Nilai Kontras Film yang Digunakan Nilai Koefisien Atenuasi µ Sampel

Dari Gambar 4.4 sampel yang dieksposi menggunakan tegangan tabung 55 kV memiliki nilai densitas optik yang lebih tinggi. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fahmi 2008, densitas radiograf yang dihasilkan pada teknik tegangan tinggi 102 kV-125 kV akan lebih besar dibandingkan dengan densitas yang dihasilkan oleh tegangan rendah 77 kV. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai tegangan tabung sinar- x nilai densitas optik juga akan semakin tinggi. Hal tersebut terjadi karena, tegangan tabung yang digunakan mempengaruhi daya tembusnya terhadap sampel. Menurut Kramer dan Selbach 2008, semakin tinggi nilai kV yang digunakan untuk eksposi suatu benda maka semakin besar pula daya tembusnya terhadap benda tersebut. Saat digunakan tegangan tabung 55 kV, sinar-x memiliki daya tembus yang lebih besar dari pada saat menggunakan tegangan tabung 45 kV. Saat daya tembus sinar-x semakin tinggi maka sinar-x tersebuat memiliki kekuatan untuk masuk menembus sampel juga semakin kuat dan semakin banyak. Ketika banyak sinar-x yang menembus bahan, maka sinar-x yang diteruskan ke film juga akan semakin banyak, sehingga film akan nampak gelap.

4.2 Nilai Kontras Film yang Digunakan

Sebelum melakukan perhitungan nilai koefisien atenuasi µ maka terlebih dahulu dilakukan perhitungan nilai kontras film ̅ yang digunakan. Pada penelitian ini, pengeksposian menggunakan film merk AGFA. Nilai densitas optik yang telah diperoleh kemudian diolah dan didapatkan nilai kontras film ̅. Tabel 4.1 Perhitungan nilai kontars film yang digunakan Nama D 1 pada faktor eksposi 0,405 45 kV D 1 pada faktor eksposi 0,605 55 kV G ̅ A 1,16 1,77 3,46 3,66 B 1,12 1,83 4,11 C 1,02 1,76 4,26 D 0,94 1,55 3,50 E 0,86 1,37 2,93 F 0,83 1,26 2,43 G 1,18 2,07 5,09 H 1,01 1,83 4,70 I 0,95 1,68 4,23 J 0,90 1,54 3,67 K 0,83 1,40 3,23 L 0,79 1,20 2,35

4.3 Nilai Koefisien Atenuasi µ Sampel

Gambar untuk radiograf yang digunakan dalam perhitungan nilai koefisien atenuasi µ sampel yaitu radiograf yang diekspose menggunakan tegangan tabung 55 kV. Pada Gambar 4.1 sampel A hingga F merupakan sampel yang terbuat dari Al 2 O 3 dan epoxy resin. Sampel G hingga L merupakan sampel yang terbuat dari Al 2 O 3 dan polyester resin. Tabel 4.2 Koefisen atenuasi µ sampel yang dipapar sinar-x 55 kV Konsentrasi Al 2 O 3 Nama ̅̅̅ ̅̅̅ µ Epoxy Resin A 1,767 2,370 0,136 10 B 1,833 2,693 0,193 20 C 1,760 2,763 0,225 30 D 1,553 2,763 0,272 40 E 1,373 2,730 0,305 50 F 1,257 2,683 0,320 Polyester Resin G 2,070 2,820 0,169 10 H 1,830 2,825 0,224 20 I 1,683 2,813 0,254 30 J 1,537 2,793 0,282 40 K 1,397 2,763 0,307 50 L 1,203 2,733 0,344 Gambar 4.5 Grafik koefisien atenuasi µ sampel Dari Gambar 4.5 dapat dilihat semakin banyak kandungan Al 2 O 3 dalam sampel mengakibatkan semakin besar pula nilai koefisien atenuasi µ yang dimilikinya, baik itu pada sampel epoxy resin ataupun pada polyester resin. Menurut Suyatno 2011, besarnya penyerapan oleh bahan tergantung dari hal berikut: 1 panjang gelombang sinar-x, 2 susunan objek, 3 ketebalan dan 4 kerapatan bahan. Hasil dari Gambar 4.6 yang menggambarkan semakin banyak kandungan Al 2 O 3 dalam sampel maka semakin besar pula nilai koefisien atenuasi µ, menunjukkan bahwa susunan kerapatan partikel di dalam objek akan mempengaruhi nilai koefisien atenuasi µ. Selain susunan kerapatan partikel di dalam objek, penyerapan sinar-x juga tergantung dari nomor atom unsur yang disinari sinar-x. Menurut Yusita 2011, semakin besar nomor atom bahan, makin besar pula penyerapannya. Jadi semakin besar nomor atom sebuah unsur maka semakin baik pula unsur tersebut menyerap sinar-x yang mengenainya. Pada penelitian ini digunakan Al 2 O 3 sebagai filler, karena Al 2 O 3 memiliki nilai Mr massa molekul relative yang cukup besar yaitu 50 sma. Kerapatan bahan juga berpengaruh dalam penyerapan sinar-x. Semakin rapat suatu bahan maka sinar-x yang terserap akan semakin banyak walaupun dengan bahan yang sama. Itulah mengapa dalam penelitian ini semakin banyak kandungan Al 2 O 3 dalam sampel, densitas optik sampel akan semakin kecil, tetapi nilai koefisien atenuasi µ akan semakin besar. Sebagai pengikat Al 2 O 3 digunakan komposit polimer. Saat ini komposit polimer menjadi pengganti material logam pada berbagai industri, dikarenakan material ini lebih ringan dan memiliki kekuatan yang baik. Polimer yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa polyester resin dan epoxy resin. Polyester dan epoxy ini termasuk dalam polimer yang memiliki sifat thermoset, sehingga akan mengeras melalui reaksi kimia, sehingga lebih mudah untuk pembentukannya. Nilai koefisien atenuasi µ pada masing-masing sampel telah dilakukan perhitungan seperti pada Tabel 4.2 diatas. Selanjutnya adalah perhitungan koefisien atenuasi µ dari tulang manusia sebagai acuannya. Dalam penelitian ini tulang yang digunakan sebagai acuan adalah tulang bagian forearm. Tabel 4.3 Perhitungan nilai koefisen atenuasi µ tulang Nama D 1 ̅̅̅ D ̅̅̅ µ Tulang 0,710 0,698 2,010 2,000 0,293 0,690 2,000 0,710 1,980 0,680 2,010 Hasil perhitungan menunjukkan nilai koefisien atenuasi µ tulang forearm sebesar 0,293 cm -1 . Dengan begitu nilai koefisien atenuasi µ acuan untuk membuat rancang bangun phantom adalah 0,293 cm -1 . Nilai koefisien atenuasi µ sampel kemudian dibandingkan dengan koefisien atenuasi µ acuan. Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa nilai koefisien atenuasi µ yang paling mendekati acuan adalah polyester resin dengan kandungan Al 2 O 3 30 yang menghasilkan nilai koefisien atenuasi µ sebesar 0,282 cm -1 , sedangkan untuk epoxy resin pada sampel yang memiliki kandungan Al 2 O 3 40 menghasilkan nilai koefisien atenuasi µ sebesar 0,305 cm -1 . Penelitian ini didapatkan bahwa epoxy resin lebih banyak membutuhkan filler Al 2 O 3 dibandingkan polyester resin untuk mencapai nilai koefisien atenuasi µ phantom.

4.4 Analisis FTIR