negara-negara Annex B mengurangi emisi GRK. Selain upaya domestik, ketiga mekanisme tersebut adalah Joint Implementation (JI), Emissions Trading (ET), dan Clean Development Mechanism (CDM).

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tim di bawah koordinasi Kementrian Lingkungan Hidup, potensi Indonesia untuk melakukan kegiatan CDM cukup tinggi. Diperkirakan potensi Indonesia untuk melakukan penurunan emisi dan menyerap karbon mencapai 175 juta ton. Bila satu ton karbon dihargai 2 dollar AS (harga minimal), total penerimaan sektor industri dan kehutanan Indonesia melalui kegiatan ini bisa mencapai 350 juta dollar AS. Jumlah sebesar itu terbagi dua, yaitu 125 juta ton dari sektor energi dan industri, serta 50 juta ton dari sektor kehutanan. Secara umum, CDM merupakan kerangka yang serta


(29)

3

memungkinkan negara maju berinvestasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Di sisi lain, negara berkembang berkepentingan menjaga program pembangunan berkelanjutan (Kementerian Lingkungan Hidup 2001).

Menurut Murdiyarso (2003), Indonesia dengan luas hutan terbesar ketiga di dunia, bisa berperan penting untuk mengurangi emisi dunia melalui kegiatan carbon sink. Hal ini bisa terjadi jika hutan yang ada dijaga kelestariannya dan melakukan penanaman (afforestasi) pada kawasan bukan hutan (degraded land). Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang rusak (degraded forest) dengan cara penghutanan kembali (reforestasi). Afforestasi bisa dilakukan di kawasan yang bukan merupakan hutan sejak (base year) 50 tahun lalu sedangkan reforestasi pada kawasan hutan yang dikategorikan rusak hingga 31 Desember 1989 (atau sejak tahun 1990).

Berdasarkan ketentuan di atas maka lahan yang layak untuk CDM ialah (i) lahan yang sejak 50 tahun digunakan untuk kegiatan non-kehutanan seperti kegiatan pertanian, dan (ii) lahan hutan yang sejak 31 Desember 1989 sudah bukan merupakan hutan. Dengan demikian maka sebelum proyek CDM dilaksanakan, pengusul proyek harus menyediakan dokumen yang mendukung bahwa lahan yang akan digunakan memenuhi salah satu dari kriteria di atas. Pendekatan yang paling baik ialah membuktikan bahwa lahan yang digunakan memenuhi kriteria

Hasil National Strategy Study (MOE 2002) menunjukkan bahwa lahan-lahan yang diperkirakan potensial untuk CDM (lahan-lahan Kyoto) ialah lahan-lahan-lahan-lahan terlantar atau lahan kritis yang sudah ada sejak tahun 1990 baik dalam bentuk


(30)

4

alang-alang, lahan terbuka atau semak belukar, atau lahan lahan pertanian yang sudah diusahakan sejak 50 tahun yang lalu. Sebagian lahan bekas perladangan berpindah yang mengalami degradasi kemungkinan juga memenuhi kriteria lahan Kyoto. Dengan pertimbangan tersebut, kemungkinan luas lahan yang layak untuk CDM mencapai 30 juta ha (Tabel 1).

Tabel 1. Luas Lahan yang Tersedia pada Tahun 1990 dan 2000 untuk Kegiatan Penambatan Karbon

No. Jenis lahan 1990

Luas (Ha)

2000 Luas (Ha)

1. Lahan kritis1 4 898 000 15 411 798

2. Lahan pertanian dan sawah2 8 112 883 8 106 356

3. Lahan bera/terlantar3 9 823 175 10 260 492

4. Alang-alang1 3 219 648 2 424 469

5. Bekas perladangan berpindah/pekarangan/kebun3 12 718 787 12 768 711

Total lahan4 38 772 493 48 971 826

Sumber: MOE (2002). 1Berdasarkan definisi Kyoto kemungkinan besar lahan-lahan tersebut bukan hutan sehingga layak dijadikan sebagai lahan untuk kegiatan CDM. 2Sebagian besar lahan ini 50 tahun sebelumnya mungkin masih berupa hutan; 3Lahan-lahan tersebut berpotensi untuk berubah kembali menjadi hutan secara alami sehingga menjadi tidak layak untuk kegiatan CDM. 4Ada kemungkinan bahwa sebagian lahan ini saat ini sudah kembali menjadi hutan.

Kurang memadainya kondisi keuangan negara saat ini, memerlukan penggalangan sumber pendanaan alternatif guna mendukung pembangunan kehutanan dan perkebunan, dimana rehabilitasi dan konservasi merupakan program prioritas. Clean Development Mechanism (CDM) adalah salah satu sumber pendanaan luar negeri yang dapat diarahkan untuk mendukung program di atas (Kompas 2001).

CDM merupakan peluang memperoleh dana luar negeri untuk mendukung program-program prioritas, penciptaan lapangan kerja dengan adanya investasi baru. Di sektor Kehutanan, CDM dapat diarahkan untuk mendukung:


(31)

5

1. Pembangunan hutan tanaman pada lahan hutan yang rusak, 2. Rehabilitasi areal bekas kebakaran,

3. Rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut, 4. Agroforestri,

5. Penerapan RIL (Reduced Impact Logging), 6. Peningkatan permudaan alam,

7. Perlindungan terhadap forest reserve yang rawan perambahan, 8. Perlindungan terhadap hutan yang rawan kebakaran dan perambahan

Roshetko et al (2002) menyatakan bahwa sistem agroforestri memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan menghasilkan jenis produk yang beragam baik kayu maupun non-kayu. Kandungan biomasanya juga tinggi sehingga pembangunan sistem agroforestri pada lahan-lahan kritis dan terlantar selain dapat memperlambat terjadinya pemanasan global juga memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah

Aktivitas manusia yang telah menyebabkan terjadinya pemanasan global telah berlangsung bertahun-tahun dan apabila tidak ada usaha pengurangan laju pemanasan global dengan peningkatan penyerapan karbon maupun pengurangan pelepasan karbon maka permasalahan lingkungan di dunia seperti banjir, tanah longsor, perubahan iklim dan bencana alam lainnya diperkirakan akan semakin meningkat.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang telah meratifikasi Protokol Kyoto sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan memiliki


(32)

6

sumberdaya lahan yang dapat dikembangkan untuk peningkatan rosot karbon sektor kehutanan melalui CDM sekitar 30 juta ha. Namun demikian kajian lebih detil untuk mengindentifikasi lokasi dan luasan lahan yang layak untuk CDM terutama di wilayah Indonesia Timur, seperti Provinsi Sulawesi Tenggara di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) belum ada. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian tentang ketersediaan lahan kritis yang layak untuk kegiatan CDM di sekitar TNRAW, Sulawesi Tenggara.

Salah satu bentuk kegiatan CDM adalah pembangunan sistem agroforestri. Sistem agroforestri sudah dikenal dan dilakukan oleh sebagian masyarakat desa sekitar TNRAW disamping sistem pertanian lainnya. Namun demikian analisis tentang sistem mana yang paling baik untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta memenuhi aturan CDM juga belum ada. Disamping itu kendala untuk pelaksanaan sistem agroforestry yang potensial seperti modal, ketersediaan tenaga kerja dan pemasaran dan sebagainya juga belum dikaji secara mendalam.

Berdasarkan uraian mengenai permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini maka dapat dirumuskan masalah yaitu :

1. Berapa besar luas lahan kritis yang layak untuk CDM di sekitar TNRAW, Sulawesi Tenggara.

2. Bagaimana sistem pertanian masyarakat lokal dan apakah dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.

3. Bagaimana alternatif sistem agroforestri yang dapat dikembangkan di wilayah TNRAW sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat (preferensi


(33)

7

masyarakat) dan kesesuaian lahan dan apakah layak diusahakan secara finansial.

4. Kendala-kendala apa saja yang dapat menghambat pengembangan alternatif sistem agroforestri yang diajukan.

5. Bagaimana alokasi penggunaan lahan kritis optimal dengan sistem agroforestri untuk peningkatan pendapatan masyarakat dan rosot karbon dengan CDM dengan kendala-kendala yang ada di lapangan.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Inventarisasi lahan kritis yang layak untuk kegiatan CDM di sekitar kawasan TNRAW, Sulawesi Tenggara.

2. Identifikasi sistem pertanian masyarakat lokal di sekitar TNRAW dan struktur pendapatan dan pengeluaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. 3. Menentukan alternatif sistem agroforestri berdasarkan kondisi sosial ekonomi

(preferensi masyarakat) dan kondisi fisik lahan yang mungkin dikembangkan di sekitar TNRAW dan menganalisis kelayakan finansial terhadap alternatif sistem agroforestri.

4. Mengidentifikasi kendala-kendala dalam implementasi alternatif sistem agroforestri .

5. Mengalokasikan penggunaan lahan kritis optimal dengan sistem agroforestri untuk peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan rosot karbon dengan CDM dengan kendala-kendala yang ada.


(34)

8

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan untuk Pemerintah Daerah dalam pengembangan wilayah khususnya untuk rehabilitasi lahan kritis dan peningkatan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.

2. Bagi masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan apabila hasil penelitian dapat diaplikasikan.

3. Bagi dunia akan meningkatkan kualitas lingkungan dan mereduksi efek gas rumah kaca.

1.5. Kerangka Pemikiran

Bumi merupakan tempat makhluk-makhluk ciptaan Tuhan beraktivitas selama berabad-abad dimana manusia sebagai penguasa diberi kebebasan untuk memanfaatkan sumberdaya demi memenuhi kebutuhannya. Tetapi akibat pemanfaatan yang berlebihan maka terjadi ekses-ekses yang merugikan manusia itu sendiri, diantaranya pemanasan global. Pemanasan global terjadi akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di lapisan atmosfer bumi yang dihasilkan dari kegiatan manusia yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara).

Perubahan iklim merupakan sebuah ancaman serius. Kerangka pemikiran penelitian ini yang disajikan pada Gambar 1 menggambarkan salah satu usaha menghadapi perubahan iklim yang sedang terjadi.


(35)

9

Gambar 1. Kerangka Pemikiran : Proses Penelitian Alokasi Optimal Penggunaan Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara

Aktivitas Manusia

Pemanasan Global

UNFCCC

Protokol Kyoto

JI CDM ET

Kehutanan Energi

Inventarisasi Lahan Kritis Layak CDM

Alternatif Sistem Agroforestri untuk Lahan Kritis dan Analisis Kelayakan Finansialnya

Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara Identifikasi Sistem Pertanian Lokal dan

Struktur Pendapatan dan Pengeluaran.

• Kondisi Sosial Ekonomi

• Kondisi

Kesesuaian Lahan

Identifikasi Kendala-kendala dalam Penerapan Alternatif Sistem Agroforestri


(36)

10

Usaha bersama menghadapi ancaman perubahan iklim harus dilakukan oleh semua negara di seluruh dunia. Untuk itu dibentuklah sebuah konvensi yang dikenal dengan Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) untuk Perubahan Iklim, tahun 1992. Dikenal dengan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Pertemuan tahunan ke tiga tahun 1997 menghasilkan perjanjian internasional yang disebut Protokol Kyoto. Di dalam Protokol Kyoto terdapat tiga mekanisme fleksibilitas yang dapat digunakan untuk membantu negara-negara Annex B mengurangi emisi GRK. Selain upaya domestik. Ketiga mekanisme tersebut adalah Joint Implementation (JI), Emissions Trading (ET) dan Clean Development Mechanism (CDM).

Secara umum, CDM merupakan kerangka yang memungkinkan negara maju berinvestasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Ada 2 sektor yang termasuk dalam CDM yaitu sektor energi dan Kehutanan. Indonesia dengan luas hutan terbesar ketiga di dunia, bisa berperan penting untuk mengurangi emisi dunia melalui kegiatan carbon sink.

Kawasan Timur Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang dapat berfungsi untuk peningkatan rosot karbon (carbon sink) namun belum banyak penelitian tentang penilaian potensi Kawasan Timur Indonesia untuk mengurangi emisi dunia melalui kegiatan CDM di antaranya di kawasan TNRAW. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi lahan kritis yang layak untuk kegiatan CDM di sekitar TNRAW.

Agar dapat menetapkan sistem apa yang paling sesuai untuk diterapkan untuk kegiatan CDM terlebih dahulu harus diidentifikasi sistem pertanian


(37)

11

masyarakat lokal dan menganalisis apakah sistem tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.

Sistem agroforestri sebagai salah satu kegiatan CDM juga telah menjadi salah satu sistem pertanian yang telah dikenal dalam kehidupan sebagian masyarakat sehari-hari. Oleh karena itu system agroforestri dapat dijadikan salah satu alternative dalam permasalahan ini dengan berdasarkan penilaian aspek sosial ekonomi dan penilaian kondisi fisik lahan dapat diusulkan beberapa alternatif pola tanam dengan sistem agroforestri yang dapat dikembangkan di sekitar TNRAW.

Dalam penerapan alternatif sistem agroforestri yang diusulkan diduga akan ada kendala-kendala seperti modal untuk investasi awal, tenaga kerja dan pemasaran produk pertanian. Oleh karena itu harus diketahui apakah alternatif sistem agroforestri dapat diterapkan jika masyarakat menggunakan modal swadana. Apabila tidak maka kegiatan CDM dapat dijadikan salah satu sumber dana, oleh karena itu perlu dilakukan penghitungan biomassa untuk menentukan kemampuan alternatif sistem agroforestri yang diusulkan untuk meningkatkan rosot karbon sehingga dapat diketahui berapa besar kemampuan menyerap emisi karbon dari sistem agroforestri yang diusulkan dan dapat dihitung nilai jualnya. Namun agar suatu kegiatan dapat diikutsertakan dalam kegiatan CDM maka ada beberapa tahap mulai dari pengajuan usulan proyek sampai dengan disetujuinya proyek yang membutuhkan dana yang disebut dengan biaya transaksi. Dengan adanya biaya transaksi maka nilai nominal bersih yang diterima adalah nilai jual dikurangi oleh biaya transaksi. Besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan tetap


(38)

12

Oleh karena itu perlu dihitung berapa luas lahan kritis optimal yang dapat dikelola dengan alternatif sistem agroforestri yang diusulkan dengan kendala-kendala yang ada. Sehingga masyarakat di sekitar TNRAW dapat meningkatkan kesejahteraannya.


(39)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konvensi Perubahan Iklim

Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Perubahan fisik ini tidak hanya terjadi sesaat. tetapi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Perubahan ini terjadi karena adanya perubahan komposisi kimia gas-gas yang terdapat di atmosfer. yang disebut sebagai gas rumah kaca (Kementerian l.ingkungan hidup 2001)

Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas-gas yang mempunyai kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang dan memancarkan lagi ke permukaan bumi dalam bentuk energi panas. Dalam konteks isu perubahan iklim (konvensi) maka yang dimaksud dengan GRK adalah yang diakibatkan oleh manusia.

Salah satu gas rumah kaca yang memberikan kontribusi terbesar terhadap efek rumah kaca adalah CO2 karena tingkat emisinya yang sangat tinggi. Gas CO2

menyumbang 50% dari efek rumah kaca. Sumber CO2 yang dilepaskan ke

atmosfer terutama berasal dari kegiatan manusia yaitu penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan atau deforestasi. Jumlah yang lebih kecil berasal dari hasil proses industri (Sobar 2004).

Isu perubahan iklim pertama kali dibicarakan dalam agenda politik pada pertengahan decade 1980. Berdasarkan laporan pertama Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bahwa terjadi perubahan iklim yang menunjukkan adanya dampak negatif terhadap semua aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pertemuan umum tahun 1990


(40)

14

meluncurkan Kerangka Kerja Konvensi perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) dan membentuk Komite Negoisasi Antar Negara (Intergovernmental Negotiating Committee, INC) (Kementerian Lingkungan Hidup 2001).

Konvensi Perubahan Iklim telah berlaku dan mengikat secara hukum sejak tanggal 21 maret 1994 setelah diratifikasi lebih dari 50 negara. Tujuan utamanya adalah untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim. Tingkat konsentrasi tersebut harus dicapai dalam kurun waktu tertentu agar ekosistem dapat beradaptasi secara alamiah, produksi pangan tidak terancam dan tercapainya pembangunan berkelanjutan. Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang No.6 tahun 1994 (Kementerian Lingkungan Hidup 2001).

Dalam rangka pelaksanaan komitmen tersebut pada Konferensi Para Pihak (Conference of The Parties/COP) ketiga di Kyoto disepakati adanya aturan pelaksanaan yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memberikan 3 mekanisme penurunan emisi kepada Negara Annex B yaitu Joint Implementation (JI), Clean Development Mechanism (CDM) dan Emission Trading (ET) (Kementerian Lingkungan hidup 2001).

2.2. Clean Development Mechanism (CDM)

Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan bersih merupakan salah satu bentuk pasar dari perdagangan karbon. Pada mekanisme ini memungkinkan keterlibatan negara-negara berkembang terutama yang memiliki hutan tropis dalam rangka mengurangi emisi CO2. Instrumen ini


(41)

15

dilakukan melalui kegiatan “carbon sink”, keanekaragaman hayati dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (Siringoringo 2000).

Ada 2 mekanisme yang layak dilakukan untuk kegiatan CDM yaitu afforestasi yang bisa dilakukan di kawasan yang bukan merupakan hutan sejak (base year) 50 tahun lalu dan reforestasi pada kawasan hutan yang dikategorikan rusak hingga 31 Desember 1989 (atau sejak tahun 1990 yang menghasilkan Temporary Certified Emission Reduction (tCER) yang dapat dilakukan negara berkembang bekerja sama dengan negara Annex 1 yang punyai kewajiban untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya (Forner 2006) .

Jumlah emisi GRK yang diturunkan atau diserap oleh proyek CDM kemudian disertifikasi yang disebut dengan Certified Emission Reduction (CER) yang digunakan oleh negara maju untuk memenuhi komitmen mereka (Boer 2000).

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan proyek AR-CDM ( Afforestation-Reforestation CDM), Menteri Kehutanan sudah mengeluarkan Surat Keputusan No. 14/2004 tentang Tata cara Pelaksanaan Proyek CDM Kehutanan. SK ini ditujukan untuk membantu para pemangku kepentingan yang berminat dalam membuat usulan proyek AR-CDM, khususnya untuk mengatasi beberapa hambatan peraturan seperti PP34/2002 dan juga hal lain yang terkait dengan masalah kepemilikan lahan dan kontribusi proyek terhadap pembangunan berkelanjutan. Sebagai upaya mempercepat proses untuk mendapatkan persetujuan dari KOMNAS MPB, pengembang proyek menyampaikan konsep proyek atau proposal kepada Departemen Kehutanan melalui Sekretariat MPB di Departemen Kehutanan. Kelompok Kerja yang ada di Sekretariat MPB


(42)

16

Kehutanan akan menilai sumbangan proyek terhadap pembangunan berkelanjutan dari sudut pandang kehutanan. Apabila proyek dinilai sudah memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan, maka Menteri Kehutanan akan mengeluarkan rekomendasi bahwa proyek dapat memenuhi ketentuan tersebut. Selanjutnya pengembang proyek menyusun atau menyempurnakan desain proyek CDM atau PDD (Project Design Document) dan menyerahkannya ke KOMNAS MPB untuk diproses lebih lanjut dengan memberikan satu copy ke Menteri Kehutanan.

Sesuai dengan keputusan yang dibuat di COP9 untuk periode komitmen pertama (2008-2012), CDM mengadopsi definisi hutan sebagai lahan yang luasnya antara 0.05-1.0 ha yang penutupan tajuknya antara 10-30% dan pohon yang ada pada lahan tersebut berpotensi untuk tumbuh mencapai ketinggian antara 2-5. Dikarenakan kriteria yang digunakan dalam penentuan hutan berdasarkan keputusan COP memiliki selang, maka tiap negara peratifikasi harus menetapkan nilai yang dipilih dari selang tersebut. Indonesia, sebagai negara peratifikasi, melalui SK Menteri Kehutanan No. 14/2004 menentukan nilai yang dipilih untuk luas lahan, penutupan tajuk dan tinggi pohon berturut-turut adalah 0.25 ha, 30% dan 5 m. Sesuai kriteria ini dan kesepakatan COP8, maka daerah potensial CDM adalah daerah bukan hutan sejak tahun 1989. Dengan ketentuan lahan yang bukan hutan adalah lahan dengan luas minimal 0.25 ha, penutupan tajuk kurang dari 30% dan tinggi pohon secara potensial tidak akan melebihi 5 m. Berdasarkan kriteria ini lahan yang potensial untuk menjadi daerah CDM adalah lahan terbuka, belukar, semak/alang-alang, pertanian lahan kering dan padi sejak tahun 1990.


(43)

17

Hasil National Strategy Study menunjukkan bahwa lahan-lahan yang diperkirakan potensial untuk CDM (lahan Kyoto) ialah lahan-lahan terlantar atau lahan kritis yang sudah ada sejak tahun 1990 baik dalam bentuk alang-alang, lahan terbuka atau semak belukar, atau lahan pertanian yang sudah diusahakan sejak 50 tahun yang lalu. Sebagian lahan bekas perladangan berpindah yang mengalami degradasi kemungkinan juga memenuhi kriteria lahan Kyoto (MOE 2002).

Ciri utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang, dan bahkan muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam. Tingkat produkivitas rendah yang ditandai dengan tingginya tingkat keasaman tanah, kekahatan hara P, K, C, N dan Mg, rendahnya kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa dan kandungan bahan organik, tingginya kadar Al dan Mn, yang dapat meracuni tanaman dan peka terhadap erosi. Selain itu, pada umumnya lahan kritis ditandai dengan vegetasi alang-alang yang mendominasi dengan sifat-sifat antara lain : memiliki ph tanah relatif rendah yaitu 4.8 – 5.2 mengalami pencucian tanah tinggi, ditemukan rhizoma dalam jumlah banyak dan menjadi hambatan mekanik dalam budidaya tanaman, terdapat reaksi zat alelopati dari akar rimpang alang-alang yang menyebabkan gangguan pertumbuhan tanaman budidaya pada lahan tersebut (Hakim et al. 1991).

Di Indonesia studi yang mengevaluasi teknologi mitigasi (jumlah karbon bersih yang dapat diserap) di sektor kehutanan sudah dilakukan sejak tahun 1990 an (DNM Norway and MSE Indonesia 1993; Adi et al. 1999; Boer et al. 1999; Fuad 2000; Boer 2001). Berdasarkan hasil kajian tim NSS, dari total pasar karbon global CDM sebesar 566 juta ton CO2 per tahun, Indonesia secara potensial akan


(44)

18

mampu menyerap pasar karbon sebesar 36 juta ton CO2 per tahun (MOE, 2002).

Dari 36 juta ton tersebut, sektor kehutanan akan menyerap sebesar 28 juta ton CO2

per tahun, dan sisanya oleh sektor energi. Untuk mencapai potensi tersebut, luas lahan yang ditanami diperkirakan sekitar 0.5 sampai 1.0 juta hektar per tahun.

Secara ringkas kegiatan kehutanan di Indonesia yang dapat dimasukkan ke dalam kategori layak untuk CDM dapat dilihat pada Tabel 2. Potensi mitigasi atau kemampuan menyerap karbon dari lahan-lahan ini melalui kegiatan proyek CDM diperkirakan mencapai 3.5 juta ton karbon dalam kurun waktu 40 tahun atau setara dengan 7.5 juta ton CO2 per tahun.

Tabel 2. Tipe Kegiatan Penambatan Karbon Hutan dan Lahan yang Tersedia (dihitung dari data tahun 1990).

Penggunaan dan penutup lahan Standart C/ha Tipe kegiatan potensial untuk penambatan karbon Lahan potensial yang tersedia untuk mitigasi (Ha) Potensi Mitigasi (tC/ha) Total potensi mitigasi (tC)

1 2 3 4 5 6 (4 x 5)

Lahan kritis 5 Reboisasi 4 898 000 199 947 702 000 Lahan kritis 5 Hutan tanaman/ HTI

(Timber estate)1 1 889 000 48 90 672 000

Bera 37 Hutan

Kemasyarakatan 9 823 175 109 1 070 726 075 Alang-alang 10 Penghijauan 3 219 648 278 895 062 144 Perladangan

berpindah 11 Agroforestri

2 12 718 787 198 2 518 319 826

32 549 410 3 493 294 659 Catatan: Potensi mitigasi pada kolom 5 adalah nilai rataan yang diperoleh dari perhitungan berbagai kegiatan menggunakan COMAP (Sathaye et al., 1995), sedangkan standar karbon di kolom 2 adalah nilai rataan yang diprediksi dari perhitungan biomas yang berasal dari berbagai sumber. 1Rotasi pendek dari jenis cepat tumbuh (7-8 tahun). 2 dalam bentuk kehutanan sosial /hutan tanaman multi fungsi (MPTS) atau hutan rakyat. Sumber (MOE, 2002)


(45)

19

Potensi lahan yang tersedia untuk kegiatan mitigasi tersebar di seluruh Indonesia termasuk daerah Sulawesi di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara.

2.3. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW)

Kelompok hutan Rawa Aopa Watumohai seluas 105 194 ha ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 756/Kpts-11/90 pada tanggal 17 Desember 1990. Sebelum menjadi taman nasional kelompok hutan Rawa Aopa Watumohai terdiri dari Taman Buru Gunung Watumohai seluas 50.000 ha (SK Menteri Pertanian No. 648/Kpts/Um/10/1976 tanggal 15 Oktober 1976), dan Suaka Margasatwa Rawa Aopa seluas 55 560 ha (SK Menteri Kehutanan No. 138/Kpts-11/1985 tanggal 11 Juni 1985).

Latar belakang penetapannya sebagai taman nasional adalah karena kelompok hutan tersebut memiliki berbagai tipe ekosistem, antara lain ekosistem hutan bakau (mangrove), hutan pantai, savanna, hutan hujan pegunungan rendah dan ekosistem rawa, yang menjadi habitat berbagai jenis hidupan liar yang perlu dibina kelestariannya untuk dapat dimanfaatkan bagi kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, rekreasi, dan pariwisata.

Setelah dikelola selama beberapa waktu melalui Proyek Pengembangan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, maka pada tahun 1997 status TN Rawa Aopa Watumohai telah ditingkatkan menjadi Unit Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185/Kpts-11/1997 tanggal 31 Maret 1997 (tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional).


(46)

20

Batas-batas wilayah, di sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Tirawuta (Kab. Kolaka), sebelah Timur dengan Kec. Lambuya dan Tinanggea (Kab. Kendari), sebelah Barat dengan Kec. Ladongi (Kab. Kolaka), dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Rumbia (Buton). Panjang batasnya ± 336 674 km, dengan jumlah pal batas keliling 4 158 buah

TNRAW terletak pada ketinggian 0-980 m (dpl), dengan topografi bervariasi mulai dari datar, bergelombang, berbukit, dan bergunung, dengan puncak tertinggi Gunung Mendoke (980 m dpl). Kelerengan 0 hingga 40 %, dan jenis tanahnya Podzolik coklat merah kekuning-kuningan. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt-Fergusson iklimnya termasuk tipe C di bagian Utara dan D di bagian Selatan, dengan curah hujan tahunan bervariasi antara 1.500 sampai 2.000 mm. Bulan-bulan kering jatuh pada bulan Juli, Agustus, Oktober, dan Nopember. Suhu berkisar antara 20° hingga 33° C, dengan kelembaban 80%.

TNRAW memiliki potensi keragaman jenis flora yang tersebar di keempat tipe vegetasi, yaitu vegetasi hutan mangrove, vegetasi savana, vegetasi rawa, dan vegetasi hutan hujan pegunungan rendah. Menurut hasil eksplorasi flora yang dilaksanakan oleh Balai Kebun Raya Purwodadi-LIPI pada bulan Juni 1993 berlokasi di Gunung Watumohai dan sekitarnya diperoleh data vegetasi yang terdiri atas 89 suku/famili, 257 marga/genus, dan 323 jenis/species tumbuhan. Permasalahan yang dihadapi TNRAW berupa perburuan gelap (poaching), dengan satwa buru yang digemari adalah rusa/jonga. Peralatan buru mulai dari yang tradisional (jerat) hingga senjata api. Untuk mengatasi gangguan ini, dilaksanakan penjagaan gerbang masuk/keluar kawasan, patroli, serta penyuluhan. Para pemburu seringkali melakukan pembakaran alang-alang, dengan maksud supaya


(47)

21

tumbuh tunas-tunas muda yang disukai rusa, sehingga para pemburu tinggal menunggu di tempat tersebut. Pembakaran ini seringkali menyebabkan terbakarnya areal dalam jumlah yang luas. Permasalahan lain berupa pemungutan rotan, pengambilan bahan tambang, penyerobotan kawasan, serta claim beberapa kelompok masyarakat atas tanah di dalam kawasan sebagai tanah leluhur (IDRAP 2006).

Permasalahan yang terjadi di TNRAW di atas berdasarkan pengamatan di lapangan terjadi akibat kondisi ekonomi sekitar Taman Nasional yang kurang baik dengan pendapatan yang rendah. Widaningsih dan Djakamihardja (1991) menyatakan untuk maksud peningkatan pendapatan petani di satu sisi, dan tetap terjaminnya kelestarian (tidak terjadi degradasi) lahan di sisi lain, maka sistem pertanaman campuran (agroforestry) lebih tepat dilakukan di tempat itu. Boer (2001) memperkuat penyataan di atas dengan menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dapat dikembangkan sistem Perhutanan Sosial yang kebanyakan diprogramkan di daerah transmigrasi atau daerah penyangga (antara hutan dan lahan masyarakat) termasuk agroforestri dengan menanam jenis tanaman kayu, buah-buahan dan pangan.

2.4. Agroforestri

Satjapradja (1981) telah mengumpulkan beberapa pengertian agroforestri yang kemudian memberikan batasan umum sebagai suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal pada suatu tapak yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (komoditi pertanian dan kehutanan), membentuk tajuk yang berlapis-lapis. berdasarkan kelestarian, baik ditanam


(48)

22

secara serentak maupun berurutan di dalam dan/atau di luar kawasan hutan, untuk kesejahteraan masyarakat.

Agroforestri dapat dikategorikan dalam multiple cropping, yaitu intensifikasi penanaman dalam dimensi waktu dan ruang dengan menanam dua atau lebih jenis tanaman pada lahan yang sama dalam satu tahun. Selanjutnya disebutkan bahwa perhatian penting dalam multiple cropping adalah penyediaan makanan bagi keluarga, menghasilkan makan dengan investasi modal yang minimum, meminimumkan resiko, dan menyebar pendapatan dan persediaan makanan sepanjang tahun Mandagi (2000).

Nair (1989a) mendefinisikan agroforestri sebagai suatu sistem budidaya yang terdiri dari tanaman pohon dan non pohon yang tumbuh dalam asosiasi tertutup, dalam satu kesatuan kehutanan dan agronomis. Tujuannya adalah untuk memaksimumkan produksi dalam jangka panjang. Hasil yang diperoleh sekaligus berasal dari dua komponen tersebut yaitu tanaman pohon dan non pohon (sekurang-kurangnya pakan ternak).

Berdasarkan struktur dan sifat komponennya, Nair (1984) membagi system agroforestri menjadi empat kelompok yaitu :

1. Agrisilvikultur, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran pepohonan dan tanaman pertanian termasuk semak dan tanaman merambat. Pelaksanaan sistem ini meliputi pemanfaatan lahan bera dalam area perladangan berpindah (Shifting Cultifation), sistem tumpang sari, kebun (Didominasi tanaman buah-buahan), penanaman sejajar garis kontur (Alley Cropping) dan penahan angin (Wind Breaks).


(49)

23

2. Silvopastoral, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran pepohonan, padang rumput dan hewan peliharaan (penggembalaan)

3. Agrosilvopastoral, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran pepohonan, tanaman pertanian, padang rumput dan hewan peliharaan (Penggembalaan). Pekarangan di sekitar tempat tinggal merupakan contoh yang baik untuk agrosilvopastoral.

4. Agrosilvofishery, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran pepohonan, tanaman pertanian dan ikan. Pelaksanaan sistem ini terutama pada lahan mangrove.

Manfaat penerapan sistem agroforestri dapat dilihat dari keuntungan secara ekologis atau lingkungan, keuntungan secara ekonomis dan keuntungan secara sosial. Keuntungan secara ekologis dapat berupa (Nair 1989b; Chundawat dan Gautam 1993; Lai 1995): (a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam; (b) lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan hara dari kedalaman solum tanah ke lapisan permukaan oleh sistem perakaran tanaman pepohonan yang dalam; (c) penurunan dan pengendalian aliran permukaan, pencucian hara, dan erosi tanah; (d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur tanah lapisan atas, pengurangan evaporasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman; (e) sistem ekologis terpelihara dengan lebih baik dengan terciptanya kondisi yang menguntungkan dan populasi dan aktifitas mikroorganisme tanah; (f) Penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan dan (g) terpeliharanya struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa tanaman dan hewan.


(50)

24

Secara ekonomis, sistem agroforestri sangat menguntungkan terutama dalam hal (Nair 1989c; Chundawat dan Gautam 1993; Lai 1995): (a) peningkatan keluaran dalam arti lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan, pakan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang; (b) memperkecil kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari salah satu komponen, masih dapat ditutupi oleh adanya hasil (panen) komponen lain; dan (c) meningkatnya pendapatan petani, karena input yang diberikan akan menghasilkan output yang berkelanjutan.

Keuntungan secara sosial dari diterapkannya sistem agroforestri adalah (Chundawat dan Gautam 1993; Lai 1995): (a) terpeliharanya standar kehidupan masyarakat pedesaan dengan keberlanjutan pekerjaan dan pendapatan; (b) terpeliharanya sumber pangan dan tingkat keseharian masyarakat karena peningkatan kualitas dan keragaman produk pangan, gizi dan papan; dan (c) terjaminnya stabilitas komunitas petani dan pertanian lahan kering sehingga dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi.

Selain kebaikan-kebaikan tersebut di atas, sistem agroforestri juga memiliki kelemahan-kelemahan, baik secara ekologis atau lingkungan, maupun secara sosial- ekonomis (Chundawat dan Gautam 1993). Kelemahan dari aspek lingkungan antara lain: (a) kemungkinan terjadinya persaingan sinar matahari, air tanah dan hara antara tanaman pohon (hutan) dengan tanaman pertanian/pangan dan pakan; (b) kerusakan tanaman pangan pada saat dilakukan pemanenan tanaman pohon (terutama saat penebangan kayu); (c) tanaman pohon secara potensial dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman.


(51)

25

Kelemahan dari segi sosial-ekonomis antara lain (Chundawat dan Gautam, 1993): (a) terbatasnya tenaga kerja yang berminat di bidang pertanian, khususnya dalam membangun sistem agroforestri; (b) terjadinya persaingan antara tanaman pohon dengan tanaman pangan yang dapat menurunkan hasil tanaman pangan (sumber gizi keluarga) dibandingkan pada penanaman dengan sistem monokultur; (c) waktu yang cukup panjang untuk menunggu panen tanaman pohon dapat mengurangi produksi sistem agroforestri tersebut; (d) sistem agroforestri diakui lebih komplek sehingga lebih sulit diterapkan, apalagi dengan pengetahuan petani yang terbatas dibandingkan pada sistem pertanian monokultur; dan (e) keengganan sebagian besar petani untuk menggantikan tanaman pertanian/pangan dengan tanaman pohon atau sebaliknya, yang Iebih bemilai ekonomis.

Dengan tingkat pengetahuan yang memadai, sebenarnya kelemahan-kelemahan sistem agoforestri tersebut di atas dapat dikendalikan sebagian atau seluruhnya dengan jalan (Nair I989c; Chundawat dan Gautam 1993): (a) penggunaan pohon kacangan atau tanaman berbuah polong yang sedikit dalam menghambat sinar matahari, sehingga kebutuhan cahaya untuk tanaman pangan dapat terpenuhi; (b) pemilihan tanaman pohon dengan sistem perakaran dalam, sehingga mengurangi persaingan hara dan air dengan tanaman pangan di sekitar permukaan atau tanah lapisan atas; dan (c) jarak tanaman pohon yang dibuat lebih lebar, sehingga mengurangi persaingan cahaya matahari, hara dan air tanah dengar, tanaman pangan.

Tujuan akhir program agroforestri adalah juga meningkatkan kesejahteraan rakyat petani terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak


(52)

26

dan berlanjut dengan memeliharanya (Departemen Kehutanan 1997). Beberapa jenis tanaman yang cocok untuk ditanam dengan sistem agroforestri (Mandagi 2000) :

a. Padi (Oryza sativa)

Padi gogo atau padi ladang termasuk dalam famili Gramineae. Padi gogo dapat tumbuh pada keinggian 0.2-500 mdpl pada suhu 24°C – 26 °C. Distribusi CH lebih penting dari CH total dimana kebutuhan CH adalah 100 mm/hari. Padi ladang ditanam pada bulan November/Desember. Pemakaian pupuk adalah 100 kg urea dan 150 kg TSP. Produksi padi gogo lebih rendah daripada padi sawah yaitu 2.1 ton/ha.

b. Jagung (Zea mays L.)

Jagung termasuk dalam famili Gramineae. Jagung dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 3700 mdpl pada daerah kering dengan CH 250 mm/tahun sampai daerah basah dengan CH 5000 mm/tahun. Tanaman jagung dapat tumbuh pada tanah pasir sampai tanah liat di daerah datar sampai lereng yang curam. Sangat rentan terhadap udara dingin dan tidak cocok pada suhu rata-rata di bawah 15°C. Kebutuhan pupuk adalah 200 kg urea, 200 kg TSP dan 50 kg KCL. Jagung ditanam pada dua musim pada bulan Oktober dan Februari tapi kadangkala dapat ditanam pada bulan Juni. Varitas lokal membutuhkan benih 40 -50 kg/ha, varitas unggul memerlukan 30 kg/ha. Umur panen jagung adalah 70-120 hari.


(53)

27

c. Jambu mete (Anacardium occidentale)

Tanaman ini termasuk dalam famili Anacardiaceae. Jambu mete adalah tanaman keras yang tahan terhadap kekeringan, tumbuh dengan subur pada berbagai macam iklim dan kondisi tanah dan dapat tumbuh pada ketinggian

0 – 1 150 mdpl, tetapi paling baik di dataran rendah. Curah hujan 500 – 3 600 mm/tahun, paling baik pada tanah yang berpasir dengan drainase

yang baik namun juga bisa tumbuh pada perbukitan yang terlalu kering dan berbatu untuk ditanami tanaman lain. Jarak tanam 3m x 3m, setelah berumur 10 tahun dapat dijarangkan sampai 6m x 6m. Pemanfaatan tanaman sela dapat dilakukan sampai dua tahun. Hasil ekonomis dapat diperoleh setelah tahun ketiga namun produksi penuh diperoleh baru pada tahun ke sepuluh dan terus berproduksi sampai 20 tahun. Produksi kacang mete minimal 10 kg/pohon

d. Kakao (Theobroma Cacao L.)

Tanaman Kakao termasuk dalam famili Sterculiaceae yang tumbuh di hutan tropis dengan habitat asli hutan tropis dengan naungan pohon-pohon yang tinggi, curah hujan tinggi, suhu sepanjang tahun relatif sama serta kelembaban tinggi dan relatif tetap, tetapi dalam habitat ini tanaman kakao akan menghasilkan sedikit bunga dan buah meskipun pohon tumbuh tinggi. Usaha tani kakao selalu menghadapi resiko kegagalan akibat serangan hama dan penyakit serta kondisi musim yang tidak mendukung produksi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan tumpang sari. Tanaman yang biasa ditanam bersama kakao adalah kelapa yang berperan sebagai tanaman penaung atau dapat pula dengan sistem agroforestri dengan kombinasi tanaman Jati, kakao, lamtoro dan pisang dengan jarak tanam tertentu. Kakao biasanya


(54)

28

ditanam dengan jarak tanam 3 x 3 m atau 4 x 2 m, tanaman penaungnya yaitu kelapa ditanam dengan jarak tanam 10 x 10 m atau 12 x 4 m.

e. Jati (Tectona grandis)

Tanaman jati umumnya tersebar di kawasan Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), Maluku dan Lampung. Tanaman ini umumnya dapat tumbuh di ketinggian di bawah 700 mdpl dan tumbuh pada tanah-tanah vulkanis (abu, breksi) maupun tanah-tanah sedimen (formasi kapur dan napal) dan pada tanah-tanah alluvial berbagai asal, syarat yang lebih berat adalah terhadap keadaan fisik tanah dimana dia hanya tumbuh baik pada tanah-tanah sarang tetapi tidak terlalu kering dan agak basah dan aerasinya baik. Tanaman jati dibiakkan dengan mempergunakan biji atau dengan trubusan, tetapi yang lazim dilakukan adalah dengan menugal biji langsung di lapangan. Penanaman biji biasanya dilakukan pada awal musim hujan. Pada setiap ajir diletakkan tiga (3) benih dengan jarak antar benih 25 cm Benih ditanamkan pada bekas tangkai ke bawah sedalam 1 cm. Jarak antara ajir, yang juga merupakan jarak tanam bervariasi , tergantung pada bonita tanahnya. Untuk tanah berbonita 2-2.5 dipakai jarak tanam 1x 2 meter, pada bonita 3 dapat dipilih jarak tanam 1 x 2.5 meter dan pada bonita 3.5 ke atas digunakan jarak tanam 3 x1 meter.

Tanaman jati dan tanaman sela akan berada dalam pemeliharaan petani selama 2 tahun sejak masa tanam jati. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi : penyiangan, penyulaman, pemangkasan tanaman sela apabila tajuknya terlalu menaungi tanaman jati dan pemangkasan cabang dan ranting tanaman jati yang berdekatan dengan permukaan tanah.


(55)

29

Penjarangan pertama yang dilakukan tergantung kepada keadaan bonita tanahnya,berkisar antara umur 3 -5 tahun, kemudian 3 tahun sekali sampai umurnya lebih kurang 15 tahun. Setelah itu dijarangi setiap 5 tahun sekali sampai umur 30 tahun dan selanjutnya dijarangi 10 tahun sekali.

f. Akasia (Acacia auriculiformis, A. Cunn.)

Tanaman akasia termasuk dalam famili Leguminosae. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian sampai 600 mdpl dengan CH 1500-1800 mm/tahun dengan enam bulan kering, suhu 26°C sampai di atas 30°C . Tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi baik terhadap tanah maupun iklim. Dapat tumbuh di tanah yang dangkal maupun dalam, pada lokasi padang alang-alang dan rumpun kering, seringkali pada tanah miskin unsur hara tetapi pohon ini menghasilkan nodul-nodul akar dan seringkali bisa bertahan hidup pada tanah dengan kandungan nitrogen dan bahan organik yang sangat rendah. Di Indonesia ditanam pada lereng yang tidak stabil untuk menjaga erosi dan direkomendasikan untuk tanah-tanah yang paling miskin. Mempunyai kapasitas untuk menghasilkan kayu bakar yang baik pada tanah miskin bahkan pada daerah-daerah dengan musim kemarau yang panjang. Jika pohon dipanen sekelompok tunas baru muncul dengan begitu cepat bahkan pada tanah-tanah marjinal. Daur berkisar antara 8-10 tahun dengan riap 23 m3/ha/tahun. Di Indonesia dan Malaysia riap tahunan adalah 17-20 m3/ha, rotasi 10-12 tahun. Bahkan pada tanah subur produksi mencapai 10 m3/ha/tahun pada kondisi yang lembab (Panel on Firewood Crops 1981; Direktorat Penghijauan dan Pengendalian Perladangan 1987; dan Direktorat Reboisasi 1995).


(56)

30

Kegiatan agroforestri merupakan bentuk kegiatan proyek CDM kehutanan yang memiliki potensi yang sangat besar, karena kegiatan ini merupakan bentuk kegiatan yang sudah banyak dilaksanakan oleh masyarakat. Sementara luas lahan yang layak di luar kawasan juga cukup besar. Hasil kajian di Lampung menunjukkan bahwa sistem agroforestri kebun (home garden system, HGS) yang berumur 30 tahun memiliki kandungan karbon sekitar 219-220 t C ha-1. Bahkan walaupun hasil kayunya diambil secara periodik, kandungan karbonnya masih tetap tinggi yaitu mencapai 184 t C ha-1, jauh lebih tinggi dari lahan alang-alang atau semak belukar yang kandungan karbon maksimum sekitar 35 tC ha-1 (Roshetko et al. 2002). Hasil analisis kandungan karbon terhadap lima jenis pool karbon (Carbon pools), biomass bagian atas, akar, sarasah, tanaman bawah, dan karbon tanah pada 19 jenis sistem agroforestri kebun umur 13.4 tahun diperoleh bahwa total kandungan karbonnya rata-rata sekitar 107 t C ha-1 dengan simpangan baku sekitar 8.1 t C ha-1 (Tabel 3).

Tabel 3. Kandungan Karbon di Lima Jenis Pool Karbon pada Sistem Agroforestri Kebun (home garden system) Umur Rata-rata 13.4 Tahun. Jenis pool karbon Rata-rata kandungan karbon

(t C ha-1)

Simpangan baku (t C ha-1)

Biomass bagian atas 35.2 21.0

Akar 8.8 5.3

Sarasah 2.0 1.2

Tanaman bawah 0.3 0.07

Tanah 60.8 4.4

TOTAL 107.1 8.1

Sumber: Roshetko et al. (2002)

2.5. Analisis Kelayakan Proyek dan Analisis Sensitivitas

Analisis proyek dilakukan untuk menentukan apakah suatu proyek akan layak untuk dilaksanakan atau tidak. Secara implisit dapat dilihat bahwa analisis


(1)

Front Payment (IFP) dan Peningkatan Tenaga Kerja 100%

INPUT

min DU1 + DU2 + DU3 + DU4 + DU5 + DU6 + DU7 + DU8 subject to

1132.76X11 + 1544.38X21 + 1738.09X31 – 32.99X41 + DU1 - DO1 = 130087330.48

2.44X11 + 2.72X21 + 2.72X31 + 8.01X41 + DU2 - DO2 = 162725.52

X11 + X21 + X31 + X41 <= 40963

2513.51X12 + 3056.89X22 + 3431.02X32 + 1486.58X42 + DU3 - DO3 = 4757239.97

3.63X12 + 3.86X22 + 3.86X32 + 10.42X42 + DU4 - DO4 = 8152.87

X12 + X22 + X32 + X42 <= 1498

5938.91X13 + 8373.28X23 + 8647.77X33 + 5072.99X43 + DU5 - DO5 = 5630565.07

6.76X13 + 7.34X23 + 7.34X33 + 18.04X43 + DU6 - DO6 = 17499.51

X13 + X23 + X33 + X43 <= 1773

8216.44X14 + 11598.91X24 + 12230.75X34 + 8645.98X44 + DU7 - DO7 = 3445664.47

82.77X14 + 78.37X24 + 78.37X34 + 79.27X44 + DU8 - DO8 = 12252.36

X14 + X24 + X34 + X44 <= 1085

2190.44X11 + 2298.54X21 + 2092.75X31 + 2085.34X41 + 2726.34X12 + 3265.70X22 + 2879.28X32 + 2577.49X42 + 4948.39X13 + 5165.05X23 + 4877.97X33 + 4707.16X43 + 6373.69X14 + 6307.06X24 + 6429.64X34 + 6152.42X44 <= 48327742.57

197.47X11 + 200.87X21 + 189.27X31 + 207.47X41 + 317.20X12 + 312.93X22 + 303.07X32 + 287.20X42 + 618.27X13 + 618.33X23 + 611.47X33 + 645.93X43 + 847.33X14 + 847.33X24 + 831.33X34 + 820.53X44 <= 3198240

End

OUTPUT

OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 0.1105306E+09


(2)

182

VARIABLE VALUE REDUCED COST DU1 110383184.000000 0.000000 DU2 131889.796875 0.000000 DU3 0.000000 0.188689 DU4 2800.832764 0.000000 DU5 0.000000 0.350509 DU6 12720.434570 0.000000 DU7 0.000000 0.374842 DU8 0.000000 1.000000 X11 0.000000 681.029480 X21 0.000000 300.400909 X31 11336.663086 0.000000 X41 0.000000 1933.184448 DO1 0.000000 1.000000 DO2 0.000000 1.000000 X12 0.000000 874.576843 X22 0.000000 394.223206 X32 1386.538086 0.000000 X42 0.000000 1425.021851 DO3 0.000000 0.811311 DO4 0.000000 1.000000 X13 0.000000 1822.504395 X23 0.000000 241.373703 X33 651.100220 0.000000 X43 0.000000 2628.034424 DO5 0.000000 0.649491 DO6 0.000000 1.000000 X14 0.000000 2656.738770 X24 0.000000 542.159973 X34 281.721436 0.000000 X44 0.000000 2141.715576 DO7 0.000000 0.625158 DO8 9826.149414 0.000000

ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) 0.000000 -1.000000 3) 0.000000 -1.000000 4) 29626.337891 0.000000 5) 0.000000 -0.811311 6) 0.000000 -1.000000 7) 111.461884 0.000000 8) 0.000000 -0.649491 9) 0.000000 -1.000000 10) 1121.899780 0.000000 11) 0.000000 -0.625158 12) 0.000000 0.000000 13) 803.278564 0.000000 14) 15623297.000000 0.000000 15) 0.000000 9.197495


(3)

Front Payment (IFP) dan Peningkatan Tenaga Kerja 500%

INPUT

min DU1 + DU2 + DU3 + DU4 + DU5 + DU6 + DU7 + DU8 subject to

1132.76X11 + 1544.38X21 + 1738.09X31 – 32.99X41 + DU1 - DO1 = 390261991.45

2.44X11 + 2.72X21 + 2.72X31 + 8.01X41 + DU2 - DO2 = 162725.52

X11 + X21 + X31 + X41 <= 40963

2513.51X12 + 3056.89X22 + 3431.02X32 + 1486.58X42 + DU3 - DO3 = 14271719.32

3.63X12 + 3.86X22 + 3.86X32 + 10.42X42 + DU4 - DO4 = 8152.87

X12 + X22 + X32 + X42 <= 1498

5938.91X13 + 8373.28X23 + 8647.77X33 + 5072.99X43 + DU5 - DO5 = 16891695.20

6.76X13 + 7.34X23 + 7.34X33 + 18.04X43 + DU6 - DO6 = 17499.51

X13 + X23 + X33 + X43 <= 1773

8216.44X14 + 11598.91X24 + 12230.75X34 + 8645.98X44 + DU7 - DO7 = 10336993.40

82.77X14 + 78.37X24 + 78.37X34 + 79.27X44 + DU8 - DO8 = 12252.36

X14 + X24 + X34 + X44 <= 1085

2190.44X11 + 2298.54X21 + 2092.75X31 + 2085.34X41 + 2726.34X12 + 3265.70X22 + 2879.28X32 + 2577.49X42 + 4948.39X13 + 5165.05X23 + 4877.97X33 + 4707.16X43 + 6373.69X14 + 6307.06X24 + 6429.64X34 + 6152.42X44 <= 96655485.14

197.47X11 + 200.87X21 + 189.27X31 + 207.47X41 + 317.20X12 + 312.93X22 + 303.07X32 + 287.20X42 + 618.27X13 + 618.33X23 + 611.47X33 + 645.93X43 + 847.33X14 + 847.33X24 + 831.33X34 + 820.53X44 <= 9594720

End

OUTPUT

OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 0.3360242E+09


(4)

184

VARIABLE VALUE REDUCED COST DU1 325265120.000000 0.000000 DU2 61009.562500 0.000000 DU3 9132051.000000 0.000000 DU4 2370.590088 0.000000 DU5 1559199.750000 0.000000 DU6 4485.689941 0.000000 DU7 0.000000 0.562712 DU8 0.000000 1.000000 X11 0.000000 686.871338 X21 0.000000 364.892090 X31 37395.570312 0.000000 X41 0.000000 1759.626221 DO1 0.000000 1.000000 DO2 0.000000 1.000000 X12 0.000000 790.520142 X22 0.000000 695.565430 X32 1498.000000 0.000000 X42 0.000000 1686.842407 DO3 0.000000 1.000000 DO4 0.000000 1.000000 X13 0.000000 2768.017334 X23 0.000000 513.291016 X33 1773.000000 0.000000 X43 0.000000 3421.995117 DO5 0.000000 1.000000 DO6 0.000000 1.000000 X14 0.000000 1708.868652 X24 0.000000 174.330460 X34 845.164307 0.000000 X44 0.000000 1336.977173 DO7 0.000000 0.437288 DO8 53983.164062 0.000000

ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) 0.000000 -1.000000 3) 0.000000 -1.000000 4) 3567.427734 0.000000 5) 0.000000 -1.000000 6) 0.000000 -1.000000 7) 0.000000 1039.811646 8) 0.000000 -1.000000 9) 0.000000 -1.000000 10) 0.000000 4597.473633 11) 0.000000 -0.437288 12) 0.000000 0.000000 13) 239.835724 0.000000 14) 0.000000 0.831829 15) 276114.468750 0.000000


(5)

6.1. Kesimpulan

1. Terdapat lahan layak Kyoto di dalam TNRAW seluas 14 762 ha dan 45 416 ha di daerah sekitarnya dimana lebih dari 90% memiliki kelerengan antara (0 – 8) %. Hal ini memungkinkan daerah sekitar TNRAW untuk diikutsertakan dalam kegiatan CDM.

2. Persentase pendapatan total rata-rata terhadap pengeluaran total rata-rata hanya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar TNRAW sebesar 27.81%. Tetapi mereka dapat bertahan hidup karena sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan makanan dengan hasil pertanian sendiri (subsisten). 3. Pola tanam terbaik yang paling menguntungkan yaitu pola tanam 3 (Jati,

Mete, Jagung dan Pisang) pada tiap kelas lereng berdasarkan hasil analisis finansial. Analisis sensitivitas yang dilakukan menyimpulkan bahwa perubahan Biaya Transaksi, Potensi Rosot Karbon dan Harga Karbon tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kelayakan 4 pola tanam dengan sistem agroforestri pada tiap kelas lereng. Sementara perubahan tingkat suku bunga lebih dari 25% dan pada luas lahan 1000 ha sistem agroforestri dengan skema perdagangan karbon menjadi tidak layak untuk dilakukan.

4. Kendala implementasi alternatif sistem agroforestri potensial adalah keuangan, ketersediaan tenaga kerja dan aksesibilitas.

5. Pola tanam sistem agroforestri yang paling optimal adalah pola tanam 3 (Jati, Mete, Jagung dan Pisang) pada tiap kelas lereng dengan solusi optimal basis 13.1% dari total luas lahan yang tersedia. Hasil analisis postoptimal


(6)

109

menunjukkan dibutuhkan dana lebih dari Rp 96 milyar untuk proyek CDM di sekitar TNRAW yang dapat menyerap tenaga kerja lebih dari 33 315 orang dari luar daerah tersebut serta memiliki potensi rosot karbon rata-rata 200 630 ton C/tahun atau 6 018 900 ton C/masa proyek.

6.2. Saran

1. Implementasi sistem agroforestri untuk peningkatan rosot karbon di Sulawesi Tenggara layak untuk dilakukan oleh parapihak yang terkait seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah dan investor dimana kegiatan ini selain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja juga meningkatkan kualitas lingkungan dengan mempertimbangkan kendala-kendala seperti keuangan, ketersediaan tenaga kerja, aksesibilitas juga masalah kelembagaan dan pemahaman parapihak terhadap konsep CDM. 2. Pemerintah selaku pengambil kebijakan dapat memberikan insentif seperti

pengurangan pajak untuk investor, atau pemberian subsidi harga pupuk ataupun harga input lainnya bagi petani yang berpartisipasi, juga memberi kemudahan dalam birokrasi investasi proyek CDM sehingga dapat mengurangi biaya transaksi yang harus dikeluarkan.

3. Skema perdagangan karbon akan menjadi menguntungkan bagi pengusahaan sistem agroforestri jika selain manfaat tangiblenya saja tapi juga dihitung manfaat intangiblenya, oleh karena disarankan penelitian lebih lanjut dengan menghitung nilai ekonomi total dari penerapan sistem agroforestri.