. Aplikasi Sistem Jours Moyen Retard Dalam Menilai Efisiensi Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus Di Bppt-Sp Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat).

APLIKASI SISTEM JOURS MOYEN RETARD DALAM
MENILAI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH
(Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat)

ANDI NUR IZZATI DOLAR

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Sistem Jours
Moyen Retard Dalam Menilai Efisiensi Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus di
BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat) adalah benar karya saya denganarahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Andi Nur Izzati Dolar
NIM B04088011

ABSTRAK
ANDI NUR IZZATI. Aplikasi Sistem Jours Moyen Retard dalam Menilai
Efisiensi Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, CianjurJawa Barat). Dibimbing oleh R. KURNIA ACHJADI.
JMR (Jours Moyen Retard) merupakan jumlah hari terlambat untuk menjadi
bunting.Sistem JMR dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang menyimpulkan
kondisi penampilan reproduksi sapi perah secara kuantitatif dari beberapa
parameter menjadi hanya satu parameter yang disebut angka JMR.Angka JMR
Indonesia adalah 30. Asumsi bila angka JMR kurang dari 30 maka penampilan
reproduksi akan dinilai baik. Sistem JMR merupakan transfer teknologi sistem
pemeliharaan dan peralatan ternak dari Jepang. Tujuan studi kasus ini adalah
untuk mengetahui keberhasilan aplikasi sistem JMR di BPPT-SP Bunikasih.
Metode yang digunakan adalah menggunakan metode deskriptif dengan
pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari pihak manajemen BPPT-SP
Bunikasih dalam empat tahun terakhir (2010-2013). Hasil menunjukkan angka

JMR menurun pada tahun 2013 sebanyak 28,3. Penerapan sistem ini mampu
memberikan informasi yang tepat sehingga perbaikan penampilan reproduksi
terjadi. Adanya perbaikan penampilan reproduksi selama aplikasi sistem JMR di
BPPT-SP Bunikasih menunjukkan penampilan reproduksi BPPT-SP Bunikasih
semakin baik.
Kata kunci:efisiensi reproduksi, JMR, reproduksi, sapi perah

ABSTRACT
ANDI NUR IZZATI. JMR (Jours Moyen Retard) system application in evaluating
the Dairy Cattle Reproductive Efficiency (A case study conducted at BPPT-SP
Bunikasih, Cianjur - West Java). Guided by R. Kurnia ACHJADI.
JMR (Jours Moyen Retard) refers to the number of late days to become
pregnant. JMR system can be defined as a system which concludes conditions
reproductive performance of dairy cattle quantitative parameter to only one
parameter called JMR figure. The figure of JMR for Indonesia is 30. When the
JMR rate is less than 30, then the reproductive performance will be assessed as
good. System JMR is a technology transfer system maintenance and livestock
equipment from Japan. The purpose of this case study is to determine the success
of the JMR system at BPPT-SP Bunikasih.The method used is descriptive method
by collecting secondary data obtained from the management BPPT-SP Bunikasih

in the last four years (2010-2013). The results showed decreased numbers JMR in
2013 as 28.3. Implementation of this system is able to provide accurate
information so that improved reproductive performance occurred. Applicaton
system JMR shows improvements reproductive performence in BPPT-SP
Bunikasih this indicate reproductive performance BPPT-SP Bunikasih much more
better from other years.
Keywords: dairy cattle, JMR, reproduction, reproductive inefficiency

APLIKASI SISTEM JOURS MOYEN RETARD DALAM
MENILAI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH
(Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat)

ANDI NUR IZZATI DOLAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi
Fakultas Kedokteran Hewan


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 yaitu
efisiensi reproduksi sapi perah, dengan judul Aplikasi Sistem Jours Moyen Retard
Dalam Menilai Efisiensi Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus di BPPT-SP
Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat).
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
masukan serta bantuan dari pelbagai pihak. Dengan tersusunnya skripsi ini,
penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada drh R. Kurnia Achjadi, MS
sebagai dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, ilmu, waktu dan
kesabaran yang diberikan selama penelitian dan penyusunan skipsi ini. Disamping
itu, penulis juga berterima kasih kepada drh Fadjar Satrija, MSc, PhD dosen
pembimbing akademik atas bimbingan dan nasihat selama ini dan ucapan terima

kasih kepada drh. Arif Hidayat selaku Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat yang
telah memberi banyak masukan dan saran. Ribuan terima kasih yang tidak
terhingga penulis sampaikan kepada keluarga tercinta mama, bapa, dan saudara
kandung serta teman seperjuangan skripsi saya Norafizah dan Ahmad Fadhil atas
segala dukungan, kasih sayang, dan semangat yang selalu diberikan. Terima kasih
juga penulis sampaikan kepada sahabat Pondok Artis tercinta, Mahasiswa PKPMI
Bogor, teman-teman Avenzoar 45, Geochelone 46 dan Acromion 47 atas segala
kebersamaan.
Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini.
Oleh kerena itu, segala kritik dan saran terhadap skripsi ini sangat diharapkan.
Semoga penulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan yang berkempentingan.

Bogor, Agustus 2014
Andi Nur Izzati Dolar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar belakang

1

Perumusan Masalah

2


Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

3

METODE

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

7


SIMPULAN DAN SARAN

15

Simpulan

15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

18


RIWAYAT HIDUP

22

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Jarak Partus ke IB Pertama Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih
Calving Interval Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih
Service Per Conception (S/C) Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih
Hari Kosong (Days Open) Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih
Conception Rate (CR) oleh IB Pertama Sapi Dewasa BPPT-SP
Bunikasih
6 Angka Jours Moyen Retard (JMR)Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih
7 Pemeriksaan Darah Sapi Perah Dewasa di BPPT-SP Bunikasih


8
9
10
11
12
13
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Pemeriksaan kimia Darah Sapi Dewasa September 2013
2 Penampilan Reproduksi Sapi Perah Dewasa dengan Sistem JMR Bulan
Februari 2010

18
19

PENDAHULUAN
Latar belakang
Para peternak sapi perah di Indonesia hingga saat ini masih kurang
memperhatikan pentingnya efisiensi reproduksi. Mereka masih fokus kepada

usaha meningkatkan produksi susu semata.Reproduksi atau pengembangbiakan
adalah suatu proses akan dihasilkannya individu baru akibat dari bersatunya atau
ditunasinya sel telur dari ternak betina oleh sel mani (sperma) ternak jantan, baik
kawin secara langsung (alami) maupun secara inseminasi buatan.Reproduksi
sangat menentukan keuntungan yang akan diperoleh pada usaha peternakan sapi
perah. Inefisiensi reproduksi pada sapi perah betina dapat menimbulkan berbagai
kerugian seperti menurunkan produksi susu harian dan laktasi sapi produktif,
meningkatkan biaya perkawinan dan laju pengafkiran sapi betina serta
memperlambat kemajuan genetik dari sifat bernilai ekonomis.
Banyak faktor mempengaruhi kinerja reproduksi individu sapi yang sering
kali sulit diidentifikasi. Bahkan dalam kondisi optimum sekalipun, proses
reproduksi dapat berlangsung tidak sempurna disebabkan kontribusi berbagai
faktor, sehingga berpengaruh selama proses kebuntingan sampai anak terlahir
dengan selamat. Memahami keterkaitan berbagai faktor dalam mempengaruhi
fertilitas ternak, oleh karenanya menjadi hal penting dalam upaya
mengoptimalkan performa reproduksi setiap sapi betina dan usaha peternakan.
Definisi sederhana seekor sapi betina dinyatakan fertil adalah apabila ternak
tersebut mampu berkonsepsi dan mempertahankan kebuntingan sampai terjadi
kelahiran. Namun, berbagai kondisi kurang menguntungkan dapat menurunkan
fertilitas yang berakibat induk gagal mempertahankan kebuntingan. Kegagalan
menghasilkan kebuntingan merefleksikan sejumlah abnormalitas seperti
kegagalan ternak mengekspresikan estrus dan ovulasi serta abnormalitas siklus
estrus itu sendiri. Kegagalan konsepsi dapat merefleksikan pula disfungsi
hipothalamus, kelenjar pituitari, ovarium, uterus ataupun konsepsi tidak
berkembang dengan baik. Untuk meningkatkan efisiensi reproduksi ternak, perlu
diperhatikan proses kompleks terkait dengan sifat reproduksi yang melibatkan
aspek genetik, fisiologi, nutrisi, manajemen dan lingkungan.
Peternak umumnya menghendaki keuntungan dari usaha ternak sapi mereka
namun, terkadang keinginan itu tidak disertai dengan kesadaran dalam
memelihara ternaknya dengan baik. Hal ini berdampak dengan munculnya
berbagai kasus gangguan reproduksi yang menyebabkan penurunan kesuburan
(infertilitas) dan penghentian kemampuan produksi susu (sterilitas). Gangguan
dapat memberikan kontribusi secara maksimal terhadap perekonomian nasional
dan tidak terpenuhi kebutuhan susu sebagai sumber protein hewani bagi
masyarakat. Keadaan ini menyababkan Indonesia yang sampai detik ini masih
tetap mengimpor produk pangan terutama susu,daging dan telur.
Salah satu upaya perbaikan kinerja reproduksi sapi perah untuk
meningkatkan produktivitas usaha peternakan adalah manajemen karena
manajemen merupakan salah satu satu faktor yang harus dipenuhi dalam usaha
peternakan sapi perah. Manajemen meliputi sistem pemeliharaan, perkawinan,
perkandangan, dan perbaikan kesehatan yang banyak tergantung pada

2
keterampilan peternak dan patugas kesehatan reproduksi (Achjadi 2013).
Berkenaan dengan hal tersebut, maka dilakukan upaya penataan manajemen
dalam bentuk perkerjaan administratif yaitu pendataan melalui monitoring.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan pendataan baik
pada produksi maupun reproduksi sebagai program pemuliaan belum banyak
dilakukan. Keadaan ini menyebabkan sulit untuk menyimpulkan kondisi
penampilan reproduksi sapi perah sehingga terjadi ketidakefisienan didalam
menangani kasus gangguan reproduksi oleh dokter hewan dan tim pelayanan
medis.
Kondisi usaha ternak sapi perah di provinsi Jawa Barat secara umum masih
rendah. Hal ini dicirikan dengan keterbatasan sumber daya manusia, skala usaha
yang rendah (3-4 ekor/peternak), produktivitas yang rendah (rata-rata
10lt/ekor/hari) serta selang beranak yang panjang yaitu lebih dari 16 bulan
(Hidayat et al. 2002). Rendahnya kondisi usaha ternak ini diakibatkan oleh
pendataan yang dipakai menggunakan parameter lebih dari satu serta minimnya
pengetahuan petugas dalam memahami tatacara menghitung penampilan
reproduksi menyebabkan munculnya kesulitan dalam menilai penampilan
reproduksi ternak. Untuk itu, diperlakukan suatu metode yang sederhana, praktis,
mudah dilaksanakan dan mudah dimengerti oleh petugas lapangan. Dalam
menyikapi kondisi tersebut, pada tahun 1997-2002 Dinas Peternakan provinsi
Jawa Barat menjalin hubungan dengan JICA (Japan Internationak Cooperation
Agency). Bentuk kerjasama ini adalah kegiatan tatalaksana kesehatan reproduksi
sapi perah berupa proyek Peningkatan Teknologi Sapi Perah, Kegiatan dari
proyek ini adalah transfer teknologi dari tenaga ahli JICA kepada peternak dan
petugas teknis sapi perah. JICA merekomendasikan suatu sistem pencatatan
reproduksi yang bernama JMR (Jours Moyen Retard). JMR adalah jumlah hari
terlambat untuk menjadi bunting. Dengan demikian, JMR dapat didefinisikan
sebagai suatu sistem yang menyimpulkan kondisi penampilan reproduksi secara
kuantitatif dari berbagai parameter menjadi hanya satu parameter atau satu nilai
yang disebut angka JMR.
Perumusan Masalah
Optimalisasi penggunaan sistem pendataan didalam kerangka kerja di
lapangan, diharapkan dapat membantu mempermudahkan penyajian data serta
menyimpan informasi sehingga dapat menginterpretasikan data yang diperoleh
dan mengestimasi kondisi penampilan produksi sapi perah dengan akurat.
Program JMR yang diaplikasikan di lapangan dapat menjadi tolak ukur untuk
mengetahui keberhasilan manajemen. Keberhasilan ini didukung oleh peran aktif
petugas lapangan dalam mengidentifikasi kondisi ternak.
Tujuan Penelitian
Penulisan ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui efisiensi reproduksi
sapi perah program inseminasi buatan serta hasil aplikasi sistem JMR di Balai
Pengembangan dan Perbibitan Sapi Perah Bunikasih, Cianjur Provinsi Jawa Barat.

3
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk dijadikan bahan masukan dan
evaluasi bagi peternak dan BPPT-SP Bunikasih, Cianjur dalam peningkatan
kemampuan reproduksi sapi perah di provinsi Jawa Barat umumnya di kebupaten
Cianjur serta dapat memperkenalkan sistem pencatatan baru yaitu sistem JMR
sebagai salah satu sistem baru untuk menilai penampilan reproduksi kelompok
ternak.

TINJAUAN PUSTAKA
Manajemen Pertumbuhan Sapi Perah Dewasa
Tinjaun Umum Tentang Reproduksi
Soetarno (2000) menyatakan bahwa reproduksi atau pengembangbiakan
adalah suatu proses akan dihasilkannya individu baru akibat dari bersatunya atau
ditunasinya sel telur dari ternak betina oleh sel mani (sperma) ternak jantan, baik
kawin secara langsung (alami) maupun secara inseminasi buatan. Reproduksi
sangat menentukan keuntungan yang akan diperoleh usaha peternakan sapi perah.
Pemasalahan yang dialami oleh industri persusuan saat ini antara lain
produktivitas sapi perah yang rendah, populasi yang sulit meningkat, gangguan
reproduksi yang bersifat fungsional maupun penyakit menular serta kasus
gangguan metabolisme oleh karena ketidakseimbangan asupan pakan yang
berpengaruh terhadap kesehatan sapi perah (Achjadi 2013).
Efisiensi Reproduksi
Efisiensi reproduksi sapi perah pada suatu peternakan dapat diketahui dari
kinerja reproduksinya. Kinerja reproduksi sapi perah dapat dilihat dari berbagai
parameter, diantaranya adalah umur sapi dara saat birahi, kawin, bunting dan
beranak pertama, jarak waktu saat beranak sampai IB pertama, jarak waktu saat
beranak sampai terjadi kebuntingan (days open), angka gangguan reproduksi, dan
angka keberhasilan pelaksanaan IB (Fitrianti 2003).Laju peningkatan populasi
ternak akan menjadi lebih cepat bila efisiensinya lebih baik dan rendahnya angka
gangguan reproduksi. Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak
ditentukan oleh angka kebuntingan (conception rate), angka perkawinan per
kebuntingan (Service Per Conception), angka kelahiran (Calving Rate), lama
bunting dan jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (Service
Period) serta selang beranak (Calving Interval). Afriani (2007) menyatakan pula
bahwa efisiensi reproduksi berguna untuk mengevaluasi kegiatan IB yang telah
dilaksanakan dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mencegah atau
megurangi ganguan reproduksi dimasa yang akan datang.
Tinjauan Umum Tentang Inseminasi Buatan (IB)
Menurut Bandini (2004), inseminasi buatan adalah pemasukan atau
penyimpanan semen ke dalam saluran kelamin betina dengan menggunakan alatalat buatan manusia dan bukan secara alam. Dalam praktek prosedur IB tidak
hanya meniputi deposisi dan penyimpanan semen ke dalam saluran kelamin betina,

4
tetapi juga tak lain mencakup seleksi dan pemeliharaan pejantan, penampungan,
penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengangkutan semen, inseminsi,
pencatatan dan juga penentuan hasil inseminasi pada hewan betina, bimbingan
dan penyuluhan pda ternak.
Pelayanan IB yang efektif membutuhkan sperma hidup untuk disimpan di
Bifurcatio Uterus yang sehat sebelum ovulasi. Faktor-faktor penting bagi
menghasilkan kebuntingan adalah waktu inseminasi yang tepat dimana faktor
penentu untuk kebuntingan, sperma harus hidup ketika handling dan thawing,
teknik IB yang benar serta kesehatan uterus yang dipengaruhi oleh manajemen
nutrisi di kelompok, manajemen induk di kandang dan sebagainya.(Achjadi 2013)
Umur Dikawinkan Kembali Setelah Beranak
Waktu terjadinya birahi mengikuti waktu yang diperlukan untuk involusi
uterus adalah 30-50 hari. Sapi perah induk dapat dikahwinkan kembali 50 hari
setelah beranak. Namun biasanya perkahwinan ini sering dilakukan sekitar 60 hari
setelah beranak. Siregar SB (2001) menyatakan bahwa apabila dapat diupayakan
kawin per bunting (Service per Conception S/C) tidak lebih dari 2 dan sapi perah
induk mulai dikawinkan sekitar 60 hari setelah beranak, maka akan dapat
diperoleh panjang masa laktasi dan selang beranak yang optimal.
Selang Beranak dan Masa Kosong (Days Open)
Tercapainya kondisi optimal laktasi dan selang beranak yang masingmasing selama 305 dan 365 hari akan memberikan kontribusi terhadap masa
kosong. Masa kosong (days open) yang semakin panjang akan berdampak
terhadap laktasi dan selang beranak yang semakin panjang pula. Ketidak
optimalan masa kosong ini dikarenakan keterlambatan sapi perah induk untuk
dikawinkan kembali. Masa kosong yang paling optimal adalah 85 hari setelah
beranak, induk harus bunting kembali. Untuk memelihara 12-13 bulan calving
interval, sapi harus menjadi bunting pada 85-115 hari setelah beranak. Days open
yang baik adalah kisaran 40-60 hari (Stevenson 2001)
Masa Dikeringkan (Kering Kandang)
Produksi yang optimal sapi perah dalam setahun sebaiknya diperah selama
10 bulan atau 305 hari dengan masa kering kandang 2 bulan yaitu 60 hari. Untuk
memperoleh hal tersebut, menurut (Siregar et al. 1997) harus ada ketentuan yaitu
masa kosong sapi perah induk adalah sekitar 85 hari setelah beranak, atau 85 hari
setelah beranak sapi perah sudah harus bunting. Selain itu, sapi perah induk sudah
harus di IB 60 hari setelah melahirkan dan diupayakan agar di IB hanya 2 kali
untuk menghasilkan kebuntingan (S/C).Sesudah 7 bulan atau sekitar 224 hari
setelah terjadi kebuntingan, sapi perah induk harus dikeringkan dan lamanya
kering kandang adalah selama 2 bulan. Ini bertujuan untuk mengistirehatkan selsel ambingnya dan mempersiapkan produksi kolostrum bagi anaknya (Hidajati N
1995).
Pemeriksaan Kebuntingan
Terjadinya kebuntingan merupakan parameter keberhasilan IB. Kerana itu,
sistem rekording sangat penting sebagai awal kebutuhan untuk menentukan
keberhasilan dalam perkawinan (Mason dan Buvanendran 1982). Hal ini akan

5
menunjang kepada nilai masa kosong, S/C dan CR. Kebuntingan dapat dideteksi
dengan pemeriksaan melalui palpasi rektal. Lama kebuntingan pada sapi perah
adalah antara 278-282 hari. Ketepatan pemeriksaan kebuntingan (PKB)
tergantung keahlian, kecermatan dan sensitivitas pemeriksa. Ada beberapa
kreteria penentu hasil pemeriksaan kebuntingan yang didasarkan kepada keadaan
uterus, ovarium, arteri uteri dan ada atau tidaknya gelembung foetus didalam
uterus. Terjadinya kebuntingan dapat diketahui dengan tepat setelah kebuntingan
berumur 60 hari, karena pada hari ke 25-49 kebuntingan telah terbentuk
pertumbuhan amnion di uterus.
Sistem Pendataan Produksi dan Reproduksi Sapi Perah.
Sebelum tahun 70-an pengumpulan informasi tentang kesehatan hewan
masih terbatas pada kematian ternak. Kematian ternak merupakan kejadian yang
sangat merugikan. Kejadian ini timbul karena kelemahan dalam segi manajemen
khususnya pendataan baik reproduksi maupun reproduksi. Program pendataan
merupakan faktor esensial yang harus dipenuhi dalam program pemuliaan baik
produksi maupun reproduksi.
Keberhasilan suatu peternakan dapat diketahui sistem pendataan yang
mampu memberikan informasi yang diiginkan. Adanya pendataan tidak hanya
bermanfaat dalam program pemuliaan tetapi juga bermanfaat dalam membantu
menangani manejemen peternakan, seperti program pemberian pakan, program
pengendalian penyakit dan program perkahwinan dan perkitaan kelahiran pedet.
Parameter keberhasilan dapat dilihat dengan tinggi grafik kesehatan ternak
yang sangat mendukung daya produktivitas ternak. Hal ini tidak luput dari
pengelolaan usaha sapi perah yang perlu dikontrol dan dipelihara fertilitasnya.
Program Monitoring Produksi dan Kesehatan ternak Sapi Perah Melalui
JMR (Jours Moyen Retard)
Definisi JMR (Jours Moyen Retard)
Jours Moyen Retard berasal dari bahasa Perancis yaitu fours (hari), moyen
(jumlah rata-rata) dan retard (terlambat). JMR diartikan sebagai jumlah hari
terlambat untuk bunting (Rawson 1987). Sistem ini dikembangkan oleh dr. Roger
Martineau di Kanada pada tahun 1987.
Tabel JMR Sapi Perah.
Untuk mencapai kesimpulan akhir perlu angka-angka yang akan
dimasukkan ke dalam tabel yang berupa kolom dan baris. Angka JMR ini tidak
akan teteap tetapi berubah-ubah sesuai dengan ternak pada saat dilakukan JMR.
Angka JMR biasanya dibuat pada akhir bulan.(Tabel dan keterangan disertakan di
lampiran).
Parameter Reproduksi
Format JMR merupakan sarana yang komunikasi yang efektif diantara
peternak dengan dokter hewan. (Rawson 1978) Oleh sebab itu penilaian
penampilan reproduksi ternak dilakukan dengan menghitung berbagai parameter
sebagai gambaran reproduksi. Parameter yang dipakai adalah

6









Jarak antar kelahiran (Calving Interval)
CI merupakan suatu jumlah hari antara kelahiran yang satu dengan
kelahiran berikutnya. Target CI yang ideal adalah 365 hari.
Jarak beranak ke IB pertama (Calving to first service interval)
Angka yang diperoleh adalah interval antara kelahiran dan IB
pertama setelah kelahiran terakhir. Target untuk interval ini adalah
65 hari.
Masa kosong (Days open)
Days open adalah jarak waktu antara melahirkan sampai bunting
kembali dengan jarak normal kurang dari 120 hari. Nilai days open
berkisar antara 60-80 hari atau rata-rata 85 hari.
Angka kebuntingan (Conception rate)
Angka CR adalah ukuran terbaik dalam menilai hasil IB diman
presentase sapi betina yang bunting pada IB pertama. Angka
konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnisa PKB oleh dokter
hewan dalam waktu 40 hari sampai 60 hari sesudah IB. Target untuk
ukuran adalah >55%.
Jumlah pelayanan IB untuk setiap kebuntingan (Service per
Conception)
S/C atau jumlah IB untuk mencapai satu kebuntingn merupakan
suatu parameter untuk membandingkan efisiensi relatif dari proses
reproduksi sapi betina yang subur, sering dipakai untuk penilaian
dan perhitungan jumlah pelayanan IB yang dibutuhkan oleh sapi
betina sampai terjadi bunting. Nilai S/C normal berkisar antara 1,62,0. Makin rendah nilai S/C maka makin tinggi kesuburan sapi
betina dan sebaliknya.
Target JMR di Jepang adalah 10 akan tetapi dengan
mempertimbangkan segala kondisi di lapangan di Indonesia maka
target JMR di Balai Pembibitan dan Pengembangan Inseminasi
Buatan Sapi Perah Bunikasih, Cianjur adalah 30.

METODE
Metode yang digunakan adalah menggunakan metode deskriptif dengan
pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari pihak manajemen Balai
Pembibitan dan Pengembangan Inseminasi Buatan Sapi Perah Dinas Peternakan
Provinsi Jawa Barat, Bunikasih Cianjur dalam empat tahun terakhir (2010, 2011,
2012, dan 2013) dan data primer diperoleh dengan memeriksa hasil sampel serum
darah di Laboratorium Diagnostik Klinik Bagian Penyakit Dalam Departemen
Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor. Data-data yang diperoleh diolah dan dianalisa berdasarkan analisa
deskriptif, yang disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Berbagai upaya yang diarahkan untuk mengembangkan usaha ternak sapi
perah sesuai dengan potensi genetik serta potensi geografis. Dinas Peternakan
Provinsi Jawa Barat dibawah pemerintah kerjasama dengan JICA (Japan
International Cooperation Agency) membuat sebuah proyek Peningkatan
Teknologi sapi perah sebagai upaya untuk mengembangkan usaha ternak sapi
perah sesuai dengan potensi genetik serta potensi geografis wilayah Jawa Barat.
Salah satu bentuk kerjasama ini adalah sistem penampilan reproduksi yang diberi
nama JMR (Jours Mayon Retard). Untuk merealisasikan misi ini maka Balai
Pengembangan dan Perbibitan Ternak Sapi Perah (BPPT-SP) Bunikasih Cianjur
dijadikan sebagai pusat pelatihan teknologi sapi perah tingkat nasional. Di tempat
ini dilakukan uji coba untuk penerapan JMR dengan fungsinya sebagai tempat
pengembangan dan peningkatan teknologi JMR. Sistem ini mulai diterapkan sejak
tahun 1997.
Balai Pengembangan Ternak dan Hijau Makanan Ternak (BPT-HMT),
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat BunikasihCianjur sejak tahun 1994
berubah nama menjadi Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Sapi Perah
(BPPT-SP). Balai ini berlokasi di desa Padalengsar kecamatan Warungkondang,
Cianjur. Lokasi topografi daerah tersebut landai dan perbukitan memiliki
temperatur 18-22°C, kelembapan 85 % serta curah hujan 266 mm/tahun sangat
mendukung pada proses pemeliharaan sapi perah. (Profile BPPT-SP Bunikasih
2013)
Deteksi Birahi dan Pelaksaan Inseminasi Buatan
Deteksi birahi merupakan aktivitas tatalaksana kesehatan reproduksi. Waktu
pengamatan siklus birahi 20-22 hari atau 19-23 hari dari birahi sebelumnya
dengan menggunakan kalender reproduksi. Palpasi rektal dilakukan untuk
mendeteksi kondisi berahi. Keadaan folikel dan corpus luteum menjadi tolak ukur
untuk timbulnya birahi. Secara tradisional, deteksi birahi dilakukan melalui
pengamatan visual berdasarkan tanda-tanda primer dan sekunder (Firk et al. 2002)
Tanda primer berahi atau estrus adalah saat sapi betina bersedia dinaiki sapi lain
(Rankin et al. 1992) Kegiatan deteksi birahi di BPPT-SP Bunikasih dilakukan 3-4
kali sehari, yaitu pada pagi hari jam 6 WIB, siang hari antara jam 11 dan 12 WIB,
dan sore hari atau malam hari jam 19-21 WIB. Pemeriksaan intensif terhadap
waktu tepat inseminasi pada berbagai tahap estrus memperjelas angka konsepsi
(Conception Rate) akan maksimum jika IB dilakukan mulai fase midestrus sampai
beberapa jam setelah berakhirnya ekspresi standing estrus (Dranssfiled et al.
1998).
Sistem penilaian penampilan reproduksi BPPT-SP Bunikasih telah
menetapkan standar yang dijadikan acuan. Parameter yang digunakan dijelaskan
pada Tabel 1.

8

Tabel 1Target penampilan reproduksi sapi perah di BPPT-SP Bunikasih.
No
1
2
3
4
5
6

Parameter
Jarak Partus IB Pertama (hari)
Days Open (hari) rata-rata
CR oleh IB pertama (%)
Service per Conception (S/C)
Calving Interval (bulan)
Angka JMR

Target
60-80
60-90
50-60
1.7-2.2
12-13
30

(Sumber : BPPT-SP Bunikasih 2014)
Jarak Partus ke IB Pertama Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih.

Jarak Partus IB Pertama
(hari)

Penentuan waktu kawin pertama setelah partus dapat menentukan tingkat
interval waktu kelahiran selang beranak (Jainudeen and Hafez 2000). Angka dari
pencapaiannya tergantung dari lama involusi uteri dimana kesiapan induk untuk
menyediakan kondisi uterus bagi kebuntingan berikutnya. Hal ini juga sangat
tergantung dari kebijakan peternak untuk menentukan waktu yang tepat untuk
mengadakan perkawinan setelah sapi beranak.Grafik jarak partus ke IB pertama
sapi dewasa di BPPT-SP Bunikasih disajikan dalam Gambar 1.
250
200

193.6

150
100

132.6

146.5

89.6

50
0
2010

2011

2012

2013

Tahun

Gambar 1 Grafik Jarak Partus ke IB Pertama Sapi Dewasa di BPPT-SP
Bunikasih (BPPT-SP Bunikasih 2014)
Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2010,2011,2012,
2013 masing-masing sebanyak 89.6, 193.6, 132.6 dan 146.5 dimana rata-rata dari
4 tahun tersebut diperolehi 140.6 hari. Rata-rata nilai tersebut masih jauh dari
target (60-80hari). Data interval partus pada IB pertama BPPT-SP Bunikasih
terlihat fluktuatif. Menurut Achjadi (2013) apabilajarak partus ke IB pertama
panjang akan mengakibatkan nilai calving interval diperpanjang dan salah satu
faktor penyebab jarak diperpanjang antara lain gangguan reproduksi,silent heat,
involuntari terlambat, dan feeding management yang kurang baik.
Ball dan Peters (2004) menyatakan bahwa untuk menghindari kemungkinan
gangguan reproduksi dan mendapatkan angka interval partus ke IB pertama yang
optimal, maka sebaiknya sapi dikawinkan paling sedikit 60 hari setelah
melahirkan.

9
Calving Interval (CI) Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih.

Calving Interval (bulan)

Jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting
dan 3 bulan menyusui (Hadi dan Ilham 2002). Grafik CI disajikan pada Gambar 2.
25

23.2

20
15

14.6

14

16

10
5
0
2010

2011

2012

2013

Tahun

Gambar 2 Grafik Calving Interval Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih (BPPT-SP
Bunikasih 2014)
Berdasarkan grafik di atas menunjukkan jarak Calving Interval pada tahun
2010 sebanyak 14.6 bulan, 2011 23.2 bulan, 2012 14 bulan dan 2013 16 bulan.
Rata-rata dari 4 tahun tersebut mencapai 17 bulan. Tingginya angka CI di BPPTSP Bunikasih disebabkan oleh masih panjangnya lama kosong. Hal ini karena
angka CI diperoleh dari penambahan lama kosong dengan lama bunting. Faktor
lain yang mengakibatkan panjangnya CI adalah rata-rata S/C yang tinggi dan
dinyatakan semakin tinggi nilai S/C maka semakin lama selang beranak antara
satu dengan yang kedua (Nuryadi dan Wahjuningsih 2011).
Nilai CI di BPPT-SP Bunikasih belum optimal karena tidak mencapai target
12-13 bulan. Dalam upaya memperbaiki produktivitas dan reproduktivitas sapi
perah yang mengalami keadaan tersebut perlu dilakukan induksi birahi dan
ovulasi dengan IB pada waktu yang ditentukan.
Service Per Conception S/C Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih.
Jumlah kawin per kebuntingan Service Per Conception (S/C) menunjukkan
jumlah perkawinan yang telah dilakukan untuk menghasilkan suatu kebuntingan.
Angka pencapaian jumlah kawin per kebuntingan di BPPT-SP Bunikasih
disajikan dalam Gambar 3.

Service Per Conception (s/c)

10
3
2.6

2.5
2

1.9
1.6

1.5
1

1

0.5
0
2010

2011

2012

2013

Tahun

Gambar 3 Rata-rata Service Per Conception (S/C) Sapi Dewasa di BPPT-SP
Bunikasih.(BPPT-SP Bunikasih 2014)
Berdasarkan grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2010 jumlah
rata-rata S/C sapi dewasa di peroleh 1 kali, 2011 sebanyak 2.6 kali, 2012
sebanyak 1.6 kali dan tahun 2013 sebanyak 1.9 kali dan rata-rata bagi 4 tahun
tersebut adalah 1.8 kali. Hasil nilai rata-rata ke empat-empat tahun tersebut
dianggap masih normal dimana berada dalam target yaitu 1.7-2.2 kali.Nilai S/C
ini menunjukkan tingkat kesuburan dari sapi betina dimana semakin rendah nilai
tersebut maka semakin tinggi kesuburan dari sapi betina yang di IB dan
sebaliknya.
Ball and Peters (2004) menyatakan bahwa rata-rata angka pencapaian
jumlah kawin perkebuntingan yang dianggap normal adalah (1.6-2.0 kali) atau
dapat dikatakan idealnya seekor sapi betina harus mengalami kebuntingan setelah
mengalami 1-2 kali proses perkawinan.
Tingkat kesuburan sapi betina ini dipengaruhi oleh faktor internal dari
hewannya, termasuk kesehatan reproduksi hewan dan manejemen reproduksi
hewan dan manajemen pemeliharaan (Fitrianti 2003). Selain kondisi kesuburan
betina, faktor lain juga mempengaruhi nilai S/C yaitu keterampilan inseminator
dalam melakukan kegiatan inseminasi (Oktaviani 2010). Pramono et al. 2008
menyatakan Service per conception dipengaruhi beberapa faktor yaitu ketepatan
mendeteksi birahi, kondisi ternak sendiri serta keterampilan dan ketepatan
inseminator dalam menginseminasi sapi perah.
Hari Kosong (Days Open)
Hari kosong (days open) merupakan jarak waktu dari beranak sampai
terjadi kebuntingan berikutnya (Atabany et al. 2011). Hasil evaluasi keberhasilan
IB berdasarkan hari kosong (days open) dapat dilihat pada Gambar 4.

11

Hari Kosong Sapi
Dewasa(hari)

500
418.5

400
300
200

202.5

162.5

143.6

100
0
2010

2011

2012

2013

Tahun

Gambar 4 Grafik Rata-rata Hari Kosong di BPPT-SP Bunikasih (BPPT-SP
Bunikasih 2014)
Gambar 4 menunjukkan rata-rata hari kosong di BPPT-SP Bunikasih dari
tahun 2010-2013. Nilai pada tahun 2010 sebanyak 162.5 hari, 2011 418.5 hari,
2012 143.6 hari dan tahun 2013 sebanyak 202.5 hari. Hasil rata-rata 4 tahun
tersebut diperolehi 231.7 hari. Hasil tersebut dapat dinyatakan hari kosong di
BPPT-SP Bunikasih berada di atas rata-rata optimal 60-90 hari. Hari kosong
panjang di BPPT-SP Bunukasih disebabkan S/C rendah dan calving interval yang
diperpanjang. Panjangnya hari kosong disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya
adalah kurangnya pengetahuan peternak dalam deteksi birahi dan keterlambatan
waktu IB. Pirlo et al. (2000) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
penundaan umur kawin pertama adalah birahi yang terlambat, kesalahan dalam
deteksi birahi, kurangnya bobot badan, dan faktor lingkungan.
Perencanaan dari target pencapaian hari kosong dasarnya dilakukan untuk
menghasilkan selang beranak yang optimal. Estimasi angka selang beranak dari
lama hari kosong 119,3±42,29 hari adalah berada pada kisaran 13-14 bulan
(didasarkan pada lama kebuntingan 285 hari), sedangkan untuk mendapatkan
selang beranak 12-13 bulan, masa kosong harus berada pada kisaran 95-105 hari
atau rata-rata 100 hari (Meadows et al. 2005). Singkatnya hari kosong dapat
disebabkan oleh keputusan inseminasi yang terlalu dini mengawinkan sapi betina
setelah sapi tersebut beranak. Sedangkan tingginya hari kosong, disebabkan
karena kesulitan untuk mendapatkan kebuntingan setelah beberapa kali sapi
tersebut dikawinkan.
Conception Rate oleh IB Pertama.
Syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil kebuntingan
meliputi sapi mengalami siklus birahi, petugas dapat mendeteksi birahi sapi perah
dan inseminator dapat mendeposisikan spermatozoa ke dalam uterus (Dradjat
2002). Bila sapi tidak mengalami birahi, tidak terdapat folikel yang tumbuh
akhirnya tidak terjadi birahi dan tidak terjasi ovulasi. Kondisi sapi-sapi tersebut
digolongkan sebagai sapi yang kurang subur. Conception rate (CR) oleh IB
pertama dapat dilihat pada Gambar 5.

CR Oleh IB Pertama (%)

12
80
60

60
50

43

40
20

20

0
2010

2011

2012

2013

Tahun

Gambar 5 Grafik Conception Rate (CR) oleh IB Pertama Sapi Dewasa BPPT-SP
Bunikasih. (BPPT-SP Bunikasih 2014)
Hasil grafik di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2010 sebanyak 50 %,
2011 sebanyak 20%, 2012 sebanyak 60 %, dan tahun 2013 43 %. Rata-rata bagi
ke empat tahun tersebut didapatkan nilai 43.25%. Nilai conception rate empat
tahun tersebut masih belum mencapai optimal karena berada dibawah target
penampilan reproduksi di BPPT-SP Bunikasih yaitu 50-60%. Berdasarkan nilai
tersebut dapat dinyatakan ternak di BPPT-SP Bunikasih berkemungkinan
mengalami gangguan reproduksi, Achjadi (2013) menyatakan sebuah peternakan
mengalami gangguan reproduksi jika CR tidak mencapai 70%. CR menunjukkan
angka persentase sapi dewasa yang bunting pada perkahwinan pertama yang
didiagnosa secara per rektal.CR yang baik mencapai 60-70%, akan tetapi untuk
ukuran Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi alam, manajemen dan
distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika nilai CR mencapai 4550% (Jalius 2011).
Nilai CR ditentukan oleh kesuburan pejantan, kesuburan betina, dan teknik
inseminasi (Susilawati 2005). Kesuburan pejantan merupakan tanggung jawab
Balai Inseminasi Buatan (BIB) yang memproduksi semen beku disamping
manajemen penyimpanan di tingkat inseminator. Kesuburan betina merupakan
tanggung jawab peternak dibantu oleh dokter hewan yang bertugas memonitor
kesehatan sapi induk. Sementara itu, pelaksanaan IB merupakan tanggung jawab
inseminator (Achjadi 2013).
Angka Jours Moyen Retard (JMR)
Sistem Jours Moyen Retard (JMR) merupakan suatu sistem untuk
mendapatkan atau menyimpulkan satu nilai penampilan reproduksi sapi perah.
Secara harfiah diartikan sebagai jumlah hari terlambat (Rawson 1978).
Penampilan reproduksi merupakan gambaran kondisi reproduksi ternak sapi perah
berdasarkan angka atau nilai dari berbagai parameter. Parameter untuk sapi perah
dewasa yang biasa digunakan antara lain adalah status laktasi, Service per
Conception (S/C), jarak partus ke IB pertama, Conception rate (C/R) oleh IB
pertama, masa kosong (Days Open), selang beranak (calving interval) dan lainlain. Dari berbagai parameter tersebut, kita harus menyimpulkan suatu nilai untuk
penampilan reproduksi sapi perah dewasa. Berdasarkan nilai tersebut, evaluasi
tata laksana peternakan dan sifat reproduksi sapi perah dapat dilakukan, lebih baik
atau lebih buruk dari periode sebelumnya.

13
Angka JMR untuk Indonesia yang direkomendasikan oleh Expert JICA
adalah 30, dengan asumsi bila angka JMR lebih dari 30 maka penampilan
reproduksi kelompok ternak tersebut kurang baik sedangkan bila kurang dari 30
maka penampilan reproduksi akan dinilai baik. Grafik di bawah menunjukkan
angka JMR yang dicapai BPPT-SP Bunikasih.

Nilai JMR

80
60

64.1

58.5

55.7

40
28.3
20
0
2010

2011

2012

2013

Tahun

Gambar 6 Grafik angka JMR di BPPT-SP Bunikasih (BPPT-SP Bunikasih 2014)
JMR dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang menyimpulkan kondisi
penampilan reproduksi secara kuantitatif dari berbagai parameter menjadi hanya
satu parameter atau satu nilai yang disebut angka JMR. Angka JMR merupakan
angka penalti rata-rata atau jumlah hari terlambat untuk menjadi bunting serta
merupakan gambaran umum kondisi penampilan reproduksi sapi perah (Hidayat
et al. 2002). Berdasarkan hasil analisa grafik di atas angka JMR mengalami
penurunan dari tahun 2010 64.1, 2011 58.5, 2012 55.7 dan tahun 2013 sebesar
28.3. Hal ini disebabkan tingkat kebuntingan yang lebih baik dari tahun
sebelumnya serta kasus gangguan reproduksi yang rendah. Dapat disimpulkan,
penampilan reproduksi di BPPT-SP Bunikasih telah menunjukkan kemajuan.
Kimia Darah Sapi Perah Dewasa
Keberhasilan usaha meningkatkan produktivitas ternak tergantung oleh
populasi pada saat itu. Usaha untuk lebih baik juga merupakan hal yang
hendaknya menjadi pertimbangan pada peternakan sapi perah. Peningkatan
efisiensi reproduksi dapat diperolehi dari pengelolaan ternak serta manajemen
yang lebih baik. Penyebab lambatnya perkembangan populasi dan rendahnya
produksi susu antara lain disebabkan masih tingginya gangguan reproduksi pada
sapi perah betina (Fitrianti 2003).
Sinkronisasi nilai nutrisi sapi perah dilakukan melalui pemeriksaan darah
terhadap BUN, Ca, P, Mg pada sapi perah di BPPT-SP Bunikasih.Sampel serum
darah sapi perah sebanyak 6 sampledari BPPT-SP Bunikasih diambil dan
dilakukan pemeriksaan kimia darah di Laboratorium Diagnostik Klinik bagian
Penyakit Dalam Departemen Klinik Reproduksi Patologi, Institut Pertanian Bogor.
Hasil pemeriksaan darah adalah dapat dilihat pada Tabel 2.

14

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Darah Sapi Perah BPPT-SP Bunikasih.
No. Sapi
547
971
266
408
820
822
Rujukan
(mg/dL)

BUN (mg/dL)
19.1
12.0
4.1
5.7
5.9
3.7

Ca (mg/dL)
6.65
7.73
5.81
7.69
8.01
7.26

P (mg/dL)
5.51
5.51
3.58
6.44
5.34
5.18

Mg (mg/dL)
1.8
2.1
1.8
2.0
1.6
2.1

6.0-27

9.7-12.4

5.6-6.3

1.8-2.3

Sumber : Nilai Rujukan diperoleh dari Laboratorium Diagnostik Klinik FKH IPB
Pemeriksaan Darah Sapi Perah di BPPT-SP Bunikasih.

Ca

7.26
5.18

P
2.1

3.7

1.6

5.9
8.01
5.34
2

5.7
7.69
6.44

4.1
5.81
3.58
1.8

2.1

1.8

5

BUN
7.73
5.51

10

12

15
6.65
5.51

(mg/dL)

20

19.1

25

Mg

0
547

971

266

408

820

822

No Identitas Sapi Dewasa

Gambar 7 Grafik Pemeriksaan Darah Sapi Perah Dewasa di BPPT-SP Bunikasih
Kadar urea nitrogen (BUN) sample 547 dan 971 berada di kisaran rata-rata
normal (6.0-27 mg/dL), sedangkan sampel 266, 408, 820 dan 822 berada dibawah
rata-rata normal. Blood Urea Nitrogen (BUN) atau nitrogen urea darah merupakan
indikator yang menggambarkan tingkat protein pakan. Kekurangan protein akan
mengakibatkan perubahan lingkungan uterus yaitu menurunkan pH uterus dan
bersifat toksik atau racun bagi gamet. Paritas induk tidak memberikan perbedaan
yang signifikan terhadap performan nitrogen urea darah kecuali induk sapi perah
diberikan pakan dengan kadar protein yang berbeda-beda.
Berdasarkan sampel yang diperolehi secara umum menunjukkan kadar
Kalsium (Ca) berada dibawah kisaran normal yaitu (9.7-12.4mg/dL). Kalsium
mempunyai peranan penting dalam pengaturan proses fisiologis dan biokimia
yang mencakup eksitabilitas neuromuskuler, koagulasi darah, proses sekresi,
integritas membran serta transpor membran plasma, reaksi enzim, pelepasan
hormon dan neurotransmiter serta kerja interseluler sejumlah hormon (Granner
2003). Sumber utama kalsium bagi keperluan tubuh adalah dari pakan.Mineral ini
diserap di dalam usus dari permukaan mukosa oleh sel-sel yang terbentuk secara
khusus dari sekumpulan mikrovili kemudian memasuki sitoplasma sel-sel usus

15
(Cunningham et al.2005). Sementara nilai Phosfor (P) secara umum masih dalam
toleransi batas normal (9,7-12,4mg/dL) dan dinyatakan rasio Ca:P yaitu 2:1 masih
ideal pada sapi perah di Indonesia.Kadar kalsium dan posfor menurun akibat dari
pemakaian mineral terutama kalsium dan posfor secara besar-besaran untuk
sintesa air susu dalam ambing berupa bentuk kolostrum secara tiba-tiba menjelang
kelahiran. Ternak yang kekurangan protein menyebabkan timbulnya birahi yang
lemah, birahi tenang, anestrus, kawin berulang, kelahiran anak yang lemah.
Kondisi ini lebih parah apabila dalam ransum tersebut juga kekurangan Calsium
(Ca) dan Phosfor(P) yang menyebabkan ternak menjadi infertile (Minson 1990).
Nilai Mg sapi perah di BPPT-SP Bunikasih sebanyak 1.9 mg/dL dan nilai
tersebut masih berada di batas normal (1.8-2.3 mg/dL). Anamnesa dari petugas
balai sepanjang tahun 2013 telah terjadi 7 kali gangguan penyakit Milk Fever
dengan gejala kejang-kejang(tetanus). Menurut Ratnawati et al. (2007)
menyatakan timbulnya gejala tetanus adalah akibat hipomagnesemia dari penyakit
Milk Fever. Milk fever merupakan penyakit metabolisme yang paling banyak
ditemukan pada sapi perah setelah melahirkan dan terutama terdapat pada sapi
yang berproduksi susu tinggi ditandai dengan penurunan kalsium di dalam darah.
Selain itu milk fever juga ditandai dengan hipofosfatemia, hipomagnesemia dan
hiperglisemia.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sistem JMR dapat diimplimentasikan sebagai upaya menilai kemampuan
reproduksi di BPPT-SP Bunikasih serta penerapan sistem ini mampu memberikan
informasi yang tepat sehingga perbaikan penampilan reproduksi terjadi.
Keberhasilan sistem JMR dapat dicapai dengan adanya data mengenai identifikasi
serta catatan-catatan reproduksi ternak. Adanya perbaikan penampilan reproduksi
selama aplikasi sistem JMR di BPPT-SP Bunikasih menunjukkan penampilan
reproduksi BPPT-SP Bunikasih semakin baik.
Saran
Dalam usaha memperoleh efisiensi pada peternakan sapi perlu diperhatikan
manajemen secara keseluruhan termasuk pencatatan reproduksi, deteksi birahi,
pakan, kesehatan hewan dan perkandangan. Harus diperhatikan kondisi klinis
secara keseluruhan dengan memperhatikan kembali ransumnya terutama menjaga
imbangan rasio mineral sebagai upaya meningkatkan produktivitas ternak.

16

DAFTAR PUSTAKA
Achjadi K. 2013. Manajemen Kesehatan Kelompok dan Biosekurity. Makalah
Pertemuan Swasembada Persusuan di Indonesia. Yogyakarta. Juni 2013
Afriani T. 2007. Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan Inseminasi Buatan pada
Ternak Sapi di Kecamatan IV Angkat Candung Kabupaten Agam. Jurnal
Peternakan Indonesia, vol 12(2) : 136-141.
Atabany A, Purwanto BP,dan TahormatT. 2011.Hubungan Masa Kosong Dengan
Produktivitas Pada Sapi Perah Friesian Holstein Di Baturraden,
Indonesia.MediaPeternakan FakultasPeternakan, Institut Pertanian Bogor
34 (2): 77 - 82.
Ball PJ and Peter AR. 2004. Reproduction in Cattle.3rd ed. Blackwell Science, Inc.
Bandini Y. 2004. Sapi Bali. Penebar Swadaya. Jakarta.
Cunningham M., Latour MA, dan Duane A. 2005.Animal Science and
Industry.7th ed. Pearson and Prentice Hall, New Jersey.
Dradjat AS. 2002. Penampilan Reproduksi Sapi Bali dengan Menggunakan
Inseminasi Buatan di Kecamatan Gerung, Lombok Barat. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Peternakan juni 2002:1 (1)
Dranssfiled MGB, Nebel RL, Pearson RE dan Warnick LD. 1998. Timing of
insemination for dairy cows identified in estrus by a radiotelemetric
detection system. J.Dairy Sci. 81:1874-1882.
Firk R, Stamer E, Junge W, dan Krieter J. 2002. Automation of oestrus detection
in dairy cos: a riview. Liv. Prod. Sci. 75:219-232.
Fitrianti AT. 2003. Penampilan Reproduksi Sapi Perah di Peternakan Sapi Perah
Rakyat Wilayah Kerja KUD Mojosongo Kabupaten Boyolali, Jawa
Tengah.Skripsi.Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Granner DK. 2003. Hormon yang Mengatur Metabolisme Kalsium.Dalam
Biokimia Harper.Murray RK., DK Granner, PA Mayes, dan VW Rodwell
(eds.). EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Hadi PU dan Ilham N. 2002.Problem dan Prospek Pengembangan Usaha
Pembibitan Sapi Potong di Indonesia.Jurnal Litbang Pertanian. 21 (4) :
148-157.
Hidajati N. 1995 Pemeliharaan Pedet Sapi Perah. Wartazoa 1995: 4(1-2) Bogor:
Departemen Pertanian. Ed. Ke-1 Dairy Technology Improvement Project
in Indonesia. Bandung.
Hidayat A, Effendi D, Sugiwaka T. 2002. Informasi Teknologi Penunjang pada
Kesehatan Reproduksi.Ed ke-1.Dairy Teknology Improvment Project In
Indonesia Bandung.1-40.
JainudeenMR dan ESE Hafez. (2000). Cattle and Buffalo.In : Hafez E. S. E. and B.
Hafez. Reproduction in Farm Animal. 7th ed. .USA : Lippincott Williams
and Wilkins. USA. 96
Jalius.2011. Hubungan Mortalitas Progresif dan Keutuhan Membran Sperma
dalam Semen Beku Sapi Bali dengan Keberhasilan Inseminasi.Agrinak.
1(1): 43-47.
Mason IL dan Buvanendran V.1982.Breeding Plant for Ruminant Livestock in
The Tropic. Food and Agriculture Organization of The United Nations.
Rome. 11

17
Meadows C, Rajala-SchultzPJ.dan Frazer, GS, 2005. A Spreadsheet-Based
Model Demonstrating the Nonuniform Economic Effects of Varying
Reproductive Performance in Ohio Dairy Herds. J. Dairy Sci. 88:1244-1254
Minson DJ. 1990. Forage in Ruminant Nutrition. Academic Press Inc. New York.
Nuryadi dan Wahjuningsih S. 2011.Penampilan Reproduksi Sapi Peranakan
Ongole dan Peranakan Limousin di Kabupaten Malang. J. Ternak Tropika.
12 (1): 76-81.
Oktaviani TT. 2010. Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein
(PFH) Di Kecamatan Musuk Boyolali.Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
PirloG, MilfliorF,dan Speroni M. 2000. Effect of Age at First Calving on
Production Traits and Difference Between Milk Yield and Returns and
Rearing Cost in Italian Holsteins. Journal Dairy Science. 83 (3):603-608.
Pramono, A., Kustono dan H. Hartadi. 2008. Calving Interval Sapi Perah di
Daerah Istimewa Yogyakarta Ditinjau Dari Kinerja Reproduksi. Buletin
Peternakan. 32(1) : 38-50.
Rankin TA, Smith WR, Shanks RD dan Lodge JR. 1992. Timing of insemination
in dairy heifers. J. Dairy Sci. 75:2840-2845.
Ratnawati D, Wulan CPdan Lukman AS. 2007. Penanganan Gangguan
Reproduksi Pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Departemen Pertanian.
Risco CA, De la Sota RL, Morris G, Savio JD dan Thatcher WW. 1995. Post
Partum Management of Dairy Cows, 43(7)
Rowson CL. 1987. JMR A key Monitoring for Reproductive Measurement.
Communication and Monitor.Dairy Technology Improvement Project in
Indonesia. Bandung.
Siregar S.B. 2001. Peningkatan Kemampuan Berproduksi Susu Sapi Perah Laktasi
Melalui Perbaikan Pakan dan Frekuensi Pemberiannya.JITV, 6 (2):76-82
Siregar, A.R.P, P. Situmorang, J. Bestari, Y. Sani dan R.H. Matondang. 1997.
Pengaruh flushing pada sapi induk peranakan ongole di dua lokasi yang
berbeda ketinggiannya pada program IB di Kabupaten Agam. Prosiding
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2: 244.
Soetarno, T. 2000. Ilmu Produksi Ternak Perah. Laboratorium Ternak Perah
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Stevenson, J. S. 2001. Reproductive Management of Dairy Cows in High MilkProducing Herds. J.Dairy Sciences. 84 : 128-143.
Subandriyo danSitorus P. 1979.Performan Sapi Bali. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Indonesia 1:8.
SusilawatiT. 2005. Tingkat Keberhasilan Kebuntingan dan Ketepatan Jenis
Kelamin Hasil Inseminasi Buatan Menggunakan Semen Beku Sexing pada
Sapi Peranakan Ongole.Animal Production.7 : 161-167.

18

LAMPIRAN
Lampiran 1.Hasil Pemeriksaan kimia Darah Sapi Dewasa September 2013
NO.SAPI
547
971
266
408

BUN (mg/dl)
19.1
12.0
4.1
5.7

Ca (mg/dl)
6.65
7.73
5.81
7.69

P (mg/dl)
5.51
5.51
3.58
6.44

Mg (mg/dl)
1.8
2.1
1.8
2.0

820
822

5.9
3.7

8.01
7.26

5.34
5.18

1.6
2.1

Lampiran 2. Tabel Penampilan Reproduksi Sapi Perah Dewasa dengan Sistem JMR Bulan Februari 2010
IB
No

No.sapi

Laktasi ke-

VP

Tanggal partus
terakhir

Pertama

Jarak Waktu (Hari)
Total IB

O/P

D

P

Terakhir

Partus
Ke IB 1

Day
Open

Tanggal
Kering
Kandang

Tanggal
Partus
Berikutnya

1.

267

1

80

07/12/09

27/01/10

27/01/10

1

1

3

3

51

2.

127

1

80

18/12/09

22/1/10

12/02/10

2

1

-8

-8

35

3.

263

1

80

9/11/09

26/1/10

26/01/10

1

1

31

31

78

4.

536

1

80

20/11/09

10/1/10

01/02/10

2

1

20

20

51

5.

116

2

60

30/11/09

05/1/10

24/02/10

3

1

30

30

36

6.

415

1

80

9/10/09

23/12/09

11/01/10

2

1

62

62

75

7.

122

1

80

04/04/09

13/08/09

11/09/09

2

0

250

250

131

8.

124

2

60

16/04/09

08/08/09

02/02/10

3

1

258

258

114

9.

106

4

60

28/11/08

11/08/09

11/08/09

1

2

196

256

256

17/03/10

17/05/10

10.

257

1

80

04/06/09

19/08/09

19/08/09

1

2

-11

69

69

25/03/10

25/05/10

Jumlah

15

641

896

19

20

2

a. Status Laktasi = 15 : 10 = 1,5
b. Service Per Conception (S/C) = (1+1):2 = 1
c. Jarak Partus ke IB 1 = 896 : 10 = 89,6 hari
d. Conception Rate (C/R) oleh IB 1 = (1+1)x100 = 100%
2

e. Days open : Rata-rata =325 : 2 =162,5 hari
Minimum = 69
Maksimum = 256
f.Calving Interval (CI) = 162 + 276 = 14,6
30

g. JMR = 641:10 = 64,1

Keterangan tabel :
a) Nomor (Kolom 1)
b) Identitas sapi (Kolom 2)
c) Angka laktasi (Kolom 3)
d) Voluntary waiting periode / VP (Kolom 4)
VP adalah jangka waktu yang ditetapkan (dalam hari atau bulan) untuk mencapai kebuntingan.
VP untuk sapi laktasi pertama adalah 80 hari. Artinya 80 hari sejak beranak pertama, sapi tersebut harus bunting. Dalam hal ini VP
sama dengan target Days Open.
VP untuk sapi laktasi ke-2,3,4 dan seterusnya adalah 60 hari.
e) Tanggal beranak terakhir (kolom 5)
f) IB
Tanggal IB