Masukan Untuk Naskah Akademik dan RUU Pe

HASIL RUMUSAN FOCUSED GROUP DISCUSSION (FGD)
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN AGRARIA
PUSAT STUDI HUKUM KONSTITUSI (PSHK) FAKULTAS HUKUM HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
BEKERJASAMA DENGAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) REPUBLIK INDONESIA
Senin, 12 Mei 2014

1. Konsideran dalam RUU Pengadilan Agraria perlu diberikan reasoning yang logisyuridis mengapa harus ada atau hadir sebuah peradilan baru yang diberi nama
Pengadilan Agraria. Kemudian juga perlu dieksplorasikan dasar yuridis (UU)
yang terkait dengan urgensi adanya Pengadilan Agraria. Oleh karena itu, dalam
RUU Pengadilan Agraria ini penting untuk dijelaskan dan ditegaskan reasoning
mengapa harus ada pengadilan khusus. Sebagai perbandingan, maka bisa
melihat ketentuan dalam Undang-undang tentang Tindak Pidana Korupsi yang
memberikan alasan kuat dan keharusan lahirnya Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi,
2. Pembentukan Pengadilan Agaria sangat mendesak karena banyaknya sengketa
agraria yang tidak dapat diselesaikan secara komprehensip dan holistik oleh
lembaga pengadilan yang ada saat ini. Putusan-putusan hakim tidak mampu
menyelesaiakan persoalan yang sesungguhnya (fenomena yang muncul
dipermukaan). Walaupun bisa dikatakan mampu, akan tetapi putusannya tidak

mampu menyentuh pada pokok persoalan atau belum mampu memadamkan
sumber konflik itu sendriri. Namun demikian perlu dikaji lebih mendalam tentang
kompetensi Pengadilan Agraria ini jangan sampai tumpang tindih dengan
Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
3. Tujuan pembentukan Pengadilan Agraria adalah untuk mengingatkan dan
meluruskan cita-cita untuk kembali kepada konstitusi, terutama perlindungan dan
jaminan keadilan bagi rakyat kecil. Selain itu, hadirnya Pengadilan Agraria
diharapkan mampu menjalankan fungsi sebagai Pengadilan Khusus meluruskan

kembali

pengabaian

dan

pembangkangan

terhadap

konstitusi


serta

mengembalikan ruh undang-undang agraria yang selama ini terabaikan.
4. Meskipun RUU Pengadilan Agraria sebelumnya telah dilakukan penelitian baik
yuridis-normatif maupun empirik-sosiologis yang kemudian menjadi naskah
akademik (NA), namun dalam NA belum diketemukan hubungan simetris yang
menujukan solusi persoalan. Oleh karena itu, seharusnya dalam NA dilengkapi
dengan

suatu

matrik

yang

memperlihatkan

hubungan


antara

asas,

permasalahan, solusi dan rumusan pasal maupun ayatnya sehingga tampak
sebagai satu kesatuan yang utuh dan memudahkan orang lain untuk
memahaminya.
5. Asas-asas yang dianut atau dimasukan ke dalam RUU Pengadilan Agraria harus
dijabarkan dalam norma-norma pasal agar memiliki kekuatan hukum yang
mengikat. Selain itu, apabila pengadilan agraria ini dikategorikan sebagai
pengadilan khusus, maka asas yang digunakan perlu melihat juga pada asas
yang berlaku di pengadilan umum sehingga dapat menjamin tercapainya prinsip
keadilan dalam proses peradilan.
6. RUU PA masih mencampuradukkan antara kebenaran materiil dan kebenaran
formil. Jika dilihat dari perkara yang akan ditangani oleh Pengadilan PA ini yang
berbasis pada perkara perdata, maka kebenaran yang dibuktikan seharusnya
adalah kebenaran formil. Oleh karena itu, perlu ada kajian dan argumentasi yang
kuat dalam naskah akademik mengenai kebenaran materiil yang diinginkan.
Selain itu juga perlu ada sinkronisasi antara kebenaran yang akan dicapai
dengan alat-alat bukti yang bisa dijadikan bukti di pengadilan agraria karena alat

bukti untuk kebenaran materiil berbeda dengan alat bukti untuk kebenaran formil.
7. Perlu ada sinkronisasi antara asas dan pasal dalam RUU pengadilan Agraria
dengan tujuan untuk menghindari conflict of law dan terjadinya pertentangan
antara asas dan regulasi yang tercantum dalam pasal-pasal RUU PA tersebut.
Hal ini mengingat dalam RUU Pengadilan Agraria masih terdapat kontradiksi
antara asas dan pasal. Misalnya dalam asas RUU tersebut mengdepankan

kebenaran materiil tetapi dalam pasal berupa alat bukti yang dikedepankan
adalah alat bukti yang lebih kepada kebenaran formil.
8. Perlu dijelaskan kedudukan Pengadilan PA ini apakah akan bersifat mandiri atau
menginduk pada pengadilan umum. Apabila ditempatkan sebagai peradilan
khusus, maka perlu diuraiakan letak kekhususannya. Selain itu perlu diuraikan
kekurangan serta kelebihannya jika bersifat mandiri (khusus) dibandingkan jika
menginduk pada pengadilan umum sehingga kekhawatiran bahwa kehadiran
pengadilan agraria ini hanya akan menambah semrawutnya pengaturan lembaga
peradilan di indonesia yang sudah sangat banyak jumlahnya.
9. Perlu ada penggantian nama dari Pengadilan Agraria menjadi Pengadilan
Penyelesaian Perselisihan Agraria karena di dalam RUU ini mengatur juga
rekonsiliasi dan mediasi yang notabene kedua hal ini (rekonsiliasi dan mediasi)
adalah proses penyelesaian di luar pengadilan (non litigasi).

10. Berkaitan dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria, maka perlu
dilakukan kajian terlebih dahulu mengingat saat ini lembaga yang mengurusi
tanah (agraria) hanyalah Badan Pertahanan Nasional (BPN). Oleh karenanya
apabila materi RUU ini tetap dipertahankan, maka perlu ada usulan terlebih dulu
untuk meleburkan BPN sebagai kementerian.
11. Untuk menjamin tercapainya asas peradilan cepat, maka sebaiknya hanya ada 2
(dua) tingkat pengadilan yakni tingkat pertama dan tingkat kasasi. Untuk itu,
perlu untuk mempertimbangkan penghapusan penyelesaian perkara di tingkat
banding. Kemudian perlu diperhatikan kewenangan Pengadilan Agraria yang
sampai memutus pada tingkat kasasi, padahal kewenangan kasasi sejauh ini
dimiliki oleh Mahkamah Agung (MA).
12. RUU Pengadilan Agraria mencantumkan perlunya hakim ad hoc. Untuk itu perlu
dipertimbangkan komposisi ideal antara hakim karier dan hakim ad hoc dengan
melihat kompleksitas permasalahan yang hendak diselesaikan oleh Pengadilan
Agraria. Selain itu, RUU perlu mengatur pula mekanisme rekrutmen hakim ad
hoc di tingkat kasasi.

13. RUU Pengadilan Agraria mengatur pula masalah pertambangan dan kehutanan.
Untuk itu, perlu dilakukan upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan
terutama yang berkaitan dengan dua hal dimaksud. Dengan demikian, apabila

materi muatan yang diatur dalam RUU ini tetap dipertahankan, maka perlu
harmonisasi dan sinkronisasi terhadap UU terkait untuk menghindari terjadinya
tumpang tindih aturan.
14. Adanya ketentuan tentang penguasaan fisik tanah sebagai salah satu alat bukti
perlu direnungkan dan diberikan batasan-batasan yang ketat agar tidak
menimbulkan persoalan atau manipulasi dalam prakteknya terutama oleh
korporasi dan institusi Negara yang memiliki power/kekuatan dibandingkan
masyarakat
15. Perlu diatur berperkara secara gratis terutama bagi masyarakat yang tidak
mampu. Artinya seluruh biaya pengadilan nantinya akan dibebankan pada
negara namun

dengan syarat-syarat tertentu. Kemudian, apabila RUU ini

menghendaki semua proses berperkara di Pengadilan Agraria dapat dilakukan
secara gratis, maka sebagai bahan kajiannya bisa melihat proses berperkara di
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai role model.
16. Perlu dipertegas tentang mekanisme implementasi putusan PA ini agar jangan
sampai putusan hakim menjadi mubadzir karena tidak dapat dilakukan eksekusi.
Hal ini mengingat dalam RUU Pengadilan Agraria masih terdapat celah yang

berpotensi menghambat proses eksekusi apabila yang bersengketa adalah pihak
pemerintah. Hal demikian perlu diantisipasi agar pelaksanaan putusan dapat
berjalan efektif dan adil.
17. Berkenaan dengan pasal-pasal yang mencantumkan alokasi waktu dalam proses
berperkara di Pengadilan Agraria, maka perlu dilakukan pengkajian yang
mendalam dan dibarengi dengan argumentasi hukum yang kuat dalam
pemberian waktu tersebut, sehingga ketika diimplementasikan bisa memberikan
rasa adil.
18. Pada ketentuan peralihan dinyatakan bahwa undang-undang akan berlaku 1
(satu) tahun sejak diundangkan. Berdasarkan pertimbangan teknis, masa

peralihan dimaksud perlu dipertimbangkan untuk dikaji ulang. Sebagai usulan,
maka waktu yang bisa dikatakan ideal + 3 tahun untuk implemntasi UU
Pengadilan Agraria setelah diundangkan.
19. Sistematika RUU perlu ada perbaikan terutama pada pembahasan mengenai
penanganan perkara yang dicampurkan dengan pengangkatan hakim. Diusulkan
perlunya pemisahan bab antara penanganan perkara dengan pengangkatan
hakim. Selain itu, pada sistematika norma yang membahas mengenai
pengangkatan hakim juga perlu disusun secara berurutan yang dimulai dengan
pengangkatan kemudian disusul dengan pengawasan dan diakhiri dengan

pengawasan.

Yogyakarta, 12 Mei 2014
Perumus

Ali Ridho