Sosok Tentara: Pembawa Keselamatan dan Kesengsaraan

4.2 Sosok Tentara: Pembawa Keselamatan dan Kesengsaraan

Selama pemerintahan militeristik Orde Baru, peran tentara, terutama Angkatan Darat, sangat dominan. Konsentrasi kekuasaan untuk menghukum kaum komunis hampir secara mutlak berada dalam genggaman mereka. Meminjam bahasa Foucault (Hardiyanta, 1997: 56), tentara merupakan sumber keadilan (fons Justitiae) yang bisa menentukan bersalah-tidaknya dan dihukum-tidaknya seorang tahanan PKI. Privelese-

privelese hak tentara dalam ‗menghukum dan menyelamatkan‘ kaum komunis ini digambarkan dalam beberapa karya sastra. Pembantaian dan pengucilan terhadap orang-orang PKI beserta keluarganya selama pemerintahan Orde Baru memiliki semacam ‗deviasi‘ atau penyimpangan yang signifikan. Ternyata tidak semua orang PKI

beserta keluarganya mendapat ‗hukuman‘ yang sama. Ada kalanya orang- orang yang ‗terlibat‘ PKI justru memperoleh kesuksesan dan keberhasilan hidup. Satu-satunya jalan keselamatan yang dapat ditempuh adalah kedekatan pada kekuasaan militer. Hal ini ditampilkan dalam dua buah

Ringkasan Disertasi Ringkasan Disertasi

Dalam Jalan Bandungan Nh. Dini (1989), digambarkan tentang tokoh Muryati, seorang guru yang sukses membiayai ketiga anaknya yang masih kecil tanpa didampingi suaminya, Widodo, yang merupakan seorang tokoh PKI di Semarang, yang dibuang ke Pulau Buru. Keberhasilan Muryati melewati masa-masa sulit sebagai istri seorang aktivis PKI, misalnya lolos dari ketentuan Penelitian Khusus (Litsus) dan bersih lingkungan, disebabkan karena kedekatannya dengan Mas Gun, seorang anggota provost tentara dan mantan anak buah ayahnya pada zaman revolusi fisik. Mas Gun memiliki jaringan kekuasaan yang cukup kuat untuk mendapatkan surat-surat yang diperlukannya. Tanpa bantuan tentara itu, tidak mungkin istri seorang tokoh PKI yang dibuang ke Pulau Buru mendapatkan surat- surat keterangan ‗bersih diri dan bersih lingkungan‘ yang menjadi syarat untuk menjadi PNS, mendapat beasiswa ke luar negeri, dan hidup damai dalam masyarakat.

Dalam Para Priyayi, Umar Kayam menggambarkan kepiawaian tokoh Lantip dalam upayanya menyelamatkan Harimurti yang merupakan seorang aktivis Lekra. Lantip dikisahkan memiliki banyak ―hubungan baik dengan perwira angkatan darat‖ yang dikenal memiliki privelese-privelese yang besar dalam menghukum dan membebaskan tahanan PKI.

Saya tidak akan memasukkan Gus Hari ke kandang macan. Saya akan minta kepada mereka supaya Gus Hari dilindungi. Kalau di rumah dia bisa diganyang massa yang marah. Kalau dia dibiarkan ditangkap begitu saja, salah-salah Gus Hari bisa jatuh ke tangan tukang pukul yang bisa bikin Gus Hari babak belur tidak keruan. Kalau diserahkan kepada orang-orangyang kita kenal, paling tidak dia akan diinterogasi baik-baik. Sementara itu, kita mencari jalan lain yang lebih baik. Misalnya, dengan mohon pertolongan Pakde Noegroho (Kayam, 1992: 281). Karena bantuan pamannya, Noegroho, yang merupakan pensiunan

kolonel yang kemudian juga diangkat menjadi pejabat negara, Dirjen Perhubungan, nasib Harimurti jauh lebih baik dari kebanyakan orang komunis pada waktu itu. Arogansi kekuasaan Orde Baru yang tanpa ampun membunuh dan menghabiskan orang-orang PKI sebenarnya masih bisa dikompromikan. Hal ini terjadi apabila para pesakitan itu memiliki hubungan dengan sosok penguasa, khususnya yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Fenomena inilah yang menyebabkan Harimurti, seorang anggota Lekra dan pemimpin ketoprak itu bisa selamat.

Ringkasan Disertasi

Tentara pada zaman Orde Baru memang memiliki privelese- privelese , yang membuka kemungkinan untuk melakukan ―kolusi, korupsi, dan nepotisme‖ (KKN), sebagaimana watak pemerintahan Orde Baru. Pertanyaan selanjutnya mengenai privelese tentara ini adalah: apakah KKN itu sebagai satu-satunya jalan keselamatan bagi kaum komunis dan keluarganya? Ternyata tidak. Ada yang menempuh jalan ‗perjuangan‘ yang berat dengan meninggalkan dinas ketentaraan, terutama karena terobsesi dengan sosok Gatotkaca dan Bima dalam dunia pewayangan: keduanya adalah sosok tentara sejati yang didambakan Rasus. Hal ini digambarkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1984).

Nilai yang kuperoleh dari dunia wayang itu bisa saja masih mengendap dalam jiwa ketika aku memasuki dinas ketentaraan. Aku, Rasus, mungkin saja kadang secara tidak sadar menganggap diri ini adalah Gatotkaca atau Bima, dua prajurit dan ksatria Amarta yang perkasa. Kedua tokoh itu sangat kukagumi: Gatotkaca suka mencopot kepala musuh dari badan hanya dengan jemarinya. Bima suka menginjak lawannya hingga luluh. Musuh-musuh itu adalah orang Astina atau negeri angkara murka lainnya. Prajurit yang gagah adalah mereka yang seperkasa Gatotkaca atau Bima, demikian keyakinanku (Tohari, 1984: 378).

Dalam Ronggeng Dukuh Paruk, renungan tentang ―Gatotkaca dan Sosok Tentara‖ terasa sangat kontras. Rasus memiliki gambaran ideal tentang tentara. Ketika sudah menjadi tentara, dia bahkan seringkali menganggap diri sebagai Gatotkaca, prajurit dan ksatria Amarta yang perkasa, yang suka mencopot kepala musuh dari badan hanya dengan jemarinya. Siapa musuh itu? Mereka adalah orang Astina atau atau orang dari negeri angkara murka lainnya. Musuh yang sesungguhnya harus berasal dari ―bangsa lain‖, ―negara lain‖. Tetapi siapa musuh tentara kita?

Sedangkan yang kuhadapi ternyata adalah orang-orang yang

bagaimanapun juga adalah saudara-saudaraku (hlm. 379). ...lambat laun aku tidak merasa menjadi Gatotkaca lagi.... Aku mulai berpikir bahwa diriku tidak pantas menjadi tentara..... maka keprajuritan bukanlah tempat yang cocok bagiku (Tohari, 1984: 380). Kebanggaan Rasus pada dinas ketentaraan menjadi luntur. Ketika

hendak ditarik dari dinas militer di Kalimantan, Rasus menghadapi dilema: keluar saja dari dinas ketentaraan untuk membangun Dukuh Paruk sekarang atau sampai usianya di atas empat puluh (hlm. 383). Hati nurani Rasus begitu peka terhadap manusia dan kemanusiaan. Dia tidak tega membunuh, sekalipun perampok apalagi hanya sekadar orang yang berbeda motivasi politik (hlm. 379).

Ringkasan Disertasi

Ketika mendengar bahwa Srintil ditahan selama dua tahun sebagai eksponen PKI dan kini dipasung sebagai orang gila, Rasus mendatangi tempat tahanan itu, sekalipun tidak sempat berkata apa-apa (hlm. 272). Bagaimanapun, Srintil dan Dukuh Paruk senantiasa tetap melekat di lubuk hati Rasus (hlm. 381). Rasus memahami sepenuhnya resiko berhubungan dengan orang-orang yang dituduh PKI.

Tertuding sebagai oknum yang bersangkut paut dengan penyebab geger 1965 hanya bisa disamakan dengan kenistaan sepanjang hayat. Kekalahan di bidang politik adalah kesalahan hidup secara habis-habisan dan akibatnya bahkan tertanggung juga oleh sanak famili. Itulah kecongkakan sejarah yang sedang dihadapi oleh Rasus‖ (Tohari, 1984: 265). Apakah Rasus takluk di bawah kecongkakan sejarah itu? Rasus

memang sempat menghadapi dilema, kebimbangan akan kemurnian dirinya dalam dinas ketentaraan. Akan tetapi, kebimbangan itu sirna ketika mendapati kenyataan yang sangat menusuk perasaannya: Srintil yang cantik dan menjadi kebanggaan, ―mahkota Dukuh Paruk‖ dipasung dalam sebuah kamar terkunci palang kayu dari luar (hlm. 386). Srintil gila. Hati nurani Rasus terguncang.

―Keguncangan kali ini jauh lebih mengerikan daripada keguncangan ketika aku menyaksikan seseorang yang sedang meregang nyawa dengan tubuh bersimbah darah‖ (Tohari, 1984: 386).

Keguncangan batin Rasus menjadi berlipat ganda (seperti beliuang berputar-putar, seperti badai yang dahsyat) ketika seorang petugas di rumah sakit tentara menanyakan hubungannya dengan Srintil. Srintil bukan istri, bukan adik, hanya saudaranya.

Aku diam dan menunduk. Ada angin beliung berpusar-pusar dalam kepalaku. Dan beliung itu berubah menjadi badai yang dahsyat karena aku mendengar Srintil melolong-lolong di kamarnya yang persis bui. Satu-satu diserunya nama orang Dukuh Paruk dan namakulah yang paling sering disebutnya.... Aku adalah hati ‗ibu‘ yang remuk karena mendengar seorang anaknya melolong dan meratap dalam kematian yang jauh lebih dahsyat daripada maut (Tohari, 1984: 393). Akan tetapi, angin beliung dan badai dahsyat itu reda seketika kala

Rasus menjawab ―Ya!‖ kepada seorang petugas rumah sakit yang menanyakan: apakah pasien itu calon istri Rasus. Ajaib sekali: segala beban pikiran, keangkuhan dan kemunafikan yang selama ini berkecamuk dalam hatinya menjadi bening dan enteng.

Bening. Tiba-tiba semuanya menjadi bening dan enteng. Oh, lega. Lega. Keangkuhan, atau kemunafikan yang selama ini berdiri angkuh di hadapanku telah kurobohkan hanya dengan sebuah kata yang begitu singkat. Segalanya menjadi ringan seperti kapuk ilalang. Aku bisa

Ringkasan Disertasi

Keputusan mengambil Srintil menjadi (calon) istrinya adalah keputusan matang. Rasus sangat menyadari konsekuensi keputusan itu: menikah dengan bekas tahanan PKI dan statusnya sebagai seorang tentara. Akan tetapi keputusan itu sudah bulat. Rasus keluar sebagai pemenang dalam kontes kemanusiaan. Dia menjadi the real hero.

Dia tidak sentimental atau melankolik, apalagi emosional. Dia tenang dan jernih karena keputusan itu mewakili warna dasar totalitas diri yang telah sekian lama menggapai keselarasan agung. Dia tidak berada jauh dari titik puncak piramida kesadaranku, sejajar dengan garis kudus yang menghubungkan keberadaanku dengan keberadaan Ilahi. Maka keputusanku amat sah, teduh, dan tenang. Setenang aliran sungai manakala dia menyentuh kedalaman samudra (Tohari, 1984: 394). Melalui sudut pandang seorang tentara, pengarang menyampaikan

pesan yang memiliki daya kekuatan yang lebih dibandingkan sudut pandang orang lain. Tentara pada periode Pascatragedi 1965 memiliki kekuasaan yang tak terbatas dalam menangkap, menghakimi, bahkan membunuh orang-orang PKI. Rasus yang memutuskan untuk menikahi Srintil tidak takut mengambil resiko apapun: termasuk dipecat dari dinas ketentaraan. Sebuah keputusan yang benar-benar keluar dari nurani kemanusiaan yang mendalam.

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk merupakan mahakarya yang cukup berani untuk jamannya. Kritiknya yang sangat tajam terhadap pembunuhan kejam yang dilakukan penguasa tanpa pandang bulu digambarkannya dengan alegori dan kiasan yang lembut dan menyayat hati: Sakarya, tokoh kamitua Dukuh Paruk sampai menangis karena dihimpit penderitaan akibat kesewenang- wenangan penguasa. Srintil, yang dijuluki ‗Ronggeng Rakyat‘ dan ―Mahkota Dukuh Paruk‖ sampai menjadi gila karena tidak dapat menanggung penderitaan yang amat berat. Kritiknya yang lebih tajam ditujukan pada tentara Indonesia, sekalipun disampaikannya dengan cara yang sangat elegan yaitu melalui sebuah alegori. Bagi Rasus, sosok tentara seharusnya seperti Gatot Kaca, orang yang memerangi musuh dan angkara murka di negeri seberang, bukan yang membunuh saudaranya di negerinya sendiri. Menyadari bahwa dirinya termasuk dalam tentara yang bukan berperilaku seperti Gatot Kaca itu, dan menyaksikan penderitaan di luar batas peri kemanusiaan yang ditanggung Srintil, Rasus pun memutuskan

Ringkasan Disertasi Ringkasan Disertasi

Dokumen yang terkait

REPRESENTASI HUBUNGAN AYAH ANAK DALAM VIDEO KLIP(Analisis Semiotik Video Klip Lagu ‘Tatkala Letih Menunggu‘dari Ebiet G. Ade)

1 54 2

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN DI TELEVISI (ANALISIS SEMIOTIK DALAM IKLAN SAMSUNG GALAXY S7 VERSI THE SMARTES7 ALWAYS KNOWS BEST)

132 481 19

EVALUASI MUTU MINYAK KELENTIK DENGAN PENAMBAHAN KAPSUL ANTIOKSIDAN KULIT BUAH KOPI DAN BHT: KAJIAN JENIS KEMASAN

1 27 43

KAJIAN MUTU FISIK TEPUNG WORTEL (Daucus carota L.) HASIL PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

17 218 83

KAJIAN PSIKOLOGI ANAK DALAM NOVEL SINAR KARYA AGUK IRAWAN MN

4 53 10

KAJIAN RELIGIUS DALAM NOVEL SURAU INI ROBOH KARYA TAUFIQURRAHMAN KAJIAN RELIGIUS DALAM NOVEL JANGAN BIARKAN SURAU INI ROBOH KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY JANGAN BIARKAN SURAU INI ROBOH KARYA TAUFIQURRAHMAN

0 62 12

KAJIAN YURIDIS PENGAWASAN OLEH PANWASLU TERHADAP PELAKSANAAN PEMILUKADA DI KOTA MOJOKERTO MENURUT PERATURAN BAWASLU NO 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

1 68 95

KAJIAN YURIDIS TENTANG PERUBAHAN TANAH PERDIKAN MENJADI HAK MILIK DI KELURAHAN TAMAN KECAMATAN TAMAN KOTA MADIUN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

2 44 14

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT ADANYA HUBUNGAN NASAB (Studi Putusan No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj) STUDY JURIDICAL TO MARRIAGE ANNUALMENT CONSEQUENCE OF EXISTENCE LINEAGE (Study of Decision No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj)

1 45 18

KAJIAN ASPEK HYGIENE SANITASI TERHADAP KONDISI KANTIN MAKANAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DASAR (Studi Kasus di Sekolah Dasar Kota Bandar Lampung)

40 194 64