Strategi Coping Masyarakat Pulau Kecil Dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim

Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA
TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

ISBN: 978-602-361-044-0

STRATEGI COPING MASYARAKAT PULAU KECIL
DALAM MENGHADAPI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM
H e ru Se t ia w a n
Balai Penelitian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar; Makassar
E-mail: hiero_81@yahoo.com

ABSTRAK - Masyarakat nelayan terutama yang tinggal di kawasan pulau
kecil dengan sumberdaya yang terbatas merupakan kelompok masyarakat
yang rentan menghadapi dampak perubahan iklim. Berbagai bentuk
strategi coping diterapkan nelayan agar dapat bertahan menghadapi
dampak negatif yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji berbagai bentuk strategi coping masyarakat
nelayan pulau kecil dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan
dampaknya terhadap ekosistem pesisir. Metode yang digunakan adalah
metode kualitatif dengan pendekatan penelitian deskriptif dan strategi

penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Unit analisis adalah
komunitas nelayan di Pulau Tanakeke. Pengumpulan data dilakukan
dengan metode wawancara dan observasi lapangan. Wawancara dilakukan
secara mendalam dengan responden kunci dengan menggunakan panduan
pertanyaan. Teknik observasi dilakukan untuk mengidentifikasi dampak
strategi coping yang dilakukan masyarakat terhadap ekosistem pesisir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk strategi coping yang
dilakukan masyarakat nelayan Pulau Tanakeke terdiri dari empat tipe, yaitu
strategi coping ekonomi, struktural, sosial dan kultural. Strategi coping
ekonomi dilakukan dengan memperbanyak alternatif sumber pendapatan,
menerapkan berbagai teknik penangkapan ikan dan meningkatkan
kerjasama sosial ekonomi. Strategi coping struktural dilakukan dengan
membuat tanggul pelindung dan penanaman mangrove guna mencegah
banjir rob akibat gelombang pasang. Strategi coping yang bersifat sosial
dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat, dan
strategi coping kultural dilakukan dengan menjaga hutan mangrove
kawasan Bangko Tapampang dengan aturan adat. Beberapa pilihan strategi
coping masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim menyebabkan
menurunnya kualitas lingkungan ekosistem pesisir, diantaranya adalah
kerusakan terumbu karang dan ekosistem mangrove.

Kata kunci: Strategi coping, masyarakat nelayan, pulau kecil, perubahan
iklim

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat pedesaan di negara berkembang menggunakan berbagai
strategi coping untuk menghadapi kemiskinan, kekurangan pangan, konflik dan
masalah lingkungan, yang kesemuanya diperparah dengan adanya fenomena
perubahan iklim dan variasinya (Berman et al., 2013). Pada saat ini fenomena
alam berupa perubahan iklim telah secara nyata kita rasakan. Perubahan iklim
merupakan berubahnya keadaan iklim yang dapat diidentifikasi dengan adanya
288

Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA
TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

ISBN: 978-602-361-044-0

perubahan rata-rata dan / atau variasi sifat-sifatnya dan berlangsung untuk

periode yang panjang, biasanya satu dekade atau lebih (IPCC, 2014). Perubahan
tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya suhu permukaan bumi atau
yang dikenal dengan pemanasan global. Pemanasan global adalah peristiwa
meningkatnya suhu bumi akibat terperangkapnya radiasi gelombang panjang
matahari (gelombang panas/inframerah) yang dipancarkan bumi oleh gas-gas
rumah kaca seperti CO2, CH4 dan N2O di atmosfer bumi (Cruz et al., 2007). Badan
dunia yang bertugas memonitor isu pemanasan global, yaitu Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) telah memperkirakan bahwa antara tahun 1750
dan 2005 konsentrasi karbon dioksida di atmosfer meningkat dari sekitar 280
ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun dan sejak itu terus
meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun. Fenomena pemanasan global
inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi, antara
lain suhu dan distribusi curah hujan, yang membawa dampak luas terhadap
berbagai sektor kehidupan manusia dan terjadi dalam kurun waktu yang panjang
(Gernowo & Yulianto, 2010). Berubahnya iklim berpengaruh terhadap
berubahnya aspek lingkungan perairan, termasuk suhu, oksigenasi, keasaman,
salinitas dan kekeruhan laut, danau dan sungai, kedalaman dan arus perairan
dalam, sirkulasi arus laut, dan berkembangnya penyakit air, parasit dan
melimpahnya ganggang beracun (FAO, 2015). Salah satu sektor yang rentan

menerima dampak perubahan iklim adalah sektor perikanan. Diposaptono et al.
(2009) menyebutkan bahwa perubahan iklim mengakibatkan perubahan fisik
lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil antara lain intrusi air laut ke
darat, gelombang pasang, banjir, kekeringan, genangan di lahan rendah, dan
erosi pantai. IPCC (2007) menyebutkan bahwa setidaknya terdapat dua faktor
penyebab kerentanan wilayah pesisir, faktor pertama adalah pemanasan global
ditengarai meningkatkan frekuensi badai di wilayah pesisir dan faktor kedua
adalah pemanasan global diperkirakan akan meningkatkan suhu air laut antara 13°C yang berakibat meningkatnya potensi kematian dan pemutihan terumbu
karang di perairan tropis.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000
pulau dan panjang garis pantai 80.000 kilometer sangat rentan terhadap
kenaikan muka air laut. Kenaikan muka air laut 1 meter saja dapat
menenggelamkan 405.000 hektar wilayah pesisir dan menenggelamkan 2.000
pulau yang terletak dekat permukaan laut beserta kawasan terumbu karang
(Moediarta & Stalker, 2007). Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang
sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan dan mengandalkan
kehidupannya dari hasil laut merupakan kelompok masyarakat yang paling
rentan menerima dampak dari fenomena perubahan iklim. Oleh karena itu
dibutuhkan suatu bentuk strategi coping agar masyarakat nelayan tradisional
dapat bertahan menghadapi berbagai perubahan ekologis yang disebabkan oleh

perubahan iklim global. Strategi coping merupakan respon yang dilakukan
manusia untuk menghadapi perubahan yang terjadi secara tiba-tiba (Ellis, 1998).
Dalam penelitian ini strategi coping adalah berbagai upaya yang dilakukan
289

Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA
TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

ISBN: 978-602-361-044-0

manusia untuk bertahan terhadap perubahan kondisi lingkungan yang terjadi
akibat perubahan iklim.
Pulau Tanakeke merupakan salah satu pulau kecil yang rentan terhadap
dampak perubahan iklim. Luasan Tanake yang hanya 43,12 km 2 membuat
terbatasnya sumberdaya yang ada di pulau ini sehingga pilihan mata pencaharian
masyarakatnya juga sangat terbatas, yaitu hanya mengandalkan pada sektor
kelautan. Hal ini mempuat tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi
perubahan iklim berada pada tingkat rendah. Kondisi topografi Pulau Tanakeke
yang mempunyai tingkat kelerengan yang datar (0-8%) dan ketinggian tidak lebih

dari 10 m dpl sangat rentan terhadap gelombang pasang dan angin kencang.
Dengan semakin meningkatnya berbagai ancaman yang diakibatkan fenomena
perubahan iklim, maka masyarakat nelayan di Pulau Tanakeke berusaha
menerapkan berbagai strategi coping untuk tetap dapat bertahan menghadapi
dampak negatif terjadinya perubahan iklim. Berbagai strategi coping dilakukan
masyarakat Pulau Tanakeke untuk mempertahankan kehidupan, baik secara
individu maupun membentuk komunitas (kelompok masyarakat). Akan tetapi,
kadang pilihan bentuk strategi coping yang dilakukan masyarakat tidak sesuai
dengan semangat pelestarian lingkungan. Akibatnya terjadi degradasi kualitas
lingkungan yang secara tidak langsung dapat mengancam kehidupan mereka.
Makalah ini akan membahas mengenai bentuk-bentuk strategi coping
masyarakat Pulau Tanakeke dalam menghadapi perubahan iklim dan dampaknya
terhadap ekosistem pesisir.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan pada Bulan Oktober Desember 2015 di
Pulau Tanakeke, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar. Pulau ini
terletak di sisi barat daya daratan Sulawesi Selatan dan berhadapan langsung
dengan perairan Selat Makassar. Secara geografis, pulau ini terletak pada 119°
14 22 119° 20 29 BT dan 5° 26 43 5° 32 34 LS.

Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan sebagai obyek kajian adalah masyarakat pesisir
yang tinggal dan menetap di Pulau Tanakeke dan bentuk-bentuk strategi coping
yang mereka lakukan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Bahan
pendukung penelitian diantaranya adalah peta tematik Pulau Tanakeke dan datadata sekunder terkait tema penelitian yang diperoleh dari beberapa instansi di
Kabupaten Takalar. Alat yang digunakan antara lain daftar panduan pertanyaan,
kuesioner, alat perekam, alat tulis, kompas dan kamera.
Metode Pengambilan Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu salah satu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau
tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati (Bogdan & Biklen, 1992).
Pendekatan metode penelitian kualitatif di sini digunakan untuk mengeksplorasi
290

Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA
TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

ISBN: 978-602-361-044-0


pemahaman responden tentang berbagai aspek sosial yang berkaitan dengan
proses adaptasi komunitas nelayan dalam menghadapi dampak perubahan iklim
yang sedang terjadi. Unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas nelayan
di Pulau Tanakeke yang tersebar di lima desa, yaitu Desa Maccini Baji, Desa
Tompotana, Desa Balandatu, Desa Rewataya dan Desa Mattiro Baji.
Berdasarkan kondisi biofisik tempat tinggal, terdapat dua tipe komunitas
yang menjadi subyek dalam penelitian ini, yaitu komunitas nelayan daratan dan
komunias nelayan lautan. Komunitas nelayan daratan adalah kelompok
masyarakat nelayan yang tinggal di Desa Maccini Baji dan Desa Balandatu.
Kondisi biofisik kedua desa tersebut mempunyai kemiripan yaitu terdapat area
daratan yang luas, sehingga selain sebagai nelayan masih terdapat alternatif
pekerjaan lain, yaitu sebagai petani dan peternak. Berbagai komoditas pertanian
yang dikembangkan masyarakat Pulau Tanakeke diantaranya adalah padi,
jagung, kacang hijau, cabe, tomat dan semangka, sedangkan komoditas
peternakan yang biasa dikembangkan masyarakat adalah peternakan sapi yang
dikelola dengan secara tradisonal. Komunitas nelayan lautan adalah kelompok
masyarakat yang tempat tinggalnya berhadapan dengan laut lepas. Kelompok ini
tinggal di Desa Tompotana, Desa Rewatayya da Desa Mattiro Baji. Kelompok
nelayan lautan tinggal pada suatu area yang relatif sempit dan berhadapan
langsung dengan laut, sehingga kehidupan ekonominya sangat bergantung pada

hasil laut dan pertanian rumput laut.
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Pulau Tanakeke,
sedangkan responden dalam penelitian adalah individu (subjek) yang memahami
informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami
objek penelitian. Responden dipilih secara sengaja (purposive sampling) sesuai
dengan kebutuhan penelitian, pengetahuan dan pengalaman responden.
Pemilihan responden dilakukan dengan teknik snow-ball sampling dan key
person. Beberapa key responden yang wawancarai diantaranya adalah kepala
desa, perangkat desa, ketua kelompok pelestari mangrove, dan tokoh
masyarakat. Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan
teknik wawancara mendalam (indepth interview) secara langsung pada subjek
dan pengamatan langsung di lapangan. Untuk mendukung validitas data yang
dikumpulkan, dilakukan juga pengumpulan data sekunder dan studi pustaka,
terutama terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu serta dokumen terkait
lainnya.
Kegiatan wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran utuh
terkait dengan bentuk strategi coping yang dilakukan oleh responden.
Wawancara dilakukan dengan dengan metode open-ended question, yang
memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi responden untuk mengemukakan
pendapatnya. Untuk membatasi tema agar tidak terlalu melebar, terlebih dahulu

disusun pedoman wawancara secara semi terstruktur dan terbuka. Pengamatan
langsung di lokasi penelitian dilakukan untuk mendapatkan data bentuk-bentuk
strategi coping, terutama yang bersifat fisik (structural), yang dilakukan
masyarakat nelayan dalam menghadapi perubahan iklim. Selain itu juga
dilakukan pengamatan terhadap perilaku dan kebiasaan fungsi kelembagaan
291

Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA
TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

ISBN: 978-602-361-044-0

masyarakat nelayan dalam kehidupan sehari-hari. Metode pengamatan langsung
di lapangan sangat penting dilakukan sebagai tools untuk memvalidasi data-data
yang didapatkan dari hasil wawancara.
Data yang didapatkan dari hasil wawancara dan observasi lapangan
selanjutnya dianalisis menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif
bertujuan menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dalam
komunitas, memperoleh gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut dan

menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data dan proses suatu fenomena
sosial (Subair, 2013). Analisis data primer dan sekunder mengacu pada pendapat
Miles & Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), dimana data diolah dengan
melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi data. Hasil
analisis data kualitatif selanjutnya dilengkapi dengan hasil interpretasi data
kuantitatif yang didapatkan dari laporan atau kegiatan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya.
HASIL
Kondisi Sosial Ekonomi dan Biofisik Pulau Tanakeke
Secara umum, masyarakat yang bermukim di Pulau Tanakeke adalah
masyarakat asli yang yang berasal dari Suku Makassar. Selain masyarakat asli,
penduduk Pulau Tanakeke sebagian kecil adalah pendatang yang datang ke Pulau
Tanakeke melalui program transmigrasi. Berdasarkan hasil wawancara diketahui,
jumlah keseluruhan penduduk Pulau Tanakeke pada tahun 2014 mencapai 6.364
jiwa dan 1.658 KK. Mata pencaharian utama masyarakat adalah nelayan.
Menurut kondisi biofisik tempat tinggalnya, komunitas masyarakat nelayan di
Pulau Tanakeke dibedakan berdasarkan dua, yaitu komunitas nelayan yang
mengandalkan pendapatannya dari hasil laut. Komunitas ini bermukim di Desa
Tompotana, Desa Mattiro Baji dan Desa Rewatayya. Sedangkan tipe yang
satunya adalah masyarakat nelayan yang mempunyai mata pencaharian lain
yang lebih beragam karena mempunyai wilayah daratan yang luas. Komunitas
nelayan ini bermukim di Desa Maccini Baji dan Desa Balandatu.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, Tanakeke merupakan pulau
daratan rendah yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas
permukaan. Pulau Tanakeke secara umum memiliki bentuk garis pantai terluar
yang berlekuk-lekuk sehingga membentuk teluk. Kondisi ini membuat Pulau
Tanakeke kaya akan endapan lumpur yang merupakan habitat yang sesuai untuk
mangrove. Luasan mangrove di Pulau Tanakeke mencapai 20% dari total
mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan
Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014, luas mangrove di Propinsi Sulawesi
Selatan mencapai 28.954,3 ha. Dari luasan tersebut hanya 5.238 ha yang masih
dalam kategori baik, sedangkan sisanya dalam kondisi rusak dan sangat rusak.
Kawasan mangrove di Pulau Tanakeke mempunyai luasan mencapai 951,11 ha
(Akbar, 2014).
Pulau Tanakeke mempunyai luasan 43,12 km 2, berdasarkan UU No 27
Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, pulau dengan
292

Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA
TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

ISBN: 978-602-361-044-0

luasan kurang dari atau sama dengan 2.000 km 2 dikategorikan sebagai pulau
kecil, sedangkan berdasarkan UNESCO (1991), pulau ini termasuk dalam kategori
sangat kecil karena mempunyai ukuran tidak lebih dari 100 km2 atau lebarnya
tidak lebih besar dari 3 km. Dengan kondisi biofisik Pulau Tanekeke seperti yang
dijelaskan diatas, maka masyarakat yang menempati kawasan ini sangat rentan
terhadap dampak perubahan iklim, seperti kenaikan tinggi muka air laut,
perubahan musim dan semakin seringnya terjadi gelombang pasang dan angin
kencang. Kondisi ini diperparah dengan kondisi ekonomi masyarakat yang
mengandalkan kehidupannya dari hasil laut. Masyarakat secara otomatis harus
beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan akibat perubahan iklim agar
kehidupan mereka dapat berjalan sebagaimana biasa.
Strategi Coping Masyarakat Menghadapi Perubahan Iklim
Perubahan ekologis pada ekosistem pesisir akibat terjadinya perubahan
iklim merupakan fenomena alam yang tidak dapat dihindari. Agar dapat
bertahan terhadap dampak dari perubahan iklim, masyarakat melakukan
berbagai strategi coping. Strategi coping dilakukan masyarakat sebagai bentuk
tindakan pertahanan dan penyesuaian dalam mengurangi kerentanan sesuai
dengan skala tertentu seperti komunitas, region atau kawasan dan selanjutnya
pada tingkat nasional. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, secara
umum masyarakat tidak mengetahui bahwa fenomena perubahan alam yang
telah mereka rasakan seperti semakin seringnya terjadi gelombang pasang dan
angin kencang, semakin berkurangnya hasil tangkapan ikan, berkurangnya
sumber air bersih, semakin seringnya banjir rob yang melanda pemukiman,
abrasi di pemukiman dan tambak, daerah tangkapan ikan yang berubah dan
berubahnya musim tangkap merupakan dampak terjadinya perubahan iklim.
Perubahan pola angin, menyebabkan terjadinya kekacauan angin sehingga di
beberapa kasus, angin barat berhembus di periode seharusnya berhembus angin
timur menyebabkan meningkatnya intensitas dan frekuensi gelombang badai di
lautan dan pesisir (Rahmasari, 2011). Perubahan ekologi yang mereka rasakan
merupakan proses yang terjadi dalam waktu yang lama. Oleh karena itu,
diperluka edukasi berkaitan dengan ancaman terjadinya perubahan iklim bagi
komunitas nelayan karena mereka adalah kelompok yang sangat rentan
menerima dampak perubahan iklim.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, diperoleh informasi terdapat
beberapa bentuk strategi coping yang dilakukan nelayan dalam merespon
perubahan ekologis yang terjadi sebagai dampak perubahan iklim, yaitu strategi
coping ekonomi, structural, sosial dan kultural. Strategi coping ekonomi
ditujukan untuk meningkatkan pendapatan keluarga dan menyimpannya dalam
bentuk tabungan atau harta (bergerak maupun tidak bergerak). Tujuan
diterapkannya strategi ini adalah ketika mereka tidak melaut akibat adanya
musim gelombang pasang, mereka mempunyai cadangan uang untuk bertahan
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Beberapa bentuk strategi coping
ekonomi ini diantaranya adalah menerapkan berbagai alat dan teknik
penangkapan ikan dan memperbanyak alternatif sumber pendapatan. Komunitas
293

Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA
TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

ISBN: 978-602-361-044-0

masyarakat nelayan di Pulau Tanakeke adalah nelayan tradisonal yang
menggunakan kapal berukuran kecil dan mengandalkan peralatan tangkap
sederhana seperti pancing, bubu dan jaring. Beberapa kelompok nelayan
menggunakan teknik menangkap ikan yang disebut dengan paropo. Teknik ini
menggunakan kayu bakau yang ditumpuk dengan teknik tertentu di dasar
perairan dengan tujuan agar ikan dapat berkumpul sehingga memudahkan
dalam menangkap ketika laut dalam keadaan surut. Untuk meningkatkan hasil
tangkapan, nelayan dengan modal besar membuat perahu dengan ukuran lebih
besar, sehingga daya jelajahnya lebih jauh dan daya tampungnya lebih besar.
Diversifikasi mata pencaharian juga merupakan salah satu bentuk strategi coping
ekonomi yang dilakukan masyarakat. Pola musim yang tidak jelas dan seringnya
terjadi gelombang pasang mengakibatkan pendapatan nelayan menurun. Untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari, masyarakat mencari alternatif sumber
pendapatan lain, diantaranya adalah menjadi buruh bangunan di kota, mencari
batu karang untuk bahan bangunan, mencari pasir, membuat perahu, bertani
dan berternak, usaha tambak, membuat arang, mencari kayu bakar, dan
meningkatkan usaha pertanian rumput laut. Selain dominasi laki-laki sebagai
kepala rumah tangga, salah satu strategi coping ekonomi yang ditempuh oleh
rumah tangga nelayan adalah melibatkan para istri untuk ikut mencari nafkah.
Peran serta istri nelayan dalam usaha meningkatkan pendapatan rumah tangga
dilakukan dengan cara mendirikan warung yang menjual kebutuhan rumah
tangga dan pelibatan istri dalam usaha pertanian rumput laut.
Strategi coping yang bersifat structural lebih menekankan pada usaha
yang bersifat fisik dan pengaplikasian teknologi yang ditujukan untuk mengurangi
kerugian akibat dampak perubahan iklim. Beberapa strategi coping yang bersifat
struktural yang dilakukan masyarakat diantaranya adalah : (a) Membangun
tanggul dari beton yang bertujuan untuk melindungi pemukiman dan tambak
dari hempasan ombak dan bahaya abrasi; (b) Memperkokoh struktur bangunan
rumah dengan menggunakan beton dan membatasi bagian bangunan yang
berbatasan dengan laut lepas dengan menggunakan beton; (c) Membangun
fasilitas air bersih untuk mengantisipasi kekurangan air bersih di musim kemarau;
(d) Merehabilitasi area tambak yang sudah tidak produktif dengan melakukan
penanaman mangrove yang dilakukan baik secara individu maupun
berkelompok. Strategi coping yang bersifat structural lebih menekankan pada
usaha yang bersifat kelompok, dan dengan bantuan dari pihak lain, baik dari
pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. Beberapa contoh bantuan dari
pemerintah adalah fasilitas air bersih, pembuatan tanggul dan rehabilitasi
kawasan bakau, sementara bantuan dari lembaga non-pemerintah diantaranya
adalah rehabilitasi kawasan tambak yang tidak produktif dengan mangrove dan
pendampingan dalam pembentukan kelompok-kelompok masyarakat.
Strategi coping yang bersifat sosial dilakukan masyarakat nelayan dalam
berbagai bentuk diantaranya adalah membentuk kelompok/lembaga,
mengadakan pertemuan rutin antar nelayan dan melakukan kerjasama dengan
lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat
pesisir. Pembentukan lembaga atau kelompok masyarakat yang diprakarsai oleh
294

Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA
TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

ISBN: 978-602-361-044-0

organisasi non pemerintah contohnya adalah kelompok Setia Kawan yang
beranggotakan ibu-ibu rumah tangga nelayan di Desa Tompotana. Kelompok ini
bergerak dalam bidang peningkatan pengelolaan usaha rumput laut. Selain itu
juga terdapat kelompok Women Group di Desa Balandatu yang bergerak dalam
bidang peningkatan pendapatan rumah tangga dengan membuat persemaian,
membuat keripik dan makanan berbahan dasar mangrove dan kegiatan
penanaman bakau. Kelompok Surya Sejati dibentuk oleh masyarakat di Desa
Maccini Baji yang bergerak dalam bidang peningkatan produksi hasil pertanian.
Disamping kelompok-kelompok tersebut, juga terdapat kelompok lain yang
bergerak dalam bidang peningkatan hasil pertanian rumput laut dan kelompok
pelestari mangrove.
Strategi kultural yang diterapkan masyarakat Pulau Tanakeke dalam
menghadapi perubahan iklim dilakukan dengan menetapkan area perlindungan
untuk pelestarian ekosistem mangrove. Sudah menjadi kesepakatan warga yang
tidak tertulis bahwa kepemilikan mangrove di pulau ini merupakan milik pribadi
yang diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun. Nilai jual
tegakan mangrove yang tinggi hingga mencapai 30 juta/ha inilah yang membuat
sebagian besar warga tergiur untuk menjual mangrove untuk dijadikan bahan
baku arang. Untuk menghindari kerusakan mangrove yang lebih luas, upaya
pelestarian ekosistem mangrove dilakukan oleh masyarakat dengan menetapkan
kawasan mangrove Bangko Tapampang sebagai kawasan pelestarian
mangrove. Kawasan Bangko Tapampang merupakan satu-satunya kawasan
mangrove di Pulau Tanakeke yang tidak dimiliki perseorangan. Bangko
Tapampang yang berarti bakau melintang ini mempunyai luas sekitar 50,5 ha,
yang terletak melintang diantara dua desa, yaitu Desa Tompotana dan Desa
Rewataya. Untuk lebih menguatkan kesepakatan tersebut, dibuatlah peraturan
desa (perdes) yang telah disepakati oleh lima desa yang ada di Pulau Tanakeke,
yaitu Desa Maccini Baji, Desa Tompotana, Desa Balandatu, Desa Rewataya dan
Desa Mattiro Baji. Dalam perdes ini disebutkan bahwa kawasan Bangko
Tapampang terbagi menjadi tiga zona, yaitu zona inti, zona penyangga dan zona
rehabilitasi. Zona inti yang luasnya mencapai sekitar 40,5 ha diperuntukkan bagi
kawasan yang vegetasinya masih dalam kategori baik, yang ditetapkan sebagai
daerah perlindungan dan dilarang melakukan aktivitas penebangan. Zona
penyangga dengan luasan sekitar 5 ha, ditetapkan sebagai kawasan yang
dimanfaatkan masyarakat secara terbatas. Zona rehabilitasi dengan luasan
sekitar 5 ha ditetapkan sebagai kawasan yang difokuskan untuk perbaikan karena
telah mengalami kerusakan. Selain menetapkan Bangko Tapampang sebagai
kawasan perlindungan ekosistem mangrove, perdes ini juga mengatur tata cara
penebangan mangrove yang dimiliki pribadi. Dalam peraturan tersebut
disebutkan, setiap penebangan mangrove dengan luasan 4 m 2 diwajibkan untuk
menyisakan satu pohon induk dengan tujuan agar regenerasi mangrove tetap
dapat berlangsung. Dengan adanya kesepakatan warga yang dikuatkan dengan
perdes mengenai pengelolaan mangrove di Pulau Tanakeke, perilaku masyarakat
yang dulunya menebang mangrove secara sembarangan kini menjadi berkurang.
295

Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA
TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

ISBN: 978-602-361-044-0

Warga masyarakat juga mulai sadar perlunya pengelolaan mangrove yang baik
demi menunjang kehidupannya.
Dampak Strategi Coping Masyarakat Pada Ekosistem Pesisir
Strategi coping masyarakat pesisir dalam menghadapi dampak perubahan
iklim berpengaruh baik positif maupun negatif terhadap ekosistem pesisir. Usaha
penanaman mangrove dalam rangka meredam bajir ROB dan abrasi yang
dilakukan masyrakat, baik yang dilakukan secara swadaya atau dengan dukungan
pihak luar, berpengaruh positif bagi ekosistem pesisir. Diversifikasi mata
pencaharian nelayan, terutama ketika dalam musim angin dan gelombang
pasang, beberapa diantaranya dapat mengancam kelestarian ekosistem pesisir.
Beberapa bentuk strategi coping yang dapat mengancam kelestarian ekosistem
pesisir diantaranya adalah penambangan batu karang dan pasir laut untuk bahan
bangunan yang dapat memicu abrasi dan penebangan vegetasi mangrove untuk
kayu bakar, bahan baku arang, tiang pancang rumput laut dan untuk pembuatan
paropo (teknik tradisional menangkap ikan).
Sebagian masyarakat di Desa Balandatu dan Desa Rewataya melakukan
aktivitas penambangan batu karang untuk memenuhi permintaan bahan
bangunan. Aktivitas penambangan ini dilakukan masyarakat sebagai pekerjaan
sampingan dikala penghasilan sebagai nelayan kurang mencukupi kebutuhan
keluarga. Aktifitas penambangan pasir untuk dimanfaatkan sebagai bahan
bangunan juga dilakukan masyarakat nelayan di Desa Maccini Baji. Kebutuhan
masyarakat yang semakin meningkat terhadap kedua jenis bahan bangunan
tersebut membuat kegiatan penambangan semakin meningkat. Hal tersebut jika
dibiarkan secara terus menerus akan berdampak pada semakin menurunnya
kualitas ekosistem pesisir di Pulau Tanakeke. Kegiatan penambangan tersebut
dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang yang dapat mempengaruhi
populasi ikan dan kemudian mempengaruhi aktivitas melaut para nelayan
(Satria, 2009).
Salah satu strategi coping yang dilakukan masyarakat menghadapi
perubahan iklim adalah memanfaatkan ekosistem mangrove, baik secara
langsung maupun tidak langsung, untuk menambah penghasilan. Beberapa
kelompok masyarakat yang tinggal di Desa Tompotana sangat intensif melakukan
penebangan mangrove untuk digunakan bahan baku arang. Kondisi ini dapat
menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem mangrove yang sangat bermanfaat
menjadi keseimbangan ekologi ekosistem pulau. Sebagain besar masyarakat
petani rumput laut di Pulau Tanakeke juga memanfaatkan kayu mangrove untuk
tiang pancang. Kebutuhan tiang pancang ini sangat besar karena hampir lima
bukan sekali selalu diganti. Walaupun sudah ada peraturan desa mengenai
pengelolaan mangrove, tapi karena ketergantungan masyarakat pada kayu
mangrove sangat tinggi, sehingga beberapa masyarakat masih melakukan
penebangan secara serampangan.
Kondisi sebagian besar nelayan di Pulau Tanekeke yang sebagian besar
merupakan nelayan kecil membuat berbagai macam cara dilakukan agar dapat
bertahan menghadapi dampak perubahan iklim. Berbagai bentuk strategi coping
296

Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA
TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

ISBN: 978-602-361-044-0

yang harus dilakukan rumah tangga nelayan untuk menjaga kelangsungan
hidupnya ditengah ketidakpastian sumberdaya perikanan. Sebagian nelayan
melakukan strategi coping yang malah berdampak negatif terhadap kelestarian
ekosistem pesisir. Hal tersebut terpaksa dilakukan agar kehidupan perekonomian
rumah tangga dapat terus berjalan. Oleh karena itu, peran serta dari berbagai
pihak baik pemerintah maupun non pemerintah dalam penguatan kapasitas
masyarakat nelayan sudah sangat dibutuhkan agar mereka dapat bertahan
menghadapi perubahan lingkungan yang terjadi sebagai dampak perubahan iklim
tanpa merusak sumberdaya yang ada di Pulau Tanakeke.
KESIMPULAN
Terjadinya perubahan iklim berdampak pada perubahan ekologis
ekosistem pesisir di Pulau Tanekeke. Perubahan yang dirasakan nelayan
diantaranya adalah semakin seringnya terjadi gelombang pasang dan angin
kencang, semakin berkurangnya hasil tangkapan ikan, daerah tangkapan ikan
yang berubah-ubah, berubahnya musim tangkap, semakin berkurangnya sumber
air bersih, semakin seringnya banjir ROB yang melanda pemukiman dan
terjadinya abrasi di area pemukiman dan tambak. Masyarakat nelayan di Pulau
Tanakeke melakukan berbagai bentuk strategi coping dalam merespon
perubahan ekologis. Beberapa bentuk strategi coping yang dilakukan masyarakat
Pulau Tanakeke adalah strategi coping ekonomi, struktural, sosial dan kultural.
Strategi coping ekonomi dilakukan dengan memperbanyak alternatif sumber
pendapatan, menerapkan berbagai teknik penangkapan ikan dan meningkatkan
kerjasama sosial ekonomi. Strategi coping struktural dilakukan dengan membuat
tanggul pelindung dan penanaman mangrove guna mencegah banjir rob akibat
gelombang pasang. Strategi coping yang bersifat sosial dilakukan dengan
membentuk kelompok-kelompok masyarakat, dan strategi coping kultural
dilakukan dengan menjaga hutan mangrove kawasan Bangko Tapampang
dengan aturan adat. Beberapa pilihan strategi coping masyarakat dalam
menghadapi perubahan iklim menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan
ekosistem pesisir, diantaranya adalah kerusakan terumbu karang dan ekosistem
mangrove.
PENGHARGAAN (Acknowledgement)
Penulis menyampaikan terimakasih kepada Balai Penelitian Kehutanan
Makassar yang telah mendukung dalam pendanaan kegiatan penelitian ini.
Terimakasih kami sampaikan kepada segenap responden dan tokoh masyarakat
di Pulau Tanakeke. Tidak lupa, penulis sampaikan terimakasih kepada Rini
Purwanti, S. Hut, M.Sc, Mursidin, S. Hut dan Arman Hermawan yang telah
menemani dalam pengambilan data di lapangan.

297

Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA
TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

ISBN: 978-602-361-044-0

REFERENSI
Berman, R. Quinn, C.H. Paavola, J. Identifying drivers of household coping
strategies to multiple climatic hazards in Western Uganda: implications
for adapting to future climate change. Centre for Climate Change
Economics and Policy and Sustainability Research Institute
Bogdan, R. Biklen, S. 1992. Qualitative Research for Education. Boston, MA. Allyn
and Bacon.
Cruz, R.V. H. Harasawa, M. Lal, S. Wu, Y. Anokhin, B. Punsalmaa, Y. Honda, M.
Jafari, C. Li and N. Huu Ninh. 2007. Asia climate change 2007: Impacts,
adaptation and vulnerability. Contribution of working group II to the
fourth assessment report of the intergovernmental panel on climate
change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and
C.E. Hanson, Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK, 469-506.
Diposaptono, S. Budiman. Firdaus, A. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sarana Komunikasi Utama. Bogor.
Ellis, F. 1998. Household strategies and rural livelihood diversification. Journal of
Development Studies, 35(1), pp.1-38.
FAO. 2015. Coping with climate change the roles of genetic resources for food
and agriculture. Rome.
Gernowo, R.Yulianto, T. 2010. Fenomena perubahan iklim dan karakteristik curah
hujan ekstrim di DKI Jakarta. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng
& DIY, tanggal 10 April 2010. Semarang. Hlm. 13-18.
IPCC. 2001 Climate change 2001: impacts, adaptation, and Vulnerability.
Cambridge University Press, New York.
IPCC. 2007. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability.
Working Group II Contribution to the 4 th Assessment Report. Cambridge
Univ. Press, Cambridge, UK.
IPCC. 2014. Climate Change 2014: Mitigation of Climate Change. Contribution of
Working Group III to the Fifth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change [Edenhofer, O., R. PichsMadruga, Y. Sokona, E. Farahani, S. Kadner, K. Seyboth, A. Adler, I.
Baum, S. Brunner, P. Eickemeier, B. Kriemann, J. Savolainen, S.
Schlömer, C. von Stechow, T. Zwickel and J.C. Minx (eds.)]. Cambridge
University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
Moediarta, R. Stalker, P. 2007. Sisi lain perubahan iklim : Mengapa Indonesia
harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya. United Nations
Development Programme Indonesia.
Rahmasari,L. 2011. Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Pesisir.
Jurnal Sains dan Teknologi Maritim X (1) : 1-11
Satria, A. 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. IPB Press. Bogor.
Sitorus, FMT. 1998. Penelitian Kualitatif: suatu perkenalan. Bogor: Kelompok
Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor.
Subair. 2013. Adaptasi perubahan iklim dan resiliensi komunitas desa nelayan:
Studi kasus di kawasan pesisir utara Pulau Ambon, Maluku. Disertasi.
Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan).
298