PENGARUH LIMBAH PADAT STYROFOAM DENGAN VARIASI 0%, 2%, 4% dan 6% PADA CAMPURAN AC-WC DITINJAU DARI KARAKTERISTIK MARSHALL

(1)

i

TUGAS AKHIR

PENGARUH LIMBAH PADAT

STYROFOAM

DENGAN

VARIASI 0%, 2%, 4% dan 6% PADA CAMPURAN AC

-

WC

DITINJAU DARI KARAKTERISTIK MARSHALL

Disusun oleh:

WINDI DEWI ASARYANTI NIM 20120110179

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

i

VARIASI 0%, 2%, 4% dan 6% PADA CAMPURAN AC

-

WC

DITINJAU DARI KARAKTERISTIK MARSHALL

Disusun oleh:

WINDI DEWI ASARYANTI NIM 20120110179

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

ii

HALAMAN MOTTO

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu untuk dirimu sendiri..”

(QS. Al-Isra‟: 7)”

“Kadang Naluri Kesatria akan lebih tajam melebihi pedangnya ketika sebuah kerikil sudah

menjadi Hambatanya”

“Orang yang dikatakan Bodoh dan Malas, sekali dia bekerja keras akan mengalahkan seseorang

yang biasanya dikatakan Cerdas”

“Seseorang yang Munafik adalah hanya seseorang yang tidak mau berperang didunia ini”


(4)

iii

kesempatan kepada penulis hingga saat ini dapat menyelesaikan salah satu tugas yaitu tugas akhir ini, serta Nabi Muhammad SAW yang menjadi paratron

kehidupan uswatun hasanah sebagai abdi kehidupan menurut-NYA.

Untuk kedua orang tua ku bapak Jawahir dan ibu Karniti yang sangat ku sayangi , kakakku Winda Dewi Pajriyanti yang sangat menyayangi dan mencintaiku disaat

apapun yang telah terjadi dalam hidupku, dan telah memberikan kekuatannya untuk menguatkan ku, dan selalu mendo‟akanku disetiap do‟anya.

Untuk teman-temanku yang telah memberikan banyak pengalaman dan motivasi kepada ku, dan selalu ada disaat suka maupun duka,Wahyu Widianto, Feris Van houten, Liawati, Farid kurniawan, Utman Dwi Prabowo, Rendi julio Herlandez, Aditya Wibawa Mukti,Sutriazal Hartawan, serta teman-teman Teknik Sipil UMY

2012. Dan juga banyak pemahaman terhadap materi perkuliahan yang ku dapat dari kakak-kakakku.

Untuk dosen pembimbingku Anita Rahmawati, S.T., M.Sc.dan bapak Emil Adly ST., M.Eng yang telah membimbing dan telaten mendampingi hingga selesainya proses pengerjaan laporan ini. Serta bapak Dian Setiawan M., S.T., M.Sc., Sc yang telah bersedia menjadi dosen penguji dalam pendadaran tugas akhir ini. Untuk dosen-dosen Jurusan Teknik Sipil UMY yang telah memberikan wawasan


(5)

iv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN MONITORING ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

INTISARI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 2

D. Manfat Penelitian ... 2

E. Batasan Masalah... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Perkerasan Jalan ... 4

B. Perkerasan Lentur... 4

C. Asphalt Concrete – Wearing Course (AC-WC) ... 8

D. Aspal ... 8

E. Agregat ... 10

F. Styrofoam ... 13

G. Desain Campuran Metode Marshall ... 14

H. Penggunaan Styrofoam Sebagai Bahan Campuran dalam Aspal ... 14

BAB III LANDASAN TEORI ... 17

A. Bahan Penyusun Campuran AC-WC ... 17

B. Pembagian Butir Agregat ... 25


(6)

v

G. Kadar Aspal Optimum (KAO) ... 44

BAB IV METODE PENELITIAN... 46

A. Bagan Alir Penelitian ... 46

B. Tahapan Penelitian ... 47

C. Bagan Alir Pelaksanaan ... 49

D. Tahapan Pelaksanaan ... 51

E. Lokasi Penelitian ... 56

F. Metode Pengambilan Data ... 56

G. Variabel Penelitian ... 57

H. Presentasi Hasil ... 58

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59

A. Hasil Pengujian Agregat ... 59

B. Hasil Pengujian Aspal ... 59

C. Hasil Pengujian Aspal Styrofoam... 60

D. Hasil dan Pembahasan pengujian Marshall ... 64

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA... 75


(7)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Persyaratan Agregat kasar ... 18

Tabel 3.2 Persyaratan Agregat Halus ... 19

Tabel 3.3 Persyaratan Aspal Keras penetrasi 60/70 ... 24

Tabel 3.4 Ukuran Bukaan Saringan ... 27

Tabel 3.5 Gradasi agregat gabungan untuk campuran Laston ... 28

Tabel 3.6 Ketentuan sifat-sifat campuran AC-WC ... 45

Tabel 4.1 Hasil pengujian dari pengujian sifat fisik aspal ... 48

Tabel 4.2 Metode pengujian agregat kasar dan halus ... 51

Tabel 4.3 Jumlah benda uji yang diperlukan untuk menentukan KAO ... 57

Tabel 4.4 Jumlah benda uji yang diperlukan untuk variasi kadar styrofoam ... 57

Tabel 5.1 Hasil pengujian agregat kasar dan halus ... 59

Tabel 5.2 Hail pengujian aspal keras AC 60/70 ... 59

Tabel 5.3 Hasil pengujian aspal styrofoam ... 61

Tabel 5.4 Perbandingan MQ benda uji dengan aspal murni dan benda uji dengan aspal bercampur styrofoam ... 71


(8)

vii

Gambar 4.2 Bagan Alir Pelaksanaan ... 48- 49

Gambar 5.1 Hubungan kadar styrofoam dengan Penetrasi ... 61

Gambar 5.2 Hubungan kadar styrofoam dengan Titik Lembek ... 62

Gambar 5.3 Hubungan kadar styrofoam dengan Elastisitas ... 62

Gambar 5.4 Hubungan kadar styrofoam dengan Berat Jenis ... 63

Gambar 5.5 Hubungan kadar styrofoam dengan Density ... 64

Gambar 5.6 Hubungan kadar styrofoam dengan Stabilitas ... 65

Gambar 5.7 Hubungan kadar styrofoam dengan flow ... 66

Gambar 5.8 Hubungan kadar styrofoam dengan VITM ... 67

Gambar 5.9 Hubungan kadar styrofoam dengan VMA ... 68

Gambar 5.10 Hubungan kadar styrofoam dengan VFWA ... 69


(9)

viii

DAFTAR LAMPIRAN Pengujian Aspal dan Agregat

Lampiran 1 Pemeriksaan penetrasi 60/70

Lampiran 2 Pemeriksaan penetrasi aspal setelah kehilangan berat Lampiran 3 Pemeriksaan titik lembek aspal

Lampiran 4 Pemeriksaan kehilangan berat aspal

Lampiran 5 Pemeriksaan titik nyala dan titik bakar aspal Lampiran 6 Pemeriksaan daktalitas aspal

Lampiran 7 Pemeriksaan berat jenis aspal

Lampiran 8 Pemeriksaan berat jenis dan penyerapan agregat kasar Lampiran 9 Pemeriksaan berat jenis dan penyerapan agregat halus Lampiran 10 Pemeriksaan pembagian butiran

Lampiran 11 Pemeriksaan grafik pembagian butir Agregat Lampiran 12 Pemeriksaan kelekatan agregat

Lampiran 13 Pemeriksaan keausan agregat dengan mesin los angeles Lampiran 14 Pemeriksaan tabel hasil uji marshall AC-WC

Lampiran 15 Pemeriksaan grafik kadar aspal Design AC-WC

Lampiran 16 Pemeriksaan penetrasi campuran aspal dengan styrofoam 2% Lampiran 17 Pemeriksaan penetrasi campuran aspal dengan styrofoam 4% Lampiran 18 Pemeriksaan penetrasi campuran aspal dengan styrofoam 6% Lampiran 19 Pemeriksaan titik lembek aspal dengan campuran styrofoam 2% Lampiran 20 Pemeriksaan titik lembek aspal dengan campuran styrofoam 4% Lampiran 21 Pemeriksaan titik lembek aspal dengan campuran styrofoam 6% Lampiran 22 Pemeriksaan berat jenis aspal dengan campuran styrofoam 2% Lampiran 23 Pemeriksaan berat jenis aspal dengan campuran styrofoam 4% Lampiran 24 Pemeriksaan berat jenis aspal dengan campuran styrofoam 6% Lampiran 25 Pemeriksaan elastisitas aspal dengan alat daktalitas

Lampiran 26 Pemeriksaan tabel uji marshall dengan campuran styrofoam Lampiran 27 Pemeriksaan tabel uji marshall dengan campuran styrofoam Lampiran 28 Pemeriksaan grafik kadar aspal dengan campuran styrofoam Lampiran 29 Gambar persiapan bahan dan alat


(10)

(11)

(12)

Penggunaan limbah bahan Styrofoam cukup banyak dalam kehidupan sehari-hari tetapi sangat sedikit yang dimanfaatkan. Tingkat penggunaan Styrofoam yang begitu banyak memicu limbah Styrofoam yang banyak juga. Untuk itu pemanfaatan limbah domestik

Styrofoam yang tidak bisa hancur hingga 100 tahun kedepan harus dilakukan dengan cerdas mengingat bahan yang ringan serta gangguan estetika yang timbul yang disebab kan oleh limbah yang terjadi jika tidak dikelola secara baik dan benar. Selain itu menipisnya persediaan agregat, seperti batu kerikil dan pasir juga menjadi masalah yang terkait dengan konstruksi dalam perkerasan jalan.

Metode penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu persiapan alat, pengujian bahan, perencanaan campuran, pembuatan benda uji dan pengujian Marshall. Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah Styrofoam, Aspal penetrasi 60/70 dan Agregat. Gradasi agregat yang digunakan yaitu gradasi menerus (AC-WC). Adapun Parameter penentuan Kadar Aspal Optimum yaitu terdiri atas Density, Voids Filled With Asphalt (FVWA), Voids in Mix (VITM), Void in the Mineral Agregat (VMA), Stabilitas, Flow dan Marshall Quetient (MQ) dengan variasi kadar aspal 5%, 5,5%, 6%, 6,5% dan 7% sedangkan kadar variasi

styrofoam terhadap aspal yaitu mulai dari 0%, 2%, 4% dan 6%.

Dengan penambahan styrofoam pada aspalmenunjukan hasil yang signifikan terhadap pengujian sifat fisik aspal. Beberapa Parameter penentuan Kadar Aspal Optimum pada aspal dengan bahan tambah styrofoam mulai dari kadar variasi styrofoam 0%, 2%, 4% dan 6% juga telah memenuhi spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2010 (Revisi 3) dengan nilai FVWA diatas 65% yaitu mulai dari 75.203% - 80.133%, nilai VITM diantara 3-5% yaitu 3.375% - 4.440%, nilai VMA diatas 15% yaitu 16.990 - 17.905%, nilai Stability diatas 1000kg yaitu 1580.460 – 1651.692, dan nilai flow diantara 2 - 4 mm yaitu mulai dari 2.460mm - 3.900 mm.


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketahanan perkerasan beton aspal terhadap beban lalu lintas dan temperatur sangat tergantung pada kualitas aspal sebagai bahan pengikat dan kualitas agregat pembentuk campuran. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas campuran beton aspal, salah satunya adalah pengunaan bahan tambah pada aspal. Aspal ialah bahan hidro karbon yang bersifat melekat (adhesive), berwarna hitam kecoklatan, tahan terhadap air dan viskoelastis. Aspal sering juga disebut bitumen merupakan bahan pengikat pada campuran beraspal yang dimanfaatkan sebagai lapis permukaan lapis perkerasan lentur .

Aspal modifikasi dibuat dengan mencampur aspal keras dengan suatu bahan. Aspal modifikasi mulai diperkenalkan diluar negeri lebih dari 15 tahun lalu (Caribit, Cariphalt, Mexphalt, Superphalt,dsb) dengan maksud mencegah retak pada waktu musim dingin, mencegah deformasi plastis pada beban berat di musim panas, dan diharapkan akan lebih awet terhadap oksidasi terik matahari.

Penggunaan limbah bahan Styrofoam cukup banyak dalam kehidupan sehari-hari tetapi sangat sedikit yang dimanfaatkan. Tingkat penggunaan

Styrofoam yang begitu banyak memicu limbah Styrofoam yang banyak juga. Untuk itu pemanfaatan limbah domestik Styrofoam yang tidak bisa hancur sehingga 100 tahun kedepan harus dilakukan dengan cerdas mengingat bahan yang ringan serta gangguan estetika yang timbul yang disebab kan oleh limbah yang terjadi jika tidak dikelola secara baik dan benar.

Di sisi lain, masalah yang timbul terkait dengan konstruksi adalah menipisnya persediaan agregat, seperti batu kerikil dan pasir. Agregat tersebut tidak hanya digunakan untuk perkarasan jalan saja, tetapi juga untuk proyek konstruksi lain, seperti pembuatan gedung-gedung bertingkat, perumahan dan bendungan.


(14)

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, bahan Styrofoam telah digunakan sebagai campuran pada aspal dengan variasi 0%, 2%, 4%, dan 6% terhadap berat aspal. Beberapa masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana sifat fisis limbah Styrofoam yang terikat dengan sifat fisis aspal yang digunakan?

2. Apakah penggunaan limbah Styrofoam memberikan pengaruh terhadap karakteristik Marshall pada campuran Lapis Aspal Beton (Laston-WC)?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui sifat-sifat fisik limbah styrofoam yang digunakan sebagai campuran aspal pada perkerasan jalan.

2. Mengetahui KAO (kadar Aspal Optimum) yang akan digunakan pada campuran AC-WC terhadap stabilitas dan durabilitas campuran.

3. Mengetahui kinerja campuran Aspal dan Styrofoam dengan Metode Marshall.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian mengenai Styrofoam sebagai bahan additive dalam campuran aspal adalah sebagai berikut:

1. Sebagai pedoman dalam perencanaan penggunaan Styrofoam sebagai bahan

additive dalam aspal pada perkerasan jalan.

2. Untuk mengoptimalisasikan pemanfaatan Styrofoam dalam mengurangi pencemaran yang diakibatkan oleh limbah Styrofoam.

3. Sebagai sebab untuk mendorong penelitian lainnya mengenai pemanfaatan


(15)

3

E. Batasan Masalah

Batasan masalah kegiatan penelitian ini adalah :

1. Pemeriksaan aspal (penetrasi, titik lembek, titik nyala, penurunan berat aspal, daktilitas, berat jenis aspal).

2. Pengujian Marshall dengan komposisi Styrofoam 0%, 2%, 4%, dan 6% dari berat aspal.

3. Komposisi kimia pada agregat dan bahan additive (Styrofoam) dan pengaruhnya terhadap campuran tidak dibahas dalam laporan ini.

4. Aspal yang digunakan adalah penetrasi 60/70 produksi pertamina.

5. Pengujian ini dibatasi pada campuran Lapis Aspal Beton jenis AC-WC sesuai dengan spesifikasi umum bidang jalan dan jembatan, Departemen Perekerjaan Umum 2010 revisi 3.

6. Pengujian dilakukan di laboratorium Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

7. Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode pengujian


(16)

4

Perkerasan jalan adalah suatu lapisan yang terletak diatas tanah dasar, yang telah mengalami pemadatan dan mempunyai fungsi untuk mendukung lalu lintas. Beban lalu lintas kemudian disebarkan ke badan jalan, sehingga tanah dasar tidak menerima beban yang lebih besar dari pada daya dukung tanah dasar yang diijinkan. Menurut Sukirman (1999), berdasarkan bahan pengikatnya konstruksi perkerasan jalan dapat dibedakan atas:

1. Perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.

2. Perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat. Plat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa lapisan fondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh plat beton. 3. Perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku yang

dikombinasikan dengan perkerasan lentur, dapat berupa perkerasan lentur di atas perkerasan kaku atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur.

B. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) adalah perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Struktur perkerasan lentur dikonstruksi baik untuk jalan yang melayani beban lalu lintas ringan sampai sedang, seperti jalan perkotaan, jalan dengan sytem ultilitas terletak dibawah perkerasan jalan, perkerasan bahu jalan, atau perkerasan dengan konstruksi bertahap.

Kontruksi perkerasan lentur terdiri dari lapis permukaan, lapis pondasi atas, lapis pondasi bawah dan tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke


(17)

5

lapisan di bawahnya. Muatan yang terjadi pada setiap lapisan berbeda-beda dan semakin kebawah semakin kecil dikarenakan adanya sifat penyebaran gaya. Lapisan permukaan harus mampu menerima seluruh jenis gaya yang bekerja, oleh karena itu terdapat perbedaan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing lapisan. Adapun jenis Lapis perkerasaan yang tersusun yaitu sebagai berikut:

1. Lapis Permukaan (Surface Course)

Lapis Permukaan (Surface Course) adalah lapisan perkerasan yang paling atas dan lapisan yang bersentuhan langsung dengan beban roda kendaraan. Selain memiliki stabilitas yang tinggi dan kedap air, lapis permukaan ini dapat menambah daya tahan perkerasaan terhadap penurunan mutu, sehingga secara keseluruhuan menambah masa pelayanan dari konstruksi perkerasaan. Lapis permukaan ini memiliki fungsi utama sebagai berikut :

a. Lapis perkerasan penahan beban roda, lapisan mempunyai stabilitas tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan.

b. Lapis aus (wearing course), lapisan yang langsung menderita gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus.

c. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atas lapis permukaan tidak meresap ke lapis dibawahnya yang berakibat rusaknya struktur perkerasan jalan dan air mengalir ke saluran disamping jalan.

d. Lapis yang menyebarkan beban ke lapisan bawah,Sehingga dapat dipikul oleh lapisan lain yang punya daya dukung lebih jelek.

2. Lapis Pondasi Atas (Base Course)

Lapis Pondasi Atas (Base Course) adalah lapisan perkerasan yang terletak antara lapis pondasi bawah dan permukaan. Karena tepat dibawah permukaan perkerasan, maka lapis ini menerima pembebanan yang berat. Material yang digunakan untuk lapisan ini diharuskan material dengan kualitas yang tinggi sehingga kuat untuk menahan beban yang direncanakan.


(18)

a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dalam menyebarkan beban ke lapisan bawahnya.

b. Pemikul beban vertikal dan horizontal c. Bantalan terhadap lapisan permukaan

d. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah

Syarat-syarat untuk material pondasi atas antar lain :

a. Mutu bahan harus sebaik mungkin dimana tidak mengandung kotoran lumpur, besisi tajam dan kaku

b. Susunan gradasi harus merupakan susunan yang rapat, artinya butiran batuan harus mempunyai susunan gradasi yang saling mengisi antara butiran agregat kasar, agregat sedang, dan agregat halus sehingga rongga semakin kecil.

c. Material yang digunakan untuk lapisan pondasi atas haruslah awet dan kuat dan untuk lapis pondasi atas tanpa bahan pengikat umumnya menggunakan material dengan CBR > 50% dari indeks plastisitas (PI) <4%.

3. Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course)

Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course) adalah bagian perkerasaan yang terletak antara perkerasan atas dan tanah dasar. Dengan demikian jenis Lapisan ini merupakan pondasi yang mendukung perkerasan atas dan lapisan permukaan. Fungsi Subbase Course adalah :

a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasaan yang menyebarkan beban-beban roda ke tanah dasar.

b. Untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis pondasi atas.

c. Sebagai lapis peresapan agar air tanah tidak mengumpul pada pondasi maupun tanah dasar.


(19)

7

Material yang digunakan untuk lapisan pondasi bawah mempunya CBR 20 % dan Plastisitas Indeks (PI) ≤ 10 %. Biasanya di Indonesia lapisan ini memakai lapisan pasir dan batu (Sirtu) kelas A, B atau kelas C atau tanah lempung / kepasiran. Selain itu juga dapat pula digunakan stabilitas agregat atau tanah dengan semen atau kapur.

4. Tanah Dasar (Subgrade)

Tanah dasar adalah permukaan galian tanah yang berasal dari lokasi itu sendiri atau didekatnya, yang telah dipadatkan sampai tingkat kepadatan tertentu sehingga mempunyai daya dukung yang baik serta berkemampuan mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan, walaupun terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat. Tanah dasar merupakan dasar untuk peletakan bagian-bagian perkerasan yang lainnya. Kekuatan dan keawetan dari konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat dan daya dukung tanah dasar. Sehingga tanah dasar ini menentukan tebal tipisnya lapisan tanah di atasnya. Untuk menentukan kekuatan tanah dasar biasanya dipakai cara CBR (California Bearing Ratio). Sistem klasifikasi yang umum dipakai pada jalan raya adalah UNIFIED dan AASTHO system, sedang untuk lapangan terbang digunakan FAA system.

Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-sifat daya dukung tanah dasar. Masalah-masalah yang sering ditemui menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :

a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) akibat beban lalulintas. b. Sifat mengembang dan menyusutnya tanah akibat perubahan kadar air c. Daya dukung tanah yang tidak merata akibat adanya perbedaan sifat-sifat

tanah pada lokasiyang berdekatan atau akibat kesalahan pelaksanaan yang mengakibatkan kepadatan yang kurang baik


(20)

C. Asphalt ConcreteWearing Course (AC–WC)

Asphalt Concrete adalah campuran bergradasi menerus dari mineral agregat, pengisi dan bahan aspal yang membentuk struktur saling kunci. Struktur saling kunci antar agregat ini adalah penyumbang utama terhadap kekuatan dan kinerja dari bahan digunakan (Laitinen 1998)

Asphalt concrete berdasarkan Bina Marga Kementrian Pekerjaan Umum 2010 (Revisi 3), lebih dikenal dengan istilah Lapis Aspal Beton (Laston). Berdasarkan fungsinya, aspal beton atau Asphalt concrete dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Asphalt Concrete-Wearing Course (AC-WC). Wearing Course atau lapis aus merupakan lapis diatas pondasi. AC-WC berfungsi sebagai lapis permukaan yang tahan cuaca, gaya geser dan tekanan roda serta memberikan lapis kedap air yang dapat melindungi lapis dibawahnya dari rembesan air.

2. Asphalt Concrete-Binder Course (AC-BC). Binder Course atau lapis pengikat atau lapis antara meerupakan lapis transisi antara lapis pondasi dengan lapis permukaan. AC-BC berfungsi sebagai lapis pengikat.

3. Asphalt Concrete-Base (AC-BC). Berfungsi sebagai lapis pondasi jika dipergunakan pada pekerjaan peningkatan atau pemeliharaan jalan.

Setiap jenis Campuran AC yang menggunakan aspal dimodifikasi dengan aspal Alam disebut masing-masing sebagai AC-WC Modified, AC-BC Modified,

dan AC-Base Modified. Bahan penyusun dari AC-WC yaitu Aspal dan Agregat, dimana agregat ini terdiri atas agregat kasar, agregat halus dan filler.

D. Aspal

Aspal didefinisikan sebagai material berwarna hitam atau coklat tua, pada temperatur ruang terbentuk padat sampai agak padat, dimana jika dipanaskan maka aspal dapat masuk kedalam pori-pori agregat ataupun pada perkerasan macadam (Sifat termoplastis). Sebagai salah satu material kontruksi perkerasan lentur, aspal merupakan salah satu komponen kecil, umumnya hanya 4-10% berdasarkan berat atau 10-15% berdasarkan berat volume, tetapi merupakan komponen yang relatif mahal. (Sukirman,S., 2003)


(21)

9

Aspal pada lapis keras jalan berfungsi sebagai bahan ikat antara agregat untuk membentuk campuran yang kompak, sehingga akan membentuk kekuatan yang lebih besar dari masing-masing agregat. Aspal adalah bahan yang padat sampai semi padat dalam suhu ruang. Aspal mempunyai sifat adhesiv yaang kuat, kedap air, awet terhadap serangan asam, alkali, dan garam. Kerbs dan Walker (1971) menyatakan bahwa aspal keras adalah aspal yang digunakan dalam keadaan cair apabila dipanaskan pada suhu tertentu dan pada temperatur 25ºC - 30 ºC berbentuk padat.

Aspal terbuat dari minyak mentah, melalui proses penyulingan atau dapat ditemukan dalam kandungan alam sebagai bagian dari komponen alam yang ditemukan bersama sama material lain. Aspal dapat pula diartikan sebagai bahan pengikat pada campuran beraspal yang terbentuk dari senyawa-senyawa komplek seperti Asphaltenese, Resins dan Oils. Aspal mempunyai sifat visco-elastis dan tergantung dari waktu pembebanan. ( Sukirman 1999)

Dalam campuran berbahan pengikat aspal, selain agregat, sifat aspal sangat menentukan kinerja dari campuran tersebut. Sifat-sifat aspal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut :

1. Sifat kimia, ditentukan berdasarkan kandungan asphaltness dan kandungan

malthness (resins, aromatics, saturates).

2. Sifat fisik, yang ditentukan berdasarkan : durabilitasnya (penetrasi, titik lembek, dan daktilitas), adhesi / kohesi, kepekaan terhadap perubahan temperatur dan pengerasan / penuaan.

Menurut Sukirman (1999) aspal sering digunakan sebagai material perkerasan jalan karena berfungsi sebagai :

a. Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dan agregat dan antara sesama aspal.

b. Bahan pengisi, mengisi rongga antar butir agregat dan pori-pori yang ada di dalam butir agregat itu sendiri.


(22)

E. Agregat

Agregat atau batuan didefinisikan secara umum sebagai formasi kulit bumi yang keras dan solid. ASTM (1974) mendefinisikan batuan sebagai suatu bahan yang terdiri dari mineral padat, berupa masa berukuran besar ataupun berupa fragmen-fragmen.

Agregat merupakan komponen utama dari lapisan perkerasan jalan yang mengandung 90% - 95% agregat berdasarkan persentase berat atau 75% - 85% agregat berdasarkan persentase volume. Dengan demikian, daya dukung, keawetan, dan mutu perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain. (Sukirman 1999)

Sifat-sifat agregat adalah yang menentukan kualitasnya sebagai material perkerasan jalan, sehingga harus memenuhi :

a. Ukuran butir maksimum dan gradasi

Semua lapisan perkerasan lentur membutuhkan agregat yang terdistribusi dari besar sampai kecil. Semakin besar ukuran maksimum partikel agregat yang digunakan semakin banyak variasi ukuran dari besar sampai kecil yang dibutuhkan. Batasan ukuran maksimum yang digunakan dibatasi oleh tebal lapisan yang diharapkan.

b. Kekuatan dan kekerasan

Agregat dapat mengalami degradasi, yaitu perubahan degradasi akibat pecahnya butiran – butiran agregat. Kehancuran agregat dapat disebabkan oleh proses mekanis, seperti gaya – gaya yang terjadi selama proses pelaksanaan perkerasan jalan (penimbunan, penghamparan, pemadatan), pelayanan terhadap beban lalu lintas dan proses kimiawi, seperti pengaruh kelembaban, kepanasan dan perubahan suhu sepanjang hari.

Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat degradasi yang terjadi sangat ditentukan oleh jenis agregat, gradasi campuran, ukuran partikel, bentuk agregat dan besarnya energi yang dialami oleh agregat tersebut.


(23)

11

Daya tahan agregat terhadap beban mekanis diperiksa dengan melakukan pengujian abrasi menggunakan alat abrasi Los Angeles sesuai dengan SNI– 03–2417–1991. Gaya mekanis pada pemeriksaan dengan alat abrasi Los Angeles diperoleh dari bola – bola baja yang dimasukkan bersama dengan agregat yang hendak diuji.

c. Keawetan (Soundness)

Keawetan adalah kemampuan bahan perkerasan untuk menahan keausan akibat pengaruh cuaca, yaitu air dan perubahan suhu, ataupun keausan akibat dari gesekan roda kendaraan, yang dapat mengakibatkan :

1) Perubahan pada bahan pengikat (bitumen) dan mengelupasnya selaput bitumen dari agregat dan kehancuran agregat

2) Faktor yang dapat mempengaruhi durabilitas adalah VITM (Voids in Mix) kecil sehingga lapisan menjadi kedap air dan udara tidak masuk kedalam campuran

3) Terjadinya oksidasi dan aspal menjadi rapuh

4) VMA (Voids in Mineral Aggregate) besar sehingga film aspal dapat dibuat tebal

5) Jika VMA dan VITM dibuat kecil serta kadar aspal tinggi maka kemungkinan terjadinya bleeding cukup besar

6) Untuk mengatasinya dengan VMA besar menggunakan agregat bergradasi senjang film aspal yang tebal dapat menghasilkan beton aspal yang berdurabilitas tinggi tetapi kemungkinan terjadinya bleeding menjadi besar.

d. Bentuk butiran (Particle shape)

Bentuk butiran menyudut akan mempunyai angka gesek dalam (Internal friction) yang tinggi dan saling mengunci (interlocking) sehingga menambah kestabilan konstruksi lapis keras. Penggunaan agregat yang pipih dan panjang selain mengurangi kestabilan konstruksi juga menimbulkan segregasi selama proses pencampuran.


(24)

e. Bentuk dan tekstur permukaan agregat (Surface texture)

Bentuk dan tekstur mempengaruhi stabilitas dari lapisan perkerasan yang dibentuk oleh agregat tersebut. Partikel agregat dapat berbentuk bulat (Rounded), Lonjong (Elongated), Kubus (cubical), Pipih (Flaky) dan Tak beraturan (Irregular). Berdasarkan jenis permukaan, agregat dibedakan atas agregat yang permukaannya kasar (rough), agregat yang permukaannya halus

(smooth), agregat yang permukaannya licin dan mengkilap (glassy), dan agregat yang permukaannya berpori (porous). Gesekan timbul terutama pada partikel-partikel yang permukaannya kasar seperti ampelas. Sudut geser dalam antar partikel bertambah besar dengan semakin bertambah kasarnya permukaan. Selain itu agregat kasar lebih mampu menahan deformasi yang timbul dan agregatdengan ikatan antara aspal

f. Berat jenis

Berat jenis agregat adalah perbandingan antara berat volume agregat dengan berat dari volume air yang sama. Besarnya berat jenis agregat penting dalam perencanaan campuran agregat dengan aspal karena umumnya direncanakan berdasarkan perbandingan berat dan juga untuk menentukan banyak pori. Agregat dengan berat jenis yang kecil mempunyai volume yang besar sehingga dengan berat yang sama membutuhkan jumlah aspal yang lebih banyak. Disamping itu agregat dengan kadar pori besar membutuhkan jumlah aspal yang banyak.

g. Porositas

Semua agregat adalah porus. Keporusan agregat menentukan banyakanya zat cair yang diserap oleh agregat. Kemampuan agregat untuk menyerap air (Aspal) adalah suatu informasi yang penting yang harus diketahui dalam pembuatan campuran beraspal. Jika daya serap tinggi akan menyebabkan aspal yang berda di permukaan agregat yang berguna untuk mengikat partikel agregat menjadi lebih sedikit sehingga akan menghasilkan film aspal yang tipis. Porositas agregat umumnya ditandai dengan jumlah air


(25)

13

yang dapat diserap oleh agregat ketika direndam dalam air. (Toruan L. Armin 2013)

h. Kebersihan permukaan

Kebersihan agregat ditentukan oleh banyaknya bahan impurities yang ada pada agregat seperti butiran yang lewat saringan no. 200, yaitu adanya lempung, lanau, ataupun adanya tumubuh-tumbuhan pada campuran agregat. Apabila agregat mengandung butiran halus melebihi dari ketentuan, akan menghasilkan beton aspal berkualitas rendah sebagai akibat dari butiran halus tersebut menghalangi ikatan aspal dengan agregat sehingga dapat berakibat nilai stabilitas rendah dan mudah lepasnya ikatan antara aspal dengan agregat. Untuk mengukur kebersihan agregat ini, dilakukan pengujian dengan metode Sand Equivalent Test.

i. Daya lekat terhadap aspal (afinitas agregat)

Kelekatan agregat terhadap aspal adalah kecenderungan agregat untuk menerima, menyerap dan menahan lapisan aspal. Afinitas agregat adalah kecenderungan agregat untuk menerima dan menahan penyelimutan aspal. Daya lekat aspal terhadap agregat dipengaruhi oleh sifat agregat terhadap air. Agregat berupa diroit, andesit merupakan hydro pobic yaitu agregat yang mudah diresapi air, hal ini mengakibatkan agregat tersebut tak mudah terikat air, tetapi mudah terikat dengan aspal.

F. Styrofoam

Styrofoam merupakan suatu bahan sintetis yang lebih dikenal dengan nama gabus putih. Styrofoam banyak digunakan sebagai bahan pengganjal pada kemasan / pengepakan barang-barang elektronik. Pada umumnya setelah tidak terpakai, styrofoam ini dibuang begitu saja ditempat sampah. Penumpukan limbah styrofoam di Tempat Pembuangan Akhir akan menimbulkan masalah yang baru, karena limbah ini sulit didaur ulang. Styrofoam adalah salah satu jenis polimer plastik yang bersifat termoplastik yang mana jika dipanaskan akan menjadi lunak dan mengeras kembali jika telah dingin. Bila dicampur dengan


(26)

bensin, styrofoam akan melunak dan dapat berfungsi sebagai perekat. Selain itu juga memiliki sifat tahan terhadap asam, basa dan sifat korosif lainnya seperti garam dan memiliki sifat mudah larut dalam hidrocarbon aromatic (Dharma Giri, 2008).

Melihat adanya beberapa kelebihan yang dimiliki styrofoam dan aspal juga terdiri dari senyawa hidrokarbon, diharapkan styrofoam dapat digunakan sebagai alternatif bahan tambah pada campuran beton aspal yang dapat meningkatkan daya rekat antara agregat dan aspal sehingga dapat meningkatkan kualitas perkerasan asphalt concrete.

G. Desain Campuran Metode Marshall

Konsep metode Marshall untuk rancangan campuran perkerasan dirumuskan oleh Bruce Marshall dan kemudian dikembangkan oleh The US Army Corp Enginee. (Lavin, 2003) melanjutkan penelitian dengan intensif dan mempelajari hal-hal yang ada kaitannya, meningkatkan dan menambah kelengkapan pada prosedur pengujian Marshall dan akhirnya mengembangkan rancangan campuran pengujian ini, yang telah distandarisasikan di dalam ASTM D-1559. Dua sifat yang diperoleh dengan metode Marshall adalah stabilitas

(stability) dan kelelehan (flow) . Perbandingan antara stabilitas dan kelelehan dikenal dengan Marshall Quotient (MQ) dan juga akan diperoleh kepadatan

(density), analisis rongga (voids analysis) yang dilakukan dengan pengukuran terhadap benda uji dan menghasilkan parameter kepadatan (density), Void Mineral Aggregate (VMA), Void in The Mix Aggregate (VITM), dan Voids Filled with Asphalt (VFWA).

H. Penggunaan Styrofoam Sebagai Bahan Campuran dalam Aspal

Studi-studi mengenai perbandingan hasil parameter uji Asphalt concrete Wearing Coarse modifikasi antara lain :

1. Sofyan M. Saleh (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Karakteristik Campuran Aspal dengan Substitusi styrofoam pada aspal penentrasi 60/70”


(27)

15

meningkatkan kualitas aspal sebagai bahan pengikat beton aspal. Dalam tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui karakteristik campuran aspal porus dengan substitusi styrofoam kedalam aspal penetrasi 60/70. Gradasi agregat yang digunakan adalah gradasi terbuka dengan kadar aspal 4,5%, 5%, 5,5%, 6% dan 6,5% sebelum substitusi styrofoam. Selanjutnya dilakukan pengujian dan perhitungan parameter Marshall, Cantabo Loss (CL), dan

Asphalt Flow Down(AFD) untuk mendapatkan KAO. Setelah KAO diperoleh,

dibuat benda uji pada KAO dan variasi ± 0,5 dari nilai KAO dengan variasi substitusi styrofoam 5%, 7% dan 9%. Uji permeabelitas dan durabilitas pada kadar aspal terbaik. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh KAO sebesar 5,76% dan kadar aspal terbaik pada 6,26% dengan substitusi styrofoam 9%, dimana semua parameternya telah memenuhi spesifikasi yang ditentukan kecuali nilai stabilitas yang hanya 495,92 kg atau sedikit dibawah spesifikasi yang disyaratkan Australian Asphalt Pavement Association (1997) untuk lalu lintas sedang yaitu minimum 500 kg.

2. Hesty Aquina (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “ Pengaruh Subtitusi styrofoam kedalam aspal penetrasi 60/70 terhadap karakteristik campuran aspal” memodifikasi sifat fisik dan kimia aspal dengan material tambahan, diantaranya dengan material tambahan yaitu styrofoam dan untuk material lainnya yaitu aspal penetrasi 60/70 dan agregat. Untuk penentuan kadar aspal optimum (KAO) berdasarkan metode Australia dengan parameter nilai

Cantabro loss (CL), Asphalt Flow Down (AFD) dan Void in mix (VITM). Gradasi mengikuti gradasi terbuka dengan kadar aspal 4,5%, 5%, 5,5%, 6% dan 6,5% tanpa variasi penggunaan styrofoam. Selanjutnya dilakukan pengujian dan perhitungan Marshall, CL dan AFD untu mendapatkan KAO. Setelah KAO diperoleh, dibuat benda uji pada KAO dan variasi ± 0,5 dari nilai KAO dengan variasi substitusi styrofoam 5%, 7% dan 9%, Uji permeabelitas dan durabilitas pada kadar aspal terbaik. Berdasarkan penelitian diperoleh KAO sebesar 5,76% dan kadar aspal terbaik pada 6,26% dengan substitusi styrofoam 9%, dimana semua parameter nya telah memenuhi


(28)

spesifikasi yang ditentukan kecuali nilai stabilitas yang belum memenuhi yang disyaratkan Australian Asphalt Pavement Association (1997) untuk lalu lintas sedang yaitu minimum 500 kg.

Stabilitas tertinggi diperoleh pada kadar aspal terbaik yaitu sebesar 492,92 kg. Untuk kadar rongga dalam campuran (VITM) turun dengan perubahan yang relatif kecil (berkisar 13,79%-10,06%). Pada kadar aspal terbaik diperoleh nilai CL sebesar 15,27%, nilai AFD sebesar 0,23%, permeabilitas diperoleh sebesar 0,1447 cm/detik dan nilai durabilitas ≤90% yaitu sebesar 80,613%.


(29)

17

BAB III LANDASAN TEORI

A. Bahan Penyusun Campuran Asphalt Concrete-Wearing Course

Adanya lapisan padat dan awet pada beberapa lapisan beraspal dikarenakan aspal tersebut memiliki susunan agregat yang terdiri dari agregat kasar, agregat halus, bahan pengisi (filler) dan bahan ikat aspal yang telah dicampur di pusat instalasi pencampuran, serta dihampar dan dipadatkan diatas pondasi atau permukaan jalan yang telah disiapkan, oleh karena itu semua jenis pencampuran itu harus sesuai spesifikasi yang ada.

1. Agregat

Agregat merupakan komponen utama dari struktur perkerasan jalan, yaitu 90-95% agregat berdasarkan persentase berat, atau 75-85% agregat berdasarkan persentase volume. Dengan demikian kualitas perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain. Berikut adalah agregat yang digunakan dalam campuran beton aspal :

a. Agregat Kasar

Agregat kasar adalah agregat dengan ukuran butir lebih besar dari saringan No.8 (2,36). Parameter agregat kasar untuk campuran Laston terdiri dari batu pecah atau kerikil pecah yang bersih, kering, kuat, awet dan bebas dari bahan lain yang mengganggu seperti lumpur, agregat kasar harus mempunyai angularitas seperti yang didefenisikan sebagai persen terhadap berat agregat yang lebih besar dari 4,75 mm dengan muka bidang pecah satu atau lebih bedasarkan uji menurut SNI 7619 : 2012 dan harus memenuhi spesifikasi seperti yang disyaratkan pada Tabel 3.1. Agregat yang digunakan harus dari sumber dan jenis yang sama untuk menjamin keseragaman campuran.


(30)

Tabel 3.1. Persyaratan agregat kasar

Pengujian Standar Nilai

Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan

natrium sulfat

SNI 3407:2008 Maks. 12%

magnesium sulfat Maks. 18%

Abrasi dengan mesin Los Angeles Campuran AC Modifikasi 100 putaran SNI 2417:2008

Maks. 6 %

500 putaran Maks. 30%

Semua jenis campuran aspal bergradasi lainnya

100 putaran Maks. 8%

500 putaran Maks. 40%

Kelekatan agegat terhadap aspal SNI 2439:2011 Min. 95 %

Butir Pecah pada Agregat Kasar SNI 7619:2012 95/90

Partikel Pipih dan Lonjong

ASTM D4791 Perbandingan

1:5

Maks.10 %

Material lolos Ayakan No. 200 SNI

03-4142-1996 Maks. 2%

Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2010 (Revisi 3) b. Agregat Halus

Agregat halus yang digunakan untuk campuran aspal harus bersih, kering, kuat, bebas dari gumpalan-gumpalan lempung dan bahan-bahan lain yang dapat mengganggu serta terdiri dari butir-butir yang bersudut tajam dan mempunyai permukaan yang kasar. Agregat halus dapat digunakan dalam campuran AC sampat suatu batas tidak melampau 15% terhadap berat total campuran dan untuk memperoleh agregat halus yang memenuhi ketentuan diatas :

1. Bahan baku untuk agregat halus harus dicuci terlebih dahulu secara mekanis sebelum dimasukan ke mesin pemecah batu.

2. Faksi agregat halus yang diperoleh dari hasil pemecah batu tahap pertama (primary crusher) tidak boleh langsung digunakan. Agregat yang diperoleh dari tahap pertama harus diayak dan hasil ayakan yang tertahan itu merupakan agregat halus. Spesifikasi untuk agregat halus dapat dilihat pada Tabel 3.2.


(31)

19

Tabel 3.2.Persyaratan agregat halus

Pengujian Standar Nilai

Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 Min 60%

Angularitas dengan uji kadar

rongga SNI 03-6877-2002 Min 45%

Agregat lolos ayakan no.200 SNI ASTM C117:2012 Maks 10%

Kadar lempung SNI 03-4141-1996 Max 1%

Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2010 (Revisi 3) c. Bahan pengisi (Filler)

Filler merupakan bahan pengisi yang berupa atas debu batu kapur yang sesuai dengan AASHTO M303-89 (2006), filler didefinisikan sebagai fraksi debu mineral yang lolos saringan no. 200 (0,075 mm) tidak kurang dari 75% beratnya bisa berupa debu kapur, debu dolomit atau semen portland. Filler harus dalam keadaan kering dengan kadar air maksimum 3 % dari berat total aggregat. Pemberian filler pada campuran lapis keras mengakibatkan lapis keras mengalami berkurangnya kadar pori. Partikel

filler menempati rongga diantara partikel-parikel yang lebih besar, sehingga ruang antara partikel-partikel menjadi berkurang. Bahan pengisi

(filler) dapat berfungsi ganda dalam campuran beton aspal, selain sebagai bagian dari agregat, filler dalam mengisi rongga dan menambah bidang kontak antar butir agregat sehingga akan meningkatkan kekuatan campuran. Bila dicampur dengan aspal, filler akan membentuk bahan pengikat yang berkonsisten tinggi sehingga mengikat butiran agregat secara bersama-sama. Penambahan filler pada aspal akan meningkat konsistensi aspal.

2. Aspal

Aspal merupakan senyawa hidrokarbon berwarna hitam atau coklat tua, yang tersusun dari unsur-unsur aspalteness, resin dan oils, sedangkan senyawa hidrokarbon tersebut banyak terkandung dalam bitumen, sehingga aspal sering juga disebut sebagai bitumen. Asphaltenes yang merupakan material berwarna hitam atau coklat tua yang tidak larut dalam n-heptane. Asphaltenes menyebar di dalam larutan yang disebut maltenes. Malthenes larut dalam heptane, merupakan


(32)

cairan kental yang terdiri dari resins dan oils. Resins adalah cairan berwarna kuning atau coklat tua yang memberikan sifat adhesi dari aspal, merupakan bagian yang mudah hilang atau berkurang selama masa pelayanan jalan, sedangkan oils

yang berwarna lebih muda merupakan media dari asphaltenes dan resins.

Maltenes merupakan komponen yang mudah berubah sesuai perubahan

temperature dan umur pelayanan.

Menurut Sukirman (1999) aspal sering digunakan sebagai material perkerasan jalan karena berfungsi sebagai :

a. Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dan agregat dan antara sesama aspal.

b. Bahan pengisi, mengisi rongga antar butir agregat dan pori-pori yang ada di dalam butir agregat itu sendiri.

Aspal yang digunakan dalam campuran beraspal Laston (AC-WC) adalah aspal keras / asphalt cement penetrasi 60/70 yang memenuhi persyaratan seperti pada Tabel 3.3. Kadar aspal dalam campuran Laston merupakan perbandingan antara persentase berat aspal terhadap berat total campuran agregat, yang mana besaran persentase tersebut akan ditentukan dari hasil perhitungan pada benda uji pemeriksaan kadar aspal optimum (KAO). Kadar aspal yang semakin tinggi akan mempengaruhi kemampuan aspal untuk saling mengikat antar butir agregat dan mengurangi kadar rongga dalam campuran, tetapi apabila kadar aspal terlalu tinggi maka akan terjadi bleeding dimana material campuran lapisan perkerasan beraspal akan terpompa keluar atau lepas akibat beban lalu lintas (Sukirman, 2003).

Dalam AASTHO (1982) dinyatakan bahwa jenis aspal keras ditandai dengan angka penetrasi aspal, angka ini menyatakan tingkat kekerasan aspal atau tinggat konsentrasi aspal, semakin meningkatnya angka penetrasi aspal maka tingkat kekerasan aspal semakin tinggi. Terdapat bermacam-macam tingkat penetrasi aspal yang dapat di gunakan dalam campuran agregat aspal, antara lain 40/50, 60/70, 80/100. Umumnya aspal yang di gunakan di indonesia adalah aspal dengan pentrasi 60/70.


(33)

21

Fungsi kandungan aspal dalam campuran juga berperan sebagai selimut penyelubung agregat dalam bentuk tebal film aspal yang berperan menahan gaya geser permukaan dan mengurangi kandungan pori udara yang lebih lanjut, juga berarti mengurangi penetrasi air dalam campuran.

Pemeriksaan aspal tersebut antara lain : a. Pemeriksaan Penetrasi

Nilai penetrasi didapat dari uji penetrasi dari alat penetrometer pada suhu 25º C dengan beban 100 gram selama 5 detik, dilakukan sebanyak 5 kali.

Penelitian ini menggunakan jenis aspal keras dengan angka penetrasi 60/70 yang mengacu pada spesifikasi umum bidang jalan dan jembatan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 (Revisi 3).

b. Pemeriksaan Titik Lembek

Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk mengukur nilai temperatur saat bola-bola baja mendesar turun lapisan aspal yang ada pada cincin, hingga aspal tersebut menyentuh dasar pelat yang terletak dibawah cincin pada jarak 1 inchi, sebagai akibat dari percepatan pemanasan tertentu. Berat bola baja 3,45 – 3,55 gram dengan diameter 9,53 mm. Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengetahui batas kekerasan aspal. Pengamatan titik lembek dimulai dari suhu 5º C sebagai batas paling tinggi sifat kekakuan dari aspal yang disebabkan oleh sifat termoplastik. Penelitian ini mengacu pada Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 (Revisi 3).

c. Pemeriksaan Titik Nyala dan Titik Bakar

Pemeriksaan ini untuk menentukan suhu dimana diperoleh nyala pertama di atas permukaan aspal dan menentukan suhu dimana terjadi terbakarnya pertama kali di atas permukaan aspal. Dengan mengetahui nilai titik nyala dan titik bakar aspal, maka dapat diketahui suhu maksimum dalam memanaskan aspal sebelum terbakar. Penelitian ini mengacu pada Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 (Revisi 3).


(34)

d. Pemeriksaan Kehilangan Berat

Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui pengurangan berat akibat penguapan unsur – unsur aspal yang mudah menguap dalam aspal. Apabila aspal dipanaskan di dalam oven pada suhu 163º C dalam waktu 4,5 – 5 jam, maka akan terjadi reaksi terhadap unsur – unsur pada aspal, sehingga dimungkinkan sifat aspal akan berubah, hal ini tidak diharapkan pada lapis perkerasan lentur, untuk itu disyaratkan kehilangan berat aspal maksimum adalah 0,8% dari berat semula. Penelitian ini mengacu pada Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 (Revisi 3).

e. Pemeriksaan Daktilitas Aspal

Tujuan dari pemeriksaan ini adalah mengukur jarak terpanjang yang dapat ditarik pada cetakan yang berisi aspal sebelum putus pada suhu 25º C dengan kecepatan tarik 5 cm / menit. Penelitian ini mengacu pada Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 (Revisi 3).

f. Pemeriksaan Berat Jenis Aspal

Berat jenis aspal merupakan perbandingan antara berat aspal dengan berat air suling dengan volume yang sama. Penelitian ini mengacu pada Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 (Revisi 3).

g. Elastisitas

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai aspal yang dimodifikasi polimer jenis elastomer. Elastisitas merupakan perbandingan antara panjang aspal setelah mengalami elastisitas selama satu jam dengan panjang penarikannya yang dinyatkan dalam satuan persen. Penelitian ini mengacu pada Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 (Revisi 3).


(35)

23

Untuk mendapatkan campuran yang berkualitas baik terhadap aspal dan agregat, maka kadar aspal dalam campuran harus dirancang sedemikian rupa sehingga mendapatkan kadar aspal optimum. Bila kadar aspal yang ditambahkan lebih rendah dari kadar aspal optimum, maka film aspal yang menyelimuti agregat akan tipis. Film aspal yang tipis menyebabkan ikatan antara aspal dan agregat mudah mengelupas, mengakibatkan lapis permukaan atau perkerasan tidak lahi kedap air, oksidasi mudah terjadi, sehingga lapisan perkerasan mudah menjadi rusak.

Penambahan kadar aspal yang lebih tinggi dari kadar aspal optimum akan menyebabkan aspal tidak lagi dapat menyelimuti agregat dengan baik. Jika volume pori dalam total campuran kecil, maka dengan adanya pemadatan tambahan akibat beban lalu lintas dan temperatur udara yang tinggi akan menyebabkan aspal keluar dari lapisan (bleeding), dan mengakibatkan permukaan jalan menjadi licin dan tidak aman bagi pengguna jalan. Bleeding atau kegemukan adalah jenis kerusakan yang disebabkan sebagian atau seluruh agregat dalam campuran terselimuti aspal terlalu tebal, salah satunya akibat dari kelebihan prosentase aspal didalam campuran atau sebab lainnya. Kelebihan kadar aspal juga dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan permukaan seperti keriting

(corrugation), bergelombang (washboarding), dan pergeseran (shoving).

Penelitian ini menggunakan jenis aspal keras dengan angka penetrasi 60/70 yang mengacu pada spesifikasi umum bidang jalan dan jembatan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 (Revisi 3), seperti pada Tabel 3.3.


(36)

Tabel 3.3. Persyaratan Aspal Keras Pen 60/70

No Jenis Pemeriksaan Cara pemeriksaan Penetrasi

60/70 Satuan

Tipe II Aspal yang dimodifikasi

A B

Asbuton yang diproses

Elastomer sintesis

1 Penetrasi SNI 06-2456-1991 60-70 0,1

mm Min 50 Min 40

(25°C, 5 detik)

2 Viskositas Dinamis SNI 06-6441-2000 160-240 60°C 240-360 320-480

3 Viskositas kinemis SNI 06-6441-2000 >300 135°C

385-2000 < 3000

4 Titik Lembek SNI 2434:2011 >48 °C > 53 > 54

(ring ball)

5 Titik Nyala SNI 2433 : 2011 >232 °C >232 >232

(Clev.Open cup)

6 Daktilitas (25°C, SNI 2433 : 2011 >100 %

berat >100 >100

5 cm/menit) 7

Kelarutan dlm

trichloethy AASHTO 144-03 >99 %

berat >99 >99

8 Berat Jenis SNI 2441 : 2011 >1,0 gr/cc >1,0 >1,0

(25°C) 9

Stabilitas penyimpanan

perbedan titik

lembek

ASTM D 5976 part

6.1 - °C <2,2 <2,2

10

Partikel yang lebih

halus dari 150

micron

- - %

berat Min 95

Pengujian Residu hasil TFOT (SNI-03-6835-2002

11 Berat yang hilang SNI 06-2441-1991 <0,8 %

berat <0,8 <0,8

12 Viskositas dinamis SNI 03-6441-2000 <800 °C <1200 <1600

13 Penetrasi pada 25

°C SNI 06-2456-1991 >54

%

berat >54 >54

14 Daktalitas pada 25

°C SNI 2432 : 2011 >100 Cm >50 >25

15

Keelastisan setelah

pengembalian AASTHO T 301-98 - %

berat >60


(37)

25

Ada beberapa persamaan dalam menentukan kadar aspal optimum, salah satunya yang dirumuskan oleh Departemen Pekerjaan Umum (2010), dan SNI M-01-2003 pada metode pengujian campuran beraspal panas dengan alat Marshall, perkiraan awal kadar aspal rancangan adalah :

Pb = 0,035(% CA) + 0,045 (% FA) + 0,18 (% Filler) + K (3.1) dengan,

Pb = kadar aspal perkiraan

CA = agregat kasar tertahan saringan No. 8 (Course Aggregate)

FA = agregat halus lolos saringan No. 8 dan tertahan No. 200 (Fine Aggregate)

Filler = agregat halus lolos saringan No. 200

K = konstanta ; 0,5-1,0 untuk Laston (AC), 2,0-3,0 untuk Lataston (HRS) Kadar aspal optimum adalah nilai tengah dari rentang kadar aspal yang menggambarkan hubungan antara kadar aspal rancangan dengan nilai dari setiap parameter karakteristik Marshall, dan yang memenuhi sifat-sifat campuran serta ketentuan yang disyaratkan. Sifat-sifat benda uji yang sudah dipadatkan dihitung menggunakan metode persamaan yang ditunjukkan dalam petunjuk rancangan campuran aspal.

B. Pembagian Butir Agregat

Pembagian butir (gradasi) agregat adalah distribusi butir-butir agregat dengan ukuran tertentu yang diperoleh dari hasil analisis saringan dengan menggunakan satu set saringan yang dinyatakan dalam persentase lolos, atau persentase tertahan, dihitung berdasarkan berat agregat. Gradasi mempengaruhi sifat dari campuran aspal panas meliputi kekakuan, stabilitas, durabilitas, permeabilitas, workabilitas, kekesatan, dan ketahanan terhadap kerusakan.


(38)

Gradasi agregat menentukan besarnya rongga atau pori yang mungkin terjadi dalam campuran agregat. Distribusi butiran agregat dengan ukuran tertentu yang dimiliki oleh suatu campuran menentukan jenis gradasi agregat. Gradasi agregat dapat dikelompokkan dalam 3 jenis, yaitu :

1. Gradasi Menerus (Continous Graded), atau biasa disebut gradasi rapat (dense graded) yaitu ukuran butir agregat dimana rongga antar butiran besar diisi oleh butiran yang lebih kecil lagi, atau gradasi yang mempunyai ukuran butiran dari terbesar sampai terkecil. Biasanya disebut juga gradasi padat atau gradasi baik karena memadat akibat saling mengisi dan mengunci

(interlocking). Campuran agregat bergradasi rapat akan menghasilkan lapis perkerasan dengan stabilitas tinggi, kurang kedap air, sifat drainase jelek, dan berat volume besar.

2. Gradasi Tunggal (Single Graded), atau gradasi seragam (uniformly atau one size graded), adalah butiran agregat yang mayoritas satu ukuran, biasanya masih terdapat sedikit butiran halus yang ikut terbawa sehingga tidak dapat mengisi rongga antar agregat. Gradasi ini tidak rawan terhadap segregasi dan umumnya merupakan produk crusher yang dapat dengan mudah diatur proporsinya untuk mencapai gradasi yang diinginkan. Campuran agregat ini mempunyai pori yang cukup besar, sehingga sering disebut juga agregat bergradasi terbuka (open graded). Campuran agregat bergradasi tunggal atau seragam akan menghasilkan lapis perkerasan dengan sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang, dan berat volume kecil.

3. Gradasi Senjang (Gap Graded), adalah ukuran butiran agregat yang sedemikian hingga tidak ada, atau hampir tidak ada suatu rentang ukuran „‟menengah‟‟. Perbedaan material untuk ukuran butiran menengah yang berukuran jika dibawah 10 % baru disebut gradasi senjang. Campuran bergradasi senjang akan menghasilkan lapis perkerasan yang mutunya terletak antara kedua jenis diatas.


(39)

27

Menurut Robert (1991), gradasi agregat merupakan gambaran distribusi ukuran partikel agregat berupa presentase lolos saringan. Gradasi ditentukan dari analisis saringan dengan menggunakan satu set saringan sesuai dengan spesifikasi gradasi campuran, saringan yang paling besar diletakkan paling atas dan saringan yang paling kecil diletakkan paling bawah. Satu set saringan berdasarkan AASHTO menunjukkan ukuran bukaan dari masing-masing saringan seperti yang ditampilkan pada Tabel 3.4 dibawah ini.

Tabel 3.4.Ukuran Bukaan Saringan

Sumber : Sukirman, 2006

Pada campuran AC – WC digunakan agregat dengan gradasi menerus (Single graded). Seperti terlihat pada contoh batas-batas “bahan bergradasi menerus‟‟ yang lolos ayakan No. ¾ (19 mm) dan tertahan ayakan No. 200 (0,075 mm) dalam Tabel 3.5.

Ukuran Saringan

Bukaan (mm)

Ukuran Saringan

Bukaan (mm)

4 inchi 100 3/8 inchi 9,5

3 1/2inchi 90 No. 4 4,75

3 inchi 75 No. 8 2,36

2 1/2 inchi 63 No. 16 1,18

2 inchi 50 No. 30 0,6

1 1/2 inchi 37,5 No. 50 0,3

1 inchi 25 No. 100 0,15

3/4 inchi 19 No. 200 0,075


(40)

Tabel 3.5. Gradasi agregat gabungan untuk campuran Laston (AC-WC) Ukuran Ayakan % Berat lolos terhadap

total agregat

Inchi Mm

Wearing Coarse

(WC)

Base

1½ 37,5 - 100

1 25 - 90 – 100

¾ 19 100 76 – 90

½ 12,5 90 – 100 60 – 78 ⅜ 9,5 77 – 90 52 – 71 No.40 4,75 53 – 69 35 – 54

No.8 2,36 33 – 53 23 – 41 No.16 1,18 21 – 40 13 – 30 No.30 0,6 14 – 30 10 – 22 No.50 0,3 9 – 30 6 – 15 No.100 0,15 6 – 15 4 – 10 No.200 0,075 4 – 9 3 – 7 Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi (Revisi 3)

C. Pengujian Metode Marshall (Marshall Test)

Pada pengujian ini meliputi pengukuran stabilitas dan pelelehan (flow)

suatu campuran beraspal dengan butir agregat berukuran maksimum 25,4 mm. Stabilitas adalah kemampuan suatu campuran aspal untuk menerima beban sampai terjadi alir (flow) yang dinyatakan dalam kilogram. Alir (flow) adalah keadaan perubahan bentuk suatu campuran aspal yang terjadi akibat suatu beban, dinyatakan dalam mm. Acuan normatif yaitu SNI 06-2489-1991, AASHTO T 245-97, AASHTO T 209-90, BS 598, dan Asphalt Institute MS-2-1994.

Pengujian Marshall merupakan suatu metode untuk menentukan rancangan campuran agregat-aspal, dimana dalam metode ini terlebih dahulu dibuat benda uji padat yang dibentuk dari agregat campuran dan aspal dengan kadar tertentu sesuai spesifikasi campuran. Pengujian Marshall dilakukan dengan menggunakan alat Marshall, merupakan alat tekan yang dilengkapi kepala penekan (breaking head) berbentuk lengkung, cincin penguji (proving ring)

kapasitas 2500 kg dan atau 5000 kg yang digunakan untuk mengukur nilai stabilitas, arloji (dial) tekan dengan ketelitian 0,0025 mm, arloji pengukur alir


(41)

29

(flow) dengan ketelitian 0,25 mm digunakan untuk mengukur kelelehan plastis

(flow) beserta perlengkapannya.

Sebelum melakukan pengujian, ada persiapan pengujian. Adapun persiapan pengujiannya adalah sebagai berikut:

1. Membersihkan benda uji dari kotoran-kotoran yang menempel. 2. Mengukur tinggi benda uji dengan ketelitian 0,1 mm (0,004 inci). 3. Menimbang benda uji.

4. Merendam benda uji dalam air selama kira-kira 10 menit pada temperature ruang.

5. Menimbang benda uji dalam air untuk mendapatkan isi/volume dari benda uji. 6. Menimbang benda uji dalam kondisi kering permukaan jenuh.

Setelah itu waktu yang diperlukan dan saat diangkatnya benda uji dari rendaman air sampai tercapai beban maksimum tidak boleh melebihi 30 detik. Untuk pengujian campuran dengan Metode Marshall adalah sebagai berikut: 1. Merendam benda uji aspal panas dalam penangas air selama 30 sampai 40

menit dengan temperature tetap 60°C.

2. Mengeluarkan benda uji dari penangas air dan meletakan dalam bagian bawah alat penekan uji Marshall, dengan melapisi benda uji dengan selebaran plastik agar tidak menempel dengan alat penguji.

3. Kemudian memasangkan bagian alat penekan benda uji Marshall diatas benda uji dan meletakkan seluruhnya dalam mesin uji Marshall.

4. Sebelum pembebanan diberikan, kepala penekan beserta benda uji dinaikkan sehingga menyentuh alas cincin penguji.

5. Mengatur jarum arloji pengukur stabilitas dan pengukur pelelehan pada kedudukan angka nol.

6. Memberikan pembebanan pada benda uji dengan kecepatan tetap sebesar 50 mm per menit sampai pembebanan maksimal tercapai, atau pembebanan menurun seperti yang ditunjukan oleh jarum arloji tekan, dan mencatat pembebanan maksimum yang dicapai.


(42)

D. Metode Pengujian Material 1. Agregat Kasar

Agregat kasar merupakan kerikil sebagai hasil disintegrasi „alami‟ dari batuan atau berupa batu pecah yang diperoleh dari industri pemecah batu dan mempunyai ukuran butir antara 4,75 mm (No.4) sampai 40 mm (No.11/2

inchi). Beberapa perhitungan dalam agregat kasar yaitu :

a. Berat Jenis Curah Kering

Dalam perhitungan berat jenis curah kering (Sd) menggunakan persamaan

sebagai berikut :

Berat Jenis Curah Kering = (3.2)

dengan,

A = berat benda uji kering oven (gram)

B = Berat Benda Uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram) C = Berat Benda Uji dalam air (gram)

b. Berat Jenis Curah (Jenuh Kering Permukaan)

Dalam perhitungan berat jenis curah kering permukaan (SS) menggunakan

persamaan sebagai berikut :

Berat Jenis Curah (Jenuh Kering Permukaan) = (3.3) dengan,

B = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram) C = berat benda uji dalam air (gram)

c. Berat Jenis Semu

Dalam perhitungan berat jenis semu (Sa) menggunakan persamaan sebagai

berikut :


(43)

31

dengan,

A = berat benda uji kering oven (gram) C = berat benda uji dalam air (gram)

d. Penyerapan Air

Dalam perhitungan persentase penyerapan air (Sw) menggunakan

persamaan sebagai berikut :

Penyerapan air = x 100% (3.5) dengan,

A = berat benda uji kering oven (gram)

B = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram)

e. Keausan Agregat dengan mesin Los Angeles

Keausan Agregat dengan mesin Los Angeles merupakan pengujian untuk mengetahui angka keausan yang dinyatakan dengan perbandingan antara berat bahan aus terhadap berat semula dalam persen. Untuk menghitung keausan agregat maka digunakan persamaan sebagai berikut :

Keausan = x 100% (3.6)

dengan,

A = berat benda uji semula (gram)

B = berat benda uji tertahan saringan No.12 (1,70mm) (gram)

2. Agregat Halus

Agregat halus ialah merupakan pasir alam sebagai hasil disintegrasi „alami‟ batuan atau pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu dan mempunyai ukuran butir terbesar 4,75 mm (No.4). Dalam menghitung berat jenis agregat halus menggunakan piknometer, dengan cara menghitung jumlah air yang dibutuhkan untuk mengisi piknometer pada temperatur yang ditentukan secara volumetrik dengan menggunakan buret yang ketelitiannya


(44)

0,15 mL. Hitung berat total piknometer, benda uji dan air dengan rumus :

C = 0,9975.Va + S + W (3.7)

dengan,

C = berat piknometer, benda uji dan air pada batas pembacaan (gram) Va = volume air yang dimasukkan kedalam piknometer (mL)

S = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan (gram) W = berat piknometer kosong (gram)

Langkah alternatif lainnya menggunakan labu Le Chatelier adalah dengan mengisi labu tersebut dengan air sampai pada posisi garis yang berada di antara 0 dan 1mL. Beberapa perhitungan dalam agregat halus yaitu :

a. Berat Jenis Curah Kering

Dalam perhitungan berat jenis curah kering (Sd) menggunakan persamaan

sebagai berikut :

Berat Jenis Curah Kering = (3.8)

dengan,

A = berat benda uji kering oven (gram) B = berat piknometer yang berisi air (gram) C = berat piknometer dengan benda (gram)

S = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan (gram)

Jika labu Le Chatelier digunakan, maka berat jenis curah kering dihitung dengan persamaan :

Berat jenis curah kering = (3.9)

dengan,


(45)

33

R1 = pembacaan awal posisi air pada labu Le Chatelier R2 = pembacaan akhir posisi air pada labu Le Chatelier S = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan (gram) S1 = berat benda uji kondisi jkp yang dimasukkan ke labu (gram)

b. Berat Jenis Curah (Jenuh Kering Permukaan)

Dalam perhitungan berat jenis curah kering permukaan (SS) menggunakan

persamaan sebagai berikut :

Berat Jenis Curah = (3.10) dengan,

B = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram) C = berat benda uji dalam air (gram)

S = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan (gram)

Jika labu Le Chatelier digunakan, maka berat jenis curah kering dihitung dengan persamaan :

Berat jenis curah kering = (3.11)

dengan,

R1 = pembacaan awal posisi air pada labu Le Chatelier R2 = pembacaan akhir posisi air pada labu Le Chatelier

S1 = berat benda uji kondisi jkp yang dimasukkan ke labu (gram) c. Berat Jenis Semu

Dalam perhitungan berat jenis semu (Sa) menggunakan persamaan sebagai

berikut :


(46)

dengan,

A = berat benda uji kering oven (gram) B = berat piknometer yang berisi air (gram)

C = berat piknometer dengan benda uji dan air sampai batas pembacaan (gram)

d. Penyerapan Air

Dalam perhitungan persentase penyerapan air (Sw) menggunakan

persamaan sebagai berikut :

Penyerapan air = x 100% (3.13)

dengan,

A = berat benda uji kering oven (gram)

S = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram)

3. Aspal

Fungsi kandungan aspal dalam campuran juga berperan sebagai selimut penyelubung agregat dalam bentuk tebal film aspal yang berperan menahan gaya geser permukaan dan mengurangi kandungan pori udara yang lebih lanjut, juga berarti mengurangi penetrasi air dalam campuran.

Pemeriksaan aspal tersebut antara lain : a. Pemeriksaan Penetrasi

Penetrasi merupakan kekerasan yang dinyatakan sebagai kedalaman masuknya jarum penetrasi standar secara vertikal yang dinyatakan dalam satuan 0,1 mm pada kondisi beban, waktu dan temperatur yng diketahui.Untuk mendapatkan nilai penetrasi dilakukan dengan cara menggunakan alat penetrometer.

b. Titik Lembek

Untuk mendapatkan nilai titik lembek aspal dilakukan pengujian titik lembek menggunakan alat cincin dan bola,dimaksudkan untuk


(1)

dipanaskan dan diaduk sampai Styrofoam dan aspal tercampur merata.

Gradasi agregat yang digunakan untuk campuran Laston diambil dari gradasi tengah spesifikasi Laston seperti yang dijelaskan pada Tinjauan pustaka. Kadar aspal yang digunakan adalah 5%, 5,5%, 6%, 6,5% dan 7% dari total campuran agregat. Styrofoam yang digunakan sebanyak 0%, 2%, 4%, dan 6% dari berat total aspal.

Setelah itu agregat ditimbang sesuai dengan perencanaan gradasi setiap nomor saringan atau fraksinya. Misalnya jumlah agregat yang tertahan saringan No. 4 sebanyak 25% dari total berat agregat (1200 gram) atau sebanyak 300 gram.

Lalu agregat dipanaskan hingga suhu 160°C, kemudian dicampur dengan aspal yang telah ditambahkan Styrofoam sesuai kadar yang direncanakan, yakni 0%, 2%, 4%, dan 6% dari total berat aspal. Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam cetakan untuk ditumbuk sebanyak 2×75 kali. Benda uji dibuat sebanyak dua buah untuk setiap kadar aspal. Setelah itu pengujian benda uji dengan menggunakan Alat Uji Marshall. Selesai pengujian ini didapat nilai KAO, dimana nilai KAO ini akan digunakan sebagai acuan dalam pengujian selanjutnya yaitu pengujian aspal styrofoam. Agar lebih jelas, untuk bagan alir penelitiannya adalah sebagai berikut :

Mulai

Pengujian Sifat dan Bahan

Agregat kasar dan halus : 1. Berat jenis Agregat 2. Keausan agregat 3. Analisis saringan Aspal Penetrasi 60/70 :

1. Penetrasi 2. Berat Jenis Aspal

3. Kehilangan Berat Minyak 4. Titik Lembek Aspal 5. Daktilitas

6. Titik Nyala dan Titik bakar

Spesifikasi

Pembuatan Benda Uji dengan variasi kadar aspal : 5%, 5,5%, 6%, 6,5%,7% Pengujian Benda Uji dengan Metode Marshall

Analisis Spesifikasi

Kadar Aspal Optimum : 6% Pengujian Aspal dan Styrofoam: 1. Penetrasi

2. Berat Jenis Aspal

3. Kehilangan Berat Minyak 4. Titik Lembek Aspal 5. Daktilitas

6. Titik Nyala dan Titikbakar A


(2)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian agregat Tabel 3 . Hasil pengujian agregat kasar

No Jenis Pengujian Satuan Hasil Spesifikasi Pengujian Standar Minimal Maksimal

I. Agregat Kasar

1 Berat Jenis Bulk - 2,59 - - SNI 1969 : 2008

2 Berat jenis Apparent - 2,79 2,5 - SNI 1969 : 2008

3 Berat jenis efektif - 2,69 - - SNI 1969 : 2008

4 Penyerapan % 0,028 - 3 SNI 1969 : 2008

5 Pengujian Abrasi % 36,4 - 40 SNI 2417 : 2008

II. Agregat Halus

1 Berat Jenis Bulk - 2,5646 - - SNI 1970 : 2008

2 Berat jenis Apparent - 2,6667 2,5 - SNI 1970 : 2008

3 Berat jenis efektif - 2.6158 - - SNI 1970 : 2008

4 Penyerapan % 1,6466 - 3 SNI 1970 : 2008

Pada Tabel 5.1 di atas dapat dilihat bahwa

agregat yang digunakan pada penelitian ini,

memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh

SNI 1969 : 2008 SNI 2417 : 2008 dan SNI

1970 : 2008

,

sehingga agregat tersebut dapat

digunakan sebagai bahan dasar campuran

aspal dari penelitian ini.

Hasil Pengujian aspal

Tabel 4. Hasil pengujian Aspal pen 60/70 No Jenis Pengujian Satuan Hasil

rata-rata

Spesifikasi

Pengujian Standar

Min Maks 1 Penetrasi (25º, 5

dt, 100 gr) 0,1 mm 72,2 60 79 SNI 06-2456-1991

2 Titik Lembek ºC 50 48 58 SNI 2434 : 2011

3 Titik Nyala ºC 338 232 - SNI 2433 : 2011

4 Daktilitas cm 130 100 - SNI 2432 : 2011

5 Berat Jenis gr/cm3 1,045 1 - SNI 2441 : 2011

6 Kehilangan Berat % berat 0,03 - 0,8 SNI 06-2441-1991 Berdasarkan hasil pada Tabel 4,

menunjukkan bahwa pengujian penetrasi rata-rata adalah 72,2 dmm. Hasil ini masih berada dalam batas untuk aspal penetrasi 60/70 yaitu antara 60-79. Pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan daktilitas yang bertujuan untuk mengukur fleksibilitas aspal yang digunakan. Menurut persyaratan dari SNI 2432 : 2011, nilai minimal untuk daktilitas adalah 100 cm dan hasil pemeriksaan daktilitas didapat sebesar 130 cm, sehingga aspal yang digunakan memenuhi syarat.

Dari hasil pengujian terhadap sifat titik lembek dan nyala aspal diperoleh nilai rata-rata titik lembek sebesar 50°C dan titik nyala aspal

pada suhu 338°C. Kedua pemeriksaan titik lembek dan titik nyala tersebut masih dalam

persyaratan menurut SNI 2434 : 2011 (untuk titik lembek) dan SNI 2433 : 2011 (untuk titik nyala).

Pemeriksaan kehilangan berat aspal berguna untuk mengetahui pengurangan berat


(3)

akibat penguapan unsur-unsur aspal yang mudah menguap dalam aspal atau untuk mengetahui kemurnian aspal. Penurunan berat aspal optimum yang diperkenankan adalah 0,8 % dari berat semula dan hasil pemeriksaan menunjukkan penurunan aspal sebesar 0,03%, dengan demikian benda uji memenuhi persyaratan SNI 06-2441-1991.

Dari hasil pemeriksaan berat jenis aspal diperoleh nilai sebesar 1,045 gr/cc sehingga aspal dalam penelitian ini memenuhi syarat SNI 2441 : 2011 yaitu minimal 1 gr/cc.

Hasil pengujian Aspal Styrofoam Styrofoam merupakan kumpulan zat Phasticier,

Seng, dan Senyawa Butadien yang telah mengalami reaksi polimerarisasi, dimana Senyawa Butadien ini akan membentuk

Polibutadiena (Karet Sintetis). Sehingga dari unsur unsur Senyawa ini Modifikasi antara Aspal

dan Styrofoam perlu di periksa di laboratorium. Hasil modifikasi ini yang masuk dalam Spesifikasi maka bisa digunakan untuk bahan pengikat dalam campuran perkerasan. Hasil pengujian aspal Styrofoam diberikan dalam Tabel 5.3.

Tabel 5 Hasil pengujian aspal styrofoam

No Jenis Pengujian Satuan Hasil rata-rata

Spesifikasi

Pengujian Standar

Min Maks

1 Penetrasi 2% 0,1 mm 64,2 40 - SNI 06-2456-1991 2 Penetrasi 4% 0,1 mm 60,2 40 - SNI 06-2456-1991 3 Penetrasi 6% 0,1 mm 53,4 40 - SNI 06-2456-1991

4 Titik Lembek 2% ºC 52 54 - SNI 2434 : 2011

5 Titik Lembek 4% ºC 54 54 - SNI 2434 : 2011

6 Titik Lembek 6% ºC 56 54 - SNI 2434 : 2011

7 Elastisitas 2% % 87 60 - AASHTO T 301 - 98 8 Elastisitas 4% % 84 60 - AASHTO T 301 - 98 9 Elastisitas 6% % 80 60 - AASHTO T 301 - 98 10 Berat Jenis 2% gr/cm3 1,041 1 - SNI 2441 : 2011 11 Berat Jenis 4% gr/cm3 1,035 1 - SNI 2441 : 2011 12 Berat Jenis 6% gr/cm3 1,030 1 - SNI 2441 : 2011 Berdasarkan Tabel 5 hasil penetrasi masih

berada dalam batas untuk aspal yang dimodifikasi yaitu minimal 40, pada pengujian titik lembek, Elastisitas dan Berat jenis juga masih berada dalam batas minimal untuk aspal modifikasi yaitu

54°C (Titik lembek), 60% (Elastisitas) dan 1 gr/cm3 (Berat Jenis).

Terjadinya penurunan nilai Penetrasi, Elastisitas, Berat jenis aspal styrofoam dan kenaikan nilai Titik lembek dikarenakan adanya


(4)

kandungan karet sintetis pada styrofoam dan

menandakan bahwa penambahan styrofoam bagus digunakan sebagai bahan tambahan untuk bahan pengikat perkerasan jalan

Hasil pengujian Marshall

Tabel 6. Hasil pengujian Marshall

No Kriteria Spesifikasi Kadar styrofoam terhadap aspal

0% 2% 4% 6%

1 Density 2.35 2.34 2.27 2.28

2 VFWA (%) min 65 75.97 75.49 65.09 64.28

3 VITM (%) 3-5 4.27 4.62 4.05 7.26

4 VMA (%) min 15 17.76 18.06 20.56 20.33

5 Stability (kg) Min 800 1643.91 1651.69 1654.36 1659.07

6 Flow (mm) 2-4 3.90 3.21 3.15 2.46

7 MQ (kg/mm) min 250 609.14 500.76 513.74 677.41

Kepadatan adalah berat campuran yang diukur tiap satuan volume, nilai kepadatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kadar aspal dan kekentalan aspal. Campuran dengan kepadatan yang tinggi mempunyai kemampuan menahan beban lalu lintas yang lebih baik, serta memiliki kekedapan yang tinggi terhadap air dan udara. Dari grafik diatas terlihat bahwa penambahan styrofoam cenderung menurunkan nilai kepadatan (density) dikarenakan penambahan styrofoam mengandung karet sintetis sehingga mengakibatkan lebih peka terhadap suhu.

Nilai stabilitas digunakan sebagai parameter untuk menggambar dan mengukur ketahanan terhadap kelelehan plastis dari suatu campuran aspal atau kemampuan campuran untuk menahan deformasi yang terjadi akibat beban lalu lintas. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai stabilitas

diantaranya adalah gradasi agregat dan kadar aspal. Selain itu stabilitas dipengaruhi oleh

Interlocking, kohesi, adhesi dan internal friction.

Dari Tabel 7 terlihat bahwa nilai stabilitas tertinggi dicapai dengan kadar styrofoam 6% yaitu sebesar 1659.07 kg dan nilai terendah dikadar

styrofoam 0% yaitu 1643.91, kenaikan stabilitas di kadar styrofoam 6% dikarenakan nilai penetrasi yang dihasilkan dari pencampuran aspal

styrofoam lebih rendah dibandingkan dengan aspal pen 60/70.

Kelelehan menunjukkan besarnya deformasi dari campuran akibat beban yang bekerja pada perkerasan. Nilai kelelehan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain gradasi, kadar aspal, bentuk dan permukaan agregat. Terlihat didalam Tabel 7 bahwa

penggunaan styrofoam dalam campuran Laston menurunkan nilai kelelehan, kejadian penurunan itu dipengaruhi oleh kadar aspal dalam campuran, suhu dan partikel agregat. Tingginya nilai kelelehan mengindikasi terjadinya problem durabilitas pada perkerasan, sedangkan nilai kelelehan yang rendah juga mengindikasikan campuran tersebut sangat kaku, yang bisa menyebabkan terjadinya retak (cracking).

Untuk nilai VITM menunjukan nilai persentase rongga dalam suatu campuran aspal. Nilai VITM berpengaruh terhadap nilai dari durabilitas, semakin besar nilai VITM menunjukan campuran bersifat keropos (porous) dan untuk nilai VMA atau yang lebih dikenal dengan rongga dalam agregat merupakan salah satu parameter penting dalam rancangan campuran aspal, karena pengaruhnya terhadap ketahanan dari campuran aspal. VMA menunjukkan banyaknya % aspal dan %

styrofoam dari rongga yang terisi aspal styrofoam. Pada Tabel 7 terlihat bahwa dengan penambahan

styrofoam dapat meningkatkan nilai VITM dan VMA. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai

VITM dan VMA tinggi yaitu karena campuran terlalu kasar, kesalahan perbandingan campuran, pada saat penumbukan dilakukan campuran sudah terlalu dingin, kecerobohan pekerja dan bisa dikarenakan adanya kesalahan dalam batch. Nilai VITM terus meningkat hingga penambahan

Styrofoam sebanyak 6% namun disini ada sedikit penurunan angka VITM pada penambahan

Styrofoam sebanyak 4%. Dan Nilai VMA tertinggi terjadi pada campuran menggunakan 4%

Styrofoam, yakni sebesar 20,56% dan di 6%


(5)

masih lebih tinggi dari pada kadar 2% styrofoam. Jadi Nilai VITM yang masuk spesifikasi yaitu pada kadar styrofoam 0%, 2% dan 4%, sedangkan untuk nilai VMA semuanya masuk spesifikasi.

Rongga dalam campuran terjadi akibat adanya ruang sisa antar butiran penyusun campuran. Rongga ini dalam kondisi kering akan diisi oleh udara dan dalam kondisi basah akan diisi oleh air. Penggunaan % styrofoam sebagai pengganti agregat cenderung menurunkan nilai VFWA seperti yang terlihat di Tabel diatas dikarenakan kadar styrofoam yang digunakan sebagai bahan tambah tidak memiliki sifat adhesi dan kohesi seperti aspal. Dari grafik di atas terlihat bahwa yang memenuhi spesifikasi minimum yang dipersyaratkan oleh Bina Marga untuk VFWA sebesar 65% adalah campuran 0% Styrofoam, 2%, dan 4%. Kadar styrofoam yang lebih dari 6% Styrofoam tidak bisa menjadi bahan addictive campuran Laston, karena nilai VFWA 6% Styrofoam tidak memenuhi spesifikasi minimum yang dipersyaratkan.

Nilai MQ dihitung sebagai rasio dari stabilitas terhadap kelelehan yang digunakan sebagai indikator kekakuan campuran. Semakin tinggi nilai MQ suatu campuran, maka semakin kaku campuran tersebut. Dilihat dalam Tabel 7 nilai MQ mengalami penurunan dikadar styrofoam 2% namun kemudian mengalami peningkatan seiring bertambahnya kadar styrofoam, ini dikarenakan seiring penambahan styrofoam membuat perkerasan kaku karena perbandingan stabilitas dan kelelehan. Namun nilai MQ disini masih masuk spesifikasi yang disyaratkan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan pembahasan yang dilakukan pada campuran Laston dengan menggunakan polimer styrofoam sebagai campuran pada aspal, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain :

1. Sifat fisik styrofoam yang diperoleh dari pengujian didapatkan hasil berat jenis sebesar 1,041 untuk styrofoam 2%, 1,035 untuk styrofoam 4% dan 1,03 untuk styrofoam 6%.

2. Sifat fisik styrofoam Kehilangan berat akibat pemanasan didapat sebesar 0,03 %wt, sedangkan standar yang diperbolehkan adalah kuang dari 0,8 %wt,titik lembek yang

di dapat sebesar 520C untuk campuran styrofoam 2%, 540C untuk campuran styrofoam 4% dan 560C untuk campuran styrofoam 6%.

3. Sifat fisik styrofoam pada uji Elastisitas sebesar 87% untuk campuran styrofoam 2%, 84% untuk campuran styrofoam 4% dan 80% untuk campuran styrofoam 6% dengan syarat

elastisitas ≥60% sehingga Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2010 (Revisi 3).

4. Sifat fisik styrofoam yang diperoleh dari pengujian Pentrasi aspal sebesar 64,2 untuk campuran styrofoam 2%, 60,2 untuk campuran styrofoam 4%, dan 53,4 untuk campuran styrofoam 6% dengan standar yang di gunakan minimum 40.

5. Penggunaan styrofoam pada aspal dalam campuran Laston menyebabkan perubahan nilai karakteristik Marshall, dengan hasil-hasil pengujian sebagai berikut :

a. Nilai stabilitas semakin meningkat dengan bertambah nya kadar styrofoam dan nilai stabilitas memenuhi Spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum 2010 (Revisi 3), persyaratan untuk nilai stabilitas yaitu minimal 800 kg, sehingga dari campuran-campuran tersebut memenuhi syarat minimal untuk stabilitas b. Nilai kelelehan tertinggi terjadi pada campuran Laston menggunakan 0% styrofoam, yakni sebesar 3,65 mm. Sedangkan nilai kelelehan terendah terjadi pada campuran Lastaton tanpa menggunakan 6% styrofoam, yakni sebesar 3,2 mm.

c. Nilai VITM secara umum mengalami kenaikan sejalan dengan penambahan kadar styrofoam sehingga pada kadar syrofoam 6% tidak memnuhi spesifikasi dari VITM berkisar antara 3%-6% dan hasil dari VITM pada kadar 6% sebesar 7,26%

d. Nilai VMA kadar styrofoam sebanyak 2%, nilai VMA menjadi sebesar 18.06% dan untuk styrofoam 4% nilai VMA 20,56% dan kadar styrofoam 6% dengan nilai VMA sebesar 20,33% dan masih memenuhi Spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum 2010 (Revisi 3).

e. Nilai VFWA pada campuran dengan kadar styrofoam 2% mengalami sedikit penurunan sebesar 75,49% dan nilai tertinggi pada kadar styrofoam 0% yakni 75,97% namun hasil dari campuran aspal


(6)

2% sampai 6% masih memenuhi Spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum 2010 (Revisi 3).

f. Nilai MQ tertinggi terjadi pada campuran menggunakan 6% styrofoam sebesar 677, 4 kg/mm, 4% styrofoam sebesar 513,7 kg/mm dan untuk 2% styrofoam mengalami penurunan sebesar 500,8 kg/mm.

6. Adapun perbandingan nilai karaktristik Marshall campuran Laston menggunakan styrofoam sebanyak 0%, 2%, 4% dan 6%, sebagai berikut :

a. Semakin banyak styrofoam yang digunakan dalam campuran perkerasan dapat meningkatkan nilai stabilitas. Meningkatkan stabilitas campuran yaitu meningkatkan kemampuan campuran Laston -WC untuk memikul beban lalulintas sampai terjadi kelelehan plastis. b. Semakin banyak styrofoam yang digunakan dalam campuran Laston cenderung menurunkan nilai kelelehan karena aspal semakin mengeras.

c. Penggunaan styrofoam sebagai campuran pada aspal menaikkan nilai VITM, atau dalam hal ini air dan udara dapat mudah masuk dalam perkerasan yang menyebabkan oksidasi dan integritas.. d. Semakin banyak styrofoam sebagai

campuran pada aspal cenderung menurunkan nilai VMA, sehingga konstruksi jalan dapat lebih awet.

e. Penambahan styrofoam pada campuran aspal Laston cenderung mennurunkan nilai VFWA, sehingga mempengaruhi kadar aspal efektif yang akan menyelimuti material dan menentukan kinerja campuran dalam suatu konstruksi. f. Penggunaan styrofoam cenderung meningkatkan nilai MQ. Penambahan Styrofoam dapat meningkatkan kemampuan konstruksi jalan dalam menerima beban, namun konstruksi tersebut masih fleksibel dan lentur. g. Penggunaan aspal yang terlalu banyak

mengakibatkan nilai VMA meningkat dan VITM kecil dan terjadi bleeding. 7. Styrofoam dapat digunakan sebagai

campuran aspal pada perkerasan Lapis Aspal Beton (Laston)

Saran

1. Pada penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pengujian untuk mengetahui keterkaitan kimia antara aspal-styrofoam. 2. Perlu dilakukan penelitian dengan

menggunakan jenis aspal dan campuran lain sebagainya untuk variasi terhadap temperatur.

3. Pada penelitian bisa di gunakan jenis aspal dan styrofoam yang berbeda untuk mengetahui sifat fisik dari aspal modifikasi. 4. Dapat dilakukan dengan pengkajian tentang

kohesitas campuran terhadap kadar aspal dengan menggunakan metode ITS (indirect Tensile Strength).

5. Dilakukan pengkajian terhadap pelaksnaan perkerasan dengan campuran AC – WC menggunakan styrofoam di lapangan.

6. Dengan hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi pedoman dalam perencanaan penggunaan styrofoam sebagai campuran jenis perkerasaan hot Rolled Sheet.

DAFTAR PUSTAKA

Bina Marga, 1983, Petunjuk Pelaksanaan Lapis Aspal Beton (Laston) no 13 /PT/B/1983, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.

Bina Marga, 1999, Pedoman Campuran Beraspal dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak, Jakarta : Departemen Pekerjaan Umum.

Bina Marga, 2010, Spesifikasi Umum Direktorat Jenderal Bina Marga Kementrian Pekerjaan Umum, Yogyakarta.

Hesty dan Sofyan, 2014, Pengaruh Subtitusi Styrofoam kedalam Aspal Penetrasi 60/70 terhadap karakteristik Campuran Aspal Porus, jurnal Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala.

Lavin, P.G, 2003, Asphalt Pavement, London and New York : Spon press.

Sukirman, S, 1999, Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit NOVA, Bandung.

Sukirman, S, 2003, Beton Aspal Campuran Panas, Penerbit : Granit, Jakarta.

Totomohardjo, S, 2004, Bahan dan Struktur Jalan Raya, BPTS, Yogyakarta