Pengaruh Proses Fisik dan Proses Kimia Terhadap Produksi Pati Resisten Pada Empat Varietas Ubi Kayu (Manihot esculenta)

  

TINJAUAN PUSTAKA

Ubi Kayu (Manihot esculenta)

  Ubi kayu (Manihot esculenta) tumbuh dengan sangat baik di daerah-daerah

  o o dengan suhu antara 25 C-29 C dengan ketinggian daerah sekitar 1.500 m. dpl.

  ke bawah, dan dengan rata-rata curah hujan antara 1.000-1.500 mm per tahun. Akan tetapi, tanaman ini juga dapat tumbuh di daerah kering dengan hasil yang lebih rendah. Untuk hasil panen yang lebih baik dapat diperoleh dengan pemberian pupuk potash (kalium karbonat). Beberapa varietas tanaman ubi kayu yang banyak memberikan hasil adalah sebagai berikut:

  1. Jenis Mangi yaitu umbi-umbian berbentuk panjang bertangkai, kadar zat tepung sekitar 37%, rasanya manis, dan umbi yang dihasilkan sebanyak ±200 kuintal/hektar luas pertanaman.

  2. Jenis Valenca yaitu umbi-umbian yang berukuran sedang sampai gemuk dan bertangkai, kadar zat tepung 33,1%, rasanya manis, dan umbi yang dihasilkan sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman.

  3. Jenis Betawi yaitu umbi-umbian yang berukuran gemuk dan tidak bertangkai, kadar zat tepung ± 34,4%, rasanya manis, dan umbi yang dihasilkan sebanyak 200-300 kuintal per hektar luas pertanaman.

  4. Jenis Bogor yaitu umbi-umbian yang berukuran gemuk dan bertangkai, kadar zat tepung 30,9%, rasanya pahit dan beracun, dan umbi yang dihasilkan sebanyak 400 kuintal per hektar luas pertanaman.

  10

  5. Jenis Basiorao yaitu umbi-umbian yang berukuran agak gemuk dan bertangkai, kadar zat tepung 31,2%, beracun dan rasanya pahit, dan umbi yang dihasilkan sebanyak 300 kuintal per hektar luas pertanaman.

  6. Jenis Sao Pedro Petro yaitu umbi-umbian yang berukuran sedang sampai gemuk dan bertangkai, kadar zat tepung 35,4%, pahit dan beracun, dan umbi yang dihasilkan sebanyak 400 kuintal per hektar luas pertanaman.

  7. Jenis Muara yaitu umbi-umbian yang berukuran gemuk, kadar zat tepung 26,9%, sangat beracun, dan umbi yang dihasilkan sebanyak 400 kuintal per hektar luas pertanaman (Kartasapoetra, 1989).

  Komponen fisik ubi kayu terdiri dari kulit, biasanya terdapat 2 lapis kulit yaitu kulit luar dan kulit dalam. Diikuti oleh daging ubi kayu dengan lapisan kambium dan daging ubi kayu yang berwarna putih, kuning atau gading. Umbi- umbinya kaya akan karbohidrat dan dapat diolah dengan berbagai macam pengolahan seperti peragian ubi yang disebut dengan tape ubi. Umbi yang mentah dapat diolah menjadi tepung tapioka dan daunnya yang kering dimanfaatkan untuk pakan ternak (Syarief dan Irawati, 1988).

  Ubi kayu/singkong (Manihot esculenta) merupakan sejenis tanaman umbi- umbian yang mengandung karbohidrat tinggi dengan kadar amilosa yang rendah dan amilopektin yang tinggi sehingga dapat dijadikan bahan makanan sumber karbohidrat sebagai pengganti beras. Karbohidrat yang tinggi pada ubi kayu ternyata merupakan sifat yang tidak dimiliki oleh umbi-umbian lainnya sehingga ubi kayu dapat dimanfaatkan secara luas (Rismayani, 2007). Kandungan gizi yang terkandung

  11 Tabel 2. Kandungan gizi dalam 100 gram ubi kayu

  Komponen gizi Kadar per 100 gram bahan Energi 146 Kal Karbohidrat

  34,7 g Protein 1,2 g Lemak 0,3 g Mineral 1,3 g Zat besi

  0,0007 mg Kalsium 0,003 mg Fosfor 0,004 mg Vitamin C 0,003 mg Vitamin B 0,006 mg Air

  62,5 g Sumber : Suprapti (2005) Pati Pati merupakan karbohidrat yang terdiri atas amilosa dan amilopektin.

  Amilosa adalah bagian polimer linier dengan ikatan α-(1,4) unit glukosa yang memiliki derajat polimerisasi setiap molekulnya yaitu 102-104 unit glukosa.

  Sedangkan amilopektin merupakan polimer α-(1,4) unit glukosa yang memiliki percabangan α-(1,6) unit glukosa dengan derajat polimerisasi yang lebih besar yaitu 104-105 unit glukosa. Bagian percabangan amilopektin terdi ri dari α-D-glukosa dengan derajat polimerisasi sekitar 20-25 unit glukosa (Kusnandar, 2011).

  Jumlah pati yang dihasilkan dengan beberapa perbandingan molekul amilosa dan amilopektin tergantung dari sumber tanaman asal, seperti tapioka yang hanya mengandung amilosa sebesar 17% dan sisanya adalah amilopektin yaitu sebesar 83% sedangkan pada jagung jumlah amilosa bisa mencapai 25% sampai 80% dan sisanya amilopektin (Smith, 1982).

  Menurut Winarno (1992), kandungan pati yang terdapat di dalam ubi kayu adalah 34,6%. Amilosa merupakan fraksi pati yang terlarut. Molekul amilosa yang

  12 semakin paralel dengan ikatan hidrogen. Apabila afinitas tersebut menurun maka ukuran pati akan membesar sehingga pada konsentrasi rendah akan terjadi presipitasi dan pada konsentrasi tinggi akan terbentuk gel. Hubungan antara molekul amilosa ini disebut retrogradasi.

  Amilopektin merupakan fraksi pati yang tidak larut. Berbeda dengan amilosa dengan struktur yang lurus, struktur amilopektin yang bercabang cenderung tidak sekuat dan sefleksibel amilosa (Winarno, 1992). Dalam struktur granula pati, posisi amilosa dan amilopektin berada dalam suatu cincin-cincin dengan jumlah cincin sekitar 16 buah dalam suatu granula pati. Cincin-cincin dalam suatu granula pati tersebut terdiri atas lapisan-lapisan yaitu cincin lapisan amorf dan cincin lapisan semikristal (Hustiany, 2006).

  Saat dipanaskan maka granula pati akan mengalami pengembangan dan bersifat tidak kembali ke bentuk semula yang disebut dengan gelatinisasi. Proses gelatinisasi ini terjadi akibat hilangnya sifat polarisasi cahaya pada hilum yang akan tercapai pada titik suhu tertentu. Ikatan granula yang bervariasi pada pati merupakan faktor yang menentukan besarnya suhu untuk mencapai gelatinisasi. Kisaran suhu gelatinisasi pada kentang 57-87

  C, tapioka 68-92

  C, gandum 50-86

  C, corn waxy 68-

  90 C, jagung 70-89 C (Swinkels, 1985). Komposisi amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Tabel 3 dan Struktur amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 3. Komposisi amilosa dan amilopektin

  Properti Amilosa Amilopektin Struktur umum Lurus Bercabang Ikatan α-1,4 α-1,4 dan α-1,6 3 Panjang rantai rata-rata ~ 10 20-25 3 4 5 Derajat polimerisasi ~ 10 10 -10 Kompleks dengan iod Biru (~ 650 nm) Ungu-Coklat (~ 550 nm)

  Kemampuan membentuk Kuat Lemah

  13 Gambar 1. Struktur molekul amilosa dan amilopektin (Eliasson, 2004) Granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa apabila dalam keadaan murni. Granula pati memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi. Bentuk, ukuran, dan sifat granula pati tergantung dari sumber patinya, ada yang berbentuk bulat, oval, atau tak beraturan (Koswara, 2006). Karakteristik granula pati dapat dilihat pada Tabel 4, sifat granula beberapa jenis pati pada Tabel 5, dan karakteristik gelatinisasi beberapa jenis pati pada Tabel 6.

  Tabel 4. Karakteristik granula pati

  Diameter Sumber Kisaran (µm) Rata-rata (µm) Jagung 21-96

  25 Kentang 15-100

  33 Ubi Jalar 15-55 25-50 Tapioka 6-36

  20 Gandum 2-38 20-22 Beras 3-9

  5 Sumber : Fennema (1985)

  14 Tabel 5. Sifat granula beberapa jenis pati

  Pati Tipe Diameter Bentuk Melingkar, poligon Jagung Biji-bijian 15 µm Oval, bulat Kentang Umbi-umbian 33 µm Gandum Biji-bijian 15 µm Melingkar, lentikuler Tapioka Umbi-umbian 33 µm Oval, kerucut potong Sumber : Beyum dan Roels (1985) di dalam Koswara (2006)

  Tabel 6. Karakteristik gelatinisasi beberapa jenis pati

  Suhu Suhu ”Peak” Daya Pati Gelatinisasi Pemasakan Viskositas Pembengkakan Koffer (

C) Brabender (

  C) Brabender (BU) pada 95 C (BU) Jagung 62-67-72 75-80 700

  24 Kentang 58-63-68 60-65 3000 1153 Gandum 58-61-64 80-85 200

  21 Tapioka 59-64-69 65-70 1200

  71 Sumber : Beyum dan Roels (1985) di dalam Koswara (2006) Pati Resisten

  Pati dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok pati yaitu pati dengan daya cerna cepat atau rapid digestible starch (RDS) dan pati dengan daya cerna lambat atau slowly digestible starch (SDS). RDS adalah fraksi pati yang menyebabkan kenaikan glukosa darah setelah makanan masuk ke dalam saluran pencernaan, sedangkan SDS adalah fraksi pati yang dicerna sempurna dalam usus halus dengan kecepatan yang lebih lambat dibandingkan RDS. Selain itu, ada pula pati resisten (resistant starch) yang merupakan fraksi pati yang tidak dapat dicerna oleh usus halus tetapi dapat terfermentasi di dalam usus besar. Pati resisten dapat diperoleh secara alami dari kentang mentah, pisang mentah, serealia, dan juga bahan pangan lain melalui proses modifikasi (Kusnandar, 2011)

  Pati resisten (Resistant Starch/RS) merupakan istilah yang digunakan dalam ilmu gizi dan ilmu pangan sebagai jenis pati yang tidak tercerna (resisten) dalam saluran sistem pencernaan manusia. Pati resistan memiliki sifat fisiologis yang unik

  15 lainnya. Pati resistan dapat digunakan untuk meningkatkan serat pangan dengan sedikit perubahan dari penampakan dan sifat organoleptik pangan. Menurut metode pengukurannya, definisi pati resistan harus merefleksikan seberapa besar pati dicerna serta apa yang terjadi pada pati tersebut saat melalui proses pencernaan (Wikipedia, 2011).

  Pati resisten memiliki cakupan yang luas dan berbagai macam jenis yang terbagi menjadi empat jenis yaitu RS1, RS2, RS3, dan RS4. RS1 secara fisik merupakan pati yang terperangkap diantara matriks, protein dan dinding sel tanaman seperti pada biji-bijian atau leguminosa dan biji yang tidak diproses. RS2 merupakan granula pati yang tahan terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase. RS2 terdapat pada bahan pangan yang patinya dimakan secara mentah atau ketika granulanya tidak tergelatinisasi selama proses pemasakan seperti kentang yang belum dimasak, pati jagung atau pati pisang yang tinggi amilosa. RS3 adalah pati retrogradasi, nonanguler atau pati yang untuk dimakan. RS jenis ini terbentuk akibat proses pengolahan dan pendinginan seperti kentang yang dimasak lalu didinginkan. RS4 merupakan jenis pati resisten yang terbentuk akibat modifikasi secara kimia melalui asetilasi dan hidroksipropilasi yang akan mempengaruhi aksi dari enzim amilase (tahan cerna). Daya hambat terhadap kerja enzim tergantung pada jenis dan panjang ikatan (Wikipedia, 2011).

  Proses Fisik

  Proses gelatinisasi, propagasi, dan perlakuan panas dibutuhkan untuk menghasilkan pati dengan kalori rendah yang erat kaitannya dengan sifat tahan cerna pati tersebut selama proses pencernaan di dalam tubuh. Perlakuan panas dilakukan digunakan pada proses pengolahan untuk menghasilkan pati resisten ini pada umumnya di atas suhu gelatinisasi pati. Cara lain untuk memperoleh pati resisten yaitu dengan secara simultan melalui proses pengeringan dengan menggunakan alat seperti drum driers atau extruder (Sajilata, et al., 2006).

  Proses pemanasan dan pendinginan dapat mempengaruhi karakteristik pati resisten. Proses produksi pati resisten akan optimal pada titik suhu gelatinisasi pati

  o

  yaitu pada suhu 120 C selama 20 menit dan kemudian melalui proses pendinginan pada suhu ruang (Kusnandar, 2011).

  Proses pendinginan pati yang telah tergelatinisasi akan mengakibatkan perubahan pada struktur pati tersebut. Perubahan struktur tersebut akan membentuk pati teretrogradasi yaitu pati dengan kristal baru yang tidak larut. Gelatinisasi dan retrogradasi pada proses pengolahan pati memiliki pengaruh terhadap daya cerna pati pada proses pencernaan oleh enzim amilase di dalam usus halus (Calixto dan Abia, 1991).

  Peningkatan kadar pati resisten sebesar 1% pada bahan baku gandum dapat dicapai melalui proses autoclaving atau pemanasan dengan uap bertekanan tinggi.

  Proses autoclaving dapat meningkatkan kadar pati resiten tiga kali lebih banyak pada tepung roti dan empat kali lebih banyak pada tepung produk pastry (Siljestrom dan Asp, 1985).

  Berdasarkan hasil penelitian Marsono dan Topping (1999) menunjukkan bahwa proses parboiling dapat meningkatkan kandungan pati resisten pada beras.

  

Parboiling merupakan proses pemanasan terhadap pati sebelum proses pengolahan

  lebih lanjut. Peningkatan kadar pati resisten juga dapat dicapai melalui proses

  Proses Kimia

  Proses produksi pati resisten, selain dengan proses fisik, juga dapat dilakukan melalui modifikasi kimia. Proses kimia juga menggunakan pemanasan.

  Pati yang dimodifikasi khususnya yang berkelembapan rendah. Hasil dari modifikasi ini akan membentuk oligosakarida dan 1,6-anhidro-B-D-glukopiranosa yang merupakan senyawa yang sangat reaktif. Proses kimia dapat membentuk pati tahan cerna yang tidak dapat didegradasi atau dicerna oleh enzim amilase (Calixto dan Abia, 1991)

  Menurut Meisel (1941) di dalam Wulan, et al. (2007), kekuatan pembentukan gel meningkat karena peningkatan asam dan menurunkan waktu reaksi atau sebaliknya penurunan konsentrasi asam akan meningkatkan waktu reaksi sehingga dapat dilakukan pati termodifikasi asam dengan tingkat pembentukan gel yang berbeda-beda pada fluiditas yang sama. Apabila kadar asam ditingkatkan maka viskositas dari pati termodifikasi tersebut juga akan menurun.

  Proses produksi pati resisten yang sederhana dapat dilakukan dengan perlakuan asam. Metode modifikasi hidrolisis asam merupakan metode modifikasi dengan cara menghidrolisis ikatan α-D glukosa dari molekul pati sehingga terjadi pelemahan struktur granula pati, molekul pati yang lebih pendek dan dapat mengubah kekentalannya menjadi lebih rendah saat pemasakan (Kusnandar, 2011). Perlakuan asam dengan perbandingan pati dari HCl 160 : 1 pada suhu 90°C selama 1 jam dapat menghasilkan pati resisten 49,50%. Proses produksi pati resisten juga dapat dilakukan melalui modifikasi HCl 1% (w/w) pada suhu 25°C selama kurang lebih 78 jam yang menghasilkan pati resisten 35%. Modifikasi kimia hingga 63,20%. Pada modifikasi secara kimiawi dengan menggunakan HCl,

  • keberadaan Cl akan berikatan dengan polimer pati sehingga terjadi ik

  silang yaitu interaksi antara Cl -amilosa dan Cl -amilopektin yang menyebabkan struktur pati menjadi kuat dan mampu menahan hidrolisis enzim sehingga meningkatkan pati resisten (Munoz, et al., 2001).

  Studi Pendahuluan yang Telah Dilaksanakan

  Penelitian pendahuluan yang telah dilaksanakan adalah optimalisasi proses modifikasi pati untuk meningkatkan kadar pati resisten pada pati ubi kayu (manihot

  

esculenta crantz) dan pengaruhnya terhadap absorpsi glukosa, trigliserida dan

kolesterol secara in vivo. Penelitian ini menggunakan bahan dasar ubi kayu.

  Modifikasi pati yang menghasilkan kadar pati resisten tertinggi akan diuji secara in vivo untuk mengetahui pengaruh pati resisten terhadap penyerapan glukosa, trigliserida dan kolesterol. Pengujian ini dilakukan pada tikus wistar. Pati yang menghasilkan kadar pati resisten paling tinggi adalah pati debranching tanpa modifikasi fisik/kimia (kadar pati resisten : 8,29%). Perlakuan debranching terbukti memberikan pengaruh nyata terhadap kadar pati resisten. Penelitian selanjutnya menunjukkan kemampuan pati resisten untuk menurunkan kadar glukosa darah dan kadar trigliserida darah secara in vivo pada tikus (Apriana, et al., 2007).