Kontribusi pemikiran pendidikan islam dalam pembentukan masyarakat madani

KONTRIBUSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
DALAM PEMBENTUKAN MASYARAKAT MADANI
Oleh Muhbib Abdul Wahab
Abstrak
Ada tiga kata kunci visi dan misi profetik Muhammad Saw: mendidik,
membentuk karakter (akhlak), dan menyayangi. Pengembangan pemikiran
pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dari ketiga kata tersebut, terutama dalam
membetuk masyarakat madani. Untuk mengantisipasi transformasi sosial menuju
"masyarakat madani", pendidikan Islam harus didisain dan direformulasikan untuk
menjawab perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pemikiran pendidikan Islam idealnya tidak sekedar berorientasi ―romantisme
historis‖ yang tidak kreatif, melainkan harus berpacu dalam merespon tuntutan
global yang sangat kompetitif. Pemikiran pendidikan Islam harus mampu memberi
―corak‖ (shibghah) integritas moral bagi para lulusannya. Karena dengan shibghah
inilah, fitrah manusia menjadi tetap terpelihara sekaligus menjadi benteng moral dan
pemacu semangat perubahan menuju kejayaan peradaban Islam di masa mendatang.
Dalam konteks ini, kontribusi pemikiran pendidikan Islam semestinya diapresiasi
dan diaktualisasikan sesuai dengan tuntutan zamannya, sehingga melahirkan generasi
masa depan yang memiliki kekuatan imtak dan keunggulan iptek dengan tradisi riset
yang maju dan produktif.


‫ملخص البحث‬
‫ثمة ثاث كلمات مفتاحية تمثل رؤية مستقبلية لل بي محمد صلى اه علي وسلم‬
‫ وتطوير الفكر التربوي اإسامي ا‬.‫ والرحمة‬،‫ وتكوين مكارم اأخاق‬،‫ التربية‬:‫ أا و ي‬، ‫ورسالت‬
‫ ورغبة في الت بأ بتحويل‬.‫ وفضا عن تكوين مجتمع مدني‬،‫يمكن فصل من ذ الكلمات الثاث‬
‫ فإن التربية اإسامية بحاجة إلى إعادة التصميم والصياغة لتلبية‬،‫اجتماعي نح و مجتمع مدني‬
.‫متطلبات العصر والتقدم العلمي والتك ولوجي‬
‫ومن المأمول أا يسير الفكر التربوي اإسامي على ااتجا الرومانتيكي التاريخي غير‬
.‫ ولك ا بد أن يكون متسابقا في تلبية متطلبات العصر الدولية الشديدة الت افس‬،‫اإبداعي‬
‫ومن المطلوب أن يقدم الفكر التربوي اإسامي صبغة خلقية للمتخرجين في الهيئات التربوية‬
‫ و ذ الصبغة إنما معقل اأخاق‬،‫ وبـهذ الصبغة أصبحت فطرة اإنسان محفوظة‬.‫اإسامية‬
‫ وفي ذا الصدد أصبح ضروريا‬.‫وم بع روح التغير نحو التقدم الحضاري اإسامي في المستقبل‬
‫ مما يم ّكن من‬،‫أن نق ّدر إسهامات الفكر التربوي اإسامي وسياقيتها وفقا لمتطلبات العصر‬
،‫ والمتفوقين في التقدم العلمي والتك ولوجي‬،‫إعداد أجيال المستقبل اأقوياء اإيمان والتقوى‬
.‫وذلك بإنماء عادات بحثية قوية متقدمة وم تجة‬
Kata Kunci: pemikiran pendidikan Islam, membentuk karakter, kekuatan imtak,
keunggulan iptek, dan masyarakat madani.


Penulis adalah Dosen dan Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, alamat e-mail: muhbib_123@yahoo.com.


Prolog
Islam merupakan satu-satunya agama yang ayat pertamanya mewajibkan umatnya
untuk membaca (belajar, meneliti, mengkaji, mengembangan ilmu).1 Karena itu, Islam juga
mengharuskan umatnya agar senantiasa memaksimalkan pendayagunaan akal (i’mâl al-aqli wa
al-fikr), sehingga melahirkan pemikiran yang kreatif dan konstruktif bagi kemanusiaan. Di
dalam al-Qur'an setidak-tidaknya dijumpai penggunaan kata ‗aql (akal) dalam bentuk verba
(kata kerja) sebanyak 48 kali. Kata-kata lain yang terkait langsung dengan ilmu dalam alQur‘an adalah ra’yu (melihat, berpendapat, mengamati, menyelidiki), disebut sebanyak 332
kali; bashar (melihat, mengobservasi, memahami, memperhatikan) digunakan sebanyak 149
kali, nazhar (mengobservasi, bernalar, memperhatikan, memikirkan) sebanyak 99 kali, dan
kata `arafa (mengetahui, memahami, bersikap arif) sebanyak 24 kali, dan fikr (berpikir)
sebanyak 19 kali, kata lubb yang berarti akal atau nalar sebanyak 6 kali, dan kata hikmah
(kebijaksanaan, filsafat, kearifan) disebut ulang 16 kali (al-Bâqî, 1992: passim).
Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah agama rasional yang pada
intinya menghendaki umatnya mampu menjadi pemikir, peneliti, penemu, dan
pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga pada gilirannya dapat
membangun masyarakat madani yang berperadaban dan berkeadaban. Nabi Saw.
sendiri menyatakan bahwa ―Agama (Islam) adalah akal (rasionalitas). Karena itu,
tidak dikatakan beragama orang yang tidak mendayagunakan akalnya.‖ (HR. Ibn
Hibbân). Dengan kata lain, peradaban Islam dalam masyarakat madani hanya

mungkin dibangun dengan kesadaran ilmiah: keseriusan untuk melakukan penelitian,
pengembangan pemikiran dan karya ilmiah, serta bepartisipasi aktif dalam
mengembangkan masyarakat dengan berbasis pada temuan-temuan ilmiah dan
pemikiran-pemikiran Islam.
Jika di masa lalu, masa keemasan peradaban Islam, dinamika pemikiran
Islam menjadi "ruh" perubahan sosial budaya yang bersendikan nilai-nilai Islami,
kini –pada saat dunia Islam berada dalam kemunduran— pemikiran itu tampaknya
1

Ada yang menarik bahwa Rasulullah Saw. memadukan ilmu pengetahuan dengan agama,
yang disimbolkan dalam iqra' bi ismi rabbik! (Bacalah dengan nama Tuhanmu). Iqra' adalah simbol
ilmu pengetahuan, sedangkan bi ismi rabbik sebagai simbol agama. Iqra' tanpa bi ismi rabbik atau bi
ismi rabbik tanpa iqra' terbukti tidak mengangkat martabat manusia dan kemanusiaan (Nasaruddin
Umar, 2010:1),

menjadi "mandul", kalau tidak dikatakan "mati suri". Kemandulan pemikiran Islam,
antara lain, tampak dalam berbagai hal. Dari segi metodologis, para pemikir Muslim
kini masih tampak sibuk mencari –dan dalam banyak hal mencoba mengadopsi atau
mengadaptasi Barat—metodologi pemikiran yang dinilai tepat dan relevan dengan
kebutuhan umat Islam. Para pemikir Muslim kini belum cukup "mandiri" dalam

mengembangkan model pemikiran keislamannya.
Para pemikir Muslim modern kini memfokuskan perhatiannya terhadap ilmuilmu sosial dan humaniora (sosiologi, antropologi, linguistik, psikologi, semiologi,
sastra, dan sebagainya) untuk kemudian diaplikasikan dalam memahami ajaran
Islam. Mohammed Arkoun, pemikir Muslim asal al-Jazair, misalnya menyerukan
pembacaan kembali terhadap ajaran Islam melalui antropologi pemikiran;
Fazlurrahman melalui pendekatan historis-sosiologis dan wacana hermenuetik; M.
Syahrur, pemikir kontemporer asal Suriah, melalui kritik diri (naqd al-dzat) dan
analisis linguistiknya; Nashr Hamid Abû Zaid dengan kritik wacana keagamaan dan
pembacaan yang produktif (qirâ'ah muntijah), dan Muhammad 'Âbid al-Jâbiri,
pemikir asal Marokko, melalui kritik nalar Arab (naqd al-'aql al-'Arabi) (alDaghâmain, 1995:15). Karena itu, upaya modernisasi pemikiran Islam tidak jarang
hanya dipahami sebagai penerapan pendekatan dan metodologi baru dalam menelaah
dan mengembangkan wacana pemikiran yang sudah ada.
Uraian dalam tulisan ini, secara jujur diakui, bukanlah hasil penelitian ilmiah
yang mendalam, melainkan lebih merupakan hasil pengamatan selintas dan
pembacaan reflektif terhadap sketsa pemikiran pendidikan Islam yang kini sedang
dan terus bergeliat menuju pembacaan kembali, rekonstruksi, dan pencerahan
intelektual. Tanda-tanda ke arah itu sudah mulai jelas di hadapan kita, atau sekurangkurang di kalangan komunitas akademik, antara lain: (1) semakin banyaknya sarjana
Muslim yang berpendidikan Barat dan Timur [Tengah] yang bergelar Doktor dan
kini telah memainkan peran penting dalam lembaga pemerintah maupun swasta; (2)
berubahnya status institusional sebagian pendidikan tinggi Islam dari institut menjadi

universitas, seperti: UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Malang, UIN Makassar, dan
UIN Bandung;

atau perubahan status dari STAIN menjadi IAIN, seperti: IAIN

Gorontalo, IAIN Banten, dan IAIN Cirebon, (3) menjamurnya penyelenggaraan
program pendidikan S2 dan S3 mengenai studi Islam di pelosok tanah air, baik di

kalangan PTAIN maupun PTAIS, (4) mulai tumbuhnya semangat kemandirian dan
kreativitas intelektualisme di kalangan generasi muda kita; (5) menguatnya kontrol
sosial terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah, baik melalui komunitas yang
tergabung berbagai asosiasi dan lembaga profesi maupun melalui lembaga legislatif,
dan (6) mobilitas dan dinamisme para intelektual muda Islam dalam menyikapi dan
merespon terhadap berbagai perubahan kontempor cukup tinggi. Hal ini, antara lain,
disebabkan terbuka komunikasi digital dan ketersediaan nuansa demokrasi yang
bebas menyatakan pendapat dan pemikiran. Beberapa kalangan intelektual Muslim
tidak lagi hanya menulis dan mengekspresikan gagasannya di media-media yang
beridentitas Islam, seperti Republika, melainkan juga sudah mampu menembus dan
sedikit banyak mewarnai media ‖nasionalis‖ seperti: Kompas dan Media Indonesia.
Lalu, apa kontribusi pemikiran pendidikan Islam dalam pembentukan

masyarakat madani? Artikel singkat ini berusaha menjawab pertanyaan ini dengan
sedikit ‖menoleh ke belakang‖ menelusuri jejak pemikiran pendidikan Islam, dan
‖menatap ke depan‖ sembari memberi alternatif model pemikiran pendidikan yang
perlu dikembangkan di dunia pendidikan kita.

Pemikiran Pendidikan Islam: Rekonstruksi Metodologi
Kata "rekonstruksi" (i’âdah al-bina’/al-binyah) mengingatkan kita kepada
Irak yang porak-poranda akibat perang melawan sekutu –atau lebih tepat sekutu
yang memporak-porandakan Irak— dan Aceh yang hancur akibat gempa dahsyat dan
gelombang tsunami pada akhir Desember 2004 lalu. Irak dan Aceh memang perlu
direkonstruksi, tidak hanya berupa pembangunan kembali sarana dan prasarana fisik
yang rusak atau hancur, melainkan juga perlu pembangunan mental-spiritual maupun
intelektual dan sosial.
Bagaimana halnya dengan pemikiran Islam: adakah bangunan pemikiran
yang selama ini dipandang "hancur berantakan", sehingga harus direkonstruksi?
Apakah rekonstruksi pemikiran Islam mensyaratkan "kehancuran

bangunan

pemikiran" terlebih dahulu ataukah kemandegan (status quo) pemikiran Islam itu

dengan sendirinya memerlukan proses dekonstruksi (deconstruction, tafkîk), lalu
ditindaklanjuti dengan rekonstruksi?

Yang pasti, rekonstruksi pemikiran Islam tidaklah identik dengan
rekonstruksi Islam sebagai agama universal, karena Islam sebagai ajaran yang
bersumber dari wahyu (al-Qur‘an dan al-Sunnah) sudah "final", sedangkan yang
belum final dan tidak akan pernah selesai, adalah proses interaksi dan interpretasi –
yang kemudian melahirkan pemikiran—terhadap doktrin dan ajaran dalam kitab suci.
Yang juga tidak pernah selesai adalah pembacaan dan pemikiran ulang (rethinking)
terhadap pemikiran para pemikir Muslim masa lalu.
Yang dimaksud dengan pemikiran pendidikan Islam (al-fikr al-tarbawî alIslâmî) adalah sejumlah postulat dan pemikiran yang membentuk suatu teori atau
beberapa teori yang dapat dijadikan sebagai referensi atau dasar dalam merancang
dan merumuskan strategi dan program-program pendidikan Islam. Pemikiran
pendidikan Islam merupakan usaha konseptual atau kerja intelektual yang berbasis
teori dan sekaligus mempunyai implikasi aplikatif atau operasional di bidang
pendidikan dan pembelajaran (Ghadhbân, 2009:3).
Dengan demikian, pemikiran pendidikan Islam pada dasarnya merupakan
kontribusi (ishâmât) hasil pemikiran kreatif di bidang pendidikan Islam yang
disumbangkan oleh para pemikir Muslim, baik klasik, pertengahan, maupun
kontemporer. Pemikiran pendidikan Islam dapat berupa hasil pergumulan intelektual

seorang pemikir dengan sumber ajaran Islam (al-Qur‘an dan al-Sunnah) dengan
realitas sosial budaya, dan dapat pula berupa kritik terhadap perkembangan ilmu
pendidikan yang ada (misalnya dari Barat) dengan memberikan alternatif dan solusi
sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Persoalannya kemudian adalah: pertama: "Bagaimana para pemikir Muslim
mampu merekonstruksi metodologi penalaran dan pemikiran Islam yang kreatif dan
konstruktif, seperti: yang pernah dirumuskan oleh Imam Syafi'i (w. 204 H) dalam
bidang ushûl fiqh, Ibn Ishâq dalam bidang sejarah, khususnya Sîrah Nabawiyyah
(biografi Nabi Muhammad Saw), Wâshil ibn al-'Athâ‘ dan Abu al-Hasan al-Asy'arî
dalam bidang kalam (teologi), al-Fârâbî dan Ibn Sînâ dalam bidang filsafat,
psikologi, musik, dan kedokteran, al-Khalîl ibn Ahmad (w. 175 H) dan al-Kisâ'î
dalam bidang linguistik, ‗arûdh (metrics) dan nahwu, ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî di
bidang balâghah (eloquence) al-Ghazzâli (w. 1111) dan Ibn 'Arabî dalam bidang

moral dan tasawwuf (sufisme), dan Ibn Jarîr al-Thabarî dan al-Zamakhsyarî dalam
bidang tafsir dan linguistik, dan sebagainya?"
Semua pemikir tersebut, menurut penulis, telah berkontribusi dengan
mewariskan karya-karya besar (magnum opus, masterpiece) dalam bidang pemikiran
dan disiplin ilmu masing-masing karena mereka terbukti berhasil mengembangkan
metodologi penelitian dan model pemikiran yang jelas, distingtif, dan kreatif pada

masanya. Selain itu, mereka juga mampu merespon kebutuhan dan perkembangan
zamannya dengan cepat dan tepat.
Kedua, "Bagaimana para pemikir Muslim kontemporer mampu memetakan
kecenderungan dan orientasi (ittijâhât), berikut merekonstruksi pemikiran Islam
masa lalu (klasik hingga kontemporer), kemudian menjadikannya sebagai landasan
teoritis, kerangka epistemologi, atau sekurang-kurangnya sebagai pengalaman
empirik, untuk merespons perubahan dan perkembangan zaman dewasa ini, baik
dalam bidang sosial-politik, budaya, hukum, pendidikan, maupun dalam bidang
sains, teknologi, dan informatika?" Jika Albert Hourani, misalnya, berhasil membuat
pemetaan terhadap pemikiran liberal Arab di paruh pertama abad ke-20 (1830-1939)
dan mengklasifikasikannya ke dalam tiga generasi2, maka bagaimana pemikir kita
dewasa ini mampu membaca kembali kecenderungan dan karakteristik pemikiran
Islam Indonesia dalam abad 20 ini dan awal abad ke-21?" Ini merupakan tantangan
besar yang perlu dijawab melalui kajian yang intens, serius, dan mendalam, agar kita
dapat menatap masa depan pemikiran pendidikan Islam secara lebih dinamis,
konstruktif, progresif, dan berperadaban.
Ketiga, "bagaimana para pemikir pendidikan Islam memaknai perubahan
sosial dan perkembangan sains dan teknologi modern, sehinggga mereka mampu
memberikan respons yang positif, dan dalam batas-batas tertentu, bersikap proaktif
terhadap berbagai isu-isu kontemporer, seperti: fiqh korupsi, teologi reformasi,

2

Ketiga generasi dimaksud adalah: (1) generasi pertama (1830-1870 M), direpresentasikan
oleh Rif'at al-Thahthâwî, Abd al-Rahmân al-Kawâkîbî, dan Khairuddin al-Tûnusî, yang mendasarkan
pemikiran mereka pada pertanyaan reflektif: "Mengapa dunia Barat maju dan mengapa dunia ArabIslam mundur?" (2) Generasi kedua (1870-1900 M), direpresentasikan oleh Qâsim Amîn dan Ali Abd
al-Râziq, yang masing-masing mengangkat isu persamaan jender (gender equality) dan menyuarakan
penolakan terhadap sistem politik kekhalifahan. Sedangkan generasi ketiga (1900-1939 M),
direpresentasikan oleh Muhammad ‗Abduh (w. 1905), Rasyîd Ridhâ, Syiblî Syumayyil, antara lain
menyuarakan pentingnya teologi rasional dan pendidikan sebagai instrumen untuk kebangkitan dunia
Islam dan pembaharuan pemikiran Islam (Albert Hourani, 1983:passim).

sufisme perkotaan, fiqh lingkungan, sosiologi Islami tentang konflik etnik, psikologi
Islami bagi korban tsunami, filantropi sosial bagi pendidikan dan kesejahteraan umat,
fiqh HAM, pendidikan anti-korupsi, pendidikan multikulturalisme, dan sebagainya?"
Menyikapi dan meresponi tanda-tanda zaman dan perubahan sosial yang demikian
cepat, tentu saja, tidak cukup dengan membaca ayat demi ayat dan hadits demi hadits
Nabi Saw. Pendekatan multidisiplin keilmuan dan model pemikiran yang
komprehensif, dipadukan dengan penelitian empirik yang mendalam,
diperlukan


dan

dikembangkan

secara

komprehensif.

Sinergi

sangat

pendidikan,

pengembangan ilmu, dan penelitian adalah manifestasi dari upaya pengembangan
pemikiran Islam.
Dari beberapa pemetaan tantangan pemikiran pendidikan Islam tersebut,
dapat ditegaskan bahwa substansi pemikiran pendidikan Islam adalah produk
pemikiran dan kreativitas keilmuan yang dihasilkan oleh pemikir pendidikan Islam
sejak kerasulan Muhammad Saw. hingga dewasa ini mengenai tiga narasi besar,
yaitu: Allah, alam, dan manusia yang kemudian dikaitkan dan diaplikasikan dalam
dunia pendidikan (‗Abd al-Hâmid, 1992:41). Pemikiran dimaksud merupakan hasil
ijtihâd ilmiyyah para pemikir dalam berinteraksi, memahami, menjelaskan, dan
menginterpretasikan

pengetahuannya

dalam

kerangka

prinsip-prinsip

Islam.

Pemikiran Islam tidak hanya berkaitan dengan pemikiran teologis, filosofis, dan
sufistik (tasawuf), sebagaimana disederhanakan, misalnya, oleh almarhum Harun
Nasution. Pemikiran Islam meliputi seluruh apsek pemikiran yang pernah lahir dalam
lintasan sejarah peradaban Islam dari masa klasik hingga masa kontemporer.
Pemikiran pendidikan Islam juga merupakan bagian dari pemikiran Islam
pada umumnya. Hanya saja, bidang ini lebih difokuskan pada hasil-hasil atau
produk-produk pemikiran dalam bidang pendidikan yang dipahami dari sumber
bakunya: al-Qur‘an dan al-Sunnah, dan dikomunikasikan atau dikontekstualisasikan
dalam realitas sosial pendidikan. Pada masa Nabi Muhammad Saw., misalnya telah
lahir pendidikan Islam dengan menggunakan metode dialogis, metode kisah, metode
perumpamaan (tamtsîl), metode keteladanan, dan sebagainya (al-Nahlâwî, 2002: 175
dst). Di masa shahabat Nabi, misalnya pada masa Umar ibn al-Khaththab, muncul
ide pembentukan dawâwîn (kementerian atau departemen), yang menuntut adanya

pembenahan administrasi dan manajemen, sehingga wacana dan pemikiran
pendidikan administrasi dan manajemen cukup menonjol.
Demikian pula, pemikiran pendidikan mengenai konsep fitrah juga mulai
dikembangkan pada masa-masa awal peradaban Islam. Imam Ja‘far al-Shadiq (80148 H), misalnya berpendapat bahwa manusia sesuai dengan ayat (QS. Al-Rûm/30:
30) diberikan fitrah (potensi dasar) bertauhid kepada Allah. Allah tidak (pernah)
mendorong manusia untuk menjadi kufur (ingkar, tidak bertauhid). Dengan fitrahnya
manusia memiliki kesanggupan untuk mengetahui apa yang diberikan oleh Allah
kepadanya dan sekaligus memiliki kesanggupan untuk menegakkan keadilan (Abu
al-‗Ainain, 1988:103). Jadi, jejak rekam dan kekayaan khazanah intelektual di bidang
pendidikan Islam dari masa ke masa merupakan ―tambang pemikiran‖ yang perlu
diapresiasi dan dikontekstualisasikan untuk kepentingan pengembangan model
pendidikan dan pembelajaran masa kini. Rintisan penambangan pemikiran
pendidikan Islam telah dimulai, misalnya, oleh al-Munazhzhamah al-Arabiyyah li alTarbiyah wa al-Tsaqâfah wa al-’Ulûm (ISESCO) dengan menerbitkan empat jilid
pemikiran pendidikan Islam mulai dari masa khulafa‘ rasyidun hingga abad kedua
puluh, dalam ensiklopedi berjudul Min A’lâm al-Tarbiyah al-‘Arabiyyah alIslâmiyyah (1988).

Karakteristik Pemikiran Pendidikan Islam
Jika dibandingkan dangan pemikiran Barat yang sekuler dan materialistik,
akibat tidak bertemunya agama dan ilmu, pemikiran pendidikan Islam, mempunyai
beberapa karakteristik yang perlu dijadikan sebagai visi, misi, orientasi dan
aktualisasi pengembangan pemikiran pendidikan Islam ke depan. Karakteristik
pemikiran dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, pemikiran Islam itu bersifat rabbâni, bersumber dari dan bermuara
kepada sistem nilai ketuhanan. Sumber utamanya adalah wahyu, yaitu: al-Qur'an dan
al-Sunnah (al-Zunaidi, 1995:125). Orientasi pemikiran pendidikan Islam juga
mengarah kepada nilai-nilai transendental dan spiritual, tidak hanya berupa
mewujudkan fi al-dunya hasanah (kebahagiaan duniawi, jangka pendek), tetapi juga
fi al-âkhirati hasanah (kebahagiaan ukhrawi, jangka panjang) sekaligus waqina
adzaba al-nâr (QS. al-Baqarah [2]: 201). Pemikiran Islam juga harus memposisikan

kehidupan dunia sebagai instrumen atau sarana, atau meminjam istilah Mâjid ‘Irsân
al-Kailânî, pemikir pendidikan pendidikan Islam asal Jordania, dalam Falsafah alTarbiyah al-Islâmiyyah-nya sebagai laboratorium pendidikan— menuju kebahagiaan
hidup tanpa batas di akhirat. Karena itu, pemikiran Islam tidak seharusnya
berorientasi kekinian dan kedisian (jangka pendek) semata, melainkan juga harus
berorientasikan jauh ke depan dan bervisi keabadian (perenial). Allah swt. berfirman:
Walal-âkhiratu khairul laka minal ûla. Artinya: "Orientasi kehidupan masa depan
[akhirat] itu sungguh lebih baik daripada orientasi masa kini (kehidupan dunia) (QS.
al-Dhuhâ [93]: 4).
Selain itu, pemikiran pendidikan Islam dibangun di atas fondasi tauhid
(ajaran tentang keesaan Allah, kesatuan sumber ajaran, kesatuan penciptaan,
kesatuan kemanusiaan, kesatuan tujuan hidup). Kesatuan aqidah inilah yang
merupakan faktor pemersatu (uniting factor) berbagai upaya pemikiran menuju
kamajuan dan kesejahteraan umat. Penelitian serius yang dilakukan oleh pemikir
Muslim dalam rangka mengungkap rahasia dan hukum-hukum alam tidak lain karena
didasari oleh semangat dedikasi atau pengabdian hanya untuk memperoleh cinta dan
ridha (perkenan, restu) Allah swt. dan sekaligus untuk mengokohkan iman yang ada
dalam diri pemikir dan siapa saja yang membaca dan memahami pemikirannya (alDifâ', 1998:20).

Kedua, pemikiran pendidikan Islam bersifat insâniyyah (kemanusiaan,
humanistik). Produk pemikiran pendidikan Islam hendaknya berorientasi kepada
proses humanisasi, pemanusiaan manusia, dengan mengedepankan pemberdayaan,
pencerdasan, kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia. Karena itu, pemikiran
pendidikan Islam memperioritaskan pemberlakukan rambu-rambu dan nilai-nilai
moral yang luhur dalam berinteraksi dengan kitab suci maupun dalam
mengembangkan wacana keilmuan. Pemikiran Islam dalam berbagai bidang tidak
berwujud teori-teori yang tidak membumi, melainkan seharunya melahirkan tatanan
kehidupan masyarakat yang lebih beradab, adil, dan sejahtera (al-Difâ‘, 1998:21).
Dengan kata lain, pemikiran pendidikan Islam harus mampu melayani kepentingan
dan kemaslahatan manusia sesuai dengan norma-norma syari'ah dan nilai-nilai alakhlâq al-karîmah (akhlak mulia).

Ketiga,

pemikiran

pendidikan

Islam

itu

bersifat

syumûliyyah

wa

mutakâmilah, komprehensif dan terpadu, meliputi segala bidang keilmuan,
keterampilan (bahasa, sosial, hidup) berorientasi dunia-akhirat (masa kini dan
mendatang). Pemikiran pendidikan Islam tidak terbatas mengkaji masalah metafisika
–seperti yang digeluti oleh filosof dan teolog—tetapi juga mencakup seluruh bidang
dan aspek kehidupan manusia. Komprehensivitas pemikiran Islam juga tidak terletak
pada tema kajian, melainkan juga meliputi sumber pengetahuan. Sumber
pengetahuan dalam pemikiran Islam tidak terbatas pada logika, rasio [rasionalisme]
dan pengalaman empiris [empirisme], melainkan juga bersumber dari wahyu dan
intuisi [gnostik, ma'rifah] (al-Zunaidî, 1995:126; al-Kailani, 1987:passim). Demikian
pula, metode yang digunakan dalam memproduksi pemikiran tidaklah semata-mata
deduksi-induksi, melainkan juga merupakan perpaduan antara ta'aqquli-ta'ammuli,
(penalaran logis dan kontemplatif), bayâni (penjelasan elaboratif), burhâni
(demonstratif), jadalî (dialektik) dan hadasi (intuitif) (al-Jâbirî, 1990: passim).
Pemikiran rasional tidak cukup untuk memahami realitas metafisika dan fisika.
Pengetahuan gnostik (ma'rifah) atau pendekatan sufistik, seperti yang pernah
ditempuh oleh al-Ghazzali (w. 1111) juga dapat mengantarkan dirinya menuju
mukâsyafah (penyingkapan tabir Ilahi) dan ma'rifatullah, maqam (station) tertinggi
dalam dunia tasawuf akhlaqi yang digelutinya.
Keempat, pemikiran pendidikan Islam itu bersifat al-hadafiyyah al-sâmiyah
(bercita-cita dan bertujuan luhur/mulia). Pemikiran pendidikan Islam tidak menganut
paham "pemikiran untuk pemikiran atau ilmu untuk ilmu", melainkan dimaksudkan
untuk merealisasikan cita-cita mulia dan luhur, yaitu: ibadah dan dedikasi yang tulus
kepada Allah swt. Karena itu, pemikiran pendidikan Islam menghendaki aksi dan
implementasi. Pemikiran, ilmu, gerakan, dan amal merupakan satu kesatuan menuju
kebaikan dan kesalehan sosial, termasuk kesalehan lingkungan. Keluhuran tujuan
pemikiran pendidikan Islam juga terletak pada kesadaran pemikirnya terhadap
tuntutan realitas dan petunjuk syari'ah (al-Zunaidî, 1995:127). Jadi, pemikiran
pendidikan Islam bukan semata-mata retorika wacana tanpa makna dan fakta,
melainkan merupakan produk intelektualisme yang mengejawantah dalam realitas
dan dunia pendidikan Islam secara konkret dari masa ke masa.

1

Hanya saja, ketika wacana pemikiran pendidikan Islam itu hendak
diaplikasikan dalam realitas empirik, visi dan cita-cita luhur pemikiran pendidikan
Islam terkadang mengalami disorientasi dan distorsi. Gerakan pemikiran "salafisme",
misalnya, yang mencoba mengembalikan persoalan umat kepada figur dan model
ulama salaf dalam memahami dan mengamalkan Islam, justeru "terjebak" dengan
realitas historis masa lalu yang aktualisasinya tidak cukup aktual dan relevan dengan
persoalan masa kini. Demikian pula, "Pemikiran Islam Liberal" yang disuarakan oleh
intelektual muda NU (dan peminat lainnya) melalui Jaringan Islam Liberal (JIL)
terkesan agak kebablasan dalam memahami dan menginterpretasikan ajaran Islam,
sehingga nilai-nilai dasar yang diperjuangkan lebih "kebarat-baratan" daripada
keislaman seperti isu pluralisme dan multikulturalisme.
Kelima, pemikiran pendidikan Islam bercirikan al-wudhûh (kejelasan,
evidensi). Pemikiran pendidikan Islam itu jelas, tidak hanya dari segi sumber acuan
dan metodenya, tetapi juga jelas dari segi orientasi, kerangka berikut prosedur kerja
dan implementasinya. Pemikiran pendidikan Islam tidak bertolak dari mitos dan
khayalan. Pemikiran pendidikan Islam bersumber dari dan berinteraksi dengan ajaran
Tuhan (transendental) untuk dibumikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata.
Pemikiran pendidikan Islam seharusnya juga jelas dimaksudkan untuk memenuhi
fitrah (potensi dasar, kecerdasan) dan kebutuhan manusia, dan bukan untuk
mengabdi kepada rejim dan kekuasaan (al-Zunaidî, 1995:127). Selain itu, pemikiran
Islam juga memiliki kejelasan asal-usul, akar-akar historis, dan peta kajian, sehingga
mampu memberikan solusi terhadap permasalahan yang sedang terjadi. Ketika
bangsa ini memerlukan pemecahan terhadap perosalan "korupsi berjamaah" atau
―jama‘ah korupsi‖, —karena hampir pasti korupsi dilakukan secara konspirasi
birokratis— pemikiran Islam seharusnya dapat merespons dengan solusi yang tidak
hanya teori-teori akademik, tetapi juga dibarengi langkah-langkah konkret dalam
upaya pemberantasannya.
Selain lima karakteristik tersebut, pemikiran pendidikan Islam modern juga
berorientasi kepada beberapa titik temu sebagai berikut. Pertama, aliran pemikiran
pendidikan Islam di masa lalu dan sekarang merupakan persoalan ijtihadiyah, yang
bisa benar dan salah atau relatif. Karena itu, pemikiran pendidikan Islam tidak
mengenal absolutisme atau sakralisasi: kapan saja dapat "digugat" dan dikritisi.

Kedua, fiqh (hukum) Islam adalah fiqh yang dinamis dan mengalami reformasi
dinamis dan transformatif, bukan fiqh yang statis dan rigid (kaku). Karena itu,
produk pemikiran hukum Islam harus mampu merespons persoalan dan
perkembangan zaman dengan kaidah-kaidahnya yang fleksibel dan dengan
senantiasa mempertimbangkan maqâshid al-syarîah (tujuan pembumian syari'at
Islam, yaitu: memelihara dan mengembangkan agama, akal/pemikiran, keturunan,
kehormatan, dan harta benda, bahkan lingkungan). Ketiga, perbedaan pemikiran
pendidikan Islam mengenai Tuhan, alam, kehidupan, dan manusia harus disikapi
dengan semangat keterbukaan, dan bertitik tolak dari sumber yang sama, yaitu alQur'an dan al-Sunnah, dengan metode berpikir yang ilmiah. Keempat, para pemikir
Muslim dituntut mampu memahami hukum Allah yang diberlakukan di alam raya ini
untuk kepentingan pembangunan peradaban Islam, dengan senantiasa mau belajar
dan mengembangkan ilmu dan teknologi di mana pun dan kepada siapa pun. Hal ini
sesuai dengan sabda Nabi saw.: "Hikmah adalah mutiara Mukmin yang hilang. Di
manapun ia menemukannya, ia paling berhak untuk mengambilnya." (HR. alTurmudzi) (‗Abd al-Hâmid, 1996:134-135).
Kelima, implikasi dari poin keempat tersebut, para pemikir pendidikan Islam
juga dituntut mampu memerangi gejala bid'ah dan khurafat, termasuk syirik politik,
yang dapat mematikan kreativitas pemikiran Islam. Keenam, kajian syari'ah Islam
tidak cukup dilakukan secara parsial, melainkan perlu dilakukan secara
komprehensif, dengan mereformulasikan sistem hukum sosial, ekonomi, politik,
pertahanan, peradilan, pendidikan. Reformulasi itu dimaksudkan agar hukum-hukum
Islam yang sistemik itu dapat menjadi alternatif bagi sistem hukum yang sudah ada.
Misalnya, konsep bank syari'ah menjadi alternatif bagi sistem perbankan
konvensional sekaligus sebagai solusi terhadap sistem ekonomi kapitalisme dan
sosialisme yang terbukti membuat tatanan ekonomi masyarakat global collapse;
konsep kafâlah ijtima'iyyah (jaminan sosial) dapat diimplementasikan dalam
penanganan

korban

bencana

dan

para

pengungsi;

dan

shadaqah

dapat

diaktualisasikan menjadi konsep filantropi sosial. Ketujuh, pemikiran pendidikan
Islam harus senantiasa terlibat dalam upaya pemecahan masalah sosial kemanusiaan.
Dalam konteks ini, misalnya diperlukan fiqh konflik sosial, teologi reformasi
religius, fiqh kesejahteraan sosial, pendidikan lingkungan, fiqh perdamaian, dan

sebagainya. Kedelapan, pemikiran Islam modern juga dituntut mampu bersikap jelas
dan ofensif terhadap neo-kolonialisme dan kapitalisme global yang cenderung
melahirkan arogansi dan kediktatoran baru di dunia Islam (‘Abd al-Hamîd, 1996:
135-136). Dengan demikian, pemikiran Islam harus bervisi ketuhanan, kemanusiaan
dan keindonesiaan; berorientasi kepada pembentukan masyarakat madani yang
berkeadilan dan berkeadaban.

Pengembangan Pemikiran Pendidikan Islam
Islam memiliki warisan intelektual (pemikiran) yang sangat kaya. Nashr
Hâmid Abu Zayd, pemikir Muslim asal Mesir yang kini bermukim di Belanda,
menyatakan bahwa peradaban Islam di masa lalu telah memberikan warisan kepada
kita berupa "peradaban teks" (hadhârah al-nashsh) yang sangat melimpah (Abu
Zayd, 1993:7). Karena itu, salah satu bidang garap pemikiran Islam kontemporer
adalah revitalisasi teks, dengan melakukan pembacaan ulang, kritik teks3, dan
memaknainya dalam konteks perkembangan kekinian. Sedemikian strategisnya studi
teks, sehingga "peta jalan" (road map) menuju pembaharuan pemikiran Islam harus
mampu mensinergikan antara dialektika teks (kitab suci dan khazanah intelektual)
dan konteks (realitas sosial) dalam sebuah sistem pemikiran yang utuh (al-Rifâ'î,
2001:passim).
Namun demikian, menarik dicermati pengembangan pemikiran Islam dewasa
ini, yang oleh A.M. Saefuddin, dipetakan menjadi dua aliran kecenderungan, yaitu:
desakralisasi dan desekularisasi. Yang pertama menghendaki upaya kritis terhadap
pandangan lama yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan zaman dengan
menisbikan dan tidak mensakralkan hasil pemikiran; sedangkan yang kedua
menghendaki

eliminasi pola pikir sekuler dalam pemahaman ajaran Islam

(Saefuddin, 1987:7). Dari segi sosiologis-historis, pemikiran pendidikan Islam juga
3

Istilah "kritik teks" (Naqd al-Nashsh) belakangan cukup populer di kalangan pemikir
Muslim yang mempunyai apresiasi tinggi terhadap khazanah intelektual Muslim berupa teks dalam
bentuk manuskrip atau karya-karya besar ulama masa lalu. Teks itu diperlakukan sebagai salah satu
referensi untuk memaknai perkembangan masa kini, dengan mengkritisi: latar belakang sosial budaya
teks dan konteks zamannya. Teks adalah sumber inspirasi dan metodologi berpikir. Hampir semua
pemikir Muslim kontemporer, seperti Mohammed Arkoun, Muhammad 'Abid al-Jabiri, Muhammad
'Imarah, Hassan Hanafi hingga Nashr Hamid Abû Zaid, memandang revitalisasi teks pemikiran Islam
sebagai salah satu keniscayaan menuju pembaharuan dan kemajuan di masa depan. ('Ali Harb,
1995:passim)

dapat diklasifikasikan menjadi pemikiran yang bersifat revivalis, tradisionalis,
modernis, dan neo-tradisonalis serta neo-modernis. Kategorisasi semacam ini sahsah saja, selama didukung dengan data dan fakta yang akurat, dan semata-mata untuk
kepentingan akademik, bukan dalam semangat pejoratif atau pemojokan kalangan
atau kelompok tertentu. Jika semangatnya cenderung pejoratif, misalnya melabelkan
pemikiran NU tradionalis dan Muhammadiyah modernis, menurut hemat saya, hal
ini kontra-produktif, dan cenderung melahirkan sikap antipati dan konfrontatif di
kalangan akar-rumput (masyarakat bawah).
Pengembangan pemikiran pendidikan pada dasarnya terkait dengan
pengembangan nalar kritis dan kreatif. Selama para pemikir pendidikan mampu
merespon dinamika sejarah dan berinteraksi dengan perubahan-perubahan sosial
yang terjadi, maka pemikiran pendidikan Islam akan senantiasa eksis dan progresif
(‗Ali, 1987:91). Jadi, yang dibutuhkan adalah penciptaan sistem pendidikan yang
mampu mengotimalkan nalar kritis dan kreatif (al-aql al-naqdî wa al-ibdâ’î) di
kalangan para pendidik dan peserta didiknya. Kebebasan berpendapat yang disertai
argumentasi yang logis harus mendapat apresiasi dan akomodasi dalam sistem
pendidikan Islam.
Pengembangan pemikiran pendidikan Islam idealnya tidak terjebak dalam
―romantisme historis‖ dan hanya berorientasi kepada kejayaan masa lampau.
Sebaliknya, spirit kemajuan (progresivisme) dan etos intelektual yang diteladankan
oleh para pemikir pendidikan Islam itu perlu dikembangkan di dalam etos pendidikan
dan pembelajaran masa kini (al-Ghabbân, 2009:1) Selain itu, tradisi penelitian (riset)
dan pengembangan karya-karya keilmuan yang intes juga perlu menjadi perhatian
serius dari sistem pendidikan Islam, terutama perguruan tinggi Islam.
Pendidikan Islam sebagai proses pembudayaan, termasuk pembudayaan riset,
sesuai dengan semangat iqra’, sudah semestinya menjadi komitmen bersama:
pengelola pendidikan, pendidik, peserta didik, dan stakeholder. Karena itu,
keberhasilan pengembangan pemikiran pendidikan Islam di masa mendatang sangat
ditentukan oleh sinergi berbagai pihak tersebut dalam mentradisikan riset. Sejauh ini,
UIN Jakarta misalnya, baru melangkah menuju universitas riset. Dengan tradisi riset
yang kuat seperti di berbagai universitas Barat (termasuk Israel), pemikiran

pendidikan Islam kelak diharapkan mampu menjadi ‖mercusuar‖ bagi penyemaian
peradaban Islam yang humanis, rahmatan lil al-’âlamîn.

Pendidikan Islam sebagai Basis Pembentukan Masyarakat Madani
Menurut Hujair AH. Sanaky (2009:1), konsep masyarakat madani4 (civil
society, mujtama’ madani) merupakan konsep yang relatif baru dan tidak berakar
dalam budaya masyarakat Indonesia. Konsep masyarakat madani memiliki nilai-nilai
universal, sehingga perlu adaptasi dan sosialisasi apabila konsep tersebut akan
diwujudkan di Indonesia. Untuk mewujudkan nilai-nilai universal tersebut
tergantung dan berakar pada kondisi budaya dan sosial-politik serta perkembangan
masyarakat dan bangsa Indonesia. Akan tetapi, masyarakat madani tidak dapat
tercipta dengan sendirinya, harus diperjuangkan dan dalam perjuangan pembentukan
masyarakat madani di Indonesia tidak dapat dilihat berdiri sendiri, tetapi harus
ditempatkan dalam komfigurasi global. Dalam konteks ini, semua potensi bangsa
Indonesia mulai dipersiapkan dan diberdayakan untuk menuju masyarakat madani,
dengan harapan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia akan mengalami
perubahan secara fundamental yang berbeda dengan kehidupan selama ini yaitu
masyarakat yang demokratis.
Masyarakat madani adalah masyarakat sipil yang religius, berbudaya, dan
berkeadaban. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat yang lahir dari "rahim
pemikiran keagamaan", bukan masyarakat sekuler. Masyarakat madani bersendikan
nilai-nilai moral agama yang bersumber dari wahyu Ilahi, dan dibangun melalui
pembentukan keluarga yang sakinah sebagai unit sosial terkecil. Masyarakat madani,
antara lain, memiliki ciri-ciri: kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan untuk

4

Ketika mendengar kata ―madani‖, asosiasi kita segera terhubung dengan kata Madinah.
Asosiasi tidak salah karena kata ―madani‖ berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan
terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim. Karena
itu, "Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribut keislaman
madani [attributive dari kata al-Madani]. Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat
madani yang pada masyarakat idial di [kota] Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw.
Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan
hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat [kota] Madinah sebagai prototype
masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep
civil society" (Thoha Hamim, 1999:4).

saling tolong-menolong (kerja sama), dan menjunjung tinggi norma dan etika yang
disepakati bersama (Syamsuddin, 2000:vii).
Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan
untuk menjelaskan ―the sphere of voluntary activity which takes place outside of
government and the market.‖ Merujuk pada Bahmueller (1997), sebagaimana dikutip
Edi Hartono (2008:3) ada beberapa karakteristik masyarakat madani, di antaranya
sebagai berikut:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekseklusif ke dalam
masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi
dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara
dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4.

Terjembataninya

kepentingan-kepentingan

individu

dan

negara

karena

keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukanmasukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuh-kembangnya kreativitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim
totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu
mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan
berbagai ragam perspektif.
Ada seperangkat nilai moral yang mutlak harus menjadi pilar utama
masyarakat madani yang berkeadaban, dan nilai-nilai itu tampaknya menjadi efektif
jika ditransformasikan melalui sistem pendidikan Islam. Nilai-nilai moral dimaksud
adalah: (1) kemuliaan manusia, (2) kebebasan, (3) persamaan, (4) musyawarah, (5)
jaminan sosial, (6) moderasi, dan (7) amar ma'ruf nahi munkar (Mahmud,
1992:passim). Ketujuh nilai dasar ini satu sama lain saling berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan. Pandangan mengenai "kemuliaan manusia" mengharuskan setiap
individu dalam masyarakat madani harus menghargai dan menghormati kebebasan
orang lain. Kebebasan manusia dalam berpendapat, berekspresi, bekerja dan

sebagainya menuntut adanya perlakukan yang egaliter (adil dan sportif) dalam semua
aspek kehidupan sosial.
Pemikiran pendidikan Islam dalam konteks ini mempunyai kontribusi
penting, terutama dalam memproses dan menyiapkan sumber daya manusia yang
memiliki kekuatan imtak dan keunggulan iptek. Kontribusi pemikiran pendidikan
terletak pada proses penyadaran, pencerdasan, dan pembentukan karakter manusia
yang beriman dan berkompeten dalam membangun peradaban dunia. Selain itu,
kontribusi pemikiran pendidikan Islam juga terletak pada supplay masukan (input)
pemikiran cerdas dan kreatif dari para pemikir dalam memberi inspirasi dan spirit
menuju model pendidikan dan pembelajaran Islami di masa mendatang. Pemikiran
pendidikan Islam pada akhirnya juga menjadi prototipe yang diharapkan dapat
mengawal terbentuknya masyarakat madani.
Jika visi dan misi profetik Nabi5 dipahami sebagai proses trasformasi dan
internalisasi nilai atau proses humanisasi menuju kualitas moral yang luhur, dan
bukan semata-mata transfer of knowledge, maka pembentukan masyarakat madani
dapat terwujud selama proses pendidikan Islam itu berintikan dan bermuara kepada
perbaikan akhlak, pembentukan karakter yang humanis, dan penyemaian budaya
rahmah (kasih sayang). Dengan kata lain, pemikiran pendidikan Islam ke depan
perlu diberi muatan visi dan misi profetik agar mampu mewujudkan masyarakat
madani, sebagaimana pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. dalam
membangun masyarakat Madinah yang plural dan multikultural itu.

Epilog
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran pendidikan
Islam perlu direkonstruksi kembali dengan tujuan dan agenda utama meningkatkan
dan memberdayakan umat Islam dan umat manusia pada umumnya menuju
"masyarakat madani" melalui reaktualisasi tiga kata kunci visi dan misi profetik:

5

Ada beberapa hadits yang menjelaskan mengenai visi dan misi profetik (kenabian)
Muhammad Saw. Di antaranya adalah: (1) Aku diutus sebagai pendidik (HR. Ibn Majah); (2) Aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia (HR. Malik), dan (3) ―Aku tidak diutus sebagai pelaknat,
akan tetapi diutus semata-mata untuk membawa ajaran kasih sayang.‖ (HR. Muslim). Dalam tiga
hadits ini, setidaknya ada tiga kata kunci: mendidik, memperbaiki akhlak, dan menyayani. Ketiga kata
kunci ini merupakan esensi dari pemikiran pendidikan Islam.

mendidik, membentuk karakter (akhlak), dan menyayangi. Peningkatan dan
pemberdayaan sumber daya manusia yang paling strategis adalah melalui penataan
sistem pendidikan Islam trasformatif yang mampu mempersiapkan lulusan yang
berkualitas unggul di bidang imtak maupun iptek, sehingga mampu berperan optimal
dalam pembentukan masyarakat madani. Sebab, hanya mereka yang mendalami
imtak dan menguasai ipteklah yang dapat mengolah dan mengalihkan kekayaan atau
sumber daya alam menjadi sumber kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia.
Masyarakat madani yang bercirikan: universalitas, supermasi hukum,
keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama, meraih kebajikan
umum, perimbangan kebijakan umum, piranti eksternal, bukan berinteraksi pada
keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. Atas
dasar konsep ini, maka pemikiran pendidikan Islam dikembangkan sebagai prinsipprinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam kontek lingkungan masyarakat
madani tersebut, sehingga pendidikan Islam relevan dengan perkembangan zaman
dan konteks sosial kultural masyarakat tersebut.
Untuk mengantisipasi transformasi sosial menuju "masyarakat madani",
pendidikan Islam harus didisain dan direformulasikan untuk menjawab perubahan
dan perkembangan tersebut. Pemikiran pendidikan Islam hendaknya tidak sekedar
berorientasi ―romantisme historis‖ yang tidak kreatif, melainkan harus berpacu
dalam merespon tuntutan global yang sangat kompetitif. Pemikiran pendidikan Islam
harus mampu memberi ―corak‖ (shibghah) integritas moral bagi para lulusannya.
Karena dengan shibghah inilah, fitrah manusia menjadi tetap terpelihara sekaligus
menjadi benteng moral dan pemacu semangat perubahan menuju kejayaan peradaban
Islam di masa mendatang. Dalam konteks ini, kontribusi pemikiran pendidikan Islam
semestinya diapresiasi dan diaktualisasikan sesuai dengan tuntutan zamannya.
Semoga! Wallahu a’lam...
Daftar Pustaka
'Abd al-Hamîd, Muhsin. 1996. Tajdîd al-Fikr al-Islâmî. Firginia: al-Ma'had al-'Âlami
li al-Fikr al-Islâmî, Cet. I.
Abd el-Salâm, Ja'far. 2002. al-Islami wa Tathwîr al-Khithab al-Dini (Islam dan
Pengembangan Wacana Keagamaan), Kairo: Rabithah al-Jâmi'ât alIslamiyyah. Cet. I.

Abu al-‗Ainain, ‗Ali Khalîl Mushthafa. 1988. ―al-Ihtimâmât al-Tarbawiyyah fi Fikri
Ja‘far al-Shâdiq‖, dalam Min A’lam al-Tarbiyah al-’Arabiyyah
alIslâmiyyah, Jilid I, Rabâth: Isesco.
Abu Sulaiman, 'Abd al-Hamid Ahmad. 1994. Azmah al-'Aql al-Muslim, Firginia: alMa'had al-'Âlamî li al-Fikr al-Islâmi. Cet. III.
Abû Zayd, Nashr Hâmid. 1993. Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fi ‘Ulûm al-Qur’ân.
Kairo: al-Hai‘ah al-Mishriyyah al-‗Âmmah li al-Kitab, Cet. I.
Arkoun, Mohammed. 1999. Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post
Modernisme. Terj. dari Min Faishal Tafriqah ila Fashli al-Maqal: Aina alFikr al-Islami al-Mu'ashir oleh Jauhari, dkk. Surabaya: al-Fikr, Cet. I.
‗Ali, Sa‘d Ismâ‘il. 1987. al-Fikr al-Tarbawi al-Hadîts, Kuwait: ‗Âlam al-Ma‘rifah.
al-Bâqi, Muhammad Fu`âd. 1992. al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân alKarîm, Beirut: Dâr al-Fikr.
al-Daghâmain, Ziyâd Khalîl Muhammad. 1995. Manhajiyyah al-Bahts fi al-Tafsîr alMawdhu'î lil al-Qur'an al-Karîm. Kairo: Dâr al-Basyîr.
al-Difâ', 'Ali 'Abdullah. 1998. Min Rawa'î al-Hadhârah al-'Arabiyyah al-Islâmiyyah
fi al-'Ulûm. Beirut: Mu'assasah al-Risâlah.
al-Ghabbân, Bâsim Qâsim. 2009. ―al-Fikr al-Tarbawi al-‗Arabi: Baina al-‗Awdah li
al-Madhi
wa
Irtihan
al-Hadhir‖,
diakses
dari
http://www.annabaa.org/nbahome. 15 Desember.
Ghadhbân, ‗Amir. 2009. ―al-Fikr al-Tarbawi al-Islâmî‖, dari http://almoslim.net
/node, diakses pada 12 Desember.
al-Hadri, Khalîl ibn 'Abdullah ibn 'Abd al-Rahmân. 2005. Manhajiyyah al-Tafkir alIlmi fi al-Qur'an al-Karîm wa Tathbîqatuha al-Tarbawiyyah, Makkah: Dar
'Alam al-Fawaid. Cet. I.
Hamim, Thoha. 1999. Islam dan Masyarakat Madani (1) Ham, Pluralisme, dan
Toleransi Beragama, Koran Harian "Jawa Pos", Kamis Kliwon, Tanggal, 11
Maret.
Harb, Ali. 1995. Naqd al-Nashsh. Casablanca: al-Markaz al-Tsaqâfi al-'Arabi.
Hourani, Albert. 1983. Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939, Cambridge:
The Press Syndicate of The University of Cambridge.
Hujair AH. Sanaky. 2009. ―Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani:
Tinjauan‖, diakses dari http://www.sanaky.com/materi/, 10 Desember.
al-Jâbirî, Muhammad 'Âbid. 1986. Nahnu wa al-Turâts: Qirâ'at Mu'âshirah fi
Turatsina al-Falsafi. Casablanca: al-Markaz al-Tsaqâfi al-'Arabi. Cet. V.
al-Jâbirî, Muhammad 'Âbid. 1991. Takwîn al-'Aql al-'Arabi, Beirut: Markaz Dirâsat
al-Wahdah al-'Arabiyyah. Cet. V.
al-Jâbirî, Muhammad 'Âbid. 1991. Binyat al-'Aql al-'Arabi: Dirâsah Tahliliyyah
Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma'rifah fi al-Tsaqâfah al-'Arabiyyah, Beirut:
Markaz Dirâsat al-Wahdah al-'Arabiyyah. Cet. III.
al-Kailânî, Mâjid Irsân. 1987. Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyyah. Jeddah:
Maktabah al-Manârah.
Khalîl, Hâmid, 2001. al-Hiwâr wa al-Shidâm fi al-Tsaqafah al-'Arabiyyah alMu'ashirah, Damaskus: Dâr al-Madâ, 2001.
Mahmûd, Jamâl al-Dîn Muhammad. 1992. Ushûl al-Mujtama' al-Islâmi, Kairo: Dâr
al-Kitab al-Mishri, Cet. I.

al-Nahlâwî, Abd al-Rahmân, Ushûl al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Asâlîbihâ fi al-Baiti wa
al-Madrasah wa al-Mujtama', Damaskus: Dâr al-Fikr, Edisi Revisi, 2002.
Al-Rifa'i, 'Abd al-Jabbâr. 2001. Jadal al-Turâts wa al-'Ashr. Damaskus: Dâr al-Fikr,
Cet. I, 2001.
Syalabî, Abu Zaid, 1963. Târîkh al-Hadhârah al-Islâmiyyah wa al-Fikr al-Islâmi,
Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. III.
Syamsuddin, M. Din, 2000. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani,
Jakarta: Logos, Cet. I.
Umar, Nasaruddin. 2010. ―Iqra‘‖, dalam HU. Republika, 01 Pebruari.

al-Zunaidî, 'Abd al-Rahman ibn Zaid. 1995. Haqîqat al-Fikr al-Islâmi: Dirâsat
Ta'shiliyyah li Mafhûm al-Fikr al-Islâmi wa Muqawwimatihi wa
Khashaishihi, Riyâdh: Dâr al-Muslim.
Muhsin 'Abd al-Hamîd, Tajdîd al-Fikr al-Islâmî. (Firginia: al-Ma'had al-'Âlami li al-Fikr alIslâmî, 1996) Cet. I.

1