Adaptasi Perubahan Iklim dan Resiliensi Komunitas Desa Nelayan Studi Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon, Maluku
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN RESILIENSI
KOMUNITAS DESA NELAYAN:
STUDI KASUS DI KAWASAN PESISIR UTARA
PULAU AMBON, MALUKU
SUBAIR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ABSTRACT
SUBAIR. Climate Change Adaptation and Fisheries Rural Community
Resilience: A Case Study in North Ambon Coastal Area, Maluku. Under the
supervision of LALA M. KOLOPAKING as the chairman, SOERYO
ADIWIBOWO and M. BAMBANG PRANOWO as members.
A study of locality impact of climate change is necessary for making a synthesis
of the understanding of climate change, vulnerability and climatic adaptation as a
material to formulate advocacy policy of climate change which is coastal villagebased evidence. The research was conducted in Asilulu village, Maluku, using a
study method of historical case. The data collection used was hermeneutic and
dialectic methods through participation observation, focus group discussions
(FGD) and interviews. Some research findings were as follows. Fishermen‘s
understanding about climate change was based on experience, not on the science
of climate change. Vulnerability which was triggered by the negative impact has
so far been able to be reduced by the adaptation made. Until now, the community
can be considered quite resilient although it is just limited resilience. A very
important factor in creating a resilient condition is the role of local institutions that
facilitate adaptation. Climatic adaptation by the community adaptation proved to
be more effective than the adaptation managed by the government because the
government intervention all these time has been more in terms of alternative
infrastructure to the technical matters which are very expensive, but it does not
increase the adaptability necessary for the community to deal with climate change
in all aspects of livelihood.
Keywords: climate change, vulnerability, adaptation, local institution, community
resilience
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: ADAPTASI
PERUBAHAN IKLIM DAN RESILIENSI KOMUNITAS DESA
NELAYAN: STUDI KASUS DI KAWASAN PESISIR UTARA PULAU
AMBON, MALUKU adalah benar merupakan karya saya dengan arahan komisi
pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum
pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua
data dan sumber informasi yang digunakan telah secara jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Bogor, Juni 2013
S u b a i r
NRP. I363080041
RINGKASAN
SUBAIR. Adaptasi Perubahan Iklim dan Resiliensi Komunitas Desa Nelayan:
Studi Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon, Maluku. Dibimbing oleh
LALA M. KOLOPAKING, SOERYO ADIWIBOWO dan M. BAMBANG
PRANOWO
Dari 712.479,69 km2 total luas wilayah Maluku, 93 persen lebih
(666.139,85 km2) terdiri atas lautan. Selain itu, lebih dari 83 persen desa berada di
daerah pantai sehingga aktivitas masyarakat pedesaan sebagian besar dilakukan di
daerah pesisir dan laut. Perairan yang begitu luas mengindikasikan bahwa laut
memiliki peran yang vital bagi kehidupan, sehingga dapat dikatakan bahwa laut
merupakan ―ladang kehidupan‖ bagi penduduk di Maluku. Karakteristik geografis
dan penduduk yang terkait dengan pesisir dan laut membuat Maluku secara teori
rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Di Indonesia, penelitian serta bukti-bukti kredibel tentang dampak
perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat pedesaan khususnya nelayan
perikanan tangkap masih kurang. Selain itu, cara paling umum dalam mengkaji
perubahan iklim selama ini adalah melalui pengamatan meteorologis. Dampak
iklim seringkali didasarkan pada simulasi model-kenaikan permukaan air laut
yang diarahkan sebagai adaptasi biofisik terhadap intrusi air laut ke daratan.
Model simulasi seperti itu seringkali non-sensitive terhadap faktor-faktor sosial
ekonomi yang sering ditemukan pada kasus studi-studi kualitatif. Penelitian ini
merupakan kajian kerentanan dan resiliensi dengan cara yang relatif baru
menggunakan metode kualitatif, dilaksanakan dengan pendekatan eksplorasi,
bukannya mengenalkan. Informasi yang digali dari masyarakat adalah pandangan
(pemahaman) masyarakat terhadap kondisi iklim dan perubahannya yang berlaku
di lokalitas wilayah penelitian, pandangan yang dapat saja berbeda dengan
pandangan ilmuwan.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat sintesis berkaitan dengan
pemahaman nelayan tentang perubahan iklim, strategi adaptasi, serta proses
pengambilan keputusan adaptasi sebagai bahan untuk merumuskan formulasi
kebijakan advokasi perubahan iklim berbasis evidensi pedesaan nelayan pada
kawasan pesisir. Tujuan penelitian lebih rinci dirumuskan sebagai berikut: (1)
Mengidentifikasi kerentanan komunitas nelayan melalui penilaian paparan,
kepekaan, dan kemampuan adaptasi, (2) Menganalisis strategi adaptasi dalam
mengurangi kerentanan dan meningkatkan resiliensi komunitas terhadap dampak
perubahan iklim dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya, dan (3)
Menganalisis peran pemerintah dan stakeholder lainnya dalam memfasilitasi
praktek strategi adaptasi yang dilakukan komunitas nelayan sebagai bahan untuk
merumuskan langkah penyusunan kebijakan pembangunan peka iklim.
Penelitian dilakukan di kawasan pesisir utara Pulau Ambon yakni pada
desa nelayan sentra perikanan komoditas komersial ikan Tuna Asilulu yang
ditetapkan secara purposif. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dalam
bentuk studi kasus historis. Predikat ‗historis‘ di sini menekankan bahwa pokok
kajian penelitian ini bukan suatu kejadian sosial pada suatu waktu tertentu,
melainkan suatu gejala atau proses sosial dalam suatu rentang waktu tertentu.
Istilah ‗kasus‘" sendiri memberi pembatasan bahwa proses sosial yang dikaji tidak
berada dalam cakupan sejarah non-kontemporer (klasik), melainkan dalam
cakupan sejarah kontemporer yang sebagian pelakunya masih hidup. Unit analisis
adalah komunitas nelayan di desa Asilulu kecamatan Leihitu kabupaten Maluku
Tengah, Provinsi Maluku dan kelompok sosial yang ada di dalamnya. Jumlah
informan yang dipilih sebanyak 16 orang informan yang terdiri dari unsur nelayan
anggota komunitas sebanyak 5 orang, pengumpul 3 orang mewakili 3 lembaga
pengumpul, unsur pemerintah desa 1 6 orang, dan unsur pemerintah daerah 2
orang, dan unsur pakar 3 orang. Seluruh informan dalam penelitian ini dipilih
secara sengaja (purposif) sesuai dengan kebutuhan penelitian, pengetahuan dan
pengalaman informan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeunetik
dan dialektika yang difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu
proses sosial. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik pengamatan
berperan serta (participant-observation), Focus Group Discussion (FGD) dan
wawancara mendalam secara langsung pada tineliti. Untuk mendukung validitas
data yang dikumpulkan, dilakukan pula studi pustaka, terutama terhadap hasilhasil penelitian terdahulu serta dokumen-dokumen terkait lainnya.
Data yang berasal dari hasil wawancara mendalam, dan observasi yang
telah disunting dan ditranskripsi dianalisis menggunakan analisa kualitatif
fenomenologi dan strategi analisis data kualitatif-verifikatif yang keduanya
dilakukan secara induktif. Selain analisis induktif, digunakan juga analisis
deduktif khususnya untuk menilai tingkat kerentanan komunitas terhadap dampak
perubahan iklim. Dalam hal ini, terlebih dahulu disusun kriteria-kriteria
kerentanan beserta hipotesis-hipotesis berdasarkan literatur yang ada kemudian
membandingkannya dengan kondisi eksisting sosial ekonomi budaya komunitas.
Nelayan dan semua stakeholder perikanan tangkap di Negeri Asiluli telah
menjadi saksi terjadinya pola musim yang berbeda dalam beberapa tahun terakhir.
Ada tiga pola angin musim yang dikenal nelayan, yakni musim barat, musim
timur, dan musim pancaroba. Saat ini nelayan kesulitan untuk dapat memprediksi
secara tepat kapan pergantian antara satu musim ke musim yang lain. Kalender
musim yang menjadi pedoman secara turun temurun prediksinya kebanyakan
tidak tepat lagi. Pola angin musim yang tidak sama ini membingungkan nelayan
dalam menentukan keputusan pergi melaut. Banyak nelayan yang salah
memperhitungkan pola angin musim ketika berangkat ke laut. Angin musim juga
terkait dengan jenis ikan apa yang sedang banyak dan lokasinya, apakah ikan ada
di tengah laut atau di perairan dangkal. Ketika gelombang dan angin kencang
datang tiba-tiba dan nelayan memutuskan untuk tetap melaut, biasanya nelayan
kesulitan memancing ikan. Musim ikan mati (panen) mundur atau maju sebulan
jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pengetahuan yang mereka
jadikan kekuatan utama dalam menopang nafkah keluarga secara perlahan mulai
tidak lagi relevan. Bisa jadi hasil panen ikan melimpah tahun ini tetapi mereka
mulai khawatir dengan tahun depan. Tentunya ini berdampak pada keselamatan
dari nelayan dan hasil tangkapan ikan yang berarti bahwa nelayan dan
keluarganya (dan semua pihak yang terkait dengan sumberdaya pesisir dan laut)
terhempas ke dalam kondisi kerentanan, secara ekologis, sosial dan ekonomi.
Nelayan tidak mengetahui perdebatan tentang perubahan iklim yang ramai di sisi
lain dunia mereka, yang mereka tahu: mereka harus beradaptasi untuk tetap eksis
sebagai satu masyarakat.
Kerentanan yang dipicu oleh dampak negatif sejauh ini dapat dikurangi
oleh adaptasi yang dilakukan. Sampai di sini, komunitas dapat disebut cukup
resilien tetapi dengan resiliensi yang terbatas (limited resilience) karena
ketergantungan yang masih sangat tinggi pada keramahan sumberdaya alam.
Adaptasi yang terlihat sebagai adaptasi reaktif sesungguhnya adalah adaptasi yang
direncanakan (plan adaptation) mengingat perubahan iklim adalah fenomena
yang terjadi dalam proses yang sangat lama dan bertahap. Faktor yang sangat
penting dalam menciptakan keadaan keadaan yang resilien adalah peran besar
lembaga-lembaga lokal yang menfasilitasi tindakan adaptasi yang dilakukan.
Kesuksesan adaptasi perubahan iklim ditentukan oleh keberadaan dan
keberfungsian lembaga lokal ini. Semakin kuat dan mengakar lembaga lokal maka
semakin besar peluang kesuksesan komunitas melakukan adaptasi perubahan
iklim. Sebaliknya, semakin lemah dan ―terasing‖ maka semakin kecil
kemungkinan berhasil melakukan adaptasi. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa
adaptasi perubahan iklim oleh komunitas, karenanya, lebih efektif dibanding
adaptasi yang dikelola oleh pemerintah. Pandangan ini mensyaratkan bahwa
dalam penyusunan kerangka kebijakan adaptasi, komunitaslah yang harus menjadi
basis.
Pada intinya, keseluruhan strategi itu terjadi dan terus bergerak maju
karena salah satunya dan yang utama, adanya dukungan kelembagaan lokal yang
tumbuh dari komunitas mereka sendiri. Kelembagaan ini adalah jaringan sosial
nelayan – pedagang pengumpul yang menjadi pola sistem nafkah nelayan Tuna di
Asilulu saat ini. Masyarakat setempat menjadikan jaringan sosial yang ada sebagai
sumber dukungan sosial. Studi ini mengidentifikasi setidaknya terdapat dua
dukungan sosial yang diperoleh: dukungan instrument dalam bentuk bantuan
langsung, bantuan kredit kepemilikan alat tangkap dan bantuan pinjaman biaya
operasional penangkapan; dan dukungan informasi berupa informasi wilayah
konsentrasi ikan, telah mulainya musim ikan mati, jenis umpan yang sedang
disukai ikan Tuna, informasi cuaca dan badai serta informasi lainnya yang terkait
dengan sistem nafkah nelayan. Kedua dukungan sosial itu diprakarsai,
dikembangan dan dikendalikan oleh pedagang pengumpul, patron yang dalam
konteks mereka menjadi ―bapak‖ yang mengayomi. Tentu saja dibutuhkan
penelitian lagi untuk mengungkap dinamika rasionalitas pada hubungan keduanya
untuk mengungkap kebenaran yang mungkin tersembunyi. Secara umum, bentuk
lembaga lokal membentuk efek bahaya iklim dalam tiga hal penting: mereka
menentukan bagaimana rumah tangga dipengaruhi oleh dampak iklim; mereka
membentuk kemampuan rumah tangga untuk menanggapi dampak iklim dan
mengejar praktek adaptasi yang berbeda, dan mereka memediasi aliran eksternal
intervensi dalam konteks adaptasi.
Nilai kegigihan, ketekunan dan sikap budaya sebagai penduduk pesisir
kepulauan dan nelayan ditambah dukungan kelembagaan menjadi ―modal‖ yang
menguatkan kemampuan adaptasi nelayan dalam beradaptasi terhadap dampak
dari perubahan iklim. Kemampuan adaptasi yang kuat membawa masyarakat
nelayan pada kondisi yang resilien, dan inilah yang disebut sebagai resiliensi
sosial nelayan. Meskipun masih perlu kajian lebih lanjut untuk memperhadapkan
kemampuan adaptasi itu dengan kerentanan yang diakibatkan oleh perubahan
iklim karena asumsi dasar dari studi ini adalah bahwa tingkat keparahan dan krisis
yang diakibatkan oleh dua sisi: kerentanan dan resiliensi sosial.
Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB) Tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN RESILIENSI
KOMUNITAS DESA NELAYAN:
STUDI KASUS DI KAWASAN PESISIR UTARA
PULAU AMBON, MALUKU
SUBAIR
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc
(Staf Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Kelautan
Institut Pertanian Bogor)
2. Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr
(Ketua Mayor Sosiologi Pedesaan Departemen KPM
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor)
Penguji pada Ujian Terbuka:
1. Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS
(Direktur Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut
Institut Pertanian Bogor)
2. Dr. Arif Satria, SP, M.Si
(Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian
Bogor)
PENGESAHAN
Judul Disertasi : Adaptasi Perubahan Iklim dan Resiliensi Komunitas Desa Nelayan:
Studi Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon, Maluku
Nama
: Subair
NIM
: I363080041
Program Studi1 : Sosiologi Pedesaan (SPD)
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS.
Ketua
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS.
Anggota
Prof. Dr. M. Bambang Pranowo
Anggota
Mengetahui,
Ketua Mayor Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 04 Juli 2013
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah Yang Maha Kuasa. Semoga keselamatan
selalu tercurah kepada Muhammad SAW., nabi mulia akhir zaman dan pembawa
cahaya terang bagi dunia. Hanya karena dengan izin dan petunjuk Allah semata
penulis dapat menyelesaikan studi sebagaimana mestinya.
Pertama-tama ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis
sampaikan kepada Komisi Pembimbing disertasi ini, yaitu Bapak Dr. Ir. Lala M.
Kolopaking, MS selaku Ketua, Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan Bapak
Prof. Dr. M. Bambang Pranowo selaku Anggota. Sungguh kesediaan meluangkan
waktu dan pikiran secara tulus dan berdedikasi memberikan bimbingan dari awal
hingga selesainya penyusunan Disertasi ini merupakan amal yang tidak ternilai
harganya bagi penulis. Bukan hanya ilmu dan pengetahuan, dorongan semangat
dan kepercayaan dari Komisi Pembimbing telah menjadi motivasi utama dalam
penyelesaian studi ini dan lebih luas, dalam menjalani kehidupan sebagai seorang
akademisi. Hanya kepada Allah penulis bisa mengharapan balasan atas kebaikan
yang telah diberi disertai doa jazakumullahu khaeran katsira. Semoga Allah
membalas semua kebaikan dengan kebaikan yang jauh lebih banyak.
Disertasi ini dapat mencapai bentuknya seperti sekarang ini, selain dari
arahan dan bimbingan dari Komisi Pembimbing, juga adalah berkat masukan dan
arahan penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka. Oleh
karenanya, penulis mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya disertai
ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr dan
Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian
Kualifikasi Doktor dan Ujian Disertasi Tertutup serta Bapak Prof. Dr. Tridoyo
Kusumastanto, MS dan Bapak Dr. Arif Satria, SP, M,Si sebagai Penguji Luar
Komisi pada Ujian Terbuka. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Mayor Sosiologi Pedesaan dan
seluruh Bapak/Ibu Dosen beserta staf atas kesempatan belajar dan proses belajar
yang telah penulis lewati selama kurang lebih lima tahun lamanya.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Hasbollah
Toisuta, M.Ag (Rektor IAIN Ambon) dan Bapak Dr. Ismail Tuanany, MM
(Dekan Fakultas Dakwah dan Ushuluddin IAIN Ambon) yang telah mengizinkan
dan mendukung studi penulis selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada Kementerian Pendidikan Nasional cq. Direktur Pendidikan Tinggi yang
memberi beasiswa BPPS on going kepada penulis. Terima kasih juga kepada
Gubernur Maluku atas bantuan dana penelitian yang sangat membantu dalam
kegiatan penelitian. Seluruh informan penelitian terutama kepada Bapak Ali
Mahulete (Sekretaris Negeri Asilulu) yang dengan tulus ikhlas dan sabar dalam
memberikan keterangan dan informasi untuk penulisan Disertasi ini.
Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak
terhingga kepada Bapak Prof. Dr. H. Arief Furqan, mantan Rektor IAIN Ambon,
yang telah memberi izin studi dan dorongan kuat yang memotiasi penulis
melanjutkan studi. Motivasi yang membangun, nasehat-nasehat yang
menyejukkan dan dukungan biaya studi merupakan momentum besar dalam
perjalanan hidup penulis sebagai akademisi. Ucapan terima kasih yang sama juga
penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Aholiab Watloly (Guru Besar Filsafat
Universitas Pattimura) dan Bapak Prof. Dr. Malik Fadjar (Pimpinan Pusat
Muhammadiyah) yang bersedia memberi rekomendasi kepada penulis untuk
melanjutkan studi doktor di IPB. Kepada Almarhum H.A. Abdullah (mantan
Ketua STKIP Muhammadiyah Bone) yang banyak memberi dukungan bagi
keberlanjutan studi penulis, tidak lupa penulis doakan semoga mendapat tempat
yang layak di sisi Allah SWT dan diampuni semua dosa-dosanya.
Tidak kurang dari ucapan terima kasih sebelumnya, dari lubuk hati yang
paling dalam penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua Ayahanda H.
Abdullah Limpo dan Ibunda Almarhumah Hj. Andi Nurmilah yang wafat ketika
penulis sedang menempuh studi ini. Semoga Allah mengampuni dosanya,
melapangkan baginya kuburannya dan menempatkannya bersama orang-orang
saleh di surga. Pencapaian ini secara khusus penulis dedikasikan untuk
Almarhumah. Terima kasih juga kepada Ibunda Hj. Andi Nurjannah yang dengan
tulus menjadi istri yang baik bagi Ayahanda dan ibu yang baik bagi penulis
bersaudara. Ucapan terima kasih yang sama penulis sampaikan kepada kedua
mertua penulis Ibunda Hj. Mulkaidah dan Ayahanda H. Abidin Samir yang
senantiasa memberikan doa, dorongan semangat, materi dan cinta kasih yang tiada
henti yang diberikan pada penulis sehingga mampu menyelesaikan program
Doktor ini. Juga kepada kakak tercinta H. Andi Budiman, S.Fil.I dan keluarga,
adik-adik tercinta Andi Sarini, Am.d.Kes sekeluarga, Andi Satriani, S.Si
sekeluarga dan keluarga, Andi Samratul Uyun, Andi Saidil Bukhaer, Andi
Zakiyah Salehah, Andi Asriani Abidin, S.Pd.I sekeluarga Andi Ashadi Abidin,
S.PdI, Andi Mustika Abidin, S.PdI dan Andi Rahmat Abidin, serta dua ‗anak
angkatku‘: Rusli Sapsuha dan Sutinah yang telah menjadi bagian tidak
terpisahkan dari keluarga kami.
Dalam kesempatan ini, saya juga mengucapkan terima kasih pada kawankawan SPD angkatan 2008, Ibu Dr. Rita Rahmawati dan Bapak Dr. Sulthan
Zainuddin, dan teman-teman SPD angkatan 2007 dan 2009 yang telah melewati
masa-masa ‗perjuangan‘ bersama yang panjang dan melelahkan, sekaligus
menjadi teman berbagi yang penuh inspirasi. Banyak nama dan pihak yang tidak
mungkin penulis sebutkan satu per satu di sini dan semoga itu tidak mengurangi
rasa terima kasih penulis.
Terakhir tetapi bukan yang akhir, ucapan terima kasih dan penghargaan
setulusnya penulis sampaikan pada isteri tercinta, Andi Rahmania Abidin, S.Pd.I,
M.Si yang dengan ikhlas mendukung penulis dalam perjuangan panjang ini. Juga
anak-anakku tersayang Andi, Athan, Arya dan Affan yang telah menjadi sumber
kekuatan bagi penulis untuk terus semangat dan tetap bisa tegar menjalani
kehidupan ini. Allah mengambil ibunda tercinta karena lebih sayang kepadanya
dan pada saat yang sama memberi kalian bagiku karena kecintaanNya padaku.
Kepada orang-orang tercinta inilah, disertasi dan gelar yang penulis peroleh
karenanya, penulis dedikasikan.
Segala kritik dan saran penulis harapkan demi kesempurnaan usulan
penelitian ini, sehingga menjadi tulisan yang bermanfaat. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan rahmat dan anugerahNya atas segala kebaikan yang
diberikan. Amien.
Bogor, Juni 2013
S u b a i r
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Surat Pernyataan
Ringkasan
Halaman Hak Cipta
Lembar Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
i
iii
v
viii
ix
xi
xiii
xvii
xviii
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Kebaruan Disertasi (Novelty)
1
6
7
8
8
10
2. LANDASAN TEORITIS
Pengantar
Wacana Perubahan Iklim
Kenaikan Temperatur dan Berubahnya Musim
Kenaikan Permukaan Air Laut
Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Perikanan
Adaptasi Perubahan Iklim
Konsepsi Adaptasi Perubahan Iklim
Jenis dan Dimensi Adaptasi Perubahan Iklim
Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Pesisir di Indonesia
Resiliensi (Resilience)
Beberapa Konsepsi Resiliensi terkait Perubahan Iklim
Resiliensi Sosial
Resiliensi Sosial dan Kemampuan adaptasi
Kerentanan (Vulnerable)
Kerentanan dan Resiliensi
Kelembagaan Lokal dan Adaptasi Perubahan Iklim
Konsep Umum Kelembagaan
Kelembagaan Nelayan Pesisir
Peran Lembaga Lokal dalam Adaptasi Perubahan Iklim
Penelitian Terkait Terdahulu
14
14
16
16
17
18
19
21
23
23
24
33
34
35
37
38
38
39
41
42
3. PARADIGMA, KERANGKA KONSEPTUAL DAN METODOLOGI
Pengantar
Paradigma Penelitian
Kerangka Pemikiran
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pendekatan Penelitian
Unit Analisis dan Subjek Penelitian
47
47
51
53
53
55
56
Metode Pengumpulan Data
Keterbatasan Penelitian
Pemeriksaan Keabsahan Data
Metode Analisa Data
Tahapan dan Pedoman Analisa Data
Analisis Kerentanan
Analisis Potensi Risiko
Analisis Kemampuan Adaptasi
Analisis Strategi Adaptasi
Analisis Resiliensi Komunitas
Analisis Peran Kelembagaan
57
61
62
63
64
65
67
68
68
69
71
4. EKOLOGI DAN SOSIO-BUDAYA LOKASI PENELITIAN
Geografis
Iklim dan Musim
Aksebilitas
Infrastruktur Sosial
Kependudukan
Ekonomi dan Mata Pencarian
Sosial dan Budaya
Sejarah Negeri Asilulu
Asilulu: Potret Negeri Adat Maluku
Lembaga Adat Tradisional
Lembaga Perikanan Tangkap
Kelembagaan Pengumpul
Lembaga Pengumpul sebagai Kelompok Produksi
Lembaga Pengumpul sebagai Lembaga Pemasaran
Lembaga Pengumpul sebagai Sumber Jaringan Informasi
Lembaga Pengumpul sebagai Mediator Intervensi Eksternal
Lembaga Pengumpul sebagai Patron
Lembaga Pengumpul sebagai Sumber Dukungan Sosial
Perikanan Tangkap Tuna di Desa Asilulu
Profil Usaha Penangkapan Tuna di Negeri Asilulu
Wilayah dan Musim Penangkapan
Armada dan Teknologi Penangkapan Ikan
74
75
76
77
79
80
81
82
83
85
89
93
94
95
96
95
98
100
102
102
105
109
5. LOKALITAS PERUBAHAN IKLIM
Pengantar
Perubahan Iklim Berdasarkan Pemahaman dan Pengalaman Nelayan
Semakin Seringnya Gelombang Pasang
Naiknya Permukaan Air Laut
Cuaca Ekstrim
Bergesernya Musim Ikan
Kacaunya Pola Musim dan Angin
Bergesernya Lokasi Penangkapan Ikan
Lokalitas Dampak Perubahan Iklim
Dampak Fisik dan Ekologi
Dampak Sosial-Ekonomi
Dampak pada Pemukiman
115
115
115
117
119
121
123
125
123
129
131
132
Menurunnya Hasil Tangkapan Nelayan
Dampak pada Sistem Pengetahuan dan Kepercayaan
Ikhtisar
133
135
138
6. KERENTANAN KOMUNITAS NELAYAN
Pengantar
Kerentanan Wilayah Provinsi Maluku terhadap Dampak
Perubahan Iklim secara Umum
Potensi Risiko Perubahan Iklim di Lokasi Penelitian
Tingkat Paparan Komunitas
Tingkat Kepekaan Komunitas
Kemampuan Adaptasi
Menilai Kerentanan Komunitas
Ikhtisar
141
144
144
146
149
153
155
7. ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Pengantar
Praktek Adaptasi Perubahan Iklim Komunitas
Membuat Tembok Penahan Gelombang dan Para-para
Strategi Mengejar Musim
Beralih Sementara Mencari Ikan Dasar
Mengurangi Resiko Melaut dengan Melaut secara Berkelompok
Mengganti Perahu dan Mengembangkan Teknologi Produksi Baru
Belajar dan Mengembangkan Pengetahuan Baru
Merevitalisasi Kelembagaan Lokal dan Memperkuat Jaringan Sosial
Mengembangkan Pola Nafkah Ganda
Tawakkal
Peran Pemerintah dalam Praktek Adaptasi Perubahan Iklim
Ikhtisar
158
158
158
160
162
164
165
167
169
170
174
176
178
140
8. RESILIENSI SOSIAL KOMUNITAS NELAYAN
Re-konseptualisasi Resiliensi Sosial
Analisis Resiliensi Sosial Komunitas
Resiliensi Sosial adalah Memperlakukan Gangguan
sebagai Sebuah Kesempatan
Resiliensi Sosial adalah Kemampuan Sistem Beradaptasi
dan Terus Berfungsi
Resiliensi bersumber dari Mata Pencaharian yang Berkelanjutan
Resiliensi Sosial sebagai Hasil dari Kesuksesan Adaptasi
Resiliensi Sosial sebagai Berfungsinya Kelembagaan Lokal
Secara Optimal
Ikhtisar
195
198
9. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN
Kesimpulan
Implikasi Teoritis
Implikasi Kebijakan
200
201
204
Daftar Pustaka
Riwayat Hidup Penulis
207
227
184
186
186
187
190
194
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar 10.
Gambar 11.
Gambar 12.
Gambar 13.
Gambar 14.
Gambar 15.
Gambar 16.
Gambar 17.
Gambar 18.
Gambar 19.
Gambar 20.
Gambar 21.
Gambar 22.
Gambar 23.
Gambar 24.
Gambar 25.
Gambar 26.
Gambar 27.
Gambar 28.
Gambar 29.
Gambar 30.
Gambar 31.
Gambar 32.
Gambar 33.
Gambar 34.
Gambar 35.
Gambar 37.
Gambar 38.
Gambar 39.
Gambar 40.
Peta wilayah Provinsi Maluku
Konsep Kontinum Adaptasi
Dimensi adaptasi perubahan iklim
Kerangka konseptual penelitian
Wawancara open-ended
Wawancara dengan Pengumpul
FGD
Tahapan analisis penelitian
Skema Analisis Kerentanan Perubahan Iklim
Konsep hubungan antara selang toleransi, kerentanan, dan
perubahan iklim
Konsep hubungan antara selang toleransi, kerentanan,
perubahan iklim, dan adaptasi
Skema penilaian resiliensi sosial (social resilience)
komunitas nelayan
Kerangka Pikir Peran Kelembagaan Lokal
Peta Lokasi Penelitian
Peta Potensi Desa
Balai Negeri atau Baileo.
Masjid dan Rumah Raja
Alur Distribusi Pemasaran Hasil Tangkapan Nelayan
Mesjid dan Rumah Raja
Kegiatan pengolahan ikan di salah satu cold storage
Ikan Tuna
Peta fishing ground nelayan di Maluku
Perahu kole-kole
Perahu semang
Perahu fiber
Bagan apung di perairan
Tembok penahan ombak rusak
Indikator kenaikan permukaan laut
Fakta kenaikan permukaan air laut
Dampak gelombang pasang dan abrasi
Kerentanan Pulau Lain
Para-para
Kerentanan pemukiman
Sagu lempeng dan ‗suami‘
Talit
Para-para yang dibangun oleh nelayan di belakang
rumah warga
Nelayan bekerja dengan perahu semang
Perahu fiber atau Long Boat
Dusung
.
4
21
22
52
59
59
61
65
66
67
69
69
73
74
74
78
82
96
103
105
106
106
110
111
112
114
116
117
118
130
130
131
132
151
159
160
163
164
172
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Keadaan Penduduk Negeri Asilulu berdasarkan
Tingkat Umur dan Jenis Kelamin
Tabel 2. Keadaan Penduduk Negeri Asilulu berdasarkan
Jenjang Pendidikan Formal
Tabel 3. Keadaan Mata Pencaharian Penduduk Angkatan
Kerja Negeri Assilulu
Tabel 4. Kelompok Nelayan di Asilulu
Tabel 5. Pedagang Pengumpul dan Jumlah Armadanya
Tabel 6. Kalender Musim Penangkapan Ikan Tuna di Negeri Asilulu
Tabel 7. Jumlah Produksi Kelompok Nelayan/Bulan
Tabel 8 Perubahan Lingkungan berdasarkan Pemahaman Nelayan
Tabel 9. Hasil Penilaian potensi risiko komunitas nelayan
Tabel 10. Praktek Adaptasi Iklim oleh Komunitas Nelayan
Tabel 11. Peran Pemerintah dalam Memfasilitasi Adaptasi
Perubahan Iklim
79
80
81
93
104
107
108
127
153
176
179
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perubahan iklim merupakan isu global yang mulai menjadi topik
perbincangan dunia sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de
Janeiro, Brasil, tahun 1992. United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) merupakan salah satu konvensi yang tercantum dalam
Agenda 21 dan telah disahkan pada konferensi tersebut. Maksud dan tujuan utama
dari konvensi tersebut adalah untuk menjaga kestabilan konsentrasi Gas Rumah
Kaca (GRK) di atmosfer sehingga terjamin ketersediaan pangan dan
pembangunan berkelanjutan (Meiviana et al. 2004: iv). Indonesia telah
meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-undang No. 6 tahun 1994. Pada
perkembangan selanjutnya, perubahan iklim menjadi isu penting dalam kebijakankebijakan penting internasional setelah tahun 1995 ketika laporan penilaian kedua
dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa
―human activities were having a ‗discernible‘ impact on climate‖ (IPCC 2001).
Menurut Glantz (1990), jauh sebelum maraknya konsensus umum tentang realitas
bahwa perubahan iklim adalah disebabkan oleh manusia sesungguhnya tingkat
keparahan dari dampak perubahan tersebut sudah lebih dulu terjadi.
Beberapa ilmuan dan literatur tentang kebijakan pembangunan (seperti
(Kates 2000, Mendelsohn et al. 2007, Smith et al. 2003) berkeyakinan bahwa
masyarakat miskin dan rumah tangga pedesaan yang bergantung pada sumber
daya alamlah yang akan menanggung dampak beban merugikan yang tidak
proporsional dampak perubahan iklim. Dalam empat dekade lalu, bahaya-bencana
terkait iklim seperti banjir, kekeringan, badai, longsor dan kebakaran hutan telah
menyebabkan banyak kehilangan nyawa manusia dan penghidupan, hancurnya
ekonomi dan infrastruktur sosial juga kerusakan lingkungan. Di banyak tempat
dunia, frekuensi dan intensitas bahaya-bencana ini cenderung meningkat. Banjir
dan angin-badai mengakibatkan 70% dari total bencana dan sisanya 30%
diakibatkan oleh kekeringan, longsor, kebakaran hutan, gelombang panas, dan
lain-lain.
Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak buruk
pemanasan global sebagai akumulasi pengaruh daratan dan lautan. IPCC (2007)
menyebutkan bahwa setidaknya terdapat dua faktor penyebab kerentanan wilayah
ini. Pertama, pemanasan global ditengarai meningkatkan frekuensi badai di
wilayah pesisir. Setiap tahun, sekitar 120 juta penduduk dunia di wilayah pesisir
menghadapi bencana alam tersebut, dan 250 ribu jiwa menjadi korban hanya
dalam kurun 20 tahun terakhir (tahun 1980-2000). Pada periode 1905-1930 di
wilayah pantai Teluk Atlantik terjadi rata-rata enam badai tropis per tahun. Ratarata tahunan itu melonjak hampir dua kali lipat (10 kali badai tropis per tahun)
pada periode tahun 1931-1994 dan hampir tiga kali lipat (15 kali badai tropis)
mulai tahun 1995 hingga 2005. Pada tahun 2006 yang dikenal sebagai ―tahun
tenang‖ saja masih terjadi 10 badai tropis di wilayah pesisir ini. Juga dilaporkan
pola peningkatan kejadian badai tropis ini tetap akan berlangsung sepanjang
pemanasan global masih terjadi (IPCC 2007). Kedua, pemanasan global
diperkirakan akan meningkatkan suhu air laut berkisar antara 1-3oC . Dari sisi
biologis, kenaikan suhu air laut ini berakibat pada meningkatnya potensi kematian
dan pemutihan terumbu karang di perairan tropis. Dampak ini diperkirakan
mengulang dampak peristiwa El Nino Southern Oscillation (ENSO) di tahun
1997-1998.
Terkait dengan skenario yang dikembangkan IPCC di atas, Indonesia
merupakan salah satu negara di dunia yang rentan terhadap bencana terkait
dengan iklim mengingat bahwa posisi geografisnya yang terbentang dari 6 derajat
LU sampai 11 derajat LS dan 9 - 141 derajat BT dengan jumlah total pulau
terbesar di dunia (17.500 pulau) dan garis pantai nomor 2 terpanjang di dunia
yaitu 81.000 km (sekitar 14% dari garis pantai dunia) serta luas laut yang
mendekati 70% luas keseluruhan wilayahnya (KNLH 2007: 3). Berdasarkan
Policy Brief yang diterbitkan oleh Kantor Bank Dunia Jakarta (World Bank 2010),
meskipun kepastian mengenai besarnya bahaya masih belum dapat dipastikan,
namun beberapa dampak perubahan iklim yang diperkirakan akan sangat
signifikan adalah:
1) Kenaikan temperatur yang tidak terlalu tinggi. Temperatur rata-rata
tahunan di Indonesia telah mengalami kenaikan 0.3oC (pengamatan sejak
1990). Tahun 1998 merupakan tahun terpanas dalam abad ini, dengan
kenaikan hampir 1oC (di atas rata-rata dari tahun 1961 – 1990).
2) Curah hujan yang lebih tinggi. Diperkirakan, akibat perubahan iklim,
Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan 2-3 persen per tahun,
serta musim hujan yang lebih pendek (lebih sedikit jumlah hari hujan
dalam setahun), yang menyebabkan risiko banjir meningkat secara
signifikan. Hal ini akan merubah keseimbangan air di lingkungan dan
mempengaruhi pembangkit listrik tenaga air dan suplai air minum.
3) Kenaikan permukaan air laut. Daerah berpopulasi padat akan sangat
dipengaruhi oleh kenaikan permukaan air laut. Ada sekitar 40 juta
masyarakat Indonesia yang bermukim dalam jarak 10 m dari permukaan
air laut rata-rata, yang berarti sangat rentan terhadap perubahan permukaan
air laut.
4) Resiliensi pangan. Perubahan iklim akan mengubah curah hujan,
penguapan, limpasan air, dan kelembapan tanah; yang akan mempengaruhi
produktivitas pertanian. Kesuburan tanah akan berkurung 2-8 persen
dalam jangka panjang, yang akan berakibat pada penurunan produksi
tahunan padi sebesar 4 persen, kedelai sebesar 10 persen, dan jagung
sebesar 50 persen. Sebagai tambahan, kenaikan permukaan air laut akan
menggenangi tambak di pesisir, dan berpengaruh pada produksi ikan dan
udang di seluruh negeri.
5) Pengaruh pada keanekaragaman bahari. Diperkirakan bahwa iklim yang
berubah akan meningkatkan suhu air laut Indonesia sebesar 0.2 – 2.5oC.
Hal ini akan menambah tekanan pada 50,000km2 terumbu karang, yang
sudah dalam keadaan darurat. Pemutihan terumbu karang diperkirakan
akan meningkat secara konstan pada suhu air laut, seperti yang diamati
pada saat terjadinya El Nino.
6) Peningkatan berjangkitnya penyakit yang dibawa air dan vektor.
Walaupun hubungan antara perubahan iklim dan masalah kesehatan belum
banyak diteliti, ada potensi bahwa berjangkitnya penyakit yang dibawa air
dan vector akan meningkat. Beberapa berspekulasi bahwa peningkatan
berjangkitnya kasus demam berdarah selama musim hujan di Indonesia,
sebagiannya mungkin saja disebabkan oleh iklim yang lebih hangat.
Pola curah hujan akan berubah dan musim kering akan bertambah panjang.
Banyak pulau yang terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut dan
masih banyak lagi dampak lain yang akan timbul. Perubahan iklim di Indonesia
akan menyebabkan: (1) seluruh wilayah Indonesia mengalami kenaikan suhu
udara dengan laju yang lebih rendah dibandingkan wilayah subtropis; (2) pada
musim kemarau wilayah Selatan Indonesia mengalami penuruban curah hujan,
sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Perubahan
pola hujan tersebut menyebabkan berubahnya awal dan panjang musim hujan
(Tim Sintetis Kebijakan 2008). Dalam periode 2003-2005 saja, terjadi 1,429
kejadian bencana. Sekitar 53,3% adalah bencana terkait hidro-meteorologi
(KNLH 2007: 4). Banjir adalah bencana yang paling sering terjadi (34%), diikuti
oleh longsor (16%). Kemungkinan pemanasan global akan menimbulkan
kekeringan dan curah hujan yang ektrim yang lebih parah, yang pada giliranya
akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih besar.
Provinsi Maluku merupakan miniatur Indonesia dengan karakteristik
geografis kepulauan. Seperti terlihat pada Gambar 1, hampir seluruh wilayah
Provinsi Maluku terdiri atas lautan dan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan luas
wilayah Provinsi Maluku adalah 712.479,69 km2, terdiri dari 93,5% luas perairan
(666.139,85 km2) dan 6,5% luas daratan (46.339,80 km2). Total jumlah pulau
yang teridentifikasi adalah 1.340 pulau dengan panjang garis pantai mencapai
10.630,10 km (DKP Maluku 2007). Perairan yang begitu luas seperti itu
mengindikasikan bahwa laut memiliki peran yang vital bagi kehidupan di Maluku,
sehingga dapat dikatakan bahwa laut merupakan ―ladang kehidupan‖ bagi
penduduk Maluku. Oleh karenanya, sebagai daerah kepulauan, secara teori
Maluku sangat rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim.
Terdapat beberapa penyebab kerentanan Maluku terhadap dampak
perubahan iklim. Dari aspek ekologi politik Maluku rentan terhadap perubahan
dan cenderung terjadinya percepatan entrophy (kerusakan) serta rawan bencana
alam (gempa bumi, gelombang dipermukaan laut termasuk kenaikan muka air
laut). Sedangkan dari aspek ekonomi dan sosial budaya, Maluku rentan terhadap
aktivitas ekonomi, jenis dan derajat dinamika ekonomi yang terbatas dan berskala
kecil. Hampir seluruh aktivitas masyarakat Maluku dilakukan di daerah pesisir
dan laut termasuk sumber mata pencahrian karena hampir 83 % desa di Maluku
berada di daerah pantai, oleh karena itu jika aktivitas ini berjalan terus tanpa
mempertimbangkan daya dukung maka dapat menimbulkan tekanan terhadap
ekosistem pesisir dan laut seiring dengan dinamika ekonomi. Beberapa data
menunjukan bahwa telah terjadi kerusakan ekosistem pesisir dan laut Maluku
yang cukup parah. Data lain juga menunjukan bahwa pada selang tahun 16002000 telah terjadi 32 kali bencana Tsunami di Maluku dimana 28 tsunami
diakibatkan oleh gempa bumi dan 4 tsunami diakibatkan oleh neletusnya gunung
api dibawah laut. Kondisi–kondisi tersebut secara regional dapat menjadi
katalisator terhadap terancam tenggelamnya pulau-pulau di Provinsi Maluku
(Nanlohy 2011).
Gambar 1. Peta wilayah Provinsi Maluku. Wilayah Maluku terdiri dari 93,5% luas
perairan
dan
hanya
6,5%
luas
daratan
(sumber:
http://www.malukuprov.go.id)
Kondisi perubahan iklim yang mengganggu ekosistem laut tentunya dapat
memperburuk kehidupan ekonomi masyarakat pesisir yang kebanyakan
menggantungkan kehidupan pada penangkapan ikan laut. Merujuk kepada
Kusumastanto (2009), masyarakat pesisir memiliki karakteristik sumber
kehidupannya tergantung pada sumberdaya alam dan aktivitas ekonominya sangat
dipengaruhi oleh cuaca dan musim. Masyarakat pesisir yang sebagian besar
berprofesi sebagai nelayan sangat tergantung dari kondisi lingkungan laut yang
sangat rentan dari kerusakan, seperti penghancuran terumbu karang (coral reef),
mangrove, serta padang lamun (seagrass), pencemaran, maupun bencana laut
yang dalam konteks perubahan iklim, intensitasnya semakin tinggi dan
karakteristiknya relatif baru bagi pengetahuan nelayan tradisional. Oleh karena itu
dibutuhkan suatu strategi adaptasi yang dapat diterapkan pada masyarakat nelayan
tradisional untuk menyiasati berbagai perubahan ekologis yang disebabkan oleh
perubahan iklim global.
Perencanaan dan pelaksanaan strategi untuk mendukung adaptasi
diperlukan karena empat alasan: (1) peningkatan pengetahuan tentang dampak
masa depan dari perubahan iklim; (2) pengalaman yang ada tentang bentukbentuk adaptasi masa lalu yang memberikan pelajaran strategis tentang kesesuaian
terhadap berbagai bentuk adaptasi dalam konteks yang berbeda; (3) potensi
negatif dampak ekologis yang lebih besar pada aspek sosial dan ekonomi akibat
adaptasi tidak direncanakan; dan (4) potensi biaya adaptasi lebih besar, terutama
bagi penduduk miskin, sebagai akibat dari penundaan yang semakin lama dalam
memulai adaptasi. Strategi adaptasi ini tentunya bukan hanya bermanfaat untuk
menyelamatkan perekonomian nelayan tapi juga menjaga ekosistem laut dan
pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari.
Di banyak tempat di dunia, efek perubahan iklim sudah terjadi dengan
konsekuensi yang berpotensi bencana bagi masyarakat miskin (Adger et al. 2005,
2007). Bersamaan dengan hal itu, ancaman terkait dengan keragaman iklim di
masa lalu terhadap masyarakat miskin pedesaan di beberapa tempat, juga telah
berhasil dihadapi, bahkan jika perubahan iklim mungkin diperkirakan
meningkatkan frekuensi dan intensitas ancaman tersebut sekalipun (Mortimore
dan Adams 2001, Scoones 2001). Pengalaman-pengalaman yang kaya dalam
masyarakat akar rumput sebagaimana ditunjukkan oleh Lassa ed. (2009)
menunjukan bahwa dalam realitas akar rumput, agenda adaptasi selalu terintegrasi
dengan strategi nafkah (livelihood) baik soal pengelolaan aset dan ruang maupun
sumber daya alam dan lingkungan, serta berbagai aspek pangan, sandang dan
papan.
Menurut Nicholls et al. (2007) dan Agrawal (2008), sebagian besar studi
tentang adaptasi di daerah pesisir di dunia saat ini cenderung mencurahkan
perhatian jauh lebih besar untuk alternatif infrastruktur dan teknologi untuk
mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas adaptif dan relatif
mengabaikan perhatian terhadap aspek sosial atau alternatif kelembagaan.
Langkah-langkah peningkatan infrastruktur terbukti lebih mahal dan kurang
efektif daripada upaya yang menggabungkan pengaturan dan intervensi
kelembagaan dengan perbaikan teknis dan modal. Oleh karena itu perubahan
iklim tidak hanya membutuhkan investasi yang signifikan dalam fasilitas
infrastruktur tetapi juga penyangga kelembagaan untuk mencegah bencana akibat
perubahan iklim (Gupta et al. 2008, Agrawal 2008, Maguire dan Cartwright 2008,
Adger et al. 2005).
Menurut Maguire dan Cartwright (2008), analisis sosial atas dampak
iklim selama ini diterapkan dengan cara yang paralel dengan 'pendekatan
kerentanan'. Analisis sosial dengan perspektif kerentanan umumnya berfokus pada
aspek-aspek negatif atau kelemahan dari sebuah komunitas. Tradisi pendekatan
kerentanan dan pendekatan berbasis prediktif terbatas karena tidak mampu
sepenuhnya menangkap, memahami dan mengendalikan semua perubahan dan
ancaman yang mungkin dihadapi masyarakat. Karena realitas sosial yang dinamis,
terus berubah dan terdiri dari banyak proses yang saling terkait, sangat sulit untuk
menangkap perubahan sosial melalui indikasi berbasis indeks kerentanan dan
mustahil untuk memprediksi semua kemungkinan hasilnya (Walker et al. 2002).
Oleh karena itu, studi ini menggunakan sebuah perspektif yang relatif baru dalam
studi perubahan iklim yaitu perspektif resiliensi sosial (social resilience
perspective).
Berbeda dengan pendekatan kerentanan, pendekatan perspektif resiliensi
seimbang dalam hal yang mencakup kerentanan dalam masyarakat (bukan label
seluruh komunitas sebagai 'rentan') serta sumber daya dan kapasitas adaptif yang
memungkinkan masyarakat untuk mengatasi kerentanan dan mengelola perubahan
dengan cara yang positif. Alih-alih mencoba untuk memprediksi perubahan
spesifik, perspektif resiliensi menerima bahwa perubahan tidak bisa dihindari dan
kadang tak terduga (Maguire dan Cartwright 2008, Resilience Alliance 2007).
Pendekatan resiliensi sosial telah menjadi konsep paling penting yang
berhubungan dengan isu perubahan iklim global saat ini. Resiliensi adalah istilah
yang semakin berkembang dan populer digunakan dalam kebijakan, program dan
pemikiran seputar adaptasi terhadap perubahan iklim dan pengurangan risiko
bencana (disaster risk reduction - DRR) (Bahadur et al. 2010). Istilah ini telah
menjadi sangat populer untuk menggambarkan interseksi antara dua bidang
tersebut dengan kemiskinan dan pembangunan sebagai 'pembangunan tahan iklim'
(climate resilient development), dan selanjutnya konsep 'pembangunan tahan
iklim' dengan cepat menjadi a catch-all untuk mengatasi dampak perubahan iklim
dalam konteks pembangunan.
Pemahaman tersebut menyadarkan pentingnya menilai resiliensi sosial
masyarakat nelayan di pesisir serta pengembangan pendekatan yang dibutuhkan
untuk beradaptasi. Kunci untuk meningkatkan kemampuan adaptasi (adaptive
capacity) ialah resiliensi (Folke et al. 2002). Pengembangan konsep ini sejalan
dengan pendapat Berkes dan Seixas (2005) bahwa pengembangan sistem resiliensi
ekologi-sosial merupakan kunci bagi pembangunan yang berkelanjutan, namun
pengembanganya di negara berkembang masih sangat diabaikan, sementara
resiliensi sangat sesuai digunakan untuk mengkaji pengelolaan wilayah pesisir,
khususnya bila dikaji dari aspek perubahan mendadak.
Masalah Penelitian
Meskipun dampak perubahan iklim berkonotasi negatif di banyak tempat,
di beberapa tempat lainnya ancaman itu juga telah berhasil dihadapi. Masyarakat
pedesaan di berbagai belahan dunia telah mengalami berbagai bentuk peristiwa
iklim yang ekstrim dan seiring waktu, mereka telah mengembangkan berbagai
tanggapan adaptif untuk mengatasi risiko lingkungan terhadap mata pencaharian.
Agrawal (2008) dalam kesimpulannya setelah mereview praktek adaptasi lokal
dari lebih sekitar 40 negara menyebutkan bahwa kesuksesan adaptasi bergantung
pada kesuksesan pada pengaturan kelembagaan - adaptasi tidak pernah terjadi
dalam kekosongan kelembagaan. Studi khusus yang berfokus pada tema-tema
seperti konservasi air, pengembangan pertanian, mata pencaharian pedesaan,
pengelolaan hutan juga mengidentifikasi lembaga lokal sebagai kunci untuk
adaptasi (Adger 2000b, Droogers 2004, Naess 2005). Peran lembaga-lembaga
dalam berbagai skala, termasuk dalam konteks lokal, telah diterima secara luas
dalam berbagai analisis iklim dan adaptasi (Batterbury dan Forsyth 1999,
Thompson et al. 2006).
Penelitian ini, oleh karenanya memberi perhatian besar kepada
kelembagaan yang bermain di tingkat lokal ataupun yang terkait dengannya dalam
mengamati dinamika sosial ekonomi komunitas lokasi penelitian dalam konteks
perubahan iklim. Di samping itu, karena adaptasi terhadap perubahan iklim adalah
tindakan lokal, sangat penting untuk memahami peran lembaga lokal dengan lebih
baik dalam membentuk adaptasi dan meningkatkan kemampuan kelompokkelompok sosial yang paling rentan. Tidak hanya bagaimana lembaga-lembaga
yang ada mempengaruhi bagaimana penduduk pedesaan merespon tantangan
lingkungan hidup di masa lalu, lembaga juga menyediakan mekanisme mediasi
mendasar yang akan menerjemahkan dampak intervensi eksternal untuk
memfasilitasi adaptasi perubahan iklim. Pengaturan struktur kelembagaan untuk
menghadapi risiko dan kepekaan terhadap bahaya iklim, memfasilitasi atau
menghambat respon individu dan kolektif, dan bentuk hasil dari respon tersebut.
Memahami bagaimana mereka berfungsi dalam kaitannya dengan iklim dan
dampaknya karena itu merupakan komponen inti dalam merancang intervensi
yang positif dapat mempengaruhi kemampuan adaptasi dan praktek adaptasi bagi
masyarakat miskin.
Provinsi Maluku terdiri dari 1.340 pulau besar dan kecil, dengan lokasi
pemukiman penduduk yang sebagian besar bermukim di pesisir pantai. Hal ini
membuat Provinsi Maluku sangat rentan dengan bencana seperti kenaikan
permukaan air laut akibat perubahan iklim, serta bahaya-bahaya lain yang dapat
mengancam sewaktu-waktu. Wilayah kepulauan dalam konteks ancaman bencana
dan dampak perubahan iklim memiliki kerentanan atau risiko yang lebih tinggi.
Ketersediaan pangan, energi, fasilitas dan pelayanan kesehatan atau pendidikan
secara kasat mata dapat terlihat. Kepulauan Maluku karena keunikan
karakteristiknya baik secara geofisika, sosial, ekonomi dan budaya tersebut
membuatnya sangat rentan terhadap efek dari pemanasan global, termasuk
bencana alam lebih sering dan intens, seperti siklon, banjir dan kekeringan lahan.
Juga keterbatasan-keterbatasan dalam merespon kejadian bencana mengingat
sistem adat dan kearifan lokal masih cukup kuat dalam sistem kehidupan
masyarakatnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan, pada sisi yang lain,
sistem adat dan kearifan lokal juga dapat menjadi modal besar dalam melakukan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Selanjutnya, berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian
(problem statement) di atas, pertanyaan penelitian (research question) dirumuskan
sebagai berikut:
1) Bagaimana kerentanan komunitas terhadap dampak dan resiko perubahan
iklim dari sudut pandang pemahaman dan pengalaman nelayan dan
bagaimana nelayan beradaptasi dengannya?
2) Bagaimana praktek adaptasi nelayan menghadapi dampak perubahan iklim
dan sejauh mana peran kelembagaan lokal dalam mengembangkan
adaptasi nelayan di tingkat desa?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat sintesis berkaitan dengan
pemahaman nelayan tentang perubahan iklim, kerentanan yang ditimbulkannya,
strategi adaptasi untuk mereduksi kerentanan, proses pengambilan keputusan
adaptasi, dan resiliensi komunitas sebagai bahan untuk merumuskan formulasi
kebijakan advokasi perubahan iklim berbasis evidensi pedesaan nelayan pada
kawasan pesisir. Tujuan penelitian lebih rinci dirumuskan sebagai berikut:
1) Menganalisis kerentanan komunitas nelayan di wilayah pesisir utara Pulau
Ambon (desa Asilulu) melalui penilaian potensi risiko perubahan iklim
(meliputi paparan dan kepekaan) dan penilaian kemampuan adaptasi dan
selanjutnya menganalisis praktek adaptasi yang dikembangkan dalam
mengurangi kerentanan dan meningkatkan resiliensi komunitas.
2) Menganalisis praktek adaptasi yang dikembangkan oleh komunitas
nelayan pada tingkat lokal (desa) dalam menghadapi dampak perubahan
iklim serta mengidentifikasi lembaga-lembaga yang terlibat dalam praktek
adaptasi tersebut dan selanjutnya menganalisis peran lembaga dalam
menfasilitasi praktek adaptasi dan atau dalam mengembangkan adaptasi
nelayan di tingkat desa.
Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memenuhi kegunaan pada dua aspek yaitu
aspek teoritis akademis dan aspek praktis empiris.
Dari aspek teoritis akademis, penelitian ini diharapkan dapat memenuhi
kegunaan sebagai berikut
1) Temuan penelitian merupakan sebuah pengungkapan fakta ilmiah yang relatif
baru pada kasus yang diteliti sehingga dapat berkontribusi pada
pengembangan teoritis khususnya bidang kajian ilmu sosiologi pedesaan.
2) Secara metodologis, penelitian ini menawarkan metodologi penelitian sosial
yang relatif berbeda dengan mainstream metodologi yang digunakan selama
ini untuk mengidentifikasi dan memahami aspek-aspek sosial dari perubahan
ekologi yang didorong oleh perubahan iklim.
Dari aspek praktis empiris, beberapa harapan kegunaan penelitian adalah
sebagai berikut.
1) Penil
KOMUNITAS DESA NELAYAN:
STUDI KASUS DI KAWASAN PESISIR UTARA
PULAU AMBON, MALUKU
SUBAIR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ABSTRACT
SUBAIR. Climate Change Adaptation and Fisheries Rural Community
Resilience: A Case Study in North Ambon Coastal Area, Maluku. Under the
supervision of LALA M. KOLOPAKING as the chairman, SOERYO
ADIWIBOWO and M. BAMBANG PRANOWO as members.
A study of locality impact of climate change is necessary for making a synthesis
of the understanding of climate change, vulnerability and climatic adaptation as a
material to formulate advocacy policy of climate change which is coastal villagebased evidence. The research was conducted in Asilulu village, Maluku, using a
study method of historical case. The data collection used was hermeneutic and
dialectic methods through participation observation, focus group discussions
(FGD) and interviews. Some research findings were as follows. Fishermen‘s
understanding about climate change was based on experience, not on the science
of climate change. Vulnerability which was triggered by the negative impact has
so far been able to be reduced by the adaptation made. Until now, the community
can be considered quite resilient although it is just limited resilience. A very
important factor in creating a resilient condition is the role of local institutions that
facilitate adaptation. Climatic adaptation by the community adaptation proved to
be more effective than the adaptation managed by the government because the
government intervention all these time has been more in terms of alternative
infrastructure to the technical matters which are very expensive, but it does not
increase the adaptability necessary for the community to deal with climate change
in all aspects of livelihood.
Keywords: climate change, vulnerability, adaptation, local institution, community
resilience
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: ADAPTASI
PERUBAHAN IKLIM DAN RESILIENSI KOMUNITAS DESA
NELAYAN: STUDI KASUS DI KAWASAN PESISIR UTARA PULAU
AMBON, MALUKU adalah benar merupakan karya saya dengan arahan komisi
pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum
pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua
data dan sumber informasi yang digunakan telah secara jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Bogor, Juni 2013
S u b a i r
NRP. I363080041
RINGKASAN
SUBAIR. Adaptasi Perubahan Iklim dan Resiliensi Komunitas Desa Nelayan:
Studi Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon, Maluku. Dibimbing oleh
LALA M. KOLOPAKING, SOERYO ADIWIBOWO dan M. BAMBANG
PRANOWO
Dari 712.479,69 km2 total luas wilayah Maluku, 93 persen lebih
(666.139,85 km2) terdiri atas lautan. Selain itu, lebih dari 83 persen desa berada di
daerah pantai sehingga aktivitas masyarakat pedesaan sebagian besar dilakukan di
daerah pesisir dan laut. Perairan yang begitu luas mengindikasikan bahwa laut
memiliki peran yang vital bagi kehidupan, sehingga dapat dikatakan bahwa laut
merupakan ―ladang kehidupan‖ bagi penduduk di Maluku. Karakteristik geografis
dan penduduk yang terkait dengan pesisir dan laut membuat Maluku secara teori
rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Di Indonesia, penelitian serta bukti-bukti kredibel tentang dampak
perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat pedesaan khususnya nelayan
perikanan tangkap masih kurang. Selain itu, cara paling umum dalam mengkaji
perubahan iklim selama ini adalah melalui pengamatan meteorologis. Dampak
iklim seringkali didasarkan pada simulasi model-kenaikan permukaan air laut
yang diarahkan sebagai adaptasi biofisik terhadap intrusi air laut ke daratan.
Model simulasi seperti itu seringkali non-sensitive terhadap faktor-faktor sosial
ekonomi yang sering ditemukan pada kasus studi-studi kualitatif. Penelitian ini
merupakan kajian kerentanan dan resiliensi dengan cara yang relatif baru
menggunakan metode kualitatif, dilaksanakan dengan pendekatan eksplorasi,
bukannya mengenalkan. Informasi yang digali dari masyarakat adalah pandangan
(pemahaman) masyarakat terhadap kondisi iklim dan perubahannya yang berlaku
di lokalitas wilayah penelitian, pandangan yang dapat saja berbeda dengan
pandangan ilmuwan.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat sintesis berkaitan dengan
pemahaman nelayan tentang perubahan iklim, strategi adaptasi, serta proses
pengambilan keputusan adaptasi sebagai bahan untuk merumuskan formulasi
kebijakan advokasi perubahan iklim berbasis evidensi pedesaan nelayan pada
kawasan pesisir. Tujuan penelitian lebih rinci dirumuskan sebagai berikut: (1)
Mengidentifikasi kerentanan komunitas nelayan melalui penilaian paparan,
kepekaan, dan kemampuan adaptasi, (2) Menganalisis strategi adaptasi dalam
mengurangi kerentanan dan meningkatkan resiliensi komunitas terhadap dampak
perubahan iklim dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya, dan (3)
Menganalisis peran pemerintah dan stakeholder lainnya dalam memfasilitasi
praktek strategi adaptasi yang dilakukan komunitas nelayan sebagai bahan untuk
merumuskan langkah penyusunan kebijakan pembangunan peka iklim.
Penelitian dilakukan di kawasan pesisir utara Pulau Ambon yakni pada
desa nelayan sentra perikanan komoditas komersial ikan Tuna Asilulu yang
ditetapkan secara purposif. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dalam
bentuk studi kasus historis. Predikat ‗historis‘ di sini menekankan bahwa pokok
kajian penelitian ini bukan suatu kejadian sosial pada suatu waktu tertentu,
melainkan suatu gejala atau proses sosial dalam suatu rentang waktu tertentu.
Istilah ‗kasus‘" sendiri memberi pembatasan bahwa proses sosial yang dikaji tidak
berada dalam cakupan sejarah non-kontemporer (klasik), melainkan dalam
cakupan sejarah kontemporer yang sebagian pelakunya masih hidup. Unit analisis
adalah komunitas nelayan di desa Asilulu kecamatan Leihitu kabupaten Maluku
Tengah, Provinsi Maluku dan kelompok sosial yang ada di dalamnya. Jumlah
informan yang dipilih sebanyak 16 orang informan yang terdiri dari unsur nelayan
anggota komunitas sebanyak 5 orang, pengumpul 3 orang mewakili 3 lembaga
pengumpul, unsur pemerintah desa 1 6 orang, dan unsur pemerintah daerah 2
orang, dan unsur pakar 3 orang. Seluruh informan dalam penelitian ini dipilih
secara sengaja (purposif) sesuai dengan kebutuhan penelitian, pengetahuan dan
pengalaman informan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeunetik
dan dialektika yang difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu
proses sosial. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik pengamatan
berperan serta (participant-observation), Focus Group Discussion (FGD) dan
wawancara mendalam secara langsung pada tineliti. Untuk mendukung validitas
data yang dikumpulkan, dilakukan pula studi pustaka, terutama terhadap hasilhasil penelitian terdahulu serta dokumen-dokumen terkait lainnya.
Data yang berasal dari hasil wawancara mendalam, dan observasi yang
telah disunting dan ditranskripsi dianalisis menggunakan analisa kualitatif
fenomenologi dan strategi analisis data kualitatif-verifikatif yang keduanya
dilakukan secara induktif. Selain analisis induktif, digunakan juga analisis
deduktif khususnya untuk menilai tingkat kerentanan komunitas terhadap dampak
perubahan iklim. Dalam hal ini, terlebih dahulu disusun kriteria-kriteria
kerentanan beserta hipotesis-hipotesis berdasarkan literatur yang ada kemudian
membandingkannya dengan kondisi eksisting sosial ekonomi budaya komunitas.
Nelayan dan semua stakeholder perikanan tangkap di Negeri Asiluli telah
menjadi saksi terjadinya pola musim yang berbeda dalam beberapa tahun terakhir.
Ada tiga pola angin musim yang dikenal nelayan, yakni musim barat, musim
timur, dan musim pancaroba. Saat ini nelayan kesulitan untuk dapat memprediksi
secara tepat kapan pergantian antara satu musim ke musim yang lain. Kalender
musim yang menjadi pedoman secara turun temurun prediksinya kebanyakan
tidak tepat lagi. Pola angin musim yang tidak sama ini membingungkan nelayan
dalam menentukan keputusan pergi melaut. Banyak nelayan yang salah
memperhitungkan pola angin musim ketika berangkat ke laut. Angin musim juga
terkait dengan jenis ikan apa yang sedang banyak dan lokasinya, apakah ikan ada
di tengah laut atau di perairan dangkal. Ketika gelombang dan angin kencang
datang tiba-tiba dan nelayan memutuskan untuk tetap melaut, biasanya nelayan
kesulitan memancing ikan. Musim ikan mati (panen) mundur atau maju sebulan
jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pengetahuan yang mereka
jadikan kekuatan utama dalam menopang nafkah keluarga secara perlahan mulai
tidak lagi relevan. Bisa jadi hasil panen ikan melimpah tahun ini tetapi mereka
mulai khawatir dengan tahun depan. Tentunya ini berdampak pada keselamatan
dari nelayan dan hasil tangkapan ikan yang berarti bahwa nelayan dan
keluarganya (dan semua pihak yang terkait dengan sumberdaya pesisir dan laut)
terhempas ke dalam kondisi kerentanan, secara ekologis, sosial dan ekonomi.
Nelayan tidak mengetahui perdebatan tentang perubahan iklim yang ramai di sisi
lain dunia mereka, yang mereka tahu: mereka harus beradaptasi untuk tetap eksis
sebagai satu masyarakat.
Kerentanan yang dipicu oleh dampak negatif sejauh ini dapat dikurangi
oleh adaptasi yang dilakukan. Sampai di sini, komunitas dapat disebut cukup
resilien tetapi dengan resiliensi yang terbatas (limited resilience) karena
ketergantungan yang masih sangat tinggi pada keramahan sumberdaya alam.
Adaptasi yang terlihat sebagai adaptasi reaktif sesungguhnya adalah adaptasi yang
direncanakan (plan adaptation) mengingat perubahan iklim adalah fenomena
yang terjadi dalam proses yang sangat lama dan bertahap. Faktor yang sangat
penting dalam menciptakan keadaan keadaan yang resilien adalah peran besar
lembaga-lembaga lokal yang menfasilitasi tindakan adaptasi yang dilakukan.
Kesuksesan adaptasi perubahan iklim ditentukan oleh keberadaan dan
keberfungsian lembaga lokal ini. Semakin kuat dan mengakar lembaga lokal maka
semakin besar peluang kesuksesan komunitas melakukan adaptasi perubahan
iklim. Sebaliknya, semakin lemah dan ―terasing‖ maka semakin kecil
kemungkinan berhasil melakukan adaptasi. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa
adaptasi perubahan iklim oleh komunitas, karenanya, lebih efektif dibanding
adaptasi yang dikelola oleh pemerintah. Pandangan ini mensyaratkan bahwa
dalam penyusunan kerangka kebijakan adaptasi, komunitaslah yang harus menjadi
basis.
Pada intinya, keseluruhan strategi itu terjadi dan terus bergerak maju
karena salah satunya dan yang utama, adanya dukungan kelembagaan lokal yang
tumbuh dari komunitas mereka sendiri. Kelembagaan ini adalah jaringan sosial
nelayan – pedagang pengumpul yang menjadi pola sistem nafkah nelayan Tuna di
Asilulu saat ini. Masyarakat setempat menjadikan jaringan sosial yang ada sebagai
sumber dukungan sosial. Studi ini mengidentifikasi setidaknya terdapat dua
dukungan sosial yang diperoleh: dukungan instrument dalam bentuk bantuan
langsung, bantuan kredit kepemilikan alat tangkap dan bantuan pinjaman biaya
operasional penangkapan; dan dukungan informasi berupa informasi wilayah
konsentrasi ikan, telah mulainya musim ikan mati, jenis umpan yang sedang
disukai ikan Tuna, informasi cuaca dan badai serta informasi lainnya yang terkait
dengan sistem nafkah nelayan. Kedua dukungan sosial itu diprakarsai,
dikembangan dan dikendalikan oleh pedagang pengumpul, patron yang dalam
konteks mereka menjadi ―bapak‖ yang mengayomi. Tentu saja dibutuhkan
penelitian lagi untuk mengungkap dinamika rasionalitas pada hubungan keduanya
untuk mengungkap kebenaran yang mungkin tersembunyi. Secara umum, bentuk
lembaga lokal membentuk efek bahaya iklim dalam tiga hal penting: mereka
menentukan bagaimana rumah tangga dipengaruhi oleh dampak iklim; mereka
membentuk kemampuan rumah tangga untuk menanggapi dampak iklim dan
mengejar praktek adaptasi yang berbeda, dan mereka memediasi aliran eksternal
intervensi dalam konteks adaptasi.
Nilai kegigihan, ketekunan dan sikap budaya sebagai penduduk pesisir
kepulauan dan nelayan ditambah dukungan kelembagaan menjadi ―modal‖ yang
menguatkan kemampuan adaptasi nelayan dalam beradaptasi terhadap dampak
dari perubahan iklim. Kemampuan adaptasi yang kuat membawa masyarakat
nelayan pada kondisi yang resilien, dan inilah yang disebut sebagai resiliensi
sosial nelayan. Meskipun masih perlu kajian lebih lanjut untuk memperhadapkan
kemampuan adaptasi itu dengan kerentanan yang diakibatkan oleh perubahan
iklim karena asumsi dasar dari studi ini adalah bahwa tingkat keparahan dan krisis
yang diakibatkan oleh dua sisi: kerentanan dan resiliensi sosial.
Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB) Tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN RESILIENSI
KOMUNITAS DESA NELAYAN:
STUDI KASUS DI KAWASAN PESISIR UTARA
PULAU AMBON, MALUKU
SUBAIR
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc
(Staf Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Kelautan
Institut Pertanian Bogor)
2. Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr
(Ketua Mayor Sosiologi Pedesaan Departemen KPM
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor)
Penguji pada Ujian Terbuka:
1. Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS
(Direktur Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut
Institut Pertanian Bogor)
2. Dr. Arif Satria, SP, M.Si
(Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian
Bogor)
PENGESAHAN
Judul Disertasi : Adaptasi Perubahan Iklim dan Resiliensi Komunitas Desa Nelayan:
Studi Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon, Maluku
Nama
: Subair
NIM
: I363080041
Program Studi1 : Sosiologi Pedesaan (SPD)
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS.
Ketua
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS.
Anggota
Prof. Dr. M. Bambang Pranowo
Anggota
Mengetahui,
Ketua Mayor Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 04 Juli 2013
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah Yang Maha Kuasa. Semoga keselamatan
selalu tercurah kepada Muhammad SAW., nabi mulia akhir zaman dan pembawa
cahaya terang bagi dunia. Hanya karena dengan izin dan petunjuk Allah semata
penulis dapat menyelesaikan studi sebagaimana mestinya.
Pertama-tama ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis
sampaikan kepada Komisi Pembimbing disertasi ini, yaitu Bapak Dr. Ir. Lala M.
Kolopaking, MS selaku Ketua, Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan Bapak
Prof. Dr. M. Bambang Pranowo selaku Anggota. Sungguh kesediaan meluangkan
waktu dan pikiran secara tulus dan berdedikasi memberikan bimbingan dari awal
hingga selesainya penyusunan Disertasi ini merupakan amal yang tidak ternilai
harganya bagi penulis. Bukan hanya ilmu dan pengetahuan, dorongan semangat
dan kepercayaan dari Komisi Pembimbing telah menjadi motivasi utama dalam
penyelesaian studi ini dan lebih luas, dalam menjalani kehidupan sebagai seorang
akademisi. Hanya kepada Allah penulis bisa mengharapan balasan atas kebaikan
yang telah diberi disertai doa jazakumullahu khaeran katsira. Semoga Allah
membalas semua kebaikan dengan kebaikan yang jauh lebih banyak.
Disertasi ini dapat mencapai bentuknya seperti sekarang ini, selain dari
arahan dan bimbingan dari Komisi Pembimbing, juga adalah berkat masukan dan
arahan penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka. Oleh
karenanya, penulis mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya disertai
ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr dan
Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian
Kualifikasi Doktor dan Ujian Disertasi Tertutup serta Bapak Prof. Dr. Tridoyo
Kusumastanto, MS dan Bapak Dr. Arif Satria, SP, M,Si sebagai Penguji Luar
Komisi pada Ujian Terbuka. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Mayor Sosiologi Pedesaan dan
seluruh Bapak/Ibu Dosen beserta staf atas kesempatan belajar dan proses belajar
yang telah penulis lewati selama kurang lebih lima tahun lamanya.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Hasbollah
Toisuta, M.Ag (Rektor IAIN Ambon) dan Bapak Dr. Ismail Tuanany, MM
(Dekan Fakultas Dakwah dan Ushuluddin IAIN Ambon) yang telah mengizinkan
dan mendukung studi penulis selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada Kementerian Pendidikan Nasional cq. Direktur Pendidikan Tinggi yang
memberi beasiswa BPPS on going kepada penulis. Terima kasih juga kepada
Gubernur Maluku atas bantuan dana penelitian yang sangat membantu dalam
kegiatan penelitian. Seluruh informan penelitian terutama kepada Bapak Ali
Mahulete (Sekretaris Negeri Asilulu) yang dengan tulus ikhlas dan sabar dalam
memberikan keterangan dan informasi untuk penulisan Disertasi ini.
Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak
terhingga kepada Bapak Prof. Dr. H. Arief Furqan, mantan Rektor IAIN Ambon,
yang telah memberi izin studi dan dorongan kuat yang memotiasi penulis
melanjutkan studi. Motivasi yang membangun, nasehat-nasehat yang
menyejukkan dan dukungan biaya studi merupakan momentum besar dalam
perjalanan hidup penulis sebagai akademisi. Ucapan terima kasih yang sama juga
penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Aholiab Watloly (Guru Besar Filsafat
Universitas Pattimura) dan Bapak Prof. Dr. Malik Fadjar (Pimpinan Pusat
Muhammadiyah) yang bersedia memberi rekomendasi kepada penulis untuk
melanjutkan studi doktor di IPB. Kepada Almarhum H.A. Abdullah (mantan
Ketua STKIP Muhammadiyah Bone) yang banyak memberi dukungan bagi
keberlanjutan studi penulis, tidak lupa penulis doakan semoga mendapat tempat
yang layak di sisi Allah SWT dan diampuni semua dosa-dosanya.
Tidak kurang dari ucapan terima kasih sebelumnya, dari lubuk hati yang
paling dalam penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua Ayahanda H.
Abdullah Limpo dan Ibunda Almarhumah Hj. Andi Nurmilah yang wafat ketika
penulis sedang menempuh studi ini. Semoga Allah mengampuni dosanya,
melapangkan baginya kuburannya dan menempatkannya bersama orang-orang
saleh di surga. Pencapaian ini secara khusus penulis dedikasikan untuk
Almarhumah. Terima kasih juga kepada Ibunda Hj. Andi Nurjannah yang dengan
tulus menjadi istri yang baik bagi Ayahanda dan ibu yang baik bagi penulis
bersaudara. Ucapan terima kasih yang sama penulis sampaikan kepada kedua
mertua penulis Ibunda Hj. Mulkaidah dan Ayahanda H. Abidin Samir yang
senantiasa memberikan doa, dorongan semangat, materi dan cinta kasih yang tiada
henti yang diberikan pada penulis sehingga mampu menyelesaikan program
Doktor ini. Juga kepada kakak tercinta H. Andi Budiman, S.Fil.I dan keluarga,
adik-adik tercinta Andi Sarini, Am.d.Kes sekeluarga, Andi Satriani, S.Si
sekeluarga dan keluarga, Andi Samratul Uyun, Andi Saidil Bukhaer, Andi
Zakiyah Salehah, Andi Asriani Abidin, S.Pd.I sekeluarga Andi Ashadi Abidin,
S.PdI, Andi Mustika Abidin, S.PdI dan Andi Rahmat Abidin, serta dua ‗anak
angkatku‘: Rusli Sapsuha dan Sutinah yang telah menjadi bagian tidak
terpisahkan dari keluarga kami.
Dalam kesempatan ini, saya juga mengucapkan terima kasih pada kawankawan SPD angkatan 2008, Ibu Dr. Rita Rahmawati dan Bapak Dr. Sulthan
Zainuddin, dan teman-teman SPD angkatan 2007 dan 2009 yang telah melewati
masa-masa ‗perjuangan‘ bersama yang panjang dan melelahkan, sekaligus
menjadi teman berbagi yang penuh inspirasi. Banyak nama dan pihak yang tidak
mungkin penulis sebutkan satu per satu di sini dan semoga itu tidak mengurangi
rasa terima kasih penulis.
Terakhir tetapi bukan yang akhir, ucapan terima kasih dan penghargaan
setulusnya penulis sampaikan pada isteri tercinta, Andi Rahmania Abidin, S.Pd.I,
M.Si yang dengan ikhlas mendukung penulis dalam perjuangan panjang ini. Juga
anak-anakku tersayang Andi, Athan, Arya dan Affan yang telah menjadi sumber
kekuatan bagi penulis untuk terus semangat dan tetap bisa tegar menjalani
kehidupan ini. Allah mengambil ibunda tercinta karena lebih sayang kepadanya
dan pada saat yang sama memberi kalian bagiku karena kecintaanNya padaku.
Kepada orang-orang tercinta inilah, disertasi dan gelar yang penulis peroleh
karenanya, penulis dedikasikan.
Segala kritik dan saran penulis harapkan demi kesempurnaan usulan
penelitian ini, sehingga menjadi tulisan yang bermanfaat. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan rahmat dan anugerahNya atas segala kebaikan yang
diberikan. Amien.
Bogor, Juni 2013
S u b a i r
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Surat Pernyataan
Ringkasan
Halaman Hak Cipta
Lembar Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
i
iii
v
viii
ix
xi
xiii
xvii
xviii
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Kebaruan Disertasi (Novelty)
1
6
7
8
8
10
2. LANDASAN TEORITIS
Pengantar
Wacana Perubahan Iklim
Kenaikan Temperatur dan Berubahnya Musim
Kenaikan Permukaan Air Laut
Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Perikanan
Adaptasi Perubahan Iklim
Konsepsi Adaptasi Perubahan Iklim
Jenis dan Dimensi Adaptasi Perubahan Iklim
Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Pesisir di Indonesia
Resiliensi (Resilience)
Beberapa Konsepsi Resiliensi terkait Perubahan Iklim
Resiliensi Sosial
Resiliensi Sosial dan Kemampuan adaptasi
Kerentanan (Vulnerable)
Kerentanan dan Resiliensi
Kelembagaan Lokal dan Adaptasi Perubahan Iklim
Konsep Umum Kelembagaan
Kelembagaan Nelayan Pesisir
Peran Lembaga Lokal dalam Adaptasi Perubahan Iklim
Penelitian Terkait Terdahulu
14
14
16
16
17
18
19
21
23
23
24
33
34
35
37
38
38
39
41
42
3. PARADIGMA, KERANGKA KONSEPTUAL DAN METODOLOGI
Pengantar
Paradigma Penelitian
Kerangka Pemikiran
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pendekatan Penelitian
Unit Analisis dan Subjek Penelitian
47
47
51
53
53
55
56
Metode Pengumpulan Data
Keterbatasan Penelitian
Pemeriksaan Keabsahan Data
Metode Analisa Data
Tahapan dan Pedoman Analisa Data
Analisis Kerentanan
Analisis Potensi Risiko
Analisis Kemampuan Adaptasi
Analisis Strategi Adaptasi
Analisis Resiliensi Komunitas
Analisis Peran Kelembagaan
57
61
62
63
64
65
67
68
68
69
71
4. EKOLOGI DAN SOSIO-BUDAYA LOKASI PENELITIAN
Geografis
Iklim dan Musim
Aksebilitas
Infrastruktur Sosial
Kependudukan
Ekonomi dan Mata Pencarian
Sosial dan Budaya
Sejarah Negeri Asilulu
Asilulu: Potret Negeri Adat Maluku
Lembaga Adat Tradisional
Lembaga Perikanan Tangkap
Kelembagaan Pengumpul
Lembaga Pengumpul sebagai Kelompok Produksi
Lembaga Pengumpul sebagai Lembaga Pemasaran
Lembaga Pengumpul sebagai Sumber Jaringan Informasi
Lembaga Pengumpul sebagai Mediator Intervensi Eksternal
Lembaga Pengumpul sebagai Patron
Lembaga Pengumpul sebagai Sumber Dukungan Sosial
Perikanan Tangkap Tuna di Desa Asilulu
Profil Usaha Penangkapan Tuna di Negeri Asilulu
Wilayah dan Musim Penangkapan
Armada dan Teknologi Penangkapan Ikan
74
75
76
77
79
80
81
82
83
85
89
93
94
95
96
95
98
100
102
102
105
109
5. LOKALITAS PERUBAHAN IKLIM
Pengantar
Perubahan Iklim Berdasarkan Pemahaman dan Pengalaman Nelayan
Semakin Seringnya Gelombang Pasang
Naiknya Permukaan Air Laut
Cuaca Ekstrim
Bergesernya Musim Ikan
Kacaunya Pola Musim dan Angin
Bergesernya Lokasi Penangkapan Ikan
Lokalitas Dampak Perubahan Iklim
Dampak Fisik dan Ekologi
Dampak Sosial-Ekonomi
Dampak pada Pemukiman
115
115
115
117
119
121
123
125
123
129
131
132
Menurunnya Hasil Tangkapan Nelayan
Dampak pada Sistem Pengetahuan dan Kepercayaan
Ikhtisar
133
135
138
6. KERENTANAN KOMUNITAS NELAYAN
Pengantar
Kerentanan Wilayah Provinsi Maluku terhadap Dampak
Perubahan Iklim secara Umum
Potensi Risiko Perubahan Iklim di Lokasi Penelitian
Tingkat Paparan Komunitas
Tingkat Kepekaan Komunitas
Kemampuan Adaptasi
Menilai Kerentanan Komunitas
Ikhtisar
141
144
144
146
149
153
155
7. ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Pengantar
Praktek Adaptasi Perubahan Iklim Komunitas
Membuat Tembok Penahan Gelombang dan Para-para
Strategi Mengejar Musim
Beralih Sementara Mencari Ikan Dasar
Mengurangi Resiko Melaut dengan Melaut secara Berkelompok
Mengganti Perahu dan Mengembangkan Teknologi Produksi Baru
Belajar dan Mengembangkan Pengetahuan Baru
Merevitalisasi Kelembagaan Lokal dan Memperkuat Jaringan Sosial
Mengembangkan Pola Nafkah Ganda
Tawakkal
Peran Pemerintah dalam Praktek Adaptasi Perubahan Iklim
Ikhtisar
158
158
158
160
162
164
165
167
169
170
174
176
178
140
8. RESILIENSI SOSIAL KOMUNITAS NELAYAN
Re-konseptualisasi Resiliensi Sosial
Analisis Resiliensi Sosial Komunitas
Resiliensi Sosial adalah Memperlakukan Gangguan
sebagai Sebuah Kesempatan
Resiliensi Sosial adalah Kemampuan Sistem Beradaptasi
dan Terus Berfungsi
Resiliensi bersumber dari Mata Pencaharian yang Berkelanjutan
Resiliensi Sosial sebagai Hasil dari Kesuksesan Adaptasi
Resiliensi Sosial sebagai Berfungsinya Kelembagaan Lokal
Secara Optimal
Ikhtisar
195
198
9. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN
Kesimpulan
Implikasi Teoritis
Implikasi Kebijakan
200
201
204
Daftar Pustaka
Riwayat Hidup Penulis
207
227
184
186
186
187
190
194
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar 10.
Gambar 11.
Gambar 12.
Gambar 13.
Gambar 14.
Gambar 15.
Gambar 16.
Gambar 17.
Gambar 18.
Gambar 19.
Gambar 20.
Gambar 21.
Gambar 22.
Gambar 23.
Gambar 24.
Gambar 25.
Gambar 26.
Gambar 27.
Gambar 28.
Gambar 29.
Gambar 30.
Gambar 31.
Gambar 32.
Gambar 33.
Gambar 34.
Gambar 35.
Gambar 37.
Gambar 38.
Gambar 39.
Gambar 40.
Peta wilayah Provinsi Maluku
Konsep Kontinum Adaptasi
Dimensi adaptasi perubahan iklim
Kerangka konseptual penelitian
Wawancara open-ended
Wawancara dengan Pengumpul
FGD
Tahapan analisis penelitian
Skema Analisis Kerentanan Perubahan Iklim
Konsep hubungan antara selang toleransi, kerentanan, dan
perubahan iklim
Konsep hubungan antara selang toleransi, kerentanan,
perubahan iklim, dan adaptasi
Skema penilaian resiliensi sosial (social resilience)
komunitas nelayan
Kerangka Pikir Peran Kelembagaan Lokal
Peta Lokasi Penelitian
Peta Potensi Desa
Balai Negeri atau Baileo.
Masjid dan Rumah Raja
Alur Distribusi Pemasaran Hasil Tangkapan Nelayan
Mesjid dan Rumah Raja
Kegiatan pengolahan ikan di salah satu cold storage
Ikan Tuna
Peta fishing ground nelayan di Maluku
Perahu kole-kole
Perahu semang
Perahu fiber
Bagan apung di perairan
Tembok penahan ombak rusak
Indikator kenaikan permukaan laut
Fakta kenaikan permukaan air laut
Dampak gelombang pasang dan abrasi
Kerentanan Pulau Lain
Para-para
Kerentanan pemukiman
Sagu lempeng dan ‗suami‘
Talit
Para-para yang dibangun oleh nelayan di belakang
rumah warga
Nelayan bekerja dengan perahu semang
Perahu fiber atau Long Boat
Dusung
.
4
21
22
52
59
59
61
65
66
67
69
69
73
74
74
78
82
96
103
105
106
106
110
111
112
114
116
117
118
130
130
131
132
151
159
160
163
164
172
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Keadaan Penduduk Negeri Asilulu berdasarkan
Tingkat Umur dan Jenis Kelamin
Tabel 2. Keadaan Penduduk Negeri Asilulu berdasarkan
Jenjang Pendidikan Formal
Tabel 3. Keadaan Mata Pencaharian Penduduk Angkatan
Kerja Negeri Assilulu
Tabel 4. Kelompok Nelayan di Asilulu
Tabel 5. Pedagang Pengumpul dan Jumlah Armadanya
Tabel 6. Kalender Musim Penangkapan Ikan Tuna di Negeri Asilulu
Tabel 7. Jumlah Produksi Kelompok Nelayan/Bulan
Tabel 8 Perubahan Lingkungan berdasarkan Pemahaman Nelayan
Tabel 9. Hasil Penilaian potensi risiko komunitas nelayan
Tabel 10. Praktek Adaptasi Iklim oleh Komunitas Nelayan
Tabel 11. Peran Pemerintah dalam Memfasilitasi Adaptasi
Perubahan Iklim
79
80
81
93
104
107
108
127
153
176
179
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perubahan iklim merupakan isu global yang mulai menjadi topik
perbincangan dunia sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de
Janeiro, Brasil, tahun 1992. United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) merupakan salah satu konvensi yang tercantum dalam
Agenda 21 dan telah disahkan pada konferensi tersebut. Maksud dan tujuan utama
dari konvensi tersebut adalah untuk menjaga kestabilan konsentrasi Gas Rumah
Kaca (GRK) di atmosfer sehingga terjamin ketersediaan pangan dan
pembangunan berkelanjutan (Meiviana et al. 2004: iv). Indonesia telah
meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-undang No. 6 tahun 1994. Pada
perkembangan selanjutnya, perubahan iklim menjadi isu penting dalam kebijakankebijakan penting internasional setelah tahun 1995 ketika laporan penilaian kedua
dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa
―human activities were having a ‗discernible‘ impact on climate‖ (IPCC 2001).
Menurut Glantz (1990), jauh sebelum maraknya konsensus umum tentang realitas
bahwa perubahan iklim adalah disebabkan oleh manusia sesungguhnya tingkat
keparahan dari dampak perubahan tersebut sudah lebih dulu terjadi.
Beberapa ilmuan dan literatur tentang kebijakan pembangunan (seperti
(Kates 2000, Mendelsohn et al. 2007, Smith et al. 2003) berkeyakinan bahwa
masyarakat miskin dan rumah tangga pedesaan yang bergantung pada sumber
daya alamlah yang akan menanggung dampak beban merugikan yang tidak
proporsional dampak perubahan iklim. Dalam empat dekade lalu, bahaya-bencana
terkait iklim seperti banjir, kekeringan, badai, longsor dan kebakaran hutan telah
menyebabkan banyak kehilangan nyawa manusia dan penghidupan, hancurnya
ekonomi dan infrastruktur sosial juga kerusakan lingkungan. Di banyak tempat
dunia, frekuensi dan intensitas bahaya-bencana ini cenderung meningkat. Banjir
dan angin-badai mengakibatkan 70% dari total bencana dan sisanya 30%
diakibatkan oleh kekeringan, longsor, kebakaran hutan, gelombang panas, dan
lain-lain.
Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak buruk
pemanasan global sebagai akumulasi pengaruh daratan dan lautan. IPCC (2007)
menyebutkan bahwa setidaknya terdapat dua faktor penyebab kerentanan wilayah
ini. Pertama, pemanasan global ditengarai meningkatkan frekuensi badai di
wilayah pesisir. Setiap tahun, sekitar 120 juta penduduk dunia di wilayah pesisir
menghadapi bencana alam tersebut, dan 250 ribu jiwa menjadi korban hanya
dalam kurun 20 tahun terakhir (tahun 1980-2000). Pada periode 1905-1930 di
wilayah pantai Teluk Atlantik terjadi rata-rata enam badai tropis per tahun. Ratarata tahunan itu melonjak hampir dua kali lipat (10 kali badai tropis per tahun)
pada periode tahun 1931-1994 dan hampir tiga kali lipat (15 kali badai tropis)
mulai tahun 1995 hingga 2005. Pada tahun 2006 yang dikenal sebagai ―tahun
tenang‖ saja masih terjadi 10 badai tropis di wilayah pesisir ini. Juga dilaporkan
pola peningkatan kejadian badai tropis ini tetap akan berlangsung sepanjang
pemanasan global masih terjadi (IPCC 2007). Kedua, pemanasan global
diperkirakan akan meningkatkan suhu air laut berkisar antara 1-3oC . Dari sisi
biologis, kenaikan suhu air laut ini berakibat pada meningkatnya potensi kematian
dan pemutihan terumbu karang di perairan tropis. Dampak ini diperkirakan
mengulang dampak peristiwa El Nino Southern Oscillation (ENSO) di tahun
1997-1998.
Terkait dengan skenario yang dikembangkan IPCC di atas, Indonesia
merupakan salah satu negara di dunia yang rentan terhadap bencana terkait
dengan iklim mengingat bahwa posisi geografisnya yang terbentang dari 6 derajat
LU sampai 11 derajat LS dan 9 - 141 derajat BT dengan jumlah total pulau
terbesar di dunia (17.500 pulau) dan garis pantai nomor 2 terpanjang di dunia
yaitu 81.000 km (sekitar 14% dari garis pantai dunia) serta luas laut yang
mendekati 70% luas keseluruhan wilayahnya (KNLH 2007: 3). Berdasarkan
Policy Brief yang diterbitkan oleh Kantor Bank Dunia Jakarta (World Bank 2010),
meskipun kepastian mengenai besarnya bahaya masih belum dapat dipastikan,
namun beberapa dampak perubahan iklim yang diperkirakan akan sangat
signifikan adalah:
1) Kenaikan temperatur yang tidak terlalu tinggi. Temperatur rata-rata
tahunan di Indonesia telah mengalami kenaikan 0.3oC (pengamatan sejak
1990). Tahun 1998 merupakan tahun terpanas dalam abad ini, dengan
kenaikan hampir 1oC (di atas rata-rata dari tahun 1961 – 1990).
2) Curah hujan yang lebih tinggi. Diperkirakan, akibat perubahan iklim,
Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan 2-3 persen per tahun,
serta musim hujan yang lebih pendek (lebih sedikit jumlah hari hujan
dalam setahun), yang menyebabkan risiko banjir meningkat secara
signifikan. Hal ini akan merubah keseimbangan air di lingkungan dan
mempengaruhi pembangkit listrik tenaga air dan suplai air minum.
3) Kenaikan permukaan air laut. Daerah berpopulasi padat akan sangat
dipengaruhi oleh kenaikan permukaan air laut. Ada sekitar 40 juta
masyarakat Indonesia yang bermukim dalam jarak 10 m dari permukaan
air laut rata-rata, yang berarti sangat rentan terhadap perubahan permukaan
air laut.
4) Resiliensi pangan. Perubahan iklim akan mengubah curah hujan,
penguapan, limpasan air, dan kelembapan tanah; yang akan mempengaruhi
produktivitas pertanian. Kesuburan tanah akan berkurung 2-8 persen
dalam jangka panjang, yang akan berakibat pada penurunan produksi
tahunan padi sebesar 4 persen, kedelai sebesar 10 persen, dan jagung
sebesar 50 persen. Sebagai tambahan, kenaikan permukaan air laut akan
menggenangi tambak di pesisir, dan berpengaruh pada produksi ikan dan
udang di seluruh negeri.
5) Pengaruh pada keanekaragaman bahari. Diperkirakan bahwa iklim yang
berubah akan meningkatkan suhu air laut Indonesia sebesar 0.2 – 2.5oC.
Hal ini akan menambah tekanan pada 50,000km2 terumbu karang, yang
sudah dalam keadaan darurat. Pemutihan terumbu karang diperkirakan
akan meningkat secara konstan pada suhu air laut, seperti yang diamati
pada saat terjadinya El Nino.
6) Peningkatan berjangkitnya penyakit yang dibawa air dan vektor.
Walaupun hubungan antara perubahan iklim dan masalah kesehatan belum
banyak diteliti, ada potensi bahwa berjangkitnya penyakit yang dibawa air
dan vector akan meningkat. Beberapa berspekulasi bahwa peningkatan
berjangkitnya kasus demam berdarah selama musim hujan di Indonesia,
sebagiannya mungkin saja disebabkan oleh iklim yang lebih hangat.
Pola curah hujan akan berubah dan musim kering akan bertambah panjang.
Banyak pulau yang terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut dan
masih banyak lagi dampak lain yang akan timbul. Perubahan iklim di Indonesia
akan menyebabkan: (1) seluruh wilayah Indonesia mengalami kenaikan suhu
udara dengan laju yang lebih rendah dibandingkan wilayah subtropis; (2) pada
musim kemarau wilayah Selatan Indonesia mengalami penuruban curah hujan,
sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Perubahan
pola hujan tersebut menyebabkan berubahnya awal dan panjang musim hujan
(Tim Sintetis Kebijakan 2008). Dalam periode 2003-2005 saja, terjadi 1,429
kejadian bencana. Sekitar 53,3% adalah bencana terkait hidro-meteorologi
(KNLH 2007: 4). Banjir adalah bencana yang paling sering terjadi (34%), diikuti
oleh longsor (16%). Kemungkinan pemanasan global akan menimbulkan
kekeringan dan curah hujan yang ektrim yang lebih parah, yang pada giliranya
akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih besar.
Provinsi Maluku merupakan miniatur Indonesia dengan karakteristik
geografis kepulauan. Seperti terlihat pada Gambar 1, hampir seluruh wilayah
Provinsi Maluku terdiri atas lautan dan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan luas
wilayah Provinsi Maluku adalah 712.479,69 km2, terdiri dari 93,5% luas perairan
(666.139,85 km2) dan 6,5% luas daratan (46.339,80 km2). Total jumlah pulau
yang teridentifikasi adalah 1.340 pulau dengan panjang garis pantai mencapai
10.630,10 km (DKP Maluku 2007). Perairan yang begitu luas seperti itu
mengindikasikan bahwa laut memiliki peran yang vital bagi kehidupan di Maluku,
sehingga dapat dikatakan bahwa laut merupakan ―ladang kehidupan‖ bagi
penduduk Maluku. Oleh karenanya, sebagai daerah kepulauan, secara teori
Maluku sangat rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim.
Terdapat beberapa penyebab kerentanan Maluku terhadap dampak
perubahan iklim. Dari aspek ekologi politik Maluku rentan terhadap perubahan
dan cenderung terjadinya percepatan entrophy (kerusakan) serta rawan bencana
alam (gempa bumi, gelombang dipermukaan laut termasuk kenaikan muka air
laut). Sedangkan dari aspek ekonomi dan sosial budaya, Maluku rentan terhadap
aktivitas ekonomi, jenis dan derajat dinamika ekonomi yang terbatas dan berskala
kecil. Hampir seluruh aktivitas masyarakat Maluku dilakukan di daerah pesisir
dan laut termasuk sumber mata pencahrian karena hampir 83 % desa di Maluku
berada di daerah pantai, oleh karena itu jika aktivitas ini berjalan terus tanpa
mempertimbangkan daya dukung maka dapat menimbulkan tekanan terhadap
ekosistem pesisir dan laut seiring dengan dinamika ekonomi. Beberapa data
menunjukan bahwa telah terjadi kerusakan ekosistem pesisir dan laut Maluku
yang cukup parah. Data lain juga menunjukan bahwa pada selang tahun 16002000 telah terjadi 32 kali bencana Tsunami di Maluku dimana 28 tsunami
diakibatkan oleh gempa bumi dan 4 tsunami diakibatkan oleh neletusnya gunung
api dibawah laut. Kondisi–kondisi tersebut secara regional dapat menjadi
katalisator terhadap terancam tenggelamnya pulau-pulau di Provinsi Maluku
(Nanlohy 2011).
Gambar 1. Peta wilayah Provinsi Maluku. Wilayah Maluku terdiri dari 93,5% luas
perairan
dan
hanya
6,5%
luas
daratan
(sumber:
http://www.malukuprov.go.id)
Kondisi perubahan iklim yang mengganggu ekosistem laut tentunya dapat
memperburuk kehidupan ekonomi masyarakat pesisir yang kebanyakan
menggantungkan kehidupan pada penangkapan ikan laut. Merujuk kepada
Kusumastanto (2009), masyarakat pesisir memiliki karakteristik sumber
kehidupannya tergantung pada sumberdaya alam dan aktivitas ekonominya sangat
dipengaruhi oleh cuaca dan musim. Masyarakat pesisir yang sebagian besar
berprofesi sebagai nelayan sangat tergantung dari kondisi lingkungan laut yang
sangat rentan dari kerusakan, seperti penghancuran terumbu karang (coral reef),
mangrove, serta padang lamun (seagrass), pencemaran, maupun bencana laut
yang dalam konteks perubahan iklim, intensitasnya semakin tinggi dan
karakteristiknya relatif baru bagi pengetahuan nelayan tradisional. Oleh karena itu
dibutuhkan suatu strategi adaptasi yang dapat diterapkan pada masyarakat nelayan
tradisional untuk menyiasati berbagai perubahan ekologis yang disebabkan oleh
perubahan iklim global.
Perencanaan dan pelaksanaan strategi untuk mendukung adaptasi
diperlukan karena empat alasan: (1) peningkatan pengetahuan tentang dampak
masa depan dari perubahan iklim; (2) pengalaman yang ada tentang bentukbentuk adaptasi masa lalu yang memberikan pelajaran strategis tentang kesesuaian
terhadap berbagai bentuk adaptasi dalam konteks yang berbeda; (3) potensi
negatif dampak ekologis yang lebih besar pada aspek sosial dan ekonomi akibat
adaptasi tidak direncanakan; dan (4) potensi biaya adaptasi lebih besar, terutama
bagi penduduk miskin, sebagai akibat dari penundaan yang semakin lama dalam
memulai adaptasi. Strategi adaptasi ini tentunya bukan hanya bermanfaat untuk
menyelamatkan perekonomian nelayan tapi juga menjaga ekosistem laut dan
pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari.
Di banyak tempat di dunia, efek perubahan iklim sudah terjadi dengan
konsekuensi yang berpotensi bencana bagi masyarakat miskin (Adger et al. 2005,
2007). Bersamaan dengan hal itu, ancaman terkait dengan keragaman iklim di
masa lalu terhadap masyarakat miskin pedesaan di beberapa tempat, juga telah
berhasil dihadapi, bahkan jika perubahan iklim mungkin diperkirakan
meningkatkan frekuensi dan intensitas ancaman tersebut sekalipun (Mortimore
dan Adams 2001, Scoones 2001). Pengalaman-pengalaman yang kaya dalam
masyarakat akar rumput sebagaimana ditunjukkan oleh Lassa ed. (2009)
menunjukan bahwa dalam realitas akar rumput, agenda adaptasi selalu terintegrasi
dengan strategi nafkah (livelihood) baik soal pengelolaan aset dan ruang maupun
sumber daya alam dan lingkungan, serta berbagai aspek pangan, sandang dan
papan.
Menurut Nicholls et al. (2007) dan Agrawal (2008), sebagian besar studi
tentang adaptasi di daerah pesisir di dunia saat ini cenderung mencurahkan
perhatian jauh lebih besar untuk alternatif infrastruktur dan teknologi untuk
mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas adaptif dan relatif
mengabaikan perhatian terhadap aspek sosial atau alternatif kelembagaan.
Langkah-langkah peningkatan infrastruktur terbukti lebih mahal dan kurang
efektif daripada upaya yang menggabungkan pengaturan dan intervensi
kelembagaan dengan perbaikan teknis dan modal. Oleh karena itu perubahan
iklim tidak hanya membutuhkan investasi yang signifikan dalam fasilitas
infrastruktur tetapi juga penyangga kelembagaan untuk mencegah bencana akibat
perubahan iklim (Gupta et al. 2008, Agrawal 2008, Maguire dan Cartwright 2008,
Adger et al. 2005).
Menurut Maguire dan Cartwright (2008), analisis sosial atas dampak
iklim selama ini diterapkan dengan cara yang paralel dengan 'pendekatan
kerentanan'. Analisis sosial dengan perspektif kerentanan umumnya berfokus pada
aspek-aspek negatif atau kelemahan dari sebuah komunitas. Tradisi pendekatan
kerentanan dan pendekatan berbasis prediktif terbatas karena tidak mampu
sepenuhnya menangkap, memahami dan mengendalikan semua perubahan dan
ancaman yang mungkin dihadapi masyarakat. Karena realitas sosial yang dinamis,
terus berubah dan terdiri dari banyak proses yang saling terkait, sangat sulit untuk
menangkap perubahan sosial melalui indikasi berbasis indeks kerentanan dan
mustahil untuk memprediksi semua kemungkinan hasilnya (Walker et al. 2002).
Oleh karena itu, studi ini menggunakan sebuah perspektif yang relatif baru dalam
studi perubahan iklim yaitu perspektif resiliensi sosial (social resilience
perspective).
Berbeda dengan pendekatan kerentanan, pendekatan perspektif resiliensi
seimbang dalam hal yang mencakup kerentanan dalam masyarakat (bukan label
seluruh komunitas sebagai 'rentan') serta sumber daya dan kapasitas adaptif yang
memungkinkan masyarakat untuk mengatasi kerentanan dan mengelola perubahan
dengan cara yang positif. Alih-alih mencoba untuk memprediksi perubahan
spesifik, perspektif resiliensi menerima bahwa perubahan tidak bisa dihindari dan
kadang tak terduga (Maguire dan Cartwright 2008, Resilience Alliance 2007).
Pendekatan resiliensi sosial telah menjadi konsep paling penting yang
berhubungan dengan isu perubahan iklim global saat ini. Resiliensi adalah istilah
yang semakin berkembang dan populer digunakan dalam kebijakan, program dan
pemikiran seputar adaptasi terhadap perubahan iklim dan pengurangan risiko
bencana (disaster risk reduction - DRR) (Bahadur et al. 2010). Istilah ini telah
menjadi sangat populer untuk menggambarkan interseksi antara dua bidang
tersebut dengan kemiskinan dan pembangunan sebagai 'pembangunan tahan iklim'
(climate resilient development), dan selanjutnya konsep 'pembangunan tahan
iklim' dengan cepat menjadi a catch-all untuk mengatasi dampak perubahan iklim
dalam konteks pembangunan.
Pemahaman tersebut menyadarkan pentingnya menilai resiliensi sosial
masyarakat nelayan di pesisir serta pengembangan pendekatan yang dibutuhkan
untuk beradaptasi. Kunci untuk meningkatkan kemampuan adaptasi (adaptive
capacity) ialah resiliensi (Folke et al. 2002). Pengembangan konsep ini sejalan
dengan pendapat Berkes dan Seixas (2005) bahwa pengembangan sistem resiliensi
ekologi-sosial merupakan kunci bagi pembangunan yang berkelanjutan, namun
pengembanganya di negara berkembang masih sangat diabaikan, sementara
resiliensi sangat sesuai digunakan untuk mengkaji pengelolaan wilayah pesisir,
khususnya bila dikaji dari aspek perubahan mendadak.
Masalah Penelitian
Meskipun dampak perubahan iklim berkonotasi negatif di banyak tempat,
di beberapa tempat lainnya ancaman itu juga telah berhasil dihadapi. Masyarakat
pedesaan di berbagai belahan dunia telah mengalami berbagai bentuk peristiwa
iklim yang ekstrim dan seiring waktu, mereka telah mengembangkan berbagai
tanggapan adaptif untuk mengatasi risiko lingkungan terhadap mata pencaharian.
Agrawal (2008) dalam kesimpulannya setelah mereview praktek adaptasi lokal
dari lebih sekitar 40 negara menyebutkan bahwa kesuksesan adaptasi bergantung
pada kesuksesan pada pengaturan kelembagaan - adaptasi tidak pernah terjadi
dalam kekosongan kelembagaan. Studi khusus yang berfokus pada tema-tema
seperti konservasi air, pengembangan pertanian, mata pencaharian pedesaan,
pengelolaan hutan juga mengidentifikasi lembaga lokal sebagai kunci untuk
adaptasi (Adger 2000b, Droogers 2004, Naess 2005). Peran lembaga-lembaga
dalam berbagai skala, termasuk dalam konteks lokal, telah diterima secara luas
dalam berbagai analisis iklim dan adaptasi (Batterbury dan Forsyth 1999,
Thompson et al. 2006).
Penelitian ini, oleh karenanya memberi perhatian besar kepada
kelembagaan yang bermain di tingkat lokal ataupun yang terkait dengannya dalam
mengamati dinamika sosial ekonomi komunitas lokasi penelitian dalam konteks
perubahan iklim. Di samping itu, karena adaptasi terhadap perubahan iklim adalah
tindakan lokal, sangat penting untuk memahami peran lembaga lokal dengan lebih
baik dalam membentuk adaptasi dan meningkatkan kemampuan kelompokkelompok sosial yang paling rentan. Tidak hanya bagaimana lembaga-lembaga
yang ada mempengaruhi bagaimana penduduk pedesaan merespon tantangan
lingkungan hidup di masa lalu, lembaga juga menyediakan mekanisme mediasi
mendasar yang akan menerjemahkan dampak intervensi eksternal untuk
memfasilitasi adaptasi perubahan iklim. Pengaturan struktur kelembagaan untuk
menghadapi risiko dan kepekaan terhadap bahaya iklim, memfasilitasi atau
menghambat respon individu dan kolektif, dan bentuk hasil dari respon tersebut.
Memahami bagaimana mereka berfungsi dalam kaitannya dengan iklim dan
dampaknya karena itu merupakan komponen inti dalam merancang intervensi
yang positif dapat mempengaruhi kemampuan adaptasi dan praktek adaptasi bagi
masyarakat miskin.
Provinsi Maluku terdiri dari 1.340 pulau besar dan kecil, dengan lokasi
pemukiman penduduk yang sebagian besar bermukim di pesisir pantai. Hal ini
membuat Provinsi Maluku sangat rentan dengan bencana seperti kenaikan
permukaan air laut akibat perubahan iklim, serta bahaya-bahaya lain yang dapat
mengancam sewaktu-waktu. Wilayah kepulauan dalam konteks ancaman bencana
dan dampak perubahan iklim memiliki kerentanan atau risiko yang lebih tinggi.
Ketersediaan pangan, energi, fasilitas dan pelayanan kesehatan atau pendidikan
secara kasat mata dapat terlihat. Kepulauan Maluku karena keunikan
karakteristiknya baik secara geofisika, sosial, ekonomi dan budaya tersebut
membuatnya sangat rentan terhadap efek dari pemanasan global, termasuk
bencana alam lebih sering dan intens, seperti siklon, banjir dan kekeringan lahan.
Juga keterbatasan-keterbatasan dalam merespon kejadian bencana mengingat
sistem adat dan kearifan lokal masih cukup kuat dalam sistem kehidupan
masyarakatnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan, pada sisi yang lain,
sistem adat dan kearifan lokal juga dapat menjadi modal besar dalam melakukan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Selanjutnya, berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian
(problem statement) di atas, pertanyaan penelitian (research question) dirumuskan
sebagai berikut:
1) Bagaimana kerentanan komunitas terhadap dampak dan resiko perubahan
iklim dari sudut pandang pemahaman dan pengalaman nelayan dan
bagaimana nelayan beradaptasi dengannya?
2) Bagaimana praktek adaptasi nelayan menghadapi dampak perubahan iklim
dan sejauh mana peran kelembagaan lokal dalam mengembangkan
adaptasi nelayan di tingkat desa?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat sintesis berkaitan dengan
pemahaman nelayan tentang perubahan iklim, kerentanan yang ditimbulkannya,
strategi adaptasi untuk mereduksi kerentanan, proses pengambilan keputusan
adaptasi, dan resiliensi komunitas sebagai bahan untuk merumuskan formulasi
kebijakan advokasi perubahan iklim berbasis evidensi pedesaan nelayan pada
kawasan pesisir. Tujuan penelitian lebih rinci dirumuskan sebagai berikut:
1) Menganalisis kerentanan komunitas nelayan di wilayah pesisir utara Pulau
Ambon (desa Asilulu) melalui penilaian potensi risiko perubahan iklim
(meliputi paparan dan kepekaan) dan penilaian kemampuan adaptasi dan
selanjutnya menganalisis praktek adaptasi yang dikembangkan dalam
mengurangi kerentanan dan meningkatkan resiliensi komunitas.
2) Menganalisis praktek adaptasi yang dikembangkan oleh komunitas
nelayan pada tingkat lokal (desa) dalam menghadapi dampak perubahan
iklim serta mengidentifikasi lembaga-lembaga yang terlibat dalam praktek
adaptasi tersebut dan selanjutnya menganalisis peran lembaga dalam
menfasilitasi praktek adaptasi dan atau dalam mengembangkan adaptasi
nelayan di tingkat desa.
Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memenuhi kegunaan pada dua aspek yaitu
aspek teoritis akademis dan aspek praktis empiris.
Dari aspek teoritis akademis, penelitian ini diharapkan dapat memenuhi
kegunaan sebagai berikut
1) Temuan penelitian merupakan sebuah pengungkapan fakta ilmiah yang relatif
baru pada kasus yang diteliti sehingga dapat berkontribusi pada
pengembangan teoritis khususnya bidang kajian ilmu sosiologi pedesaan.
2) Secara metodologis, penelitian ini menawarkan metodologi penelitian sosial
yang relatif berbeda dengan mainstream metodologi yang digunakan selama
ini untuk mengidentifikasi dan memahami aspek-aspek sosial dari perubahan
ekologi yang didorong oleh perubahan iklim.
Dari aspek praktis empiris, beberapa harapan kegunaan penelitian adalah
sebagai berikut.
1) Penil