Peran Suharto Pasca Revolusi Indonesia 1950-1962

PBB. Akhirnya Indonesia berhasil mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia TNI masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan.Ketika terjadi Agresi Belanda II terhadap Yogyakarta, Suharto memimpin Brigade X di Yogyakarta dan kemudian menghubungi pasukannya yang ada di Purworejo untuk datang ke Yogyakarta. Akhirnya berhasil mengadakan serangan umum 1 Maret 1949 setelah berkoordinasi dengan Sultan HB IX, sehingga akhirnya Belanda keluar dari Yogyakarta.

B. Peran Suharto Pasca Revolusi Indonesia 1950-1962

Pada tahun 1950 Batalyon yang dipimpin Suharto mendapat tugas di Sulawesi. Pada tanggal 17 April 1950 Letkol Sentot Iskandardinata, Kepala Staf Ekspedisi yang menyampaikan perintah operasi kepada Suharto, yang isinya Brigade Mataran harus mendarat di Bontain. Kemudian Suharto harus mengirimkan satu batalyon ke Makasar. Pasukan-pasukan Suharto mendarat dengan selamat pada tanggal 26 April 1950 di Makasar. Sementara itu Kolonel Kawilarang yang membawahi Suharto sudah diangkat menjadi Panglima Tempur dan Taktis T dan T VII Indonesia Timur menggantikan Letkol A.J. Mokoginta. Letkol Suharto memimpin Brigade III yang membawahkan Batalyon Kresno yang dipimpin oleh Mayor Daryatmo, dan Batalyon Seno yang dipimpin oleh Mayor Sujono. Latief ditempatkan pada Batalyon Seno Kompi IV yang ditempatkan di Maros 100 kilometer dari Makasar. 2 Ketika Suharto pindah ke Salatiga diserahi memimpin Brigade Pragola I, di bawah pimpinan Letkol A. Yani. Sementara itu Panglima Tentara Tritorial T.T IV membentuk satuan tugas Operasi Merdeka Timur V OMT-V, pada permulaannya yang menjadi komandan ialah Letkol M. Bachrudin, kepala Staf TT-IV.Tidak lama kemudian dia diangkat menjadi Panglima TT IV mengantikan Gatot Subroto. Pimpinan OMTV diserahkan kepada Suharto, sebagai wakilnya Mayor Komandan Brigade penembahan Senopati, dan kepala Stafnya ialah Mayor Surono. Suharto juga menumpas pemberontakan di Jawa Tengah termasuk pemberontakan Batalyon 426 yang dipimpin Kapten Sofyan. Setelah mereka dapat ditumpas maka sisanya lari bergabung dengan Da’rul Islamtentara Islam Indonesia DIITII di Bumiayu. Dengan demikian pemberontakan Batalyon 426 dapat diakhiri. Setelah diadakan konsolidasi Batalyon Pragola, yang diubah menjadi Resimen Infantri 14, atas dasar intruksi Kepala Staf Angkatan Darat KSAD tanggal 5 Januari 1952 dengan kedudukan di Salatiga. Pada tanggal 1 Maret 1953 Suharto pindah ke Solo menjadi Komandan Resimen Infantri 15. Sebelum itu pada bulan September 1952 Panglima T.T.IV sudah beralih dari Kolonel Gatot Subroto kepada Kolonel M. Bachrum. Resimen 15 di Solo ini tadinya satu-satunya dari Devisi Panembahan Senopati dengan Panglima Kolonel Sutarto yang dibunuh oleh unsur komunis, karena adanya pertentangan politik. 2 Ibid, hlm. 37 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pengaruh pertentangan politik terhadap TNI besar sekali di Solo. Pada awal 1956 Suharto dipindah ke Staf Umum Angkatan Darat sebagai Perwira Menengah Pamen yang diperlantikan kepada staf. Akan tetapi tak lama kemudian, pada tanggal 1 Maret Suharto ditugaskan kembali di lingkungan T.T.IV Diponegoro sebagai kepala staf. Setelah menjadi kepala staf selama tiga bulan, pada tanggal 3 Juni 1956 Letkol Suharto diangkat menjadi Panglima T.T.IV Diponegoro menggantikan Kolonel M. Bachrum, dan pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel. Namun, baru tanggal 1 Januari 1957 pangkat Kolonelnya menjadi efektif. Untuk menetralisasi daerah-daerah yang semula dipengaruhi oleh pemberontak, Kolonel Suharto menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk melawan pemberontak itu. Oleh karena itu, Kolonel Suharto menarik beberapa perwira muda ke Markas T.T.IV antara lain Ali Murtopo sebagai Staf di Asisten V territorial, demikian juga Sudjono Humardani. Pada tanggal 1 November 1959 Kolonel Suharto diharuskan mengikuti Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat SSKAD di Bandung. Di SSKAD Suharto bertemu dengan Brigjen Sarbini, Kolonel Munandi dan Kolonel Amir Machmud. Setelah selesai, pangkatnya dinaikkan menjadi Brigadir Jenderal dan ditempatkan di Markas Besar Angkatan Darat MBDA. Tak lama kemudian ditetapkan sebagai Deputi I KSAD. Pada tanggal 1 Maret 1961 diangkat menjadi Panglima Korps Tentara I Cadangan Umum Angkatan Darat CADUAD. 3 Pada bulan Agustus 1960 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan negeri Belanda. Setahun sebelumnya Dewan Pertimbangan Agung telah 3 Ibid, hlm. 38 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI membentuk Front Nasional bagi pembebasan Papua yang diharapkan oleh Sukarno dapat menggantikan Front Nasional pembebasan Papua bentukan pihak tentara. Pada bulan Agustus 1960 pimpinan Front Nasional yang baru itu di umumkan : Aidit dan Nyoto menjadi anggota, seperti halnya beberapa pimpinan organisasi-organisai yang berafilasi dengan PKI. Kini mulailah penyusupan militer kecil-kecilan ke Papua dan kemampuan PKI yang sangat besar dalam memobilisasikan demonstrasi-demonstrasi massa turut ambil bagian dalam rangka merebut kekuasaan atas Papua. 4 Pada bulan Januari 1960 Khrushchev berkunjung ke Jakarta dan memberikan kredit sebesar 250 juta dolar AS kepada Indonesia. Pada bulan Januari 1961 Nasutoin pergi ke Moskow dan memperoleh pinjaman sebesar 450 juta dolar dalam bentuk persenjataan dari Soviet. Kini angkatan bersenjata mulai bertambah besar untuk untuk yang pertama kali sejak Revolusi, yang mencapai jumlah sekitar 300.000 prajurit pada tahun 1961 dan 330.000 prajurit pada akhir tahun 1962. Banyak peralatan militer Indonesia yang berasal dari Soviet, termasuk pesawat-pesawat tempur modern dan pesawat-pesawat pengebom jarak jauh untuk angkatan udara serta kapal-kapal baru untuk angkatan laut. Memang sebagian besar peralatan baru itu untukangkatan laut dan angkatan udara, yaitu angkatan-angkatan yang dipandang oleh Sukarno lebih kooperatif daripada angkatan darat. Akan tetapi, perang di Papua masih berupaya kegiatan militer yang tingkat rendah. Ketika John F. Kennedy menjadi Presiden Amerika Serikat pada bulan Januari 1961, dia mulai menandingi penagaruh Soviet di 4 H. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1991, hlm 407 Indonesia dengan mengupayakan tercapainya suatu penyelesaian atas masalah Papua melalui perundingan. 15

BAB III PERAN SUHARTO DALAM PEMBEBASAN PAPUA