1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Keluarga adalah lingkungan tempat melakukan aktivitas dan interaksi dalam kehidupan. Keluarga merupakan tempat belajar, berinteraksi, dan bersosialisasi
sebelum individu berhubungan dengan lingkungan sekitarnya, selain itu keluarga memiliki peran dan fungsi untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya baik
kesehatan jasmani, rohani, maupun sosial, sehingga keluarga menjadi unsur penting dalam perawatan atau pemulihan pasien dengan gangguan jiwa atau dengan
gangguan kesehatan lainnya Samuel, 2012. Menurut Friedman, 2008 juga dijelaskan bahwa salah satu fungsi dan peran keluarga yaitu, keluarga sebagai
perawat kesehatan, dimana keluarga berfungsi untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan seperti gangguan jiwa dan gangguan kesehatan yang lainnya, sehingga
keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah tersebut. Menurut penelitian Cutting Docherty, 2005 di Inggris dan Amerika,
orang dengan gangguan jiwa yang memiliki keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi seperti bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan, dan
menyalahkan, cenderung menunjukkan penyesuaian diri yang lebih buruk dan memiliki rata-rata kekambuhan yang tinggi setelah keluar dari Rumah Sakit,
dibandingkan dengan mereka yang memiliki keluarga yang lebih mendukung. Selain faktor emosi ada faktor lain yang berpengaruh yaitu perubahan stress, baik yang
menyenangkan maupun yang menyedihkan Jeanny, 2013. Pada pasien dengan
gangguan jiwa yang kronis menyebabkan kekambuhan 50 pada tahun pertama, dan 70 pada tahun ke dua Yosep, 2007.
Kekambuhan pada pasien dengan gangguan jiwa juga bisa disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu pasien tidak rutin minum obat dan tidak rutin kontol
ke dokter, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya peran keluarga dalam melibatkan pasien dalam segala hal kegiatan, serta adanya
beban kehidupan yang sangat berat sehingga menyebabkan stress Widodo, 2006. Kecilnya prosentase kekambuhan pada pasien gangguan jiwa juga dapat
ditingkatkan melalui program intervensi keluarga, dimana keluarga sangat berperan penting dalam menentukan caraasuhan keperawatan yang diperlukan pasien
dirumah, sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan taraf hidup serta akan dapat mengurangi kekambuhan pada pasien gangguan jiwa Setiawati Citra,
2008. Peranan keluarga terjadi dalam semua tahap siklus kehidupan. Sehingga dengan adanya peranan keluarga, keluarga mampu berfungsi dengan berbagai
kepandaian dan akal untuk meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga dalam kehidupan Fridman, 2010, dengan demikian peranan keluarga berkaitan dengan
kekambuhan gangguan jiwa tidak dapat diabaikan dalam penataksanaanya. Gangguan mental atau kejiwaan di Indonesia terdapat bermacam-macam
bentuknya, salah satunya yaitu gangguan jiwa skizofrenia. Skizofrenia merupakan sindrom klinik, termasuk gangguan psikotik yang sering dijumpai, dan merupakan
masalah kesehatan jiwa masyarakat yang utama, dan memiliki dampak yang signifikan tidak hanya pada pasien yang mengalami gangguan, namun juga berdapak
pada keluarga Alejandra, 2015. Skizofrenia menduduki peringkat 4 dari 10 penyakit terbesar yang membebankan diseluruh dunia. Biaya yang dikeluarkan
untuk perawatan yang diberikan keluarga dan terkait kejahatan akibat skizofrenia sebesar 33 miliar dolar setiap tahunnya di Amerika Serikat Stuat, 2007 dalam Inu
Wicaksana. 2008. Yosep 2009 memaparkan bahwa angka penderita skizofrenia di Amerika
Serikat AS cukup tinggi life time prevalence rates mencapai 1100 penduduk. Setiap tahun terdapat 300.000 pasien skizofrenia yang mengalami episode akut, 20-50
pasien skizofrenia melakukan percobaan bunuh diri dan 10 diantranya berhasil melakukan bunuh diri, sehingga angka kematian pasien skizofrenia mencapai 8 kali
lebih tinggi dari angka kematian penduduk pada umumnya. Dalam The American Diary, disebutkan bahwa dalam studi naturalistik telah menemukan prevalensi
kekambuhan pada pasien skizofrenia berkisar 70-82 hingga 5 tahun setelah pasien masuk rumah sakit, didapat juga dari 93 pasien skizofrenia masing-masing
memiliki potensi relaps sebesar 21, 33, dan 40 pada tahun pertama, kedua, dan ketiga.
Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik BPS jumlah penduduk Negara Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 237.556.363 jiwa. Sedangkan prevalensi
penderita skizofrenia di Indonesia mencapai 0,3 – 1 , maka diperkirakan sekitar
2.375.564 orang menderita skizofrenia dan insiden kekambuhan yang dialami pasien skizofrenia merupakan insiden yang tinggi, yaitu berkisar 60-75 setelah episode
psikotik yang tidak diberikan terapi. Skizofrenia biasanya muncul pada usia sekitar 18-45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11-12 tahun sudah menderita
skizofrenia Riskesdas, 2013. Tingginya prevalensi kekambuhan pada penderita skizofrenia perlu
dilakukan berbagai macam penyuluhan dan sosialisasi mengingat bahwa penyakit
ini masih kurang populer dikalangan masyarakat awam, dan sampai saat ini masih belum juga ditemukan terapi yang manjur untuk menyembuhkannya. Terapi
psikososial dan Terapi Aktivitas Kelompok TAK diberikan agar pasien skizofrenia mampu beradaptasi kembali di lingkungan sekitarnya, mampu merawat diri, dan
tidak bergantung dengan orang lain, sehingga dapat mengurangi angka kekambuhan pada pasien skizofrenia Hawari, 2007.
Skizofrenia bila terlambat untuk diobati akan semakin memburuk bahkan berlangsung terus seumur hidup, dan dapat pula mempengaruhi kinerja seseorang
dan kesempatan kerja. Di Indonesia pasien dengan skizofrenia masih kurang mendapat perhatian. Apalagi dalam krisis ekonomi, keadaan mereka semakin tidak
mendapat perhatian dari banyak pihak, pada kenyataanya dalam kehidupan sehari- hari tingkat stress semakin tinggi Yosep, 2010. Selain itu pasien skizofrenia juga
membutuhkan peranan keluarga yang menyeluruh sehingga mampu memberikan perawatan secara optimal. Tetapi keluarga sebagai sistem pendukung utama sering
mengalami beban yang tidak ringan dalam memberikan perawatan dirumah sakit maupun setelah kembali ke rumah. Beban tersebut yaitu beban finansial dalam
biaya perawatan, beban mental dalam menghadapi pasien, dan beban sosial terutama menghadapi stigma dari masyarakat tentang anggota keluarganya yang
mengalami gangguan jiwa. Dampak dari beban yang dirasakan keluarga akan mempengaruhi kemampuan keluarga dalam merawat pasien. Jika keluarga terbebani
maka kemungkinan besar keluarga tidak akan mampu merawat pasien dengan baik Suryaningrum, S. Ice Y.W., 2013. Beban merupakan prediktor paling kuat dari
tekanan psikologis dalam pemberi perawatan. Namun, peran keluarga bergantung pada kemauan, kesiapan dan kemampuan koping pemberi perawatan yang mungkin
tidak memiliki pengetahuan dan sumber daya yang cukup. Hal ini sebaliknya dapat meningkatkan stress para pemberi perawatan, lebih jauh menyebabkan mereka
mengatasi kesembuhan pasien dengan cara yang negatif Urizar, 2009 dalam Tan S, 2012.
Berdasarkan data sensus penduduk kota malang pada tahun 2010 sebanyak kurang lebih 15 dari 820.243 penduduk yang mengalami gangguan jiwa, selain itu
di RSJ Lawang tercatat setiap harinya terdapat kurang lebih 20 pasien yang masuk untuk rawat inap, dan yang malakukan rawat jalan sebanyak kurang lebih 100 pasien
per hari. Adapun data yang diperoleh peneliti diwilayah kerja Puskesmas Bareng Kab. Malang yang terdiri dari empat kelurahan Kelurahan Bareng, Kelurahan
Sukoharjo, Kelurahan Gading, Kelurahan Kasin pada tahun 2015 terdapat 45 pasien yang mengalami gangguan jiwa, 9 pasien gangguan jiwa skizofrenia yang di
rujuk ke RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, 15 pasien skizofrenia yang diobati dan masih rutin berobat di Puskesmas Bareng, dan 21 pasien dengan
gangguan jiwa lainnya. Berdasarkan data observasi dan wawancara yang dilakukan di Puskesmas Bareng pada beberapa responden diantaranya 5 dari anggota keluarga
mengatakan bahwa apapun yang dilakukan oleh pasien itu semaunya pasien dan keluarga tidak memperdulikan dan mengawasi apapun yang dilakukan oleh pasien, 6
dari anggota keluarga mengatakan kebanyakan kekambuhan yang dialami pasien itu dikarenakan pasien lupa dalam minum obat dan terkadang keluarga lupa untuk
mengingatkan, ada juga yang seharusnya obatnya diminum 3x sehari, tapi pasien minum obat hanya 1 atau 2 kali sehari. Prosentase kekambuhan menurut data yang
didapatkan melalu wawancara dengan keluarga pasien, kekambuhan yang dialami
oleh pasien biasanya sebanyak 2 kali dalam 1 bulan, ada juga yang beberapa bulan tidak kambuh, ada juga yang 1 tahun tidak kambuh, namun kemudian kambuh lagi.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk me neliti “ Hubungan
Peranan Keluarga Terhadap Munculnya Tanda-tanda Kekambuhan pada Pasien Skizofrenia ”.
1.2 Rumusan Masalah