Perspektif Komunikasi Ritual Kanuri Blang sebagai Bentuk Kerjasama dalam Masyarakat Tani di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh

PERSPEKTIF KOMUNIKASI RITUAL KANURI BLANG
SEBAGAI BENTUK KERJASAMA DALAM MASYARAKAT
TANI DI KECAMATAN SAMATIGA
KABUPATEN ACEH BARAT PROVINSI ACEH

KHORI SUCI MAIFIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perspektif Komunikasi
Ritual Kanuri Blang sebagai Bentuk Kerjasama dalam Masyarakat Tani di
Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Propinsi Aceh adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Khori Suci Maifianti
I352120091

RINGKASAN
KHORI SUCI MAIFIANTI. 2014. Perspektif Komunikasi Ritual Kanuri Blang
sebagai Bentuk Kerjasama dalam Masyarakat Tani di Kecamatan Samatiga
Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh. Dibimbing oleh SARWITITI
SARWOPRASODJO dan DJOKO SUSANTO.
Kanuri blang merupakan ritual dalam bidang pertanian yang
dikoordinasikan oleh keujreun blang. Kanuri blang salah satu bentuk kerjasama
dalam masyarakat tani selain bentuk kerja sama, kanuri blang juga merupakan
rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rezeki dan berdo’a agar
panen mendatang bisa lebih baik dari musim tanam yang lalu. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana proses negosiasi yang terjadi pada

komunikasi ritual kanuri blang masyarakat tani di Kecamatan Samatiga
Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan
November 2013 sampai dengan April 2014 dengan menggunakan pendekatan
kualitatif yakni dengan metode etnografi komunikasi.
Berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan, bahwa pelaksanaan kanuri
blang tidak dilakukan di semua gampông yang memiliki lahan sawah tadah hujan
yang berjumlah 29 gampông. Berikut pemaparan fakta yang ditemukan di
lapangan yaitu (1) Terdapat dua belas gampông yang tidak melaksanakan kanuri
blang, tiga gampông yang dilaksanakan hanya oleh kelompok tani, terdapat empat
gampông yang melaksanakan kanuri blang secara mandiri, terdapat tiga kegiatan
kanuri blang yang dilaksanakan atas kerjasama dua gampông, adapun kanuri
blang yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh empat gampông hanya satu
kegiatan. (2) Urutan pelaksanaan kanuri blang tidak sama antara satu kegiatan
dengan kegiatan yang lain. (3) Tahapan kanuri blang yang masih dipertahankan
adalah yasinan, berdo’a dan makan bersama.
Masyarakat tani harus siap terjadinya negosiasi untuk menghasilkan
keselarasan ritual kanuri blang. Negosiasi ini secara otomatis dan tanpa disadari
telah terjadi dalam masyarakat tani. Ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya
negosiasi dalam kanuri blang yaitu melemahnya dukungan pemerintah, ekonomi,
dan interpretasi agama. Melemahnya dukungan pemerintah dimulai sejak

pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
pemerintahan desa. Undang-undang ini mengupayakan adanya penyeragaman
kedudukan pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Ternyata hal ini juga
berpengaruh terhadap pelaksanaan kanuri blang dimana terjadi negosiasi pada
participants, act sequence dan instrumentalities. Melemahnya dukungan
pemerintah ini membawa dampak pada ekonomi masyarakat tani untuk membeli
kerbau dikarenakan harga kerbau mahal, sehingga terjadinya negosiasi
pelaksanaan kanuri blang, yang mengubah act sequence, dan instrumentalities.
Perbedaan interpretasi agama antara tokoh masyarakat di Kecamatan Samatiga
mempengaruhi pelaksanaan kanuri blang. Ini mengakibatkankan terjadinya
negosiasi pelaksanaan kanuri blang dalam hal setting.

Kata kunci: Kanuri blang, Komunikasi Ritual, Negosiasi

SUMMARY
KHORI SUCI MAIFIANTI. 2014. Ritual Communication Perspective Kanuri
Blang as the Community Farmers-Based Forms of Cooperation in Subdistrict
Samatiga of District West Aceh of Aceh Province. Supervised by SARWITITI
SARWOPRASODJO and DJOKO SUSANTO.
Kanuri blang a ritual in agriculture coordinated by keujreun blang. Kanuri

blang one form of cooperation in the farming community as well as cooperation.
Kanuri blang is gratitude to Allah SWT who has given sustenance and pray for
upcoming harvest could be better than a season ago. This study aims to describe
how the process of negotiation that occurs in ritual communication kanuri blang
Samatiga farming community in West Aceh province. This study was conducted
from November 2013 to April 2014, using a qualitative approach of
ethnography’s communication.
Based on the facts found in the field, the kanuri blang has not done in all
villages that have the rainfed areas totaling of 29 villages. The following are
found in fact that (1) There are twelve villages that do not implement the kanuri
blang, three village that implemented only by farmers, there are four villages that
perform independently kanuri blang. There are three activities conducted by
cooperation of two villages, the kanuri blang implemented jointly by four villages
jointly. (2) The order of execution is not the same kanuri blang between one
activity to another one. (3) Stages of kanuri blang are still the same and preserved
as yasinan, pray and eat together.
Farming community must be ready to produce harmony negotiations
happening ritual kanuri blang. Negotiations are automatically and unconsciously
happening in the farming community. There are three factors that lead to
negotiations in the kanuri blang weakening government support, economic and

religious interpretations. Weakening of government support since the government
started issuing Law No. 5 of 1979 on the village. The law empowers the
government's standardization position villages across Indonesia. It will also affect
the implementation of the kanuri blang where the negotiations on the participants,
act sequence, and instrumentalities. This weakening of government support had an
impact on the economy of the farming community to buy buffalo, because the
buffalo is expensive, so the occurrence of negotiating the implementation of
kanuri blang, which change the act sequences, and instrumentalities. The
difference in interpretation of the religious leaders had affect the implementation
of the kanuri blang in Samatiga. This occurrence caused negotiation performance
in terms of setting of the kanuri blang.

Keywords: Kanuri Blang, Ritual Communication, Negotiation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERSPEKTIF KOMUNIKASI RITUAL KANURI BLANG
SEBAGAI BENTUK KERJASAMA DALAM MASYARAKAT
TANI DI KECAMATAN SAMATIGA
KABUPATEN ACEH BARAT PROVINSI ACEH

KHORI SUCI MAIFIANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Djuara P Lubis, MS

Judul Tesis : Perspektif Komunikasi Ritual Kanuri Blang sebagai Bentuk
Kerjasama dalam Masyarakat Tani di Kecamatan Samatiga
Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh
Nama
: Khori Suci Maifianti
NIM
: I352120091

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS
Ketua

Prof(Ris) Dr Ign Djoko Susanto, SKM
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Djuara P Lubis, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 ini ialah komunikasi
ritual, sebagai salah satu bentuk kerjasama dalam masyarakat tani di Kecamatan
Samatiga Kabupaten Aceh Barat Propinsi Aceh.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo,
MS dan Bapak Prof (Ris) Dr Ign Djoko Susanto, SKM sebagai Komisi
Pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan dan saran. Serta Bapak
Dr Ir Djuara P Lubis, MS dan Dr Ir Amiruddin Saleh, MS yang telah banyak
memberi saran pada ujian tesis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bapak Camat Samatiga yang telah memberi izin untuk melakukan
penelitian ini. Tidak lupa pula penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
seluruh Kepala desa, Tokoh Masyarakat, Petani, Pemuda, Kepala Adat, dan
Penyuluh yang telah bersedia dan memberikan waktunya untuk diwawancara.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Suami, Papa, Mama, ayah
mertua, ibu mertua, kakak, adik-adik ipar serta seluruh keluarga, atas segala doa
dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman sejawat KMP 2012 terutama temanteman sebimbingan atas dukungan yang diberikan. Terimakasih juga kepada
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang memberikan
Beasiswa Unggulan (BU-Dikti) untuk membiayai kuliah penulis.
Penulis dengan terbuka mengharapkan masukan, koreksi dan saran untuk
melangkapi karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.


Bogor, Agustus 2014
Khori Suci Maifianti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Kelembagaan Lokal Masyarakat Tani
Komunikasi Ritual dalam Etnografi Komunikasi
Perubahan Tradisi dalam Keterkaitan dengan Kelembagaan Lokal
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran

4
6
7
8
11

METODE PENELITIAN
Paradigma Penelitian
Desain Penelitian
Tempat dan Waktu Penelitian
Penentuan Subyek Penelitian
Data dan Matode Pengumpulan Data
Teknik Analisis Data

13
13
14
14
15
17

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
Masyarakat Tani
Pendapatan
Struktur Sosial
Keujreun Blang
Kanuri Blang

18
20
21
22
37

ETNOGRAFI KOMUNIKASI RITUAL KANURI BLANG
Tipologi Pelaksanaan Ritual Kanuri Blang
Tipe Pelaksanaan Kanuri Blang Secara Kelompok Tani
Tipe Pelaksanaan Kanuri Blang Secara Mandiri (Satu Gampong)
Tipe Pelaksanaan Kanuri Blang Secara Dua Gampong
Tipe Pelaksanaan Kanuri Blang Secara Empat Gampong
Analisis Makna Tindak Komunikasi pada Ritual Kanuri Blang
Kesimpulan

43
49
58
67
73
81
82

NEGOSIASI KANURI BLANG
Melemahnya Dukungan Pemerintah
Ekonomi
Interpretasi Agama
Kesimpulan

85
88
89
91

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

92
93

DAFTAR PUSTAKA

93

RIWAYAT HIDUP

105

DAFTAR TABEL
1 Penelitian terdahulu tentang komunikasi ritual yang mengalami
negosiasi
2 Daftar Informan
3 Komponen Peristiwa Komunikasi di Kecamatan Samatiga
4 Negosiasi yang Terjadi dalam Kanuri Blang

8
15
82
91

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Kerangka Pemikiran
Proses Analisis Data Penelitian
Susunan Lembaga Keujreun Blang di Kecamatan Samatiga
Bagan Kedudukan Kanuri di dalam Masyarakat Aceh
Rekonstruksi Proses Ritual Kanuri Blang Kelompok Tani
Rekonstruksi Proses Ritual Kanuri Blang Mandiri di Sawah
Rekonstruksi Proses Ritual Kanuri Blang Mandiri di Mesjid
Rekonstruksi Proses Ritual Kanuri Blang Kerja Sama Dua Gampong
Rekonstruksi Proses Ritual Kanuri Blang Empat Gampong

12
17
34
40
58
67
67
73
81

DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi Kanuri Blang
2 Dokumentasi Penelitian

98
102

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemerintah Republik Indonesia sudah berusaha keras untuk mewujudkan
ketahanan pangan. Mulai dari UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara
wajib menjalankan kedaulatan pangan. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 sampai
dengan direvisi menjadi Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang pangan.
Untuk bisa melaksanakan kewajiban tersebut, maka pemerintah memikirkan
strategi-strategi yang dikembangkan dalam pembangunan pertanian guna
mewujudkan ketahanan pangan. Salah satu strateginya yang harus dikembangkan
adalah pemberdayaan kelembagaan lokal (Suradisastra 2011).
Namun, pemberdayaan kelembagaan lokal cenderung kurang dimanfaatkan
oleh praktisi-praktisi pembangunan. Praktisi-praktisi menganggap pembangunan
hanya pertumbuhan produksi saja. Padahal pembangunan bukan hanya
pertumbuhan ekonomi atau produksi, tetapi kebebasan budaya dalam
kelembagaan lokal juga merupakan faktor penting (Marana 2010). Meskipun
keanekaragaman budaya dalam kelembagaan lokal di Indonesia sudah dikenal
lama, namun cenderung diabaikan dan bahkan mulai dilupakan (Hikmat 2001).
Salah satu contoh, perencanaan program pembangunan dari atas (top down
planning) dan penggunaan pola penyeragaman strategi dalam mewujudkan
ketahanan pangan.
Indonesia yang terdiri dari 1.340 suku bangsa (BPS 2010) menjadikan
Indonesia kaya akan budaya dan kearifan lokal. Kearifan lokal masyarakat
cenderung diwariskan secara lisan dan relatif terbatas di kalangan elit masyarakat.
Setiap etnis memiliki adat budaya yang mencirikan kekhasan etnisnya masingmasing. Adat budaya ini menjadi kearifan lokal bagi kelompok masyarakat yang
menganutnya. Masyarakat merasakan kebermaknaan kearifan lokal dan
melembagakannya ke dalam pranata keluarga dan pranata sosial lainnya. Kegiatan
yang dilakukan untuk mengaktifkan memori kolektif tersebut adalah upacara.
Upacara yang dilakukan secara intensif, berulang-ulang dengan lokasi, waktu,
prosesi yang teratur dan berpola sehingga kearifan lokal yang bersifat abstrak itu
nyata adanya (Geertz, 1973).
Kearifan lokal memuat tentang pengetahuan, keyakinan, dan nilai-nilai
budaya masyarakat yang mengatur hidup dan kehidupan masyarakat. Kearifan
lokal memuat pula ajaran dan sanksi sosial, budaya, dan ekonomi bagi yang
melanggar ajaran tersebut. Dengan sendirinya mengkaji kearifan lokal bukan
hanya mengkaji tentang pengetahuan, keyakinan, dan nilai-nilai budaya yang
saling terpisahkan melainkan menjadi satu kesatuan yang digunakan untuk
melangsungkan kehidupan masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Kearifan lokal dimiliki oleh suatu komunitas di suatu tempat yang berfungsi untuk
menyelesaikan berbagai persoalan atau kesulitan yang dihadapi secara baik dan
benar. Wujud kearifan lokal berupa pengetahuan dan praktik-praktik berupa pola
interaksi dan pola tindakan.
Secara umum kearifan lokal antara satu kelompok masyarakat dengan
kelompok masyarakat lain memiliki kemiripan dan bertujuan untuk pembangunan
dalam ketahanan pangan. Ditunjukkan dengan ritual atau upacara yang rutin

2
dilakukan setiap tahunnya, sebagai contoh di Aceh memiliki lembaga adat
keujreun blang yang ritualnya kanuri blang (Yulia et al, 2012), Bangka Belitung
terkenal dengan ritual mak jong, ripok angkam, nirok nanggok (Nusir et al, 2010).
Bali yang terkenal dengan subak dan awig-awig (Martiningsih, 2012), Manggarai
dengan Bate Waes (Dewi et al, 2008), Kediri dengan ritual Pemurnian desa
(Rustinsyah, 2012). Lampung melakukan upacara yang bernama ruwatan laut
serta lek-lekan (Nasution et al, 2007), Kepala menyan di Sumatera Selatan
(Yenrizal, 2010), bari dan mabari di Halmahera Barat (Syarif, 2010).
Adanya keragaman budaya ini menuntut agen pembangunan harus
mempertimbangkan kearifan lokal masing-masing. Agar keinginan ini tercapai
pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pangan dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012, dimana Undang-Undang ini merekomendasikan bahwa
ketahanan pangan secara merata baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga
perseorangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang
waktu dapat memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Undangundang ini diharapkan dapat membantu pembangunan di Indonesia secara merata
dan akan mengembalikan kembali marwah Indonesia yang disebut sebagai negara
agraris dan pernah sukses dalam swasembada pangan.
Pertanian merupakan usaha yang paling utama bagi sebagian masyarakat
Aceh. Hal ini tergambar pada semboyan nenek moyang masyarakat Aceh
“Pangulèe hareukat meugoe” yang artinya usaha yang paling utama adalah
pertanian. Masyarakat Aceh juga memiliki pandangan bahwa menanam padi
merupakan “berkah”, sehingga makanan pokoknya yaitu beras. Hal ini terlihat di
Provinsi Aceh sebanyak 644.851 rumah tangga, dengan rincian subsektor tanaman
pangan 423.124 rumah tangga, hortikultura 195.090 rumah tangga, perkebunan
388.667 rumah tangga, peternakan 254.166 rumah tangga, perikanan 48.044
rumah tangga, dan kehutanan 22.681 rumah tangga (BPS, 2013). Selain itu,
dukungan Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang lembaga adat juga menjadi
pendukung peningkatan hasil produktivitas padi. Lembaga adat yang berperan
dalam pertanian adalah keujreun blang, dan memiliki ritual di bidang pertanian
yang bisanya disebut dengan kanuri blang. kanuri blang ini digunakan untuk
sarana berkumpul masyarakat agar terbentuk kebersamaan masyarakat dan rasa
syukur kepada Allah SWT.
Ritual dan kearifan lokal menjadi isu strategis di saat masyarakat mengalami
dinamika yang mengakibatkan terjadinya perubahan sosial budaya dan krisis nilainilai kemanusiaan (krisis akhlak). Salah satu cara yang efektif adalah mengatifkan
kembali ajaran-ajaran moral yang dimiliki masyarakat yang bersumber dari ajaran
agama dan nilai-nilai budaya masyarakat (Nusir et al, 2010). Dengan sendirinya,
ritual dan kearifan lokal itu tidak serta merta bisa diterapkan dalam masyarakat
yang berubah melainkan harus dilakukan negosiasi, kontestasi, dan revitalisasi
(Suparlan, 2004).
Dalam negosiasi tersebut tanpa disadari ada nilai atau budaya lama yang
sudah terkikis. Situasi ini juga dialami oleh masyarakat di Kecamatan Samatiga.
Penelitian Khairun (2005) dan Yulia et.al (2012) membuktikan bahwa lembaga
adat keujreun blang juga mulai memudar. Penelitian mereka menyimpulkan
keujreun blang sebagai lembaga adat di bidang pertanian tidak melaksanakan
fungsi dan wewenang sebagaimana mestinya yang sudah terdapat dalam Qanun

3
Aceh. Ketidakefektifan ini menjadi ironi bila melihat pelaksanaan kanuri blang
yang rutin dilakukan setiap tahun, yang dikoordinasi oleh keujreun blang.
Sehubungan dengan itu, Hasil penjajakan peneliti bahwa kegiatan kanuri
blang sudah mulai memudar. Oleh karena itu, memudarnya keujreun blang dan
kanuri blang menarik untuk melakukan kajian keberadaan, perkembangan dan
perubahan. Hal ini penting karena bahwa keujreun blang dan kanuri blang dapat
didayagunakan untuk hubungan antar masyarakat dan hubungan dengan Allah
SWT. Bahkan, ada pandangan bahwa kelembagaan lokal merupakan sarana yang
efektif untuk percepatan pembangunan perdesaan di Kecamatan Samatiga. Oleh
karena itu, penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan sejauhmana dampak
perubahan lembaga adat keujreun blang terhadap perubahan tradisi kanuri blang
di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh.
Perumusan Masalah
Rumusan masalah utama penelitian ini adalah bagaimana negosiasi yang
terjadi pada komunikasi ritual kanuri blang di masyarakat tani Kecamatan
Samatiga Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh. Berdasarkan hal ini maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh perubahan keujreun blang terhadap kanuri blang?
2. Bagaimana negosiasi ritual kanuri blang terhadap perubahan komponen
peristiwa komunikasi?
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana proses
negosiasi yang terjadi pada komunikasi ritual kanuri blang di masyarakat tani
Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat. Secara khusus penelitian ini
bertujuan sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan pengaruh perubahan keujreun blang terhadap kanuri blang.
2. Mendeskripsikan negosiasi ritual kanuri blang terhadap perubahan komponen
peristiwa komunikasi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan sejumlah manfaat, antara lain
memberikan informasi tentang komunikasi ritual yang dapat digunakan oleh para
stakeholder atau agen pembangunan, yang senantiasa berupaya memberikan
program-program pembangunan pedesaan. Secara akademis penelitian ini
diharapkan bermanfaat dalam memberikan informasi dan menambah khasanah
ilmu tentang komunikasi ritual dan etnografi komunikasi dalam masyarakat adat
di bidang pertanian pedesaan dan pada pengembangan ilmu komunikasi
pembangunan pertanian dan pedesaan.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Kelembagaan Lokal Masyarakat Tani
Masyarakat tani merupakan sekumpulan peran-peran yang saling
berinteraksi satu dengan yang lain yang akan membentuk suatu perilaku sosial
yang didapat dari proses belajar dan kebudayaan. Masyarakat tani di Kecamatan
Samatiga terdiri dari petani, aparat desa, pemuda, keujreun blang, pemuka adat,
ketua kelompok tani dan penyuluh pertanian. Hal ini dikarenakan pada saat kanuri
blang mereka merupakan sekumpulan yang memiliki peran masing-masing yang
saling berinteraksi satu dengan yang lain yang akan membentuk suatu perilaku
sosial.
Lembaga sosial adalah sekumpulan tata aturan yang mengatur interaksi dan
proses-proses sosial di dalam masyarakat. Wujud konkret dari pranata sosial
adalah aturan, norma, adat istiadat dan semacamnya yang mengatur kebutuhan
masyarakat dan telah terinternalisasi dalam kehidupan manusia, dengan kata lain
pranata sosial adalah sistem norma yang telah melembaga atau menjadi
kelembagaan disuatu masyarakat (Bungin 2008).
Mendefinisikan dan mengartikan lembaga lokal terdapat dua kata penting
yang menyusun konsep tersebut yaitu kelembagaan dan lokal. Institution atau
pranata adalah sebagai kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya.
Terwujudnya suatu pranata berada dalam pengaruh dari tiga wujud kebudayaan,
yaitu (1) sistem norma dan tata kelakuan dalam konteks wujud ideal kebudayaan,
(2) kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan, (3) peralatannya untuk
wujud fisik kebudayaan. Ditambah dengan personelnya sendiri, dari empat
komponen tersebut yang saling bernteraksi satu sama lain (Koentjaraningrat 1997
dalam Syahyuti 2003). Lokal menurut Uphoff (1992), kumpulan-kumpulan
masyarakat yang memiliki kekerabatan, pemasaran atau koneksi lainnya,
masyarakat atau desa atau kota, dan kelompok. Dapat disimpulkan bahwa
lembaga lokal adalah kelakuan berpola dari manusia dalam pengaruh tiga wujud
kebudayaan pada kumpulan masyarakat yang memiliki kekerabatan, pemasaran
atau koneksi lainnya.
Lembaga adat juga merupakan suatu komponen dari struktur sosial yang
berorientasi pada nilai-nilai kebudayaan yang diperankan, berkenaan dengan
mempertahankan sumber daya alam dan kelestarian lingkungannya dalam
peningkatan kesejahteraan dan kelangsungan hidupnya sesuai dengan bidangnya
masing-masing demi tercapainya tujuan pembangunan (Yusoef et al. 2011).
Peran-peran tersebut telah terinternalisasi dalam kelompok masyarakat didasari
pada pengetahuan, nilai, dan norma terhadap objek kehidupan. Jadi lembaga adat
adalah suatu institutional cultural masyarakat yang berperan untuk melestarikan,
mengembangkan, mengelola sumber daya alam untuk kelangsungan hidupnya dan
pembangunan di setiap wilayah.
Kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada
suatu kelompok orang. Ia merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola;
berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem
sosial tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern; dan
berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial (Syahyuti 2006). Tiap

5
kelembagaan memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat didalamnya
memiliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma yang sudah disepakati
yang bersifat khas. Kanuri blang merupakan kelembagaan tradisional masyarakat
di Kecamatan Samatiga, dimana kelembagaan ini terbentuk secara alamiah,
dimana aspek-aspek kultural lebih dulu terbentuk dibandingkan aspek-aspek
struktural. Sedangkan keujreun blang merupakan “kelembagaan introduksi” yang
dibentuk melalui rekayasa sosial, dengan mendahulukan pembentukan struktur
dan pengurusnya saja (aspek struktural).
Keujreun blang merupakan lembaga adat tingkat gampong (desa) yang
tugasnya membantu geuchik (kepala desa) di bidang persawahan. Jika dikaitkan
dalam sepuluh tingkat pengambilan keputusan dan aktifitas dari Uphoff, maka
keujreun blang merupakan lembaga lokal pada tingkat keenam yaitu di locality
level. Keujreun blang merupakan lembaga lokal yang bertanggung jawab kepada
pemerintah daerah. Yulia et al. (2012) mengatakan keujreun blang adalah
lembaga adat yang merupakan salah satu faktor pendukung dalam roda
perekonomian di bidang pertanian, sehingga menjadi salah satu unsur dalam
meningkatkan produksi padi sawah. Jadi pemanfaatan suatu lembaga adat untuk
kelangsungan hidupnya adalah suatu upaya meningkatkan kesejahteraan
kelompok tersebut yang didasari pada akar budaya masyarakatnya, disamping itu
pula pemanfaatan suatu lembaga adat dalam pembangunan merupakan upaya
melibat masyarakat melalui lembaga-lembaga adat atau melalui demensi lain
untuk kelancaran pembangunan, hal ini harus tetap terpelihara secara kontinyu
untuk menciptakan keseimbangan sistem-sistem yang ada di setiap masyarakat.
Sebagaimana uphoff (1985) peringatkan pemerintah haruslah memiliki
komitmen terhadap pembangunan pedesaan yang seimbang melalui organisasiorganisasi lokal yang akan mampu menjembatani transfer sumber daya dari pusat
ke daerah secara signifikan. Terutama dalam pengelolaan irigasi, lembaga lokal
dapat berguna jika didukung oleh sumber daya teknis dan keuangan yang
disalurkan dari pemerintah ke lembaga lokal. Uphoff (1992), mengatakan
organisasi yang gagal memenuhi kebutuhan masyarakat akan kehilangan
dukungan mereka dan status kelembagaan, kecuali mampu menarik sumber daya
dari luar. Analisis menunjukkan bahwa potensi lembaga lokal untuk pengelolaan
sumber daya alam dapat ditingkatkan, hal ini dianggap sama, dengan berinvestasi
dalam pengumpulan informasi dalam sumber daya tersebut dan membuatnya
tersedia untuk masyarakat setempat.
Kanuri blang merupakan tradisi adat Aceh yang biasa dilakukan masyarakat
Aceh setiap desa secara turun temurun yang diwariskan nenek moyang. Ritual ini
sampai sekarang masih dilakukan masyarakat Aceh. Tujuan ritual adat kanuri
blang ini adalah sebagai rasa syukur terhadap hasil panen yang melimpah yang
diberikan oleh Allah SWT. Dalam kanuri blang ini dibaca do’a dan zikir yang
dipimpin oleh tengku imum gampong, meminta kepada Allah SWT agar diberikan
rahmat dan rezeki dan tanaman padi yang nanti ditanami terbebas dari hama dan
penyakit. Setelah berdo’a selesai baru dilanjutkan dengan makan bersama
makanan yang sudah dimasak bersama-sama oleh masyarakat desa (Yulia et al.
2012). Kanuri blang dilakukan setelah adanya koordinasi dengan semua unsur
terkait. Setelah melakukan rapat dan penentuan turun ke sawah ditetapkan, maka
keujreun blang desa mengajak petani mengadakan Kanuri blang di gampong

6
masing-masing sesuai dengan yang ditetapkan. Semua petani yang akan turun
sawah diwajibkan untuk melakukan kanuri blang.

Komunikasi Ritual dalam Etnografi Komunikasi
Komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih. Yang
mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise) terjadi
dalam suatu konteks, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk
melakukan umpan balik (Devito 2011). Jika dikaji dalam komunikasi antarbudaya,
komunikasi didefinisikan sebagai apa yang terjadi bila makna diberikan kepada
suatu perilaku. Bila seseorang memperhatikan perilaku kita dan memberinya
makna, komunikasi telah terjadi terlepas dari apakah kita menyadari perilaku kita
atau tidak dan menyengajanya atau tidak (Porter dan Samovar 2005). Komunikasi
adalah mesin pendorong proses sosial yang memungkinkan terjadinya interaksi
antarmanusia dan menjadikan manusia sebagai makhluk sosial (Rivers et al. 2008).
Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sebab telah
menjadi kebutuhan pokok manusia dalam bertahan untuk hidup. Fungsi
komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa
komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita. Aktualisasi diri, untuk
kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan
ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk
hubungan dengan orang lain, sebagai contoh komunikasi ritual.
Komunikasi ritual dapat dimaknai sebagai proses pemaknaan pesan sebuah
kelompok masyarakat. Mulyana (2010) mengatakan suatu komunitas sering
melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup mulai
dari kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, siraman, pernikahan hingga
upacara kematian. Dalam acara itu orang mengucapkan kata-kata atau
menampilkan perilaku-perilaku simbolik. Contoh yang dapat dikemukakan adalah
upacara Natoni di Nusa Tenggara Timur (Andung 2010), Kepala Menyan di
Sumatera Selatan (Yenrizal 2010), Masquerades di Afrika (Ajala 2011).
Suatu komunitas, masyarakat, ataupun kelompok sering menggunakan
upacara-upacara yang selalu berkontinuitas dalam kehidupannya. Kegiatan ritual
memungkinkan para pesertanya berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat
bagi kepaduan mereka, juga sebagai pengabdian kepada kelompok. Bukanlah
substansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting, melainkan perasaan senasib
sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa kita terikat oleh sesuatu
yang lebih besar daripada diri kita sendiri, yang bersifat “abadi”, dan bahwa kita
diakui dan diterima dalam kelompok kita (Mulyana 2010).
Dalam komunikasi ritual adanya penggunaan simbol-simbol yang unik yang
digunakan secara turun temurun, sehingga masyarakat yang melakukan ritual
memiliki pemaknaan yang sama. Ini akan terciptanya komunikasi efektif. Seperti
yang dikemukakan oleh Dewi (2007) bahwa komunikasi akan efektif apabila
terjadi pemahaman yang sama dan pihak lain terangsang untuk berpikir atau
melakukan sesuatu.
Memfokuskan perhatian pada perilaku komunikasi dalam tindakan
seseorang, kelompok atau khalayak ketika terlibat dalam proses komunikasi

7
disebut etnografi komunikasi. Etnografi lahir karena adanya hubungan bahasa,
komunikasi, dan kebudayaan secara bersama (Saville-Troike 2003).
Etnografi komunikasi juga memiliki kelebihan untuk (1) mengungkapkan
jenis identitas yang digunakan bersama oleh anggota komunitas budaya. Identitas
tersebut diciptakan oleh komunikasi dalam sebuah komunitas budaya. Identitas itu
sendiri pada hakikatnya merupakan perasaan anggota budaya tentang diri mereka
sebagai komunitas. Dengan kata lain, identitas merupakan seperangkat kualitas
bersama yang digunakan para anggota budaya dalam mengidentifikasikan diri
mereka sebagai komunitas. (2) mengungkapkan makna kinerja publik yang
digunakan bersama dalam komunikasi. (3) mengungkapkan kontradiksi atau
paradoks-paradoks yang terdapat dalam sebuah komunitas budaya (Zakiah, 2005).
Dalam etnografi komunikasi adalah aktivitas dan proses komunikasi.
Dimana aktivitas komunikasi tidak tergantung pada adanya pesan, komunikator,
komunikan, media, efek, dan sebagainya. Tetapi lebih pada aktivitas khas yang
komplek, yang di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa khas komunikasi yang
melibatkan tindak-tindak komunikasi tertentu dan dalam konteks komunikasi
yang tertentu pula. Sehingga proses komunikasi adalah peristiwa-peristiwa yang
khas dan berulang.
Perubahan Tradisi dalam Keterkaitan dengan Kelembagaan Lokal
Tradisi merupakan istilah yang berasal dari “traditum”, yaitu sesuatu yang
diteruskan dari masa lalu hingga masa sekarang bisa berupa benda atau tindak
laku sebagai unsur kebudayaan atau berupa nilai, norma, harapan dan cita-cita.
Kriteria dari tradisi adalah bahwa tradisi diciptakan melalui tindakan dan kelakuan
orang-orang melalui fikiran dan imaginasi orang-orang yang diteruskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dalam proses transmisi itu kumpulan dari pada
simbul-simbul dan berbagai “image” diterima serta dimodifisir. Perubahan
tersebut nampak dan interpretasi dibuat oleh resipen (masyarakat yang
menerimanya). Perubahan biasanya tidak dirasakan oleh masyarakat, tetapi dapat
diamati oleh orang luar, hal ini terjadi karena elemen pokoknya tidak berubah
tetapi bercampur dengan elemen-elemen lainnya yang mengalami perubahan
(Sajogyo 1985).
Perubahan sosial-kebudayaan pada berbagai masyarakat memang telah ada
sejak zaman dahulu dan merupakan gejala yang normal. Untuk mempelajari suatu
perubahan yang terjadi dalam masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang
mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan itu. Pada umumnya dapat
dikatakan bahwa sebab-sebab tersebut sumbernya mungkin ada yang terlatak di
dalam masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya diluar masyarakat itu, yaitu
yang datangnya sebagai pengaruh dari masyarakat lain (Sajogyo 1985). Leonard
et.al (2009), dalam jurnalnya mengatakan bahwa budaya membutuhkan pola
komunikasi tertentu yang umumnya berkembang dari waktu ke waktu berdasarkan
geografi, politik, dan pengaruh lainnya. Oleh karena itu individu dalam budaya
cenderung mengabaikan komunikasi yang tidak sesuai dengan pola sosial yang
diharapkan. Keberhasilan atau kegagalan organisasi sering tergantung pada
tingkat komunikasi, salah satunya penggunaan media yang efektif.
Sztompka (2005) mengatakan bahwa perubahan tradisi dimulai dari
psikologi pikiran manusia yang terus berjuang untuk mendapatkan kesenangan

8
baru dan keaslian, mewujudkan kreativitas, semangat pembaruan dan imajinasi.
Kedua, tradisi itu berubah karena bentrokan atau konflik antara tradisi yang
dihormati oleh strata, kultur, suku dan agama yang berlainan. Dampaknya ditandai
oleh ketidakseimbangan kekuatan (artikulasi, daya pikat, cakupan, dan
sebagainya) atau dalam melemahnya dukungan yang diterima dari agen yang
berkuasa (pemerintah, militer, dan gerakan sosial).
Sedangkan Stangor (2004), menyimpulkan perubahan terjadi karena sebagai
berikut (1) kelompok yang berstatus rendah tidak ingin menerima posisi rendah
dan mereka berusaha untuk mengubahnya, (2) kesadaran palsu yaitu menerima
bahwa mereka berstatus rendah, dan mereka merupakan bagian penting dari
norma-norma sosial masyarakat, (3) berusaha untuk mengubahnya dengan
mencoba untuk meninggalkan kelompok status rendah dan pindah ke status yang
lebih tinggi yang dikenal dengan mobilitas individu, (4) kreativitas sosial, dimana
kelompok yang berstatus rendah tidak meninggalkan kelompoknya tetapi mereka
mencoba untuk menjadi lebih baik dengan beberapa identitas sosial yang positif.
(5) Aksi kolektif, yang mengacu pada upaya dari satu kelompok untuk mengubah
hirarki status sosial dengan meningkatkan status relatif dalam kelompok lain.
Selanjutnya Salim (2002), mengatakan di Indonesia masalah-masalah yang
berhasil diidentifikasi ada lima faktor eksternal yang disebut sebagai roda
penggerak dari perubahan sosial, yaitu (1) komunikasi dan industri pers, (2)
Birokrasi, (3) modal, (4) teknologi, (5) ideologi (pancasila) dan agama.
Penelitian Terdahulu
Tabel 1. Penelitian terdahulu tentang komunikasi ritual yang mengalami negosiasi
Peneliti/ Tahun/ Judul
Temuan Penting
1. Soehadha/ 2013/ Ritual Rambut Ritual rambut gembel pada masyarakat
Gembel dalam Arus Ekspansi Dieng, telah terjadi perubahan. Hal ini
Pasar Pariwisata.
tergambar secara nyata setelah masuknya
nilai religiusitas agama islam dan
kepentingan
ekonomi
melalui
pengembangan pasar pariwisata.
2. Zuhdi/ 2012/ Dakwah dan Dakwah para penyebar Islam telah
Dialektika Akulturasi Budaya
menunjukkan akomodasi yang kuat
terhadap tradisi lokal masyarakat setempat,
sehingga Islam datang bukan sebagai
ancaman,
melainkan sahabat
yang
memainkan
peran
pentingdalam
transformasi
kebudayaan.
Dalam
menghadapi negosiasi lokal, Islam tidak
harus dipersepsikan sebagai Islam yang
ada di Arab, tetapi Islam yang dapat
menyatu dengan tradisi lokal masyarakat.
3. Purba/ 2000/ Gereja dan Adat: Perubahan yang terjadi pada tradisi
Kasus Gondang Sabangunan gondang sabangunan dan tor-tor diantara
dan Tor-Tor
orang Batak Toba merupakan akibat
adanya intervensi kebijakan gereja.
Perubahan memang harus terjadi jika tidak,

9
Peneliti/ Tahun/ Judul

4. Saputra/ 2014/ Wasiat Leluhur:
Respon Orang Using terhadap
Sakralitas dan Fungsi Sosial
Ritual Seblang

5. Khoironi/
2007/
Tradisi
Wiwitan
dalam
Arus
Modernisasi Pertanian (Studi
atas
Memudarnya
tradisi
Wiwitan di Desa Sendangrejo,
Tayu, Pati)

Temuan Penting
maka praktek musikal ini tidak akan dapat
diterima menurut ajaran Kristen. Namun
demikian,
walau
adat
mengalami
degradasi, pengaruhnya dalam struktur,
prosedur, isi serta konteks penyajian
gondang sabangunn dan tor-tor masih tetap
nyata. Kombinasi kedua kondisi ini di
dalam penyajian gondang sabangunan dan
tor-tor pada upacara adat merupakan
refleksi pemahaman orang Batak Toba
terhadap kebijakan gereja dan adat warisan
leluhurnya.
Pranata ritual seblang merupakan institusi
sosial yang difungsikan oleg orang using
sebagai bagian integral dari struktur sosial
mereka. Sakralitas seclang juga menjadi
ajang bertemunya alam halus dan alam
kasar; manusia dan dhayang; mikrokosmos
dan makrokosmos. Eksistensi pranata
ritual seblang yang mampu melintas-batas
tetap di uri-uri oleh orang using hingga
kini lantaran didukung oleh kondisi budaya
dan kondisi sosial. Kondidisi budaya
terkait dengan sistem religi dan sistem
pengetahuan, sedangkan kondidsi sosial
terkait dengan struktur sosial dan
lingkungan geoografis pedesaan.
Perubahan dalam tradisi wiwtan ada tiga
fase: fase awal yang lebih bersifat mitis,
fase perubahan (mitis-religius) dan fase
pemudaran. Pudarnya tradisi wiwitan ini
disebabakan oleh pergeseran sistem of
belief atau pandangan dunia mereka.
Harapan masa depan, keselamatan dan
hasil panen yang baik, yang semula selalu
disandarkan pada kekuatan di luar diri
mereka atau terjadinya keteraturan alam
numen dan numinous ke pola pertanian
modern yang lebih mendasarkan diri dari
pada akal budi modren, birokrasi,
teknologi, dan ilmu pengetahuan. Tradisi
wiwitan vis a vis modernisasi pertanian
akhirnya
mengalami
demagifikasi,
demitologi
dan
rasionalisasi
yang
kemudian
memudarnya
karena
merasuknya kesadaran modern, mode of
production, kapitalistik yang menoloak

10
Peneliti/ Tahun/ Judul

6. Akbar/ 2010/ Makna Ritual
Lamaran dan Magang dalam
Pernikahan Adat Masyarakat
Samin
(Studi
Etnografi
Komunikasi Bernuansa Sejarah
Mengenai Ritual Lamaran dan
Magang
pernikahan
Adat
Masyarakat Samin di Kabupaten
Bojonegoro
7. Juniarsih/ 2007/ Perubahan
Orientasi
Nilai
Budaya
Masyarakat Lokal Suku Sasak
di Kawasan Senggigi Pulau
Lombok.

8. Sutisna/ 2001/
Perubahan
Kelembagaan
Penguasaan
Lahan dan Hubungan Kerja
Agraris Berkaitan Masuknya
Perusahaan
Industri
pada
Masyarakat Petani di Pedesaan
9. Suwarningdyah/ 2011/ Seudati
sebagai Media Interaksi Sosial
Masyarakat

10.
Gulo/ 2012/ Degradasi
Budaya
dalam
Upacara
Perkawinan Masyarakat Nias di
Denpasar
11.
Syahdin/ 2013/ Perubahan
Moda Produksi dan Potensi

Temuan Penting
imperatif-imperatif
tradisional
dan
pengaruh kuat media komunikasi massa
serta institusi-institusi pendidikan.
Proses ritual lamaran dan magang dalam
pernikahan adat masyarakat Samin sudah
mulai menghilang sejak masuknya agama
Islam dan adanya lembaga pendidikan
formal di daerah tersebut.

Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
masyarakat lokal suku sasak tidak
mengalami perubahan secara keseluruhan
sebagaimana yang diharapkan dalam
pembangunan. Masyarakat masih tetap
cepat pasrah dan cepat puas pada nasib dan
bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan
hidup, tetapi sudah mulai berorientasi ke
masa depan, melestarikan sumberdaya
alam dan berorientasi individual.
Masuknya
perusahaan
Industri
mengakibatkan perubahan pada hilangnya
kepemilikan lahan, renggangnya hubungan
antar masyarakat tani, hilangnya nilai-nilai
hubungan kerja tradisional, meningkatnya
upah buruh, dan mulai tumbuhnya sifat
kapitalistik.
Bergesernya fungsi dan kedudukan seudati
yang pada zaman dahulu seudati sebagai
media untuk syiar agama, pembakar
semangat perjuangan melawan penjajahan,
dan adanya interaksi sosial yang dijadikan
ajang mencari jodoh. Namun sekarang,
seudati hanya sebagai tontonan keindahan
saja, yang kadang-kadang juga dibawakan
pesan-pesan pembangunan untuk hajatan
perkawinan, kampanye produk atau
polotik.
Degradasi
budaya
dalam
upacara
perkawinan masyarakat Nias menimbulkan
beberapa dampak sebagai berikut yaitu (1)
dampak nilai moral dan dampak
kekerabatan.
Perubahan
yang
diakibatkan
oleh
masuknya perahu jenis baru, perbedaan

11
Peneliti/ Tahun/ Judul
Konflik Pada Kalangan Nelayan
Bugis Sape NTB
12. Syarif/ 2010/ Memudarnya
Bari dan Kelembagaan Mabari
(Studi Pada Komunitas Petani
Kelapa di Dua Desa di
Kabupaten Halmahera Barat

Temuan Penting
kelas (modal dan pemilik alat), dan
konflik.
Pembangunan
membawa
sertakan
teknologi memberikan dampak perubahan
terhadap komunitas di dua desa. Bentuk
perubahan terlihat
pada organisasi
pertanian masyarakat ke dua desa.
Kehadiran sepeda motor, perahu motor dan
listrik masuk desamenyebabkan tradisi fala
adat gura (rumah adat kebun) menjadi
hilang. Hilangnya fala adat gura sangat
berpengaruh terhadap nilai Bari dan
Mabari.

Berdasarkan review beberapa hasil penelitian di atas, belum ditemukan
penelitian yang mengkaji komunikasi ritual yang terjadi negosiasi oleh faktor
melemahnya dukungan pemerintah, ekonomi dan interpretasi agama yang dikaji
dalam perspektif komunikasi ritual menggunakan metode etnografi komunikasi.
Kerangka Pemikiran
Kegiatan komunikasi memang merupakan kegiatan mengirim atau
menerima pesan, namun pada dasarnya pesan sama sekali tidak berpindah, yang
berpindah adalah makna pesan tersebut. para ahli komunikasi mengatakan bahwa
komunikasi adalah kegiatan “pertukaran makna”, makna itu ada di dalam setiap
orang yang mengirim pesan. Jadi, makna bukan sekedar kata-kata verbal atau
perilaku non verbal, tetapi makna adalah pesan yang dimaksudkan oleh pengirim
dan diharapkan akan dimengerti pula oleh penerima (Liliweri 2007).
Aktivitas komunikasi yang terjadi dalam ritual kanuri blang merupakan
wujud kebudayaan yang berpola dari tindakan manusia dalam masyarakat. Hal ini
bersifat kongkret, karena manusia yang satu dengan manusia yang lainnya saling
berinteraksi satu sama lain. Karena bersifat kongkret itulah, sangat
memungkinkan untuk adanya observasi, di foto dan didokumentasikan.
Ritual kanuri blang merupakan sebuah tempat interaksi sosial masyarakat
tani. Hubungan yang terjadi dalam ritual ini berlangsung antara individu dengan
individu, antara masyarakat dengan masyarakat, antara individu dengan
masyarakat dan antara masyarakat dengan Allah SWT. Hubungan timbal balik
tersebut dinamakan interaksi sosial. Proses interaksi sosial tersebut berlangsung
menurut suatu pola, yang sebenarnya berisikan harapan-harapan masyarakat
tentangapa yang sepantasnya dilakukan dalam hubungan-hubungan sosial.
Pada umumnya orang tergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang
diberikan pada orang, benda, dan peristiwa. Makna-makna ini diciptakan dalam
bahasa dan tindakan yang digunakan orang baik untuk berkomunikasi dengan
orang lain maupun dengan dirinya sendiri, atau pikiran pribadinya. Bahasa
memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan mengenai diri dan untuk
berinteraksi dengan orang lainnya di dalam sebuah komunikasi maupun cakupan
yang lebih luas.

12
Berdasarkan adanya komunikasi verbal dan komunikasi non verbal yang ada
dalam ritual kanuri blang maka penulis mencoba untuk menganalisa dan
memaknai sebuah ritual kanuri blang. ritual ini merupakan sebuah kebiasaan adat
yang mengakar pada masyarakat tani maka penulis menggunakan penelitian
etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi bertujuan untuk mengkaji perilaku
komunikatif dalam masyarakat tutur, diperlukan pengkajian unit-unit analisis
etnografi komunikasi (situasi, peristiwa, tindak komunikatif) yang pada akhirnya
akan terbentuk pola-pola komunikasi sebuah komunitas budaya.
Dari hasil analisis penjajakan, terlihat bahwa melamahnya dukungan
pemerintah, ekonomi, dan interpretasi agama mempengaruhi peristiwa
komunikasi ritual kanuri blang dan akhirnya terbentuklah negosiasi-negosiasi
dalam ritual kanuri blang. Adapun komponen-komponen peristiwa komunikasi
yaitu setting, participants, ends, act sequence, instrumentalities, norms of
interaction, dan genre.

Faktor perubahan
 Melemahnya
dukungan
pemerintah
 Ekonomi
 Interpretasi
Agama

Komponen peristiwa
komunikasi “Kanuri Blang”
Setting
Participants
Ends
Act Sequence
Keys
Instrumentalities
Norms of Interaction
Genre

Gambar 1. Kerangka pemikiran

13

METODE PENELITIAN
Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian merupakan konsep awal kerangka berpikir yang
menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti dan menjadi pedoman penelitian.
Terdapat empat paradigma utama yaitu positivisme, past-positivisme, critical
theories, dan constructivism (Nawawi dan Hadari 1995; Budiyanto 2002; Denzin
dan Lincoln 2009).
Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mendapatkan gambaran etnografi
komunikasi dalam pelaksanaan kanuri blang sehingga menemukan peran kanuri
blang sebagai media komunikasi tradisional dalam upaya peningkatan usahatani
di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat. Oleh karena itu penelitian ini
mengarah kepada konstruksi realitas yang ada dari tindakan sosial dari petani.
Mengacu pada pemikiran ini maka paradigma yang dipilih adalah paradigma
konstruktivis.
Paradigma konstruktivis yang digunakan dikaitkan dengan beberapa
pertimbangan, misalkan secara ontologis (sifat realita), aliran ini menyatakan
bahwa realitas sosial adalah wujud bentukan (construction) individu-individu
subyek yang terlibat dalam penelitian yaitu terutama tineliti dan peneliti, bersifat
subyektif dan majemuk. Subyektif disini bearti melihat dari sudut pandang tineliti
sebagai subyek penelitian. Realitas sosial bersifat subyektif, maka secara
epistemologi (hubungan antara peneliti dan tineliti) terjadi interaksi sosial yang
dinamis, informal, dan akrab. Hubungan antara peneliti dan tineliti dirumuskan
sebagai hubungan subyek-subyek. Bukan hubungan subyek-objek seperti pada
penelitian kuantitatif. Dalam arti bahwa antara peneliti dan tineliti memiliki
kedudukan sebagai orang yang sama-sama belajar memaknai realitas sosial yang
diteliti bahkan kadang peneliti bisa menjadi orang yang diteliti. Secara
metodologis, proses penelitiannya bersifat induktif yang beroerintasi pada
pengembangan pola dan teori untuk mendapatkan pemahaman yang bersifat
kontekstual atas suatu kejadian atau gejala sosial (Creswell 2010).
Desain Penelitian
Paradigma konstruktivis merupakan bagian dari pendekatan kualitatif.
Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami suatu situasi sosial, peristiwa,
peran, kelompok atau interaksi tertentu. Penelitian ini merupakan sebuah proses
investigasi dimana peneliti secara bertahap berusaha memahami fenomena sosial
dengan membedakan, membandingkan, meniru, mengkatalogkan dan
mengelompokkan objek studi (Miles dan Huberman 2007).
Penelitian ini menggunakan metode etnografi komunikasi, karena metode
ini dapat menggambarkan, menjelaskan dan membangun hubungan dari kategorikategori dan data yang ditemukan. Hal ini sesuai dengan tujuan studi etnografi
komunikasi untuk menggambarkan, menganalisis, dan menjelaskan perilaku
komunikasi dari suatu kelompok sosial (Kuswarno 2011).

14
Sesuai dengan dasar pemikiran etnografi komunikasi, yang mengatakan
bahwa saluran komunikasi yang berbeda mengakibatkan perbedaan struktur
berbicara, dan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Maka masyarakat tani
Kecamatan Samatiga menggunakan kanuri blang sebagai saluran utama
komunikasi, akan memiliki perilaku komunikasi tersendiri.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat.
Pemilihan lokasi pengamatan ini dilakukan secara sengaja (purposive). Alasan
penentuan lokasi adalah pada data BPS kecamatan Samatiga merupakan
kecamatan kedua yang memiliki luas lahan sawah paling banyak, selain itu
masyarakat Samatiga juga banyak menjadi petani sawah tadah hujan, dan yang
ketiga karena peneliti sendiri merupakan masyarakat tutur tersebut sehingga
memudahkan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat lokasi
penelitian.
Pengamatan ritual kanuri blang dan wawancara pertama dilaksanakan mulai
November 2013 sampai Desember 2013, karena pada bulan itu mulainya masa
tanam tahunan di Kecamatan Samatiga dilaksanakan kanuri blang, sehingga
peneliti bisa secara langsung melihat prosesi acara kanuri blang. Kemudian
dilanjutkan dengan pengolahan data dan penyusunan hasil penelitian pada bulan
Januari 2014 sampai dengan Februari 2014. Pada bulan Maret 2014 sampai Mei
2014 peneliti kembali ke lokasi penelitian untuk melaksanakan wawancara kedua
dan focus group discussion (FGD) agar mendapatkan gambaran data yang lebih
akurat.
Penentuan Subyek Penelitian
Subyek penelitian dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden
tetapi sebagai nara sumber, atau partisipan, informan, teman, dan guru dalam
penelitian. Informan dalam penelitian kualitatif bukan disebut sampel statistik
yang harus mewakili kondisi populasi untuk kepentingan generalisasi populasi,
melainkan subyek penelitian yang dipilih sesuai pertimbangan dan tujuan
penelitian yaitu pengembangan konsep/teori (Sugiyono 2008). Informan dipilih
secara sengaja yaitu dipilih sesuai pertimbangan dan tujuan tertentu.
Selanjutnya, informan merupakan sumber data yang utama bagi etnografer
selain hasil pengamatannya sendiri, karena dari informan inilah diperoleh model
asli bagaimana pola perilaku dari kelompok masyarakat tani. Pengambilan
informan sebanyak 9 orang per desa dirasakan cukup mewakili masyarakat tani di
Kecamatan Samatiga. Adapun perincian informan, disebutkan di bawah ini.

15
Tabel 2.
No
1
2
3
4
5
6
7

Daftar informan
Pekerjaan
Petani
Keujreun Blang
Geuchik
Ketua Kelompok Tani
Tokoh Masyarakat
Pemuda
Penyuluh
Jumlah

Jumlah (Orang)
58
9
29
29
29
58
7
219

Data dan Meto