ideologi dominan. Media juga menampilkan perempuan dalam penggambaran yang disesuaikan dengan kebutuhan ideologi dominan tersebut. Khalayak
diharapkan memiliki kesadaran gender dan tidak begitu saja menerima berbagai stereotip tradisional yang dilekatkan pada mereka dalam media arus utama.
1.5. Kerangka Pemikiran
1.5.1. Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan sistem kepercayaan dasar basic belief system atau cara pandang yang membimbing peneliti, bukan hanya untuk menentukan metode,
namun juga cara-cara fundamental secara epistemologi dan ontologi Guba Lincoln, 1994: 105. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah
paradigma kritis yang mengacu pada alternative paradigm yang
mengartikulasikan ontologi berdasarkan realisme historis, dimana realitas yang teramati virtual reality sebenarnya merupakan “realitas semu” yang terbentuk
oleh berbagai kekuatan sosial, politik, kultural, ekonomi, etnik dan gender. Oleh karena itu, epistemologi penelitian dalam paradigma kritis besifat
transaksionalsubjektivis yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu dengan menggunakan metodologi yang bersifat dialektikal Guba Lincoln, 1994: 110.
Dikatakan Neuman 1997: 75, paradigma kritis mengasumsikan bahwa realitas sosial memiliki banyak tingkatan dimana di balik realitas luar permukaan yang
mudah diamati, terdapat struktur dan mekanisme yang ”dalam” dan tak teramati. Peristiwa dan hubungan sosial yang “dangkal” didasarkan pada seberapa dalam
struktur-struktur “tersembunyi” dalam konteks hubungan sebab-akibat. Paradigma kritis juga berupaya untuk menginterpretasikan dan memahami bagaimana
kelompok sosial dikekang dan ditindas, serta mengkaji kondisi-kondisi sosial sebagai usaha untuk mengungkap struktur-struktur yang seringkali tersembunyi.
Hall dalam Eriyanto, 2011: 29 mengatakan bahwa paradigma kritis tidak hanya mengubah pandangan mengenai realitas dalam media yang dipandang sebagai
alamiah, namun paradigma kritis juga memandang media sebagai elemen utama dari pertarungan kekuasaan dimana nilai-nilai kelompok dominan dimapankan,
dijadikan sebagai norma, dan menentukan apa yang diinginkan oleh khalayak. Secara khusus, Teori Kritis memiliki dampak besar pada feminisme
gelombang kedua. Marx dan pemikiran Marxis berkontribusi dalam gagasan dimana kapitalisme telah membagi masyarakat menjadi dua kelas: kelas kapitalis
yang memiliki alat produksi dan kelas pekerja dipaksa untuk menjual sumber dayanya sebagai tenaga kerja. Penekanan dikotomi ini telah membagi dunia
menjadi dua wilayah, publik dan domestik, yang berimplikasi pada pembagian kerja berdasarkan seks Krolokke Sorensen, 2006: 26. Feminism sosialis
mengembangkan pemikiran Marxis dengan mengkolaborasikan kapitalisme dan patriarkisme sebagai penyebab ketidakadilan gender. Menurut pemikiran
feminisme sosialis, institusi masyarakat yang patriarkis telah menempatkan perempuan dalam wilayah domestik untuk memastikan fungsi reproduksi berjalan
dengan baik dan perempuan dapat mendukung optimalisasi tenaga kerja laki-laki di wilayah publik. Dalam hal ini, institusi patriarki menempatkan perempuan dan
anak sebagai budak dari laki-laki yang berperan sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga Tong, 2010: 175-176. Wacana ini dijadikan sebagai wacana
dominan dan dihegemonikan sehingga membentuk kesadaran kolektivis mengenai peran “alamiah” gender.
1.5.2. State of the Art