Naskah akademik perencanaan pembangunan di

Wilayah Indonesia memiliki luas total 5.193.250 km 2 yang terdiri dari daratan sebesar
1.919.440 km2 dan luas laut sekitar 3.273.810 km 2. Selain itu, Indonesia memiliki wilayah
teritori yang diakui secara internasional yaitu zona ekonomi eksklusif. Yang berdasarkan
undang undang internasional, batas itu sejauh 200 mil dari bibir pantai wilayah indonesia.
Dan Indonesia berdaulat atas semua sumber daya alam yang berada di seluruh wilayahnya.
Indonesia memiliki 13.466 pulau yang telah terdaftar di PBB. Namun, jumlah tersebut
belum mencakup semua pulau yang ada di Indonesia dikarenakan masih ada sekitar 4000
pulau yang belum terdaftar. Menurut kementrian dalam negeri indonesia, secara
administrasi terdiri dari 34 provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 7.094 kecamatan, 8.412
kelurahan, 74.093 desa.
Tiap wilayah tersebut memiliki karakteristik yang berbeda beda. Mulai dari letak
geografis hingga sosial, ekonomi, dan kependudukan yang berbeda beda. Analisis dari tiap
karakteristik tersebut yang nantinya akan dijadikan landasan dalam menentukan arah
kebijakan perencanaan pembangunan di tiap tiap wilayah.
Pemerintah sendiri sudah membuat program program pembangunan berbasis
wilayah seperti MP3I. Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembanunan Ekonomi
Indonesia adalah program andalan pemerintah saat ini yang digadang gadang dapat
mengantarkan Indonesia menjadi Negara 10 besar kekuatan dunia di tahun 2025 nanti.
Master plan tersebut merupakan pembangunan berdasarkan potensi yang membagi
Indonesia menjadi 6 koridor. Pertama, koridor sumatera sebagai sentra produksi dan
pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional. Koridor Kalimantan sebagai pusat

produksi dan pengolahan hasil tambang dan sebagai lumbung energy nasional. Lalu, koridor
jawa sebagai pendorong industry dan jasa nasional. Koridor Bali –Nusa Tenggara sebagai
pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional. Koridor Sulawesi sebagai pusat
produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan, serta pertambangan
nikel nasional. Dan koridor papua – kep. Maluku sebagai pusat pengembangan pangan,
perikanan, dan energy, serta pertambangan nasional. Keenam koridor tersebut dianggap
mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi hingga 7% setiap tahunnya.
Setelah beberapa tahun berjalan, program MP3EI belum berjalan dengan optimal
sesuai target. Hambatan dalam pembangunan infrastruktur menjadi sorotan dalam evaluasi
pelaksanaan Masterplan Pembangunan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia
(MP3EI). Di samping itu, belum meratanya pembangunan kawasan industri menambah
kesenjangan perekonomian antar wilayah di Indonesia. Setidaknya ada dua kendala utama
dalam menjalankan pembangunan industri pada koridor MP3EI. Pertama adalah rasa
kepemilikan pemerintah daerah terhadap MP3EI. Kedua adalah masalah tata ruang di mana
pembangunan seringkali terhambat masalah pembebasan lahan.
Selain itu ada program Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang
merupakan upaya Pemerintah untuk meningkatkan kemampuan suatu wilayah dan

mengembangkan daya saing produk unggulan sesuai dengan kompetensi sumber daya lokal.
Pendekatan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) sebagai prime mover dalam

upaya percepatan pembangunan di wilayah propinisi, khususnya di Kawasan Timur
Indonesia. KAPET mempunyai 13 lokasi yaitu KAPET Bandar Aceh Darussalam (Pulau
Sumatera), KAPET Khatulistiwa (Pulau Kalimantan), KAPET Sasamba (Pulau Kalimantan),
KAPET Batulicin (Pulau Kalimantan), KAPET DAS Kakab (Pulau Kalimantan), KAPET ManadoBitung (Pulau Sulawesi), KAPET Palapas (Pulau Sulawesi), KAPET Bank Sejahtera Sultra (Pulau
Sulawesi), KAPET Parepare (Pulau Sulawesi), KAPET Bima (Pulau Nusa Tenggara), KAPET
Mbay (Pulau Nusa Tenggara), KAPET Seram (Kepulauan Maluku), KAPET Biak (Pulau Papua).
KAPET dilaksanakan dengan bertumpu pada prakarsa daerah dan masyarakat setempat
berdasarkan sumberdaya dan sektor unggulan yang dimiliki, keunggulan lokasi dalam
penetrasi pasar yang secara keseluruhan diharapkan dapat memberikan dampak
pertumbuhan pada daerah sekitarnya.
Setelah empat tahun dikembangkan, muncul berbagai argumentasi untuk mengkaji
ulang hasil yang telah diperoleh serta efektifitas pendekatan percepatan pembangunan
Kawasan Timur Indonesia melalui pola KAPET ini. Kebutuhan kaji ulang ini semakin terasa
ketika pemerintah harus menyusun prioritas secara ketat terhadap penggunaan anggaran.
Disisi lain, disadari bahwa penanganan KAPET tidak dapat lagi dilakukan secara seragam
tetapi harus lebih disesuaikan dengan karakteristik dan keunggulan masing-masing, karena
dalam kenyataannya, potensi sumberdaya alam, kelengkapan infrastruktur penunjang serta
kemampuan dalam penetrasi pasar sangat berbeda antara satu KAPET dengan KAPET yang
lain.