APLIKASI THEORY OF PLANNED BEHAVIOUR TERHADAP NILAI INTERDIALYTIC WEIGHT GAIN (IDWG) PASIEN HEMODIALISA

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible, dengan manifestasi klinis penumpukan sisa metabolik di dalam darah. Ginjal mempunyai peranan yang penting pada tubuh manusia, yaitu untuk mempertahankan volume dan distribusi cairan, namun apabila ginjal gagal menjalankan fungsinya maka orang tersebut akan memerlukan perawatan dan pengobatan dengan segera (Muttaqin, 2011).

Angka kejadian penyakit gagal ginjal kronik meningkat dari tahun ke tahun, dan merupakan salah satu masalah kesehatan yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia. National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion (2014) melaporkan prevalensi penderita gagal ginjal kronik di Amerika Serikat pada tahun 2011 berjumlah sekitar 20 juta orang atau sekitar 10% dari jumlah penduduk Amerika Serikat, dan hampir separuhnya memerlukan pelayanan hemodialisis. Penyakit gagal ginjal kronik menempati urutan ke 8 penyebab kematian terbanyak di Amerika Serikat. Jumlah penderita gagal ginjal kronik di Australia juga mengalami peningkatan, yaitu sekitar 1,7 juta jiwa pada tahun 2011.

Di Indonesia jumlah penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa mencapai 6,2% atau 104.000 jiwa dari populasi penduduk Indonesia. Berdasarkan data dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia setiap


(2)

tahunnya terdapat 200.000 kasus gagal ginjal kronik dengan stadium akhir. Sementara itu, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi penderita gagal ginjal kronik di Indonesia sebesar 0,2%.

Tindakan medis yang dapat dilakukan pada penderita gagal ginjal kronik tahap akhir adalah hemodialisa, peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal. Keberhasilan dalam menjalankan terapi hemodialisa didasarkan pada unsur-unsur yang beragam diantaranya kepatuhan pasien dalam pembatasan asupan cairan, rutin atau tidaknya pasien dalam menjalani program terapi hemodialisa, pengelolaan diri pasien, dan pemberdayaan pasien. Tindakan hemodialisis bermanfaat untuk pasien, namun bukan berarti hemodialisis tanpa efek samping. Komplikasi yang sering terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa adalah penambahan Interdialytic Weight Gain

(IDWG) (Denhaerynck et al, 2007).

Interdialytic Weight Gain (IDWG) diukur sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik. Pasien secara rutin diukur berat badannya sebelum dan sesudah hemodialisis untuk mengetahui kondisi cairan dalam tubuh pasien, kemudian IDWG dihitung berdasarkan berat badan kering setelah hemodialisis (Jeager & Mehta, 2009). Kamyar (2009) dari Pusat Penelitian Penyakit Ginjal di California menemukan bahwa 86% dari pasien yang menjalani hemodialisa memiliki berat badan interdialitik lebih dari 1,5 kg. Peningkatan IDWG yang melebihi 5 % dari berat badan kering dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi seperti hipertensi, hipotensi intradialisis, gagal jantung kongestif


(3)

(Suharyanto, 2002). Selain itu, didapatkan data bahwa pasien yang memiliki berat badan interdialisis lebih dari 4,0 kg berpotensi 28% terjadi peningkatan resiko kematian.

Peningkatan IDWG dapat disebabkan dari berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, asupan cairan, dan lama hemodialisa. Asupan cairan sangat berperan dalam terjadinya penambahan IDWG, dimana asupan cairan yang berlebih akan dapat meningkatkan berat badan interdialitik. Faktor jenis kelamin mempunyai faktor resiko yang sama untuk terjadi peningkatan IDWG. Namun, kecenderungan laki-laki lebih rentan terkena gagal ginjal kronik sehingga harus menjalani hemodialisa karena faktor pekerjaan laki-laki lebih berat daripada perempuan, yang terkadang membuat laki-laki mengkonsumsi minuman suplemen yang berlebihan (Istanti, 2014; Kimmel et al, 2000).

Pada pasien yang menjalani hemodialisis, dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa usia mempunyai hubungan yang signifikan dengan terjadinya penambahan IDWG. Usia mempengaruhi distribusi cairan tubuh seseorang. Perubahan cairan terjadi secara normal seiring dengan perubahan perkembangan usia seseorang. Usia juga merupakan faktor yang kuat terhadap tingkat kepatuhan pasien, dimana pasien dengan umur yang muda mempunyai tingkat kepatuhan yang rendah dibanding umur yang lebih tua (Linberg, 2010; Kimmel et al, 2000). Peningkatan IDWG dapat terjadi pada semua usia, hal ini berhubungan dengan kepatuhan dalam pengaturan masukan cairan.


(4)

Pendidikan juga berpengaruh dalam terjadinya penambahan IDWG, dimana pendidikan sangat erat kaitannya dengan kepatuhan pasien dalam menjalani pembatasan cairan. Tingkat pendidikan sering dihubungkan dengan pengetahuan, dimana seseorang yang berpendidikan tinggi diasumsikan lebih mudah menyerap informasi sehingga pemberian asuhan keperawatan dapat disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang mencerminkan tingkat kemampuan pemahaman dan kemampuan menyerap edukasi self care. Hasil penelitian Sapri (2004) didapatkan hasil bahwa pasien yang berpendidikan tinggi (SMA ke atas) memiliki tingkat kepatuhan lebih tinggi yaitu 74,3%.

Penelitian Alharbi dan Enrione (2012) bahwa pasien hemodialisis yang mempunyai lama hemodialis terbanyak yakni dalam interval waktu 1-5 tahun dengan persentase 41,3 %. Hasil penelitian yang dilakukan Suryaningsih (2010) menunjukkan bahwa semakin lama pasien menjalani hemodialisa maka pasien semakin patuh untuk menjalani hemodialisa karena biasanya responden kemungkinan telah banyak mendapatkan pendidikan kesehatan dari perawat atau dokter tentang pentingnya melaksanakan hemodialisa secara teratur.

Pembatasan cairan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa penting untuk diperhatikan. Asupan cairan harian yang dianjurkan pada pasien dibatasi sebanyak Insensible Water Loss (IWL) ditambah dengan jumlah urin. Dengan demikian pasien menjadi banyak mengkonsumsi cairan, dan berat badan akan naik sampai jadwal hemodialisis berikutnya. Pembatasan cairan mempunyai tujuan untuk


(5)

mengurangi kelebihan cairan pada periode interdialitik. Kelebihan cairan dapat menyebabkan edema, hipertensi, dan juga berhubungan dengan lama hidup pasien. Tindakan hemodialisis dilakukan untuk menarik cairan pasien sampai mencapai target berat badan kering pasien (Jeager & Mehta, 2009).

Ketidakpatuhan pasien dalam hal pembatasan cairan memerlukan perhatian dari perawat. Namun, edukasi yang diberikan kepada pasien yang menjalani hemodialisa belum memberikan dampak yang maksimal terhadap pengontrolan Interdialytic Weight Gain (IDWG). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Baraz et al (2009) bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan berat badan interdialitik meskipun telah mendapatkan edukasi secara lisan dan menggunakan video tentang diet cairan. Perawat sebagai pemberi layanan asuhan keperawatan diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada pasien terutama dalam memberikan pendidikan kesehatan.

Berdasarkan data dari RSUD Penembahan Senopati Bantul pada saat studi pendahuluan pada bulan Februari 2016 di unit hemodialisa jumlah pasien yang rutin menjalani hemodialisa sampai dengan bulan Januari 2016 tercatat 160 pasien. Dari hasil wawancara peneliti dengan perawat dan pasien yang ada di ruangan, sebagian besar pasien yang menjalani hemodialisa mengalami kenaikan berat badan interdialitik lebih dari 1,5 kg tiap kali akan menjalani hemodialisa. Intervensi yang pernah diberikan perawat kepada pasien dengan memberikan pendidikan kesehatan pada saat intradialisis yang berkaitan tentang diet nutrisi dan cairan. Masih sedikit


(6)

pasien yang mematuhi aturan tersebut, karena kebanyakan pasien tidak mengetahui batasan jumlah asupan cairan yang dikonsumsi setiap harinya.

Pemberian edukasi merupakan salah satu hal yang perlu untuk diperhatikan pada pengelolaan pasien dengan gagal ginjal. Kepuasan kualitas hubungan interpersonal antara pasien dan tenaga kesehatan secara signifikan berhubungan dengan kepatuhan pengobatan, sehingga untuk mencapai keberhasilan terapi perlu dilakukan edukasi oleh tenaga kesehatan dengan menggunakan pendekatan interpersonal kepada pasien (Mundakir, 2006).

Salah satu teori pembelajaran untuk edukasi yang menggunakan pendekatan interpersonal pada pasien adalah Theori of Planned Behaviour

(TPB) atau teori perilaku terencana. Teori ini dikembangkan oleh Ajzen tahun 1967 yang mencakup tiga hal yaitu keyakinan tentang kemungkinan hasil dan evaluasi dari perilaku tersebut (behavioural beliefs), keyakinan tentang norma yang diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs), serta keyakinan tentang adanya faktor yang dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran akan kekuatan faktor tersebut (control belief) (Ajzen & Fishbein, 2005).

Teori ini merupakan salah satu teori pembelajaran yang efektif dan sering digunakan untuk pembelajaran dalam bidang kesehatan. Pemberian edukasi pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dengan melakukan penguatan pada tiga dasar keyakinan dari Teori of Planned Behaviour (TPB) yaitu behavioural beliefs, normative beliefs, serta


(7)

control beliefs diharapkan dapat memberikan keyakinan, niat untuk menerima kondisi sehingga edukasi dapat diterima dan direspon dengan baik (Ajzen & Fishbein, 2005).

Beberapa penelitian menjelaskan bahwa pasien sangat membutuhkan edukasi selama menjalani perawatan di Rumah Sakit. Kutzleb dan Reiner (2006) di dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pemberian edukasi yang benar dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, memperbaiki aktivitas fisik, program diet yang sehat. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Machinko (2008) bahwa edukasi terstruktur diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pasien secara optimal sehingga dapat meningkatkan pemberdayaan pasien yang pada akhirnya akan meningkatkan kemandirian pasien, kepercayaan diri, self efficacy, self responsibility, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Penelitian lain tentang pentingnya edukasi terstruktur dilakukan oleh Widiastuti (2012) yang menjelaskan bahwa edukasi terstruktur mempunyai pengaruh terhadap pemberdayaan dan kualitas hidup pasien jantung koroner. Dengan edukasi terstruktur dengan teknik pembelajaran terencana, pasien lebih memiliki keyakinan akan kemampuannya merubah pola pikir dan hidupnya, serta pasien menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan yang cukup untuk mencapai kemandirian yang diharapkan.

Penelitian tentang pengaruh edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour tentang asupan cairan terhadap nilai Interdialytic Weight Gain (IDWG) pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa belum


(8)

pernah diteliti. Pemberian edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour ini menarik untuk diteliti karena di lapangan masih banyak pasien yang belum menjalani diet cairan dengan benar, sehingga dengan diberikannya edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour

tentang asupan cairan kepada pasien diharapkan pasien dapat mempunyai keyakinan bahwa dengan menjalani pembatasan asupan cairan dapat menurunkan nilai Interdialytic Weight Gain (IDWG).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian : “Adakah pengaruh edukasi terstruktur berbasis Theory of

Planned Behaviour tentang asupan cairan terhadap nilai Interdialytic Weight Gain (IDWG) pasien hemodialisa di RSUD Panembahan Senopati Bantul?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour tentang asupan cairan terhadap nilai Interdialytic Weight Gain (IDWG) pasien hemodialisa. 2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis pengaruh karakteristik responden yang meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan lama hemodialisa terhadap nilai Interdialytic Weight Gain (IDWG).


(9)

b. Menganalisis pengaruh edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour tentang asupan cairan terhadap nilai

Interdialytic Weight Gain (IDWG) pasien hemodialisa.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi pelayanan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan mengantisipasi dampak dari penambahan berat badan di antara dua waktu hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.

2. Bagi institusi pendidikan

Penelitian ini dapat menambah kepustakaan yang berkaitan dengan edukasi terstruktur dengan menggunakan pendekatan Theory of Planned Behaviour tentang asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau acuan bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan area hemodialisa, memberikan wacana yang berguna untuk menyempurnakan penelitian di masa yang akan datang.


(10)

E. Penelitian Terkait

1. Widiastuti, A, 2012. Efektifitas Edukasi Terstruktur Berbasis Teori Perilaku Terencana Terhadap Pemberdayaan dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Jantung Koroner di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh edukasi terstruktur terhadap pemberdayaan dan kualitas hidup pasien dengan penyakit jantung koroner. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain quasi eksperiment dengan rancangan pre-post with control group design. Jumlah sampel 24 orang. Perbedaan penelitian terkait dengan penelitian ini adalah variabel yang diteliti yaitu mengukur Interdialytic Weight Gain (IDWG), kemudian sampel yang digunakan adalah pasien gagal ginjal kronik. Persamaannya yaitu menggunakan edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour dan desain penelitian menggunakan quasi eksperimen pretest and posttest with control Group.

2. Lindberg, 2010. Excessive Fluid Overload Among Haemodialysis Patient, Prevalence, Individual Characteristic And Self Regulation Of Fluid Intake. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari aspek kelebihan cairan dan peraturan pembatasan cairan dari biopsikososial. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional observational. Responden pada penelitian ini 4.498 responden yang menjalani hemodialisa pada tahun 2002 – 2006. Hasil menunjukkan bahwa ketidakpatuhan terhadap manajemen cairan adalah umum pada populasi


(11)

hemodialisa di Swedia. Prevalensi ketidakpatuhan pembatasan cairan diperkirakan menjadi sekitar 30%, yang berarti bahwa tiga dari sepuluh pasien hemodialisis memiliki berat badan melebihi 3,5% dari berat badan kering antara sesi dialisis. Persamaan dalam penelitian ini adalah mengukur Interdialytic Weight Gain (IDWG) pasien. Perbedaan dari penelitian yang akan dilakukan adalah variabel yang diteliti yaitu menggunakan edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour, dan desain penelitian yaitu quasi eksperiment pre post test grup design with control group design.

3. Jafari, F., Mobasheri, M., & Mirzaeian. 2014. Effect of Diet Education on Blood Pressure Changes and Interdialytic Weight in Hemodialysis Patients Admitted in Hajar Hospital in Shahrekord. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh pendidikan tentang diet terhadap perubahan tekanan darah dan Interdialytic Weight Gain (IDWG) pada pasien hemodialisa. Metode penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental pre test dan post test. Persamaan dalam penelitian ini adalah mengukur Interdialytic Weight Gain (IDWG) pada pasien hemodialisa, menggunakan metode quasi eksperiment prepost test, sedangkan perbedaannya adalah edukasi yang digunakan menggunakan edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour dan edukasinya menggunakan media video.


(12)

4. Sharp, J et al. 2005. A Cognitive Behavioral Group Approach to Enhance Adherence to Hemodialysis Fluid Restrictions: A Randomized Controlled Trial. Tujuan pada penelitian ini adalah untuk meningkatkan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien yang menjalani hemodialisa. Metode dalam penelitian menggunakan metode kuantitatif. Menggunakan kelompok intervensi sejumlah 29 responden dan kelompok kontrol 27 responden. Sampel yang digunakan adalah pasien yang menjalani hemodialisa. Intervensi dilakukan selama 4 minggu yang meliputi pendidikan, kognitif, dan perilaku strategi untuk meningkatkan manajemen diri yang efektif tentang asupan cairan. Perbedaan dengan penelitian terkait adalah tujuan penelitian yang akan dilakukan yaitu untuk menganalisis pengaruh edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour tentang asupan cairan terhadap pengontrolan Interdialytic Weight Gain (IDWG), dan pengambilan sampel menggunakan purposive sampling.

5. Linda, T et al. 2012. Correlates of Physical In A Population Based Sample of Kidney Cancer Survivors : An Aplication of the Theory of Planned Behaviour. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan korelasi kognitif intensi (niat) aktivitas fisik dan perilaku Kidney Cancer Survivors dengan menggunakan Teori Planned Behaviour

(TPB). Telah dilakukan survey sebanyak 1.985 orang terdiagnosa

Kidney Cancer Survivors antara tahun 1996 dan 2010 di Alberta, Kanada. Perbedaan dengan penelitian terkait adalah tujuan penelitian


(13)

yang akan dilakukan yaitu untuk menganalisis pengaruh edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour tentang asupan cairan terhadap pengontrolan Interdialytic Weight Gain (IDWG), kemudian sampel yang digunakan adalah pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.

6. Kamaluddin, R., Rahayu, E. 2009. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Asupan Cairan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan Hemodialisis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan asupan cairan pada pasien yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada metode penelitian yaitu

pretest and posttest with control group, kemudian menggunakan metode edukasi dan pengukuran IDWG. Persamaan pada penelitian yang dilakukan yaitu tentang kepatuhan asupan cairan dan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.


(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Gagal Ginjal Kronik Dengan Hemodialisa

a. Kondisi Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan Hemodialisa

Berbagai manifestasi klinis dapat terjadi pada penyakit gagal ginjal kronik stadium akhir. Gejala akibat penurunan fungsi ginjal terjadi secara perlahan-lahan dan jelas terlihat setelah Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) < 10 ml/menit/1,73 m2 (Pardede, 2010). Beberapa kondisi atau respon gangguan yang dapat terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa antara lain yaitu :

1) Ketidakseimbangan cairan

Ginjal berfungsi sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah dengan mengekskresikan solut dan air secara selektif. Jika jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat maka ginjal tidak mampu untuk menyaring urin. Pada tahap ini glomerulus menjadi kaku dan plasma tidak dapat difilter dengan mudah melalui tubulus. Maka hal ini akan mengakibatkan kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium (Suwitra, 2006).


(15)

Kondisi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, meskipun pada awal hemodialisa sudah pernah diberikan pendidikan kesehatan untuk mengurangi asupan cairan akan tetapi pada terapi hemodialisa berikutnya masih sering terjadi pasien datang dengan keluhan sesak nafas karena kelebihan volume cairan (Isroin et al, 2014; Kamaluddin & Rahayu, 2009).

Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, sebagian besar akan mengalami penurunan volume urin karena adanya kerusakan pada ginjal. Kebanyakan pasien yang menjalani hemodialisa mendapatkan perawatan dialisis dua sampai tiga kali seminggu. Kelebihan cairan akan menyebabkan terjadinya penumpukan cairan di dalam tubuh dengan manifestasi adanya edema dan pertambahan berat badan (Terrill, 2002).

2) Ketidakseimbangan natrium

Natrium merupakan kation yang paling banyak dalam cairan ekstrasel. Natrium mempengaruhi keseimbangan cairan, dan hantaran impuls saraf dan kontraksi otot. Ion natrium di dapat dari saluran pencernaan, makanan atau minuman masuk ke dalam cairan ekstrasel melalui proses difusi. Pengeluaran ion natrium melalui ginjal, pernafasan, saluran pencernaan dan


(16)

kulit. Pengaturan konsentrasi ion dilakukan oleh ginjal (Hidayat, 2011).

Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius dimana ginjal dapat mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq natrium setiap hari atau dapat meningkat sampai 200 mEq per hari. Apabila terjadi kerusakan nefron maka tidak akan terjadi pertukaran natrium. Nefron menerima kelebihan natrium sehingga menyebabkan LFG menurun dan dehidrasi. Kehilangan natrium lebih meningkat pada kondisi gangguan gastrointestinal, terutama pada muntah atau diare. Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa natrium yang diberikan dibatasi 1 - 2 gram/ hari (Telini et al, 2013).

Penimbunan natrium dan cairan atau peningkatan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron, semuanya berperan dalam meningkatnya resiko terjadinya gagal jantung dan hipetensi. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis. Retensi cairan yang terjadi pada kondisi uremia sering menyebabkan gagal jantung kongestif dan atau edema paru (Potter & Perry, 2009). 3) Ketidakseimbangan kalium

Kalium merupakan kation utama cairan intrasel. Kalium berfungsi sebagai excitability neuromuskuler dan kontraksi otot. Kalium diperlukan untuk pembentukan glikogen, sintesis


(17)

protein, pengaturan keseimbangan asam dan basa, karena ion K+ dapat diubah menjadi ion hidrogen H+ (Hidayat, 2011).

Apabila keseimbangan cairan dan asidosis metabolik terkontrol, maka hiperkalemia jarang terjadi sebelum stadium IV. Keseimbangan kalium berhubungan dengan sekresi aldosteron. Selama urine output masih bisa dipertahankan, kadar kalium biasanya akan terpelihara. Hiperkalemia terjadi karena pemasukan kalium yang berlebihan, dampak pengobatan, infeksi, atau hiponatremia. Hiperkalemia juga merupakan karakteristik dari tahap uremia. Hipokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat. Pada penyakit tubuler ginjal, nefron ginjal mereabsorbsi kalium sehingga ekskresi kalium meningkat (Muttaqin, 2011).

4) Ketidakseimbangan magnesium

Magnesium merupakan kation yang terbanyak kedua pada cairan intrasel. Sumber magnesium di dapat dari makanan seperti sayuran hijau, daging dan ikan (Hidayat, 2011). Magnesium pada tahap awal gagal ginjal kronik adalah normal, tetapi menurun secara progresif dalam ekskresi urine pada gagal ginjal tahap akhir. Kombinasi penurunan ekskresi dan intake yang berlebihan mengakibatkan henti nafas dan jantung.


(18)

5) Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfor

Dalam keadaan normal kalsium dan fosfor dipertahankan oleh parathyroid hormone yang menyebabkan ginjal mereabsorpsi kalsium, dan mobilisasi kalsium dari tulang dan depresi resorbsi tubuler dari fosfor. Hiperparatiroid dapat menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan dapat menyebabkan mikropresipitasi garam kalsium dan magnesium di kulit (Roswati, 2013).

6) Gangguan Hematologi

Ginjal merupakan tempat produksi hormon eritropoetin yang mengontrol produksi sel darah merah. Pada gagal ginjal produksi eritropoetin mengalami gangguan sehingga merangsang pembentukan sel darah merah oleh bone marrow. Akumulasi racun uremia akan menekan produksi sel darah merah dalam bone marrow dan menyebabkan massa hidup sel darah merah menjadi lebih pendek (Muttaqin, 2011).

Penyebab dari anemia pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dikarenakan kehilangan darah selama proses dialisis, seringnya pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, dan meningkatnya tendensi untuk terjadinya perdarahan. Manifestasi klinis dari anemia diantaranya adalah pucat, takikardia, penurunan toleransi terhadap aktivitas, gangguan perdarahan dapat terjadi


(19)

epistaksis, peradarahan gastrointestinal, kemerahan pada kulit dan jaringan subkutan.

7) Retensi Ureum kreatinin

Urea yang merupakan hasil metabolik protein meningkat. Kadar BUN bukan indikator yang tepat dari penyakit ginjal karena peningkatan BUN dapat terjadi pada penurunan LFG dan peningkatan intake protein. Kreatinin serum adalah indikator yang lebih baik pada gagal ginjal kronik karena kreatinin diekskresikan sama dengan jumlah yang diproduksi tubuh (Smeltzer & Bare, 2008).

8) Gangguan pada sistem gastrointestinal

Anoreksia, nausea dan vomitus, berhubungan dengan gangguan metabolisme protein di dalam usus, dan terbentuknya zat-zat toksik akibat metabolisme bakteri usus. Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri di mulut menjadi amonia sehingga nafas berbau amonia dan sering disertai dengan sensasi atau rasa yang tidak menyenangkan. Akibat yang lain adalah mulut dapat mengalami peradangan atau stomatitis, lidah dapat menjadi kering, terkadang timbul parotitis (Price & Wilson, 2006).


(20)

9) Gangguan pada Sistem Dermatologi

Pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa menunjukkan berbagai abnormalitas kulit seperti kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom, serta gatal-gatal dengan ekskoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit, terkadang terdapat bekas-bekas garukan karena gatal. Kulit mungkin menjadi kering dan bersisik, pada kondisi uremia tahap lanjut konsentrasi ureum dalam air keringat dapat mencapai kadar yang cukup tinggi sehingga setelah penguapan dapat ditemukan garis-garis bubuk putih pada permukaan kulit (Price & Wilson, 2006).

10) Gangguan Pada Sistem Saraf dan Otot

Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa sering ditemui gejala Rest Leg Sydrome (RLS) yaitu pasien merasa pegal pada kakinya sehingga ingin selalu digerakkan, dan juga gejala Burning feat syndrome yaitu rasa kesemutan dan seperti terbakar, terutama di telapak kaki (Price & Wilson, 2006).

11) Sistem Metabolik dan Endokrin

Gangguan metabolik dan endokrin umumnya terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa. Kemampuan tubuh untuk melakukan metabolisme glukosa


(21)

terganggu pada pasien dengan hemodialisa. Intoleransi glukosa pada uremia sebagian besar disebabkan oleh resistensi perifer terhadap kerja insulin. Pada gagal ginjal pada tahap akhir (klirens kreatinin <15 ml/menit), terjadi penurunan klirens metabolik insulin yang menyebabkan waktu paruh hormon aktif memanjang. Kelainan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein juga berperan dalam proses peningkatan aterosklerosis dan keadaan intoleransi protein pada pasien yang menjalani hemodialisa (Price & Wilson, 2006).

b. Pembatasan Cairan Pasien Hemodialisa

Cairan yang diminum pasien yang menjalani hemodialisa harus diawasi dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah jumlah urine yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL) (Ashley & Morlidge, 2008).

Pasien yang menjalani hemodialisa dianjurkan untuk membatasi asupan cairan di antara sesi hemodialisa tergantung dengan banyaknya urine output pasien selama 24 jam ditambah

Insensible Water Loss (IWL). Perawat dapat mengingatkan pasien untuk mengatur asupan cairan setiap harinya dengan mengukur jumlah cairan yang akan dikonsumsi ke dalam gelas ukur setiap


(22)

kali minum. Menganjurkan pasien untuk menggunakan cangkir kecil atau gelas kecil saat minum (Ashley & Morlidge, 2008).

National Kidney and Urologic Disease Information Clearing House (2012) menjelaskan bahwa dalam mengatur asupan cairan pasien hemodialisa, perlu dilakukan pengurangan konsumsi makanan ringan dengan kadar natrium tinggi untuk mencegah rasa haus yang berlebih. Asupan cairan yang berlebih juga disebabkan kondisi mulut yang kering. Untuk mengatasi hal tersebut, pasien hemodialisa dapat dianjurkan untuk menghisap potongan lemon atau mengunyah permen karet sebagai upaya untuk menstimulasi produksi saliva agar kondisi mulut tetap lembab dan mengurangi rasa haus akibat mulut kering, hal lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi mulut kering yaitu dengan membilas mulut atau berkumur.

Ashley & Morlidge (2008) menjelaskan bahwa ada beberapa makanan yang mengandung air seperti sup, puding, es krim yang perlu diperhatikan oleh pasien hemodialisa dalam asupan cairan sehari-harinya. National Kidney and Urologic Disease Information Clearing House (2012) menyebutkan bahwa terdapat beberapa jenis buah-buahan dan sayuran yang mengandung air dengan kadar tinggi seperti jeruk, melon, dan tomat yang perlu dibatasi konsumsinya agar tidak tejadi peningkatan cairan tubuh.


(23)

Berat badan di bawah berat badan ideal akan muncul gejala dehidrasi, hipotensi, kram, dan pusing. Berat badan di atas berat badan ideal akan muncul tanda dan gejala kelebihan cairan misalnya edema dan sesak nafas. Tanda seperti ini akan muncul apabila kenaikan berat badan pasien lebih dari 2,5 kg diantara dua waktu dialisis (Cahyaningsih, 2009).

c. Interdialytic Weight Gain (IDWG)

1) Pengertian Interdialytic Weight Gain (IDWG)

Interdialytic Weight Gain (IDWG) merupakan peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai indikator untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik. Pasien secara rutin diukur berat badannya sebelum dan sesudah hemodialisis untuk mengetahui kondisi cairan dalam tubuh pasien, kemudian IDWG dihitung berdasarkan berat badan kering setelah hemodialisis (Reams & Elder, 2003).

Peningkatan IDWG yang melebihi 5 % dari berat badan kering dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi seperti hipertensi, hipotensi intradialisis, gagal jantung kongestif, dan dapat mengakibatkan kematian (Suharyanto, 2002). Lindberg (2010) menjelaskan bahwa kenaikan berat badan 1 kilogram sama dengan satu liter air yang dikonsumsi pasien. Kenaikan berat badan antar sesi hemodialisis yang dianjurkan yaitu


(24)

antara 2,5 % sampai 3,5 % dari berat badan kering untuk mencegah resiko terjadinya masalah kardiovaskuler. Pertambahan berat badan di antara dua sesi hemodialisa yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah 1,0 – 1,5 kg.

Kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan diukur dengan menggunakan IDWG dengan cara menimbang berat badan pasien sebelum dialisis, kemudian dikurangi berat badan post dialisis dari sesi dialisis sebelumnya dibagi dengan berat badan kering (Linberg, 2010). Faktor kepatuhan pasien dalam mentaati jumlah konsumsi cairan menentukan tercapainya berat badan kering yang optimal, di samping ada faktor lain yang kemungkinan dapat meningkatkan IDWG diantaranya adekuasi hemodialisis, lama tindakan hemodialisis, kecepatan aliran hemodialisis, ultrafiltrasi, dan cairan dialisat yang digunakan (Smeltzer & Bare, 2002).

2) Komplikasi

IDWG melebihi 4,8% akan meningkatkan mortalitas meskipun tidak dinyatakan besarannya. Penambahan nilai IDWG yang terlalu tinggi dapat menimbulkan efek negatif terhadap tubuh diantaranya terjadi hipotensi, kram otot, sesak nafas, mual dan muntah (Moissl et al, 2013).


(25)

3) Pengukuran Interdialytic Weight Gain (IDWG)

Pengukuran Interdialytic Weight Gain (IDWG) diukur berdasarkan berat badan kering (dry weight) pasien dan juga dari pengukuran kondisi klinis pasien. Berat badan kering adalah berat badan tanpa kelebihan cairan yang terbentuk antara perawatan dialisis atau berat badan terendah yang aman dicapai pasien setelah dilakukan dialisis (Thomas, 2003). Sedangkan menurut Linberg (2010) berat badan kering adalah berat badan dimana tidak ada tanda-tanda klinis retensi cairan.

Pembatasan masukan cairan pada pasien dengan gagal ginjal kronik diperlukan perhatian untuk mencegah terjadinya komplikasi. Cairan yang masuk dan keluar harus seimbang baik melalui urine maupun yang keluar tanpa disadari klien (Guyton, 2007). Pemasukan cairan dalam 24 jam yang dianjurkan untuk pasien yang menjalani hemodialisa adalah 500cc (IWL) + produksi urin/24 jam. Sebagai contoh seseorang yang mengeluarkan urin 300 cc/24 jam, maka cairan yang boleh dikonsumsi adalah 500 cc+300 cc = 800 cc/ 24 jam (Malawat, 2001).

4) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IDWG a) Usia

Peningkatan IDWG dapat terjadi pada semua usia, hal ini berhubungan dengan kepatuhan dalam pengaturan


(26)

masukan cairan. Hasil penelitian yang dilakukan Kimmel

et al (2000) menunjukkan bahwa usia merupakan faktor yang kuat terhadap tingkat kepatuhan pasien, dimana pasien dengan usia muda mempunyai tingkat kepatuhan yang rendah dibanding usia yang lebih tua.

b) Jenis Kelamin

IDWG berhubungan dengan perilaku kepatuhan pasien dalam menjalani hemodialisis. Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai faktor resiko yang sama untuk terjadi peningkatan IDWG. Selain faktor kepatuhan, air total tubuh laki-laki membentuk 60% berat badannya, sedangkan air total tubuh dari perempuan membentuk 50% dari berat badannya. Laki-laki memiliki komposisi tubuh yang berbeda dengan perempuan dimana jaringan otot laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan yang memiliki lebih banyak jaringan lemak. Lemak merupakan zat yang bebas air, maka makin sedikitnya lemak akan mengakibatkan makin tinggi presentase air dari berat badan seseorang (Price & Wilson, 2006).

Total air tubuh akan memberikan penambahan berat badan yang meningkat lebih cepat daripada penambahan yang disebabkan oleh kalori. Terkait dengan hal tersebut,


(27)

pada pasien hemodialisis penambahan berat badan diantara dua waktu dialisis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (Worden, 2007)

c) Tingkat pendidikan

Azwar (2011) menyebutkan bahwa terdapat kaitan antara tingkat pendidikan terhadap perilaku positif yang menjadi dasar pengertian atau pemahaman dan perilaku dalam diri seorang individu. Tingkat pendidikan sering dihubungkan dengan pengetahuan, dimana seseorang yang berpendidikan tinggi diasumsikan lebih mudah menyerap informasi sehingga pemberian asuhan keperawatan dapat disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang mencerminkan tingkat kemampuan pemahaman dan kemampuan menyerap edukasi self care.

Pengelolaan IDWG tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, namun dapat juga dihasilkan dari pengetahuan, sikap dan tindakan pasien terhadap pengelolaan diet, cairan yang diperoleh pasien dari pengalaman sendiri atau orang lain dan sumber informasi lain seperti media. Penelitian yang dilakukan Barnet et al

(2007) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak memberikan perbedaan terhadap kemampuan melakukan perawatan mandiri pasien hemodialisis. Pasien


(28)

hemodialisis dapat melakukan perawatan mandiri tanpa dipengaruhi oleh tingkat pendidikan akan tetapi dipengaruhi oleh informasi yang didapat.

Kurangnya pengetahuan tentang GGK terutang tentang IDWG dan pembatasan cairan karena kurangnya informasi dari petugas kesehatan karena dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah tidak memungkinkan untuk mendapatkan informasi dari sumber lain misalnya dari internet ataupun seminar (Istanti, 2011). d) Lama Hemodialisa

Seseorang yang menderita gagal ginjal kronis tahap akhir harus menjalani terapi pengganti ginjal seumur hidup, dan salah satunya adalah dengan hemodialisa. Dalam pengobatan yang memerlukan jangka waktu panjang akan memberikan pengaruh-pengaruh bagi penderita seperti tekanan psikologi. Suryaningsih (2010) menyatakan bahwa pasien gagal ginjal kronik yang telah lama menjalani hemodialisa cenderung memiliki tingkat cemas yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang baru menjalani hemodialisis. Pasien yang sudah lama menjalani hemodialisis kemungkinan sudah dalam fase penerimaan.


(29)

d. Komplikasi Hemodialisa

Berbagai komplikasi hemodialisa merupakan kondisi abnormal yang terjadi pada saat klien menjalani hemodialisa adalah hal yang umum. Komplikasi hemodialisa dapat dibagi menjadi tiga, yaitu komplikasi pre dialisis, komplikasi intradialisis, dan komplikasi post dialisis, yaitu sebagai berikut :

1) Komplikasi pre dialisis

Pasien juga menunjukkan tanda dan gejala sindrom uremia (nilai ureum > 50 mg/dl dan nilai kreatinin > 1,5 mg/dl, terjadi mual dan muntah, dan anoreksia.

2) Komplikasi intradialisis a) Hipotensi

Hipotensi dapat terjadi apabila cairan yang dibuang melebihi pengisian kembali plasma pada pasien. Frekuensi hipotensi intradialisis terjadi 20 – 30 % dialisis. Komplikasi hipotensi intradialisis dapat terjadi selama hemodialisa dan bisa berpengaruh pada komplikasi lain. Komplikasi ini dapat mengakibatkan timbulnya masalah baru yang lebih kompleks antara lain ketidaknyamanan, meningkatkan stres dan mempengaruhi kualitas hidup (Jablonski, 2007).

b) Mual dan muntah

Mual dan muntah dapat berhubungan dengan hipotensi. Mual dan muntah bisa terjadi seblum hipotensi atau


(30)

sebaliknya, sehingga dianjurkan kepada pasien untuk menahan diri untuk tidak makan sampai dialisis selesai c) Kram

Kram merupakan efek samping lain dari intradialisis. Kram disebabkan oleh ultrafiltrasi rate terlalu tinggi karena kecepatan pertukaran cairan.

3) Komplikasi post dialisis

Efek hemodialisa dapat menyebabkan hipotensi, emboli udara, pruritus, gangguan keseimbangan cairan, kram otot, nyeri dada, aritmia, hemodialisis, nyeri kepala, mual dan muntah, pada laki-laki dapat mengakibatkan impotensi (Black & Hawk, 2009).

2. Edukasi Terstruktur Berbasis Theory of Planned Behaviour

a. Pengertian Edukasi

Edukasi merupakan proses interaktif yang mendorong terjadinya pembelajaran, dan pembelajaran merupakan upaya untuk menambah pengetahuan baru, sikap, serta keterampilan melalui penguatan praktisi dan pengalaman tertentu (Potter & Perry, 2009). Salah satu lingkup edukasi adalah edukasi kesehatan yang diberikan kepada pasien. Edukasi kesehatan adalah sesuatu yang penting dalam bidang keperawatan. Edukasi pasien dipengaruhi oleh harapan, pengetahuan serta kebutuhan pasien terhadap edukasi (Johansson et al, 2005).


(31)

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga melakukan apa yang diharapkan oleh pendidik. Dalam konteks kesehatan, maka edukasi diberikan kepada pasien atau keluarganya sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat untuk meningkatkan kesehatannya. Edukasi pasien adalah bagian integral dari asuhan keperawatan. Tindakan tersebut merupakan tanggung jawab perawat untuk mengkaji dan mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran dan sumber-sumber yang akan memperbaiki dan mempertahankan fungsi yang optimal (Delaune & Ladner, 2006).

Edukasi kepada pasien merupakan salah satu dari intervensi keperawatan. Edukasi ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang materi yang berkaitan dengan penyakit, dan membantu pasien untuk mengambil keputusan terkait dengan masalah kesehatan yang dialami. Edukasi banyak didasari oleh kebutuhan belajar pasien dan metode pemberian informasi yang digunakan, yang penekanannya adalah keaktifan pasien terlibat dalam proses edukasi (Johansson et al, 2005).

Terstruktur menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sudah dalam keadaan disusun atau diatur rapi (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Terstruktur juga menunjukkan bahwa materi edukasi disiapkan dengan baik sesuai dengan tujuan yang


(32)

hendak dicapai, dan dengan materi yang tersusun rapi akan memudahkan petugas melakukan intervensi edukasi sehingga lebih optimal dan efektif.

b. Standar Edukasi

Edukasi pasien merupakan bentuk asuhan keperawatan yang berkualitas. Pada tatanan pelayanan keperawatan, edukasi merupakan bagian dari standar praktisi keperawatan profesional. Standar ini mewajibkan perawat dan tim kesehatan untuk menilai kebutuhan pembelajaran pasien dan menyediakan edukasi tentang berbagai topik. Usaha edukasi sebaiknya disertai dengan nilai spiritual, psikososial, dan budaya yang dimiliki pasien (Potter & Perry, 2009).

c. Tujuan Edukasi

Tujuan edukasi kesehatan adalah membantu individu mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Memberikan edukasi adalah salah satu fungsi penting perawat dalam memenuhi kebutuhan pasien terhadap informasi. Tanggung jawab perawat adalah memberikan edukasi kepada pasien dan memberikan informasi terkait dengan kesehatan pasien, agar tercapai kesehatan yang optimal (Delaune & Ladner, 2006).

Edukasi pasien dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien, mencegah penyakit dan injury, meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan dan diet yang dianjurkan. Edukasi pasien pada


(33)

penelitian yang akan dilakukan terkait dengan pembatasan asupan cairan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa. Pembatasan cairan merupakan hal yang kurang dipatuhi oleh sebagian besar pasien yang menjalani hemodialisa.

d. Metode Edukasi

Metode edukasi yang digunakan harus disesuaikan dengan tujuan dan sasaran pembelajaran. Metode edukasi dapat dibagi menjadi 3 yaitu : metode edukasi untuk individual, metode edukasi untuk kelompok, dan metode edukasi untuk massa. Pada edukasi terstruktur, metode yang bisa digunakan adalah metode edukasi individual dan kelompok, seperti yang dijelaskan di bawah ini : 1) Metode Edukasi Individu

Metode ini digunakan untuk memotivasi perilaku baru atau membina individu agar tertarik kepada suatu perubahan perilaku atau inovasi. Bentuk pendekatan ini antara lain dengan bimbingan atau penyuluhan dan wawancara. Pada metode bimbingan atau penyuluhan akan terjadi kontak antara perawat dengan pasien lebih intensif, pasien dibantu dalam menyelesaikan masalahnya. Perubahan perilaku pada pasien akan terjadi dengan sukarela dan dengan kesadaran penuh. Sedangkan pada metode wawancara menggunakan dialog antara perawat dengan pasien untuk menggali informasi tentang penerimaan pasien terhadap perubahan, ketertarikannya


(34)

terhadap perubahan serta sejauh mana pengertian dan kesadaran pasien dalam mengadopsi perubahan perilaku (Notoatmojo, 2007).

2) Metode Edukasi Kelompok

Metode edukasi kelompok perlu memperhatikan besarnya kelompok sasaran dan tingkat pendidikan sasaran. Beberapa metode edukasi kelompok yang dapat digunakan antara lain (Notoatmojo, 2007) :

a) Ceramah

Ceramah digunakan untuk kelompok besar, yang perlu diperhatikan dari metode ini adalah penguasaan materi yang disampaikan dan penyampaian yang menarik serta tidak membosankan, kemudian pelaksana harus menguasai sasaran yang meliputi sikap, suara cukup keras dan jelas, pandangan tertuju kepada peserta, posisi berdiri, dan sebaiknya menggunakan alat bantu lihat atau menggunakan audio visual.

b) Diskusi

Diskusi lebih tepat untuk kelompok kecil, dan kelompok dapat bebas berpartisipasi dalam diskusi serta bebas mengeluarkan pendapat.


(35)

c) Curah pendapat

Curah pendapat (brain storming) merupakan modifikasi dari metode diskusi. Pada metode ini peserta diberikan satu masalah dan kemudian dilakukan curah pendapat.

e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Edukasi

Prinsip edukasi yang harus diperhatikan oleh perawat dalam memberikan intervensi edukasi antara lain :

1) Faktor individu

Setiap individu atau pasien memiliki kapasitas masing-masing untuk belajar. Kemampuan belajar bervariasi antara satu dengan yang lainnya (Delaune & Ladner, 2006). Faktor kondisi individu dalam hal ini yaitu kondisi fisiologi seperti kondisi panca indera (terutama pendengaran dan penglihatan), dan kondisi fisiologi. Sedangkan kondisi psikologis misalnya intelegensi, pengamatan, daya tangkap, ingatan, dan motivasi. (Potter & Perry, 2009).

2) Perhatian

Pada saat proses belajar, individu harus mampu berkonsentrasi pada informasi yang akan dipelajari. Kemampuan ini akan dipengaruhi oleh gangguan fisik, kegelisahan, dan faktor lingkungan (Potter & Perry, 2009).


(36)

3) Motivasi

Motivasi merupakan suatu kekuatan yang beraksi yang ada di dalam diri seseorang (emosi, ide, semangat yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu) (Delaune & Ladner, 2006).

4) Teori pembelajaran

Penggunaan teori pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan pasien akan membantu edukasi yang efektif. Salah satu teori yang efektif dalam merubah perilaku adalah Theory of Planned Behaviour atau perilaku terencana (TPB).

5) Adaptasi psikososial terhadap penyakit

Kesiapan belajar atau menerima informasi terkait dengan kesehatan biasanya berhubungan dengan kondisi psikososial pasien. Pasien akan mengalami kesulitan untuk belajar atau menerima informasi apabila mereka tidak bersedia atau tidak mampu menerima kenyataan tentang penyakit (Potter & Perry, 2009).

6) Lingkungan

Lingkungan yang kondusif dapat membantu pasien untuk fokus pada pembelajaran. Faktor lingkungan dalam hal ini adalah lingkungan fisik yang terdiri dari suhu, kelembapan udara, dan kondisi tempat belajar, serta lingkungan sosial, yaitu manusia dengan segala interaksinya (Notoatmojo, 2007).


(37)

f. Teori Pembelajaran

Proses edukasi dapat dilakukan perawat dengan menggunakan teori pembelajaran. Ada berbagai teori tentang bagaimana orang belajar. Berikut ini akan dibahas terkait dengan teori pembelajaran yang dapat digunakan dalam keperawatan yaitu teori sosial kognitif dan Theory of Planned Behaviour, yaitu :

1) Teori Sosial Kognitif

Di dalam teori sosial kognitif perilaku diatur oleh mekanisme internal. Teori sosial kognitif merupakan salah satu teori yang menggunakan pendekatan karakteristik pelajar dan edukator dalam menetapkan intervensi pembelajaran yang efektif, dan harapannya akan menghasilkan peningkatan pembelajaran dan motivasi. Teori sosial kognitif terdapat tiga faktor yang berperan penting dalam pembelajaran yaitu perilaku, person, dan lingkungan. Proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagi model merupakan tindakan belajar (Bandura, 2000).

2) Theory of Planned Behaviour

Teori ini berawal dari ketertarikan dua orang profesor dalam bidang psikologi sosial terhadap peran sikap dalam mempengaruhi perilaku. Icek Ajzen adalah seorang profesor psikologi yang telah banyak menulis artikel dan buku, dan salah satunya adalah menulis teori yang mendasari seseorang dalam


(38)

mengambil perilaku yaitu Theory of Reasoned Action (TRA) yang dikembangkannya pada tahun 1967, kemudian teori tersebut berkembang dan dilakukan perbaikan. Teori tentang perilaku ini dimodifikasi oleh Ajzen (1988) dan dinamai Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behaviour) (Ajzen & Fishben, 2005).

Inti teori ini mencakup tiga hal yaitu keyakinan tentang kemungkinan hasil dan evaluasi dari perilaku tersebut (behavioural belief), keyakinan tentang norma yang diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative belief), serta keyakinan tentang adanya faktor yang dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran akan kekuatan faktor tersebut (control belief). Behavioural beliefs

menghasilkan sikap suka atau tidak suka berdasarkan perilaku individu tersebut (attitude toward the behaviour). Normative beliefs menghasilkan kesadaran akan tekanan dari lingkungan sosial dan norma subyektif (subjective norm), sedangkan control beliefs menimbulkan kontrol terhadap perilaku tersebut (perceived behavioural control). Dalam perpaduannya, ketiga faktor tersebut menghasilkan intensi perilaku (behaviour intention). Secara umum, apabila sikap dan norma subyektif menunjukkan ke arah positif serta semakin kuat kontrol yang dimiliki maka akan lebih besar kemungkinan seseorang akan


(39)

cenderung melakukan perilaku tersebut (Ajzen & Fishbein, 2005).

Faktor-faktor yang mempengaruhi intention menurut Ajzen & Fishbein (2005) dalam Margaretta (2015) terdiri atas faktor personal yaitu sikap umum terhadap seseorang terhadap sesuatu, sifat kepribadian (personality traits), nilai hidup (values), emosi dan kecerdasan yang dimilikinya. Faktor yang kedua adalah faktor sosial antara lain usia, jenis kelamin (gender), etnis, pendidikan, penghasilan, dan agama, dan terakhir faktor yang ketiga adalah faktor informasi.

Teori ini digunakan untuk mempelajari perilaku manusia dan untuk mengembangkan intervensi-intervensi yang lebih tepat. Teori ini dapat diaplikasikan ke semua bidang termasuk kesehatan. Penelitian yang pernah dilakukan antara lain oleh Higgins & Marcun (2005) yang meneliti apakah TPB dapat menjadi mediasi untuk mengatasi rendahnya kontrol diri dari pengguna alkohol, kemudian penelitian dari McMillan, Higgins & Corner, 2005 dalam Sharma & Kanekar (2007) yang meneliti bahwa sikap, norma subyektif, dan perceived behavioural control dapat mempengaruhi perilaku merokok pada anak sekolah. Penelitian penerapan TPB juga dilakukan oleh Rashidian & Rusel (2012) bahwa penggunaan TPB sangat membantu dalam niat (intention) dalam memahami resep dokter,


(40)

hal ini dapat membantu dalam mempromosikan penggunaan profilaksis kortikosteroid inhaler dan mencegah gejala asma kronis dan efek sampingnya.

Theory of Planned Behaviour (TPB) didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan menggunakan informasi-informasi yang diperlukan dengan sistematis. Orang memikirkan implikasi dari tindakan yang sudah dilakukan dan memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku-perilaku tertentu.

g. Media Edukasi

Proses edukasi pasien merupakan suatu interaksi yang terencana yang mempunyai tujuan agar pasien memiliki kemampuan untuk memilih perilaku yang paling baik bagi kesehatannya (Delaune & Ladner, 2006). Dengan menggunakan intervensi terencana, maka edukasi membutuhkan persiapan media di dalam pelaksanaannya. Menurut Notoatmojo (2007) media edukasi kesehatan merupakan alat-alat atau media yang merupakan sarana untuk menyampaikan informasi.

Edukasi juga membutuhkan persiapan media dalam pelaksanaannya sehingga dapat meningkatkan efektifitas edukasi. Secara umum orang mempergunakan tiga metode dalam belajar yaitu visual, auditory, dan kinesthetic. Panca indera yang sering terlibat adalah pendengaran, penglihatan, dan perabaan, tetapi dari


(41)

ketiganya indera penglihatan adalah yang paling dominan. Oleh karena itu media edukasi yang utama adalah yang bisa dilihat. Media edukasi yang dapat dipergunakan adalah media cetak (leaflet,

flipchart, booklet, poster), media elektronik (film, televisi, slide), media papan atau bilboard (Notoatmojo, 2007).

Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah booklet yaitu media yang berbentuk buku kecil yang berisi tulisan atau gambar atau keduanya. Sasaran booklet adalah masyarakat yang dapat membaca. Isi booklet harus jelas, tegas dan mudah dimengerti. Ukuran booklet biasanya bervariasi mulai dari tinggi 8 cm sampai 13 cm. Booklet sering digunakan sebagai salah satu pilihan media promosi atau edukasi kesehatan karena booklet memiliki beberapa kelebihan yaitu informasi yang disampaikan dalam booklet dapat lebih terperinci dan jelas sehingga lebih banyak hal yang bisa diulas tentang informasi yang disampaikan, booklet dapat disimpan lama, sasaran dapat menyesuaikan diri dan dapat belajar mandiri, isi dapat dicetak kembali, booklet merupakan media cetak sehingga biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan dengan menggunakan media audio visual, mudah dibawa dan dapat dibaca kembali apabila pembaca lupa tentang informasi yang terdapat di dalam booklet


(42)

h. Peran Perawat di Unit Hemodialisis

Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, yang sesuai kedudukannya di dalam suatu sistem dan dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar profesi keperawatan dan bersifat konstan. Perawat berperan dalam meningkatkan kesehatan dan pencegahan penyakit serta memandang klien secara komprehensif (Kallenbach

et al, 2005; Brunner & Suddarth, 2002).

Peran perawat sebagai care provider yaitu memberikan asuhan keperawatan agar pasien memperoleh kesembuhan dari penyakitnya. Perawat di unit hemodialisis diharapkan dapat memberikan informasi dan pelayanan dalam melakukan pengelolaan pada pasien yang menjalani hemodialisa agar terhindar dari komplikasi lebih lanjut. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan khususnya pada pasien dengan hemodialisis diharapkan mampu mengelola semua aspek klinis pada pasien, sehingga seorang perawat dialisis harus memiliki pemikiran kritis dan pengetahuan yang maju (Johansson et al, 2005; Kallenbach et al, 2005).

Peran perawat sebagai manager, dimana perawat mampu untuk berperan dalam mengkoordinasikan anggota tim kesehatan. Pada pasien yang menjalani hemodialisa, memiliki kemungkinan adanya penyakit penyerta atau komplikasi sehingga penanganan pasien


(43)

dilakukan secara tim, dimana perawat sebagai manager mampu melakukan koordinasi dengan petugas kesehatan lainnya serta mengatur sumber yang tersedia dan mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi tenaga kesehatan lainnya (Kallenbac et al, 2005). Perawat sebagai pendidik (educator) yaitu sebagai pendidik klien dan keluarga. Perawat sebagai educator harus mempunyai latar belakang pengalaman klinis dan pengetahuan teoritis. Pengetahuan terkait penyakit gagal ginjal kronik dan terapi hemodialisa merupakan hal yang penting. Banyak pasien yang belum mendapatkan informasi tentang perawatan akses vaskuler, diet tentang nutrisi dan cairan. Perawat dapat memberikan penyuluhan kesehatan terkait dengan pembatasan asupan cairan pada pasien yang menjalani hemodialisa (Dikti, 2012; Kallenbac et al, 2005).

Perawat berperan sebagai communicator, dimana perawat dalam memberikan asuhan keperawatan mencakup komunikasi dengan pasien, keluarga, antar sesama perawat dan profesi kesehatan yang lainnya. Kualitas komunikasi merupakan faktor yang penting dalam memenuhi kebutuhan individu, keluarga, dan masyarakat. Perawat dapat memberikan informasi kepada pasien tentang pengaturan cairan dan pola makan pada pasien dengan melibatkan keluarga (Potter & Perry, 2009). Perawat sebagai peneliti (researcher) yaitu melakukan penelitian di dalam bidang


(44)

keperawatan, menerapkan hasil kajian ilmu keperawatan untuk mewujudkan Evidenced Based Nursing Practice (EBNP) (Dikti, 2012).

Edukasi diberikan pada pasien dan keluarga, dengan tujuan pasien dan keluarga dapat mengambil keputusan yang tepat untuk memperbaiki kesehatannya (Delaune & Ladner, 2006). Memberikan edukasi adalah salah satu tugas dari perawat dalam memenuhi kebutuhan pasien terhadap informasi kesehatannya. Perawat mempunyai tanggung jawab untuk memberikan informasi kepada pasien dan keluarga terkait dengan status kesehatannya, dengan tujuan apabila pasien dan keluarga memperoleh informasi dan pengetahuan tentang kesehatannya, maka akan mencapai kesehatan yang optimal (Johansson et al, 2005).

3. Pengaruh Edukasi Terstruktur Berbasis Theory of Planned Behaviour

Tentang Asupan Cairan Terhadap Nilai IDWG Pasien Hemodialisa Kepatuhan dalam menjalani pembatasan asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Perawat dapat memberikan edukasi mengenai aturan yang dipakai untuk menentukan jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL). Apabila pasien tidak patuh dalam menjalankan pembatasan asupan cairan, hal ini akan menimbulkan kelebihan cairan, dan terjadinya penambahan berat badan dengan cepat diantara waktu dialisis. Pembatasan cairan mempunyai


(45)

tujuan untuk mengurangi kelebihan cairan pada periode interdialitik. (Jeager & Mehta, 2009; Tovazzi & Mazzoni, 2012; Ashley & Morlidge, 2008).

Beberapa pasien mengalami kesulitan dalam membatasi asupan cairan yang masuk, namun mereka tidak mendapatkan pemahaman tentang bagaimana strategi yang dapat membantu mereka dalam pembatasan cairan. Untuk pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, asupan cairan harus diatur sehingga berat badan yang diperoleh tidak lebih dari 2 kg diantara waktu dialisis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 60% sampai dengan 80% pasien meninggal akibat kelebihan masukan cairan pada periode interdialitik, sehingga monitoring masukan asupan cairan pada pasien merupakan tindakan yang harus diperhatikan oleh perawat. Meskipun pasien sudah mengerti bahwa kegagalan dalam pembatasan cairan dapat berakibat fatal, namun sekitar 50% pasien yang menjalani terapi hemodialisis tidak mematuhi pembatasan cairan yang direkomendasikan. (Barnett, Li, Pinikahana & Si, 2007; Daurgirdas, et al, 2007).

Pembatasan cairan merupakan salah satu terapi yang diberikan bagi pasien gagal ginjal kronik tahap akhir yang menjalani hemodialisa sebagai pencegahan dan merupakan terapi terhadap kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Jumlah cairan yang ditentukan setiap harinya bagi pasien juga tergantung dari fungsi ginjal, adanya edema, dan haluaran urine pasien. Ketidakpatuhan dalam


(46)

pengaturan cairan cairan akan mengakibatkan kenaikan Interdialytic Weight Gain (IDWG) yang berlebihan antara 10% sampai dengan 60% dengan prevalensi kejadian berada pada rentang 30 % sampai dengan 74%. Kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan diukur dengan menggunakan IDWG dengan cara menimbang berat badan pasien sebelum dialisis, kemudian dikurangi berat badan post dialisis dari sesi dialisis sebelumnya dibagi dengan berat badan kering (Istanti, 2014; Linberg, 2010; Denhaerynck, et al, 2007).

Pemberian edukasi diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pasien antara lain membantu pasien untuk mengenali permasalahan kesehatan yang dihadapi serta mendorong pasien untuk mencari dan memilih cara pemecahan masalah yang paling sesuai (Cornelia et al, 2013). Perawat dapat mengingatkan pasien untuk mengatur asupan cairan setiap harinya dengan mengukur jumlah cairan yang akan dikonsumsi ke dalam gelas ukur setiap kali minum. Menganjurkan pasien untuk menggunakan cangkir kecil atau gelas kecil saat minum (Ashley & Morlidge, 2008).

Edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour ini diharapkan dapat mempengaruhi intention (niat atau kehendak) pasien dalam menjalani diet cairan. Intention diperlukan bagi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dalam melakukan pembatasan asupan cairan. Intention seorang pasien yang menjalani hemodialisa dipengaruhi oleh bagaimana sikap pasien hemodialisis dalam


(47)

menjalankan diet cairan, bagaimana persepsi pasien terhadap harapan-harapan dari orang yang signifikan baginya, dan bagaimana persepsi pasien terhadap faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam menjalani pembatasan asupan cairan. Dengan diberikan edukasi terstruktur, diharapkan pasien mampu untuk menentukan, melaksanakan dan mentaati diet pembatasan asupan cairan sehari-hari sehingga tidak terjadi kenaikan berat badan interdialitik (Fishben & Azjen, 2005 ; Azwar, 2015).


(48)

Sumber : Price & Wilson (2006) ; Suwitra (2006) ; Ajzen & Fishbein (2005)

Normative Belief

- Motivasi - Harapan

Behaviour Belief

-Manfaat atau konsekuensi dari perilaku -Penilaian individu tentang hasil dari perilakunya Control Belief

-Faktor pendukung -Faktor penghambat Gagal Ginjal Kronik Aktifasi sistem renin, angiotensin, aldosteron Angiotensin II Hipotalamus Rasa haus Intake cairan

berlebihan Komplikasi :

- Sesak nafas

- Edema - Hipertensi Kurang pengetahuan Pembatasan cairan Hemodialisis

Peran Perawat : 1. Educator

2. Care Provider 3. Communicator 4. Manager 5. Researcher

Faktor yang mempengaruhi intention : 1. Faktor personal

2. Faktor sosial 3. Faktor informasi

Melaksanakan

pembatasan asupan cairan Pengontrolan IDWG

Intention

Edukasi Terstruktur Asupan cairan

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Faktor yang mempengaruhi IDWG : 1. Usia

2. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pendidikan 4. Lama Hemodialisa


(49)

C. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep D. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah ada pengaruh edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour tentang asupan cairan terhadap nilai

Interdialytic Weight Gain (IDWG) pasien hemodialisa. Edukasi terstruktur berbasis

Theory of Planned Behaviour

tentang asupan cairan

IDWG

Variabel Counfonding

- Usia

- Jenis kelamin - Tingkat pendidikan - Lama hemodialisa


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan desain quasy eksperimental dengan rancangan pretest-posttest with control group.

Rancangan dapat diilustrasikan sebagai berikut :

R1 : 01 X1 02 R

R2 : 01 X0 02

Gambar 3.1 Desain penelitian Keterangan :

R : Responden penelitian

R1 : Responden kelompok intervensi R2 : Responden kelompok kontrol

01 : Pre test pada kedua kelompok sebelum perlakuan 02 : Post test pada kedua kelompok setelah perlakuan

X1 : Intervensi edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour yang diberikan pada kelompok intervensi

X0 : Kelompok kontrol diberikan booklet

Kelompok intervensi Kelompok kontrol


(51)

B. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien yang menjalani hemodialisis secara rutin dengan rawat jalan di unit hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul. Jumlah pasien yang menjalani hemodialisis rutin di Rumah Sakit Umum Daerah Senopati Bantul sebanyak 160 pasien. Kemudian dari 160 populasi target, dilakukan sreening untuk menentukan populasi terjangkau yang sesuai dengan kriteria inklusi yaitu 98 pasien.

2. Sampel

Sampel merupakan objek yang diteliti dan dianggap mewakili dari keseluruhan populasi. Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi responden adalah sebagai berikut : 1. Pasien yang bersedia menjadi responden

2. Pasien yang menjalani hemodialisa 2 kali dalam seminggu sesuai jadwal dengan lama hemodialisa 4-5 jam

3. Dapat ditimbang berat badannya dengan berdiri

4. Pasien yang mengalami kenaikan Interdialytic Weight Gain


(52)

5. Pasien yang minimal sudah menjalani hemodialisa sebanyak 3 kali

6. Pasien yang berusia 20 - 60 tahun

7. Pasien mampu berkomunikasi secara verbal 8. Mampu membaca dan menulis

b. Kriteria Eksklusi

1. Pasien yang tidak kooperatif

2. Pasien yang mengalami komplikasi penyakit lain yang tidak terkontrol pada saat intradialisa.

3. Pasien yang menjalani hemodialisa diluar jadwal yang ditentukan

Jumlah sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel menurut Dipiro et al (2008) yaitu sebagai berikut :

Keterangan :

n : Jumlah sampel

Zcrit : Nilai berdasarkan ketepatan untuk kriteria signifikansi yang diharapkan, ditetapkan sebesar 5% (hipotesis dua arah) =1,96 (Dharma, 2011)

Zpwr : Nilai berdasarkan ketepatan untuk kekuatan statistik yang di harapkan, ditetapkan sebesar 95% = 1.645 (Dharma, 2011)


(53)

: Estimasi variant kedua kelompok (diasumsikan sama untuk dua kelompok)

: Perbedaan minimum yang diharapkan antara dua mean (effect size)

Perhitungan jumlah sampel dalam penelitian ini mengikuti rumus diatas dengan:

a. Minimum expected difference (D) 0,8 b. Estimated standard deviation (

c. Desired power 0,95 d. Zcrit 0,05 = 1,960 e. Zpwr 0,95 = 1,645

Maka besar sampel yang dibutuhkan adalah :

= 20,306 = 20

Besar sampel dalam penelitian ini adalah 20 sampel pada setiap kelompok, sehingga jumlah keseluruhan sampel berjumlah 40 sampel. Pada penelitian ini peneliti menambahkan 10% dari total sampel untuk menghindari kemungkinan terjadinya drop out

selama penelitian, sehingga total sampel dalam penelitian ini berjumlah 44 responden, yang terdiri dari 22 responden kelompok intervensi dan 22 responden kelompok kontrol.


(54)

Pasien yang menjalani hemodialisa secara rutin memiliki jadwal hemodialisa yang tetap yaitu pasien yang menjalani hemodialisa hari Senin, maka jadwal selanjutnya adalah hari Kamis kemudian pasien yang menjalani hemodialisa hari Selasa, maka jadwal berikutnya adalah hari Jumat, dan pasien yang menjalani hemodialisa hari Rabu, untuk jadwal berikutnya adalah hari Sabtu. Dalam satu hari terdapat tiga shift pelaksanaan hemodialisa yaitu

shift pagi, shift siang, dan shift sore.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di unit Hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul.

2. Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2016 di unit Hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour tentang asupan cairan.


(55)

2. Variabel Terikat (Dependent Variable)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pengontrolan

Interdialytic Weight Gain (IDWG)

3. Variabel Pengganggu (Counfonding Variable)

Variabel pengganggu dalam penelitian ini yaitu karakteristik responden yang diukur pada penelitian seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama hemodialisa.


(56)

Definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 3.1

Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Variabel

Independent

Edukasi terstruktur

berbasis Theory

of Planned

Behavioural

tentang asupan cairan

Pemberian informasi tentang penyakit dan diet cairan pasien gagal ginjal kronik dengan desain menggunakan

Theory of Planned Behaviour

meliputi behavioural beliefs, normative beliefs, dan control beliefs, dari ketiga pendekatan tersebut bertujuan agar pasien dengan gagal ginjal kronik memiliki pemahaman penyakit, memiliki kepatuhan dalam menjalankan diet cairan serta mempunyai niat dan keyakinan yang positif terhadap masalah kesehatan yang dialami.

Theory of Planned Behaviour yang meliputi :

1. Behaviour belief

(manfaat atau konsekuensi dari perilaku, penilaian individu tentang hasil dari perilakunya)

2. Normative belief

(motivasi dan harapan)

3. Control belief (faktor pendukung dan faktor penghambat)

Materi edukasi meliputi :

1. Pengelolaan pembatasan asupan cairan

2. Tujuan dan manfaat pembatasan asupan cairan

3. Tanda-tanda kelebihan cairan di dalam tubuh

4. Menghitung jumlah cairan yang


(57)

Cairan Tubuh

6. Memantau berat badan Variabel

Dependent Interdialytic Weight Gain

(IDWG)

Peningkatan berat badan antara dua waktu hemodialisa yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan pasien.

Timbangan Berat Badan Digital Skor IDWG dalam %

Rasio

Variabel

Counfounding Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Usia Bilangan tahun responden yang dihitung dalam tahun sejak lahir sampai dengan ulang tahun terakhir

Kuesioner tentang usia 1. < 30 tahun 2. 31 – 40 tahun 3. 41 – 50 tahun 4. > 50 tahun

Ordinal

Jenis Kelamin Penggolongan menurut ciri-ciri biologis yang dibagi menjadi laki-laki dan perempuan

Kuesioner tentang jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan

Nominal

Pendidikan Pendidikan formal responden yang terakhir berdasarkan ijazah

Kuesioner tentang tingkat pendidikan 1. SD 2. SMP 3. SMA 4. Perguruan Tinggi Ordinal Lama Hemodialisa

Lama waktu sejak pertama kali pasien menjalani hemodialisis hingga saat ini

Kuesioner tentang lama hemodialisa 1. < 12 bulan 2. 12 – 24 bulan 3. > 24 bulan


(58)

F. Instrumen Penelitian

Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian yaitu alat yang digunakan untuk mengumpulkan data (Nursalam, 2013). Berikut ini adalah instrumen yang digunakan dalam penelitian :

1. Instrumen karakteristik responden

Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan lama hemodialisa menggunakan kuesioner.

2. Instrumen edukasi

Instrumen edukasi menggunakan booklet yang disusun oleh peneliti, yang berisi tentang pengelolaan pembatasan asupan cairan, tujuan dan manfaat pembatasan asupan cairan, tanda-tanda kelebihan cairan di dalam tubuh, menghitung jumlah cairan yang boleh dikonsumsi setiap hari, cara menjaga keseimbangan cairan tubuh, memantau berat badan. Edukasi didasarkan pada teori pembelajaran perilaku terencana dengan tiga prinsip keyakinan yaitu keyakinan tentang kemungkinan manfaat atau konsekuensi dari perilaku tersebut (behavioural beliefs), keyakinan tentang norma yang diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs), serta keyakinan tentang adanya faktor yang dapat mendukung atau menghalangi perilaku kesadaran akan faktor tersebut (control beliefs).


(59)

3. Instrumen Keyakinan

Kuesioner lembar isian data keyakinan dibuat dengan menggunakan pendekatan Theory of Planned Behaviour (TPB) yang dibuat oleh peneliti. Diperoleh 28 pertanyaan instrumen yang terdiri dari variabel keyakinan yaitu variabel yang merupakan kekuatan tentang keyakinan bahwa dengan mematuhi pembatasan asupan cairan akan memperoleh manfaat dengan skor rendah 7-14, sedang 15-21, tinggi 22-28, dan sangat tinggi 29-35. Variabel evaluasi yaitu variabel yang menunjukkan bahwa dengan mematuhi pembatasan asupan cairan akan memberikan hasil yang baik dengan skor rendah 7-14, sedang 15-21, tinggi 22-28, dan sangat tinggi 29-35. Untuk variabel keyakinan normatif yaitu variabel yang menunjukkan bahwa keluarga atau teman menyarankan untuk mematuhi pembatasan asupan cairan dengan skor rendah 4-8, sedang 9-12, tinggi 13-16, sangat tinggi 17-20.

Variabel motivasi yaitu variabel yang digunakan untuk menjalankan kepatuhan pembatasan asupan cairan dengan saran keluarga, teman atau kelompok dengan skor rendah 4-8, sedang 9-12, tinggi 13-16, sangat tinggi 17-20. Variabel akses ke kontrol yaitu suatu penilaian bahwa untuk mematuhi pembatasan asupan cairan itu mudah dan tidak sulit dengan skor rendah 3-6, sedang 7-9, tinggi 10-12, dan sangat tinggi 13-15. Variabel keyakinan kontrol yaitu merupakan keyakinan yang berdasarkan pengalaman tentang adanya sumber-sumber peluang seperti informasi dan fasilitas yang diperlukan untuk


(60)

mematuhi diet cairan dengan skor rendah 3-6, sedang 7-9, tinggi 10-12, dan sangat tinggi 13-15. Jawaban menggunakan skala likert dengan 5 jawaban yaitu sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.

4. Pengukuran Interdialytic Weight Gain (IDWG)

Pengukuran Interdialytic Weight Gain (IDWG) menggunakan timbangan berat badan digital yang sudah dikalibrasi. Pengukuran berat badan dilakukan oleh asisten peneliti 1 orang yaitu seorang perawat.

G. Uji Validitas dan Reliabilitas 1. Uji Validitas

Validitas adalah keandalan instrumen dalam mengumpulkan data dan dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Suatu instrumen yang valid dan sahih mempunyai validitas yang tinggi, sebaliknya instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas yang rendah (Nursalam, 2013). Di dalam penelitian ini, uji validitas dilakukan di RS PKU Muhammadiyah I Yogyakarta dengan 30 responden yang berada di unit hemodialisa.

Instrumen keyakinan disusun sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada kuesioner yang telah dinyatakan valid dan reliabel dengan nilai koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,95. Dalam penelitian ini peneliti menguji kembali instrumen yang telah disusun dengan menggunakan


(61)

kemudian dibandingkan dengan tabel nilai product moment. Item pertanyaan dinyatakan valid karena r hitung > r tabel.

Teknik yang dipakai adalah Pearson Product Moment dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

r : korelasi antara variabel X dan Y X : skor tiap item

Y : skor total

n : banyaknya subyek 2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas menunjukkan kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan dengan menggunakan suatu instrumen yang diukur berkali-kali dalam waktu yang berbeda (Nursalam, 2013). Setelah semua pertanyaan valid analisis selanjutnya dilakukan dengan uji reliabilitas.

Reliabilitas menunjukkan pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Uji reliabilitas dilakukan menggunakan Alpha Cronbach (Arikunto, 2006), dengan rumus sebagai berikut :


(62)

Keterangan :

= reliabilitas instrumen

k = banyaknya butir soal pertanyaan atau banyaknya soal = jumlah varian butir

= varian total

Kuesioner dinyatakan memiliki reliabilitas tinggi apabila nilai

Alpha Cronbach > 0,6 (Riyanto, 2011). Untuk uji reliabilitas pada kuesioner keyakinan didapatkan nilai Alpha Cronbach > 0,60 yang berarti kuesioner tersebut reliabel.

H. Cara Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Tahap persiapan

Tahap persiapan dalam penelitian diantaranya mengurus surat ijin studi pendahuluan untuk melakukan studi pendahuluan di Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul. Melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan acuan penelitian serta konsultasi dengan pembimbing untuk mendapatkan masukan-masukan. Peneliti melakukan screening awal untuk mengetahui jumlah responden yang mengalami peningkatan interdialitik lebih dari 1,5 kg.


(63)

2. Tahapan Pemilihan Sampel

Responden yang memenuhi kriteria inklusi diberikan penjelasan tentang prosedur penelitian dan keuntungan serta kerugian penelitian. Jika responden menyetujui untuk mengikuti penelitian maka responden diberi lembar persetujuan untuk ditandatangani.

3. Tahap pelaksanaan

a. Pada tahap pelaksanaan penelitian meliputi pengumpulan data oleh peneliti

b. Tahap selanjutnya, sebelum peneliti membagikan kuesioner data demografi kepada responden, peneliti menjelaskan tujuan serta prosedur penelitian kepada responden. Jika responden telah mengerti dan bersedia menjadi responden dalam penelitian ini, maka responden diminta menandatangani informed consent .

c. Sampel yang diambil sebanyak 44 sampel yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok intervensi 22 sampel dan kelompok kontrol 22 sampel. Pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan pre test dengan dilakukan pengukuran

Interdialytic Weight Gain (IDWG). Kelompok intervensi mendapatkan edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour dan kelompok kontrol diberikan booklet.

d. Edukasi terstruktur diberikan 2 kali pertemuan dan masing-masing pertemuan selama 30 menit pada kelompok intervensi. Responden pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol diberikan booklet


(64)

sebagai panduan. Setelah diberikan edukasi, kelompok intervensi diberikan kuesioner keyakinan yang dibuat oleh peneliti sendiri. Kuesioner keyakinan dibuat dengan pendekatan Theory of Planned Behaviour. Pada minggu terakhir penelitian dilakukan post test

yaitu dengan mengukur Interdialytic Weight Gain (IDWG) pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Tidak terdapat responden yang drop out selama penelitian dilaksanakan.


(1)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 56

Tabel 3.2 Uji Statistik Analisis Bivariat ... 69

Tabel 4.1 Distribusi Responden Menurut Umur ... 71

Tabel 4.2 Distribusi Jenis Kelamin Responden... 72

Tabel 4.3 Distribusi Tingkat Pendidikan Responden ... 72

Tabel 4.4 Distribusi Lama Hemodialisa Responden ... 73

Tabel 4.5 Keyakinan... 74

Tabel 4.6 Uji Normalitas Data ... 75

Tabel 4.7 Uji Homogenitas Umur, IDWG, lama HD ... 76

Tabel 4.8 Uji Homogenitas Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan ... 77

Tabel 4.9 Hubungan Umur Dengan IDWG... 78

Tabel 4.10 Perbedaan Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan Dengan IDWG .. 79

Tabel 4.11 Perbedaan Lama HD Dengan IDWG ... 80

Tabel 4.12 Perbedaan IDWG Pre dan Post Intervensi ... 81


(2)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Teori ... 48

Gambar 2.2 Kerangka Konsep ... 49

Gambar 3.1 Desain Penelitian ... 50


(3)

xii

DAFTAR SINGKATAN

IDWG : Interdialytic Weight Gain TPB : Theory of Planned Behaviour IWL : Insensible Water Loss

LFG : Laju Filtrasi Glomerulus BUN : Blood Urea Nitrogen TRA : Theory of Reasoned Action


(4)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Permohonan Responden ... 108

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Responden ... 109

Lampiran 3 Kuesioner Karakteristik Responden ... 110

Lampiran 4 Lembar Monitoring Berat Badan Pasien Hemodialisa ... 111

Lampiran 5 Pelaksanaan Edukasi Terstruktur ... 107

Lampiran 6 Kuesioner Keyakinan ... 112

Lampiran 7 Hasil SPSS ... 116

Lampiran 8 Data Penelitian... 122

Lampiran 8 Surat Ijin Studi Pendahuluan ... 125

Lampiran 9 Surat Kelayakan Etik Penelitian ... 126

Lampiran 10 Surat Ijin Penelitian dari Bappeda ... 127

Lampiran 11 Surat Ijin Penelitian ... 128

Lampiran 11 Surat Ijin Validitas ... 129

Lampiran 11 Surat Keterangan Pengujian ... 130

Lampiran 12 Validasi Booklet ... 131


(5)

xiv ABSTRAK

APLIKASI THEORY OF PLANNEDBEHAVIOUR TERHADAP NILAI

INTERDIALYTIC WEIGHT GAIN PASIEN HEMODIALISA

Irma Mustika Sari1, Arlina Dewi2, Rahmah3

1Program Studi Magister Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

irmamustika_sari25@yahoo.com

2Program Studi Magister Manajemen Rumah Sakit, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

3Program Studi Magister Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Latar belakang : Penyakit gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal yang progesif dan irreversible. Keberhasilan dalam menjalankan terapi hemodialisa salah satunya berdasarkan dari kepatuhan pasien dalam pembatasan asupan cairan. Pemberian edukasi terstruktur penting untuk diperhatikan pada pengelolaan pasien gagal ginjal kronik.

Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh edukasi terstruktur berbasis Theory of Planned Behaviour tentang asupan cairan terhadap nilai IDWG pasien hemodialisa

Metode : Penelitian ini adalah penelitian quasy eksperiment dengan menggunakan metode pretest posttest with control group design. Sampel dalam penelitian adalah pasien yang menjalani hemodialisa secara rutin di RSUD Panembahan Senopati Bantul sebanyak 44 orang dengan purposive sampling. Analisis bivariat menggunakan paired t-test, Independent t-test, and Regression Linear.

Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa edukasi terstruktur berpengaruh terhadap nilai Interdialytic Weight Gain (IDWG) dengan nilai p value 0,007. Kesimpulan : Ada pengaruh edukasi berbasis Theory of Planned Behaviour tentang asupan cairan terhadap nilai IDWG pasien hemodialisa.

Kata Kunci : Edukasi, Hemodialisa, Interdialytic Weight Gain, Theory of Planned Behaviour


(6)

xv ABSTRACT

APPLICATION THEORY OF PLANNED BEHAVIOUR TOWARDS VALUE OF INTERDIALYTIC WEIGHT GAIN (IDWG) TO PATIENTS WITH

HEMODIALYSIS

Irma Mustika Sari1, Arlina Dewi2, Rahmah3

1Master of Nursing Program, University of Muhammadiyah Yogyakarta irmamustika_sari25@yahoo.com 2 Master of Hospital Management Study Program, University of Muhammadiyah Yogyakarta

3Master of Nursing Study Program, University of Muhammadiyah Yogyakarta

Background of study: Chronic Kidney Disease is a progressive failure of renal

function and irreversible. A successfull in running hemodialysis therapy is based on patients obedience in fluid intake restriction. Providing structured education is important to note in the management of patients with chronic renal failure.

Objective: To determine the influence of structured education based on Theory of

Planned Behaviour about fluid intake towards value of IDWG patients with hemodialysis.

Methodology: Research design was quasy experiment with pre-test post-test with

Control group design. Sample were patients undergoing hemodialysis regularly in RSUD Panembahan Senopati Bantul as many as 44 respondents using purposive sampling. Analysis of statistic used paired t-test, Independent t-test, and Regression Linear.

Result: Result showed that structured education influenced towards Interdialytic

Weight Gain (IDWG) with value 0,007.

Conclusion: There was influenced of education based on Theory of Planned

Behaviour about fluid intake towards value of Interdialytic Weight Gain (IDWG) patients with hemodialysis.

Keywords: Education, Hemodialysis. Interdialytic Weight Gain, Theory of