Efektivitas Sistem Peradilan dalam Penyelesaian Perkara IUU (Ilegal, Unreported, Unregulated) Fishing

EFEKTIVITAS SISTEM PERADILAN DALAM
PENYELESAIAN PERKARA IUU (ILEGAL, UNREPORTED,
UNREGULATED) FISHING

MUTIARA

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Sistem
Peradilan dalam Penyelesaian Perkara IUU (Ilegal, Unreported, Unregulated)
Fishing adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014

Mutiara
C44100072

ABSTRAK
MUTIARA. Efektivitas Sistem Peradilan dalam Penyelesaian Perkara IUU
(Ilegal, Unreported, Unregulated) Fishing. Dibimbing oleh AKHMAD SOLIHIN
dan DARMAWAN
Skripsi ini membahas mengenai proses, permasalahan, dan solusi yang ditelaah pada
suatu sistem yang terkait dengan penanganan tindak pidana perikanan IUU (Ilegal,
Unreported, Unregulated) dan menilai apakah proses tersebut sudah dapat dikatakan
efektif atau belum. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan metode
kualitatif yang disajikan dalam bentuk deskriptif. Sistem peradilan pidana perikanan
adalah sistem peradilan yang mengatur bagaimana penegakan hukum perikanan dan dapat
dijadikan sebagai sebuah sistem dan proses. Sistem yang adalah hubungan fungsional dan
institusional pada satuan penyidik, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan mahkamah
agung. Sedangkan sebagai sebuah proses yaitu bahwa peradilan perikanan menempuh

proses penyidikan, penuntutan, persidangan pertama, persidangan banding, dan kasasi
yang sesuai dengan ketentuan hukum pidana perikanan dan hukum acara pidana. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa sistem peradilan belum dapat dikatakan efektif pada
tahap penyidikan, penuntutan, pengadilan pertama, pengadilan banding, hingga tahap
kasasi. Penerapan konsep efektivitas pada sistem peradilan ditinjau dari faktor hukum,
sarana prasarana, penegak hukum dan masyarakat. Ketidakefektivan sistem peradilan
perikanan terkendala dengan pembatasan waktu penahanan tersangka, ketidaktersediaan
sarana prasarana seperti penerjemah dan lokasi antar instansi pengadilan, dan
ketidakikutsertaan masyarakat untuk berkontribusi dalam penanganan perkara tindak
pidana perikanan.

Kata kunci: sistem peradilan perikanan, perikanan IUU

ABSTRACT
MUTIARA. The effectiveness judicial system to lawsuit solution of IUU (Illegal,
Unreported, Unregulated) Fishing. Supervised by AKHMAD SOLIHIN and
DARMAWAN
This thesis discusses about process, problems, and solutions are reviewed on a system
that is associated with the handling of a criminal offense IUU (Illegal, Unreported,
Unregulated) fishing and evaluate whether the process has been effective or not. This

study uses normative and qualitative methods presented in descriptive form. The fisheries
criminal justice system is the judicial system that regulates how the fishery law
enforcement and can be used as a system and process. This system is about functional and
institutional relationships on unit investigator, district courts, high courts and the supreme
court. Meanwhile, as a process, the fisheries judicial system is taking the investigation,
prosecution, the first trial, the court of appeal, and the appeal in accordance with the
provisions of fisheries criminal law and criminal procedural law. These results indicate
that the justice system can not be said to be effective at this stage of the investigation,
prosecution, courts first, the court of appeal, until the appeal stage. Application of the
concept of the effectiveness of the judicial system in terms of legal factors, infrastructure,
law enforcement and the community. Ineffectiveness of fisheries judicial system is
plagued with detention time limitation, unavailability of infrastructure such as translators
and court location among institutions, and the exclusion of the public to contribute to the
handling of criminal cases fishery.
Keyword : Fisheries Justice System, IUU Fishing

EFEKTIVITAS SISTEM PERADILAN DALAM
PENYELESAIAN PERKARA IUU (ILEGAL, UNREPORTED,
UNREGULATED) FISHING


MUTIARA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Efektivitas Sistem Peradilan dalam Penyelesaian Perkara IUU
(Ilegal, Unreported, Unregulated) Fishing
Nama
: Mutiara
NIM
: C44100072


Disetujui oleh

Akhmad Solihin, S.Pi, MH
Pembimbing I

Dr Ir Darmawan, MAMA
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Budy Wiryawan, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
kasih karunia dan berkat yang diberikan pada penulis sehingga karya ilmiah ini
dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kebijakan

perikanan tangkap, dengan judul Efektivitas Sistem Peradilan dalam Penyelesaian
Perkara IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) Fishing.
Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak yang telah banyak membantu
dan memberikan masukan kepada:
1) Bapak Akhmad Solihin, S.Pi, MH dan Bapak Dr Ir Darmawan, MAMA
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan,
dan saran yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan karya
ilmiah ini;
2) Pandapotan Napitupulu, SH dan Roulina Simamora sebagai orang tua yang
telah memberikan kasih sayang dan doa yang tak pernah putus kepada
penulis;
3) Pak Darjono Abadi, SH, MH sebagai hakim ad hoc Pengadilan Perikanan
Tanjung Pinang;
4) Ibu Rahel Yosvelita, SH dan seluruh pihak terkait di Pengadilan Perikanan
Tanjung Pinang yang telah mempermudah penulis dalam kegiatan penelitian;
5) Lettu Tona Ompusunggu dan Rina Permata Sari, SE sebagai kakak yang telah
memberikan doa dan dukungan kepada penulis;
6) Pak Akhmadon, S.Pi, MM sebagai Kepala Satuan Kerja Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Batam yang telah memberikan
kemudahan dan saran kepada penulis selama kegiatan penelitian;

7) Pak Eko Nugroho, SH sebagai koordinator pidana khusus Mahkamah Agung
8) Wanda, Dewi Octaria, Octa, Iqbal, Andika, Doper, Dopang, Yuda, Sobar,
Toro dan teman-teman seperjuangan di PSP 47 lainnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Juni 2014

Mutiara

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix


PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................................. 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 2
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 2
METODE ................................................................................................................ 2
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................... 2
Metode Penelitian ................................................................................................ 3
Jenis dan Sumber Data ........................................................................................ 3
Proses Pengumpulan dan Analisis Informasi Data .............................................. 3
Prosedur Analisis Data ........................................................................................ 4
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 4
Keadaan Umum Perairan Kepulauan Riau .......................................................... 4
Kegiatan IUU Fishing di Perairan Kepulauan Riau ............................................ 4
Dasar Hukum Indonesia terkait dengan Sistem Peradilan Perikanan ................. 6
Sistem Peradilan Pidana Perikanan ..................................................................... 8
Tolak Ukur Efektivitas Sistem Peradilan Perikanan ......................................... 13
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20

LAMPIRAN .......................................................................................................... 21
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 31

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Jumlah perkara kegiatan tindak pelanggaran perikanan
Jangka waktu penahanan dan perpanjangan menurut KUHAP
Jangka waktu penahanan dan perpanjangan menurut UU Perikanan
Perbandingan waktu pada tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan,
banding, kasasi hingga putusan menurut KUHAP dan UU Perikanan
Tolak ukur efektivitas tahap penyidikan

Tolak ukur efektivitas tahap penuntutan
Tolak ukur efektivitas tahap persidangan pertama
Tolak ukur efektivitas tahap banding
Tolak ukur efektivitas tahap kasasi

5
6
7
7
14
15
16
17
18

DAFTAR GAMBAR
1

Peta lokasi penelitian


2

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Kelembagaan dalam sistem peradilan perikanan
Perkara, proses hukum,dakwaan dan putusan perkarapidana perikanan
di perairan Kepulauan Riau dari bulan Januari 2013 sampai Juli 2013

21
23

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penurunan produktivitas perikanan di sebagian besar wilayah perairan
menjadi permasalahan perikanan saat ini. Salah satu penyebab penurunan
produktivitas perikanan karena pengelolaan perikanan yang tidak bertanggung
jawab seperti penggunaan bom, dinamit, racun, arus listrik, jaring mata kecil, dan
penangkapan ikan di wilayah konservasi. Apabila pengelolaan perikanan yang
tidak bertanggung jawab tersebut terus menerus dilakukan, maka dapat
berdampak pada keberlangsungan hidup habitat perikanan di laut dan kehidupan
manusia dalam jangka waktu panjang yang disebabkan karena eksploitasi yang
berlebihan. Praktek perikanan yang tidak bertanggung jawab tersebut merupakan
bagian dari praktek IUU (Ilegal, Unreported, Unregulated) Fishing.
Praktek IUU Fishing menjadi faktor utama dari masalah pengelolaan
perikanan yang sedang dihadapi dunia. Praktek IUU Fishing sangat menghambat
pembangunan perikanan baik secara nasional maupun internasional. Badan
organisasi PBB mencatat bahwa praktek IUU Fishing telah mewabah lebih dari
100 negara (Fauzi 2005). Praktek IUU Fishing di perairan ZEEI (Zona Eksklusif
Ekonomi Indonesia) banyak dilakukan oleh nelayan-nelayan asing terutama oleh
nelayan Thailand, Filipina. Fakta ini memberi pandangan bahwa seakan-akan
hukum laut yang berlaku di Indonesia tidak berpengaruh dan tidak berdampak
banyak dalam pelaksanaanya baik di nasional maupun internasional.
Tindak pidana perikanan pada hakikatnya dapat diatasi dengan ketentuan
peraturan yang kuat, namun masalah dasar yang menjadi kendala adalah
penerapan dan penegakan hukum yang seharusnya mendapat perhatian yang
serius. Akar dari berjalannya suatu hukum terletak pada kebijakan yang dibentuk.
Apabila kebijakan tersebut tidak diatur, maka hukum yang dibentuk pun akan sulit
untuk di realisasikan. Output dari kebijakan perikanan terletak pada sistem
peradilan perikanan. Sistem peradilan perikanan menjadi wujud nyata penegakan
implementasi hukum khususnya dalam menangani IUU Fishing di Indonesia
(Nikijuluw 2008)
Pengadilan Negeri Tanjung Pinang merupakan salah satu dari tujuh
pengadilan di Indonesia yang mempunyai pengadilan khusus perikanan. Penyebab
terbentuknya pengadilan khusus perikanan di Tanjung Pinang karena pada WPP
711 sering terjadi praktek perikanan IUU dan perkara pidana praktek perikanan
IUU. Oleh karena itu, penelitian mengenai sistem peradilan perikanan perlu
dilakukan di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang.
Perumusan Masalah
Secara umum fokus utama penelitian ini adalah mengenai sistem peradilan
di bidang perikanan. Beberapa pertanyaan yang dapat diidentifikasi terkait fokus
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi dasar hukum sistem peradilan perikanan?
2. Bagaimana proses pada sistem peradilan perikanan?
3. Apakah sistem peradilan sudah berlangsung dengan efektif atau belum?

2
Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Menguraikan dasar hukum sistem peradilan perikanan.
2. Mendeskripsikan proses sistem peradilan perikanan.
3. Menilai efektivitas pada sistem peradilan perikanan.
Manfaat Penelitian
Manfaat setelah dilakukannya penelitian tentang kelembagaan sistem
peradilan perikanan dalam menangani tindak pidana perikanan adalah :
1. Dapat memberi penjelasan mengenai konsep efektivitas dan implementasinya
dalam sistem peradilan perikanan.
2. Dapat memberi masukan berupa solusi agar sistem peradilan perikanan dapat
berjalan dengan efektif.
3. Dapat menambah kepustakaan bagi pihak yang berminat dengan bahasan
sistem peradilan perikanan dalam suatu kelembagaan.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, wilayah
satuan kerja PSDKP Batam, Kepulauan Riau yang dilaksanakan pada bulan
Agustus 2013. Kemudian dilanjutkan dengan pengambilan data di Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta
yang dilaksanakan pada bulan Januari 2014.

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

3
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan pada saat penelitian yaitu pendekatan kualitatif
dengan desain penelitian studi kasus.
Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian ini ada dua jenis data yang diambil, yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer mencangkup pengimplementasian sistem peradilan
perikanan dari tingkat penyidikan hingga pada putusan pidana di pengadilan.
Penentuan subjek atau informan dalam penelitian ini diambil secara purposive
atau mempergunakan teknik purposive sampling dengan tujuan melakukan
wawancara kepada pihak-pihak yang dianggap paling mengetahui dan menguasai
implementasi sistem peradilan perikanan di bidang profesinya Data primer
didapatkan dari instansi Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang sebanyak 2
informan yaitu hakim ad hoc perikanan dan panitera muda pidana khusus, PSDKP
(Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan) Batam sebanyak 1 informan
yaitu kepala PSDKP Batam, serta praktisi hukum sebanyak 3 informan yaitu
hakim penuntut umum, hakim tinggi Pekanbaru, dan koordinator pidana khusus
Mahkamah Agung.
Data sekunder terdiri dari kasus IUU Fishing yang diadili di Pengadilan
Perikanan Tanjung Pinang, rekapitulasi data penanganan ABK tindak pidana
perikanan, peraturan undang-undang yang terkait dengan IUU Fishing, surat
putusan, tuntutan, pelimpahan, dakwaan, dan berita acara perkara pidana
perikanan. Data sekunder didapat dari data kasus yang dibuat oleh panitera
pengadilan perikanan Tanjung Pinang, data satuan kerja PSDKP Batam, dan
lampiran KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan UU Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 45
Tahun 2009.
Proses Pengumpulan dan Analisis Informasi Data
Data primer mengenai sistem peradilan perikanan dari tingkat penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan perkara di persidangan pertama, pemeriksaan perkara di
persidangan banding, dan pemeriksaan perkara di persidangan kasasi sehingga
menghasilkan putusan perkara di pengadilan perikanan, diperoleh melalui
observasi dan wawancara terstruktur. Data primer mengenai implementasi sistem
peradilan yang dinilai dari faktor internal maupun eksternal dan data diolah
dengan deskriptif.
Data sekunder mengenai kasus perikanan IUU, rekapitulasi data penanganan
ABK tindak pidana perikanan, surat putusan, tuntutan, pelimpahan, dakwaan dan
berita acara pidana perikanan, diperoleh melalui referensi arsip pada dokumen
maupun buku register induk perkara pidana perikanan. Data tersebut diolah
dengan deskriptif. Data sekunder berupa daftar tindak pidana perikanan dan
peraturan UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 45
Tahun 2009, diolah menggunakan analisis yuridis normatif.

4
Prosedur Analisis Data
Data primer dan data sekunder dianalisis secara kualitatif, yaitu melakukan
pendekatan fenomenologis yang berorientasi pada suatu proses dimana
pengamatan bersifat alamiah dan tidak dikendalikan (Idrus 2009). Analisa
kualitatif pada penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dan mengevaluasi data
yang diperoleh secara dalam dan menyeluruh untuk memperoleh kejelasan
terhadap permasalahan dalam penelitian. Analisis yang sifatnya deskriptif
dilakukan dengan menjabarkan ukuran efektivitas suatu sistem kelembagaan pada
peradilan perikanan. Indikator efektivitas dilihat dari hubungan antara faktor
hukum, penegak hukum, sarana prasarana, dan masyarakat. Penilaian faktor
tersebut dimulai secara bertahap dari tingkat penyidikan hingga putusan perkara
pidana perikanan.
Metode yuridis normatif yaitu metode yang dilakukan dengan menelusuri
pendasaran hukum yang menjadi dasar hukum dalam suatu permasalahan yang
dibahas (Jevons 2013). Berdasarkan tema pada penelitian ini, yang menjadi bahan
penelusuran dasar hukum yakni hukum acara pidana di bidang perikanan dan
hukum pidana di bidang perikanan yang terdapat pada UU No. 31 Tahun 2004
sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 dan norma-norma serta
aturan yang berlaku dalam hubungannya dengan integrated criminal justice
system dalam sistem peradilan pidana perikanan, yakni KUHAP.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Perairan Kepulauan Riau
Secara geografis Provinsi Kepulauan Riau terletak antara koordinat 103o 11’
– 108o 12’ BT dan 0o45’ LS – 3o 15’ LU. Luas dari Provinsi Kepulauan Riau
sebesar 251.801 km2 dengan wilayah lautan sebesar 96% dan wilayah daratan
sebesar 4%. Wilayah Pengelolaan Perairan (WPP) Kepulauan Riau termasuk
dalam WPP 711 bersama dengan Laut Natuna, Perairan Selat Karimata dan Laut
China. Wilayah ini memiliki peluang yang besar sebagai daerah penangkapan
berbagai jenis ikan. Jenis kelompok ikan seperti ikan demersal, udang, pelagis
kecil. Provinsi Kepulauan Riau memiliki batas wilayah di sebelah utara dengan
Negara Kamboja dan Negara Vietnam, di sebelah timur dengan Negara Brunnei
Darusallam dan Provinsi Kalimantan Barat, di sebelah selatan dengan Provinsi
Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi, dan di sebelah barat dengan negara
Singapura, Malaysia, dan Provinsi Riau.
Kegiatan IUU Fishing di Perairan Kepulauan Riau
Berdasarkan data yang diperoleh pada Pengadilan Perikanan Tanjung
Pinang, Kepulauan Riau setiap tahun terjadi peningkatan kegiatan perikanan IUU,
terutama kegiatan illegal fishing. Pelanggaran illegal fishing banyak dilakukan
oleh kapal-kapal dari negara Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

5
Tabel 1 Jumlah perkara kegiatan tindak pelanggaran perikanan
Periode
Jumlah perkara
1
2010
21
2011
8
2012
21
Januari 2013 - Juli 2013
Total perkara
51
Sumber : Pengadilan Tanjung Pinang Kepulauan Riau, 2013

Karakteristik perkara IUU Fishing di perairan Kepulauan Riau yang telah
diadili di pengadilan perikanan Tanjung Pinang pada periode Januari-Juli 2013
(lampiran 1) adalah sebagai berikut:
(1) Perkara IUU Fishing di perairan Kepulauan Riau dilakukan oleh tersangka
yang berasal dari warga negara Vietnam (71%), warga negara Indonesia
(19%), warga negara Malaysia (5%) dan warga negara Myanmar (5%).
(2) Jenis pelanggaran yang dikenakan terdakwa, tercantum pada:
a. Pasal 26 ayat (1) UU No.31 Tahun 2004. Isi pasal tersebut berbunyi:
Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang pembudidayaan,
pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP (Surat Izin Usaha
Perikanan)
b. Pasal 27 ayat (2) UU No.31 Tahun 2004. Isi pasal tersebut berbunyi:
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIPI
(Surat Izin Penangkapan Ikan)
c. Pasal 9 huruf b UU No.31 Tahun 2004. Isi pasal tersebut berbunyi:
Alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar
yang diterapkan untuk tipe alat tertentu
(3) Pelanggaran pasal yang dilakukan terdakwa baik dari warga negara Vietnam,
Malaysia, Myanmar, maupun warga negara Indonesia berupa pelanggaran
standar operasional prosedur penangkapan ikan maupun pelanggaran tidak
memiliki SIPI dan SIUP.
(4) Jenis pelanggaran berupa standar operasional prosedur penangkapan ikan
maupun pelanggaran tidak memiliki SIPI dan SIUP. Barang bukti berupa
kapal dan barang-barang didalam kapal dirampas untuk negara. Barang bukti
berupa alat tangkap dan hasil tangkapan dirampas untuk dimusnahkan.
(5) Waktu pidana kurungan yang dijatuhkan pada terdakwa, dikurangi lamanya
masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa selama masa penyidikan
hingga putusan pengadilan.

6
Dasar hukum Indonesia terkait dengan Sistem Peradilan Perikanan
Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 2004, dijelaskan pada bab XII Pasal 71
dan bab XIV Pasal 72 hingga Pasal 83 mengenai sistem peradilan dalam
menangani tindak pidana di bidang perikanan. Begitu juga pada KUHAP
dijelaskan mengenai sistem peradilan pada bab XIV hingga Bab XX. Namun pada
proses sistem peradilan perikanan hingga pada putusan yang mengikuti KUHAP
secara murni, hanya pada proses kasasi. Perbedaan antara KUHAP dengan hukum
pada sistem peradilan perikanan adalah pada jangka waktu dari setiap tahapnya.
Bab XIV menjelaskan mengenai proses penyidikan pada perkara pidana
secara umum. Bab XV menjelaskan mengenai proses penuntutan. Pada bab XVI
mengenai pemeriksaan di sidang pengadilan dari panggilan terhadap terdakwa
hingga pada pelbagai ketentuan. Bab XVII mengenai upaya hukum biasa. Bab
XIX mengenai pelaksanaan putusan pengadilan. Bab XX mengenai pengawasan
dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan.
Pasal 71 menjelaskan mengenai pengadilan perikanan yang merupakan
instansi kelembagaan yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus
tindak pidana di bidang perikanan. Pengadilan perikanan hingga saat ini dibentuk
di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Pasal 72
dan Pasal 73 menjelaskan mengenai penyidikan yang merupakan tahap awal dari
sistem peradilan untuk membawa kasus pelanggaran perikanan di lapangan dan
memberikan hasil penyidikan ke penuntut umum. PPNSP (Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Perikanan), perwira TNI AL, dan pejabat polisi diberikan waktu
penahanan terhadap tersangka selama 20 hari untuk kepentingan penyidikan dan
diberi perpanjangan selama 10 hari jika kepentingan pemeriksaan belum selesai,
namun setelah 30 hari tersangka harus dibebaskan dari tahanan walaupun
pemeriksaan belum juga selesai.
Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 76 menjelaskan mengenai penuntutan.
Penuntutan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh jaksa agung.
Penuntut umum diberikan waktu 5 hari dalam meneliti hasil penyidikan dari
penyidik setelah penyidik memberikan hasil penyidikannya. Setelah itu penuntut
umum memberikan laporan hasil penelitiannya dalam kurun waktu yang sama dan
diberikan waktu tambahan 5 hari untuk melengkapi berkas dan kemudian
penuntut umum melimpahkan perkara kepada pengadilan perikanan. Pasal 77
hingga Pasal 83 menjelaskan mengenai pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dijelaskan pada sistem persidangan khusus perikanan dapat dilaksanakan tanpa
kehadiran terdakwa dan dalam jangka waktu 30 hari hakim harus menjatuhkan
putusan terhitung sejak penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dirumuskan jangka waktu penahanan
serta perpanjangan waktu menurut KUHAP dan UU Perikanan pada Tabel 2
sampai Tabel 4.
Tabel 2 Jangka waktu penahanan dan perpanjangan menurut KUHAP
Kepentingan Penahanan
Oleh
Lama
20
hari
Penyidik
20 hari
Penuntut Umum
30 hari
Hakim PN

Perpanjangan
Oleh
Lama
Penuntut Umum
40 hari
Ketua PN
30 hari
Ketua PN
60 hari

Jumlah
60 hari
50 hari
90 hari

7
Hakim PT
Hakim MA

30 hari
50 hari

Ketua PT
Ketua MA

60 hari
60 hari
Jumlah

90 hari
110 hari
400 hari

Sumber : KUHAP No.8 Tahun 1981
Kepentingan penahanan beserta perpanjangan menurut KUHAP di tingkat
penyidikan diberikan waktu maksimal selama 60 hari. Setelah tingkat penyidikan,
berkas kasus penyidik diperiksa dan dirangkum oleh penuntut umum dengan lama
kerja maksimal 50 hari. Kemudian dilanjutkan dengan proses persidangan di
pengadilan negeri, pengadilan tinggi yang masing-masing waktu penyelesaian
kasus maksimal 90 hari. Apabila kasus dilanjutkan hingga tahap kasasi, maka
lembaga Mahkamah Agung mendapatkan wewenang untuk menetapkan putusan
akhir yang berkekuatan tetap, maksimal 110 hari.
Tabel 3 Jangka waktu penahanan dan perpanjangan menurut UU Perikanan
Kepentingan Penahanan
Oleh
Lama
20 hari
Penyidik
10 hari
Penuntut Umum
20 hari
Hakim PN
20 hari
Hakim PT
20 hari
Hakim MA

Perpanjangan
Oleh
Lama
Penuntut Umum
10 hari
Ketua PN
10 hari
Ketua PN
10 hari
Ketua PT
10 hari
Ketua MA
10 hari
Jumlah

Jumlah
30 hari
20 hari
30 hari
30 hari
30 hari
140 hari

Sumber : UU No.31 Tahun 2004
Kepentingan penahanan beserta perpanjangan menurut UU Perikanan yang
tercantum pada UU No.31 Tahun 2004 di tingkat penyidikan diberikan waktu
maksimal selama 30 hari. Setelah tingkat penyidikan, berkas kasus penyidik
diperiksa dan dirangkum oleh penuntut umum dengan lama kerja maksimal 20
hari. Kemudian dilanjutkan dengan proses persidangan di pengadilan negeri,
pengadilan tinggi yang masing-masing waktu penyelesaian kasus maksimal 30
hari. Apabila kasus dilanjutkan hingga tahap kasasi, maka lembaga Mahkamah
Agung mendapatkan wewenang untuk menetapkan putusan akhir yang
berkekuatan tetap, maksimal 30 hari.
Tabel 4 Perbandingan waktu pada tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan,
banding, kasasi hingga putusan menurut KUHAP dan UU Perikanan
Tahap
Penyidikan
Penuntutan
Pemeriksaan di Pengadilan Negeri
Tingkat Banding
Tingkat Kasasi
Jumlah

KUHAP
60 hari
50 hari
90 hari
90 hari
110 hari
400 hari

UU no 31 tahun 2004
30 hari
20 hari
30 hari
30 hari
30 hari
140 hari

Sumber : KUHAP No.8 Tahun 1981 dan UU No.31 Tahun 2004
Sehingga waktu maksimal yang diberikan dari tahap penyidikan hingga
kasasi pada KUHAP adalah 400 hari sedangkan pada UU Perikanan adalah 140
hari.

8
Sistem Peradilan Pidana Perikanan
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) memiliki dua peranan
penting, yakni sebagai sebuah sistem dan sebagai sebuah proses (Jevons 2013).
Sebagai sebuah sistem dimaksudkan bahwa ada hubungan fungsional dan
institusional antar masing-masing bagian dalam rangka penegakkan hukum. Sub
sistem yang terkait ialah penyidik, jaksa/penuntut umum, badan peradilan di
lingkungan peradilan umum, penasihat hukum, dan lembaga pemasyarakatan.
Sedangkan sebagai sebuah proses, dimaksudkan bahwa peradilan menempuh
proses sesuai dengan ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana yang
berlaku. Dengan demikian, sistem peradilan pidana (criminal justice system)
meliputi proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipersidangan hingga pada
pelaksanaan putusan hakim. Berjalannya persidangan mulai dari fakta kejadian
terjadinya pelanggaran hingga pada putusan pengadilan merupakan satu kesatuan
proses.
Input dari sistem peradilan di bidang perikanan adalah suatu
laporan/pengaduan berupa dokumen tentang terjadinya tindak pidana perikanan,
sedangkan prosesnya berupa suatu tindakan yang diambil oleh kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan untuk mengadili tindak pidana
perikanan kepada terdakwa, sehingga menghasilkan output berupa hasil putusan
kepada terdakwa yang diperoleh berdasarkan kebijakan terhadap tindak pidana
perikanan. Berikut penjelasan dari setiap proses pada sistem peradilan di bidang
perikanan dan permasalahan serta solusi yang direkomendasikan.
Penyidikan
Penyidikan di bidang perikanan merupakan kegiatan tahap awal pada sistem
peradilan perikanan. Tujuan tahap penyidikan di bidang perikanan untuk
melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana perikanan sehingga
ditemukannya bukti-bukti terjadinya perkara pidana perikanan di WPP (Wilayah
Pengelolaan Perikanan) agar perkaranya dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan
hukum perikanan yang berlaku. Penyidikan dilakukan oleh tiga penyidik
perikanan, yaitu Polri, TNI AL, dan PPNSP (Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Perikanan). Perbedaan antara ketiganya terletak pada wilayah penyidikannya.
Untuk penyidik Polri beroperasi di laut teritorial, sedangkan untuk TNI AL dan
PPNSP beroperasi mulai dari laut teritorial hingga ZEEI (Zona Eksklusif
Ekonomi Indonesia). Wewenang penyidik berdasarkan ketentuan pada UU
Perikanan antara lain menghentikan, memeriksa sarana prasarana dalam kapal
maupun keabsahan/kelengkapan dokumen dan menangkap orang yang disangka
melakukan tindak pidana perikanan, atau jika menerima laporan tindak pidana
perikanan dari masyarakat (saksi), penyidik berwewenang untuk memanggil serta
memeriksa tersangka maupun saksi dan kemudian melakukan penyitaan barang
bukti milik tersangka, serta dapat melakukan penghentian penyidikan jika batas
waktu penyidikan belum selesai dalam waktu 30 hari.
Proses penyidikan yang dilakukan oleh satuan kerja PSDKP (Pengawasan
Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) Batam dimulai dari penangkapan
tersangka/pelanggar perikanan di wilayah ZEEI yang lebih banyak melakukan
praktek illegal fishing. Kapal patroli penyidik beroperasi secara bergilir di wilayah

9
ZEEI untuk mengawasi kapal-kapal yang melakukan usaha penangkapan, jika
menemukan kapal berbendera asing atau berbendera Indonesia yang melakukan
operasi penangkapan, maka penyidik langsung menghentikan kapal kemudian
memeriksa sarana prasarana perikanan di dalam kapal, serta memeriksa
kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan. Jika ditemukan
pelanggaran aturan perizinan, alat tangkap, maupun metode pengoperasian saat
penangkapan, maka penyidik membawa kapal beserta isinya (nakhoda, ABK, dan
barang bukti lainnya yang ada di dalam kapal) ke penepian/dermaga sekitar
wilayah satuan kerja pengawasan di Batam. Tersangka ditahan sementara di
tempat penahanan sementara yang terletak di kawasan satuan kerja PSDKP Batam
dan barang bukti di sita di pelabuhan satuan kerja PSDKP Barelang Batam.
Setelah dokumen perkara perikanan dianggap lengkap oleh para penyidik, maka
dokumen tersebut dikumpulkan dilimpahkan ke pengadilan perikanan di Tanjung
Pinang.
Permasalahan pada proses penyidikan yang dirasakan satuan kerja PSDKP
Batam adalah masa penahanan dan saat pemeriksaan.Masa penahanan selama 30
hari dirasa kurang, karena banyak dokumen tindak pelanggaran perikanan yang
harus dilengkapi sebelum dibawa dan diadili ke pengadilan. Resiko jika melewati
30 hari maka tersangka berhak bebas dari tahanan tanpa hukuman apapun. Namun
sepanjang tahun 2010 - 2013 belum ada kasus yang terpaksa dilepas karena
permasalahan tersebut. Saat pemeriksaan, pihak penyidik merasa kesulitan dalam
menerjemahkan bahasa asing dan mencari penerjemah bahasa, karena sebagian
besar nelayan yang melakukan tindak pelanggaran perikanan adalah nelayan
asing. Hal ini yang membuat proses pemeriksaan (wawancara) dengan tersangka
sering kali ditunda, sehingga perkara tindak pidana perikanan menumpuk setiap
harinya untuk diselesaikan selama 30 hari.
Selain itu yang menjadi keluhan dari penyidik adalah jenis dakwaan
subsider yang digunakan untuk menindak pidana perikanan. Dakwaan subsider
adalah dakwaan yang sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari tindak
pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan tindak pidana yang
diancam dengan pidana terendah. Menurut penyidik, dakwaan ini yang
menjadikan hukum perikanan menjadi lemah dalam penindakan pidana perikanan,
karena semua tindak pidana yang putuskan kepada terdakwa adalah pidana
terendah, dengan denda yang sedikit dan kurungan badan yang lama. Hal ini yang
menjadikan nelayan asing tidak jera dalam melakukan pelanggaran perikanan.
Alangkah baiknya jika pemerintah dapat menyediakan penerjemah bahasa
asing di kawasan PSDKP Batam secara tetap, agar pada saat proses pemeriksaan
dapat berjalan dengan lancar dan menghasilkan berkas perkara yang tepat dan
benar. Selain itu juga, sebaiknya tim penyidik lebih sigap dengan menggunakan
armada yang kuat dalam mengawasi batas WPP RI, sehingga dapat mencegah
nelayan asing memasuki batas WPP RI dan dapat membatalkan niat nelayan asing
untuk mencuri ikan atau melakukan pelanggaran perizinan. Hal ini dapat
menjadikan turunnya angka tindak pidana perikanan dan juga dapat meringankan
tugas penyidik dalam melengkapi berkas penyidikan yang akan diselesaikan
melalui ranah hukum di pengadilan.

10
Penuntutan
Penuntutan adalah tahap yang akan terlaksana jika dokumen-dokumen
perkara pidana perikanan sudah dilengkapi oleh pihak penyidik dan telah
dilimpahkan ke ranah pengadilan negeri (Gatot 2011). Tujuan tahap penuntutan di
bidang perikanan, agar berkas perkara penyidikan dapat diperiksa dan dapat
ditentukannya dakwaan yang tepat bagi tersangka perkara pidana perikanan,
sehingga kasusnya dapat diselesaikan melalui persidangan di pengadilan. Pada
tahap ini, yang mendapat wewenang dalam memeriksa kelengkapan berkas
perkara, membuat surat dakwaan, bersidang di pengadilan, hingga pengajuan ke
tingkat banding atau kasasi adalah jaksa penuntut umum.
Proses penuntutan pada pengadilan perikanan Tanjung Pinang dimulai dari
penelitian berkas perkara. Hal-hal yang tercangkup dalam penelitian berkas
perkara adalah identitas lengkap pelaku pelanggaran perikanan (nakhoda maupun
nelayan/ABK), waktu dan tempat saat di tangkap penyidik, spesifikasi kapal dan
alat bukti, serta rincian pelanggaran perikanan yang telah dilakukan. Alat-alat
bukti yang harus dipenuhi oleh penuntut umum adalah kehadiran saksi-saksi, ahli,
dan terdakwa dalam persidangan tingkat pertama. Setiap kelengkapan berkas yang
diterima oleh jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Batam selalu dianggap
selesai, sehingga tidak pernah terjadi pengembalian berkas perkara ke pihak
penyidik di satuan kerja PSDKP Batam. Setelah penelitian berkas perkara, jaksa
penuntut umum membuat surat dakwaan yang akan dilimpahkan pada persidangan
tingkat pertama.
Permasalahan pada proses penuntutan yang dirasakan oleh penuntut umum
adalah proses pengajuan rencana tuntutan yang memakan waktu yang lama.
Rencana tuntutan berisi pasal pelanggaran, akibat yang ditunjukan kepada
terdakwa dan cangkupan hal-hal yang memberatkan atau meringankan terdakwa.
Rencana tuntutan diserahkan terlebih dahulu kepada kejaksaan negeri untuk
ditelaah kembali, dan kemudian setelah itu kejaksaan negeri mengajukan rencana
tuntutan tersebut ke kejaksaan tinggi hingga kepada jaksa agung tindak pidana
khusus. Pasal 80 UU No. 31 Tahun 2004 menjelaskan penanganan tindak pidana
perikanan harus diputus 30 hari sejak penerimaan berkas perkara dari penyidik ke
penuntut umum. Proses tersebut memungkinkan untuk memakan waktu lama
hingga melewati 30 hari karena hal ini juga berdampak pada proses penyimpanan
dan eksekusi barang bukti seperti kapal yang dikhawatirkan mengalami kerusakan
sebelum proses lelang dilakukan. Sepanjang tahun 2010 - 2013 belum ada kasus
yang terpaksa dilepas karena permasalahan tersebut, walaupun disamping itu juga
barang bukti berupa kapal pernah sudah rusak sebelum proses lelang dilakukan,
sehingga sebagai resikonya pemerintah mengeluarkan biaya untuk perbaikan
kapal.
Selain itu yang menjadi masalah adalah penentuan hukuman pidana
penjara dan denda menggunakan jenis dakwaan subsider. Penentuan dakwaan
subsider didasarkan pada berbagai pertimbangan, baik itu dari segi kemampuan
nelayan membayar denda dan kemampuan pihak PSDKP dalam biaya
pemeliharaan nelayan selama masa tahanan. Namun permasalahan akan ketentuan
dakwaan subsider, alangkah lebih baik jika adanya upaya hukum untuk
memberikan hukuman denda yang tinggi pada tersangka yang melibatkan
korporasisehingga denda yang diberikan tidak hanya kepada pelaku lapangannya

11
saja, tetapi juga melibatkan korporasi yang terlibat dengan tindak pidana
perikanan.
Pengadilan tingkat pertama
Proses pada tahap pengadilan tingkat pertama dilakukan di pengadilan
negeri khusus perikanan Tanjung Pinang. UU No 48 Tahun 2009 Pasal 27 ayat (1)
menjelaskan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Tujuan
dilaksanakannya persidangan khusus perikanan di tingkat pertama, agar perkara
perikanan dapat diperiksa, diadili, dan diputus sesuai dengan ketentuan undangundang perikanan yang berlaku (Gatot 2011). Pengadilan Perikanan Tanjung
Pinang dibentuk tahun 2010, setelah terbentuknya pengadilan khusus perikanan di
Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual pada tahun 2006. Alasan kuat
terbentuknya pengadilan khusus perikanan di Tanjung Pinang karena wilayahnya
yang berbatasan laut dengan negara-negara asing seperti Malaysia, Thailand,
Vietnam. Selain itu, seringnya terjadi pelanggaran perikanan oleh negara-negara
tersebut yang harus dengan cepat dan tepat untuk ditanggulangi.
Berita acara pada proses persidangan khusus perikanan di pengadilan
Tanjung Pinang sudah terpola, sehingga penentuan putusan dapat secara cepat
dilaksanakan. Tahap awal dimulai dari hakim ad hoc mengajukan pertanyaan
kepada saksi, setelah itu hakim ketua majelis memberi kesempatan kepada jaksa
penuntut umum untuk mengajukan pertanyaan kembali kepada saksi apabila halhal yang ditanyakan oleh hakim ad hoc kurang. Jika saksi ahli datang ke
persidangan perikanan, maka dilanjutkan dengan ajukan pertanyaan hakim ketua
majelis dan jaksa penuntut umum kepada saksi ahli. Selanjutnya, hakim ketua
majelis, hakim ad hoc, dan jaksa penuntut umum melalui penerjemah,
mengajukan pertanyaan kepada terdakwa. Jika dianggap sudah cukup, hakim
ketua majelis meminta penuntut umum menyusun surat putusan yang akan
diajukan secara langsung ke Mahkamah Agung tanpa adanya persidangan ulang.
Jika belum dianggap cukup atau adanya pengajuan banding dari terdakwa maupun
penuntut umum, maka persidangan ditunda selama 2 minggu, dan selama itu juga
penuntut umum membuat surat tuntutan untuk persidangan di tingkat banding.
Permasalahan pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan pertama
adalah pada pelaksanaan persidangannya yang sering tertunda karena tidak adanya
penerjemah bahasa asing dan selain itu jika persidangan tetap dilaksanakan tanpa
penerjemah bahasa asing maka informasi yang didapat dari terdakwa asing tidak
akurat dan lengkap sehingga menghasilkan putusan yang kembali
dipertimbangkan ke tahap proses peradilan berikutnya (tahap banding). Alangkah
lebih baik jika pemerintah menyediakan secara tetap kehadiran penerjemah bahasa
asing di pengadilan khusus perikanan, karena menimbang bahwa tersangka pelaku
tindak pidana perikanan sebagian besar adalah warga negara asing.
Pengadilan tingkat banding
Tahap pengadilan tingkat banding dilaksanakan di Pengadilan Tinggi
Pekanbaru, Riau.Tujuan dilaksanakannya persidangan di tingkat banding untuk
menyelesaikan lanjutan perkara pidana perikanan, yang dimana perkara tersebut

12
belum menghasilkan hukum berkekuatan tetap (inkrah) pada persidangan tingkat
pertama, hal ini karena adanya pengajuan banding terhadap putusan yang tidak
sesuai oleh pihak penuntut umum maupun terdakwa (Gatot 2011). Tahap banding
dimulai dari proses pemeriksaan perkara kemudian jaksa agung menetapkan
apakah putusan pengadilan pertama sesuai dengan fakta dan penerapan hukum
perikanan yang berlaku. Jika putusan pada pengadilan tingkat pertama dinilai
sudah tepat dan benar, maka putusan tersebut tidak diubah, dan hakim ketua
majelis meminta penuntut umum menyusun surat putusan yang akan diajukan
secara langsung ke Mahkamah Agung tanpa adanya persidangan ulang namun
apabila putusan pada pengadilan tingkat pertama tidak tepat dalam penerapan
hukum dan tidak sesuai fakta maka putusan tersebut diperbaiki atau dibatalkan,
sehingga pengadilan tingkat banding kembali mengadili perkara melalui proses
persidangan. Pada proses persidangan, jika belum dianggap cukup atau adanya
pengajuan banding kembali dari terdakwa, maka penuntut umum membuat surat
permohonan ajuan banding ke tingkat kasasi.
Permasalahan pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan banding
adalah proses dan waktu pengajuan rencana tuntutan. Waktu 30 hari dirasa sangat
singkat, karena proses banding berbeda pada proses penyidikan dan proses
penuntutan yang ranahnya telah diklasifikasikan secara terpisah dari bidang kasus
yang lain. Pada tingkat banding, kasus perikanan sudah masuk ke kasus yang
tergabung dengan kasus pidana lainnya. Hal ini karena dalam UU Perikanan tidak
mengatur secara khusus mengenai proses pada tingkat banding,sehingga sebagai
konsekuensinya, hakim harus bergerak cepat untuk memeriksa berkas hingga
penetapan putusan. Selain itu, masalah jarak antara Pengadilan Negeri Tanjung
Pinang dengan Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang jauh. Hal tersebut yang
menjadi kendala dalam penanganan proses, karena membutuhkan waktu
mingguan dalam pengiriman berkas perkara saja, hal ini memakan batas waktu
penyelesaian perkara perikanan yang sudah ditentukan oleh UU Perikanan dan
KUHAP. Alangkah lebih baik jika UU Perikanan dapat direvisi kembali dalam
penentuan jangka waktu putusan pada tingkat banding atau dalam proses banding
dapat dikhususkan untuk bidang perikanan.
Pengadilan tingkat kasasi
Proses tahap kasasi dilaksanakan di Mahkamah Agung Jakarta Pusat.
Tujuan dilaksanakannya penyelesaian perkara pidana perikanan pada tahap kasasi,
ditentukan berdasarkan UU No.14 tahun 2009 Pasal 30 ayat (1) yang menjelaskan
bahwa tugas dari pengadilan kasasi di Mahkamah Agung hanya menilai putusan
pengadilan tinggi berdasarkan pada unsur batas wewenang, penerapan hukum
yang berlaku, dan pemenuhan syarat-syarat yang diwajibkan oleh undang-undang.
Jika sesuai maka putusan akhir akan dikabulkan dan adanya perubahan hukum,
jika tidak maka putusan akan di tolak. Kasus pidana perikanan di tahun 2010 2014 dari Pengadilan Negeri Tanjung Pinang atau Pengadilan Tinggi Pekanbaru
yang dilanjutkan hingga tahap kasasi, tidak ada (0 %).
Secara keseluruhan di wilayah perairan Indonesia, kasus perikanan hingga
pada tahap kasasi jarang diajukan, dan untuk persentase kasus perikanan pada
tahap kasasi tidak disajikan secara khusus. Pasal 253 ayat (1) KUHAP
menjelaskan proses tingkat kasasi di Mahkamah Agung dimulai dari pemeriksaan

13
berkas perkara, dan menentukan 3 hal yaitu: peraturan hukum yang diterapkan
atau tidak, cara mengadili dilaksanakan berdasarkan ketentuan undang-undang
atau tidak, dan pengadilan telah melampaui batas wewenangnya atau tidak. Proses
tersebut dapat diproses jika memori kasasi yang dibuat oleh penuntut
umum/terdakwa telah diterima dalam waktu 14 hari setelah pengajuan
permohonan kasasi, dimana memori kasasi berisi mengenai alasan alasan
permohonan kasasinya (Gatot 2011). Sampai tahun 2014, proses peninjauan
kembali pada pidana khusus perikanan tidak pernah terjadi, karena segala putusan
akhir selalu berakhir pada tingkat kasasi/tingkat persidangan pengadilan pertama.
Permasalahan pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan kasasi adalah
jangka waktu yang diberikan pada tingkat kasasi. Hal tersebut dirasa kurang bagi
Mahkamah Agung, karena pemutusan perkara perikanan digabungdengan
pemutusan perkara pidana khusus di bidang lainnya seperti kasus korupsi, teroris,
kehutanan, penerbanganyang dimana dalam proses penyelesaian perkara pidana
khusus tergantung dengan nomor/tanggalnya berkas perkara masuk ke panitera
Mahkamah Agung,sehingga dalam aplikasinya, jangka waktu pada tahap kasasi
melebihi 30 hari.Hal ini yang menjadikan putusan perkara pada tahap banding
menjadi berkekuatan tetap. Alangkah lebih baik jika UU Perikanan dapat direvisi
kembali dalam penentuan jangka waktu putusan pada tingkat kasasi.
Tolak Ukur Efektivitas Sistem Peradilan Perikanan
Sistem peradilan mempunyai struktur dan subsistem yang seharusnya
bekerja secara koheren, koordinatif, dan integratif agar dapat mencapai efisiensi
dan efektif (Soekanto 1985). Efisiensi pada sistem peradilan merupakan
kemampuan sistem peradilan pidana untuk menangkap, menahan, mengadili, dan
menempatkan penjahat kedalam lembaga kemasyarakatan (Atmasasmita 1995).
Sedangkan efektifitas terjadi jika adanya keserasian dalam hubungan empat faktor
(Soekanto 2005) yaitu:
1. Faktor hukumnya sendiri, yang mencangkup isi dari perundang-undangan.Segi
efektivitasnya dilihat dari peraturan apakah sudah sistematis atau sinkron
mengenai kehidupan bidang tertentu dan secara kuantitatif maupun kuantitatif
sudah cukup dalam mengatur bidang kehidupan tertentu.
2. Faktor penegak hukum, yaitu meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun
yang menerapkan hukum. Segi efektivitasnya dilihat dari sejauh apakah
petugas terikat oleh peraturan yang ada dan derajat sinkronisasi penugasan
yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas yang tegas
pada wewenangnya.
3. Faktor sarana atau fasilitas, yang mendukung penegakan hukum mencangkup
tenaga manusia yang berkualitas (segi pendidikan dan keterampilan) dan
tempat pelaksanaan penerapan hukum yang disediakan. Segi efektivitasnya
dilihat fasilitas apa yang kurang dilengkapi, belum ada sehingga diperlukan
untuk pengadaannya, atau yang sudah ada namun belum difungsikan secara
maksimal.
4. Faktor masyarakat yang merupakan subyek pelaksana hukum yang berlaku.
Segi efektivitasnya dilihat dari derajat kepatuhan terhadap peraturan yang ada,
apakah peraturan yang ada sudah dipatuhi atau belum oleh warga dan juga
keterlibatan masyarakat dalam kegiatan penegakan hukum.

14
Efektivikasi hukum berkaitan erat dengan faktor usaha dalam menanamkan
hukum dalam masyarakat baik itu dalam penggunaan tenaga kerja, alat-alat,
organisasi, dan metode agar masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui, dan
menaati hukum (Soemardjan 1965). Selain itu, efektivikasi hukum berkaitan
dengan reaksi masyarakat, apakah hukum yang telah dibuat ditolak atau mungkin
dipatuhi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, hukum akan semakin efektif apabila
peranan yang dijalankan oleh para subjek hukum semakin mendekati apa yang
telah ditentukan dalam hukum. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat
dirumuskan mengenai tolak ukur efektivitasan sistem peradilan perikanan yang
dimulai dari tahap penyidikan, penuntutan, persidangan pertama, persidangan
banding, hingga pada tahap kasasi adalah sebagai berikut.
Penyidikan
Jika dilihat pada tolak ukur efektivitas (Tabel 5), sistem peradilan perikanan
pada tahap penyidikan di PSDKP Batam belum sepenuhnya dikatakan efektif. Hal
ini karena dari faktor sarana prasarana seperti penerjemah bahasa asing yang
terkadang tidak ada pada saat proses wawancara dengan tersangka, sehingga
proses pemeriksaan ditunda sampai adanya penerjemah bahasa asing. Dari faktor
masyarakat juga belum mendukung kegiatan pengawasan, namun kendala pada
faktor masyarakat sedang ditangani oleh satuan kerja Batam dengan
merencanakan penyuluhan untuk masyarakat sekitar untuk mendukung kegiatan
pengawasan di bidang perikanan.
Tabel 5 Tolak ukur efektivitas tahap penyidikan
Faktor
Hukum

Tolak Ukur Efektivitasan
Hasil
Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004
Sudah terpenuhi
Penahanan tersangka harus dilaksanakan maksimal 20
hari semenjak ditemukannya tindak pidana perikanan
hingga pada pemeriksaan dan jika perlu dilakukannya
perpanjangan maka penahanan dapat diperpanjang
maksimalselama jangka waktu 10 hari. Hal ini tercantum
pada Pasal 73 ayat (6) dan ayat (7).

Penegak
Hukum

- Penyidik perikanan dan penyidik TNI AL yang Sudah terpenuhi
beroperasi/berpatroli di ZEEI dan memiliki pengalaman
administratif dilapangan.
- Penyidik Polri yang beroperasi di laut teritorial dan Sudah terpenuhi
berpengalaman di bidang penyidikan.
- Ketiga penyidik wajib melakukan koordinasi untuk Sudah terpenuhi
menjaga keamanan laut.

Sarana dan
Prasarana

Adanya:
- Penerjemah bahasa asing terutama bahasa dari negara Belum terpenuhi
Singapura, Thailand, Malaysia, Pilipina. Hal ini untuk
mempelancar dalam proses wawancara dan penyidikan
dengan tersangka.
- Dermaga khusus untuk berlabuhnya kapal sitaan.
Sudah terpenuhi
- Armada/kapal patroli yang layak untuk melakukan Sudah terpenuhi
operasi pengawasan/patroli.

15
- Radar komunikasi, meriam, radar navigasi, senjata yang
layak dan berfungsi. Alat ini digunakan untuk mendukung
kegiatan operasi pengawasan/patroli.
- Tempat penahanan tersangka yang aman dan terawasi
oleh penegak hukum.
- Tempat penyitaan barang bukti yang aman dan terawasi
oleh penegak hukum.
- Kantor pengawas dan pos SATPOLAIR di sekitar tempat
penahanan tersangka dan tempat penyimpanan barang
bukti.
Masyarakat

Sudah terpenuhi

Sudah terpenuhi
Sudah terpenuhi
Sudah terpenuhi

Memiliki kesadaran hukum yang tinggi dan mampu Belum terpenuhi
memberikan kontribusi dalam pengelolaan perikanan yang
baik dan berkelanjutan.

Penuntutan
Jika dilihat pada tolak ukur efektivitas (Tabel 6), sistem peradilan perikanan
pada tahap penuntutan di Kepulauan Riau belum sepenuhnya dikatakan efektif.
Hal ini dikarenakan, dari segi faktor hukum dalam penentuan dakwaan, dimana
dalam setiap dakwaan digunakannya ketentuan dakwaan subsider yang
menimbulkan adanya multitafsir antara hukuman kurungan badan dan hukuman
denda. Ketentuan subsider muncul karena narapidana nelayan asing yang tidak
mampu membayar denda yang telah ditentukan UU Perikanan dan ketentuan
subsider pun bertolak belakang dengan ketentuan konvensi internasional United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang tidak
memperbolehkan penahanan dalam bentuk kurungan badan. Dakwaan subsider ini
yang menjadi penyebab efek tidak jera pada tersangka perkara pidana perikanan,