Gambaran Histologis Tulang Tibia Tikus Yang Diberi Tepung Tempe Dan Tepung Kedelai Varietas Grobogan

GAMBARAN HISTOLOGIS TULANG TIBIA TIKUS
YANG DIBERI TEPUNG TEMPE DAN
TEPUNG KEDELAI REBUS VARIETAS GROBOGAN

ALAMSAH FIRDAUS

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Gambaran Histologis
Tulang Tibia Tikus yang Diberi Tepung Tempe dan Tepung Kedelai varietas
Grobogan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Alamsah Firdaus
NIM B04110033

ABSTRAK
ALAMSAH FIRDAUS. Gambaran Histologis Tulang Tibia Tikus yang Diberi
Tepung Tempe dan Tepung Kedelai varietas Grobogan. Dibimbing oleh TUTIK
WRESDIYATI dan MADE ASTAWAN.
Kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung berbagai zat
gizi yang bermanfaat bagi tubuh. Indonesia memiliki berbagai varietas kedelai
unggulan, di antaranya adalah varietas Grobogan. Tempe adalah salah satu produk
hasil olahan kedelai melalui fermentasi. Untuk menjadikan masa simpan lebih
lama, kedelai maupun tempe dapat dibuat menjadi tepung. Kedelai maupun tempe
mengandung isoflavon, mineral Ca, P, dan Mg yang penting untuk kesehatan
tulang. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian tepung tempe dan
tepung kedelai rebus varietas Grobogan terhadap jumlah sel osteoblas, osteosit, dan
osteoklas tulang tibia tikus. Tikus percobaan dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan,
yaitu kelompok I (kasein = kontrol negatif), kelompok J (tepung tempe 10%),
kelompok K (tepung tempe 20%), kelompok L (tepung kedelai rebus 10%), dan

kelompok M (tepung kedelai rebus 20%). Hasil penelitian menunjukkan pemberian
tepung tempe maupun tepung kedelai rebus varietas Grobogan dapat meningkatkan
jumlah sel osteoblas dan osteosit secara sangat nyata dibandingkan kontrol negatif.
Pemberian tepung tempe dapat meningkatkan jumlah osteoblas dan osteosit lebih
baik dibandingkan dengan pemberian tepung kedelai. Pemberian tepung tempe
20% menunjukkan hasil yang paling baik. Selain itu, jumlah sel osteoklas pada
semua kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang lebih sedikit secara sangat
nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pemberian tepung kedelai rebus
varietas Grobogan baik 10 maupun 20%, atau tepung tempe, baik 10 maupun 20%
dapat menurunkan jumlah osteoklas.
Kata kunci: isoflavon, kedelai grobogan, osteoblas, osteoklas, osteosit, tepung
kedelai, tepung tempe

ABSTRACT
ALAMSAH FIRDAUS. Histology of The Tibia Bone of Rats that were Treated with
Tempe Flour and Soybean Flour var Grobogan. Supervised by TUTIK
WRESDIYATI and MADE ASTAWAN.
Soybean is one of the food sources that contain a variety of nutrients.
Indonesia has some varieties of superior soybean, one of them is var Grobogan.
Tempe is one of the products of processed soybeans by fermentation. To extend

shelf life, soybean or tempe can be made into the flour. Soybean or tempe contains
isoflavones, Ca, P, and Mg that important for bone health. This study aims to
determine the effect of tempe flour and soybean flour of var Grobogan on the profile
of osteoblasts, osteocytes, and osteoclast in the tibia bone of rats. The rats were
divided into five groups. Group I (casein = negative control), group J (tempe flour
10%), group K (tempe flour 20%), group L (soybean flour 10%), and group M
(soybean flour 20%). The results showed that the treatment of tempe flour and
soybean flour increased the number of osteoblasts and osteocytes significantly,
compared to the negative control group. Tempe flour showed better result than
soybean flour. Tempe flour 20% showed the best result. In addition, the number of
osteoclast in the tibia bone of rats that were treated with tempe flour and soybean
flour showed smaller than that of negative control group. The treatment of soybean
flour (10 and 20%) or tempe flour (10 and 20%) decreased the number of
osteoclast in the tibia bone of rats.
Keywords: grobogan soybean, isoflavone, osteoblast, osteoclast, osteocyte,
soybean flour, tempe flour

GAMBARAN HISTOLOGIS TULANG TIBIA TIKUS
YANG DIBERI TEPUNG TEMPE DAN
TEPUNG KEDELAI VARIETAS GROBOGAN


ALAMSAH FIRDAUS

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini ialah pengaruh ransum terhadap kesehatan tulang, dengan judul
Gambaran Histologis Tulang Tibia Tikus yang Diberi Tepung Tempe dan Tepung
Kedelai varietas Grobogan.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Made Astawan, MS
yang telah membiayai penelitian ini melalui berbagai sumber dana yang
dikelolanya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Drh Tutik Wresdiyati, PhD PAVet
dan Prof Dr Ir Made Astawan, MS yang telah membimbing penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Di samping itu, ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada staf Laboratorium Histologi FKH IPB, Drh Adi Winarto, PhD
PAVet, Drh I Ketut Mudite Adnyane, MSi PhD PAvet, Bapak Iwan, dan Bapak
Maman yang telah banyak membantu penulis selama penelitian. Tidak lupa juga
ucapan terimkasih kepada Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc AIF selaku
dosen Pembimbing Akademik selama kuliah di FKH IPB. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada Ayah (Syamsi Suparman), Ibu (Dedeh Jubaedah), serta
seluruh keluarga, atas segala do’a, dukungan semangat dan kasih sayangnya selama
ini. Tidak lupa juga, terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman
seperjuangan dalam penelitian (Andi Prastiawan, Rifa Rinaldi, Tyas Noormalasari
H, Rahajeng Harnastiti, Miftahul Ilmi), teman-teman satu lab (Rifky Rizkiantino,
Ulfah Andari Gusni, Filika Amalia Isman, Irene Kosim, Dhenok Maria Ulfa),
teman-teman OMDA WAPEMALA, serta teman-teman Ganglion (FKH 48) atas
segala dukungan dan semangatnya.
Semoga skripsi ini bermanfaat.


Bogor, September 2015
Alamsah Firdaus

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Tinjauan Pustaka

2

Kedelai

2


Tempe

4

Isoflavon

5

Tulang

6

Tikus

7

METODE

8


Waktu dan Tempat

8

Bahan

8

Alat

8

Prosedur

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

11


Gambaran Histologis dan Jumlah Sel Osteoblas; Osteosit

11

Gambaran Histologis dan Jumlah Sel Osteoklas

15

SIMPULAN DAN SARAN

18

Simpulan

18

Saran

18


DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

22

RIWAYAT HIDUP

26

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Informasi kedelai varietas Grobogan
3
Perbandingan kandungan gizi tempe dan kedelai
5
Pembagian kelompok perlakuan
9
Hasil perhitungan jumlah osteoblas dan osteosit per lapang pandang 12
Hasil perhitungan jumlah osteokas per lapang pandang
16

DAFTAR GAMBAR
1 Biji kedelai varietas Grobogan
4
2 Perbandingan struktur molekular 17-β-estradiol dan isoflavon (dalam
bentuk Genistein dan Daidzein)
6
3 Gambaran Histologis sel osteoblas dan sel osteosit tulang tibia tikus. 11
4 Gambaran Histologis sel osteoklas
15

DAFTAR LAMPIRAN
5 Hasil analisis ANOVA dan uji DUNCAN dari jumlah osteosit, osteoblas,
dan jumlah keduanya
22
6 Hasil analisis ANOVA dan uji DUNCAN dari jumlah sel osteoklas 24
7 Diagram alir pembuatan tempe
25

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara mega biodiversity. Berbagai keanekaragaman
hayati terdapat di Indonesia, baik tumbuhan maupun hewan. Kondisi lingkungan
seperti pH, kelembaban, iklim, dan cuaca yang cukup baik merupakan faktor yang
membuat berbagai macam tumbuhan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Salah satu tumbuhan yang dapat tumbuh dan berkembang baik di Indonesia adalah
kedelai.
Kedelai adalah tanaman legum semusim yang memiliki berbagai kandungan
gizi. Kedelai termasuk ke dalam komoditas penting di Indonesia, karena merupakan
sumber protein disamping sebagai sumber lemak, vitamin, dan mineral bagi
masyarakat. Protein yang terdapat pada kedelai rata-rata dari berbagai varietas yaitu
sebesar 35%, bahkan varietas unggul memiliki kadar protein sekitar 40-44%
(Astawan 2009). Beberapa kedelai lokal varietas unggul di antaranya yaitu
Agromulyo, Grobogan, Panderman, Bromo, Burangrang, Wilis, Anjasmoro, Detam
dan lain-lain.
Kedelai varietas Grobogan memiliki berbagai keunggulan dibanding varietas
lainnya, di antaranya yaitu cepat berbunga, cepat panen, dan produksinya tinggi
(Milani et al. 2013). Hasil olahan dari kedelai varietas Grobogan juga memiliki
beberapa keunggulan. Astawan et al. (2013) melaporkan bahwa tempe dari kedelai
varietas Grobogan memiliki efektivitas biaya yang paling tinggi dibandingkan
dengan tempe dari kedelai varietas Anjasmara, Agromulyo, GMO (Genetically
Modified Organism), maupun non-GMO. Selain itu, keunggulan kedelai varietas
Grobogan yang lain adalah bobot biji yang besar dan kadar protein yang tinggi
(Ginting et al. 2009).
Kedelai biasanya dimanfaatkan sebagai bahan dasar dari berbagai produk
makanan seperti tempe, tauco, kecap, dan lain-lain. Namun, kedelai lebih sering
dimanfaatkan untuk pembuatan tempe. Tempe merupakan bahan pangan sumber
mineral. Kandungan mineral kalsium dan fosfor per 100 g tempe masing-masing
347 dan 724 mg (Astawan 2009). Kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dalam
tempe akan meningkatkan ketersediaan kedua mineral tersebut bagi tubuh dan
sangat bermanfaat dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tulang. Selain
sebagai sumber gizi, tempe juga menjadi satu-satunya sumber vitamin B12 yang
potensial dari bahan pangan nabati. Tempe juga diketahui mengandung senyawa
isoflavon dalam bentuk aglikon (Astawan 2008).
Pemanfaatan tempe secara optimal dan agar tempe semakin digemari oleh
masyarakat dapat dilakukan dengan melakukan diversifikasi produk tempe. Salah
satu bentuk diversifikasi tempe adalah dengan membuat tempe menjadi tepung.
Tempe dalam bentuk tepung menjadikan tempe lebih fleksibel dalam
penggunaannya dan lebih lama masa simpannya (Murni 2010). Mursyid et al.
(2014) juga menyebutkan bahwa masalah utama dari tempe adalah umur simpannya
yang relatif rendah. Oleh karena itu, pembuatan tepung merupakan alternatif
pengolahan untuk memperpanjang daya tahan simpan dan daya guna tempe.
Kalsium (Ca) dan fosfor (P) merupakan mineral penting yang sangat
diperlukan oleh tubuh. Mineral-mineral tersebut, terutama kalsium sangat

2
berpengaruh terhadap beberapa aktivitas tubuh seperti kontraksi otot, impuls saraf,
dan pembentukan tulang. Tulang merupakan bagian tubuh yang memiliki fungsi
utama sebagai pembentuk rangka, alat gerak pasif, pelindung organ-organ internal,
dan tempat penyimpanan mineral (kalsium-fosfor). Proses pembentukan tulang
disebut osifikasi. Proses osifikasi terjadi pada masa perkembangan fetus (pre-natal)
dan setelah individu lahir (post-natal). Pada tulang panjang, perkembangan terjadi
sampai individu mencapai dewasa (Djuwita et al. 2012). Menurut Neve et al. (2010),
laju pembentukan tulang oleh sel osteoblast dipengaruhi oleh faktor ketersediaan
kalsium, vitamin-D, dan hormon estrogen.
Sumber mineral seperti kalsium dan fosfor dapat diperoleh dari pangan asal
hewani maupun nabati. Pangan asal hewani sumber mineral, terutama kalsium,
yang paling dikenal banyak orang adalah susu. Namun beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa pangan asal nabati pun tidak jauh berbeda dalam
meningkatkan ketersediaan kalsium di dalam tubuh. Asyaifullah (2015)
menyatakan bahwa bioavailabilitas mineral kalsium dari konsumsi pangan nabati
(tepung kedelai rebus dan tepung tempe) tidak berbeda nyata dengan konsumsi
pangan hewani (kasein).
Berbagai kandungan gizi yang terdapat dalam kedelai maupun tempe
tentunya akan memberikan banyak manfaat bagi tubuh. Oleh karena itu penelitian
ini diharapkan dapat menunjukkan bahwa pemberian tepung tempe dan tepung
kedelai rebus varietas Grobogan dapat memberikan efek positif terhadap
pertumbuhan tulang pada tikus percobaan. Nantinya, efek positif yang terjadi
diharapkan dapat diaplikasikan sebagai terapi atau pencegahan osteoporosis dan
berbagai kelainan tulang.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian tepung
tempe dan tepung kedelai rebus varietas Grobogan terhadap pertumbuhan tulang
tibia tikus, dengan melihat jumlah osteoblas, osteosit, dan osteoklas yang terbentuk.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk pengaplikasian kedelai
maupun olahannya sebagai bahan pangan untuk terapi atau pencegahan
osteoporosis dan berbagai kelainan tulang.

TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai
Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak.
Kedelai jenis liar (Glycine ururiencis) merupakan kedelai yang menurunkan
berbagai kedelai yang dikenal pada saat ini (Glycine max (L) Merril). Tanaman ini
berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara) dan di Indonesia mulai dibudidayakan
pada abad ke-17 sebagai tanaman pangan dan pupuk hijau. Dari Indonesia, tanaman

3
kedelai menyebar ke daerah Mansyuria, yaitu Jepang (Asia Timur), negara-negara
lain di Amerika dan Afrika (KEMENRISTEK 2006).
Klasifikasi tanaman kedelai adalah sebagai berikut:
Familia
: Leguminosae
Subfamili
: Papilionoidae
Genus
: Glycine
Species
: Glycine max L
Kedelai yang tumbuh secara liar di Asia Tenggara meliputi sekitar 40 jenis.
Penyebaran geografis kedelai mempengaruhi jenis tipenya. Terdapat empat tipe
kedelai, yaitu tipe Mansyuria, Jepang, India, dan Cina. Dasar-dasar penentuan
varietas kedelai dilakukan menurut umur, warna biji dan tipe batang
(KEMENRISTEK 2006)
Salah satu kedelai varietas unggulan adalah kedelai varietas Grobogan.
Kedelai varietas lokal Grobogan telah sejak lama menjadi pilihan petani Jawa
Tengah, khususnya petani Kabupaten Grobogan. Varietas lokal ini mempunyai
beberapa keunggulan, yaitu umurnya lebih pendek, polongnya besar, dan tingkat
kematangan polong serta daunnya bersamaan, sehingga pada saat dipanen daun
kedelai sudah rontok. Keunggulan inilah yang menarik minat para peneliti untuk
memurnikan varietas ini. Pada tahun 2008, hasil pemurnian populasi lokal Malabar
Grobogan ini dilepas dengan nama varietas Grobogan (PPPTP 2010).
Informasi mengenai kedelai varietas Grobogan menurut PPPTP (2010) dapat
dilihat pada Tabel 1. Gambar kedelai varietas Grobogan dapat dilihat pada Gambar
1.
Tabel 1 Informasi kedelai varietas Grobogan
Informasi
Keterangan
Dilepas tahun
2008
SK Mentan
238/Kpts/SR.120/3/2008
Tipe pertumbuhan
Determinit
Warna bunga
Ungu
Warna kulit biji
Kuning muda
Warna polong tua
Coklat
Bentuk daun
Lanceolate
Umur berbunga
30-32 hari
Umur polong masak ± 76 hari
Tinggi tanaman
50–60 cm
Bobot biji
± 18 g/100 biji
Rata-rata hasil
2,77 ton/ha
Potensi hasil
3,40 ton/ha
Kandungan protein
43,9%
Kandungan lemak
18,4%
Daerah sebaran
Beradaptasi baik pada beberapa kondisi lingkungan tumbuh yang
berbeda cukup besar, pada musim hujan, dan daerah beririgasi baik.
Sifat lain
Polong masak tidak mudah pecah, dan pada saat panen daun luruh
95–100%, saat panen >95% daunnya telah luruh
Pemulia
Suhartina, M. Muclish Adie
Pengusul
Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan, BPSB Jawa Tengah,
Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah.

4

Gambar 1 Biji kedelai varietas Grobogan (PPTP 2010)

Tempe
Secara umum, tempe diartikan sebagai bahan pangan yang dihasilkan melalui
fermentasi kedelai rebus, dalam waktu tertentu menggunakan kapang Rhizopus sp.
Selama proses fermentasi, kapang akan tumbuh membentuk miselium berwarna
putih yang menutupi permukaan kedelai. Miselia tersebut menghubungkan antar
biji kedelai, membentuk massa yang padat, kompak, tetapi bertekstur lembut
(Astawan 2008).
Komposisi protein, lemak, dan karbohidrat tempe tidak banyak berubah
dibandingkan dengan kedelai, namun karena adanya enzim pencernaan yang
dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe
menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat
dalam kedelai. Proses fermentasi yang terjadi pada tempe berfungsi untuk
merubah senyawa makromolekul kompleks yang terdapat pada kedelai (seperti
protein, lemak, dan karbohidrat) menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti
peptida, asam amino, asam lemak, dan monosakarida (Astawan 2009). Proses
fermentasi menyebabkan tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
kacang kedelai sebagai bahan dasarnya. Keunggulan tersebut dapat dilihat dari
komposisi zat gizi secara umum, daya cerna protein dan kandungan asam amino
esensial yang relatif lebih tinggi, serta zat antigizi yang berupa antitripsin dan asam
fitat yang jauh lebih rendah dibandingkan kedelai (Astawan 2008). Perbandingan
kandungan zat gizi antara kedelai dan tempe dapat dilihat pada Tabel 2.
Tempe mempunyai daya simpan yang singkat dan akan segera membusuk
selama penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh proses fermentasi yang berlanjut
menyebabkan degradasi protein, sehingga dapat terbentuk amoniak. Amoniak yang
terbentuk menyebabkan munculnya aroma busuk. Oleh karena itu, pengolahan
lebih lanjut dari tempe untuk menghasilkan produk turunan tempe perlu dilakukan
untuk memperpanjang masa simpannya. Salah satu alternatif produk turunan tempe
yaitu dibuat tepung tempe yang kemudian dikembangkan menjadi produk formula
tepung tempe (Bastian et al. 2013).
Babu et al. (2009) dalam laporannya menyebutkan bahwa tempe adalah
sumber protein yang sangat baik, mengandung asam amino esensial dengan kualitas
protein yang sama seperti daging. Selain itu, beberapa keunggulan tempe lainnya

5
Tabel 2 Perbandingan kandungan gizi tempe dan kedelai
Zat Gizi
Satuan Komposisi zat gizi dalam 100 gram
bahan kering
Kedelai
Tempe
Abu
(g)
6,1
3,6
Protein
(g)
46,2
46,5
Lemak
(g)
19,1
19,7
Karbohidrat
(g)
28,2
30,2
Serat
(g)
3,7
7,2
Kalsium
(mg)
254
347
Fosfor
(mg)
781
724
Besi
(mg)
11
9
Vitamin B1
(mg)
0,48
0,28
Riboflavin
(mg)
0,15
0,65
Niasin
(mg)
0,67
2,52
Asam pantotenat
(mkg)
430
520
Piridoksin
(mkg)
180
100
Vitamin B12
(mkg)
0,2
3,9
Biotin
(mkg)
35
53
Asam amino esensial
(g)
17,7
18,9
Sumber: Astawan (2009)

adalah sebagai sumber kalsium, rendah lemak jenuh, tinggi asam lemak esensial,
tinggi vitamin B, bebas kolesterol, dan tinggi serat larut. Proses fermentasi pada
tempe dapat menurunkan asam fitat yang masih ada dalam kedelai. Oleh karena itu
tempe tidak menghalangi penyerapan mineral tubuh. Kandungan lainnya yaitu
tinggi isoflavon, sumber asam folat, dan rendah sodium (Astawan 2009).

Isoflavon
Isoflavon merupakan subkelompok fitoestrogen, yaitu zat tumbuhan alami
dengan struktur yang mirip dengan 17-β-estradiol dan mampu mengikat reseptor
estrogen (ERs). Isoflavon memiliki potensi untuk mengaktifkan kedua jalur sinyal
estrogen, baik genomik maupun non-genomik. Selain itu, isoflavon dapat
berinteraksi dalam metabolisme hormon steroid. Beberapa waktu terakhir,
isoflavon menjadi fokus yang menarik karena beberapa laporan tentang efek
positifnya pada kesehatan manusia dalam pencegahan kanker, penyakit
kardiovaskular, dan osteoporosis (Pilsakova et al. 2010).
Isoflavon memiliki struktur difenolik yang mempunyai potensi sebagai
estrogen sintetis dietilstilbesrol dan heksestrol. Pada umumnya unsur isoflavon
dalam tanaman bersifat inaktif, yang berada dalam bentuk glikoside. Unsur
tanaman ini diduga mengalami fermentasi oleh mikroflora usus. Kemudian dengan
proses metabolisme, terjadi konversi dari biochanin A dan formonetin oleh
glukosidase menjadi unsur genisten dan daidzein yang aktif. Di dalam usus, unsur
daidzein menjadi equol dan odesmethylangiolensin (O-DMA), sedangkan genistein
menjadi heterocyclicphenolic yang strukturnya mempunyai persamaan dengan

6
hormon estrogen. Proses tersebut melalui beberapa sistem enzim yang kompleks
dari proses metabolisme. Khasiat isoflavon ini sangat kompleks dan membutuhkan
berbagai identifikasi yang spesifik dari setiap aksi kimiawi terhadap sel targetnya
(Biben 2012). Perbandingan struktur kimia antara isoflavon dan estrogen dapat
dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Perbandingan struktur molekular 17-β-estradiol dan isoflavon (dalam
bentuk Genistein dan Daidzein) (Pilsakova et al. 2010)
Isoflavon terdapat pada berbagai kacang-kacangan, terutama kacang kedelai.
Senyawa isoflavon dapat mengalami biokonversi selama proses pengolahan kedelai,
baik melalui fermentasi (pada pembuatan tempe) maupun proses non-fermentasi,
terutama melalui proses hidrolisis. Proses ini dapat menghasilkan senyawa
isoflavon bebas yang disebut aglikon yang lebih tinggi aktivitasnya (Astawan 2009).
Senyawa ini telah banyak diteliti karena kemiripannya dengan estrogen. Seperti
yang telah diketahui bahwa hormon estrogen adalah hormon yang sangat berperan
dalam proses reproduksi, dan berperan juga dalam pembentukan tulang. Beberapa
penelitian menunjukkan hasil positif mengenai manfaat senyawa ini. Suarsana et al.
(2011) dalam penelitiannya melaporkan bahwa ransum yang kaya isoflavon
terbukti dapat meningkatkan kadar kalsium, fosfor, dan estrogen dalam plasma
darah. Penelitian lain melaporkan bahwa isoflavon dapat mempertahankan densitas
tulang (Nurdin et al. 2002).
Tulang
Tulang merupakan komponen utama dari sistem kerangka yang berfungsi
sebagai alat gerak pasif, tempat pertautan otot, pelindung organ internal, dan
penjaga homeostasis kalsium. Selain itu, di dalam tulang terdapat sel-sel mikro
yang saling berinteraksi. Sel-sel tersebut adalah sel osteoblas, osteosit, osteoklas,
sel-sel hematopoietik, sel mesenkimal, dan sel-sel pertahanan tubuh. Monosit pada
tulang akan berdiferensiasi dan bergabung membentuk bone-resorbing osteoclasts.
Osteoblas berasal dari mesenchymal stem cell dan terutama dari deposit osteoid
tulang baru. Osteoblas, osteosit, dan sel T menghasilkan osteoklastogenik, yaitu
protein yang disebut sebagai receptor activator of nuclear factor kappa-b ligand
(RANKL). Osteosit dan osteoblas juga memproduksi osteoprotegerin (OPG) yang
berfungsi untuk menyeimbangkan osteoklastogenesis dan resorpsi tulang
(Compton dan Lee 2014).
Osteosit adalah sensor sinyal utama, integrator, dan transduser dari kerangka.
Osteosit, osteoblas, dan osteoklas adalah sel-sel tulang utama yang mengatur

7
pertumbuhan, pemeliharaan, dan penyembuhan tulang. Sklerostin (glikoprotein
yang disekresikan terutama oleh osteosit dalam kondisi fisiologis) adalah regulator
negatif penting dari massa tulang melalui penghambatan pembentukan tulang oleh
osteoblas. Sel-sel tulang merupakan komponen yang sangat aktif. Matriks tulang
terdiri dari mineral hidroksiapatit, kalsium, dan ion lain yang penting untuk
homeostasis. Matriks tulang adalah tempat bagi banyak protein seperti kolagen,
osteocalcin, osteopontin, faktor pengubah pertumbuhan, dan bone morphogenetic
protein (BMP). Pada permukaan tulang, osteoblas menghasilkan matriks baru,
sementara osteoklas menyerap dan merombak tulang (Compton dan Lee 2014).
Tulang secara kontinyu akan mengalami kerusakan dan pembentukan
kembali (remodeling) untuk mempertahankan volume tulang dan homeostasis
kalsium. Osteoblas dan osteoklas adalah sel-sel khusus yang bertanggung jawab
masing-masing untuk pembentukan dan resorpsi tulang. Osteoblas menghasilkan
protein matriks tulang dan bertanggung jawab atas mineralisasi jaringan. Osteoklas
adalah sel berinti yang bertanggung jawab atas resorpsi tulang. Osteoklas ini
terbentuk dari prekursor monosit atau makrofag (Yamashita et al. 2012). Osteoblas
dapat mensintesis Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1), Interleukin-1 (IL-1), dan
Interleukin-6 (IL6). Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) yang dihasilkan oleh
osteoblas dapat menjadi faktor kemotaktik poten yang berperan dalam perekrutan
osteoblas baru selama pembentukan tulang (Neve et al. 2010).
Tikus
Tikus adalah hewan mamalia pengerat yang biasanya melakukan aktivitas di
malam hari (hewan nokturnal). Tikus merupakan salah satu hewan yang sering
digunakan dalam percobaan dan penelitian ilmiah, atau lebih sering disebut sebagai
hewan laboratorium. Umumnya, tikus yang digunakan untuk dijadikan hewan lab
adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Tikus putih lebih besar dari famili tikus
umumnya dengan panjang yang dapat mencapai 40 cm, diukur dari hidung sampai
ujung ekor, dan berat 140-500 g. Tikus jantan biasanya memiliki ukuran yang lebih
besar dari tikus betina, berwarna putih, memiliki ukuran ekor yang lebih panjang dari
tubuhnya (Kusumawati 2004).
Saat ini, beberapa strain tikus digunakan dalam penelitian di laboratorium hewan
coba di Indonesia. Jenis tersebut antara lain jenis Wistar (asalnya dikembangkan di
Institut Wistar), yang turunannya dapat diperoleh di Pusat Teknologi Dasar Kesehatan
dan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Badan Litbangkes.
Selain itu terdapat juga jenis Sprague Dawley (tikus albino yang dihasilkan di tanah
pertanian Sprague Dawley), yang dapat diperoleh di laboratorium Badan Pengawasan
Obat dan Makanan dan Pusat Teknologi Dasar Kesehatan Badan Litbangkes (Ridwan
2013).
Tikus Sprague Dawley merupakan jenis tikus albino serbaguna yang
digunakan secara ekstensif dalam riset medis. Aplikasi penggunaan tikus jenis ini
terutama untuk bidang bedah eksperimental, metabolisme nutrisi, neurologi,
onkologi, farmakologi, fisiologi, teratologi, dan toksikologi. Tikus Sprague Dawley
adalah tikus outbred albino yang memiliki kepala memanjang dan ekor yang lebih
panjang dari tubuhnya. Keuntungan utamanya adalah cepat tumbuh dan mudah
untuk di-handle (Janvier Labs 2013). Tikus jenis ini pertama kali diproduksi oleh
peternakan Sprague Dawley (kemudian menjadi Perusahaan Animal Sprague
Dawley) di Madison, Wisconsin. Fasilitas penangkaran dibeli pertama kali oleh

8
Gibco dan kemudian oleh Harlan (sekarang Harlan Sprague Dawley) pada bulan
Januari 1980. Rata-rata ukuran berat tubuh tikus Sprague Dawley dewasa adalah
250-300 g bagi betina, dan 450-520 g untuk jantan. Hidup yang khas adalah 2,5-3,5
tahun (Kusumawati 2004).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2014 sampai bulan Mei 2015 yang
bertempat di Seafast Centre dan Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan, ransum
yang mengandung bahan perlakuan (kasein, tepung tempe dari kedelai varietas
Grobogan 10%, tepung tempe dari kedelai varietas Grobogan 20%, tepung kedelai
rebus varietas Grobogan 10%, dan tepung kedelai rebus varietas Grobogan 20%),
air minum, NaCl fisiologis, alkohol 70%, ketamine, xylazine, larutan Bouin,
aquades, HCl 25%, larutan dehidrasi (alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol
absolut I, II, dan III), larutan penjernih (Xylol I, II, dan III), parafin, entelan® dan
pewarna Hematoksilin-Eosin.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu
lengkap, satu set alat bedah minor, label, pensil, sarung tangan, benang, spoit, silet,
kapas, papan bedah, botol, cawan petri, gelas piala, gelas ukur, kertas saring,
pengaduk, kertas tisu, alumunium foil, tissue cassete, inkubator, alat embedding,
cetakan embedding, blok kayu, mikrotom, gelas objek, mikroskop, dan Dino-Eye®.
Prosedur
Pembuatan Tepung Kedelai dan Tepung Tempe
Tempe dibuat di Rumah Tempe Indonesia. Diagram alir pembuatannya dapat
dilihat pada Lampiran 3. Proses pembuatan tepung tempe dan tepung kedelai rebus
varietas Grobogan dilakukan oleh tim penelitian mahasiswa Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Tahap Persiapan dan Perlakuan Hewan Coba
Tikus percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih galur
Sprague Dawley yang berumur empat minggu, lepas sapih, dan berjenis kelamin
jantan. Tikus Percobaan diadaptasikan terlebih dahulu selama 3 hari dengan
diberikan ransum pakan standar kasein dan air minum secara ad libitum. Jumlah
tikus percobaan yang digunakan sebanyak 15 ekor dan dibagi menjadi lima
kelompok perlakuan. Setiap kelompok perlakuan terdapat tiga kali ulangan.

9
Percobaan dilakukan selama 90 hari. Selama masa percobaan lima kelompok
percobaan diberikan lima jenis ransum yang mengandung sumber protein yang
berbeda. Ransum diberikan secara ad libitum. Pembagian kelompok perlakuan
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Pembagian kelompok perlakuan
Kelompok
Perlakuan ( jenis ransum)
I
Ransum yang 10% kandungan proteinnya berasal dari kasein
(kasein)
J
Ransum yang 10% kandungan proteinnya berasal dari tepung
tempe (tepung tempe 10%)
K
Ransum yang 20% kandungan proteinnya berasal dari tepung
tempe (tepung tempe 20%)
L
Ransum yang 10% kandungan proteinnya berasal dari tepung
kedelai rebus (tepung kedelai rebus varietas Grobogan 10%)
M
Ransum yang 20% kandungan proteinnya berasal dari tepung
kedelai rebus (tepung kedelai rebus varietas Grobogan 20%)
Sampling dan Pengawetan Organ
Tikus percobaan terlebih dahulu dibius menggunakan ketamine dan xylazine.
Selanjutnya tikus yang sudah terbius diletakkan di atas papan bedah untuk
dilakukan pengambilan darah dan pembedahan. Setelah itu, kaki belakang tikus
(tulang tibia) diambil sebagai sampel. Tulang tibia yang digunakan sebagai sampel
merujuk pada penelitian Sabri (2011) yang juga melakukan perhitungan jumlah sel
osteoblas dan osteoklas pada tulang tikus. Tulang tibia dipisahkan dari otot-otot
yang menempel dan dimasukkan ke dalam larutan pengawet Bouin. Setelah 24 jam,
organ dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70%.
Tahap Dekalsifikasi
Proses dekalsifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 25%.
Tulang direndam dalam larutan HCl 25% sampai lunak (dapat ditusuk jarum).
Setelah itu, tulang disayat pada bagian tengahnya menjadi tiga bagian dan diambil
juga bagian ujung bawahnya. Kemudian potongan tulang tersebut dimasukkan ke
dalam tissue cassete dan selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan alkohol 70%.
Proses Embedding
Tahap pertama yang dilakukan adalah penarikan air dari jaringan (dehidrasi).
Tissue cassete yang berisi tulang pada alkohol 70% dimasukkan ke dalam larutan
alkohol bertingkat, yaitu 80%, 90%, dan 95%, masing-masing selama 24 jam.
Setelah itu, tissue cassete yang berisi tulang dimasukkan ke dalam alkohol absolut
I, II, dan III, masing-masing selama satu jam.
Tahap selanjutnya yaitu penjernihan (clearing). Tissue cassete yang berisi
tulang yang telah didehidrasi dimasukkan ke dalam larutan xylol I selama satu jam,
xylol II selama 30 menit, dan xylol III selama 30 menit. Khusus perendaman pada
larutan xylol III, pada 15 menit pertama dibiarkan dalam suhu ruang, sedangkan 15
menit selanjutnya dimasukkan ke dalam inkubator. Setelah itu, proses selanjutnya
yaitu dilakukan tahap penanaman organ pada parafin (embedding).

10
Tulang dikeluarkan dari tissue cassete dan dimasukkan ke dalam parafin cair
I, II, dan III, masing-masing selama satu jam. Proses selanjutnya dibantu dengan
alat embedding. Parafin cair dimasukkan ke dalam cetakan embedding dan
potongan tulang disusun di dalamnya. Potongan dari bagian tengah tulang disusun
secara melintang sedangkan potongan bagian bawahnya disusun secara memanjang.
Kemudian parafin didinginkan sampai membeku.
Tahap Blocking dan Pemotongan
Parafin beku berisi tulang dipotong segi empat sesuai besarnya potongan
tulang yang berada di dalamnya. Kemudian potongan tersebut ditempelkan pada
blok kayu dan diberi label sesuai kelompok perlakuan. Selanjutnya dilakukan
pemotongan menggunakan mikrotom. Setelah mendapat sayatan yang sesuai,
sayatan tersebut ditempelkan pada gelas objek.
Tahap Pewarnaan
Pewarnaan yang digunakan adalah pewarnaan dengan Hematoksilin-Eosin.
Sebelum dilakukan pewarnaan, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan,
yaitu deparafinisasi dan rehidrasi. Tahap deparafinisasi dilakukan dengan
merendam preparat ke dalam larutan xylol III, II, dan I, masing-masing selama dua
menit. Tahap rehidrasi dilakukan dengan merendam preparat yang telah
dideparafinisasi ke dalam larutan alkohol absolut III, II, I, alkohol 95%, 90%, 80%,
dan 70%, masing-masing selama dua menit. Selanjutnya preparat dicuci dengan air
kran selama 10 menit dan direndam dalam aquades selama lima menit.
Tahap pewarnaan dilakukan dengan merendam preparat ke dalam larutan
Hematoksilin selama empat menit. Kemudian preparat dicuci dengan air kran
selama 15 menit dan direndam dalam akuades selama lima menit. Selanjutnya
preparat direndam dalam larutan Eosin selama satu menit dan dilakukan tahap
dehidrasi dengan perendaman dalam alkohol bertingkat (dari alkohol 70% sampai
alkohol absolut III) sampai xylol III masing-masing selama beberapa detik. Setelah
didapatkan hasil pewarnaan yang sesuai, dilakukan proses mounting menggunakan
entelan® dan preparat ditutup dengan kaca penutup.
Identifikasi dan Penghitungan Jumlah Osteoblas, Osteosit, dan Osteoklas
Identifikasi osteoblas, osteosit, dan osteoklas dilakukan dengan cara melihat
morfologi sel-sel pada preparat tulang yang telah diwarnai di bawah mikroskop.
Setelah itu, dilakukan pemotretan masing-masing preparat dengan bantuan alat
Dino-Eye® di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali. Perhitungan jumlah
osteoblas, osteosit, dan osteoklas dilakukan dengan menggunakan software ImageJ
pada lima lapang pandang per preparat setiap kelompok perlakuan. Kemudian
hasilnya dirata-ratakan.
Rancangan Penelitian dan Analisis Data
Hasil perhitungan rata-rata jumlah osteosit dan osteoblast, serta jumlah
osteoklas dianalisis dengan bantuan software SPSS 16 dengan metode one way
ANOVA. Setelah itu, jika terdapat perbedaan yang nyata (p