Comparison of Back Propagation Neural Network and Maximum Likelihood classification method in mapping paddy field and sugarcane using multitemporal data of landsat ETM+

(1)

SEBARAN LAHAN SAWAH DAN TEBU MENGGUNAKAN

DATA LANDSAT ETM+ MULTI TEMPORAL

BUKHARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perbandingan Klasifikasi Back Propagation Neural Network dan Maximum Likelihood dalam Pemetaan Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Menggunakan Data Landsat ETM+ Multi Temporal adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2010

Bukhari


(3)

BUKHARI. Comparison of Back Propagation Neural Network and Maximum Likelihood Classification Method in Mapping Paddy Field and Sugarcane Using Multitemporal Data of Landsat ETM+. Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and KOMARSA GANDASASMITA.

Abstract

The main objectives of this research are to map the paddy field dan sugarcane area with Maximum Likelihood Classification (MLC) and Back Propagation Neural Network (BPNN) methods, and to compare the classification result generated from both classification methods. This research compared parametric method (MLC) and non parametric method (BPNN) by using the same images of Landsat ETM+ and the same training area. Seven bands (multispectral band 1,2,3,4,5,7 and Pancromatic Band 8) from multi temporal Landsat images used as input data for both classification methods. Before Landsat ETM+ used for classification process, it was corrected geometrically and radiometrically. Classification process of both methods (MLC and BPNN) used multistage approach. Landuse classified into 4 classes paddy field, sugarcane, possible paddy field/sugarcane and not paddy field/sugarcane. The target of training area was done based field data. The result show that BPNN classification method has overall accuracy 84,30 % and kappa accuracy 0,64, which is paddy field area 38.040 ha and sugarcane area 5.525 ha. Meanwhile MLC method show overall accuracy 83,26 % and kappa accuracy 0.60 with paddy field area 38.416 ha and sugarcane 6.593 ha. This research is also showed that BPNN get a better accuracy compare to MLC, but the paddy field area generating from both methods is not significantly different.

Keyword: Remote sensing, parametric and non parametric classification, back popagation neural network, maximum likelihood, paddy field, sugarcane


(4)

RINGKASAN

BUKHARI, Perbandingan Klasifikasi Back Propagation Neural Network dan

Maximum Likelihood dalam Pemetaan Sebaran Lahan Sawah dan Tebu

Menggunakan Data Landsat ETM+ Multi Temporal, dibawah bimbingan

MUHAMMAD ARDIANSYAH dan KOMARSA GANDASASMITA.

Perolehan informasi tematik dari citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan proses klasifikasi, yang secara umum dibedakan dalam klasifikasi terawasi (supervised classification) dan tak terawasi (unsupervised classification). Klasifikasi terawasi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu klasifikasi parametrik dan klasifikasi non parametrik. Perbedaan antara klasifikasi parametrik dan non parametrik adalah persyaratan statistik distribusi normal, dimana klasifikasi parametrik memerlukan informasi parameter statistik dari daerah sampel pelatihan yang terdistribusi normal, sedang klasifikasi non parametrik tidak mensyaratkan distribusi normal. Metode klasifikasi citra digital yang digunakan dalam penelitian ini adalah maximum likelihoodclassification/MLC (parametrik) danmetode back propagation neural network/BPNN (non parametrik).

Pemilihan metode klasifikasi citra yang akan digunakan sangat menentukan hasil klasifikasi citra, oleh karena itu salah satu persoalan pemetaan menggunakan data penginderaan jauh digital adalah pemilihan metode klasifikasi yang akan digunakan. Penggunaan metode BPNN diharapkan dapat meningkatkan akurasi hasil klasifikasi citra digital Landsat ETM+ untuk pemetaan tanaman padi sawah dan tebu. Namun demikian pada kenyataannya bahwa pemetaan penutup/penggunaan lahan mengunakan data penginderaan jauh mono temporal masih mengalami kesulitan dalam pemisahan kelas, dimana pada fase-fase pertumbuhan tertentu antara kelas lahan sawah dan tebu secara visual atau spektral memiliki kemiripan yang sama. Untuk meningkatkan kemampuan identifikasi dan pemetaan lahan sawah dan tebu digunakan citra satelit multi temporal denganmelakukan klasifikasi secara berjenjang.

Penelitian bertujuan untuk : 1) Memetakan sebaran lahan sawah dan tebu dengan metode BPNN, 2) Memetakan sebaran lahan sawah dan tebu dengan metode MLC, 3) Melakukan perbandingan hasil klasifikasi dengan menggunakan metode BPNN dan MLC untuk penutup/penggunaan lahan sawah dan tebu.

Lokasi utama penelitian ini dilakukan di lahan milik PT. Sang Hyang Seri Sukamandi dan sekitarnya dengan penutup/pengunaan lahan padi sawah, sedangkan untuk lokasi tanaman tebu dilakukan di areal perkebunan PT. Rajawali Nusantara Unit Pasir Bungur Kecamatan Purwadadi dan sekitarnya. Kedua Lokasi ini terletak di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Citra satelit Landsat ETM+ multitemporal yang digunakan adalah liputan tanggal 3 Desember 2000, 15 Juli 2001, 29 April 2002, 18 Juli 2002 dan 31 Maret 2003.

Penelitian diawali dengan pengolahan awal citra, dilanjutkan tahap interpretasi secara visual dan klasifikasi secara digital menggunakan metode BPNN dan MLC. Proses klasifikasi secara digital dilakukan secara berjenjang pada semua citra multitemporal dengan menggunakan 5 skema tahapan proses klasifikasi.

Hasil klasifikasi dilakukan uji akurasi untuk mengetahui akurasi hasil klasifikasi. Klasifikasi citra multitemporal secara berjenjang dengan metode


(5)

BPNN menghasilkan akurasi lebih baik dengan nilai overall accuracy sebesar 84,30 % dan kappa accuracy 0,64, sedangkan metode MLC menghasilkan overall accuracy sebesar 83,26 % dan kappa accuracy sebesar 0,60. Interpretasi berjenjang secara visual menghasilkan lahan sawah 33.980 ha dan tebu 4.474 ha. klasifikasi BPNN menghasilkan luas lahan sawah 38.040 dan tebu 5.525 ha, sedangkan dengan MLC menghasilkan luas lahan sawah 38.416 ha dan tebu 6.593 ha. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara MLC dan BPNN dalam memetakan luas lahan sawah, namun terdapat perbedaan yang signifikan pada kelas lahan tebu.

Kata kunci : Penginderaan jauh, parametrik dan non parametrik, back


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

SEBARAN LAHAN SAWAH DAN TEBU MENGGUNAKAN

DATA LANDSAT ETM MULTI TEMPORAL

BUKHARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

(9)

Temporal

Nama : Bukhari NRP : A225010021 Program Studi : Ilmu Tanah

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M. S.


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah Tesis dengan judul Perbandingan Klasifikasi Back Propagation Neural Network dan Maximum Likelihood dan dalam Pemetaan Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Menggunakan Data Landsat ETM Multi Temporal.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah. dan Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan dan motivasi dalam pelaksanaan dan penyelesaian penulisan tesis ini.

2. Almarhum Prof. Dr. Ir. Uup Safei Wiradisastra, M.Sc selaku mantan anggota komisi pembimbing dan mohon maaf sebesar-besarnya karena belum sempat menyelesaikan penulisan tesis, semoga beliau mendapatkan kemuliaan di sisi Yang Maha Kuasa.

3. Dr. Ir. Atang Sutandi, M.S. selaku Ketua Program Studi Ilmu Tanah beserta staf pengajar pada Program Studi Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

4. Dr. Dra. Khursatul Munibah, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tesis. 5. Ayahanda Tercinta Muhammad Amin, Ibunda Aminah, kakak dan adikku

tercinta, serta seluruh keluarga atas do’a, dukungan, kesabaran dan kasih

sayangnya selama ini.

6. Dukungan moral yang sangat besar dari istri tercinta Siska Oktavia, S.Psi, Psi yang tak henti-hentinya dengan penuh kesabaran selalu mengingatkan penulis untuk segera dan jangan menunda-nunda menyelesaikan tanggung jawab penyelesaian tesis dan Ananda Muhammad Khairan Akbari “motivator” buat

Penulis dalam menyelesaikan Studi Sekolah Pascasaarjana.

Kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga karya kecil ini bermanfaat bagi banyak pihak. Amin

Bogor, September 2010


(11)

Penulis dilahirkan di Lam Ujong, Kabupaten Pidie Provinsi Aceh, pada Tanggal 03 Maret 1977. Penulis merupakan putra ketiga dari sembilan bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri Kota Bakti dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Syiah Kuala Banda Aceh melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan Program Magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Tanah.


(12)

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Penginderaan Jauh ... 5

Karakteristik Landsat ETM+ ... 7

Klasifikasi Digital ... 9

Metode Klasifikasi Backpropagation Neural Network (BPNN) .. 10

Metode Klasifikasi Maximum Likelihood (MLC) ... 19

Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi ... 21

Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan ... 23

METODOLOGI PENELITIAN ... 26

Waktu dan Lokasi ... 26

Bahan dan Alat ... 26

Bahan... 26

Alat ... 28

Metode Penelitian ... 28

Tahapan Penelitian ... 28

Persiapan dan Pengumpulan Data Awal ... 28

Pra Pengolahan Citra ... 28

Pengolahan Citra ... 29

Klasifikasi Citra ... 30

Kegiatan Groundcek Lapangan ... 35

Analisis dan Perbandingan Hasil Klasifikasi ... 36

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

Koreksi Geometrik ... 39

Interpretasi Penutup/Penggunaan Lahan Secara Visual ... 40

Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan Secara Digital ... 44

Pengambilan Training Area ... 44

Klasifikasi Citra Multispektral ... 45

Maximum Likelihood Classification ... 46

Back Propagation Neural network ... 56

Pengujian Hasil Klasifikasi ... 68

Perbandingan Akurasi Hasil Klasifikasi MLC dan BPNN ... 69

KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(13)

xi

1. Karakteristik Landsat ETM+ dan Kegunaan Masing-masing Band ... 9

2. Matrik Kesalahan (Confusion Matrix) ... 23

3. Klasifikasi Penutupan Lahan Menurut FAO ... 25

4. Contoh Matrik Konfusi ... 36

5. Ketelitian Geometri (RMS Error) dari Koreksi Geometri Citra ... 39

6. Luas Penutupan/Penggunaan Lahan Visual ... 42

7. Jumlah Piksel dan Luas Training Area ... 44

8. Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Multitemporal dengan MLC ... 48

9. Luas Penutupan/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Berjenjang (multistage) dengan Metode MLC ... 54

10.Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Multitemporal dengan BPNN ... 60

11.Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Berjenjang (multistage) dengan MetodeBPNN ... 66

12.Akurasi Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan dengan Metode MLC untuk Masing-masing Citra Landsat ... 68

13.Akurasi Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan dengan Menggunakan Metode BPNN untuk Masing-masing Citra Landsat ... 69


(14)

xii

1. Kurva Karakteristik Reflektan dari Objek Tanah, Air dan Vegetasi ... 7

2. Struktur Internal Node Pemeroses Neural Network ... 12

3. Model Generik Multi Layer Perceptron ... 12

4. Fungsi Sigmoid ... 13

5. Model Backpropagation Neural Network (BPNN) ... 14

6. Neural Network dengan Fungsi Aktivasi ... 14

7. Peta Orientasi Lokasi Penelitian ... 27

8. Skema Klasifikasi Lahan Sawah dan Tebu secara Bertahap menggunakan Citra Landsat Multitemporal ... 32

9. Struktur Neural Network (Backpropagation Neural Network) yang Digunakan Dalam Penelitian ... 33

10. Model Klasifikasi BPNN ... 34

11. Model Klasifikasi MLC ... 35

12. Diagram Alir Metodologi Penelitian ... 38

13. Lokasi Pengambilan Titik Kontrol (GCP) ... 40

14. Kenampakan Fase Pertumbuhan Lahan Sawah dan Tebu pada Citra Landsat 542 Berbeda Waktu Perekaman ... 41

15. Peta Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Interpretasi Visual ... 43

16. Area Contoh Lokasi Training Area pada Citra 3 Desember 2000 ... 45

17. Hasil Klasifikasi Citra Menggunakan Metode Maximum Likelihood ... 47

18. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 3 Desember 2000 ... 49

19. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 15 Juli 2000 ... 50

20. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 29 April 2002 ... 51

21. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 18 Juli 2002 ... 52

22. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 31 Maret 2003 ... 53

23. Peta Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Hasil Klasifikasi MLC ... 55

24. Tahap Creating Data Neural Network ... 56

25. Konfigurasi Training Data untuk Klasifikasi Neural Network ... 57

26. Proses Klasifikasi Back Propagation Neural Network ... 58

27. Hasil Klasifikasi Citra menggunakan BPNN ... 58

28. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat 3 Desember 2000 ... 61


(15)

xiii 32. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat 31 Maret 2003 ... 65 33. Peta Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Hasil Klasifikasi BPNN ... 67 34. Perbandingan Luas Masing-masing Kelas Hasil Klasifikasi ... 70


(16)

xiv

1. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 3 Desember 2000 ... 74

2. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 15 Juli 2001 ... 75 3. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 29 April 2002 ... 76 4. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 18 Juli 2002 ... 77 5. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 31 Maret 2003 .. 78 6. Ground Control Point untuk Koreksi Geometri ... 79 7. Matrik Konfusi Akurasi Klasifikasi dengan Metode Maximum

Likelihood ... 80 8. Matrik Konfusi Akurasi Klasifikasi dengan Metode Backpropagation


(17)

Latar Belakang

Peta penggunaan lahan adalah upaya untuk menyajikan informasi tentang pola penggunaan lahan di suatu wilayah secara spasial. Penggunaan lahan sifatnya dinamis dan relatif cepat berubah menurut waktu dan ruang, maka peta pengunaan lahan ini harus selalu diperbaharui secara periodik. Pemetaan penggunaan lahan pada beberapa waktu lampau sangat menekankan pada survei terestrial yang memiliki hasil yang detil tetapi berimplikasi pada biaya yang besar dan waktu yang lama. Berkembangnya teknologi penginderaan jauh, kendala biaya survei dan waktu dapat dikurangi dengan nyata. Pada saat ini, citra penginderaan jauh telah digunakan pada berbagai bidang aplikasi seperti pertanian, kehutanan, kelautan, pertambangan dan bidang lainnya.

Dinamika pengunaan lahan yang akan terus terjadi karena sifatnya yang mengikuti dinamika aktivitas manusia, sehingga perlu mendapat perhatian serius terutama dalam usaha-usaha pengelolaan lahan pertanian. Untuk itu diperlukan suatu metode pemantauan atau monitoring yang berkelanjutan dengan hasil-hasil yang akurat, yang secara periodik dapat memberikan informasi-informasi tentang histori penggunaan lahan suatu wilayah. Teknologi Penginderaan jauh merupakan salah satu alternatif yang dapat dipakai untuk keperluan tersebut.

Menurut Lillesand and Kiefer (1990) penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Pada berbagai hal penginderaan jauh dapat diartikan sebagai suatu proses membaca. Dengan menggunakan berbagai sensor, data dapat dikumpulkan dari jarak jauh dan dapat dianalisis, sehingga didapatkan informasi tentang obyek, daerah atau fenomena yang diteliti.

Informasi obyek, daerah atau fenomena diperoleh dengan mengolah data penginderaan jauh baik secara manual maupun digital. Saat ini pengolahan data penginderaan secara digital banyak dikembangkan untuk inventarisasi sumber


(18)

daya alam karena mampu memberikan hasil yang lebih akurat dan tepat dibandingkan secara manual.

Tahapan penting untuk mengekstraksi informasi dari data penginderaan jauh adalah klasifikasi. Klasifikasi citra penginderaan jauh adalah suatu proses dimana semua pixel dari suatu citra yang mempunyai penampakan spektral yang sama akan diidentifikasi dan akan menghasilkan suatu peta tematik. Menurut Dewanti

et al. (1998) pada prinsipnya teknik klasifikasi adalah menggunakan informasi spektral atau informasi spasial dari suatu citra dalam rangka membagi citra menjadi beberapa kelas yang berbeda dan mempunyai arti terhadap obyeknya.

Dasar klasifikasi data penginderaan jauh adalah perhitungan statistik terhadap nilai-nilai spektral (digital number). Menurut Schowengerdt (2007) algoritma klasifikasi citra dapat dibedakan menjadi non parametrik dan parametrik. Perbedaan antara klasifikasi parametrik dan non parametrik terletak pada asumsi statistik yang digunakan, dimana algoritma parametrik berasumsikan bahwa kelas terdistribusi normal dan memerlukan perkiraan distribusi parameter seperti mean vector dan kovarian matrik untuk klasifikasi sedangkan non parametrik menggunakan asumsi distribusi bebas sehingga akan lebih baik digunakan pada suatu distribusi kelas yang variabilitasnya lebar.

Perolehan informasi tematik dari citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan proses klasifikasi, yang secara umum dibedakan dalam klasifikasi terawasi (supervised classification) dan tak terawasi (unsupervised classification) (Jensen 1996). Klasifikasi terawasi sendiri dapat dibedakan lagi menjadi 2, yaitu klasifikasi parametrik (parametric classifier) dan klasifikasi non parametrik ( non-parametric classifier). Klasifikasi parametrik memerlukan informasi parameter statistik dari daerah sampel pelatihan yang terdistribusi secara normal, sedang klasifikasi non parametrik tidak. Metode klasifikasi citra digital yang sering digunakan untuk penginderaan jauh adalah maximum likelihood (MLC). MLC termasuk kedalam metode parametrik yang menggunakan asumsi dan persyaratan bahwa masing-masing kelas terdistribusi secara normal. Kenyataannya pada kondisi tertentu untuk menemukan distribusi secara normal sulit, sehingga dalam pengambilan training area untuk memisahkan piksel-piksel dari kelas yang berbeda akan terjadi kesalahan dalam klasifikasi (misclassification) yang


(19)

menyebabkan tingkat akurasi akan menurun dan standar deviasinya akan menjadi lebih tinggi.

Salah satu metode non parametrik adalah metode neural network dimana asumsi yang digunakan untuk training area tidak mensyaratkan distribusi normal. Klasifikasi neural network juga lebih mudah melakukan pengolahan informasi yang berupa co-occurance matrix dari multi band yang memiliki dimensi besar sebagai masukan dan neural network sebagai pengklasifikasi sedangkan maximum likelihood tidak dapat dipergunakan untuk mengklasifikasi dengan masukan matrik. Kelebihan lain neural network mampu melakukan pengkelasan tidak hanya berdasarkan informasi warna tetapi juga bisa berdasarkan informasi bentuk, tekstural. Klasifikasi neural network menunjukkan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode statistik konvensional (parametrik) seperti metode MLC (Bischof 1992, Chang 1994, Yoshida, 1994 dalam Sadly 1998; Koeshardono, 1999).

Jenis metode klasifikasi citra yang akan digunakan sangat menentukan hasil klasifikasi citra, oleh karena itu salah satu persoalan pemetaan menggunakan data penginderaan jauh digital adalah pemilihan metode klasifikasi yang akan digunakan. Penggunaan metode Neural Network (Back Propagation Neural Network/BPNN) diharapkan dapat meningkatkan akurasi hasil klasifikasi citra digital Landsat ETM+ untuk pemetaan tanaman padi sawah dan tebu. Namun demikian pada kenyataannya bahwa pemetaan penutup/penggunaan lahan mengunakan data penginderaan jauh mono temporal masih mengalami kesulitan dalam pemisahan kelas, dimana pada fase-fase pertumbuhan tertentu antara kelas lahan sawah dan tebu secara visual atau spektral memiliki kemiripan yang sangat mirip. Untuk membantu identifikasi lahan sawah dan tebu dapat digunakan citra satelit multi temporal dan melakukan proses klasifikasi secara berjenjang

(multistage). Ini bisa dilakukan karena lahan sawah atau tebu mempunyai karakteristik yang spesifik selama masa pertumbuhannya, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk membedakan dari jenis penggunaan lain.

Beberapa peneliti yang sudah melakukan penelitian menggunakan neural network untuk klasifikasi penutup lahan menggunakan data penginderaan jauh seperti Chang (1994) dalam Sadly (1998) menggunakan dynamic neural network,


(20)

Widyastuti (2000) menggunakan BPNN untuk pemetaan mangrove menunjukan bahwa metode klasifikasi BPNN mempunyai akurasi yang tinggi.

Dalam penelitian ini akan menggunakan metode klasifikasi BPNN untuk pemetaan sebaran lahan sawah dan tebu dan hasilnya akan dilakukan perbandingan dengan metode MLC. Lokasi penelitian dipilih pada lahan sawah dan tebu yang lokasi berada dalam hamparan yang berdekatan, untuk lahan sawah dipilih pada areal lahan sawah Perum Sang Hyang Seri sedangkan lahan tanaman tebu di Perkebunan milik PG. Rajawali III unit Pasir Bungur. Pertimbangan lainnya lokasi ini memiliki dokumentasi data jadwal tanam dan pola tanam yang lengkap dan teratur sehingga memudahkan dalam melakukan verifikasi dan perbandingan hasil klasifikasi lahan sawah dan tebu secara bertahap dengan menggunakan data Landsat multitemporal.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk memetakan sebaran lahan sawah dan tebu dengan metode BPNN 2. Untuk memetakan sebaran lahan sawah dan tebu dengan metode MLC.

3. Melakukan perbandingan hasil klasifikasi dengan menggunakan metode BPNN dan MLC untuk penutup/penggunaan lahan sawah dan tebu.

Hipotesis

Hipotesis untuk penelitian ini adalah :

1. Terdapat perbedaan akurasi klasifikasi citra metode parametrik dan non parametrik.

2. Klasifikasi BPNN akan menghasilkan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan MLC


(21)

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah atau gejala yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1990). Menurut Hornby (1974 dalam

Sutanto 1986) mengemukakan bahwa citra merupakan gambaran yang terekam oleh kamera atau oleh sensor penginderaan jauh. Data penginderaan jauh memiliki keunggulan dalam hal waktu pengamatan dibandingkan dengan cara konvensional. Data penginderaan jauh khususnya data satelit mempunyai peran yang sangat penting karena memberikan informasi menggenai penggunaan lahan yang sesuai dengan keadaan sebenarnya. Data yang didapatkan dari satelit biasanya sudah merupakan data bersifat digital.

Pengolahan data penginderaan jauh atau pengolahan citra digital meliputi beberapa tahapan, yaitu memasukkan data (input data), pengolahan awal untuk memperbaiki kualitas citra secara radiomerik dan geometrik, pengolahan citra menjadi suatu output yang memberikan informasi kepada pengguna.

Data yang mungkin dianalisis untuk memperoleh informasi tentang objek, area, kejadian yang diteliti dikumpulkan menggunakan berbagai sistem sensor yang dioperasikan dari suatu wahana (platform). Pada penginderaan jauh sumber daya alam, data pada umumnya dikumpulkan dalam bentuk sebaran energi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan oleh obyek di permukaan bumi (Lillesand & Kiefer 1990)

Selanjutnya menurut Lillesand & Kiefer (1990) terdapat dua proses dasar dalam penginderaan jauh sumber daya alam yaitu : pengumpulan data dan analisis data. Unsur-unsur proses pengumpulan data adalah sumber energi, perambatan energi melalui atmosfer, interaksi energi dengan kenampakan permukaan bumi dan data yang diperoleh dalam bentuk gambar. Proses analisis data menyangkut penilaian data dengan menggunakan berbagai peralatan pengamatan dan interpretasi untuk menganalisis data dalam bentuk gambar atau komputer untuk menganalisis data dalam bentuk numerik, selanjutnya data referensi tentang


(22)

sumber daya alam dipelajari untuk membantu dalam analisis data. Dengan bantuan data referensi, analisis ekstraksi informasi tentang luas, macam, lokasi dan kondisi berbagai sumber alam yang diindera oleh sensor. Informasi ini kemudian disajikan, umumnya dalam bentuk peta, tabel-tabel dan laporan. Akhirnya informasi digunakan oleh pemakai dalam proses pengambilan keputusan.

Pada dasamya objek di permukaan bumi ini dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu tanah, air dan vegetasi. Ketiga objek tersebut secara alami mempunyai bentuk dan sifat berbeda, sehingga apabila dipotret dengan mengunakan panjang gelombang tertentu akan menghasilkan karakteristik reflektan yang berbeda-beda. Karakteristik reflektan dari objek permukaan bumi (tanah, air dan vegetasi) dapat digunakan sebagai dasar dalam pemilihan citra penginderaan jauh yang digunakan dan dasar dalam interpretasi objek. Kurva karakteristik reflektan dari objek tanah, air dan vegetasi secara umum dapat diketahui dari Gambar 1.

Dalam penerapan teknik penginderaan jauh, detail dan ketelitian yang diinginkan, luas wilayah terliput, ditentukan oleh jenis dan skala citra yang digunakan, karena setiap jenis citra tertentu dengan skala tertentu menggambarkan dan bahkan menonjolkan objek-objek tertentu sesuai dengan panjang gelombang yang digunakan untuk merekam data lapangan. Suatu hal yang perlu dipakai sebagai dasar pemikiran dalam setiap penerapan teknik penginderaan jauh bahwa pada prinsipnya kamera/sensor penginderaan jauh hanya merekam objek-objek di permukaan bumi, sehingga objek-objek di bawah permukaan bumi atau yang tertutup oleh tumbuh-tumbuhan, dinterpretasi berdasarkan objek-objek yang tampak pada permukaan bumi (Estes et al 1983; Sutanto 1987; Lillesand & Kiefer 1990).


(23)

Gambar 1. Kurva Karakteristik Reflektan dari Obyek Tanah, Air dan Vegetasi Citra Landsat (Sumber: Gao Yan 2003)

Karakteristik Landsat ETM+

Karakteristik penginderaan jauh satelit dapat dibedakan menurut misinya seperti satelit cuaca dan satelit sumber daya alam. Data satelit cuaca memiliki cakupan luas dan resolusi temporal tinggi, sedangkan data satelit sumber daya alam memiliki resolusi spasial tinggi dan masing-masing band memiliki kesesuaian untuk analisis obyek tertentu, sehingga memudahkan penafsir untuk melakukan analisis spasial terhadap fenomena yang terjadi pada permukaan bumi (Asriningrum 2002).

Di Indonesia data citra satelit sumber daya alam seperti Landsat, SPOT, IKONOS, JERS dan ERS sudah digunakan. Landsat dari seri satelit bumi merupakan sistem penginderaan jauh yang menyelidiki sumber daya bumi sebagai obyek operasi utamanya. Sistem Landsat mengidentifikasikan sejumlah band-band yang khusus direkam pemindai (Scanner). Landsat 4 dan 5 memuat sensor

multi spectral scanner (MSS) dan sensor thematic mapper (TM). Saat ini citra satelit Landsat sudah mencapai seri Landsat 7 ETM+.

Landsat ETM+ merupakan seri Landsat ke-7 atau terakhir dari Landsat yang memiliki beberapa peningkatan kemampuan dibandingkan dengan seri sebelumnya yaitu Landsat 5. Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 dengan wahana peluncur roket Delta II. Landsat 7 membawa satu sensor yaitu


(24)

Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+). Sensor tersebut merupakan duplikasi dari sensor TM pada Landsat TM 4, 5 yang mendapat tambahan satu saluran pankromatik dengan resolusi spasial 15 m, sedangkan pada infra merah thermal resolusinya spasialnya meningkat dari 120 meter pada Landsat TM menjadi 60 meter (Landsat 2000). Karakteristik Landsat ETM+ dan fungsi masing-masing saluran disajikan pada Tabel 1.

Keunggulan citra Landsat ETM+ dibanding Landsat TM adalah ditambahnya band pankromatik (band 8) dengan resolusi 15 meter dan pada band 6 terdapat perekaman dengan sistem low gain dan high gain untuk analisis laut dan darat. Adapun keterbatasan citra ini adalah adanya liputan awan (akibat sistem perekaman optik), dan resolusi spasial 15 meter masih termasuk kasar untuk tujuan pemetaan skala besar (Asriningrum 2002).

Tabel 1. Karakteristik Landsat ETM+ dan Kegunaan Masing-masing Band No Band

Sistem resolusi Kegunaan utama Spektral (µm) Spasial (m) Tempor al (hari)

1 Biru 0.450-0.515 30 x 30 16 Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, pembedaan vegetasi dan tanah

2 Hijau 0.525-0.605 30 x 30 16 Pengamatan puncak pantulan vegetasi, untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk membedakan antara tanaman sehat dan tidak sehat.

3 Merah 0.630-0.690 30 x 30 16 Untuk membedakan jenis vegetasi, untuk membedakan jenis tanaman, memudahkan perbedaan antara lahan terbuka dengan lahan bervegetasi.

4 Infra merah dekat 0.750-0.900 30 x 30 16 Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga untuk identifiaksi jenis tanaman, memudahkan perbedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air 5 Inframerah

gelombang pendek (menengah I)

1.550-1.750 30 x 30 16 Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman, kandungan air tanaman, kelembaban tanah. 6 Inframerah thermal 10.40-12.50 60 x 60 16 Untuk membedakan formasi batuan

dan untuk pemetaan hidrotermal 7 Inframerah

gelombang pendek (menengah II)

2.090-2.350 30 x 30 16 Berfungsi untuk memisahkan formasi batuan dan dapat digunakn untuk pemetaan hidrotermal 8 Pankromatik 0.520-0.900 15 x 15 16 Klasifikasi vegetasi, analisis

ganguan vegetasi, pembedaan kelembaban tanah dan keperluan lain yang berhubungan dengan gejala termal


(25)

Klasifikasi Digital

Klasifikasi merupakan suatu proses dimana semua piksel dari citra yang memiliki ciri spektral yang sama dikelompokkan. Secara umum terdapat dua metode klasifikasi : klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervisedclassification).

Klasifikasi terbimbing (supervised classification) merupakan metode klasifikasi yang menggunakan training area yang telah dikenal dengan baik oleh analis. Training area yang refresentatif untuk masing-masing kelas harus ditentukan oleh pengguna. Hal yang penting diperhatikan dalam pengambilan

training area adalah pencarian area yang homogen. Namun demikian kisaran variabilitas juga perlu diperhatikan untuk menghindari ketidakmampuan algoritma dalam mengklasifikasi. Informasi yang diperlukan sebagai referensi dalam penetapan training area dapat diperoleh dari survei lapangan, foto udara, peta dan data lainnya. Hanggono (1998) mengemukan bahwa asumsi terpenting dalam metode ini adalah bahwa setiap kelas spektral dapat dideskripsikan oleh suatu distribusi probabilitas dalam suatu ruang multispektral. Distribusi multivariabel ini dengan beberapa variabel sebagai dimensi ruang sehingga mampu mendeskripsikan peluang ditemukannya sebuah piksel pada sebuah kelas dilokasi manapun dalam ruang multispektral.

Pendekatan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) pada umumnya tidak mensyaratkan data yang berlebihan atau kelas tidak dikenal secara

apriori. Oleh karena itu metode ini pada umumnya diterapkan pada citra yang kurang didukung oleh data kondisi penutupan lahan. Algoritma kemudian akan mengelompokkan piksel-piksel yang memiliki kesamaan ciri spektral kedalam gerombol yang unik melalui kriteria statistika yang ditentukan melalui training area dan selanjutnya mengkombinasikan dan atau mengubah label gerombol kedalam kelas yang sesungguhnya (Manalu 2002).

Berdasarkan asumsi statistik yang digunakan Schowengerdt (2007) membedakan algoritma klasifikasi citra dalam dua kelompok yaitu non parametrik dan parametrik. Algoritma klasifikasi citra non parametrik berasumsikan bahwa distribusi kelas tersebar secara bebas, yang termasuk kedalam metode ini antara lain neural network, ISODATA, nearest neighbors.


(26)

Sementara parametrik menggunakan asumsi bahwa kelas terdistribusi secara normal dan memerlukan perkiraan distribusi parameter seperti mean vektor dan kovarian matrik untuk klasifikasi, yang termasuk kedalam parametrik antara lain

maximum likelihood (MLC),nearest mean.

Ditinjau dari aspek statistik sampel yang ditentukan harus mencukupi. Swain dan Davis (1998) menganjurkan 10 sampai 100 piksel perkelas untuk mendapatkan statistik kelas yang sesuai. Algoritma akan menghitung variabel-variabel statistika dasar yang diperlukan yaitu rataan, standar deviasi, matrik kovarian, matrik korelasi untuk setiap area yang dijadikan training area. Selanjutnya, algoritma yang digunakan akan mengevaluasi dan memetakannya kedalam kelas yang memiliki peluang/kemiripan yang paling dekat.

Fungsi utama klasifikasi adalah untuk melakukan pemisahan dari suatu populasi yang kompleks kedalam kelompok-kelompok yang disebut kelas, yang di anggap sebagai unit-unit homogen untuk tujuan tertentu (Malingreu 1978). Wiradisastra (1982) juga menjelaskan bahwa klasifikasi penutup lahan merupakan pembagian wilayah kedalam satuan-satuan yang lebih kecil dan homogen agar deskripsinya lebih sederhana.

Metode Klasifikasi Back Propagation Neural Network (BPNN)

Gagasan neural network berasal dari fungsi struktur dasar otak manusia.

Neural network merupakan simulasi perangkat lunak yang mengambarkan sistem

kerja jaringan saraf (neuron) dalam arti biologi. Dalam ilmu pengetahuan modern dan rancang bangun neural network telah memperkuat pentingnya aplikasi numerik yang berkisar pada pola pengenalan, klasifikasi dan lain-lain. Menurut Basuki (2003) metode ini berisi proses stimulasi-stimulasi yang berlangsung dalam otak yang diterjemahkan dalam simbol, nilai dan bobot. Metode ini mempunyai keunggulan dalam hal proses pembelajaran, terdapat bermacam-macam jenis neural network tergantung pada penggunaan. BPNN atau back propagating perceptron paling dikenal dan digunakan secara luas pada sistem

neural network. Istilah BPNN mengacu pada metode training yang

menghubungkan pembobot network yang disesuaikan. BPNN mempunyai tipe dari multi layer feed forward network.


(27)

Klasifikasi neural network adalah metode klasifikasi non parametrik.

Neural network perlu dilakukan training untuk membuat analisis diskriminan. Tujuan dari training adalah untuk menyesuaikan kekuatan asosiasi (atau koefisien dari pembobot) antar neuron. Kriteria dari training untuk membuat error antar keluaran (output) perhitungan vektor dependent dan vektor independent dari pola traning yang diketahui. Proses dari training adalah untuk meneruskan error terbelakang (transmit backward error) ke network. Penyesuaian pembobot antar unit antar output layer, hidden layer dan input layer oleh karena itu bentuk neural network ini dikenal dengan back propagation neural network (Zhou et al 1997)

Penggunaan neural network untuk klasifikasi citra multispektral terbagi atas dua tahap, yaitu tahap pelatihan dan tahap klasifikasi. Adapun data untuk pelatihan sama dengan yang digunakan oleh algoritma klasifikasi terawasi parametrik. Pertama-tama jaringan tersebut dilatih dengan algoritma rambat-balik sampai dicapai target kesalahan minimal yang dipersyaratkan. Target kesalahan minimal tersebut merupakan perbedaan antara nilai target yang diinginkan dan nilai output yang dihasilkan. Jika proses pelatihan telah selesai, maka jaringan digunakan sebagai struktur umpan maju (feed forward structure) untuk menghasilkan klasifikasi tutupan lahan seluruh citra (Paola and Schowengerdt 1997).

Elemen dasar neural network adalah node pemroses (Gambar 2). Mula-mula setiap nilai input (X) dikalikan dengan nilai bobot sinapsis (W), yang berfungsi menentukan kuat lemahnya aliran sinyal input, kemudian seluruh hasil perkalian tersebut dijumlahkan untuk menghasilkan nilai jaringan (net). Nilai jaringan ini dilewatkan melalui suatu fungsi aktivasi yang dibatasi oleh suatu nilai ambang. Jika nilai jaringan melampaui tingkat ambang tersebut maka jaringan menjadi aktif. Sebaliknya, jika tidak maka jaringan tetap pasif. Oleh karena input

tersebut melewati suatu model untuk menghasilkan output, sistem ini disebut sistem umpan maju.


(28)

Gambar 2. Struktur Internal Node Pemeroses Neural Network (Siang 2005) dimana :

x1, x2, ..xn : data masukan

w1,w2, ..wn : pembobot berfungsi untuk menyimpan informasi

b : bias

Σ : elemen pemroses yang berfungsi mengatur daerah nilai ambang f (net) : fungsi aktivasi untuk pemroses informasi

Oleh karena kemampuan perhitungan atau pengolahan sistem syaraf ditentukan oleh hubungan antar neuron dalam bentuk jaringan, maka node-node

pemroses tunggal tersebut diorganisasi ke dalam beberapa layer, yang setiap layer

saling terhubung dengan layer berikutnya dalam bentuk jaringan. Tetapi, di dalam satu layer sendiri tidak terjadi hubungan antar node. Hubungan antar node

memiliki bobot yang bersesuaian. Jika suatu nilai dilewatkan dalam hubungan tersebut akan dikalikan dengan bobot tersebut. Pemodelan ini disebut multi layer perceptron atau disebut juga multi layer feed forward. Model multi layer perceptron umumnya terdiri dari tiga jenis layer dengan topologi jaringan seperti pada Gambar 3, yaitu: layer input, layer tersembunyi, dan layer output.


(29)

Fungsi aktivasi menyatakan perlakuan suatu node terhadap input secara tidak linier. Setiap fungsi diferensial dapat digunakan sebagai fungsi aktivasi f, namun yang paling banyak digunakan adalah fungsi sigmoid. Fungsi sigmoid merupakan fungsi yang bersifat kontinyu, monoton, output-nya terbatas, dan dapat dideferensialkan. Fungsi ini dibedakan atas fungsi logsigmoid dan transigmoid (Gambar 4).

a. Fungsi Logsigmoid (binary sigmoid) yang didefinisikan sebagai :

net e net f   1 1 )

( ... (1)

b. Fungsi Tansigmoid (bipolar sigmoid) yang didefinisikan sebagai : 1 1 2 ) (    net

e net

f ... (2) dimana :

f (net) = fungsi aktivasi untuk pemroses informasi e = bilangan natural

net = Nilai Jaringan (network)

Gambar 4. Fungsi Sigmoid (Ozkan and Erbek 2003)

Neural network yang digunakan dalam penelitian ini adalah BPNN yang dikembangkan oleh Rumelhard et al. tahun 1986 dan merupakan metode neural network yang paling banyak digunakan (Rumelhard et al 1990 dalam Kushardono 2001). Model BPNN dan model sebuah neuron j dalam neural network disajikan pada Gambar 5 dan 6.


(30)

Gambar 5 : Model Back Propagation Neural Network (BPNN)

Gambar 6. Neural Network dengan Fungsi Aktivasi

BPNN merupakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) yang terdiri atas banyak neuron layer seperti input layer, hidden layer

(kemungkinan lebih satu layer) dan output layer (Gambar 5). Proses neuron dalam setiap layer dikenal dengan unit proses atau secara sederhana dikenal sebagai unit dan neuron. Unit dari input layer, hidden layer dan output layer

dapat juga disebut input unit, hidden unit dan output unit. Tiap layer terdiri dari beberapa neuron yang modelnya seperti terlihat pada Gambar 6. Proses dari setiap neuron p dalam tiap-tiap layer menghasilkan sinyal output Op yang dihitung dari persamaan 3, dimana output ditentukan berdasarkan fungsi F dari jumlah penganda nilai sinyal oleh faktor pengali dan ditambahkan ke faktor penambah. Persamaan ditunjukkan dibawah ini (Koeshardono 2001):

   

 

    

 

p i

i ip

P F W xO L

O ( )

1

1


(31)

dimana :

Op = Output sinyal pada setiap neuron p pada setiap layer Lp = faktor penambah untuk setiap neuron p (p = 1, 2, 3,…, p)

Wip = faktor pengali untuk neuron p terhadap neuron i ( i= 1, 2, 3,…, l) yang merupakan lapisan neuron pada layer sebelumnya

Oi = nilai sinyal dari neuron i yang masuk.

Besarnya faktor pengali (Wip) dan faktor penambah (Lp) pada BPNN ini ditentukan berdasarkan metode pengajaran back propagation dengan nilai awal ditentukan secara acak dan perubahan nilai setiap waktu t+1 proses pengajaran

sejumlah ∆Wip(t+1) dan ∆Lp (t+1) seperti persamaan yang ditunjukkan berikut ini :

))

(

)

(

)

1

(

))

(

(

)

(

)

1

(

t

L

E

x

t

L

t

W

x

O

x

E

x

t

W

p cp p ip cp cp ip

... (4) dimana :

η dan α = tingkat pembelajaran (learning rate) dan momentum yang merupakan nilai konstan yang besarnya berkisar 0.0 sampai 1.0 Ecp = besar kesalahan (error) pengajaran pada neuron p sebelumnya,

dihitung dengan persamaan 5 dan persamaan 6 untuk training sample c (c = 1, 2, 3,…, cn)

Ocp = besar sinyal output dari neuron p tersebut untuk training sample c.

t = waktu

Besar error pengajaran pada neuron p sebesar Ecp pada persamaan 4 untuk output

layer (lapis terakhir) dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

Ecp = (Tcp-Ocp) xOcp x1-Ocp) ... (5) dimana :

Tcp = sinyal pengajaran (learning signal) yaitu suatu output jika benar untuk training data c pada neuron p,

Ocp = output sinyal neuron p pada output layer

Ecp untuk hidden layer (lapisan tengah) dihitung dengan persamaan berikut :

) ( ) 1 ( 1

   K k pk ck cp cp

cp O x O x E xW


(32)

dimana :

Ocp = output sinyal neuron p pada hidden layer (lapisan tengah)

Eck = besar kesalahan (error) untuk training data c pada neuron k (k = 1, 2, 3,..., k) dari layer samping atau lapisan belakangnya atau layer terakhir jika neural network terdiri tiga layer

Wpk = faktor pengali untuk hubungan antara neuron p pada hidden layer dengan neuron k pada layer belakangnya atau lapisan sebelumnya. Fungsi F pada persamaan 3 pada BPNN yang umum digunakan adalah fungsi sigmoid, yaitu sebagai berikut :

u e u F   1 1 )

( ... (7) dimana :

f (u) = fungsi aktivasi untuk pemroses informasi e = bilangan natural

u = Nilai Jaringan (network)

Secara teknis, terdapat dua hal mendasar di dalam klasifikasi neural netwok ialah daerah pelatihan dan pengaturan parameter jaringan. Daerah pelatihan yang baik yaitu daerah pelatihan yang secara statistik mempunyai nilai indeks keterpisahan antara 1,9-2 (Richard 1993) dan atau mempunyai tampilan diagram pencar yang tidak saling tumpang tindih, sedangkan nilai indek sepabilitas 0-1 mengindikasikan separabilitas tidak baik dan nilai 1-1,9 adalah indek separabilitas cukup baik. Sementara Parameter jaringan ialah parameter yang perlu diatur untuk memperoleh kinerja klasifikasi yang baik di dalam arti efisien dan efektif. Parameter jaringan ini meliputi : (a) fungsi aktivasi, (b)

training threshold contribution, (c) training rate, (d) training momentum, (e)

training RMS exit criteria dan (f) jumlah iterasi pelatihan (PCI Help 2001).  Fungsi aktivasi.

Fungsi aktivasi di dalam jaringan syaraf tiruan digunakan untuk menentukan keluaran sebuah neuron. Dua fungsi aktivasi yang sering dipergunakan adalah

logistic dan hyperbolic. Fungsi aktivasi logistic atau sering disebut fungsi

sigmoid biner memiliki kisaran nilai dari 0 sampai dengan 1, sedang fungsi

hyperbolic mempunyai kisaran nilai antara -1 sampai dengan +1. Di dalam penelitian ini digunakan fungsi aktivasi logistic.


(33)

Training threshold contribution

Training threshold contribution merupakan nilai ambang yang perlu

ditentukan untuk meratakan perubahan bobot di dalam node. Hal ini digunakan untuk mempercepat konvergensi karena perataan bobot akan dapat meminimumkan kesalahan antara lapisan keluaran dan respon yang diharapkan. Perataan bobot-bobot di dalam node dapat memberikan hasil klasifikasi yang lebih baik. Nilai parameter ini berkisar antara 0 sampai dengan 1. Masukan nilai 0 pada parameter ini tidak akan meratakan bobot-bobot di dalam node.

 Laju pelatihan (training rate)

Laju pelatihan akan mempengaruhi kecepatan proses iterasi. Nilai laju pelatihan yang besar akan mempercepat perubahan bobot menuju bobot stabil, tetapi menghadapi resiko terjadinya osilasi dan ketidakstabilan selama proses iterasi. Sebaliknya, nilai laju pelatihan yang kecil akan menyebabkan perubahan bobot yang relatif lambat yang juga akan memperlambat proses konvergensi. Tidak ada kepastian tentang nilai laju pelatihan yang tepat pada proses pelatihan.

Training momentum

Pada metode back propagation baku, komputasi didasarkan pada perubahan bobot pada gradient yang terjadi untuk pola yang dimasukkan saat itu. Modifikasi dapat dilakukan dengan cara memperhitungkan arah gradient pola terakhir dengan arah gradient pola sebelumnya yang disebut momentum. Penambahan momentum dimaksudkan untuk menghindari perubahan bobot yang drastis akibat adanya data yang sangat berbeda atau ekstrem. Jika data terakhir yang diberikan ke jaringan memiliki pola yang serupa, maka perubahan bobot dapat dilakukan secara cepat, demikian juga sebaliknya.  Training RMS exit criteria

Training RMS exit criteria merupakan salah satu cara untuk menghentikan proses pelatihan atau iterasi, selain menggunakan pembatasan jumlah iterasi (number of iteration). Iterasi akan berhenti tepat pada nilai toleransi RMS yang ditetapkan di dalam jaringan.


(34)

 Jumlah iterasi pelatihan

Jumlah iterasi yang makin besar dapat menghasilkan klasifikasi penutup/penggunaan lahan dengan ketelitian keseluruhan yang makin baik, meskipun demikian penambahan jumlah iterasi pada batas tertentu juga akan mengalami penurunan tingkat ketelitian keseluruhan dan jumlah iterasi yang semakin besar juga akan menambah lama waktu pelatihan.

Selama dekade terakhir para peneliti telah melakukan atau menggunakan

neural network untuk klasifikasi penutupan lahan menggunakan data satelit penginderaan jauh. Beberapa peneliti yang menggunakan neural network dalam penelitian mereka (Sadly 1998):

1. Chang (1994) menggunakan dynamic learning neural network untuk aplikasi penginderaan jauh dan mendapatkan hasil yang baik dengan menyimpulkan bahwa neural network merupakan pengklasifikasi yang sesuai dan mudah untuk volume citra yang luas.

2. Studi yang sama juga dilakukan Bischof (1992) dan menunjukkan bahwa

neural network hampir sama seperti MLC

3. Yoshida (1994) mengajukan klasifikasi neural network untuk analisis data penginderaan jauh dan juga untuk memperbaiki hubungan tetangga antar piksel dan mengurangi kemungkinan error untuk pola klasifikasi dan mendapatkan hasil yang lebih realistik dan tanpa ingar dibandingkan metode statistik konvensional.

Andayani (2008) menggunakan metode BPNN untul klasifikasi penutupan lahan menggunakan data ALOS, dengan mengembangkan beberapa model parameter input data dan membandingkan hasilnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa metode BPNN akan meningkat akurasi dengan menambah input-input data lainnya seperti NDVI, SAVI dan RVI. Sedangkan Shafri et al. (2007) menggunakan beberapa model algoritma klasifikasi untuk pengenalan pola dalam pemetaan tutupan hutan menggunakan data hyperspektral, menunjukkan hasil bahwa MLC dan Artificial Neural Network tidak terdapat perbedaan signifikan yaitu MLC 86% dan ANN 85%.

Fauzi (2001) menggunakan jaringan syaraf tiruan dan klasifikasi MLC untuk mendeteksi kondisi hutan hujan tropis didaerah konsesi Lebanan Kabupaten


(35)

Berau. Metode yang digunakan adalah klasifikasi neural network multilayer perceptron dengan fungsi aktivasi sigmoid. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat pemisahan yang signifikan antar kelas didalam satu skema klasifikasi. Akurasi klasifikasi dengan algoritma neural network terbukti lebih baik dibandingkan dengan MLC.

Metode Klasifikasi Maximum Likelihood (MLC)

Metode klasifikasi kemungkinan maksimum merupakan metode klasifikasi yang paling banyak digunakan dalam metode klasifikasi secara terbimbing untuk data penginderaan jauh. Sebelum melakukan klasifikasi, perlu menentukan

training area yang digunakan untuk melihat ciri-ciri statistik masing-masing calon kelas. Metode ini dikembangkan mengikuti statistik yang dapat diterima (Richard 1993).

Richard (1993) juga menambahkan bahwa teknik klasifikasi kemungkinan maksimum didasarkan pada perkiraan densitas probabilitas untuk setiap tutupan lahan. Perhitungan probabilitas disini memungkinkan untuk menemukan sebuah piksel dari kelas i pada posisi X yang didefinisikan oleh teori Bayes :

P(i|X) = P(X|i)P(i)/P(X) ... (8) Dimana :

P(i|X) = Probabilitas bersyarat dari kelas i, dihitung mengingat bahwa vektor X ditetapkan secara apriori (tanpa syarat), probabilitas ini juga disebut likelihood.

P(X|i) = Probabilitas bersyarat (conditional) dari vektor X, dihitung mengingat bahwa kelas ditetapkan secara apriori

P(i) = Probabilitas kelas i muncul didalam sebuah citra P(X) = Probabilitas dari vektor X

Pendekatan klasifikasi citra dengan metode MLC adalah dengan memperhatikan probabilitas anggota kelas paling maksimum dari sejumlah piksel pada citra input. Aturan keputusan dari MLC menetapkan tiap-tiap piksel memiliki pola ukuran atau ciri-ciri X ketidakpastian kelas c yang unit-unitnya paling mungkin atau mendekati pada kenaikan yang diberikan pada ciri-ciri vektor X (Swain dan Davis, 1978 dalam Foody et al. 1992 dalam Jensen 1996). Sistem


(36)

klasifikasi ini berasumsi bahwa data statistik training untuk tiap-tiap kelas dalam tiap-tiap band tersebar secara normal yaitu Gausian (Blaisdell 1993 dalam Jensen 1996).

Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan bahwa klasifikasi MLC mengevaluasi secara kuantitatif variance dan co-variance pola tanggapan spektral kategori ketika mengklasifikasi piksel yang tidak dikenal. Untuk melakukan ini, dibuat asumsi bahwa distribusinya normal. Untuk alasan matematik Surlan (2002) menyebutkan bahwa suatu distribusi normal multivariate dapat digunakan sebagai fungsi densitas probabilitas. Dalam kasus distribusi normal, Lk dapat diexpresikan sebagai berikut :

 

     

1 2 / 1 2 ) ( ) ( 2 1 exp / / ) 2 ( 1 k t k k k

n X X

X

Lk  

... (9)

dimana : n = banyaknya band

X = vektor penciri dari n band

Lk(X) = kemungkinan dari X masuk kedalam kelas k µk = vektor rataan dari kelas k

∑k = matrik varian kovarian dari kelas k

/∑k/ = determinan dari ∑k

Dalam kasus dimana matrik varian-kovarian simetris, Lk sama seperti

euclidian, sedangkan jika determinan sama satu dengan lainnya, Lk menjadi

mahalanobis. Persamaan Mahalanobis sebagai berikut :

) (P log ) k ( log ) 2 1 ( -(2TT) log ) 2 d ( -) -(X k ) -X ( 2 1 -(X) Gk t 1 k k k  

.(10) Untuk meningkatkan ketelitian klasifikasi dengan metode klasifikasi MLC Mueler (1983) dalam Surlan (2002) menekankan cara pengambilan training area

haruslah memenuhi 4 syarat:

1. Ukuran dari training area : harus memenuhi syarat utama yakni agar kovarian matrik tidak singular, haruslah piksel-piksel suatu training area saling

independen linear. Jadi pada n kelas obyek minimal n+1 piksel pada tiap-tiap kelasnya. Untuk mencapai hasil yang lebih baik disarankan 10 kali dari jumlah piksel minimum diatas.

2. Kehomogenan training area : untuk hal ini diharapkan hanya piksel-piksel dari kelas itu saja yang berada pada training area dan distribusinya harus


(37)

sedapat mungkin berdistribusi normal. Dalam banyak hal adalah seringkali sangat susah membuat training area untuk memisahkan piksel-piksel dari dua kelas yang berbeda, seperti terjadi pada obyek jalan atau sungai. Seringkali tercampur piksel-piksel dari dua kelas misal jalan dengan sungai. Dalam hal ini adalah membantu jika sebelumnya dilakukan klasifikasi unsupervised. 3. Kelas representatif : suatu persyaratan penting untuk dapat menerapkan

metode MLC adalah masing-masing kelas berdistribusi normal. pada kenyataannya persyaratan ini seringkali tidak terpenuhi, karena tidak terpenuhinya simetrisasi dari kelas-kelas obyek pada ruang spektral. Pada penentuan kelas dapat dilakukan dengan menandai training area, sedemikian sehingga seluruh piksel dapat terkelompokan.

4. Keterpisahan kelas : untuk menajamkan keterpisahan kelas biasanya dilakukan transformasi.

Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi

Pengujian ketelitian klasifikasi bertujuan untuk melihat kesalahan-kesalahan klasifikasi sehingga dapat diketahui persentase ketepatannya (akurasi). Pengujian akurasi menggunakan ground truth area yang didapat dari lapangan. Akurasi hasil klasifikasi diuji dengan cara membuat matrik kontingensi yang sering disebut dengan matrik kesalahan (error matrix) atau matrik konfusi (confusion matrix). Metode ini adalah metode yang paling umum dilakukan untuk mengetahui tingkat keakuratan hasil klasifikasi. Matrik kesalahan adalah matrik bujur sangkar yang berfungsi untuk membandingkan antara data lapangan dengan korespondensinya dengan hasil klasifikasi (Lillesand dan Kiefer, 1994).

Persentase ketepatan klasifikasi tersebut dapat dilihat dari nilai user’s

accuracy, producer’s accuracy, overall accuracy dan kappa accuracy. Menurut Congalton dan Green (1999) producer’s dan user’s accuracy adalah dua penduga dari ketelitian keseluruhan (overall accuracy). Producer’s accuracy adalah peluang rata-rata (dalam persen) bahwa suatu piksel akan diklasifikasikan dengan benar dalam kelas hasil klasifikasi, ukuran ini juga mencerminkan rata-rata dari kesalahan omisi (omission error) yaitu kesalahan klasifikasi berupa kekurangan jumlah piksel suatu kelas akibat masuknya piksel-piksel kelas tersebut ke kelas


(38)

yang lain. Sedangkan user’s accuracy adalah peluang rata-rata (dalam persen) bahwa suatu piksel dari citra yang terklasifikasi secara aktual mewakili kelas-kelas tersebut di lapangan, ukuran ini mencerminkan rata-rata dari kesalahan komisi (commission error) yaitu kesalahan klasifikasi berupa kelebihan jumlah piksel pada suatu kelas yang diakibatkan masuknya piksel dari kelas yang lain.

Sementara overall accuracy adalah suatu persentase dari piksel-piksel yang terkelaskan dengan tepat yang dibagi dengan jumlah total piksel yang diuji. Nilai akurasi yang paling banyak digunakan adalah akurasi kappa (KHAT), karena nilai ini memperhitungkan semua elemen (kolom) dari matrik. Congalton dan Green (1999) menyatakan bahwa kappa accuracy merupakan perhitungan dari setiap matrik kesalahan dan mencerminkan seberapa baik klasifikasi citra dengan data referensi yang digunakan.

Nilai-nilai producer’s accuracy, user’s accuracy, dan overall accuracy dan nilai Kappa dapat dihitung dengan persamaan berikut :

Producer’s Accuracy 1 x100%

X X k r i ii  

 ; ... (11)

User’s Accuracy 1 x100%

X X k r i ii  

 ... (12)

Over All Accuracy 1 x100%

N X r i ii

 ... (13) Dimana :

N = jumlah semua piksel yang digunakan dalam pengamatan r = jumlah baris atau lajur pada matrik kesalahan (= jumlah kelas) Xii = Jumlah pengamatan di baris i dan kolom i

X+k = jumlah semua kolom pada lajur ke- k Xk+ = jumlah semua kolom pada baris ke- k

Nilai akurasi yang paling banyak digunakan adalah akurasi kappa (KHAT), karena nilai ini memperhitungkan semua elemen (kolom) matriks. Secara matematis akurasi kappa dinyatakan sebagai berikut :


(39)

Kappa Accuracy =

         r i i i r i i i i r i X X N X X X N 1 2 1 1 ... (14)

Dimana : N = jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan

r = jumlah baris/ lajur pada matriks kesalahan (sama dengan jumlah kelas)

Xi+ = jumlah semua kolom pada lajur ke-i X+i = jumlah semua kolom pada baris ke-i

Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS) telah mensyaratkan tingkat akurasi/ ketelitian sebagai kriteria utama bagi sistem klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan yaitu tingkat akurasi klasifikasi terhadap data penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85 %, dan ketelitian klasifikasi harus lebih kurang sama untuk beberapa katagori/ kelas (Lillesand & Kiefer 1990).

Akurasi dievaluasi dengan membuat matriks contingency, yang lebih dikenal dengan matriks kesalahan (confusion matrix) seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Matrik Kesalahan (Confusion Matrix) Data Training

area

Diklasifikasi Ke- Kelas

Total Baris Producer’s

A B … D

A Xii Xk+ Xkk/Xk+

B

D Xkk

Total Kolom X+k N

User’s Xii/X+k

Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan

Lahan mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena semua aktivitas kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan lahan. Definisi lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya adalah akibat kegiatan manusia baik pada masa lampau maupun masa sekarang, seperti reklamasi daerah pantai, alih fungsi areal persawahan, penebangan hutan


(40)

dan juga akibat-akibat lain yang menyebabkan kemunduran produktivitas lahan. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut.

Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokkan berbagai jenis penutup/penggunaan lahan kedalam suatu kesamaan sesuai dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutup/penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan. Banyak sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang telah dikembangkan, yang dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu atau pada waktu tertentu. Salah satu sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang sering digunakan dalam mengklasifikasikan penutupan/penggunaan lahan menggunakan data penginderaan jauh adalah sistem klasifikasi FAO. Klasifikasi ini banyak dipakai sebagai standar klasifikasi penutup/penggunaan lahan dengan menggunakan citra Penginderaan Jauh, sedangkan di Indonesia sistem klasifikasi ini digunakan pada TREES Project kerjasama IPB dan Uni Eropa. Sistem klasifikasi FAO 1994 disajikan pada Tabel 3. Pemilihan kelas penutup/penggunaan lahan dalam penelitian ini adalah didasarkan pada kebutuhan dengan fokus pada lahan sawah dan tebu.


(41)

Tabel 3 Klasifikasi Penutup Lahan Menurut FAO Tahun 1994

Level 1 Level 2 Level 3 Level 4

1. Forest

1. Evergreen and Semi evergreen Forest

0. Unknow A. Closed

1.Evergreen - lowland forest > 70% forest cover 2.Evergreen-mountain forest > 70% canopy cover 3. Semi-evergreen forest

4. Heath forest / kerangas B. Open

5. Coniferous > 70% forest cover

9. Other 70-10% canopy cover

2. Deciduous Forest

0. Unknown

1. (Dry) – Mixed deciduous C. Fragmented 4. Dry Dipterocarp 40-70% forest cover

9. Other >10% canopy cover

3. Inundated Forest

0. Unknow

1. Periodically inundated D. Undefined 3.Swampforest(permanently

inundated

4. Swamp forest with palms 5. Peat swamp forest 9. Other

4. Gallery Forest 0

5. Plantation 0. Unknown 1. Teak 2. Pine 3. Eucalyptus 9. Other

6. Forest Regrowth 0.

7. Mangrove 0.

9. Other 0.

2. Mosaic 10% - 40% forest cover

1. Shifting cultivation

0. Undefined 1. 1/3 cropping 2. > 1/3 cropping 2. Cropland and Forest

3. Other vegetation and Forest 9. Other

3. Non Forest Vegetation< 10% canopy cover or < 10% forest cover Up to 10% of

Forest cover

1. Wood & shrubland 0. Unknown 4. Bamboo 5. Swamp savanna 6. Humid (evergreen) type 7. Dry (savanna) type 9. Other

2. Grassland 0. Unknown

1. Dry grassland 2. Swamp grassland 9. Other 3. Regrowth of vegetation

9. Other

4. Agriculture Up to 10% of Forest cover

< 10% canopy cover Or < 10% forest cover

1. Arable 0. unknown

1. Irigated 2. Rainfed

2. Plantations 0. Unknown

1. Rubber 2. Oil palm 3. Coffee, Cacao 9. Other 3. Ranching 9. Other 5. Non vegetated 1. Urban 2. Roads 3. Infra structure 4. Bare soil 9. Other 6. Water 1. River 2. Lake 7. Sea

8. Not visible 1. Clouds 2. Shadow 9. No data


(42)

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan mulai Agustus 2003 sampai selesai. Pengolahan data citra Landsat ETM+ dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Tanah Institut Pertanian Bogor. Lokasi utama penelitian ini dilakukan di lahan milik PT. Sang Hyang Seri Sukamandi Kecamatan Ciasem dan sekitarnya dipilih sebagai lokasi yang dominan penutupan/pengunaan lahan padi sawah sedangkan untuk lokasi yang dominan tanaman tebu dilakukan di areal perkebunan PT. Rajawali Nusantara Unit Pasir Bungur Kecamatan Purwadadi dan sekitarnya. Kedua Lokasi ini terletak di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Secara administratif lokasi penelitian mencakup seluruh Kecamatan Ciasem, Patokbeusi dan sebagian Kecamatan Blanakan, Purwadadi, Cikaum. Peta orientasi lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Bahan dan Alat Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah :

1. Citra satelit Landsat ETM+ multitemporal path/row 122/64 tanggal 3 Desember 2000, 15 Juli 2001, 29 April 2002, 18 Juli 2002 dan 31 Maret

2003. Citra Landsat ETM+ komposit 5,4,2 dapat dilihat pada Lampiran 1 - 5. 2. Peta administrasi Kabupaten Subang

3. Peta rupa bumi skala 1 : 25.000 lembar 1209-611,1209-612,1209-623,1209-614 dan 1209-621

4. Data jadwal dan realisasi tanam padi sawah dan tebu musim tanam 2002. Data ini selanjutnya akan diilustrasikan dalam bentuk peta yang dijadikan sebagai acuan referensi.


(43)

(44)

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah :

1. Satu unit Komputer PC Pentium IV 2.40 Ghz 256 RAM, scanner dan printer. 2. Perangkat lunak PCI Geomatics (Geomatica 9.0, OrthoEngine SE 9.0),

ArcView 3.3, ArcGIS 9.3 dan perangkat lunak pendukung lainnya. 3. GPS (Global Positioning System)

4. Kamera dan,

5. Alat-alat tulis dan gambar

Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa citra secara visual dan digital. Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan kegiatan yaitu persiapan, pra pengolahan citra, pengolahan citra, interpretasi visual lahan sawah dan tebu, klasifikasi citra secara digital dengan metode Maximum Likelihood

(MLC) dan Back Propagation Neural Network (BPNN), kegiatan lapang dan evaluasi akurasi.

Tahapan Penelitian Persiapan penelitian dan Pengumpulan data awal

Padatahap ini dilakukan pengumpulan data awal melalui studi pustaka dan pra survei untuk memperoleh informasi awal, penyiapan bahan dan alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian, pengolahan awal data citra Landsat ETM+ (interpretasi citra). Perangkat lunak pengolahan data citra Landsat ETM+ yang digunakan adalah PCI Geomatics versi 9.0 (Geomatica dan Orthoengine).

Pra Pengolahan Citra

Pra prosessing dilakukan untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang ada pada data citra. Koreksi Radiometrik dan Geometrik merupakan hal yang umum dilakukan untuk ini.

Koreksi radiometrik diperlukan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai pixel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran obyek yang sebenarnya. Selanjutnya dilakukan koreksi


(45)

geometrik menggunakan Orthoengine/GCP Works dengan menentukan titik kontrol (Ground Control Points). Koreksi geometrik dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, pertama koreksi geometrik citra pankromatik ke peta (Image to Map), dan kedua koreksi geomatrik citra ke citra (image to image). GCP diperoleh dari peta digital rupa bumi dan observasi lapangan. GCP adalah suatu titik dipermukaan bumi yang diketahui koordinatnya baik pada citra (kolom/piksel dan baris) maupun pada peta yang diukur dalam derajat lintang dan bujur. Syarat dalam pemilihan titik kontrol (GCP) adalah harus tersebar merata di seluruh citra dan merupakan obyek yang relatif permanen artinya tidak berubah dalam waktu pendek misalnya jalan dan sudut bangunan yang dapat diidentifikasi baik pada citra maupun pada peta dan nilai RMS error < 1 piksel. Setelah terkoreksi maka dilakukan proses resampling dengan mengunakan metode tetangga terdekat (nearest neighbour). Proses ini dilakukan untuk menentukan nilai digital terhadap pixel-pixel citra setelah mengalami perubahan posisi hasil koreksi serta menyesuaikan resolusi spasial tiap pixel.

Pengolahan citra

Pengolahan data citra Landsat ETM+ menggunakan software PCI

Geomatics 9.0. Secara umum tahap pengolahan citra adalah sebagai berikut :

1. Penentuan wilayah penelitian

Tujuannya adalah untuk penyesuaian ukuran citra yang menjadi objek penelitian karena citra aslinya meliputi area yang luas (185 x 185 km) dan untuk mempermudah analisa dan proses data. Potongan citra dilakukan sesuai dengan ukuran lokasi penelitian yang mengacu pada peta rupa bumi, blok areal dan batas administrasi.

2. Kombinasi Band (band composite)

Tujuannya adalah untuk mengetahui secara kuantitatif kombinasi band mana yang akan menghasilkan komposit warna yang optimum, dengan menyertakan faktor koefisien korelasi dan jumlah total ragam diantara berbagai kombinasi band yang ada didalam perhitungan.


(46)

3. Penajaman citra (image enhancement) dan Pansharpening

Tujuannya adalah untuk memperjelas batas antara objek-objek yang berbeda, sehingga meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasikan secara visual pada citra. Terdapat dua jenis penajaman yaitu penajaman spektral (contrast) dan penajaman spasial (filtering). Proses penajaman dilakukan dengan memakai model-model penajaman yang terdapat pada software Geomatica v 9.0. Selain penajaman citra juga dilakukan pengabungan citra (image fusion) pankromatik dan multispektral. pengabungan ini bertujuan untuk meningkatkan informasi spasial yang dapat diperoleh dari citra. Hasil dari pengabungan ini adalah citra multispektral dengan resolusi spasial yang lebih tinggi (15 meter/piksel). Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan algoritma

Automatic Image Fusion (Zhang, 2002)

Klasifikasi Citra

Klasifikasi citra dilakukan secara visual dan digital. Klasifikasi secara digital digunakan metode MLC dan BPNN.

1. Klasifikasi Lahan secara Visual

Klasifikasi lahan sawah dan tebu secara visual dilakukan dengan cara melakukan delineasi lahan sawah dan tebu secara langsung pada citra komposit hasil fusi antara multi spektral dan pankromatik. Delineasi dilakukan berdasarkan kenampakan citra multi temporal yang digunakan dengan bantuan peta rupa bumi skala 1 : 25.000, data realisasi tanam dan hasil survey lapangan. Proses delineasi penggunaan/penutupan lahan dilakukan secara simultan (Simultanous analysis of multitemporal image).

2. Klasifikasi Lahan secara Digital

Metode klasifikasi citra digital yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan BPNN dan MLC. Pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan kelas penutupan lahan sesuai dengan training area. Informasi mengenai penutup/pengunaan lahan diperoleh berdasarkan hasil survei ke lapang, data realisasi tanam padi sawah, dan peta landuse Rupabumi. Penentuan training area ditentukan berdasarkan kesamaan


(47)

warna citra, pola, bentuk, asosiasi. Selanjutnya adalah menentukan kelas lahan sawah, lahan tebu dan bukan lahan sawah atau tebu (kebun, pemukiman, hutan, tegalan/ladang, badan air dan lain-lain). Pelaksanaan klasifikasi citra landsat ETM+ multi temporal dengan metode BPNN dan MLC dilakukan secara berjenjang yaitu :

1. Tahap pertama : Klasifikasi dilakukan untuk setiap data monotemporal, 2. Tahap Kedua : Hasil klasifikasi dari seluruh data digabung untuk

memperoleh hasil klasifikasi baru.

Proses klasifikasi bertahap ini diskenariokan dalam 5 skema proses klasifikasi. Skema 1 adalah melakukan klasifikasi citra tanggal 3 Desember 2000. Skema 2 melakukan klasifikasi citra tanggal 15 Juli 2001, dimana pada citra tersebut terlebih dahulu dilakukan masking area dengan hasil ekstraksi lahan sawah dan tebu dari klasifikasi pada skema 1. Tujuan masking area adalah untuk melokalisasi lahan sawah dan tebu sehingga dapat meningkatkan hasil analisis. Skema 3 melakukan klasifikasi menggunakan citra tanggal 29 April 2002 dengan lahan sawah dan tebu hasil skema 2 sebagai masking area. Skema 4 melakukan klasifikasi terhadap citra 18 Juli 2002 dengan lahan sawah dan tebu hasil skema 3 sebagai masking area. Skema 5 melakukan klasifikasi menggunakan citra tanggal 31 Maret 2003 dengan masking area hasil lahan sawah dan tebu pada skema 4.


(48)

Gambar 8. Skema Klasifikasi Lahan Sawah dan Tebu Secara Bertahap Menggunakan Citra Landsat ETM+ Multitemporal. Pengabungan Hasil Klasifikasi

Skema 5 (31 Maret 2003)

Training Area dan Uji Seperabilitas Klasifikasi BPNN dan MLC Akurasi Klasifikasi Hasil Klasifikasi Skema 5 Skema 1

(3 Des 2000)

Training Area dan Uji Seperabilitas Klasifikasi BPNN dan MLC Akurasi Klasifikasi Hasil Klasifikasi Skema 1 Ma skin g A rea Sawah d an T eb u 1 Skema 2 (15 Juli 2001)

Training Area dan Uji Seperabilitas Klasifikasi BPNN dan MLC Akurasi Klasifikasi Hasil Klasifikasi Skema 2 Ma skin g A rea Sawah d an T eb u 2 Skema 3 (29 April 2002)

Training Area dan Uji Seperabilitas Klasifikasi BPNN dan MLC Akurasi Klasifikasi Hasil Klasifikasi Skema 3 Ma skin g A rea Sawah d an T eb u 3 Skema 4 (18 Juli 2002)

Training Area dan Uji Seperabilitas Klasifikasi BPNN dan MLC Akurasi Klasifikasi Hasil Klasifikasi Skema 4 Ma skin g A rea Sawah d an T eb u 4


(1)

(2)

Lampiran 6. Ground Control Point untuk Koreksi Geometrik

Kode P L X Y

G0001 64,5625 722,4375 779175,7500 9295326,8125 G0002 198,3750 1209,8750 783196,1821 9280681,0528 G0003 976,2500 838,2500 806532,4896 9291864,8396 G0004 955,7500 840,8750 805923,0000 9291789,2500 G0005 713,5000 540,2500 798648,3750 9300816,6250 G0006 835,1250 1203,8750 802303,2239 9280872,6663 G0007 141,7500 389,7500 781487,6188 9305321,3234 G0008 519,8750 592,7500 792836,0527 9299223,3894 G0009 279,2500 801,0000 785617,0185 9292974,7991 G0010 887,6250 931,6250 803870,5560 9289055,4140 G0011 604,2034 885,8960 795369,8424 9290425,7993 G0012 954,8750 728,6250 805901,6973 9295152,4261 G0013 541,2500 704,1250 793478,1444 9295879,4129 G0014 428,0000 449,1250 790082,2420 9303536,1934 G0015 540,8750 1147,6250 793468,8352 9282564,4114 G0016 83,5620 834,2500 779741,5072 9291973,4737 G0017 1000,6250 448,7500 807273,1875 9303563,3125 G0018 738,4375 394,2500 799395,4703 9305197,6840


(3)

Lampiran 7. Matrik Konfusi Akurasi Klasifikasi dengan Metode Maximum Likelihood

A. Citra Tanggal 3 Desember 2000

Error (Confusion) Matrix 4 classes Classified

Data

Reference Data %

Swh Tebu MST BST Total UA PA OA Swh 416 12 13 13 454 91.63 90.04 78.92

Tebu 7 48 14 11 80 60.00 59.26

MST 38 18 24 8 88 27.27 44.44

BST 1 3 3 40 47 85.11 55.56

Total 462 81 54 72 669 Kappa = 0.5774

B. Citra Tanggal 15 Juli 2001

Error (Confusion) Matrix 4 classes Classified

Data

Reference Data %

Swh Tebu MST BST Total UA PA OA

Swh 431 6 16 25 478 90.17 93.29 79.07

Tebu 17 52 12 4 85 61.18 64.20

MST 13 21 22 19 75 29.33 40.74

BST 1 2 4 24 31 77.42 33.33

Total 462 81 54 72 669 Kappa = 0.5614

C. Citra Tanggal 29 April 2002

Error (Confusion) Matrix 4 classes

Classified Reference Data %

Data Swh Tebu MST BST Total UA PA OA Swh 441 10 10 12 473 93.23 95.45 82.21 Tebu 15 64 25 30 134 47.76 79.01

MST 3 7 17 2 29 58.62 31.48

BST 3 0 2 28 33 84.85 38.89


(4)

Lampiran 7 (Lanjutan)

D. Citra Tanggal 18 Juli 2002

Error (Confusion) Matrix 4 classes

Classified Reference Data %

Data Swh Tebu MST BST Total UA PA OA Swh 441 10 10 12 473 93.23 95.45 82.21 Tebu 15 64 25 30 134 47.76 79.01

MST 3 7 17 2 29 58.62 31.48

BST 3 0 2 28 33 84.85 38.89

Total 462 81 54 72 669 Kappa = 0.6284

E. Citra Tanggal 31 Maret 2003

Error (Confusion) Matrix 4 classes

Classified Reference Data %

Data Swh Tebu MST BST Total

UA (%) PA (%) OA (%) Swh 394 42 22 33 491 80.24 81.07 66.52

Tebu 36 31 15 13 95 32.63 38.27

MST 21 7 16 6 50 32.00 29.63

BST 35 1 1 20 57 35.09 27.78

Total 486 81 54 72 693 Kappa = 0.3412

F. Hasil Klasifikasi Gabungan Maximum Likelihood Error (Confusion) Matrix 4 classes

Classified Reference Data %

Data Swh Tebu MST BST Total UA PA OA Swh 458 21 33 31 543 84.35 99.13 83.26

Tebu 3 57 6 8 74 77.03 70.37

MST 0 3 12 3 18 66.67 22.22

BST 1 0 3 30 34 88.24 41.67

Total 462 81 54 72 669 Kappa = 0.5999

Keterangan :

MST = Kelas Mungkin Sawah/Tebu. BST = Kelas Bukan Sawah/Tebu

UA = User Accuracy,

PA = Producer Accuracy,


(5)

Lampiran 8. Matrik Akurasi Klasifikasi Metode Back Propagation Neural Network

A. Citra Tanggal 3 Desember 2000

Error (Confusion) Matrix 4 classes

Classified Reference Data %

Data Swh Tebu MST BST Totals UA PA OA Swh 436 11 26 16 489 89.16 94.37 82.96

Tebu 5 50 2 0 57 87.72 61.73

MST 20 18 21 8 67 31.34 38.89

BST 1 2 5 48 56 85.71 66.67

Totals 462 81 54 72 669 Kappa 0.6357

B. Citra Tanggal 15 Juli 2001

Error (Confusion) Matrix 4 classes

Classified Reference Data

Data Swh Tebu MST BST Total UA PA OA

Swh 439 6 18 23 486 90.33 95.02 80.12

Tebu 17 51 16 9 93 54.84 62.96

MST 5 23 17 11 56 30.36 31.48

BST 1 1 3 29 34 85.29 40.28

Total 462 81 54 72 669 Kappa 0.5763

C. Citra Tanggal 29 April 2002

Error (Confusion) Matrix 4 classes

Classified Reference Data %

Data Swh Tebu MST BST Total UA PA OA Swh 453 27 25 20 525 86.29 98.05 83.11

Tebu 4 45 6 11 66 68.18 55.56

MST 2 8 20 3 33 60.61 37.04

BST 3 1 3 38 45 84.44 52.78


(6)

Lampiran 8 (Lanjutan)

D. Citra Tanggal 18 Juli 2002

Error (Confusion) Matrix 4 classes

Classified Reference Data %

Data Swh Tebu MST BST Total UA PA OA Swh 426 19 20 12 477 89.31 92.21 78.77

Tebu 15 42 6 4 67 62.69 51.85

MST 16 19 20 17 72 27.78 37.04

BST 5 1 8 39 53 73.58 54.17

Total 462 81 54 72 669 Kappa 0.5562

E. Citra Tanggal 31 Maret 2003

Error (Confusion) Matrix 4 classes

Classified Reference Data %

Data Swh Tebu MST BST Total UA PA OA Swh 365 15 15 15 410 89.02 79.00 70.40

Tebu 37 51 11 16 115 44.35 62.96

MST 21 11 26 12 70 37.14 48.15

BST 39 4 2 29 74 39.19 40.28

Total 462 81 54 72 669 Kappa 0.4474

F. Hasil Klasifikasi Gabungan Neural Network Error (Confusion) Matrix 4 classes

Classified Reference Data %

Data Swh Tebu MST BST Total UA PA OA Swh 457 17 26 22 522 87.55 98.92 84,30

Tebu 4 59 13 13 89 66.29 72.84

MST 0 5 12 1 18 66.67 22.22

BST 1 0 3 36 40 90.00 50.00

Total 462 81 54 72 669 Kappa 0.6404

Keterangan :

MST = Kelas Mungkin Sawah/Tebu. BST = Kelas Bukan Sawah/Tebu

UA = User Accuracy,

PA = Producer Accuracy