DAMPAK YURIDIS PUTUSAN MK NO 100/PUU-XIII/2015 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TERHADAP PILKADA SERENTAK DI INDONESIA

DAMPAK YURIDIS PUTUSAN MK NO 100/PUU-XIII/2015 TENTANG PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TERHADAP PILKADA
SERENTAK DI INDONESIA
SKRIPSI

Disusun Oleh:
Nama : Robby Alfa
NIM : 20070610094

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015/2016

HALAMAN PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah

ini:

Nama


Robby Alfa

NIM

200706n094
Ilmu Hukum

Jurusan/Program Studi
Fakultas

Hukum

Menyatakan dengan sebenamya bahwa skripsi yang saya tulis ini benarbenar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil-alihan
tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran
saya sendiri.

Mengetahui:

\"-"krata,


Dosen pembimbing I

NIK.19740415200004153043

l8 Maret 2016

NIM.20070610094

ry

HALAMAN PENGESAIIAN
SKRIPSI

DAMPAK YURIDIS PUTUSAN MAIIKAMAH KONSTITUSI NOMOR
1 OO/PUU-X[I/201 5 TENTANG PENG UJIAN
UIVDANG,UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015
TERHADAP PILKADA SERENNTAK
DI INDONESIA
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Dosen penguji
pada tanggal, 30


April 2016

Yang terdiri dari:

NIIi
Anggota

197309t81997 02153029

I

Anggota

Nanik Prasetyoninesih. S.H.. M.H
Nrril 974041 52000041 s3043

ll.Hum
NIK. 19520552198403001


Anan-s Sva'roni. S.H..

Mengesahkan
Dekan Fakultas Hukum
sita s Muha m m a diya h Yogya ka rta

/*-ffi

1*"Jffii,**'\--i,
M^ ,t
tJ
,(-'-\ft!?' .;#:,t'+.r:. )a ;1-7

; ;v
.,v\..

',/, {

l}I-..i':*d'-rtrr
iii ";- (.i:1*


\.
i

:

i1;':t'',ff *
rV.
1.r.\

:"'fu,
Yaq

Dfl Trisno Rahardio. S.H., Nl.Hum
NIIC 1971 04A9t997 021 5302S

m

HALAMAN PERNYATAAN


Saya yang bertanda tangan dibawah

ini:

Nama

Robby Alfa

NIM

200706n094
Ilmu Hukum

Jurusan/Program Studi
Fakultas

Hukum

Menyatakan dengan sebenamya bahwa skripsi yang saya tulis ini benarbenar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil-alihan
tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran

saya sendiri.

Mengetahui:

\"-"krata,

Dosen pembimbing I

NIK.19740415200004153043

l8 Maret 2016

NIM.20070610094

ry

HALAMAN MOTTO

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,.....”

(QS. Al-Baqarah: 153)

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama
kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu
urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada
Tuhanmulah engkau berharap.”
(QS. Al-Insyirah,6-8)

"Pendidikan merupakan senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk
merubah dunia"
(Nelson Mandela)

“Ketika anda tidak pernah melakukan kesalahan, itu artinya anda tidak pernah
berani untuk mencoba”
(My Father)

V

HALAMAN PERSEMBAHAN


Skripsi ini ku persembahkan kepada:
-

Kedua orang tuaku Ayahandaku Ersan dan Ibundaku tersayang Taty.
Ucapan tiada terhingga tidak dapat ternilai kuucapkan dengan segala
takdim dan hormatku, atas semua dukungan, bimbingan, doa, serta kasih
sayang, dan jerih payah tanpa lelah membanting tulang untuk membiayai
kuliah penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

-

Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada kakakku tercinta Eka
Yulyana Sari, S.S.

-

Adikku tercinta Ahmad Halim Bernando, dan Keponakanku Arifatunnisa
Karunia Irsyat/Putry yang sedang menempuh studinya, semoga Allah SWT
memberikan kemudahan kepada keduanya dan smua asa kalian dapat
tercapai. Amin.


-

Fitria Andriani, S.E., MBA

-

Skripsi ini juga penulis persembahkan untuk Almamaterku tercinta
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

VI

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb..
Alhamdulillahirobbil’alamin, dengan rasa syukur yang amat besar kepada
Allah SWT, karena dengan rahmat dan inayahnyalah penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Dampak Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XIII/2015 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
Terhadap Pilkada Serenntak Di Indonesia”.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam penyelesaian Program Strata satu (S1) Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini penulis
tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus
kepada:
1. Ayahandaku Ersan dan ibundaku tersayang taty.
2. Bapak Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Bapak Dr. Leli Joko Suryono, S.H., M.Hum, selaku Kaprodi Ilmu Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
4. Ibu Nanik Prasetyoningsih, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing I yang telah
membimbing, mengarahkan dan memberi masukan, pandangan kepada
penulis sehingga skripsi ini dapat di selesaikan;
VII

5. Bapak Anang Sya’roni, S.H., M.Hum, selaku dosen pembimbing II yang tiada
lelah dan bosan-bosan memberikan bimbingan kepada penulis, sehingga
skripsi ini dapat di selesaikan;
6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen, yang telah memberikan wawasan dan ilmu
bermanfaat kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum, tak lupa
juga staf TU dan karyawan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini di Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta berkat dukungan orang-orang
terdekat penulis:
7. My sister tersayang Eka Yulyana Sari, S.S., yang tidak henti-hentinya
memberikan semangat dan dukungan.
8. Adikku tersayang Ahmad Halim Bernando, belajar yang rajin ya tot, capailah
cita-citamu, buat Orangtua bangga, Bantu mamah dirumah, jangan sering
ngelawan sama ayuk.
9. Keponakanku tersayang Arifatunnisa Karunia Irsyat/Putry, jangan nakal ya
monak, inget kata Abi rajin belajar, jangan maen terus bantu nenek sama
kakek dirumah.
10. Fitria Andrian, S.E., MBA, jelek, terimakasih untuk selalu setia dan tetap
yakin mendampingi penulis dalam keadaan apapun, terimakasih untuk
semuanya, semangat ya lek belajar memasaknya hehe.
11. Eko Hadi Nurwahid, S.H.,M.H, mang cik, terimakasih atas celotehan dan
dukungan yang semakin membuat penulis ingin terus maju untuk tetap
berjuang. Tempat belajar dan berkeluh kesah.

VIII

12. Seluruh kawan-kawan angkatan 2007 dan kawan-kawan seperjuanganku di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Baitho Nusantoro, S.H, Prabowo
Ludfi, S.H, Zulfan Naiem, S.H, Ares Nuryaman, S.H, terimakasih untuk selalu
mengingatkan.
13. Kawan-kawan dari Ikatan Mahasiswa Pelajar Mesuji Yogyakarta, mang cik,
tofa, yrawanto,S.H, supri, mira, fatul dan adek-adek baru dan lain sebagainya.
Banyaklah belajar untuk menjadi pemimpin karena kedepan kalianlah giliran
yang harus memimpin.
14. Kawan-kawan kosan angker, ( andi nursidik: ingin menjadi hacker sejati,
semoga tercapai cuy hehe, tofa alias afot: ingin menjadi manager afot gadget
di usia muda,lanjutkan fa hehe, Guspry alias agus: ingin menjadi pilot,
lanjutkan gos, bram, franstyo, jhon q, umbu: cahaya dari timur, dan dedi.
Terimaksih untuk semuanya, tetep akur dab).
15. Kepada seluruh orang yang sudah membantu secara langsung maupun tidak
langsung dalam pengerjaan skripsi ini. Terima kasih banyak.
Akhirnya penulis senantiasa berdo’a semoga amal baik tersebut mendapatkan
balasan dari Allah SWT. (Amin) Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
khalayak umum yang membaca hari ini maupun dikemudian hari.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Yogyakarta, 18 Maret 2016

Robby Alfa
NIM. 20070610094

IX

ABSTRAK

Sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia saat ini mengalami
perubahan yang signifikan dibandingkan dengan pilkada-pilkada sebelumnya.
Dimana dalam pilkada tahun 2015 ini yang digunakan adalah sistem pilkada
serentak. Sistem pilkada serentak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sistem pilkada
serentak ini secara empiris menimbulkan banyak persoalan salah satunya adalah
mengenai calon tunggal. Terhadap persoalan ini Mahkamah Konstitusi
memberikan Putusan dan norma baru, norma baru tersebut memperbolehkan calon
tunggal untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dengan mekanisme
“setuju dan tidak setuju”. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode
hukum normatif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa
aturan-aturan hukum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Peraturan
Komisi Pemilihan Umum dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XIII/2015, guna menjawab persoalan calon tunggal. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015
sudah tepat karena menjawab persoalan konstitusional hak warga Negara dalam
pilkada, adapun dampak yuridisnya adalah Komisi Pemilihan Umum merespon
putusan mahkamah konstitusi ini dengan membuat aturan teknis berupa Peraturan
KPU Nomor 14 Tahun 2015. Terhadap aturan dan norma baru ini KPU harus
segera mensosialisasikan sesegera mungkin kepada seluruh rakyat Indonesia.

Kata-Kata Kunci : Dampak Yuridis, Putusan, Mahkamah Konstitusi,
Komisi Pemilihan Umum, Calon Tunggal.

X

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN.......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ....................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................ x
DAFTAR ISI.................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 11
A. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi ............................... 11
1. Sejarah Mahkamah Konstitusi.......................................................... 11
2. Pengertian Mahkamah Konstitusi..................................................... 13
3. Fungsi Dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi ............................. 16
4. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Negara Hukum .............. 22
B. Tinjauan Umum Tentang Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah (Pemilukada) ............................................................... 27
XI

1. Pengertian Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pemilukada) ....................................................................... 27
2. Sistim Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pemilukada) Secara Langsung ........................................... 29
3. Sengketa Hasil Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pemilukada) ....................................................................... 32
C. Tinjuan Umum Tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU) ................... 37
1. Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU) ................................... 37
2. Visi Dan Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU).............................. 39
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 41
A. Jenis Penelitian ...................................................................................... 41
B. Metode Pendekatan................................................................................ 41
C.Sumber Data ........................................................................................... 42
D.Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 44
E. Metode Analisis Data............................................................................. 45
BAB IV HASIL DATA PENELITIAN DAN ANALISIS DATA ............. 46
A. Pengaturan Pemilihan Kepala Daerah sebelum Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015. ............................ 46
B. Posisi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XIII/2015. ........................................................................... 64
1. Alasan Hukum Pemohon ................................................................. 64
2. Pertimbangan Hukum Majelis Hukum Mahkamah ......................... 77
3. Amar Putusan .................................................................................. 97

XII

C. Dampak Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XIII/2015 Terhadap Pemilihan Kepala Daerah
di Indonesia .......................................................................................... 102
D. Tata Cara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Indonesia Sesudah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 Tentang
Pasangan Calon Tunggal Dalam Pemilukada Serentak
di Indonesia .......................................................................................... 125
BAB V PENUTUP....................................................................................... 131
A. Kesimpulan.......................................................................................... 131
B. Saran .................................................................................................... 133
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

XIII

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Produk hukum biasanya dilahirkan oleh suatu kebijakan politik atau
penguasa, sehingga kepentingan elit politik atau penguasa lebih dominan dalam
hukum tersebut. Sehingga dapat diasumsikan bahwa hukum merupakan produk
politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaing.
Pandangan di atas sebenarnya lumrah terjadi di berbagai belahan dunia, karena
memang apapun yang dibuat oleh manusia tidak akan dapat terlepas dari
kepentingan atau kebutuhan pembuat hukum atau masyarakat ketika itu. Dapat
juga dikemukakan bahwa kualifikasi tentang konfigurasi politik dan karakter
produk hukum tidak bisa diidentifikasi secara mutlak, sebab dalam kenyataannya
tidak ada satu negarapun yang sepenuhnya demokratis atau sepenuhnya otoriter. 1
Dari sudut pandang etimologi demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan
cratein (memerintah). Jadi secara harafiah kata demokrasi dapat diartikan
sebagai rakyat memerintah.2
Demokrasi dalam dekade-dekade belakangan baik sebagai sistem maupun
proses,

dianggap

sebagai

yang

1

terbaik

apabila

dibandingkan

Lance Castles, 2004, Pemilu 2004, Dalam Konteks Komparatif & Historis, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm. 12.
2
B.Hestu Ciptohandoyo, 2003, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 98.

1

2

dengan sistem dan proses politik yang lain. Ini karena demokrasi
mengedepankan aspek manusia dan kemanusiaan. Demokrasi juga dapat
menghindari adanya penyalahgunaan dari kesewenang-wenangan terhadap
kekuasaan.
Menurut Melvin I. Urofsky, terdapat prinsip-prinsip dasar yang harus ada
dalam setiap bentuk demokrasi. Prinsip-prinsip yang telah dikenali dan diyakini
sebagai kunci untuk memahami bagaimana demokrasi bertumbuh kembang
antara lain adalah:3
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi
Pemilihan umum yang demokratis
Federalisme, pemerintahan negara bagian dan lokal
Pembuatan undang-undang
Sistem peradilan yang independen
Kekuasaan lembaga kepresidenan
Peran media yang bebas
Peran kelompok-kelompok kepentingan
Hak masyarakat untuk tahu
Melindungi hak-hak minoritas
Kontrol sipil atas militer.
Tidak banyak yang menyadari bahwa salah satu fungsi yang menonjol

dari desentralisasi atau otonomi daerah adalah fungsi pendidikan politik. Dengan
dibentuknya pemerintahan di daerah maka sejumlah lembaga demokrasi akan
terbentuk pula, terutama partai-partai politik, kelompok kepentingan, kelompok
penekan, media massa lokal, dan lembaga perwakilan rakyat. Lembaga-lembaga
tersebut akan memainkan peranan yang strategis dalam rangka pendidikan politik

3

Melvin I. Urofsky dalam Harsono Suwardi dkk, 2002 Politik, Demokrasi dan Manajemen
Komunikasi, Galang Press, Yogyakarta, hlm. 32-39.

3

warga masyarakat, tentu saja, menanaMahkamah Konstitusian nilai-nilai dan
norma-norma yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilainilai tersebut mencakup nilai yang bersifat kognitif, afektif, ataupun evaluatif.
Ketiga nilai tersebut menyangkut pemahaman, dan kecintaan serta penghormatan
terhadap kehidupan bernegara, yang kemudian diikuti oleh kehendak untuk ikut
mengambil bagian dalam proses penyelenggaraan negara atau proses politik.
Demokrasi menurut teorisasi masa kini yang dilontarkan oleh Joseph
Schumpeter yaitu demokrasi sebagai metode politik. Artinya pengaturan
kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana
individu-individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih,
memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan. Ini mensyaratkan adanya
pemilu sebagai metode penyerapan aspirasi rakyat. Pemilihan Umum (Pemilu)
merupakan sarana tak terpisahkan dari kehidupan politik negara demokratis
modern. Di bangsa yang matang demokrasinya pun pemilu mutlak perlu. Tetapi,
karena cenderung rutin, banyak warga yang tidak hadir, bahkan tidak mendaftar.
Tetapi bangsa yang dulu dijajah, yang telah mengalami kekecewaan dalam
usahanya melembagakan kekuasaan rakyat (semua paham itu makna dari akar
yunani kata “demokrasi”), masih menghayati pemilihan umum sebagai suatu
ritual massal, suatu perayaan kebersamaan, yang bisa gagal atau mengecewakan,

4

tetapi berpotensi juga menjadi langkah maju dalam melembagakan kedaulatan
rakyat secara efektif dan lestari. 4
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (selanjutnya disebut UU Pemilukada)
yang dimohonkan oleh Akademisi Effendi Gazali. Dalam putusan tersebut,
Mahkamah Konstitusi menyatakan Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya
disebut Pemilukada) yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah dapat dilaksanakan apabila telah diusahakan dengan
sungguh-sungguh terpenuhinya syarat paling sedikit dua pasangan calon. Untuk
itu, Pemilukada tidak lagi semata-mata digantungkan pada keharusan paling
sedikit adanya dua pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Menurut Mahkamah, dalam Undang-Undang Pemilukada, tampak bahwa
pembentuk Undang-Undang ingin kontestasi Pemilukada setidaknya diikuti dua
pasangan calon. Namun, pembentuk Undang-Undang tidak memberikan jalan
keluar apabila syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi.
“Dengan demikian, akan ada kekosongan hukum manakala syarat paling kurang
dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi. Kekosongan hukum itu akan
berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah.
Mahkamah mengimbuhkan, adanya kekosongan hukum tersebut telah
mengancam tidak terlaksananya hak hak rakyat untuk dipilih dan memilih karena
dua alasan. Pertama, penundaan ke Pemilihan serentak berikutnya sesungguhnya
4

Lance Castles, Op.cit., hlm. 1-2.

5

telah menghilangkan hak rakyat untuk dipilih dan memilih pada Pemilihan
serentak saat itu. Kedua, apabila penundaan demikian dapat dibenarkan, tetap
tidak ada jaminan bahwa pada Pemilihan serentak berikutnya itu, hak rakyat
untuk dipilih dan memilih akan dapat dipenuhi. Pasalnya, penyebab tidak dapat
dipenuhinya hak rakyat untuk dipilih dan memilih itu tetap ada, yaitu ketentuan
yang mempersyaratkan paling sedikit adanya dua pasangan calon dalam
kontestasi Pemilukada, oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pemilukada yang
ditunda sampai pemilihan berikutnya hanya karena tak terpenuhinya syarat
paling sedikit dua pasangan calon bertentangan dengan UUD 1945. “Demi
menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara, pemilihan Kepala
Daerah harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan calon
kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, setelah sebelumnya diusahakan
dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan paling sedikit dua pasangan calon.
Mahkamah memutuskan, keikutsertaan calon tunggal dalam Pemilukada
dapat dilakukan jika telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk terpenuhi
syarat paling sedikit dua pasangan calon. Hal ini berarti penyelenggara telah
melaksanakan ketentuan yang terdapat pasa Pasal 49 ayat (1) sampai dengan ayat
(9) UU Pemilukada (untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur) dan ketentuan
Pasal 50 ayat (1) sampai dengan ayat (9) UU Pemilukada (untuk pemilihan
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota).
Setelah itu, dilakukan proses seperti referendum, yakni jika hanya ada
satu pasangan calon, maka dilakukan proses untuk meminta kepada rakyat

6

(pemilih) untuk menyatakan “Setuju” atau “Tidak Setuju” dalam surat suara,
terhadap calon tunggal tersebut. Apabila pilihan “Setuju” memperoleh suara
terbanyak maka pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dimaksud
ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, sedangkan
apabila pilihan “Tidak Setuju” memperoleh suara terbanyak maka pemilihan
ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya.
“Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada
dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian
suara “Tidak Setuju” tersebut.
Agar proses tersebut dapat dijalankan, maka ketentuan Pasal 49 ayat (9)
UU

Pemilukada

yang

menyatakan, “KPU

Provinsi

membuka

kembali

pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur paling lama
3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(8)” harus dimaknai “termasuk menetapkan satu pasangan Calon Gubernur dan
Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3
(tiga) hari dimaksud telah terlampaui namun tetap hanya ada satu pasangan
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”. Pemaknaan yang sama juga
berlaku untuk ketentuan Pasal 50 ayat (9) yang mengatur pembukaan kembali
pendaftaran calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota. Demikian juga dengan pasal terkait lainnya,
yakni Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2) UU Pemilukada. Namun, Putusan
MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 100/PUU-XIII/2015 ini diwarnai adanya

7

pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Menurutnya,
keberadaan Calon tunggal pada dasarnya meniadakan kontestasi. Sedangkan
Pemilu tanpa kontestasi hakikatnya bukan Pemilu yang senafas dengan asas
Luber dan Jurdil. Hak-hak untuk memilih dan hak untuk dipilih akan terkurangi
dengan adanya calon tunggal karena pemilih dihadapkan pada pilihan artifisial
(semu).
Sedangkan terhadap pengujian norma yang sama dengan nomor perkara
yang berbeda, yakni perkara nomor 95/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan warga
Surabaya dan perkara nomor 96/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Calon Wakil
Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana, Mahkamah menyatakan kedua
permohonan tersebut tidak dapat diterima. Dalam pertimbangannya, Mahkamah
menilai argumentasi tentang kerugian hak konstitusional para Pemohon
didasarkan pada keadaan aktual pada saat permohonan diajukan, yaitu tidak
adanya paling sedikit 2 (dua) pasangan calon Walikota dan calon Wakil Walikota
Surabaya. Namun, saat permohonan a quo diputus, keadaan sebagaimana
didalilkan para Pemohon telah berubah. Syarat paling sedikit 2 (dua) pasangan
calon tersebut telah terpenuhi, sebagaimana tertuang dalam Keputusan KPU Kota
Surabaya Nomor

36/Kpts/KPU-Kota-014.329945/2015 tentang Penetapan

Pasangan Calon Dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Surabaya Tahun
2015, tanggal 24 September 2015. Oleh karena itu, Mahkamah memandang dalil
kerugian hak konstitusional para Pemohon menjadi tidak relevan lagi sehingga

8

para Pemohon kehilangan kedudukan hukum (legal standing)-nya sebagai
Pemohon dalam permohonan a quo.

9

B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Bagaimanakah Dampak Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XIII/2015 Tentang Pasangan Calon Tunggal Dalam Pemilukada
Serentak Di Indonesia?

2.

Bagaimanakah Tata Cara Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Di Indonesia
Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 Tentang
Pasangan Calon Tunggal Dalam Pemilukada Serentak Di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1.

Untuk mengetahui dan mengkaji dampak yuridis putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang pasangan calon tunggal
dalam Pemilukada serentak di Indonesia.

2.

Untuk mengetahui dan mengkaji tata cara pemilihan bupati dan wakil bupati
di Indonesia sesudah putusan Mahkamah Konstitusi No.100/PUU-XIII/2015
tentang pasangan calon tunggal dalam Pemilukada serentak di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai Dampak yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XIII/2015 tentang pasangan calon tunggal dalam Pemilukada serentak di
indonesia sebagai berikut:

10

A. Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan ilmu pegetahuan hukum pada umumnya dan hukum tata
negara pada khususnya.
B. Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran dan solusi
Untuk memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang pasangan
calon tunggal dalam Pemilukada serentak di Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi
1. Sejarah Mahkamah Konstitusi
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali
dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen
konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada
tahun 2001, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2),
Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga
yang disahkan pada 9 November 2001. Ide pembentukan MK merupakan
salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang
muncul di abad ke-20.5Pada mulanya memang tidak dikenal adanya
Mahkamah Konstitusi. Bahkan, keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi
sendiri di dunia bisa dikatakan relatif baru. Namun, di kalangan Negaranegara demokrasi baru, terutama di lingkungan Negara-negara yang
mengalami perubahan dari otoriatan menjadi demokrasi pada perempatan
terakhir abad ke-20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi
sangat popular. Oleh karena itu, setelah Indonesia memasuki era reformasi

5

Mahkamah
Konstitusi,
Sejarah
Pembentukan
Mahkamah
Konstitusi,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1, diakses pada 3 Maret
2016, pada pukul 15.00 WIB.

11

12

dan demokratis seperti sekarang ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
menjadi sangat luas diterima.6
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam
rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung
(selanjutnya disebut MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil
perubahan keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan
Undang-Undang

mengenai

Mahkamah

Konstitusi.

Setelah

melalui

pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003
dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal
15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun
2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan
pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada
tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah
pelimpahan perkara dari MAke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang
menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang
kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.7

6
7

Ni’matul Huda, 2006, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 204.
Ibid.

13

UUD 1945 pasca amandemen mengimplikasikan perubahan secara
mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk struktur dan relasi
kelembagaan negara. Perubahan tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia
mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan antara lain
prinsip

“pemisahan

kekuasaan”

dan

“checks

and

balances”

yang

menggantikan prinsip supermasi parlemen yang dianut sebelumnya.
Pembentukan MK sejalan dengan dianutnya paham negara hukum
dalam UUD 1945. Negara hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya,
tidak boleh ada Undang-Undang dan peraturan Perundang-Undangan lainnya
yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hal itu sesuai dengan
penegasan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak dalam tata urutan
peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 membutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga
prinsip konstitusionalitas hukum.
2. Pengertian Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) merupakan suatu
lembaga negara yang terbentuk setelah dilakukannya amandemen ketiga
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD1945). Dalam amandemen ketiga UUD 1945
dilakukan perubahan pada Bab IX mengenai kekuasaan kehakiman dengan
mengubah ketentuan Pasal 24 dan menambahkan tiga Pasal baru dalam
ketentuan Pasal 24 UUD1945. Ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi

14

dalam UUD 1945 disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C
UUD1945.
MK adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka guna
menegakan hukum dan keadilan sebagai mana dimaktub dalam Pasal 24 ayat
(1) UUD 1945. MK merupakan lembaga tinggi Negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Agung. MK bukan bagian dari MA dalam
makna perkaitan struktur unity of juridistion, seperti halnya dalam sistem
hukum Anglo Saxon, tetapi berdiri sendiri serta terpisah dari MA secara
duality of juridistion. MK berkedududkan setara dengan MA, keduanya
adalah penyelenggara dari kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa dengan adanya perubahan UUD 1945, maka selain MA
sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman dari lingkungan peradilan
yang berbeda dibawahnya, juga terdapat MK yang secara fungsional juga
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun tidak mempunyai hubungan
struktural dengan MA. Kedua lembaga tersebut mamiliki fungsi yang sama
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, akan tetapi berbeda dalam yurisdiksi
atau kompetensinya. MK hanya berkedudukan di ibu kota Negara tidak seperti
halnya MA yang memiliki beberapa badan peradilan di bawahnya sampai
pada tingkat pertama kabupaten/kota.
MK berasal dari dua kata yakni Mahkamah dan Konstitusi,
agardiperoleh pemahaman yang tepat, perlu dijelaskan pengertian tiap-tiap

15

dari kedua kata yaitu Mahkamah dan Konstitusi. Kata Mahkamah mempunyai
pengertian yakni badan tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau
pelanggaran (pengadilan). Sedangkan istilah Konstitusi menurut Titik
Triwulan Tutik mengutip dari penjelasan Samidjo dalam bukunya Ilmu
Negara bahwa dalam

perkembangannya Konstitusi mempunyai dua

pengertian, yaitu:8
a. Dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti keseluruhan dari
ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (droitconstitutionelle),
baik yang tertulis ataupun tidak tertulis atau campuran keduanya.
b. Dalam pengertian sempit (terbatas), konstitusi berarti piagam dasar
atau Undang-Undang dasar (loi constitutionelle), ialah suatu suatu
dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara.
Menurut keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa MK ialah suatu
badan peradilan tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau
pelanggaran terhadap hukum dasar atau Undang-Undang Dasar. Lebih jelas
lagi dapat dilihat dari segi wewenangnya yang diberikan oleh UUD 1945
kepada Mahkamah Konstitusi yakni mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa antar lembaga negara,

8

Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, Kencana, Jakarta, hlm. 91.

16

memutus terhadap pelanggaran presiden, memutus sengketa pemilu dan
memutus pembubaran partai politik.
3. Fungsi dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Pentingnya keberadaan Mahkamah Konstitusidi Indonesia yakni
sebagai pengawal dan penafsir Konstitusi menuju negara hukum demokratis.
Sebagaimana amanat UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum. Artinya, segala penyelenggaraan negara harus
tunduk pada hukum, bukan pada kekuasaan. Untuk menjalankan tugas
kenegaraan yang berdasarkan hukum, hukum membutuhkan sendi-sendi
konstitusi. UUD 1945 merupakan landasan untuk menjamin pelaksanaan dan
penegakkan hukum yang berkeadilan. Agar pelaksanaan dan penegakan
hukum yang berdasarkan konstitusi dapat berjalan secara demokratis dan
berkeadilan, maka dibutuhkan sendi-sendi konstitusional. Artinya sekurangkurangnya ada dua pengertian negara berdasarkan atas hukum. Pertama,
adanya pengaturan mengenai batas-batas peran negara atau pemerintahan
dalam mencampuri kehidupan dan pergaulan masyarakat. Kedua, adanya
jaminan hukum akan hak-hak, baik sipil atau hak-hak pribadi (individual
rights), hak-hak politik (political rights), maupun hak-hak sebagai sebuah
kelompok atau hak-hak sosial sebagai hak asasi yang melekat secara ilmiah
pada setiap insan, baik secara pribadi maupun kelompok.9

9

Abdul Rasyid Thalib, 2006,Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Impilkasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 280.

17

Mahkamah Konsitutusi bersama Mahkamah Agung merupakan
pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Namun keduanya mempunyai
kewenangan yang berbeda. Jika MA berada di ranah peradilan umum maka
MK merupakan sebuah special tribunal yang ruang lingkupnya adalah
konstitusi. Kelahiran Mahkamah Konstitusi sesungguhnya diawali dengan
perubahan UUD 1945 yang ke tiga. Pasca perubahan tersebut dibentuklah
Undang-Undang mengenai MK. Undang-Undang ini selesai disusun dan
disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang saat ini telah mengalami
perubahan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2011 Tentang Mahkamah Konstitusi. Sejak saat itulah MK sebagai salah satu
pilar demokrasi di Indonesia.
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi lahir
Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal
7B yang disahkan pada 9 November 2001. Ada pula yang berpendapat bahwa
Mahkamah Konstitusi lahir bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003. Secara kelembagaan
Mahkamah Konstitusi menetapakan tanggal 16 Agustus 2003 sebagai
kelahiran Mahkamah Konstitusi.10

10

Wongbanyumas, Fungsi dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Ketatanegaraan Indonesia,
http://fatahilla.blogspot.co.id/2011/10/fungsi-dan-kewenangan-mahkamah.html, diakses pada tanggal 9
April 2016, pada pukul 17.00 WIB.

18

Sesuai ketentuan UUD, tiga hakim konstitusi berasal dari usul DPR,
tiga hakim konstitusi berasal dari usul MA, dan tiga hakim konstitusi berasal
dari usul Presiden. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi diawali oleh
pembaharuan pemikiran dalam bidang ketatanegaraan pada abad 20. MK
merupakan lembaga negara yang berasal dari konsep sistem hukum eropa
kontinental. Indonesia sebagai sebuah negara hukum (Rechstaat ) banyak
dipengaruhi pemikiran ketatanegaraan di Eropa terutama negara dengan
sistem hukum Eropa Continental yang menganut supremasi konstitusi. Pada
negara yang menganut Eropa kontinental Mahkamah Konstitusi merupakan
lembaga yang merupakan bentuk perlindungan terhadap hak konstitusional
warganegara.11
Lahirnya Mahkamah Konstitusi pasca amandemen merupakan respons
terhadap tuntutan penguatan mekanisme check and balances dalam sistem
penyelenggaraan

negara.

Berdirinya

lembaga

konstitusi

merupakan

konsekwensi dianutnya konsep negara hukum dalam ketatanegaraan di
Indonesia. Otomatis akan terjadi pemisahan kekuasaan dan mekanisme check
and

balances antar

lembaga.

Mahkamah

Konstitusilah

yang

akan

melakukannya terhadap peraturan Perundang-Undangan yang dibuat oleh
legislatif.
Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard)
konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan
11

Ibid.

19

negara maupun warga negara.Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir
akhir konstitusi. Di berbagai negara Mahkamah Konstitusi juga menjadi
pelindung (protector) konstitusi. Sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi
manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung
konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights)
juga benar adanya.12

Sebagai sebuah lembaga yang dijadikan sebagai pelindung konstitusi
MK mempunyai beberapa fungsi yang meliputi:13
a. Sebagai Penafsir Konstitusi
KC Wheare menyatakan bahwa fungsi seorang hakim adalah
memutus perkara apakah hukum itu. Konstitusi tak lain merupakan
sebuah aturan hukum. Sehingga konstitusi merupakan wilayah kerja
seorang hakim. Hakim MK dalam menjalankan kewenangannya dapat
melakukan penafsiran terhadap konstitusi. Hakim dapat menjelaskan
makna kandungan kata atau kalimat, menyempurnakan

atau

melengkapi, bahkan membatalkan sebuah Undang-Undang jika
dianggap bertentangan dengan konstitusi.
b. Sebagai Penjaga Hak Asasi Manusia

12

Maruarar Siahaan, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press,
Jakarta, hlm. 5.
13
Ibid.

20

Konstitusi sebagai dokumen yang berisi perlindungan hak asasi
manusia merupakan dokumen yang harus dihormati. Konstitusi
menjamin hak-hak tertentu milik rakyat. Apabila legislatif maupun
eksekutif secara inkonstitusional telah mencederai konstitusi maka
MK dapat berperan memecahkan masalah tersebut.
c. Sebagai Pengawal Konstitusi.
Istilah penjaga konstitusi tercatat dalam penjelasan UndangUndang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusiyang biasa
disebut dengan the guardian of constitution. Menjaga konstitusi
dengan kesadaran hebat yang menggunakan kecerdasan, kreativitas,
dan wawasan ilmu yang luas, serta kearifan yang tinggi sebagai
seorang negarawan.
d. Sebagai Penegak Demokrasi.
Demokrasi ditegakkan melalui penyelenggaraan pemilu yang
berlaku jujur dan adil. MK sebagai penegak demokrasi bertugas
menjaga agar tercitanya pemilu yang adil dan jujur melalui
kewenangan mengadili sengketa pemilihan umum. Sehingga peran
MK tak hanya sebagai lembaga pengadil melainkan juga sebagai
lembaga yang mengawal tegaknya demokrasi di Indonesia.

21

Pasal 24C Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusiadalah
sebagai berikut:14
a. Mahkamah Konstitusiberwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UndangUndangterhadap

Undang

Undang

Dasar,

memutus

sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
b. Mahkamah Konstitusiwajib memberi putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar.
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusitersebut diatur lagi
dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusidengan rincian sebagai berikut:15
a. Mahkamah Konstitusiberwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannnya bersifat final untuk:
1) Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

14

Lihat Pasal 24C Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 9
November 2001.
15
Lihat Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

22

2) Memutus

sengketa

kewenangan

lembaga

negara

yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
3) Memutus pembubaran partai politik; dan
4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
b. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah
Konstitusiwajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
4. Kedudukan Mahkamah KonstitusiDalam Negara Hukum
Kedudukan konstitusi dalam Negara berubah dari zaman ke
zaman.Pada masa peralihan dari Negara feodal monarki atau oligarki
dengankekuasaan mutlak penguasa ke Negara nasional demokrasi, konstitusi
berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang
kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat
dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu setelah
perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan
perannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat
terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pamungkas rakyat

23

untuk mengakhiri kekuasaan sepihak atau segolongan dalam sistem monarki
dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan
kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideologi seperti:
individualisme, liberalisme, universalisme, demokrasi dan sebagainya.
Selanjutnya kedudukan danfungsi konstitusi ditentukan oleh ideologi yang
melandasi Negara.16
Di Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi
konstitusionalisme, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas,
yaitu

membatasi

kekuasaan

pemerintah

sedemikian

rupa

sehingga

penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Adanya
pembatasan kekuasaan dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan
secara vertikal dan horizontal akan memisahkan kekuasaan kedalam
kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu
sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi
kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan
begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ
atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Mahkamah Konstitusimerupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusidibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai hukum

16

Dahlan Thalib dkk, 2008, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 17.

24

tertinggi agar dapat ditegakkan, sehingga Mahkamah Konstitusidisebut
dengan the guardian of the constitution.17
Kedudukan Mahkamah Konstitusiini setingkat atau sederajat dengan
Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Dalam menjalankan kewenangannya, termasuk di
dalamnya adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasar,
Mahkamah Konstitusijuga melakukan penafsiran konstitusi, sehingga
Mahkamah Konstitusijuga disebut the Sole Interpreter of the Constitution.
Sebagai lembaga penafsir tunggal konstitusi, banyak hal dalam mengadili
menimbulkan akibat terhadap kekuasaan lain dalam kedudukan berhadaphadapan, terutama terhadap lembaga legislatif di mana produknya direview. 18
Kedudukan

Mahkamah

Konstitusidalam

sistem

ketatanegaraan

Indonesia adalah sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi yudisial
dengan kompetensi obyek perkara ketatanegaraan. Sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki Mahkamah Konstitusi adalah
fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi Mahkamah
Konstitusi dapat ditelurusi dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk
menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu ukuran keadilan hukum
yang ditegakkan dalam peradilan Mahkamah Konstitusi adalah konstitusi itu
sendiri yang dimaknai tidak hanya sekedar sebagai sekumpulan norma dasar,
17

Nanang Sri Darmadi, Agustus 2011, Kedudukan Dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam
Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia dalam Jurnal Hukum Vol XXVI, No. 2, Semarang, hlm. 11.
18
Ibid.

25

melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip
negara hukumdan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta
perlindungan hak konstitusional warga Negara.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan
atas

Undang-Undang

Nomor

24

Tahun

2003

tentang

Mahkamah

Konstitusi(UU MK) disebutkan bahwa tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi
adalah menangani perkara konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung
jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu
keberadaan

mahkamah

juga

dimaksudkan

sebagai

koreksi

terhadap

pengalaman ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atau
konstitusi.19 Dalam menjalankan wewenang memutus pengujian UndangUndang terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi juga menjalankan peran
sebagai penjaga konstitusi. Selain itu, karena pelaksanaan kewenangan
mahkamah yang lain juga dilakukan berdasarkan pada ketentuan UUD 1945
untuk menyelesaikan perkara yang harus diputus, baik dalam perkara sengketa
kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan hasil
pemilu, maupun memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa
jabatannya maka konsteks tersebut juga melekat peran mahkamah sebagai
pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi.

19

Mahkamah Konstitusi RI, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekertariat Jendral Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 10.

26

Fungsi selanjutnya adalah sebagai pelindung hak asasi manusia dan
pelindung hak konstitusional warga Negara. Adanya jaminan hak asasi
manusia dalam konstitusi menjadikan Negara memiliki kewajiban hukum
konstitusional untuk melindungi, menghormati, dan memajukan hak-hak
tersebut. Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang dapat
dilihat sebagai upaya melindungi hak asasi manusia dan hak konstitusi
Undang-Undang. Jika ketentuan suatu Undang-Undang telah melanggar hak
konstitusi warga Negara, maka dapat dipastikan tindakan penyelanggaraan
Negara atau pemerintah yang dilakukan didasarkan ketentuan tersebut juga
akan melanggar hak konstitusional warga Negara. Oleh karena itu,
kewenangan pengujian tersebut sekaligus mencegah agar tidak ada tindakan
penyelenggaraan negara dan pemerintah yang melanggar hak konstitusional
warga negara. Mahkamah Konstitusi juga berwenang memutus perkara
pembubaran partai politik yang dimaksud agar pemerintah tidak dapat secara
sewenang-wenang membubarkan partai politik yang melanggar hak berserikat
dan mengeluarkan pendapat.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dipahami sebagai pengawal
konstitusi untuk memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme dalam UndangUndang Dasar 1945. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi mempunyai
kewenangan dengan batasan yang jelas sebagai bentuk penghormatan atas
konstitusionalisme. Batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi

sebagai

salah satu lembaga

yudisial

merupakan bentuk

27

terselenggaranya sistem perimbangan kekuasaan di antara lembaga negara
(checks and balances). 20
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
diharapkan mampu mengembalikan citra lembaga peradilan di Indonesia
sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dapat dipercaya dalam
menegakkan hukum dan keadilan. Dasar filosofis dari wewenang dan
kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah keadilan substantif dan prinsipprinsip good governance. Selain itu, teori-teori hukum juga memperkuat
keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal dan
penafsir konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi beserta segenap
wewenang dan kewajibannya, dinilai telah merubah doktrin supremasi
parlemen (parliamentary supremacy) dan menggantikan dengan ajaran
supremasi konstitusi.21
B. Tinjuan Umum Tentang Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pemilukada)
1. Pengertian Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pemilukada)
Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(selanjutnya disebut Pemilukada) merupakan instrumen yang sangat penting

20

Ibid.,hlm 12.
Mariyadi Faqih, Juni 2010, Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan
Mengikat, dalam Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 3, Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 97.

21

28

dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan prinsip demokrasi
di daerah, karena disinilah wujud bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan
menentukan kebijakan kenegaraan. Mengandung arti bahwa kekuasaan
tertinggi untuk mengatur pemerintahan Negara ada pada rakyat. Melalui
Pemilukada, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi pemimpin dan
wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan
arah masa depan sebuah Negara.22
Pemilukada menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhent

Dokumen yang terkait

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003-Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang)

4 62 98

Tinjauan Yuridis Pergantian Antarwaktu Pejabat Badan Pemeriksaan Keuangan (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/Puu-Xi/2013)

0 39 201

ANALISIS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MENOLAK PENGUJIAN MATERIL TErHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN.

0 0 6

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUCTION SHARING CONTRACT DI INDONESIA SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 36/PUU-X/2012 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MIGAS.

0 0 2

DINAMIKA POLITIK LEGISLASI DALAM KONTEKS UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR

0 0 16

ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM ASEAN CHARTER BERDASARKAN PUTUSAN MK NOMOR 33PUU- IX2011 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN

0 0 17

ANALISIS YURIDIS PASAL 7 HURUF R UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33PUU-XIII TAHUN 2015 TERHADAP PEMILIHAN KEPALA DAERAH

0 0 92