BETULKAH HUTAN KITA, MASA DEPAN DUNIA .. ?? (gusmailina)

Betulkah Hutan Kita, Masa Depan Dunia .. ??
Oleh : Gusmailina
Pendahuluan
Betulkah dunia khawatir melihat hutan kita yang rusak dengan cepat???. Di balik semua itu tentu
ada kepentingan dunia juga. Laju penggundulan hutan yang sedemikian tinggi telah berpengaruh
besar terhadap perubahan iklim global. Berbagai sebab telah melatarbelakangi perusakan hutan
tersebut. Pada beberapa dekade lampau, penebangan hutan lebih disebabkan oleh pembukaaan
lahan pertanian tradisional. Hal ini sangat berkaitan dengan berkurangnya rosot CO 2 sebagai
peredam perubahan iklim dan pemanasan global. Catatan terakhir pemerintah laju kerusakan
hutan Indonesia telah berkurang dari 2,3 juta ha per tahun periode 1997-2000 menjadi 1,08 juta
ha per tahun periode 2000-2006. Selama lima tahun terakhir, pemerintah berupaya menggenjot
pembangunan hutan tanaman. Investor swasta dan masyarakat di sekitar hutan didorong
membangun hutan tanaman. Mereka dapat menanam jati, sengon, dan mahoni yang diminati
industri kayu olahan dan mebel atau kayu akasia yang pasti diserap industri pulp dan kertas
berapa pun jumlahnya. Pengembangan hutan tanaman mutlak menjadi kebutuhan karena
tekanan kampanye negatif terhadap produk kehutanan Indonesia yang menguat. Berbagai produk
kehutanan seperti kayu lapis, kayu gergajian, bubur kertas sampai kertas, masih saja menghadapi
tekanan pasar internasional. Berbagai tekanan ini sempat menghancurkan industri kehutanan
domestik. Tidak sedikit perusahaan yang kolaps akibat harga produk kayu lapis atau kayu
gergajian yang hancur dihantam kampanye negatif. Data Asosiasi Panel Kayu Indonesia
(Apkindo), utilisasi industri kayu lapis nasional tahun 2009 diperkirakan tinggal 20 persen. Isu

pembalakan liar, kayu ilegal, dan biaya ekonomi tinggi membuat daya saing produk Indonesia
hancur di pasaran global. Kondisi ini kian parah dengan kampanye negatif produk kayu lapis
Indonesia mengandung kayu ilegal.
Pada tahu 2008, produksi kayu lapis Indonesia masih 3 juta meter kubik dengan tingkat utilisasi
industri 30 persen. Hal ini menggambarkan kapasitas produksi terpakai dari 100 persen yang ada.
Ini berarti, tahun 2008, kapasitas produksi kayu lapis adalah 10 juta meter kubik. Volume
produksi akan merosot menjadi 2 juta meter kubik akibat kolapsnya industri panel kayu di luar
negeri. Tantangan industri kehutanan nasional kini semakin berat. Dari 130 produsen kayu lapis
hanya 40 pabrik yang masih beroperasi. Tahun 2009 diprediksi anjlok menjadi 20 unit.
Walaupun industri kehutanan nasional mulai memakai bahan baku hutan alam dan hutan
tanaman secara seimbang, banyak negara lain memberikan hambatan bukan tarif untuk produk
kita. Seperti halnya di Amerika Serikat, muncul tuduhan dumping atas produk kertas berlapis
asal Indonesia dan lain-lain. Indonesia dituduh memproduksi kertas menggunakan bahan baku
murah karena memanfaatkan kayu hasil pembersihan lahan dalam proses penyiapan areal hutan
tanaman. Belum lagi tantangan lain yang lebih berat seiring pemberlakuan Lacey Act oleh AS.
Lacey Act memberikan sanksi berat terhadap praktik perusakan hutan. Mereka yang terbukti
melanggar dapat ditangkap dan diproses hukum di AS. Untuk itu, pemerintah harus mampu
meramu kebijakan ekonomi dan lingkungan kehutanan sehingga dapat memanfaatkan kekayaan
sumber daya alam yang tersedia. Lobi pun harus diperkuat agar mereka tidak hanya menentang
pembangunan yang memanfaatkan kehutanan, tetapi juga harus berperan aktif. Sampai saat ini,

baru Pangeran Charles dari Inggris yang berperan aktif membangun hutan Indonesia lewat
proyek restorasi Hutan Harapan di Jambi. Pangeran Charles tengah menyusun formula untuk

menghitung nilai hutan alam di Jambi untuk kemudian dijual dalam bentuk Prince Charles
Bond.
Perusahaan atau negara-negara penghasil emisi yang masuk dalam Annex I, seperti Jepang dan
AS diharapkan membeli surat berharga itu sebagai bentuk kontribusi mereka dalam mengurangi
produksi emisinya. Hasil penjualan surat berharga itu kemudian akan dipakai untuk merestorasi
hutan alam dengan tumbuhan alami sehingga kembali menjadi lestari. Upaya Pangeran Charles
mempromosikan agar dunia internasional mendukung restorasi hutan alam seluas 101.000 hektar
di Jambi dan Sumatera Selatan bekas eksploitasi hutan alam oleh investor merupakan bukti nyata
keberpihakan internasional. Setidaknya, mereka menyadari masa depan dunia kini ada di
Indonesia.
Hutan Versus Sawit
Penggundulan hutan tropis dari tahun 1960an-1980an, ditiupkan secara luas oleh kebijakankebijakan pemerintah untuk pengembangan pedesaan, pertanian, pajak insentif, dan konstruksi
jalanan. Kebijakan tersebut, terutama terlihat di negara-negara seperti Brazil dan Indonesia,
mendorong munculnya gelombang arus yang dramatis para penduduk ke daerah perbatasan dan
sering kali menyebabkan kerusakan hutan secara cepat. Tidak lagi didominasi oleh petani desa,
kini penggundulan hutan secara substansial digerakkan oleh industri besar dan globalisasi
ekonomi, melalui pengumpulan kayu, penambangan minyak, pengembangan minyak dan gas,

pertanian skala besar, dan perkebunan pepohonan eksotis yang menjadi sebab paling sering dari
hilangnya hutan. Meningkatnya pengaruh kuat para perusahaan penggundul hutan juga memiliki
sisi lemah. Industrialisasi dapat mempercepat kerusakan hutan, dengan hutan yang dulunya
dipangkas secara langsung oleh petani-petani skala kecil saat ini dengan cepat dilindas oleh
bulldozer. Bahkan aktifitas industri seperti penebangan, penambangan, pengembangan minyak
dan gas mendukung penggundulan hutan, tak hanya secara langsung tapi juga tak langsung,
dengan menciptakan daya dorong ekonomi yang amat kuat untuk pembangunan jalan-hutan.
Pada saat yang bersamaan, pasar yang telah terglobalisasi dunia menciptakan sebuah lingkungan
yang amat menarik bagi sektor swasta. Sehingga mendorong pengalihfungsian dari hutan lindung
menjadi lahan perkebunan monokultur serta usaha pertambangan. Kebijakan perluasan
perkebunan monokultur secara berlebihan, khususnya sawit, telah mengancam keanekaragaman
hayati yang terdapat dalam hutan tropis.
Jadi, mengapa sawit saat ini luasnya mencapai jutaan hektar mencakup Malaysia, Indonesia, dan
Thailand? Kenapa sawit menjadi buah panen nomor satu, mengalahkan kompetitor lainnya.
Jawabannya karena sawit adalah bibit minyak yang paling produktif di dunia. Satu hektar sawit
dapat menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah.. Sebagai
pembanding, kedelai dan jagung, hasil yang sering dianggap primadona sebagai sumber bahan
bakar biologis yang unggul hanya menghasilkan sekitar 446 dan 172 liter per hektar. Selain
biofuel, sawit juga dipakaikan untuk beribu-ribu kegunaan lain dari bahan-bahan makanan ke
pelumas mesin hingga kosmetik. Sawit telah menjadi produk agrikultur yang sangat penting

untuk negara-negara tropis di seluruh dunia, terutama saat harga minyak mentah mencapai 70
USD per barrel.
Indonesia saat ini merupakan negara penghasil minyak kelapa terbesar kedua di dunia,
perkebunanan sawitnya mencakup 5,3 juta hektar di tahun 2004. Indonesia telah mengumumkan
rencananya untuk melipatgandakan produksi minyak kelapa mentahnya pada tahun 2025.

Sesuatu yang sangat mungkin melihat keberhasilan Malaysia, atau justru memperluas daerah
yang akan ditanami sawit. Laporan tersebut menyebutkan bahwa Indonesia sepertinya akan
menggunakan kedua pilihan yang ada. Sesuai usulan investasi tahun 2005, yang dibuat oleh PT
Perkebunan Nusantara (PTPN), Indonesia akan mengembangkan sekitar 1,8 juta hektar di
kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia, dimana kebanyakan sisa hutan yang lengkap masih ada.
Hal ini telah mengundang keprihatinan dari para pemerhati lingkungan hidup.
Selain hilangnya ekosistem hutan produksi minyak kelapa dapat menyebabkan kerusakan yang
cukup parah bagi lingkungan hidup. Pengalaman saat Malaysia menerapkan kebijakan perluasan
perkebunan sawit tanpa mengindahkan etika lingkungan. Di tahun 2001, produksi Malaysia
sebanyak 7 juta ton minyak kelapa mentah menghasilkan hingga 9,9 juta ton limbah minyak
padat, fiber kelapa, dan batok, serta 10 juta ton limbah yang merusak dari minyak kelapa, yaitu
campuran polusi dari batok yang hancur, air, dan residu lemak, yang mempunyai dampak negatif
pada ekosistem akuatik. Selain itu, penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk berbasis
petroleum secara bebas membuat yakin bahwa kebanyakan pengolahan minyak kelapa tak hanya

menyebabkan polusi pada tingkat lokal, namun juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca.
Malaysia merupakan salah satu produser yang paling efisien, produksi di daerah lain mungkin
lebih berpolusi. Perkebunan di Indonesia sangat merusak karenanya setelah 25 tahun masa
panen, lahan sawit ditinggalkan dan menjadi semak belukar. Tanah mungkin akan kehabisan
nutrisi, terutama pada lingkungan yang mengandung asam, sehingga beberapa tanaman tidak
mungkin tumbuh, menjadikan wilayah tersebut tanpa vegetasi dan mudah sekali terbakar.
Carbon Trading (perdagangan karbon)
Salah satu alternatif menghadapi permasalahan yang dilematis tersebut adalah melalui program
perdagangan emisi karbon atau yang lebih dikenal dengan Carbon Trading. Menghindari
penggundulan hutan dan kredit karbon bernilai lebih dari sawit akan menghasilkan nilai pajak
yang lebih besar. Indonesia saat ini sedang melakukan taruhan makro ekonomi jangka panjang
bahwa sawit akan bernilai lebih daripada menghindarkan penggundulan hutan. Indonesia bisa
mendapatkan pemasukan kompensasi yang berlandaskan pasar melalui kredit karbon dan
pengganti dari penghijauan hutan dengan menanam spesies asli menggunakan CDM dan
program CDM, serta menggunakan penghindaran penggundulan hutan untuk mengurangi emisi.
Secara sederhana, mekanisme perdagangan karbon dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Negara berkembang yang memiliki kapasitas nir-emisi CO2 menghitung kapasitas dasar
pengurangan karbon yang disajikan dalam skenario dasar
2. Perhitungan emisi dasar tersebut dimasukkan dalam kapasitas pengurangan emisi atau
yang dikenal dengan Emission Reductions (ERs).

3. Negara berkembang menjual kapasitas pengurangan emisi melalui proyek kepada negara
industrialis (Negara maju)
4. Negara maju sebagai penghasil emisi karbon menghitung kapasitas pembelian emisi
CO2, volume pembelian, nilai pembelian yang didasarkan pada target pengurangan emisi
karbon yang telah disepakati
5. Negara maju akan membayarkan sejumlah uang, yang telah disepakati bersama, sebagai
kompensasi atas pengurangan emisi karbon yang ditetapkan.

Indonesia dapat menempuh langkah kongkret seperti berikut:
1. Pemerintah Indonesia dapat menyetujui proyek awal penghindaran penggundulan hutan
2. Masyarakat lokal Indonesia dapat menanam kembali hutan-hutan komunal mereka
menggunakan spesies asli. Usaha ini akan menghasilkan hutan yang beragam yang dapat
menimbun karbon, dan membuatnya sesuai untuk mendapatkan kompensasi dari
metedologi yang dapat digunakan dengan CDM programatik dan CDM
3. Kalangan bisnis di Indonesia dapat mendorong usaha-usaha yang dapat mencegah
maraknya pengalihfungsian hutan tropis menjadi sektor komersial. Hal ini dapat
ditempuh dengan mendorong masyarakat di lingkungan masing-masing untuk lebih aktif
menanami lahan yang kurang produktif
4. Penerapan sertifikasi ekologi pada produk-produk yang berasal dari alam. Hal ini akan
mendorong perusahaan untuk ikut menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan.

5. Perlu diadakan dialog antara kalangan ilmuwan, industri, serta masyarakat setempat
mengenai kebijakan penggunaan lahan. Dengan demikian akan dicapai satu titik temu
yang menjembatani seluruh kepentingan tersebut
Dicky Edwin Hindarto yang menjabat Kepala Divisi Carbon Trading di Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI). mengatakankan carbon trading adalah bagian dari mitigasi perubahan
iklim. Mitigasi itu bermakna mengurangi atau mencegah terjadinya perubahan iklim. Dalam hal
ini bermula dari kesepakatan antar negara di dunia untuk melakukan pengurangan karbon.
Dikatakan juga saat ini sudah ada dua bentuk carbon trading yaitu voluntary market dan CDM.
Ke depan, akan ada satu jenis pasar lagi yaitu REDD (Reducing Emmisions from Deforestation
and Forest Degradation) yang akan diciptakan pada 2012. REDD mengupayakan agar hutan
mendapatkan insentif karena hutan bisa menyerap banyak karbon. Dalam hal ini akan dihitung
jenis hutannya seperti apa, umurnya berapa dan kemudian daya serapnya berapa. REDD akan
persis sama dengan CDM. Jadi dibutuhkan usaha, investasi, dan satu komitmen yang kuat untuk
membawa hutan akhirnya bisa menghasilkan duit.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, negara maju seperti Amerika emisi gas rumah kacanya
sangat besar dan terus-terusan. Supaya tidak terjadi lagi kebakaran hutan, perlu dilakukan
langkah-langkah, tentunya Indonesia tidak bisa sendiri, perlu adanya kesadaran dari dunia
internasional. Oleh karena itu Indonesia melakukan gerakan pengendalian kebakaran hutan
dengan tujuan agar terjadi penurunan emisi gas rumah kaca. Langkah-langkah deforestasi saat ini
adalah mengembangkan berbagai macam program untuk areal terdegradasi seperti menanam,

gerakan sejuta pohon, one man one tree, dll. Akhirnya menjadi tanggung jawab kita bersama
sebagai masyarakat Indonesia untuk melindungi kelestarian hutan tropis Indonesia. Tidak perlu
dulu memikirkan kepentingan dunia, tetapi apakah tidak malu mewariskan kehancuran hutan
kita, kepada anak cucu kita?.Apakah kita akan membiarkan anak cucu kita mengalami berbagai
penderitaan sebagai akibat kerusakan hutan?. Semua pertanyaan tersebut akan berpulang kepada
komitmen kita bersama untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Zamrud Katulistiwa.
(Sumber bacaan: ASEAN Korea Environmental Cooperation Project (AKECOP), Okt, 2009;
Membentuk pasar karbon Indonesia, Nov 2009, siaran RRI; Seminar Nasional Program
pemangkasan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) serta tata kelola ekonomi
dan lingkungan, 2009)