REPRESENTASI TRAGEDI 1965 KAJIAN NEW HIS

REPRESENTASI TRAGEDI 1965: KAJIAN NEW HISTORICISM ATAS TEKS-TEKS SASTRA DAN NONSASTRA TAHUN 1966 - 1998

Ringkasan Disertasi

oleh Yoseph Yapi Taum

07/259660/SSA/212

PROGRAM STUDI PASCASARJANA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013

Ringkasan Disertasi

Representasi Tragedi 1965: Kajian New Historicism atas Teks-teks Sastra dan Nonsastra Tahun 1966 – 1998 Ringkasan Disertasi

© 2013 Yoseph Yapi Taum

Ujian Tertutup pada tanggal 10 Juli 2012 Ujian Terbuka pada tanggal 28 Januari 2013

TIM PROMOTOR

Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo (Promotor) Prof. Dr. C. Bakdi Sumanto, S.U (Kopromotor 1) Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno (Kopromotor 2)

TIM PENILAI

Prof. Dr. Riris K. Toha-Sarumpaet (Ketua Tim Penilai) Prof. Dr. Faruk, SU (Anggota Tim Penilai) Prof. Dr. Djoko Suryo (Anggota Tim Penilai)

PENGUJI

Dr. Puji Semedi Hargo Yuwono, M.A. (Dekan FIB UGM, Ketua) Prof. Dr. Bambang Purwanto (Anggota Tim Penguji) Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil. (Anggota Tim Penguji)

Alamat:

Kronggahan I, RT 05/RW 03 Trihanggo, Sleman, Yogyakarta 55002, Telp. (0274) 867913 Email: yoseph1612@yahoo.com

Ringkasan Disertasi

REPRESENTASI TRAGEDI 1965: KAJIAN NEW HISTORICISM ATAS TEKS-TEKS SASTRA DAN NONSASTRA TAHUN 1966-1998

”Fiction is history, human history, or it is nothing!” (Joseph Conrad, 1996) ―Heart of Darkness: New Historicism Approach‖

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tragedi 1965 adalah sebuah trilogi kejadian yang bermula di tahun 1965, yang meliputi: Peristiwa G30S, yaitu penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pada malam 30 September, pasca-G30S yaitu ketika terjadi pembunuhan kita-kira setengah juta jiwa orang-orang PKI, keluarga dan simpatisannya, dan pembuangan sekitar 12.000 tahanan politik (tapol) ke Pulau Buru antara tahun 1969-1979 (lihat Adam, 2004). T rilogi kejadian itu dianggap sebagai ‗tragedi,‘ yaitu kejadian-kejadian yang secara drastis mengubah nasib (reversal of fortune) para pengikut, simpatisan, dan keluarga PKI menjadi sesuatu yang menyedihkan.

Teks-teks sastra dan teks-teks nonsastra dalam studi adalah produk budaya yang merupakan formasi-formasi diskursif yang secara eksplisit membicarakan tragedi 1965, dan yang diciptakan dalam periode tahun 1966-1998, yaitu periode muncul dan berakhirnya pemerintahan Orde

Baru. New Historicism merupakan pendekatan kritik sastra yang menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial,

ekonomi, dan politik yang melingkupinya (Brannigan, 1999: 421; Barry, 2002: 172). Pendekatan ini digunakan karena memberikan peluang yang lebih besar bagi peneliti untuk memeriksa teks-teks sastra dan teks-teks nonsastra sebagai formasi diskursif yang merepresentasi sebuah persoalan dalam sebuah totalitas periode historis yang sama.

Topik ini dipilih karena tiga alasan mendasar. Pertama, alasan literer. Tidak banyak karya sastra yang merepresentasi tragedi 1965 yang diterbitkan dalam periode pemerintahan Orde Baru (1966-1998). Terhadap karya-karya sastra yang tidak banyak itu pun perhatian ilmuwan sastra tidak banyak diberikan. Bagaimanapun teks-teks sastra itu perlu dikaji dan dideskripsikan untuk membuktikan bahwa sastra Indonesia adalah saksi sebuah zaman. Kajian terhadapnya dapat memperlihatkan bahwa sastra

Ringkasan Disertasi

Ketiga , alasan sosial-kemanusiaan. Tragedi 1965 merupakan fakta tragis di dalam sejarah kemanusiaan yang membawa penderitaan bagi begitu banyak korban, terutama korban dari pihak anggota dan simpatisan PKI beserta sanak keluarganya. Korban-korban ini adalah kaum yang, menurut pandangan Gramsci, disebut kaum subaltern, yaitu mereka yang secara tekstual termarginalkan oleh sejarah karena adanya hegemoni historiografi (Bressler, 2007: 363). Alasan sosial-kemanusiaan ini berkaitan dengan semangat menggugah proses metanoia bangsa, yakni mengungkap luka-luka masa lampau untuk tujuan reformasi hati nurani, agar tragedi kemanusiaan seperti itu tidak terulang lagi di masa depan.

1.2 Masalah dan Tujuan

Objek formal studi ini adalah masalah representasi tragedi 1965 yang dikaji dengan pendekatan new historicism. Objek materialnya adalah teks-teks sastra dan teks-teks nonsastra tahun 1966-1998 yang dikaji sesuai dengan blok historis. Sesuai dengan model pendekatan yang digunakan, teks-teks tersebut dipandang sebagai formasi-formasi diskursif yang diproduksi berdasarkan sebuah episteme yang merupakan grammar of knowledge production.

1.3 Kerangka Teori

New historicism merupakan sebuah kritik sastra yang sangat heterogen, dan karenanya tidak dapat diberikan sebuah batasan baku (Vesser, 1989). Sekalipun demikian, menurut Vesser, sebagai sebuah teori, new historicism memiliki lima asumsi dasar yang mengikat para penggagas

Ringkasan Disertasi Ringkasan Disertasi

Stephen Greenblatt –pencetus kajian new historicism-- pertama kali menggunakan istilah new historicism dalam sebuah pengantar edisi jurnal Genre di tahun 1982, untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang melingkupinya. Greenblatt mendobrak kecenderungan kajian tekstual-formalis dalam tradisi new criticism yang dipandangnya bersifat ahistoris yang melihat sastra sebagai sebuah wilayah estetik yang otonom yang dipisahkan dari aspek- aspek yang dianggap berada ‗di luar‘ karya tersebut (Brannigan, 1999: 421; Barry, 2002: 172).

Semua macam teks, termasuk diskursus akademis suatu zaman, muncul di bawah model teoretis zamannya. Sastra tidak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu yang lari dari sejarah dan terapung di udara seperti sebuah entitas yang terasing dan terpisah (Foucault, 2011: 85). Kritik sastra new historicism merupakan salah satu kritik dan teori sastra yang beranggapan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipertimbangkan sebagai sebuah produk zaman, tempat, dan lingkungan penciptaannya, dan bukan sebagai sebuah karya genius yang terisolasi. Dalam “The Touch of the Real, ” Greenblatt (2005: 6-7) menegaskan bahwa dunia yang digambarkan dalam karya sastra bukanlah sebuah dunia alternatif melainkan sebuah cara mengintensifkan dunia tunggal (single realm) yang kita huni ini. Dalam mengkaji jaringan-jaringan tersebut, new historicism menekankan dimensi politis-ideologis produk-produk budaya.

Secara ontologis dan epistemologis, pelibatan teks-teks sastra dan teks-teks nonsastra dalam bidang ilmu sastra dapat menimbulkan persoalan. Dalam bidang ilmu sastra, objek kajian sastra, terutama sejak munculnya Formalisme Rusia, adalah teks sastra dan elemen-elemen formal (intrinsik) karya sastra. Kajian yang bersifat ergosentik itu kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam new criticism. Kaum new critics bahkan menganggap bahwa teks sastra adalah sebuah kesatuan organik (an organic unity), sebuah gejala estetik yang telah melepaskan kondisi subjektifnya pada saat

Ringkasan Disertasi

Ancangan untuk melakukan studi terhadap teks-teks sastra dan teks- teks nonsastra, mau tidak mau, menghadapkan penulis pada persoalan teknik-teknik interpretasi, sebuah persoalan yang juga pernah yang mencemaskan Foucault (lihat Foucault, 2011: 51). Michel Foucaul, setelah mengkaji teknik-teknik interpretasi yang dilakukan Karl Marx (Capital), Nietzsche (The Birth of Tragedy dan Genealogy of Moral), dan Sigmund Freud (The Interpretation of Dream), sampai pada kesimpulan bahwa teknik-teknik interpretasi para teoretisi besar itu ternyata merupakan bentuk kecacatan abadi dari narsisme manusia modern. Hal itu disebabkan karena interpretasi apapun pada prinsipnya memodifikasi ruang pembagian ‗tanda‘ yang dapat menjadi ‗petanda.‘ Pada kenyataannya, mereka mengubah perlakuan tanda dan memodifikasi pola di mana secara umum tanda itu dapat diinterpretasi. Foucault menyimpulkan bahwa basis dari interpretasi adalah nihil kecuali orang yang menginterpretasi itu sendiri. Setiap interpretasi harus menginterpretasi dirinya sendiri. Kematian interpretasi didasarkan pada keyakinan bahwa tanda itu tidak ada, dalam arti tanda itu tidak hadir secara mutlak: tanda yang eksis secara primer, orisinal, dan aktual sebagai hasil yang berhubungan, bersangkutan, dan sistematis (Foucault, 2011: 62). Kehidupan interpretasi pada akhirnya hanya meyakini bahwa yang ada hanyalah interpretasi.

Dengan penjelasan seperti itu, setiap peneliti mendapatkan ruang untuk menafsirkan formasi-formasi diskursif dalam sebuah praktik kebudayaan yang juga bersifat diskursif. Penafsirannya perlu dilakukan dengan ‗pendekatan arkeologis.‘ Melalui pendekatan arkeologi, Foucault mendisain sebuah wilayah penelitian yang merujuk pada pengetahuan (savoir) implisit yang khusus (Foucault, 2011: 64-69). Gaya penelitian arkeologis menghindari semua persoalan mengenai permukaan teori dalam hubungannya dengan praktik, dan sebaliknya. Dalam metode ini, berbagai praktik, teori, dan institusi digunakan dalam media yang sama, kemudian dicarilah sebuah pengetahuan dasar (savoir) yang membuka kemungkinan bagi pengetahuan-pengetahuan tersebut. Pengetahuan ini berupa tingkatan yang disusun “berdasarkan sejarah.” Foucault kemudian merumuskan

Ringkasan Disertasi Ringkasan Disertasi

Formasi diskursif, menurut Foucault, adalah praktik penciptaan pernyataan (statement, énoncé), dalam wilayah diskursus dan relasi-relasi yang mungkin terdapat antara pernyataan-pernyataan tersebut (Foucault, 1992). Formasi diskursif adalah kelompok-kelompok pernyataan yang mungkin memiliki urutan, korelasi, posisi, atau fungsi sebagaimana ditentukan oleh perpecahan (disunity). Sebuah formasi diskursif, dengan demikian, merupakan suatu sistem keterserakan (dispersion). Tujuan mengkaji relasi antara formasi-formasi diskursif adalah merumuskan dan menemukan sistem formasi diskursif. Deskripsi mengenai formasi-formasi diskursif itulah yang disebut arkeologi (archeology). Tujuan deskripsi arkeologis terhadap formasi-formasi diskursif bukanlah untuk menafsirkan maknanya melainkan menemukan aturan-aturan yang menjelaskan spesifikasinya (Foucault, 1972: 97-98). Deskripsi arkeologis juga tidak mencoba mendeskripsikan proses seorang individu merumuskan sebuah gagasan ataupun motivasi dan tujuannya mendiskursuskan sebuah subjek. Tujuan deskripsi arkeologis adalah merumuskan aturan-aturan dan prinsip- prinsip yang mungkin spesifik untuk formasi-formasi diskursif itu.

Menurut Foucault (1972: 33), untuk dapat menggambarkan hubungan antara berbagai pernyataan diskursif, perlu dicermati bahwa pernyataan diskursif itu memiliki sifat diskontinuitas, yakni patahan (break) , ambang (threshold), atau keterbatasan (limit). Kita tidak mungkin mengkaji pernyataan diskursif dengan semestinya jika kita telah memiliki asumsi tentang kontinuitas masing-masing diskursus. Formasi-formasi diskursif, menurut Foucault, adalah kelompok-kelompok pernyataan yang memiliki aturan, korelasi, posisi, atau fungsi sebagai penentu keragaman. Sebuah formasi diskursif merupakan sebuah sistem keragaman (system of disperse) .

Ringkasan Disertasi

Diskursus-diskursus yang penuh dengan diskontinuitas dan dispersif itu disatukan oleh sebuah praktik diskursif yang memunculkan figur episteme yang mengatur totalitas hubungan (interconnection) dalam sebuah periode. Episteme bisa ditemukan di antara berbagai ilmu pengetahuan ketika orang menganalisis formasi-formasi diskursif untuk menemukan regularitas diskursus (Foucault, 1972: 191-192). Regularitas itu ditentukan terutama oleh pemangku kekuasaan yang merupakan regim kebenaran: apa yang boleh dan tidak boleh diungkapkan dalam batas-batas diskursus tertentu. Kaitan antara domain diskursif yang satu dengan yang lain dapat terjadi dalam model relasi analogis, relasi oposisi, atau relasi pelengkap (Foucault, 1972: 64-67). Kaitan itu pun dapat terjadi secara isomorfisme ataupun simulakrum. Isomorfisme merupakan sesuatu yang merujuk pada kemiripan bentuk (pola, tata, struktur). Dua kelompok benda dikatakan isomorfis jika keduanya mempunyai struktur yang sama, atau berkorespondensi satu lawan satu pada setiap operasi (Foucault, 2011: 85, 340-341). Simulakrum adalah sebuah duplikasi dari duplikasi yang aslinya tidak pernah ada sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur (Foucault, 2011: 14, 185). Praktik-praktik diskursif dalam kaitan dengan dengan formasi-formasi diskursif dan hubungan interdiskursivitas, dapat diilustrasikan dalam Gambar 1.

Secara ontologis, new historicism menunjukkan area baru objek penelitian sastra yang belum dirambah oleh teori kritik sastra yang lain, yaitu teks-teks sastra dan teks-teks nonsastra sebagai representasi kekuasaan yang dibangun melalui praktik-praktik diskursif.

Selain pandangan-pandangan di atas, studi ini juga memperoleh insight dari teori Gramsci tentang hegemoni, ideologi, dan peranan intelektual. Hegemoni adalah asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang

Ringkasan Disertasi Ringkasan Disertasi

Tugas menciptakan hegemoni baru hanya dapat diraih dengan mengubah kesadaran, pola berpikir dan pemahaman masyarakat, konsepsi mereka tentang dunia, serta norma perilaku moral mereka. Pada titik inilah diperlukan peranan kaum intelektual. Dalam setiap masyarakat, terdapat dua kelompok intelektual, yaitu intelektual organik (yang menjadi bagian organik sebuah kelompok tertentu) dan intelektual otonom (yang tidak berpihak pada kelompok tertentu).

2. PERISTIWA G30S, SOSOK NEGARA, DAN POLITIK INGATAN TAHUN 1966-1970

2.1 Bahasa, Wacana, dan Kekuasaan dalam Konstruksi G30S

Istilah yang digunakan untuk menyebut Peristiwa G30S mengandung hasrat-hasrat kekuasaan dan menjadi wacana akademis yang menarik. Para pemrakarsa dan pendukung aksi G30S menamakan gerakan mereka sebagai Gerakan 30 September. Hal ini terungkap ke publik dalam pengumuman pertama gerakan tersebut (Sulistyo, 2000: 2). Akan tetapi, lima hari setelah gerakan tersebut, tanggal 5 Oktober 1965, istilah gerakan itu bergeser menjadi Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Istilah Gestapu pertama kali dikemukakan oleh pemimpin harian militer Angkatan Bersenjata, Brigjen Sugandhi dengan tujuan „investing it with the aura of evil‟ atau memberi kesan jahat pada peristiwa itu (Goodfellow, 1975: 2). Akronim "Gestapu" memiliki kemiripan dengan istilah "Gestapo"

(akronim dari Geheime Staatspolizei, Secret State Police). Gestapo sendiri adalah polisi politik Nazi Jerman dibawah pimpinan Heinrich Himmler yang terkenal sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Akronim Gestapu diambil dari huruf-huruf tertentu (Gerakan September Tiga Puluh) yang sebenarnya menyalahi aturan kaidah bahasa Indonesia (Drakery, 2007; Goodfellow, 1995).

Penciptaan istilah Gestapu tidak disetujui oleh Presiden Soekarno, yang pada saat itu masih menjabat sebagai Presiden RI yang sah. Soekarno

Ringkasan Disertasi

Peristiwa G30S merupakan sebuah peristiwa yang memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat penting bagi pemerintahan Orde Baru, terutama dalam menjelaskan legitimasi kekuasaan dan dominasi politiknya. Karena itu, pemerintahan Orde Baru mengupayakan agar seluruh lapisan masyarakat Indonesia menerima ‗ideologi‘ tersebut melalui mekanisme pembentukan opini publik.

Wacana-wacana itu menunjukkan bahwa masih ada bagian gelap dari peristiwa G30S itu yang berkaitan dengan genealogi, motivasi, maupun dalang pelakunya (Aveling, 1974: iii; Hoadley, 2005; Wardaya, 2006: 145- 152; Ricklefs, 2001: 574-577; Sulistyo, 2000: 47-92). Oleh karena pandangan mengenai hal-hal ini tidak mudah mendapat titik terang, periode 1965 – 1967 dinilai sebagai sebuah periode yang paling sukar dipahami (ill-understood period) (lihat Scott, 1985). Hal itu disebabkan karena kurangnya dokumen yang mencatat berbagai peristiwa penting di sekitar G30S 1965. Dokumen yang tersedia pun sering menimbulkan kontroversi dan tidak dapat diverifikasi.

Di dalam teks-teks sastra yang terbit 1966-1970, istilah yang paling dominan justru ‗Peristiwa Lubang Buaya‘ untuk menggantikan istilah- istilah ‗resmi‘ seperti G30S, Gestapu, Gestok, dan G30S/PKI. Hampir semua karya sastra pada periode ini menggunakan istilah Lubang Buaya yang sedang populer pada saat karya-karya sastra itu ditulis. Dalam ―Musim Gugur Kembali di Connecticut‖ karya Umar Kayam (1969), istilah Gestapu dipandang memiliki entitas yang sama dengan HIS, Lekra, PKI, dan Lubang Buaya.

―Tidak bisa. PKI malam sudah disinyalir aktif juga di kota ini. Semua yang kena tahanan kota dan tahanan rumah harus ditangkapi lagi. Kita

tidak bisa ambil risiko.‖ ―Kita tidak sudi ada Lubang Buaya lagi. Ayo Pak, kita bawa dia! ‖ (hlm. 215).

Ringkasan Disertasi

Hadirnya empat wacana tentang peristiwa G30S membuktikan kebenaran hipotesis Foucault bahwa bahasa tidak transparan, bahasa bukanlah cermin realitas. Bahasa ditentukan oleh episteme. Karena itu, bahasa diartikan sebagai wacana yang merupakan pengetahuan yang terstruktur. Istilah-istilah G30S, Gestapu, Gestok, dan G30S/PKI memiliki kepentingannya masing-masing.

2.2 Konstruksi Lubang Buaya, Gerwani, dan Sinister Charisma-nya

Historiografi tentang G30S dan PKI diawasi dengan ketat oleh penguasa Orde Baru. Sejarah proses konstruksi mitos Lubang Buaya dan sinister charisma atau gambaran mengerikannya dapat dirunut dari proses berita-berita itu dipublikasikan dan media yang mempublikasikan pada saat peristiwa G30S itu.

Hal pertama yang mendapat perhatian dan publikasi yang luas dari penguasa Orde Baru adalah tentang G30S, Lubang Buaya, dan Gerwani. Lubang Buaya menjadi situs terpenting yang selalu dikenang melalui upacara-upacara kenegaraan selama pemerintahan Orde Baru. Setiap kali membicarakan peristiwa G30S, nama Lubang Buaya dan Gerwani pasti selalu disebut.

Konstruksi itu diawali dengan berita-berita dalam harian militer yang memuat peristiwa G30S. Soeharto menyampaikan kepada publik tentang kekejian perlakuan PKI melalui dua koran milik militer: „Angkatan Bersenjata‟ dan „Berita Yudha‟ (Goodfellow, 1995: 9). Disebutkan,

sebelum dibunuh, para perwira itu disiksa dan dijadikan bagian pesta mesum Gerwani. Sejumlah perwira disayat-sayat kemaluannya dan matanya dicungkil. Soeharto antara lain mengatakan sebagai berikut (semua kutipan berita diambil dari Anderson, 1987: 111- 114). ―Perbuatan biadab berupa penganiajaan jang dilakukan diluar batas perikemanusiaan .‖ (Angkatan Bersendjata,

5 October 1965). ―Bekas2 luka disekudjur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh2 pahlawan kita‖

(Berita Yudha,

5 Oktober 1965). Berita Yudha juga mengutip pernyataan Soeharto kepada pers, sebagai berikut. ―Djelaslah bagi kita jang

menjaksikan dengan mata kepala betapa kedjamnja aniaja jang telah dilakukan oleh petualang2 biadab dari apa jang dinamakan 'Gerakan 30

September.‖ Pada tanggal 4 Oktober 1965, Berita Yudha memuat ‗pengakuan jujur‘ seorang anggota Gerwani berusia 15 tahun yang sedang hamil tiga

Ringkasan Disertasi

Ada sekitar 500 orang yang berkumpul di sana, 100 di antaranya perempuan. Pisau dan silet dibagi-bagikan. Saya hanya mendapat sebuah silet. Dari kejauhan, kami melihat seseorang bertubuh pendek tetapi gemuk masuk. Dia mengenakan piyama. Tangannya dan wajahnya diikat dengan kain merah. Pimpinan kami, komandan peleton, memerintahkan kami untuk menyiksa orang ini. Kemudian mereka mulai memotong-motong kelamin orang ini dengan pisau kecil yang dibagikan. Orang pertama yang memukul dan mengiris-iris kelamin orang itu adalah ketua Gerwani Tandjung Priok. Kemudian semua teman yang lain ikut menyiksa orang itu. Semua anggota Gerwani yang berjumlah 100 orang melakukan hal ini dan menjadi saksi (Aveling, 1975: iii; Wieringa, 2003: 80).

Versi- versi sejarah ‗resmi‘ tentang Peristiwa di Lubang Buaya tersebut berkembang luas bersamaan dengan menyebarnya kisah-kisah menyeramkan mengenai kekejaman yang terjadi di Lubang Buaya.

Setahun setelah Peristiwa Lubang Buaya, terbit c erpen ‖Perempuan dan Anak- anaknya‖ karya Gerson Poyk dalam Majalah Horison Nomor 5 Tahun I, November 1966. Cerpen ini adalah cerpen yang paling banyak berbicara tentang Lubang Buaya. Akibat yang ditimbulkan oleh berbagai publikasi tentang Lubang Buaya itu membuat tempat itu memiliki semacam sinister charisma yang menakutkan.

‖Bagaimana aku yang seorang diri dapat menahan lahar sebuah gunung api?‖ ‖Manusia bukan lahar.‖ ‖Lahar itu mengalir dari Lubang Buaya,‖ kata A dengan suara lemah lembut. ‖Lahar yang aneh dalam hubungan sebab-akibat. Aksi dan reaksi. Semuanya spontan. Lahar yang dimuntahkan dari Lubang Buaya. Lahar yang menimbulkan reaksi berantai seperti bom atom. Lalu matilah beribu- ribu orang. Di antaranya suamimu. Aku menyaksikannya tadi malam‖ (Poyk, 1966). Kutipan ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Lubang Buaya

itu. Dikatakan bahwa apa yang terjadi di Lubang Buaya, yang dilakukan oleh PKI itu mampu memuntahkan lahar kemarahan massa dan membangkitkan pembalasan. Dalam cerpen ini, peristiwa di Lubang Buaya dipandang sebagai peristiwa puncak yang membangkitkan kemarahan dan balas dendam orang-orang yang anti-PKI.

‖Begitu radio menyiarkan bahwa PKI memakai cara biadap Lubang Buaya, massa di daerah ini bangkit, lalu mencari orang-orang PKI seperti mencari tikus saja....‖ (142).

Dari peristiwa Lubang Buaya itulah masyarakat Indonesia membenci PKI dan menghalalkan pembantaian terhadap mereka. Hal ini diungkapkan

Ringkasan Disertasi Ringkasan Disertasi

‖Aku tidak mau anak-anak itu seperti bapaknya. Aku tidak mau anak-anak itu menggali lubang- lubang untuk mencapai tujuannya‖ (hlmn. 142). ‖Begitu radio menyiarkan bahwa PKI memakai cara biadap Lubang Buaya, massa di daerah ini bangkit, lalu mencari orang-orang PKI seperti mencari tikus saja.... Apalagi tersingkap kabar bahwa di kota inipun ada Lubang Buaya, yang kecil maupun besar, yang digali oleh mereka secara rahasia. Massa mengisi lubang-lubang itu dengan orang-orang yang

membuat lubang itu‖ (142). Konstruksi kekuasaan tentang G30S, Lubang Buaya, dan Gerwani

yang seperti itu secara langsung menciptakan sinister charisma bagi peristiwa, lokasi, dan pelaku tindakan kejahatan itu. Dengan sangat cepat, berita tentang G30S, Lubang Buaya, PKI, dan Gerwani menjadi sangat terkenal kebejatan moralnya (notorious).

Selain cerpen Gerson Poyk di atas, ada tiga cerpen lainnya yang secara eksplisit mengungkapkan bahwa keberingasan massa memiliki kaitan langsung dengan publikasi mengenai apa yang terjadi di Lubang Buaya. Cerpen ―Bintang Maut‖, Ki Panjikusmin (1967) menceritakan bahwa di punggung mayat perempuan-perempuan Gerwani yang dibantai dan dibuang di kali, orang melukis gambar “seekor buaya yang sedang mengangakan moncongnya.” Hal ini mengindikasikan adanya kaitan langsung antara perempuan Gerwani dengan peristiwa Lubang Buaya. Propaganda hitam tentang peristiwa di Lubang Buaya dan apa yang dilakukan Gerwani pada malam G30S itu memiliki efek yang mengerikan terhadap pembunuhan para wanita PKI. Perhatikan penuturan Ki Panjikusmin dalam ―Bintang Maut‖ berikut ini.

Ringkasan Disertasi

―Menyedihkan sekali, nak. Perempuan-perempuan tak terkecuali. Pada perempuan-perempuan Gerwani yang dikabarkan pernah dilatih di Lubang Buaya, rakyat tak memberi ampun lagi. Bapak pernah menjumpai

mayat mereka di tepi sungai sebelah selatan Kuta. Ususnya berleleran, punggungnya penuh ukir-ukiran pisau. Tahu kau apa yang mereka lukis di punggung mayat itu? Seekor buaya yang sedang mengangakan

moncongnya!‖ Wayan menggeleng-gelengkan kepala, dihisap rokok- nipahnya dalam-dalam (Ki Panjikusmin, 1967: 94).

Cerpen ―Perang dan Kemanusiaan‖ karya Usamah (1968) menjelaskan mengapa tentara-tentara membantai perempuan-perempuan Gerwani yang tak bersalah dengan sedemikian kasar dan kejam. Dia menduga bahwa tentara- tentara itu ―agaknya pernah menyaksikan jenazah jenderal-jenderal di Lubang Buaya. ‖

Sampai hari ini masih teringat bagaimana anggota-anggota tentara yang agaknya pernah menyaksikan jenazah jenderal-jenderal di Lubang

Buaya memberikan reaksinya terhadap pidato ‗pujian‘ untuk Gerwani itu. Beberapa orang dengan truk datang ke balai kota. Mereka masuk sambil bergantian membuang tembakan. Dengan sinis mereka teriak-teriak:

―Hidup Gerwani dan Bung Karno. Hidup Gerwani dan Bung Karno.‖ (Usamah, 1968: 233-234).

Umar Kayam (1969) dalam ―Musim Gugur Kembali di Connecticut‖ menggambarkan bahwa orang dibunuh tanpa proses hukum karena mereka memang sudah divonis bersalah: terlibat G30S yang dilakukan di Jakarta. Percobaan tokoh ceritanya, Tono, untuk membela dirinya sia-sia. Berdebat dengan para penangkap itu jelas tidak mungkin. Inilah logika penangkapan itu.

―Saudara harus ikut dengan kami sekarang. Di S sudah

diketahui, PKI malam aktif kembali. Mulai membakar rumah-rumah orang NU dan PNI.‖

―Apa hubungannya itu dengan saya?‖ ―Bung Gestapu juga, ‗kan!‖ ―Bukan. Saya memang bekas HIS dan Lekra.‖ ―Sama saja, ‗kan? HIS, Lekra, PKI, Gestapu? Ayolah ikut.

Tidak usah bawa pakaian‖ (Kayam, 1969).

Keempat cerpen ini mengkonstruksi wacana G30S, Lubang Buaya, dan Gerwani sebagai wacana-wacana yang mengerikan, menjijikkan, biadab, dan tak bermoral. Konstruksi pemberitaan penguasa yang dramatik itu telah berhasil mewujudkan keingingan para penyebarnya. Di sini terlihat jelas adanya regularitas yang membangun wacana tentang G30S, Lubang Buaya, dan Gerwani dalam publikasi-publikasi TNI dengan konstruksi teks-teks sastra: yakni kekejaman yang diyakini dilakukan oleh Gerwani dan orang-orang PKI.

Ringkasan Disertasi

2.3 Hari Kesaktian Pancasila dan Amende Honorable

Konstruksi Orde Baru tentang ‗kesaktian‘ Pancasila memiliki muatan ideologis dan berimplikasi pada pengetahuan (tentang PKI sebagai pengkhianat yang ‗tidak sakti‘). Dalam peringatan Hari Kesaktian Pancasila, selalu dibacakan ‖Ikrar Kesaktian Pancasila‖ yang berisi tiga ‘kesadaran‘ penting, yaitu: (1) bahwa tanggal 1 Oktober 1965 telah terjadi kudeta yang dilakukan G30S/PKI, (2) bahwa Tragedi Nasional itu terjadi karena kita kurang waspada dan adanya upaya pimpinan PKI menipu rakyat dalam menumbangkan Pancasila, dan (3) bahwa keadilan dan kebenaran harus tetap dipertahankan. PKI sebagai dalang G30S itu pun

‘diikrarkan‘ (sic.) di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Mengingat ‗saktinya‘ Pancasila, pelanggaran atau pengkhianatan terhadapnya merupakan sebuah kejahatan berat yang harus mendapat

‗ganjaran yang setimpal‘, yaitu hukuman mati. Dalam cerpen ―Perempuan dan Anak- anaknya‖ karya Gerson Poyk, hukuman mati itu didahului dengan semacam ritual amende honorable. Menurut Foucault, amende

honorable adalah bentuk hukuman ‗minta maaf‘ di hadapan publik yang dilaksanakan secara jujur. Contoh permohonan maaf formal dari tokoh aktivis PKI diungkapkannya terhadap Pancasila karena ia telah mengkhianatinya dan siap menerima ganjaran mati atas kesalahan tersebut.

‖Aku telah berdosa kepada Pancasila dan telah menerima ganjaran mati, tetapi Hadijah dan lima or ang anaknya tidak. Maafkanlah mereka!‖ (Gerson Poyk, 1966: 139). Amande honorable adalah sebuah pengakuan publik yang sangat

penting karena ‘keadilan‘ atas ‘kejahatan‘ ditegakkan. Apabila seorang tertuduh membuat pengakuan bersalah dan siap menanggung hukuman atas tubuhnya, maka hukuman itu sah (Foucault dalam Hardiyanta, 1997: 42). Pengakuan korban PKI atas kesalahannya merupakan sebuah bukti bahwa hukuman yang diberikah sahih.

2.4 Politik Ingatan 1966-1970 dan Kontestasi Ideologi

Ketika peristiwa G30S dikaji kembali dengan tenang, hasil otopsi mayat-mayat itu dibaca kembali dengan cermat, barulah orang memahami bahwa tidak semua informasi yang disiarkan oleh Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata itu benar (Anderson, 1996). Salah seorang dokter yang terlibat dalam melakukan otopsi terhadap mayat para jenderal itu, Dr. Arif Budianto, memberi kesaksian sebagai berikut.

Ringkasan Disertasi

Di luar, kami sudah mendengar berita-berita yang menyeramkan soal kondisi penis korban. Karena itu, kami melakukan pemeriksaan yang lebih teliti lagi tentang itu. Tapi, apa yang kami temukan malah kondom di kantung salah satu korban yang bukan jenderal. Ada juga korban yang ditemukan tidak disunat. Kami periksa penis-penis para korban sangat teliti. Jangankan terpotong, bahkan luka iris saja juga sama sekali tidak ada. Kami periksa benar itu; dan saya berani berkata itu benar. Itu faktanya.

Satu lagi: soal mata yang dicongkel. Memang kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang sudah kotal-katil. Tapi, itu karena sudah lebih dari tiga hari terendam, bukan karena dicongkel paksa. Saya sampai periksa dengan saksama, tepi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata, apakah ada tulang yang tergores. Ternyata tidak ditemukan (Budianto, 2005: 57).

Jelas bahwa pengakuan jujur ―Sri Kandi Lubang Buaya‖ Djamilah adalah keterangan palsu. Juga semua pemberitaan tentang tarian harum bunga yang diiringi lagu genjer-genjer adalah tidak benar.

Para sastrawan (1965-1970) pada umumnya tidak secara langsung mengisahkan peristiwa yang terjadi di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965. Pemberitaan besar-besaran melalui media televisi, radio, dan surat kabar hanya terfokus pada tewasnya para jenderal dan seorang perwira di Jakarta. Padahal segera setelah para jenderal itu tewas, ratusan ribu orang diburu dan dibunuh secara liar dan ganas di seluruh Indonesia. Nh. Dini menyayangkan pemberitaan yang tidak berimbang tentang pembunuhan- pembunuhan itu. Yang disiarkan oleh media massa hanyalah kematian orang-orang terkemuka dan berpangkat, sementara kematian ribuan rakyat kecil tidak menjadi berita.

Berita lebih panjang dan lebih lengkap bergantian terdengar atau dibawa tetangga, semuanya membicarakan kengerian yang terjadi di ibu kota maupun di tempat-tempat lebih dekat. Kekalutan yang disebabkan oleh pihak komunis menyebabkan pembunuhan besar-besaran. Yang disiarkan oleh media massa ialah kematian orang-orang terkemuka dan berpangkat.

Rakyat yang selalu tanpa nama bergelimangan di mana-mana, mengambang di sungai atau menyumbat parit kampung dan desa. Tak ketahuan jelas siapa nama dan dari mana asal mereka. Kebanyakan mayat sudah tidak dikenal muka maupun pakaiannya. Kebanyakan kematian itu dituduhkan pada kaum komunis (Nh. Dini, 1989: 103-104). Politik ingatan tentang PKI dan Tragedi 1965 mulai dibuat oleh

negara Orde Baru: apa yang harus diingat, apa yang harus dilupakan, dan bagaimana mengingatnya. Yang menonjol dalam politik ingtan tahun 1966- 1998 adalah konstruksi tentang kekejaman PKI dan kebejatan Gerwani di

Ringkasan Disertasi

Lubang Buaya yang dipublikasikan melalui media-media yang dikuasai militer dan penguasa. PKI pun dikonstruksi sebagai liyan (the other) dengan stigma baru sebagai si Pengkhianat yang ditaklukkan oleh kesaktian Pancasila. Sejak tahun 1966, Hari Kesaktian Pancasila diperingati dan dirakayakan di Lubang Buaya.

Kesepuluh cerpen yang bertemakan Tragedi 1965 yang telah diungkapkan di atas memiliki sikap dan pandangan yang sama bahwa kemarahan massa akibat Peristiwa G30S memang sangat mendalam dan meluas. Pada umumnya kemarahan itu disebabkan karena narasi-nasi tentang kejadian yang dilakukan di Lubang Buaya. Dapat dikatakan bahwa kesalahan (hamartia, mistakes) yang menimpa orang-orang PKI dan yang menyebabkan mereka harus menerima pembalasan yang kejam adalah karena G30S dan peristiwa di Lubang Buaya. Kekejaman pembunuhan terhadap wanita dan anak-anak PKI disebabkan karena hamartia para Gerwani yang melakukan ritual tarian harum bunga, memutilasi wajah, tubuh, dan kelamin para jenderal. Hamartia yang lain tidak disebutkan dalam karya-karya sastra 1966-1970.

Publikasi yang begitu intensif tentang peristiwa G30S benar-benar berhasil membangun kesadaran massa untuk bangkit melawan PKI. Soko guru utama pembunuhan itu adalah tentara. Semua orang PKI, juga yang berada di daerah-daerah dituduh terlibat dalam G30S yang dilaksanakan di Jakarta. Mereka pun harus membayar sangat mahal, bukan saja dengan harta bendanya tetapi juga bahkan nyawa dan kebebasannya. Stigma sebagai orang-orang PKI akan menjadi aib yang membawa kesengsaraan bagi hidup keluarganya dan sanak saudaranya.

Sastra Indonesia yang terbit pada periode 1965 – 1970 banyak memberikan kesaksian tentang kebrutalan dan kekejaman tentara maupun massa yang membantai kaum komunis sebagai akibat Tragedi 1965. Peristiwa G30S itu sendiri tidak banyak mendapat perhatian para sastrawan. Perhatian mereka justru lebih ditujukan pada tragedi yang terjadi pasca-G30S, yaitu pembunuhan yang brutal dan kejam terhadap sesama anak bangsa sendiri. Cerpen-cerpen itu pun mencoba memberikan ‗struktur pemahaman‘ terhadap peristiwa itu: apa yang sesungguhnya terjadi, mengapa manusia bisa berubah menjadi sekejam itu terhadap sesamanya bahkan keluarganya sendiri.

Bagaimana pandangan para sastrawan tentang orang-orang PKI itu? Ki Panjikusmin dalam ―Bintang Maut‖ (1967) mengungkapkan pandangan massa pada waktu itu terhadap orang-orang komunis.

Ringkasan Disertasi

―Komunisme terasa lebih menjijikkan daripada kotoran manusia. Sedang kemarahan pada orang-orang yang ditempeli barang yang menjijikkan itu menjangkitkan penyembelihan dan pembunuhan di

mana-mana. Dicanangkan ke segenap penjuru bahwa tak ada hak hidup bagi mereka yang tak ber- Tuhan‖ (Ki Panjikusmin, 1967).

Gambar 2 memperlihatkan formasi-formasi diskursif berupa domain- domain diskursif khusus yang terwujud dalam bentuk teks-teks sastra, media komunikasi, institusi, monument dan national habitus periode awal Orde Baru. Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha merupakan media komunikasi yang dikuasai militer dan memonopoli pemberitaan tentang G30S karena sejak tanggal 2 Oktober sampai 6 Oktober 1965, media komunikasi lainnya dilarang terbit.

Gambar 2 Kontestasi Ideologi dan Hegemoni dalam Politik Ingatan Tragedi 1965 Periode 1966 – 1970

Pemberitaan mengenai Lubang Buaya melalui harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha itu memasuki wilayah produksi kebudayaan karena teks- teks sastra secara dominan menyebut Peristiwa G30S sebagai Peristiwa Lubang Buaya.

Selain itu, pemerintahan Soeharto membangun dua institusi untuk ‗menangani‘ orang-orang PKI, yaitu Kopkamtib (1966) dan Penjara Pulau Buru (1969). Sebenarnya ada banyak penjara yang menahan orang-orang PKI, tetapi Pulau Buru secara khusus dirancang sebagai tempat pembuangan tapol G30S. Pada tahun 1966, pemerintahan Soeharto membangun sebuah national habitus baru, yaitu Peringatan Hari Kesaktian

Ringkasan Disertasi

Pancasila, yang kemudian selalu diperingatkan setiap tahun sampai dengan berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru (1989). Peringatan ini semakin mengintensifkan ‗pengetahuan‘ mengenai Tragedi 1965 sebagai sebuah peristiwa pengkhianatan yang dilakukan oleh PKI.

Kuatnya semangat anti-PKI yang ditiupkan oleh penguasa Orde Baru ini tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari domain diskursif khususnya teks-teks sastra. Teks-teks sastra justru melakukan perlawanan terhadap semangat anti-PKI yang berlebihan dengan berbagai pembunuhan massal yang mengerikan. Teks-teks sastra justru bersimpati pada korban-korban pembunuhan yang dipandang sebagai tindakan yang tidak bisa dibenarkan begitu saja. Pada titik inilah dapat disimpulkan bahwa relasi antara domain- domain diskursif pada periode 1966-1970 membentuk sebuah formasi diskursif yang bersifat oposisi. Kontestasi domain diskursif teks-teks sastra terhadap politik ingatan penguasa melalui teks-teks nonsastra pada periode ini memperlihatkan bahwa hegemoni kekuasaan Orde Baru belum mencapai totalitas. Meminjam pandangan Gramsci, hegemoni pada periode ini adalah ―hegemoni minimum‖. Formasi-formasi diskursif pada periode ini belum berperan dalam totalitas kebudayaan hegemonik yang coba dicapai oleh pemerintahan Orde Baru.

3. TRAGEDI 1965 DAN POLITIK INGATAN TAHUN 1971-1980: DARI MONUMEN KE DOKUMEN

3.1 Sastra sebagai Locus Kekuasaan

Selama kurun waktu 1971-1980 kebebasan berpendapat sangat dibatasi. Peranan Kopkamtib sebagai jantung kekuasaan negara Leviathan Orde Baru semakin dominan. Protes dan demonstrasi mahasiswa ditanggapi dengan keras dan militeristik. Korban mulai berjatuhan, terutama dalam peristiwa Malari (1974). Mahasiswa dibatasi aktivitasnya hanya di dalam kampus dengan menerapkan kebijakan NKK/BKK tahun 1978. Partai-partai dilebur menjadi tiga melalui UU kepartaian. Fokus pembangunan bangsa diarahkan pada pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Pemerintah Orde Baru semakin mengetatkan pengawasan pada seluruh aktivitas masyarakat. Kebebasan pers mulai terancam. Monumen Pancasila Sakti dan Museum Pengkhianatan PKI diresmikan (1973). Buku teks sejarah nasional Indonesia yang berisi versi resmi pemerintah tentang G30S dikeluarkan (1975). Penataran P4 digalakkan secara nasional (1978), antara lain untuk

Ringkasan Disertasi

Dengan lingkungan sosial-politik yang semacam itu, dapatlah dipahami bahwa selama periode 1971-1980, secara kuantitatif hanya ada empat karya sastra yang mencoba menyinggung issu sensitif Tragedi 1965. Refleksi dan renungan di dalam karya-karya sastra itu pun kebanyakan hanya merepresentasikan pandangan resmi Orde Baru tentang Tragedi 1965.

Sri Sumarah karya Umar Kayam (1975) mengisahkan perjuangan hidup seorang tokoh perempuan Jawa, Sri Sumarah, yang secara tidak sengaja terjebak ke dalam lubang nasib yang buruk akibat kematian suaminya, dan kemudian putri tunggalnya, Tun, terjebak dalam perkawinan muda dengan seorang tokoh komunis bernama Yos. Sri Sumarah harus menanggung penderitaan itu dengan pasrah, dengan kiat-kiatnya sebagai seorang wanita Jawa. Tidak banyak yang diberikan oleh novelet ini dalam kaitannya dengan Tragedi 1965 kecuali sikap pasrah tokohnya yang mendapati anak gadisnya, Tun, menjadi buronan dan tahanan PKI.

Jentera Lepas karya Ashadi Siregar (1979) mengisahkan tokoh Budiman, seorang aktivis antikomunis yang peduli terhadap nasib dan perjuangan hidup orang-orang kecil yang juga secara tidak sengaja terjebak ke dalam lubang nasib yang buruk. Tidak ada yang peduli terhadap masa depan anak-anak yang amat tergantung pada orang tuanya, tidak juga pemerintah. Orang-orang kecil itu mencoba menjalani garis nasib yang terpaksa mereka terima, juga dengan sikap pasrah. Beberapa ibu menjadi pelacur dan hidup dalam kemiskinan dan menghadapi stigma yang buruk dan penghinaan dari para tetangga. Novel ini mengingatkan pula tentang kemungkinan rasa dendam yang disimpan anak-anak yang orang tuanya ditangkap dan dibunuh tanpa melalui proses pengadilan. Ashadi Siregar mengilustrasikan tentang adik-adik Harjito yang menjadi Katolik (sekalipun ibunya berasal dari kalangan santri) karena trauma yang mereka alami ketika menyaksikan ayah mereka diciduk pada suatu malam yang mengerikan.

Mencoba Tidak Menyerah karya Yudhistira Anm. Massardi (1979) dalam banyak hal hanya reproduksi kultural pandangan-pandangan Orde Baru, khususnya dalam menilai komunis dan orang-orang komunis. Semua kekejian yang dilakukan Gerwani di Lubang Buaya serta perbuatan penculikan para jenderal yang baginya dilakukan oleh PKI dikutipnya secara lengkap dari publikasi-publikasi Orde Baru. Deskripsi tentang

Ringkasan Disertasi Ringkasan Disertasi

Tidak seperti ketiga novel yang disebut di atas, Kubah karya Ahmad Tohari (1980) menampilkan protagonis seorang bekas tahanan Pulau Buru. Sudut pandang ini memungkinkan pengarang untuk memotret aktivitas yang dilakukan tokohnya, alasan- alasan sang tokoh ‘terjebak‘ dalam kegiatan Partai Komunis, ketakutan tokoh itu ketika dikejar-kejar dan menyaksikan pembunuhan-pembunuhan terhadap teman-temannya, juga pengalaman sang tokoh di tempat pembuangan Pulau Buru. Sekalipun dikisahkan bahwa tokoh Karman adalah seorang komunis yang kemudian menjadi ateis, hal itu lebih disebabkan karena kegiatan agitasi dan propaganda (agitprop) yang dilakukan oleh kader-kader terbaik PKI yang merupakan eksponen peristiwa Madiun.

Selama periode 1971-1980, penguasa Orde Baru telah berhasil memasuki ruang produksi budaya. Dominasi kekuasaan sudah memasuki tahap hegemoni budaya. Dari keempat karya sastra yang membahas Tragedi 1965 ini, tampak nyata bahwa ‘perlawanan‘ yang dilakukannya terhadap dominasi kekuasaan menjadi sangat lemah. Periode ini adalah periode di mana kreativitas dan kemampuan berpikir alternatif tidak dimungkinkan. Sastra tunduk pada garis-garis kebijakan politik Orde Baru. Apabila dalam periode sebelumnya (1966 –1970), sastra Indonesia menunjukkan perlawanan yang signifikan terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan, maka dalam periode ini (1971-1980) perlawanan itu mencapai titik nadir.

Hegemoni yang dilakukan kekuasaan adalah mendefinisikan ‖realitas‖ tentang PKI dan G30S/PKI bagi masyarakat Indonesia melalui berbagai perangkat dominasi (militer) maupun hegemoni (civil society). Berbagai regulasi yang bersifat koersif (Tap MPR, Inpres) maupun yang

Ringkasan Disertasi

3.2 Tragedi 1965 dan Konstruksi Kasta Pariah

Pariah adalah kasta atau golongan manusia yang paling rendah, yang berada di bawah kasta sudra. Kelas ini diingkari kemanusiaannya oleh kelompok mayoritas. Mereka disetarakan dengan binatang, hama, atau penyakit. Efek proses ini adalah membenarkan tindakan keji sang pembunuh.

Keempat novel yang diterbitkan dalam kurun waktu 1981-1990 menegaskan efek buruk Tragedi 1965, yakni menciptakan kelas pariah dalam masyarakat Indonesia. Dalam Sri Sumarah karya Umar Kayam (1975), digambarkan kehidupan melarat tokoh Sumarah, istri seorang guru, yang ‗tidak bersih lingkungan‘ karena menantunya terlibat organisasi PKI. Dia berjuang membesarkan putri tunggalnya Tun seorang diri karena ayah Tun meninggal dunia ketika Tun masih sangat kecil. Sri Sumarah kadang- kadang juga disapa Bu Guru Pijit karena pekerjaannya sebagai tukang pijit. Sejak kecil Sri dididik neneknya secara Jawa, yakni menerima dan patuh serta setia terhadap permintaan suami.

Sri Sumarah yang berjuang dengan susah payah akhirnya dapat menyekolahkan anaknya, Tun, sampai SMA. Tun akhirnya menikah dengan Yos, seorang aktivis CGMI. Yos sering disebut sebagai ―orang sabrang‖ karena berasal dari Sumatra. Tun yang telah memiliki seorang anak perempuan bernama Ginuk, terseret dalam organisasi PKI. Sebagai istri seorang aktivis CGMI, Tun dan ibunya ‗tidak bersih lingkungan‘ menurut klasifikasi moral negara Orde Baru. Hal ini kemudian menyeret kehidupan mereka kembali ke titik nadir.

Novel Jentera Lepas karya Ashadi Siregar (1979) adalah novel yang banyak berkisah tentang korban menyedihkan karena keterkaitan mereka dengan komunis, keluarga orang-orang PKI yang menjadi kaum pariah. Selain kisah tentang nasib buruk yang menimpa Mbayu Sinto, novel ini juga bercerita tentang kisah beberapa orang komunis yang menjadi korban pengucilan dan pembunuhan rezim Orde Baru. Korban-korban itu antara lain: pak guru Parmanto (anggota PGRI Non-vak Sentral), kisah keluarga Linlin, dan keluarga Harjito.

Novel ini menggambarkan kehidupan masyarakat bawah yang menjadi korban menyedihkan karena keterkaitan mereka dengan komunis.

Ringkasan Disertasi

Siapakah yang peduli dengan nasib seorang guru bernama Parmanto? Parmano, seorang guru SMP terpaksa masuk organisasi PGRI Non-Vak Sentral karena desakan kepala sekolahnya. Di tahun 1966, Pada sebuah malam yang mengerikan, malam hari yang gelap, Pak Parmanto ditangkap para pemuda berpakaian loreng. Sejak itu Parmanto tak pernah pulang, padahal ada enam anak yang perlu diberi makan, perlu dibiayai sekolahnya. Anak sulungnya Dyani tidak dibolehkan bermain dengan anak-anak kampung. Dia hanya boleh bermain dengan anak-anak yang ayahnya diciduk juga seperti: Rini, Nunuk, Tutik ireng, Tutik kuning. Pekerjaan ibu Rini dan ibu Tutik Kuning adalah jadi lonte di Pasar Kembang. Suatu ketika, karena bodoh, Dyani –anak komunis ini dia diperkosa gurunya di atas meja belajar.

Secara keseluruhan, novel Jentera Lepas menyajikan sebuah potret kesengsaraan yang secara terpaksa diterima oleh orang-orang yang jelas- jelas tidak melakukan kesalahan. Satu- satunya ‘kesalahan‘ mereka, kalau istilah ‘kesalahan‘ dapat digunakan, adalah karena mereka memiliki hubungan keluarga (menikah atau menjadi anak) dengan orang-orang PKI.

A pabila ‘kesalahan‘ dan cacat moral itu sudah terjadi, maka mereka harus menerima nasibnya sebagai sebuah takdir yang tidak adil: dikucilkan, diperkosa, menjadi lonte untuk bertahan hidup, dan menduduki kasta terendah dalam masyarakat.

Dalam novel Mencoba Tak Menyerah karya Yudhistira Anm. Massardi (1979), disajikan kesengsaraan sebuah keluarga yang terpaksa kehilangan kepala keluarganya. Novel bergaya otobiografi ini merepresentasikan dan merefleksikan pahitnya perjuangan hidup sebuah keluarga sederhana pasca Tragedi 1965 yang telah dicap sebagai keluarga PKI. Mula-mula mereka direror oleh masyarakat dan dituduh sebagai PKI, sekalipun mereka yakin bahwa bapak mereka bukan PKI. Mereka hanya difitnah oleh orang-orang yang irihati dan takut usahanya disaingi oleh ayah mereka. Rumah mereka kemudian dihancurkan dan ayah mereka ditahan. Kesedihan demi kesedihan yang menusuk perasaan pun mulai mereka lalui, dari hari ke hari. Setiap anggota keluarga harus bekerja semampu mungkin. Si aku mencoba meneruskan bengkel sepeda ayahnya.

Dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari, dikisahkan kesengsaraan hidup istri dan anak-anak seorang tokoh PKI yang dibuang ke Pulau Buru. Di Pulau Buru itulah ‗kesadaran‘ Karman mulai tumbuh. Apalagi setelah datang surat dari Marni, istrinya, yang meminta keikhlasan Karman untuk mengijinkannya menikah lagi dengan lelaki lain. Dengan berat hati,

Ringkasan Disertasi

Karman menyetujui maksud istrinya untuk menikah lagi demi menghidupi anak-anaknya.

Konstruksi karya sastra Indonesia tentang akibat Tragedi 1965 dengan munculnya demikian banyak anggota masyarakat dalam kasta pariah menyentakkan kesadaran adanya luka sejarah yang belum terobati. Teks-teks sastra itu menggambarkan dengan jelas bahwa kekuatan destruktif Tragedi 1965 lebih dahsyat daripada yang dibayangkan. Sebuah kelompok masyarakat kelas pariah terbentuk, jutaan korban tewas, puluhan juta penduduk lainnya yang terdiri dari korban yang selamat beserta keluarganya, pelaku pembantaian, dan saksi mata telah mengalami sebuah malapetaka dan cedera kemanusiaan. Berbagai tindakan yang sangat kejam, melawan hukum, dan melanggar hak-hak dasar sebagai manusia telah dilakukan dan/atau disponsori oleh negara di tahun 1965-1966.

3.3 Tragedi 1965 dalam Politik Ingatan Orde Baru (1971-1980)

Dokumen yang terkait

REPRESENTASI HUBUNGAN AYAH ANAK DALAM VIDEO KLIP(Analisis Semiotik Video Klip Lagu ‘Tatkala Letih Menunggu‘dari Ebiet G. Ade)

1 54 2

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN DI TELEVISI (ANALISIS SEMIOTIK DALAM IKLAN SAMSUNG GALAXY S7 VERSI THE SMARTES7 ALWAYS KNOWS BEST)

132 481 19

EVALUASI MUTU MINYAK KELENTIK DENGAN PENAMBAHAN KAPSUL ANTIOKSIDAN KULIT BUAH KOPI DAN BHT: KAJIAN JENIS KEMASAN

1 27 43

KAJIAN MUTU FISIK TEPUNG WORTEL (Daucus carota L.) HASIL PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

17 218 83

KAJIAN PSIKOLOGI ANAK DALAM NOVEL SINAR KARYA AGUK IRAWAN MN

4 53 10

KAJIAN RELIGIUS DALAM NOVEL SURAU INI ROBOH KARYA TAUFIQURRAHMAN KAJIAN RELIGIUS DALAM NOVEL JANGAN BIARKAN SURAU INI ROBOH KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY JANGAN BIARKAN SURAU INI ROBOH KARYA TAUFIQURRAHMAN

0 62 12

KAJIAN YURIDIS PENGAWASAN OLEH PANWASLU TERHADAP PELAKSANAAN PEMILUKADA DI KOTA MOJOKERTO MENURUT PERATURAN BAWASLU NO 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

1 68 95

KAJIAN YURIDIS TENTANG PERUBAHAN TANAH PERDIKAN MENJADI HAK MILIK DI KELURAHAN TAMAN KECAMATAN TAMAN KOTA MADIUN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

2 44 14

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT ADANYA HUBUNGAN NASAB (Studi Putusan No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj) STUDY JURIDICAL TO MARRIAGE ANNUALMENT CONSEQUENCE OF EXISTENCE LINEAGE (Study of Decision No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj)

1 45 18

KAJIAN ASPEK HYGIENE SANITASI TERHADAP KONDISI KANTIN MAKANAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DASAR (Studi Kasus di Sekolah Dasar Kota Bandar Lampung)

40 194 64