Pengukuran Indeks Glikemik Cookies Tepung Talas Belitung (Xanthosoma Sagittifolium)

(1)

SKRIPSI

Oleh

DIAN FIFIT SUNDARI NIM : 101000236

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh

DIAN FIFIT SUNDARI NIM : 101000236

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

(4)

menggunakan konsep Indeks Glikemik (IG). IG adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Talas Belitung (Xanthosma sagittifolium) merupakan pangan sumber karbohidrat dengan indeks glikemik rendah (IG=50) dan sering dikonsumsi oleh penderita diabetes sebagai pangan pengganti nasi. Akan tetapi produk olahan talas belitung seperti Cookies tepung talas belitung belum diketahui nilai indeks glikemiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai indeks glikemik cookies tepung talas belitung.

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan subyek penelitian 6 orang sehat yang dipilih dengan metode purposif sampling. Obyek penelitian adalah cookies tepung talas belitung. Talas belitung yang digunakan berasal dari Kecamatan Hatonduhan. Pengukuran nilai indeks glikemik dilakukan berdasarkan metode standart (Miller, 1996) dengan pangan acuan berupa roti tawar. Porsi pangan uji dan pangan acuan yang digunakan mengandung 50 g karbohidrat. Kandungan karbohidrat pada cookies tepung talas belitung dihitung berdasarkan metode luff schroll. Indeks glikemik dihitung dengan cara membandingkan luas area dibawah kurva pangan uji dengan pangan acuan. Luas area dibawah kuva pangan uji/acuan dihitung dengan menarik garis horizontal dan vertikal sehingga membentuk luas bangun. Berdasarkan perhitungan tersebut, nilai indeks glikemik cookies tepung talas belitung dengan pangan acuan roti tawar yaitu 79,9%. IG cookies tepung talas belitung termasuk dalam katagori tinggi (>70).

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti nilai indeks glikemik cookies dengan penambahan bahan lain selain terigu sebagai campurannya. Sehingga tidak menaikkan nilai indeks glikemik secara drastis.


(5)

selection of setting the amount and type of carbohydrates that is appropriate to use the concept of the Glycemic Index (GI). GI is food levels according to their effect on blood glucose levels. Cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) is a source of carbohydrate foods with a low glycemic index (GI = 50) and is often consumed by diabetics as a food substitute for rice. However, products of cocoyam such as cocoyam cookies have unknown glycemic index value. This study aimed to determined the glycemic index value of cocoyam cookies.

This study was experimental study with 6 healthy subjects selected by purposive sampling method. Cocoyam used came from the district Hatonduhan. Measurement of glycemic index value performed by standard methods (Miller, 1996) with a food standard such as white bread. The portion of the test food and the standard food contained 50 g carbohydrate. The content of carbohydrates in cocoyam cookies was calculated by luff schroll method. GI was calculated by comparing the under kurve area of food test with food standard. Under kurve area of test food/ food standard was calculated by drawing horizontal and vertical lines thus forming wide awakes. Based on these calculations, the glycemic index value of cocoyam cocokies with white bread as a standard food is 79,9%. GI of cocoyam cookies included in high category (>70).

It is recommended to further research to examine the glycemic index value of cookies with the adition of other ingredient beside wheat flour as complementary ingredient. So it doesn’t raise blood glucose levels drastically.


(6)

Tempat/Tanggal Lahir : Afdeling III Tonduhan/27 Januari 1992 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Anak Ke : 3 Dari 3 Bersaudara

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Huta I Buntu Marihat Kecamatan Hatonduhan Kabupaten Simalungun

Riwayat Pendidikan :

1. Tahun 1997-2003 : SD Negeri 091515 Buntu Turunan 2. Tahun 2003-2006 : SMP Negeri 2 Tanah Jawa

3. Tahun 2006-2009 : SMA Swasta Teladan Pematang Siantar 4. Tahun 2010-2014 : Fakultas Kesehatan Masyarakat


(7)

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Pengukuran Indeks Glikemik Cookies Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium) sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua saya, ayahanda Paidi dan Ibunda Almh.Tumini dan juga kepada kakanda Ir.Hendro Suryadi Tama dan Ifana Citra, SST yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis hingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Selanjutnya penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama,M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, MSi selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik.

3. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik.


(8)

6. Para dosen dan staf di Fakultas Kesehatan Masyatakat Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Alhamra selaku Kepala Laboratorium Makanan dan Minuman Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan (BARISTAND) yang telah memberikan izin memperoleh data-data yang mendukung penulis dalam menyelesaikan penelitian

8. Kepada sahabat tercinta Delian Rana Purba, SST yang selalu setia memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis.

9. Sahabat-sahabat saya, Ranika Harahap, Entywe Habeahan, Desi Ratna Sari dan Effi Janiarti, yang selalu setia memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis. 10.Buat teman-teman Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Tasya, Muthia,

Imaniar, Agustia, Nadia, Ria Sutiani, Tengku Miranda, Olivia, Putri, Ria Solia, Tresa, kak Yunita, kak Vella, dan kepada teman-teman FKM-USU angkatan 2010, Julita Arnis, Evi, Shella, Erika, Panji, Ka Intan, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dalam skripsi ini.

Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memanfaatkannya.

Medan, Juli 2014 Penulis

Dian Fifit Sundari


(9)

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Daftar Riwayat Hidup ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Umum ... 6

1.3.2 Tujuan Khusus ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Indeks Glikemik ... 7

2.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indes Glikemik Pangan ... 10

2.1.2 Pengukuran Indeks Glikemik Pangan ... 14

2.2 Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium) ... 17

2.3 Tepung Talas Belitung ... 22

2.4 Cookies Tepung Talas Belitung ... 24

2.5 Kerangka Konsep Penelitian ... 27

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 29

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

3.3 Subyek dan Obyek Penelitian ... 30

3.3.1 Subyek Penelitian ... 30

3.3.2 Obyek Penelitian ... 30

3.4 Defenisi Operasional ... 31

3.5 Alat dan Bahan ... 31

3.5.1 Alat ... 31

3.5.2 Bahan ... 32

3.6 Tahapan Penelitian ... 32

3.6.1 Proses Pembuatan Cookies Tepung Talas Belitung ... 32

3.6.2 Analisis Kandungan Gizi Cookies Tepung Talas Belitung ... 35


(10)

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteritk Tepung Talas Belitung ... 42

4.2 Karakteristik Cookies Tepung Talas Belitung ... 42

4.3 Analisa Kandungan Zat Gizi Cookies Tepung Talas Belitung ... 43

4.4 Pengukuran Nilai Indeks Cookies Tepung Talas Belitung ... 44

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kandungan Gizi pada Cookies Tepung Talas Belitung dengan 40% Tepung Talas Belitung ... 49

5.2 Indeks Glikemik ... 52

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.3 Kesimpulan ... 56

6.4 Saran ... 56 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Surat Izin Penelitian

2. Surat Izin Ethical Clearence

3. Hasil Analisis Cookies Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium) 4. Surat Keterangan Selesai Penelitian


(11)

Tabel 2.1 Nilai Indeks Glikemik Beberapa Pengolahan Pangan Sumber

Karbohidrat... 10

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Umbi Talas Belitung per 100 Gram Bahan ... 20

Tabel 2.3 Komposisi Kimia Tepung Talas Belitung per 100 Gram Bahan ... 24

Tabel 2.4 Syarat Mutu Cookies menurut SNI No. 01-2973-1992 ... 24

Tabel 2.5 Komposisi Gizi Cookies dengan Penambahan Berbagai Variasi Tepung Talas Belitung ... 25

Tabel 4.1 Kandungan Zat Gizi pada Cookies Tepung Talas Belitung ... 44

Tabel 4.2 Karakteristik Subyek ... 44

Tabel 4.3 Respon Glukosa Darah terhadap Roti Tawar ... 46


(12)

Gambar 2.1. Umbi Talas Belitung... 19

Gambar 2.2. Kerangka Konsep ... 27

Gambar 3.1. Diagram Pembuatan Tepung Talas Belitung ... 33

Gambar 3.2. Diagram Pembuatan Cookies Tepung Talas Blitung ... 35

Gambar 4.1. Tepung Talas Belitung ... 42

Gambar 4.2. Cookies Tepung Talas Belitung ... 43

Gambar 4.3. Kurva Respon Glukosa Darah terhadap Roti Tawar dan Cookies Tepung Talas Belitung ... 47


(13)

menggunakan konsep Indeks Glikemik (IG). IG adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Talas Belitung (Xanthosma sagittifolium) merupakan pangan sumber karbohidrat dengan indeks glikemik rendah (IG=50) dan sering dikonsumsi oleh penderita diabetes sebagai pangan pengganti nasi. Akan tetapi produk olahan talas belitung seperti Cookies tepung talas belitung belum diketahui nilai indeks glikemiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai indeks glikemik cookies tepung talas belitung.

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan subyek penelitian 6 orang sehat yang dipilih dengan metode purposif sampling. Obyek penelitian adalah cookies tepung talas belitung. Talas belitung yang digunakan berasal dari Kecamatan Hatonduhan. Pengukuran nilai indeks glikemik dilakukan berdasarkan metode standart (Miller, 1996) dengan pangan acuan berupa roti tawar. Porsi pangan uji dan pangan acuan yang digunakan mengandung 50 g karbohidrat. Kandungan karbohidrat pada cookies tepung talas belitung dihitung berdasarkan metode luff schroll. Indeks glikemik dihitung dengan cara membandingkan luas area dibawah kurva pangan uji dengan pangan acuan. Luas area dibawah kuva pangan uji/acuan dihitung dengan menarik garis horizontal dan vertikal sehingga membentuk luas bangun. Berdasarkan perhitungan tersebut, nilai indeks glikemik cookies tepung talas belitung dengan pangan acuan roti tawar yaitu 79,9%. IG cookies tepung talas belitung termasuk dalam katagori tinggi (>70).

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti nilai indeks glikemik cookies dengan penambahan bahan lain selain terigu sebagai campurannya. Sehingga tidak menaikkan nilai indeks glikemik secara drastis.


(14)

selection of setting the amount and type of carbohydrates that is appropriate to use the concept of the Glycemic Index (GI). GI is food levels according to their effect on blood glucose levels. Cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) is a source of carbohydrate foods with a low glycemic index (GI = 50) and is often consumed by diabetics as a food substitute for rice. However, products of cocoyam such as cocoyam cookies have unknown glycemic index value. This study aimed to determined the glycemic index value of cocoyam cookies.

This study was experimental study with 6 healthy subjects selected by purposive sampling method. Cocoyam used came from the district Hatonduhan. Measurement of glycemic index value performed by standard methods (Miller, 1996) with a food standard such as white bread. The portion of the test food and the standard food contained 50 g carbohydrate. The content of carbohydrates in cocoyam cookies was calculated by luff schroll method. GI was calculated by comparing the under kurve area of food test with food standard. Under kurve area of test food/ food standard was calculated by drawing horizontal and vertical lines thus forming wide awakes. Based on these calculations, the glycemic index value of cocoyam cocokies with white bread as a standard food is 79,9%. GI of cocoyam cookies included in high category (>70).

It is recommended to further research to examine the glycemic index value of cookies with the adition of other ingredient beside wheat flour as complementary ingredient. So it doesn’t raise blood glucose levels drastically.


(15)

1.1 Latar Belakang

Masalah gizi merupakan masalah global yang terjadi di sebagian besar belahan dunia termasuk Indonesia. Indonesia masih dihadapkan pada masalah gizi ganda yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Sampai saat ini permasalahan gizi kurang belum dapat diselesaikan namun permasalahan gizi lebih semakin meningkat. Tingginya prevalensi gizi kurang dapat menyebabkan turunnya imunitas tubuh dan meningkatnya penyakit infeksi. Sedangkan peningkatan prevalensi gizi lebih berdampak pada meningkatnya penyakit degeneratif.

Penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus (DM), obesitas, hipertensi, penyakit kardiovaskular, dll merupakan penyebab utama kematian di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Berdarkan laporan riskesdas (2013), prevalensi diabetes mellitus (DM) yang terdiagnosa dokter dengan gejala adalah 2,1% dari jumlah penduduk usia >15 tahun. Diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi Diabetes Mellitus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes care, 2004 dalam Depkes, 2009).

Salah satu cara dalam penatalaksanaan permasalahan gizi lebih maupun gizi kurang adalah dengan cara pengaturan makan atau diet yang dapat dilakukan melalui pemilihan jumlah dan jenis karbohidrat yang tepat dengan menggunakan konsep Indeks Glikemik. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), Konsep indeks glikemik (IG) menekankan pada pentingnya mengenal pangan (karbohidrat) berdasarkan


(16)

Memilih makanan dengan IG rendah secara tidak langsung berarti mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam. Oleh karena itu, pengaturan diet dan pemilihan makanan dengan konsep IG juga mendukung upaya penganekaragaman makanan.

Konsep IG berguna untuk membina kesehatan, mencegah obesitas, mengurangi resiko penyakit degeneratif dan memilih pangan untuk berolahraga. Pangan yang memiliki indeks glikemik rendah bermanfaat bagi orang yang sedang menurunkan berat badan dan bagi penyandang diabetes mellitus agar dapat mengontrol kadar glukosa darah sehingga tidak meningkat secara drastis. Pangan yang memiliki indeks glikemik tinggi bermanfaat untuk menunjang penampilan dan daya tahan atlet (Rimbawan & Siagian 2004).

Menurut Miller, dkk. (1991) dalam Rimbawan dan Siagiaan (2004), studi pemberian jangka-menengah pangan dengan IG rendah pada penderita diabetes menunjukkan bahwa pangan dengan IG rendah berhubungan dengan peningkatan pengendalian gula darah. Menurut Ludwig (2000), karbohidrat dengan indeks glikemik rendah dapat melindungi terhadap obesitas.

Umbi-umbian merupakan salah satu bahan pangan alternatif sumber karbohidrat yang berpotensi memiliki indeks glikemik rendah. Menurut Ratnawati, dkk. (2012) sebagian penderita DM dan kelebihan berat badan sering berusaha menghindari konsumsi nasi dan menggantinya dengan sumber karbohidrat lain seperti umbian. Menurut Nurcahya (2013), talas sebagai salah satu jenis umbi-umbian dapat digunakan sebagai pengganti nasi bagi penderita diabetes, karena talas mengandung serat dan protein yang cukup tinggi yang bisa menurunkan kadar glukosa darah.


(17)

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, talas belitung atau kimpul digunakan oleh sebagian orang sebagai salah satu sumber karbohidrat alternatif pengganti nasi bagi penderita diabetes. Biasanya kimpul diolah dengan cara direbus atau dikukus dan dijadikan sebagai alternatif pengganti nasi untuk sarapan pagi. Penggunaan talas belitung rebus/kukus sebagai alternatif pengganti nasi bagi penderita diabetes dianggap cukup efektif dalam mengendalikan kadar glukosa darah.

Beberapa penelitian yang difokuskan untuk meneliti indeks glikemik umbi-umbian, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Utami (2008) yang menyatakan bahwa umbi suweg kukus memiliki nilai indeks glikemik sebesar 36 sedikit lebih tinggi dari umbi garut kukus yang memiliki nilai IG sebesar 32. Menurut Lukitaningsih (2012), umbi walur memiliki nilai indeks glikemik sangat rendah yaitu 16,9 kemudian diikuti umbi porang dengan nilai indeks glikemik sebesar 20,6 dan umbi gayong sebesar 20,8 sedangkan nilai indeks glikemik umbi uwi dan suweg masing-masing yaitu sebesar 23,1 dan 68,8.

Berdasarkan data penelitian dari The University Of Sydney, nilai indeks glikemik talas (Colocasia esculenta) yaitu sebesar 54. Untuk coco yam (Xanthosoma.sp) yang dikupas, dipotong dadu, dan direbus selama 30 menit, nilai indeks glikemiknya yaitu sebesar 61. Sedangkan nilai indeks glikemik talas belitung (Xanthosoma sagittifolium) yaitu sebesar 63. Nilai indeks glikemik talas belitung (Xanthosoma sagittifolium) yang dikupas dan direbus selama 30 menit yaitu sebesar 50.


(18)

sumber pangan, pengolahan (misalnya penggilingan dan pemanasan), dan pemilihan pangan acuan (roti atau glukosa) (Rimbawan dan Siagian, 2004). Perbedaan nilai indeks glikemik pada satu bahan pangan juga dapat terjadi karena perbedaan metode pengujian yang dilakukan. Perbedaan dalam metode pengujian meliputi penggunaan berbagai jenis sampel darah (kapiler atau vena), periode waktu percobaan yang berbeda, dan bagian-bagian yang berbeda dari makanan (Foster-Powell, dkk., 2002).

Dari beberapa jenis umbi-umbian yang ada di Indonesia, talas belitung atau kimpul (Xanthosoma sagittufolium) adalah jenis umbi yang pemanfaatannya masih sangat terbatas. Pengolahan umbi talas belitung yang sangat sederhana seperti direbus, dikukus, dan digoreng mengakibatkan kurangnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi talas tersebut. Talas belitung atau kimpul (Xanthosoma sagittifolium) merupakan salah satu sumber pangan lokal alternatif sumber karbohidrat serta mengandung zat gizi lain seperti protein, lemak, dan serat. Menurut Slamet (1980) dalam Gardjito, dkk. (2013), kandungan energi pada 100 g talas belitung yaitu 145 kal, karbohidrat 34,2 g, protein 1,2 g, Lemak 0,4 g dan seratnya 1,5 g. Talas belitung juga mengandung vitamin C sebesar 2 mg dan kalsium 26 mg.

Pemanfaatan talas dengan basis teknologi yang telah ada yakni talas telah diproses dalam bentuk tepung talas. Menurut Indrasti (2004), untuk mengurangi kandungan oksalat pada talas belitung, dilakukan perendaman dalam larutan garam dapur 3% selama 5 menit. Selain perendaman dalam larutan garam dapur juga dilakukan perendaman dengan larutan natrium bisulfit 0,3% selama 15 menit untuk mempertahankan warna tepung dan mutu selama penyimpanan. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Indrasti (2004), peneliti melakukan proses pembuatan


(19)

tepung talas belitung sesuai dengan yang dilakukan oleh Revitriani (2013), dimana untuk mengurangi kandungan oksalat pada umbi talas belitung dilakukan perendaman pada larutan garam dapur 30% selama ± 30 menit.

Salah satu produk olahan tepung talas yaitu dalam bentuk cookies. Adapun pemilihan cookies sebagai bentuk makanan kesehatan adalah karena mempunyai masa simpan yang lama, mudah dibawa (praktis), dan juga umumnya disukai oleh berbagai kalangan masyarakat. Menurut Indrasti (2004), kandungan kimia pada cookies dengan penambahan 40% tepung talas belitung yaitu kadar karbohidrat 65,51%, kadar air berkisar 2,20%, kadar abu 3,26%, kadar lemak 24,14%, dan kadar protein 6,99%. semakin tinggi kandungan tepung talas belitung dalam cookies maka semakin rendah kandungan proteinnya.

Berdasarkan uji organoleptik cookies tepung talas belitung yang dilakukan oleh Indrasti (2004), cookies dengan kandungan 40% tepung talas belitung masih dapat diterima oleh panelis dari segi rasa dan warna. Aroma cookies dengan penambahan 60% tepun talas belitung tidak berbeda dengan cookies standar tanpa tepung talas belitung. Untuk parameter tekstur, penambahan 20% tepung talas belitung dianggap sama dengan cookies standar. Dengan demikian secara organoletik penambahan tepung talas dalam pembuatan cookies dapat dilakukan sampai 40%.

Pembuatan cookies dari campuran tepung terigu dan tepung talas belitung diharapkan dapat menambah keanekaragaman pangan dan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap bahan pangan impor seperti terigu sehingga dapat memperkuat ketahanan pangan nasional.


(20)

Penelitian mengenai nilai indeks glikemik pangan saat ini telah banyak dilakukan di berbagai negara termasuk Indonesia. Namun, kajian mengenai nilai indeks glikemik dari olahan pangan lokal alternatif sumber karbohidrat seperti umbi talas masih terbatas. Berdasarkan hal ini penulis tertarik untuk meneliti indeks glikemik cookies tepung talas belitung (Xanthosoma sagittifolium).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaiman nilai indeks glikemik cookies dengan penambahan 40% tepung talas belitung (xanthosoma sagittifolium).

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui nilai indeks glikemik produk olahan cookies dengan penambahan 40% tepung talas belitung (xanthosoma sagittifolium).

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui kandungan karbohidrat-amilosa, kadar abu, kadar air, kadar lemak, kadar serat kasar dan kadar protein cookies dengan penambahan 40% tepung talas belitung (xanthosoma sagittifolium).

1.4 Manfaat Penelitian

Memberikan informasi mengenai nilai indeks glikemik yang terdapat dalam produk olahan dari talas belitung (Xanthosoma sagittifolium). Sehingga dapat menambah referensi makanan dengan nilai indeks glikemik.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Indeks Glikemik

Pada tahun 1981, David Jenkins, seorang Profesor Gizi di Universitas Toronto, Kanada mengembangkan konsep indeks glikemik (IG). Konsep indeks glikemik dikembangkan untuk memberikan klasifikasi numerik dari makanan sumber karbohidrat yang diasumsikan bahwa data tersebut akan berguna dalam situasi dimana toleransi glukosa terganggu (Jenkins, dkk., 1981). Konsep indeks glikemik adalah perpanjangan dari hipotesis serat dari Burkitt dan Trowell yang menyatakan bahwa makanan yang mengandung serat akan lebih lambat diserap oleh usus, sehingga makanan tersebut memiliki manfaat metabolik dalam kaitannya dengan diabetes dan pengurangan resiko penyakit jantung koroner (Burkitt dan Trowell, 1977 dalam Jenkins, dkk., 2002).

Menurut FAO (1998), Indeks glikemik didefinisikan sebagai luas area di bawah kurva respon glukosa darah dari 50g karbohidrat dari makanan uji yang dinyatakan sebagai persen terhadap 50g karbohidrat dari makanan standar yang diambil dari subjek yang sama. Pada awalnya, pangan karbohidrat yang digunakan sebagai pangan standar untuk mengukur IG adalah glukosa murni dengan IG sebesar 100, tetapi saat ini pangan standar yang sering digunakan adalah roti putih (Jenkins, dkk. 2002). Menurut Cummings dan Stephen (2007) dalam Simila (2012), indeks glikemik adalah klasifikasi fisiologis makanan yang mengandung karbohidrat yang didasarkan pada sejauh mana makanan tersebut meningkatkan konsentrasi glukosa darah setelah


(22)

makan (postprandial) dibandingkan dengan karbohidrat acuan dengan jumlah yang setara.

Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat, memiliki indeks glikemik tinggi. Sebaliknya pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat, kandungan indeks glikemiknya rendah. Konsep indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang yang sehat, penderita obesitas, penderita diabetes dan atlet (Rimbawan dan Siagian, 2004). Menurut Ludwig (2000), Makanan dengan indeks glikemik rendah akan lebih lama menunda rasa lapar dibandingkan dengan makanan dengan indeks glikemik tinggi. Sehingga indeks glikemik dapat membantu orang yang sedang menjalani program penurunan berat badan dengan memilih makanan yang indeks glikemiknya rendah.

Indeks glikemik membantu penderita diabetes dalam menentukan jenis pangan karbohidrat yang dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Dengan mengetahui IG pangan, penderita diabetes dapat memilih makanan yang tidak menaikkan kadar glukosa darah secara drastis sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Indeks glikemik juga membantu atlet dalam memilih makanan untuk menunjang penampilan dan daya tahan tubuhnya. Makanan dengan indeks glikemik rendah akan dicerna dengan lambat dan akan menyimpan glikogen otot secara perlahan sehingga glukosa ekstra akan tersedia sampai akhir pertandingan. Dengan cara ini, pangan ber-IG rendah akan meningkatkan daya tahan olahragawan (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Secara tradisional karbohidrat telah dikategorikan berdasarkan struktur utama yang ada didalamnya menjadi karbohidrat sederhana yaitu karbohidrat yang


(23)

mengandung sebagian besar mono-atau disakarida dan karbohidrat kompleks yang mengandung polisakarida atau pati. Karena kategorisasi ini, telah terjadi salah asumsi dimana diasumsikan bahwa semua karbohidrat sederhana akan memiliki respon glukosa yang cepat dalam tubuh manusia dengan demikian tidak cocok untuk penderita diabetes dan orang dengan gangguan insulin, sementara karbohidrat kompleks yang diyakini memiliki respon glukosa yang lebih kecil dalam darah (Gibson, 2010).

Pada kenyataannya, banyak pangan berkarbohidrat (roti, kentang, dan beras) dicerna dan diserap sangat cepat sehingga dengan cepat meningkatkan kadar glukosa darah. Selain itu, pangan bergula tinggi (permen dan es krim) dalam jumlah sedang tidak meningkatkan kadar glukosa darah secara drastis. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama proses pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi, sebaliknya pangan yang indeks glikemiknya rendah, karbohidrat yang terkandung dalam pangan tersebut akan dipecah dengan lambat sehingga pelepasan glukosa ke dalam darah berjalan lambat (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Efek metabolisme berhubungan dengan tingkat penyerapan glukosa di usus kecil. Tingkat penurunan penyerapan glukosa setelah mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat yang ber-IG rendah akan mengurangi kenaikan postprandial hormon di usus (misalnya, incretins) dan insulin. Penyerapan karbohidrat secara berkepanjangan akan mempertahankan penekanan asam lemak bebas (FFA) dan respon counterregulatory, sehingga pada saat yang sama konsentrasi glukosa darah rendah, begitu sebaliknya (Jenkins, dkk., 2002).


(24)

Menurut Jenny Miller dalam Waspadji (2003), nilai indeks glikemik dikatagorikan menjadi tiga kelompok yaitu pangan IG rendah dengan rentang nilai IG <55, pangan IG sedang (intermediate) dengan rentang nilai IG 55-70, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG >70. Nilai indeks glikemik beberapa pengolahan pangan sumber karbohidrat dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Nilai Indeks Glikemik Beberapa Pengolahan Pangan Sumber Karbohidrat

Peneliti Jenis Produk Olahan Indeks

Glikemik

Tahun

Waspadji et al Singkong Rebus 94,46 2003

Ningrum Sponge Cake Sukun 57,9 2011

Hasan et al Oyek Singkong 40 2011

Utami Umbi Suweg Kukus 36 2008

Utami Umbi Garut Kukus 32 2008

Lukitaningsih Umbi gayong 20,8 2012

Lukitaningsih Umbi Porang 20,6 2012

Lukitaningsih Umbi Walur 16,9 2012

Universitas of Sidney Talas (Colocasia esculenta) 54 - Universitas of Sidney Talas Belitung (Santhosoma

sagittifolium) Rebus 50

-

Septiyani Tiwul Instan Tinggi Protein 94,7 2012

Rahkmawati et al Sukun Rebus 85 2011

Rahkmawati et al Cookies Sukun 80 2011

2.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan

Jenis pangan yang sama dapat memiliki IG yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan metode pengujian yang dilakukan dan juga karakter fisik dan kimia dari makanan. Dua makanan yang sama mungkin memiliki bahan yang berbeda atau mungkin telah diproses dengan metode yang berbeda, sehingga terdapat perbedaan yang signifikan dalam jumlah karbohidrat dan nilai IG-nya. Dua merek yang berbeda dari jenis yang sama dari makanan, seperti kue polos, mungkin rasanya terlihat hampir sama, tapi perbedaan jenis tepung yang digunakan, kadar air, dan


(25)

waktu memasak dapat mengakibatkan perbedaan derajat pati gelatinisasi dan akibatnya nilai IG-nya berbeda. Perbedaan dalam metode pengujian meliputi penggunaan berbagai jenis sampel darah (kapiler atau vena), periode waktu percobaan yang berbeda, dan bagian-bagian yang berbeda dari makanan (50 g dari total bukan dari karbohidrat yang tersedia) (Foster-Powell, dkk., 2002).

Berbagai faktor dapat menyebabkan perbedaan indeks glikemik pangan yang satu dengan pangan yang lain. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), beberapa faktor yang mempengaruhi IG pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya oemotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti-gizi pangan.

a. Proses Pengolahan

Dewasa ini teknik pengolahan pangan menjadikan pangan tersedia dalam bentuk, ukuran, dan rasa yang lebih enak. Menurut Waspadji et al. (2003), perbedaan cara memasak dan mengolah bahan makanan akan menyebabkan respon glukosa yang berbeda.Proses pengilingan menyebabkan struktur pangan menjadi lebih halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap. Penyerapan yang cepat mengakibatkan timbulnya rasa lapar. Pangan yang mudah dicerna dan diserap menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat. Peningkatan kadar glukosa darah yang cepat ini memaksa pankreas untuk mensekresikan insulin lebih banyak. Oleh Karena itu, kadar glukosa darah yang tinggi juga meningkatkan respon insulin (Osman, dkk., 2001 dalam Rimbawan dan Siagian, 2004).


(26)

Proses pemasakan atau pemanasan akan menyebabakan terjadinya proses gelatinisasi pada pati sehingga pati akan lebih mudah dicerna karena enzim pencernaan pada usus mendapatkan tempat bekerja yang lebih luas. Berdasarkan hal inilah, proses pemasakan atau pemanasan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan indeks glikemik pangan. Ukuran partikel juga mempangaruhi indeks glikemik. Semakin kecil ukuran partikel menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap di dalam tubuh dan mengakibatkan kadar gula darah naik dengan cepat (Rimbawan & Siagian 2004).

b. Kadar Amilosa dan Amilopektin

Terdapat dua bentuk pati di dalam pangan yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang yang terdiri atas 250-350 unit glukosa dengan ikatan alfa-1,4 glukosa (Meyer, 1976 dalam Gardjito, dkk., 2013).

Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan pengaruh insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Makanan yang tinggi kandungan amilopektin dan rendah amilosa pada zat tepungnya memiliki IG tinggi, karena molekul amilopektin lebih besar, mudah terbuka, mudah tergelatinisasi, dan mudah dicerna. Makanan dengan rasio perbandingan amilosa lebih tinggi dari amilopektin memiliki indeks glikemik rendah karena lebih sulit tergelatinisasi dan dicerna (Rusilanti 2008).


(27)

c. Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan

Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks glikmik pangan tersebut. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), pengaruh gula yang secara alami terdapat dalam pangan (laktosa, sukrosa, glukosa, dan fruktosa) dalam berbagai proporsi, terhadap respon glukosa darah sangat sulit diprediksi. Hal ini dikarenakan pengosongan lambung diperlambat oleh peningkatan konsentrasi gula, apapun strukturnya.

Sukrosa memiliki IG 65, hal ini dikarenakan disakarida terdiri dari satu glukosa dan satu molekul fruktosa. Fruktosa diserap dan masuk ke dalam hati. Di dalam hati, kebanyakan fruktosa diubah secara perlahan menjadi glukosa. Oeh karena itu, respon glukosa darah terhadap fruktosa murrni sangat kecil (IG=23). Artinya, dengan mengkonsumsi sukrosa, kita hanya mengkonsumsi setengah glukosa (Rusilanti, 2008).

d. Kadar Serat Pangan

Keberadaan serat pangan memberikan pengaruh pada kadar gula darah. Serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara nyata, sedangkan serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Hal ini memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga respon glukosa darah lebih rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Menurut Chandalia et al. (2000) dalam Julia (2006), peningkatan konsumsi serat pangan, terutama serat pangan larut dapat menurunkan kolesterol plasma, dan


(28)

dengan menurunkan atau menunda penyerapan karbohidrat. Lamanya proses penyerapan mengakibatkan respon glukosa darah menjadi rendah.

e. Kadar Lemak dan Protein Pangan

Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak tinggi mempunyai IG lebih rendah daripada pangan sejenis yang berlemak rendah. Walaupun demikian, kita tetap memerlukan makanan berkadar lemak rendah. Pangan berkadar lemak tinggi, apapun jenisnya dan ber-IG rendah atau tinggi harus dikonsumsi secara bijaksana (Rimbawan dan Siagian, 2004).

f. Kadar Anti-Gizi Pangan

Beberapa pangan secara alamiah mengandung zat yang dapat menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat yang berpotensi menyebabkan efek merugikan terhadap status gizi disebut zat anti-gizi. Beberapa zat anti-gizi tetap aktif walaupun sudah melalui proses pemasakan. Zat anti-gizi pada biji-bijian dapat menghambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya, IG pangan menurun (Rimbawan dan Siagian, 2004).

2.1.2 Pengukuran Indeks Glikemik Pangan

Beberapa pilihan metodelogi harus dilakukan dalam pengukuran IG, seperti metode pengambilan sampel darah, pemilihan dan pengulangan makanan acuan, verifikasi kandungan karbohidrat yang tersedia dari makanan, jumlah dan jenis subjek, dan perhitungan IAUC (Simila, 2012).


(29)

Menurut FAO (1998), pengambilan sampel darah yang direkomendasikan untuk mengukur IG adalah pengambilan sampel darah kapiler. Hal ini disebabkan darah pada pembuluh darah kapiler lebih mudah untuk didapatkan, selain itu kenaikan glukosa darah di plasma vena lebih besar dari darah kapiler.

Pangan acuan yang digunakan untuk mengukur indeks glikemik pangan adalah roti putih atau glukosa murni (FAO, 1998). Pemberian pangan acuan dan pangan uji dalam pengukuran IG dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan subjek yang sama untuk mengurangi efek keragaman respon glukosa darah dari hari ke hari. Untuk mendapatkan respon rata-rata yang representatif untuk pangan acuan, dianjurkan untuk melakukan pengukuran IG pangan acuan secara berulang untuk setiap subjek.

Dalam pengukuran indeks glikemik, porsi makanan yang diuji harus mengandung 50g karbohidrat (FAO, 1998). Untuk mendapatkan nilai yang setara dengan 50g karbohidrat dalam pangan acuan ataupun pangan uji perlu dilakukan pengujian karbohidrat untuk memverifikasi kandungan karbohidrat yang terdapat dalam pangan tersebut.

Perhitungan IAUC merupakan salah satu hal yang paling penting dalam pengukuran nilai indeks glikemik pangan. Sejumlah metode yang berbeda telah digunakan untuk menghitung daerah di bawah kurva. Untuk sebagian besar data indeks glikemik, area di bawah kurva telah dihitung sebagai daerah tambahan di bawah kurva respon glukosa darah (IAUC), dengan mengabaikan daerah di bawah konsentrasi puasa. Hal ini dapat dihitung secara geometris dengan menerapkan aturan trapesium (FAO, 1998). Menurut Rimbawan dan Siagiaan (2004), luas daerah


(30)

satu titik yang diberikan oleh puncak respon glukosa darah. Para ahli statistik menganjurkan penggunaan luas area dibawah kurva sebagai angka yang menggambarkan respon glukosa darah secara benar.

Menurut Monro dan Shaw (2008), pengukuran nilai indeks glikemik pangan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

IG = IAUC food IAUC glucose x

Wt Glucose

Wt Available Carbohydrate x 100%

Dimana � � � � ℎ = 50� 50� = 1 dengan

demikian,

IG = IAUC food

IAUCglucose x 100%

Keterangan:

IG : Indeks Glikemik

IAUC food : Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap pangan uji

IAUC glucose :Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap glukosa murni (pangan acuan)

Wt : Berat (gr)

Menurut Miller, dkk (1996) dalam Rimabawan dan Siagian (2004), prosedur penentuan indeks glikemik pangan adalah sebagai berikut:

a. Pangan tunggal yang akan dientukan indeks glikemiknya (mengandung 50 gram karbohidrat) diberikan kepada relawan yang telah menjaani puasa penuh (kecuali air) selama ± 10 jam (sekitar pukul 22.00 sampai pukul 08.00 pagi besoknya). b. Selama dua jam pasca-pemberian (atau tiga jam bila relawan menderita diabetes),

sampel darah sebanyak 50 µL – finger-prick capillary blood samples method – diambil setiap 15 menit pada jam pertama, kemudian 30 menit pada jam kedua


(31)

yaitu berturut-turut pada menit ke 0 (sebelum pemberian), 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 untuk diukur kadar glukosanya. Kadar glukosa dapat diukur dengan metode glucose oxidase peroxidase reagent.

c. Pada waktu yang berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan pangan acuan (50gr glukosa murni atau white bread) diberikan kepada relawan. Hal ini dilakukan sebanyak dua kali (dilakukan pada hari lain, minimal tiga hari setelah perlakuan pertama) untuk mengurangi efek keragaman respon gula darah dari hari ke hari.

d. Kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar pada dua sumbu waktu (x) dan kadar glukosa darah (y).

e. Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan. 2.2 Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium)

Talas belitung (Xanthosoma sagittifolium) berasal dari wilayah tropika Amerika Timur. Talas belitung bisa di jumpai hampir di seluruh kepulauan di Indonesia dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan, baik ditanam liar maupun dibudidayakan. Saat ini kimpul telah dibudidayakan di daerah-daerah di Indonesia diantaranya, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat dan Jawa Timur (Marinih, 2005 dalam Rafika dkk., 2012). Walaupun telah dibudidayakan secara teratur oleh para petani namun pembudidayaannya juga terbilang masih sangat sedikit. Pembudidayaan tanaman ini pada umumnya diusahakan petani di pekarangan sekitar rumah dan di kebun-kebun.


(32)

Talas belitung termasuk family Araceae, merupakan tumbuhan berbunga (Spermatophyta) yang buahnya berbiji tertutup (Angiospermae), berkeping satu (Monocotylae). Family Araceae lainnya adalah santé (Alacasia sp.) dan talas Bogor (Colocasia sp.). Menurut Animal Feed Resources Information System (2005) dalam Kartika (2006) taksonomi kimpul adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbunga) Sub divisio : Angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup) Kelas : Monocotylae (tumbuhan berbiji tunggal) Ordo : Arales

Familia : Araceae Genus : Xanthosoma

Spesies : Xanthosoma sagittifolium

Tujuan pokok bertanam talas belitung adalah untuk menghasilkan umbi sebagai sumber karbohidrat non-beras, disamping fungsi lainnya sebagai bahan sayuran. Di daerah pedesaan, talas belitung belum umum dibudidayakan seperti halnya singkong. Talas belitung dapat ditanam di lahan kosong di pedesaan dan sebagai tanaman sela palawija di kebun serta ditanam di sawah saat musim kemarau. Talas belitung atau impul (Xanthosoma sagittifolium) memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan talas (Colocasia esculenta), memiliki daun yang lebih runcing dan bagian tangkai daun berhubungan dengan helai daun pada titik di tepi daun dekat belahan tersebut. Bagian yang dimanfaatkan dari kimpul ini adalah umbi anakan yang tumbuh disekitar umbi induk (Kartika, 2006).

Talas belitung merupakan tanaman tahunan, tidak berkayu, terdiri dari akar, pelepah daun, daun, bunga, dan umbi. Tinggi tanaman dapat mencapai dua meter, tangkai daun tegak, tumbuh dari tunah yang berasal dari umbi yang merupakan


(33)

batang dari bawah tanah. Bentuk umbi talas belitung silinder sampai agak bulat, terdapat internode atau ruas dengan beberapa bakal tunas. Jumlah umbi anakan dapat mencapai 10 buah atau lebih. Panjang umbi sekitar 12-25 cm dan diameter 12-15 cm. Umbi yang dihasilkan biasanya mempunyai berat 300-1000 gram. Irisan melintang pada umbi memperlihatkan bahwa strukturnya terdiri dari kulit, korteks, pembuluh floem, dan xylem. Kulit umbi mempunyai ketebalan sekitar 0.1 cm. pada pembuluh floem dan xylem terdapat butir-butir pati (Muchtadi dan Sugiyono, 1989 dalam Indrasti, 2004).

Gambar 2.1 Umbi Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium)

Talas belitung dapat tumbuh baik di daerah tropika basah bersuhu optimum 21 dan 270C dengan curah hujan tahunan 1400 mm per tahun. Derajat keasaman yang paling baik untuk tanaman ini berkisar antara 5,5 – 6,5. Pemanenan talas belitung dilakukan setelah 0-12 bulan penanaman ketika daun telah kering dan bewarna kuning. Umbi yang telah dipanen dapat disimpan selama lebih dari 6 bulan jika disimpan di tempat yang kering, sejuk dan berventilasi baik (Octavianty, 2009).


(34)

Umbi talas belitung berpotensi sebagai sumber karbohidrat yang cukup tinggi. Kandungan karbohidrat umbi kimpul hampir sama dengan singkong, dan lebih baik dari kandungan karbohidrat ubi jalar, kentang, maupun talas. Nilai kalori untuk konversi ke dalam 100 gram nasi sama dengan 200 gram kimpul. Kecuali kandungan vitamin C-nya yang rendah. Selain itu, kimpul juga mengandung kalium, fospor dan zat besi. Komposisi kimia dari umbi talas belitung mentah, umbi rebus dan umbi kukus dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Umbi Talas Belitung per 100 g Bahan Komposisi Kimia Umbi Mentah Platt (1975) Umbi Mentah Slamet (1980) Umbi Rebus Slamet (1980) Umbi Kukus Anonim (1990)

Energi (kal) 133 145 145 145

Air (gr) 65 63.1 63 63.1

Karbohidrat (gr) 31 34.2 34.2 34.2

Serat kasar (gr) 01 1.5 1 1.0

Protein (gr) 2 1.2 1.2 1.2

Abu (gr) - 1 1.2 1.1

Lemak (gr) 0.3 0.4 0.4 0.4

Kalsium (mg) - 26 21 21

Phospor (mg) - 26 21 48

Fe (mg) 1 1.4 0.9 0.9

Vitamin C (mg) 10 2 1 1.0

BDD (%) 80 85 100 100

Sumber : Gardjito, dkk., 2013

Komposisi kimia umbi talas belitung bergantung pada varietas, iklim, kesuburan tanah, dan umur panen. Umbi talas belitung mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral. Umbi talas belitung seringkali menimbulkan rasa gatal, sensasi terbakar, dan iritasi pada kulit, mulut, tenggorokan, serta saluran cerna pada saat dikonsumsi. Talas mengandung asam oksalat yang mempengaruhi penyerapan kalsium dalam saluran pencernaan, yaitu dengan pembentukan kalisum yang tidak larut dalam air (Indrasti, 2004).


(35)

Kalsium oksalat yang terdapat dalam kimpul berbentuk kristal yang menyerupai jarum (Gardjito, 2013). Selain kalsium oksalat, talas juga mengandung asam oksalat yang diduga dapat mengganggu penyerapan kalsium. Asam oksalat bersifat larut dalam air, sementara kalsium oksalat tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam kuat. Oksalat tidak tersebar secara merata didalam umbi talas.

Menurut Koswara dalam modulnya mengenai teknologi pengolahan umbi-umbian, rasa gatal pada saat mengkonsumsi talas disebabkan oleh tusukan jarum-jarum kristal kalsium oksalat yang terbungkus dalam suatu kapsul transparan berisi cairan yang berbeda diantara sel-sel umbi tersebut. Kapsul-kapsul ini disebut raphides. Raphid-raphid ini tertancap pada dinding pemisah antara dua vakuola pada jaringan umbi dan ujung-ujungnya berada pada vakuola tersebut. Jika bagian umbi dikupas atau dipotong-potong, maka vakuola yang berisi air karena perbedaan tegangan pada kedua vakuola itu menyebabkan dinding kapsul pecah. Akibatnya kristal kalsium oksalat tersumbat ke permukaan dan menusuk ke bagian kulit. Tusukan-tusukan inilah yang menyebabkan timbulnya rasa gatal pada mulut, tenggorokan, atau kulit tangan.

Metode fisik yang paling umum dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa gatal yang terjadi akibat kandungan kalsium oksalat pada talas yaitu dengan pemanasan. Kalsium oksalat bersifat labil terhadap panas. Pemanasan dilakukan melalui perebusan dan pengukusan (Muchtiadi dan Sugiyono, 1989 dalam Indrasti, 2004).


(36)

getuk, keripik, perkedel, dan lain-lain. Di Negara-negara tropis Afrika, kimpul atau talas belitung diolah menjadi makanan yang disebut Fufu. Orang-orang malanesia yang suka memakan umbi talas belitung ternyata mempunyai gigi yang kuat. Umbi talas belitung mempunyai sifat basa sehingga dapat melindungi gigi (Lingga, 1989 diacu dalam Gardjito, 2013). Sedangkan nenurut Nurcahya (2013), talas bisa diolah atau dibuat panganan sebagai pengganti nasi bagi penderita diabetes, karena talas mengandung serat dan protein yang cukup tinggi yang bisa menurunkan kadar glukosa darah.

2.3 Tepung Talas Belitung

Salah satu produk talas belitung yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam industri pangan adalah tepung talas belitung. Tepung merupakan bentuk hasil pengolahan bahan yang dilakukan dengan memperkecil ukuran bahan dengan cara penggilingan. Tepung merupakan produk yang memiliki kadar air rendah sehingga daya awetnya tinggi. Proses penggilingan bahan disebabkan oleh bahan yang ditekan dengan gaya mekanis dari alat penggiling. Tepung mekanis pada proses penggilingan diikuti dengan permukaan bahan dan energi yang dikeluarkan sangat dipengaruhi oleh kekerasan bahan dan kecenderungan bahan untuk dihancurkan.

Tepung kimpul merupakan produk olahan dari umbi kimpul yang mengalami proses pengeringan, penghalusan, dan pengayakan. Tepung kimpul mengandung karbohidrat, protein, lemak yang baik. Menurut Prihatiningrum (2012) dalam Rafika, dkk. (2012), tepung kimpul mengandung senyawa saponin dan apabila mengalami pemanasan akan menyebabkan warna coklat, proses ini terjadi pada bahan pangan


(37)

yang mengandung karbohidrat di mana senyawa karsinogen yang terbentuk di dalam bahan pangan selama proses pemasakan pada suhu di atas 120˚C.

Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan tepung talas. Proses pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbi-umbian itu sendiri. Proses pembuatan tepung talas diawali dengan pengupasan dan pencucian umbi segar selama 5 menit. Kemudian dilakukan pengirisan yang ditujukan untuk memperbesar luas permukaan dari talas pada saat dikeringkan. Kemudian talas direndam dalam larutan garam dapur 30% selama 30 menit kemudian cuci kembali. Tujuannya untuk mengurangi kadar kalsium oksalat pada talas yang dapat menyebabkan rasa gatal pada saat mengonsumsinya (Revitriani, dkk., 2013).

Pengeringan talas dapat dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya pengeringan dengan penjemuran di bawah sinar matahari, pengeringan menggunakan oven, spay drier, drum drier, dan lain-lain. Metode pengeringan yang dipakai mempengaruhi mutu tepung yang dihasilkan (Indrasti, 2004). Pengeringan kimpul dengan alat pengering dapat dilakukan selama 8 jam dengan suhu 40ºC sampai mudah dipatahkan/dihancurkan.

Secara umum, pengeringan dengan menggunakan alat pengering lebih baik daripada menggunakan sinar matahari. Kelebihannya antara lain suhu pengeringan dan laju alir udara panas yang dapat dikontrol, kebersihan yang lebih terjaga, dan pemanasan terjadi secara merata. Setelah umbi talas belitung kering, kemudian dilakukan penggilingan untuk mendapatkan ukuran yang lebih kecil, kemudaian


(38)

Sifat kimia tepung talas belitung sangat dipengaruhi oleh umbi talas belitung segar dan kondisi selama proses pembuatan tepung. Komposisi kimia tepung talas belitung dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.3 Komposisi Kimia Tepung Talas Belitung dalam 100 gram Bahan

Koposisi Kimia Jumlah

%bb %bk

Air 9,2 10,16

Abu 1,94 2,13

Protein 4,43 4,88

Lemak 0,84 0,92

Karbohidrat 83,57 92,06

Energi (kkal) 359,56 -

Sumber : Indrasty (2004) 2.4 Cookies Tepung Talas Belitung

Menurut SNI 01-2973-1992, cookies merupakan salah satu jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, renyah, dan apabila dipatahkan penampang bertekstur kurang padat (BSN, 1992). Syarat mutu Cookies tercantum pada tabel berikut ini.

Tabel 2.4 Syarat Mutu Cookies menurut SNI No. 01-2973-1992

Kriteria Uji Klasifikasi

Kalori (Kak/100 gram) Minimum 400

Air (%) Maksimum 5

Protein (%) Minimum 9

Lemak (%) Minimum 9,5

Karbohidrat (%) Minimum 70

Abu (%) Maksimum 1,5

Serat kasar (%) Maksimum 0,5

Logam berbahaya Negative

Bau dan rasa Normal tidak tengik

Warna Normal


(39)

Cookies talas belitung adalah cookies yang dibuat dengan memanfatkan tepung talas belitung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Indrasti (2004), kandungan gizi cookies tepung talas belitung dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.5 Komposisi Gizi Cookies dengan Penambahan Berbagai Variasi Tepung Talas Belitung

Komposisi Gizi Jumlah Cookies Penambahan Tepung Talas Belitung 20% Cookies Penambahan Tepung Talas Belitung 40% Cookies Penambahan Tepung Talas Belitung 60% Cookies Penambahan Tepung Talas Belitung 80%

Air 2,07 2,20 2,99 3,09

Abu 2,87 3,26 3,25 3,39

Protein 7,42 6,99 5,98 5,22

Lemak 23,42 24,14 24,99 23,84

Karbohidrat 66,41 65,51 65,81 67,46

Energi 495,03 496,88 497,02 490,66

Sumber : Indrasti (2004)

Secara umum, bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut tekstur. Bahan pengikat atau pembentuk adonan yang kompak adalah tepung, susu, putih telur dan air. Sedangkan bahan pelembut terdiri dari gula, kuning telur, shortening dan bahan pengembang. Dalam adonan tepung berfungsi membentuk tekstur, mengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya secara merata, serta berperan membentuk cita rasa (Matz, 1978 dalam Saputra, 2008).

Bermacam macam tepung dapat digunakan dalam pembuatan cookies ini. Tepung terigu lunak (8-10% protein) sangat tepat untuk menghasilkan kue kering yang bermutu tinggi. Tepung ini relatif lebih mudah terdispersi dan tidak mempunyai daya serap air yang terlalu tinggi, sehingga dalam pembuatan adonan membutuhkan lebih sedikit cairan (Shafer dan Zabik, 1978 dalam Saputra, 2008).


(40)

Penggunaan tepung terigu dalam pembuatan cookies dapat dicampur dengan tepung lain. Dalam hal ini, tepung yang digunakan yaitu tepung terigu 60%, tepung talas belitung 40%. Cookies dengan kandungan 40% tepung talas belitung tidak berbeda nyata dengan cookies yang beredaran dipasaran, yang berarti masih dapat diterima dengan baik oleh konsumen (indrasti, 2004).

Lemak biasa digunakan untuk memberi efek shortening dengan memperbaiki struktur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan, serta memberi flavor (Matz, 1978 dalam saputra 2008). Telur dalam pembuatan cookies berfungsi sebagai pelembut dan pengikat, serta untuk aerasi, yaitu kemampuan menangkap udara pada saat adonan dikocok sehingga udara menyabar rata pada adonan (Indrasti,2004).

Untuk membangkitkan rasa lezat dan efek manis bahan-bahan lain yang digunakan untuk membuat biskuit yaitu gula dan garam. bila terlalu banyak gula adonan menjadi lengket dan menempel pada cetakan, biskuit menjadi keras dan akan terlalu manis. Sedangkan penambahan garam pada sebagian besar formula biskuit menggunakan satu persen garam atau kurang dalam bentuk Kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah kelarutannya (Matz, 1978 dalam Saputra, 2008).

Pembuatan biskuit, membutuhkan air dan baking powder. Baking powder digunakan sebagai pengembang adonan sedangkan air berfungsi memungkinkan terjadinya gluten, mengontrol kepadatan adonan, mengontrol suhu adonan, melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan bukan tepung, membasahi dan mengembangkan pati, dan dapat mempertahankan rasa lezat kue lebih lama (Matz, 1978 dalam Saputra 2008).


(41)

Menurut Whiteley (1971) dalam saputra (2008), ada dua metode dasar pencampuran adonan cookies, yaitu metode krim (creaming method) dan metode all-in. Pada metode krim semua bahan tidak dicampur secara langsung, melainkan dicampur terlebih dahulu, berturut-turut lemak dan gula, kemudian ditambah pewarna dan essens, kemudian ditambahkan susu, diikuti penambahan bahan kimia aerasi berikut garam yang sebelumnya telah dilarutkan dalam air. Sedangkan metode pembuatan cookies dengan metode all-in yaitu semua bahan dicampur secara langsung bersama tepung. Pencampuran ini dilakukan sampai adonan cukup mengembang. Pemanggangan cookies dapat dilakukan pada suhu 220°C selama 12-15 menit (Sultan, 1983 dalam Saputra, 2008).

2.5 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka konsep diatas, tepung talas belitung akan diolah menjadi cookies dengan penambahan 40% tepung talas belitung (xantosoma sagittifolium). Cookies tepung talas belitung yang akan diukur IG-nya terlebih dahulu dianalisis profil gizinya yaitu kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat kasar dan kandungan

Tepung talas belitung (Xanthosoma sagittifolium)

Cookies dengan penambahan 40% tepung talas belitung (Xanthosoma sagittifolium)

- Kandungan Gizi (Air, Abu, Lemak, Protein, Serat kasar dan Karbohidrat- amilosa) - Nilai Indeks Glikemik


(42)

relawan yang bersedia menjadi subyek penelitian diberikan cookies talas belitung yang mengandung 50 gram karbohidrat kemudian diukur nilai indeks glikemiknya dengan melihat rata-rata kenaikan kadar glukosa darah pada menit ke 0 (sebelum diberi pangan uji), 15, 30, 45, 60, 90, 120 yang dibandingkan dengan pangan acuan.


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Eksperimen. Sebelum dilakukan pengukuran nilai indeks glikemik, terlebih dahulu dilakukan analisis kandungan zat gizi dari pangan uji yaitu cookies tepung talas belitung (Xanthosoma sagittifolium) berupa analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat dan kadar serat kasar serta kadar amilosa. Kemudian, pengukuran nilai indeks glikemik dilakukan dengan cara mengambil sampel darah relawan untuk dilihat kenaikan kadar glukosa darahnya setelah diberikan pangan acuan (roti putih) dan pangan uji berupa cookies tepung talas belitung (Xanthosoma sagittifolium). Penelitian ini dimulai setelah memperoleh izin dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (Ethical clearance).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Pembuatan tepung dan cookies tepung talas belitung dilakukan di rumah peneliti, jalan bunga cempaka gang cempaka XV no 72 Medan. Pengujian zat gizi dilakukan di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan. Pemberian pangan uji dan pangan acuan serta pengambilan darah relawan untuk dilihat kadar glukosa darahnya dilakukan di Laboratorium Gizi FKM USU. Penelitian ini di lakukan dari bulan September 2013 - Juli 2014.


(44)

3.3 Subyek dan Obyek Penelitian 3.3.1 Subyek Penelitian

Pemilihan subyek pada penelitian ini dengan metode purposive sampling. Penarikan subyek dengan metode purposive dilakukan dengan alasan kemudahan dalam penelitian. Subyek dalam penelitin ini yaitu enam orang mahasiswa yang terdiri dari tiga perempuan dan tiga laki-laki.

Subyek penelitian ini harus memenuhi beberapa kriteria antara lain: subyek berusia 18-30 tahun, dalam keadaan sehat, memiliki indeks masa tubuh normal antara 18,5-24,9 kg/m2, tidak memliki riwayat DM, tidak sedang mengalami gangguan pencernaan, tidak sedang menjalani pengobatan, tidak menggunakan obat-obatan terlarang dan tidak meminum minuman beralkohol serta bersedia menjadi relawan.

Subyek dalam penelitian ini mendapatkan penjelasan rinci mengenai penelitian, yaitu subyek diharuskan puasa ± 10 jam (kecuali air), sampel darah finger-prick capillary blood diambil pada menit ke 0 (saat subyek masih puasa dan sebelum diberikan pangan uji/acuan), kemudian subyek mengkonsumsi pangan uji/acuan dan sampel darah subyek diambil kembali pada menit ke-15, 30, 45, 60, 90, 120 setelah pemberian pangan uji/acuan. Selama penelitian, subyek mendapatkan pergantian biaya transport serta berhak untuk mengundurkan diri dari penelitian. Selain itu, subyek juga diminta untuk menandatangi formulir informed consent sebagai bukti bersedia menjadi relawan.

3.3.2 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah cookies dengan pemanfaatan tepung talas belitung


(45)

Indrasti (2004). Talas belitung yang digunakan merupakan talas belitung yang tumbuh di daerah perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun. Talas yang digunakan adalah talas yang masih segar.

3.4 Defenisi Operasional

1. Indeks glikemik adalah persentase yang menunjukkan luas area dibawah kurva respons glukosa darah setelah 2 jam terhadap pangan uji cookies tepung talas belitung (Xanthosoma sagittifolium), dibandingkan dengan luas area dibawah kurva respons glukosa darah setelah 2 jam terhadap pangan acuan (roti tawar). 2. Tepung talas belitung adalah umbi talas belitung yang telah dikupas, dipotong

tipis-tipis, dikeringkan, digiling kemudian diayak hingga menjadi tepung. 3. Cookies adalah makanan ringan yang renyah terbuat dari 60% tepung terigu dan

40% tepung talas belting serta ditambah beberapa bahan tambahan. 3.5 Alat dan Bahan

3.5.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Peralatan membuat cookies seperti oven kue, timbangan, pisau, baskom/wadah, Loyang, kompor, blender, mixer, sendok, ayakan tepung, cetakan kue, talam. 2. Peralatan analisis proksimat seperti oven, desikator, alat destilasi, timbangan analit,

tanur listrik, labu erlenmeyer, alat ekstraksi soxhlet, cawan porselin, Labu Kjedahl, dan pipet tetes.

3. Peralatan mengukur glukosa darah berupa glukometer One Touch Ultra TM, strip analisis glukosa, lancet, kapas, alkohol 70%.


(46)

3.5.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1.Roti tawar/roti putih

Roti tawar yang digunakan sebagai pangan acuan, mengandung 50 g karbohidrat. Alasan menggunakan roti tawar sebagai pangan acuan didasari atas kelaziman mengkonsumsi roti tawar dibandingkan dengan glukosa murni. Selain itu juga karena roti tawar lebih mencerminkan mekanisme fisiologis dan metabolik dari daripada glukosa murni (Miller et al., 1997 dalam Siagian, dkk., 2005).

2.Cookies tepung talas belitung

Cookies tepung talas belitung merupakan pangan uji dalam penelitian ini. Komposisi cookies tepung talas belitung: gula, telur, garam, tepung komposit (60% untuk terigu dan 40% untuk tepung talas), susu bubuk, margarin, dan baking powder.

3. Reagen sebagai pereaksi dalam analisis proksimat. 4. Sampel darah

3.6. Tahap Penelitian

3.6.1 Proses Pembuatan Cookies Tepung Talas Belitung a. Proses Pembuatan Tepung Talas Belitung

Pembuatan tepung talas belitung dilakukan berdasarkan metode yang dilakukan Revitriani (2013). Tahapan-tahapan pembuatannya meliputi pengupasan dan pengirisan umbi, perendaman dalam larutan garam 30% selama 30 menit untuk mengurangi kandungan oksalat dalam umbi talas belitung, pengeringan, serta


(47)

penepungan. Prosedur pembuatan tepung talas belitung secara lengkap dapat dilihat pada diagram berikut ini:

Gambar 3.1 Proses Pembuatan Tepung Talas Belitung (Revitriani, 2013) b. Prosedur Pembuatan Cookies Tepung Talas Belitung

Pembuatan cookies tepung talas belitung memanfaatkan tepung talas belitung sebanyak 40%. Pembuatan cookies dalam penelitian ini menggunakn metode krim (creaming method). Dalam metode ini gula, margarin, garam, susu bubuk dan kuning

Dikeringkan dengan oven sampai mudah dipatahkan Umbi talas belitung

segar

Dikupas kulit dan Dicuci dengan air selama 5 menit

Irisan talas belitung kupas

Irisan talas belitung kering (chips)

Digiling dengan menggunakan blender

Tepung talas belitung kasar

Pengayakan

Tepung talas belitung halus Diiris tipis-tipis

Direndam dalam larutan garam 30% selama 30 menit Dicuci dengan air dan Ditiriskan


(48)

telur dicampur dengan mixer hingga terbentuk krim (kurang lebih 5 menit). Kemudian tepung (60% tepung terigu dan 40% tepung talas belitung) yang telah ditambah baking powder dicampur perlahan dengan krim sehingga membentuk adonan.

Adonan ditipiskan dengan roller kemudian dicetak sesuai selera. Pemanggangan dilakukan dengan oven dengan suhu 1800C selama kurang lebih 15-30 menit. Pendinginan dilakukan dengan cara membiarkan cookies yang telah dikeluarkan dari oven dalam suhu kamar.

Diagram alir pembuatan cookies tepung talas belitung dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3.2 Proses Pembuatan Cookies Tepung Talas Belitung (Indrasti, 2004) Margarin, Kuning telur, gula, garam dan susu bubuk

Dicampur (mixer)

Dicampur (diaduk)

Adonan

Ditipiskan

Dicetak

Dipanggang dengan oven sampai matang (kurang lebih 15-30 menit)

Didinginkan

Cookies talas belitung 60% Tepung terigu, 40% tepung talas


(49)

3.6.2 Analisis Kandungan Gizi Cookies Tepung Talas Belitung

Analisis zat gizi yang dilakukan berupa analisa kadar air, abu, protein dan lemak serta analisa kadar karbohidrat. Analisa proksimat ini dilakukan untuk mengetahui berat cookies tepung talas belitung yang harus disajikan setara dengan kandungan 50 gram karbohidrat.

a. Uji Protein, Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995)

Sejumlah kecil sampel (1-2 gram) ditimbang dan dimasukkan dalam labu kjeldahl. Kemudian ditambahkan 1,9 gram K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4.

Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi tabung dipindahkan ke alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke labu distilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3.

Di bawah kondensator diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3

dan 2 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metal 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3. Isi erlenmeyer diencerkan

sampai kira-kira 50 ml, kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna. Penetapan untuk blanko juga dilakukan dengan cara yang sama. Perhitungan kadar protein dilakukan dengan menggunakan rumus :

Kadar N (%) = ��� − ��� � .


(50)

b. Uji Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-1100C, didinginkan, dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet), yang telah berisi pelarut (dietil eter atau heksana). Refluks dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 1000C hingga

beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Perhitungan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan rumus :

Kadar Lemak (%bb) = ( )

( ) %

c. Uji Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995)

Sejumlah sampel (kurang lebih 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 1000C hingga diperoleh berat yang konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus :

Kadar Air (%bb) = − %

d. Uji Kadar Abu, Metode Oven (AOAC, 1995)

Cawan porselin dikeringkan dalam oven bersuhu 105-1100C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-6000C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu


(51)

berwarna putih. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Perhitungan kadar abu menggunakan rumus :

Kadar abu (%bb) = � �

� �� � � %

e. Uji Karbohidrat (AOAC, 1995)

Uji karbohidrat dilakukan dengan dua metode yaitu metode by difference dan metode Luff Schroll. Uji karbohidrat dengan metode by difference dihitung dengan membandingkan antara jumlah kandungan air, protein, lemak dan abu dengan 100.

Kadar Karbohidrat (%) = %−( + + + )

Metode pengukuran karbohidrat dengan metode luff Schrooll yaitu timbang sampel sebanyak 3 gram dalam Erlenmeyer. Kemudian tambahkan HCl 3% sebanyak 200 ml. hubungkan dengan kondensator selama 3 jam. Netralkan dengan NaOH 4 N. kemudia tambahkan 1 ml asam asetat, encerkan dalam labu ukur 250 ml, saring. Lalu pipet 10 ml kedalam erlenmeyer. Tambahkan 25 ml larutan luff dan 15 ml air didihkan selama tepat 10 menit. Setelah itu tambahkan 10 ml larutan KI 30% dan 25 ml larutan H2SO4 4 N. Gunakan larutan kanji sebagai indicator. Untuk larutan blanko

gunakan 25 ml larutan luff dan 10 ml air destilasi. Perhitungan:

1. Untuk mengetahui ml larutan tio menjadi 0,1 N = {(b-a) x Ntio)/0,1}= z ml 2. z ml larutan tio 0,1 N = y mg glukosa

3. kadar pati = {(y x pengenceran x 0,95)/ bobot sampel}x 100%

Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran kadar amilosa menggunakan metode Spektrometri dimana prosedur pengerjaannya yaitu 25 g sampel yang sudah


(52)

diketahui kadar airnya kemudian dikeringkan dengan oven. Ukur kembali kadar airnya dan haluskan sampel, kemudian diayak dengan ayakan 80 mesh. Timbang 0,1g bahan dan masukkan dalam tabung reaksi. Tambahkan 1 ml larutan etanol 95% dan 9 ml larutan NaOH 1N. kemudian panaskan dalam air mendidih selama 10 menit. Pindahkan 5ml bahan dalam labu ukur 100ml. tambahkan 1 ml CH3COOH 1 N dan 2

ml larutan iod. Encerkan sampai tanda tera, diamkan selama 20 menit. Ukur pada �615 nm.

%Amilosa = {(x. faktor pengenceran)/(berat sampel (mg)} x 100% f. Uji Serat Kasar (Metode Gravimetri)

Timbang 2 gram sampel kemudian masukkan dalam erlenmeyer 500 ml, tambahkan 50 ml H2SO4 1,25% panaskan dan reflux selama30 menit. Sampel yang

telah dipanaskan disaring panas-panas dengan menggunakan kertas saring Whatman 42 yang telah diketahui bobotnya. Setelah disaring, lalu sampel dicuci dengan 50 ml H2SO4 125% dan 50 ml alkohol 36%, kemudian endapkan dikeringkan dalam oven

pada suhu 1050C dan timbang sampai bobot konstan.

%Serat kasar = {(a-b)/} x 100% Keterangan:

a = berat kertas saring ditambah sampel yang telah dikeringkan (g) b = berat kertas saring (g)

c = berat sampel (g)

3.6.3 Pengukuran Indeks Glikemik Cookies Tepung Talas Belitung

Pengukuran nilai indeks glikemik dilakukan dengan membandingkan luas area dibawah kurva respon glukosa darah terhadap pangan uji dibandingkan dengan luas area dibawah kurva respon glukosa darah terhadap pangan acuan. Pengukuran


(53)

glukosa darah dilakukan dengan menggunakan alat Glukometer One Touch Ultra TM. Sampel darah diperoleh pada permukaan kulit setelah sedikit perlukaan kecil dengan menggunakan lancet (alat penusuk) khusus, kemudian darah pada pembuluh kapiler subyek disentuhkan pada celah sensor di ujung strip uji yang telah terpasang pada detektor digital (glukometer) sedemikian sehingga kadar glukosa darah sampel terbaca.

Metode pemeriksaan glukosa oleh glukometer yaitu chronoampherometric (electrochemical method) dimana apabila darah dimasukkan pada celah sensor diujung strip uji yang telah terpasang pada detector digital, kadar glukosa darah dapat terbaca. Hal ini terjadi karena celah sensor pada strip uji glukosa berisi reagent berupa enzim glucose oksidase dan kalium ferrisianida. Prinsip keja sensor strip uji pada glukometer yaitu glukosa yang terdapat dalam darah akan diubah menjadi glukonolakton oleh enzim glucose oksidase. Enzim tersebut akan direoksidasi oleh ion ferrisianida menghasilkan ion ferrosianida. Ferrosianida yang dihasilkan akan terdeteksi secara elektrokimia. Uatan listrik yang terbentuk sebanding dengan konsentrasi glukosa dalam sampel (Barkit et al., 2003 dalam Hasan, 2011).

Prosedur pengukuran indeks glikemik mengacu pada Miller, dkk., 1996 dalam Rimbawan dan Siagian 2004 :

a. Malam sebelum penelitian, 6 orang subyek berpuasa selama ± 10 jam (kecuali air putih) mulai pukul 22.0-08.00 WIB dan pagi harinya sebelum jam 08.00 WIB subjek yang bertindak sebagai relawan harus berada di tempat penelitian.


(54)

c. Subyek diberi pangan acuan yaitu roti tawar yang mengandung 50 gr karbohidrat. d. Sampel darah subyek diambil setiap 15 menit pada 1 jam pertama dan 30 menit

pada jam ke-2. (menit ke 15, 30, 45, 60, 90, dan ke 120) dan diukur kadar glukosa darahnya menggunakan glukometer. Selama penelitian, subyek diminta untuk tidak melakukan aktifitas berat dan tidak merokok.

e. Satu minggu kemudian dilakukan pengujian pangan uji berupa cookies tepung talas belitung dengan prosedur yang sama.

f. Data kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) diplot pada dua sumbu, waktu dalam menit (x) dan kadar glukosa darah (y).

g. Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan.

3.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1 Metode Pengolahan Data

Data hasil analisis zat gizi yang mencakup kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat diolah meggunakan Microsoft Excell. Hasil respon glukosa darah subyek pada setiap waktu pegambilan dirata-ratakan kemudian ditebarkan dalam sumbu x (waktu) dan sumbu y (kadar glukosa darah) menggunakan kertas grafik. Dengan demikian akan diperoleh sebuah kurva yang menunjukkan respon glukosa darah terhadap pangan yang diberikan untuk masing-masing subyek.. Indeks glikemik ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

Indeks Glikemik =

Luas daerah di bawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap pangan uji yaitu cookies tepung talas belitung

Luas daerah di bawah kurva respons glukosa darah tubuh


(55)

Luas area dibawah kurva dapat dihitung dengan beberapa cara seperti : integral dari persamaan polinom dan menghitung luas bangun. Perhitungan luas daerah dibawah kurva dapat disesuaikan dengan data respon glukosa darah subyek. Apabila kurva respon glukosa darah subyek cenderung naik turun, dikhawatirkan bila menggunakan luas berdasarkan integral polinom maka persamaan polinom yang dihasikan kurva tidak signifikan. Sehingga, perhitungan luas daerah dibawah kurva sebaiknya dihitung secara manual dnegan cara menarik garis horizontal dan membuat garis vertikal berdasarkan waktu pengambilan darah sehingga kurva membentuk luas bangun. Luas area dibawah kurva diperoleh dengan cara menjumlahkan masing-masing luas bangun.

3.7.2 Metode Analisis Data

Data yang dikumpulkan, disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif.


(56)

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Tepung Talas Belitung yang Dihasilkan

Tepung talas belitung yang dihasilkan masih kasar, untuk mendapatkan tepung yang lebih halus dilakukan penyaringan atau pengayakan menggunakan ayakan tepung. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti, dalam 1,5 kg umbi talas belitung menghasilkan umbi kupas sebesar 1. Dalam 1 kg umbi kupas menghasilkan 350 gram umbi talas belitung kering dan menghasilkan 225 gram tepung talas belitung. Tepung talas belitung yang dihasilkan bewarna putih dengan aroma yang khas.

Gambar 4.1 Tepung Talas Belitung 4.2 Karakteristik Cookies Tepung Talas Belitung

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu telah banyak dibuktikan penggunaan tepung non-terigu sebagai bahan substitusi dalam pembuatan cookies dapat dilakukan dengan berbagai tingkat konsentrasi dan dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Dalam penelitian ini menggunakan bahan tepung talas belitung yang


(57)

diperoleh dari umbi talas belitung (Xanthosoma sagittifolium) dengan kandungan sebesar 40% dan tepung terigu sebesar 60%.

Gambar 4.2 Cookies Tepung Talas Belitung

Cookies tepung talas belitung dalam penelitian ini terbuat dari adonan lunak, relatif renyah dan bila dipatahkan penampangnya memiliki tekstur berongga. Cookies tepung talas belitung yang dihasilkan dalam penelitian ini bewarna kecoklatan. Aroma cookies yang dihasilkan keluar saat pemanggangan, tercium aroma harum dari kuning telur dan margarin. Cookies tepung talas belitung yang dihasilkan dalam peneilitan ini bertekstur renyah.

4.3 Analisa Kandungan Zat Gizi pada Cookies Tepung Talas Belitung

Hasil analisis kandungan karbohidrat, protein, lemak, abu dan air pada cookies tepung talas belitung dengan 40% tepung talas belitung dan 60% tepung terigu yang dianalisis di Badan Riser dan Standarisasi Industri Medan dapat dilihat pada tabel berikut ini.


(58)

Tabel 4.1 Kandungan Karbohidrat, Protein, Lemak, Abu, Air dan Serat pada Cookies Tepung Talas Belitung

No Komposisi Zat Gizi per 100 gram Jumlah

1 Air 4,36% b/b

2 Abu 1,97% b/b

3 Protein 8,58% b/b

4 Lemak 28,30% b/b

5 Karbohidrat 56,79% b/b

6 Serat Kasar 1,15% b/b

4.4 Pengukuran Indeks Glikemik Cookies Tepung Talas Belitung

Penelitian ini telah memperoleh izin dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan USU pada tanggal 24 Juni 2014 dengan nomor 167/VI/SP/2014. Penentuan indeks glikemik dilakukan menggunakan subjek manusia. Hal ini dikarenakan metabolisme tubuh manusia sangat rumit sehingga sulit ditiru secara in vitro (Ragnhild et al. 2004).

Subyek dalam penelitian ini yaitu enam orang yang terdiri dari tiga orang laki-laki dan tiga orang perempuan dengan status kesehatan normal (sehat). Sehat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah subjek memiliki status gizi baik (IMT normal 18,5 22,9 kg/m2). Karakteristik subjek dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.2 Karakteristik Subyek Responden Sex

(L/P) Umur (Tahun) Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm) IMT (kg/m2)

1 P 21 47 156 19,3

2 P 22 53 168 18,8

3 P 22 46 152 19,9

4 L 23 56 173 18,7

5 L 22 60 173 20

6 L 23 65 170 22,5


(59)

Berdasarkan data karakteristik subyek diatas, umur rata-rata subjek adalah 22 tahun. Berat badan rata-rata subjek 54,5 kg dengan tinggi badan 165,3 cm. Semua subyek memiliki status gizi baik dengan rata-rata indeks massa tubuh (IMT) 19,8 kg/m2.

Pada Penelitian ini, pangan yang akan dinilai indeks glikemiknya adalah cookies tepung talas belitung dengan penambahan tepung talas sebesar 40% dengan pangan acuan atau pangan standart roti tawar. Bahan pangan yang diberikan kepada subyek harus mengandung 50 gram karbohidrat (Miller, dkk., 1996 dalam Rimbawan dan Siagian, 2004). Jumlah porsi roti tawar dan cookies tepung talas belitung yang diberikan kepada subyek yang setara dengan 50 gr karbohidrat dihitung dengan cara sebagai berikut.

ℎ = 50 � 100

ℎ 100 � ℎ

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, jumlah porsi roti tawar dan cookies tepung talas belitung yang mengandung 50 gram karbohidrat masing-masing 102,77 g untuk roti tawar dan 95,22 g untuk cookies tepung talas belitung.

Berdasarkan hasil pengukuran glukosa darah yang dilakukan dengan menggunakan alat glukometer One Touch Glucose Blood System diperoleh respon glukosa darah responden terhadap pemberian pangan acuan (roti tawar). Respon glukosa darah responden terhadap pemberian roti tawar dapat dilihat pada tabel berikut ini.


(60)

Tabel 4.3 Respon Glukosa Darah Terhadap Roti Tawar Responden Respon Glukosa Darah Terhadap Pangan Acuan (Roti

Tawar)

0’ 15’ 30’ 45’ 60’ 90’ 120’

1 99 125 149 125 135 113 127

2 90 125 168 145 128 107 110

3 92 107 107 122 122 93 119

4 79 125 111 169 166 109 116

5 74 80 102 91 90 102 82

6 92 103 103 112 103 112 92

Rata-rata 87,7 110,8 123,3 127,3 124 106 107,7

Pemberian roti tawar menaikan kadar glukosa darah dari 87,7 mg/dL pada t.0’ menjadi 127,3 mg/dL pada t.45’ berarti mengalami kenaikan sebesar 39,5 mg/dL atau 45,04 %. Nilai ini merupakan puncak kenaikan karena pada menit selanjutnya kadar glukosa darah menurun.

Sedangkan hasil respon glukosa darah responden terhadap pemberian pangan uji (cookies tepung talas belitung) dapat dilihat pada tabel berikut ini

Tabel 4.4 Respon Glukosa Darah Terhadap Cookies Tepung Talas Belitung Responden Respon Glukosa Darah Terhadap Pangan Uji (Cokies Tepung

Talas Belitung)

0’ 15’ 30’ 45’ 60’ 90’ 120’

1 91 117 161 122 93 122 104

2 90 118 91 91 91 92 102

3 83 112 98 100 106 97 102

4 84 122 137 140 137 119 114

5 82 90 116 110 102 83 82

6 82 99 107 112 82 97 82

Rata-rata 85,3 109,7 118,3 112,5 101,8 101,7 97,7

Pemberian cookies tepung talas belitung menaikan kadar glukosa darah dari 85,3 mg/dL pada t.0’ menjadi 118,3 mg/dL pada t.30’ berarti mengalami kenaikan


(61)

sebesar 33 mg/dL atau 38,69%. Nilai ini merupakan puncak kenaikan karena pada menit selanjutnya kadar glukosa darah menurun.

Data hasil pengukuran glukosa darah subjek terhadap panganacuan dan pangan uji ditebarkan dalam sumbu X (waktu) dan sumbu Y (kadar glukosa darah) menggunakan Software Microsoft Excell 2007. Dengan demikian, akan diperoleh sebuah kurva yang menunjukan respon glukosa darah terhadap pangan yang diberikan. Berdasarkan hasil pengukuran kadar gluosa subyek, rata-rata respon glikemik subyek penelitian dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 4.3 Kurva Cookies Tepung Talas Belitung dan Roti Tawar

Berdasarkan kurva respon glukosa darah yang dibuat dengan bantuan Microsoft Excell dapat digunakan untuk menghitung luas area bawah kurva (Area Under Cerve, AUC). Luas daerah di bawah kurva dapat dihitung secara manual dengan cara menarik garis horizontal dan membuat garis vertikal berdasarkan waktu pengambilan darah sehingga kurva membentuk luas bangun segitiga dan trapesium.

87,7

110,8

123,3 127,3 124

106 107,7

85,3

109,7 118,3 112,5

101,8 101,7 97,7

0 20 40 60 80 100 120 140

0' 15' 30' 45' 60' 90' 120'

K ad ar Gl u ko sa Dar ah

Kurva Respon Glukosa Darah terhadap Roti Tawar dan Cookies Tepung Talas Belitung


(62)

Luas daerah di bawah kurva diperoleh dengan cara menjumlahkan masing-masing luas bangun.

Indeks glikemik dihitung dengan membandingkan luas kurva pangan uji dengan luas kurva pangan acuan. Nilai indeks glikemik pangan uji diperoleh dari hasil rata-rata nilai indeks glikemik individu enam orang subyek penelitian. Nilai indeks glikemik pangan uji dihitung berdasarkan rumus :

� � = ��� �

��� Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut, diperoleh nilai indeks glikemik yaitu 79,9.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Formulir Informed Consent

PENGUKURAN INDEKS GLIKEMIK COOKIES TEPUNG TALAS BELITNG (Xanthosoma sagittifolium)

Setelah memperoleh penjelasan tentang tujuan, manfaat, prosedur, dan kemungkinan risiko, serta jawaban atas pertanyaan saya yang diberikan oleh tim peneliti pada penelitian PENGUKURAN INDEKS GLIKEMIK COOKIES TEPUNG TALAS BELITNG (Xanthosoma sagittifolium), maka saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : ... Alamat : ...

dengan ini menyatakan dengan penuh kesadaran bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian tersebut di atas dan bersedia untuk menjalani pemeriksaan darah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam penelitian PENGUKURAN INDEKS GLIKEMIK COOKIES TEPUNG TALAS BELITNG (Xanthosoma sagittifolium), dengan catatan semua data mengenai diri saya dirahasiakan. Selanjutnya, bila suatu ketika, dalam masa penelitian, saya merasa dirugikan karena penelitian ini, saya berhak mengundurkan diri dari keterlibatan saya serta membatalkan persetujuan ini, tanpa sanksi apa pun dan dari pihak manapun.

Medan, Mei 2014 Mengetahui,

Yang membuat pernyataan Peneliti

(……….) (……….)

Saksi,

(……….) Lampiran 5


Dokumen yang terkait

Pemanfaatan Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium) dalam Pembuatan Cookies

2 29 135

Studi Pembuatan Dodol Tapai Talas Belitung (Xanthosoma Sagittifolium)

1 7 36

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG TALAS KIMPUL (Xanthosoma sagittifolium) PADA PEMBUATAN BOLU Pengaruh Penambahan Tepung Talas Kimpul (Xanthosoma Sagittifolium) Pada Pembuatan Bolu Kukus Terhadap Tingkat Pengembangan Dan Daya Terima.

0 2 17

PENGARUH SUBSTITUSI TEPUNG TALAS BELITUNG (Xanthosoma Sagittifolium) TERHADAP TINGKAT PENGEMBANGAN Pengaruh Subtitusi Tepung Talas Belitung Terhadap Tingkat Pengembangan Dan Daya Terima Donat Talas.

0 1 18

PENGARUH SUBSTITUSI TEPUNG TALAS BELITUNG (Xanthosoma Sagittifolium) TERHADAP TINGKAT PENGEMBANGAN Pengaruh Subtitusi Tepung Talas Belitung Terhadap Tingkat Pengembangan Dan Daya Terima Donat Talas.

0 5 13

Pengaruh Substitusi Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium L. Schott) dan Tepung Ampas Tahu pada Tepung Terigu Terhadap Mutu Mi Kering.

0 0 4

MODIFIKASI TEPUNG UMBI TALAS BELITUNG (Xanthosoma sagittifolium) DENGAN METODE PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN DAN APLIKASINYA PADA PRODUK COOKIES Modification of Belitung Taro (Xanthosoma sagittifolium) Flour With Pressurized Heating-Cooling Methods and

0 1 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Indeks Glikemik - Pengukuran Indeks Glikemik Cookies Tepung Talas Belitung (Xanthosoma Sagittifolium)

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengukuran Indeks Glikemik Cookies Tepung Talas Belitung (Xanthosoma Sagittifolium)

1 0 6

Pengukuran Indeks Glikemik Cookies Tepung Talas Belitung (Xanthosoma Sagittifolium)

0 0 12