Sebab-sebab Konflik Batin Tokoh Saraswati
ketidak enakan. Biarpun emak dan bapak sama-sama bekerja, tetapi mereka tak pernah bisa menyisihkan sedikitpun uang untuk sekolahnya. Yang ada justru kekurangan.
Dianing Widya Yudhistira, 118:3
3.1.3 Konflik Batin karena Cintanya Saraswati Harus Dipendam dalam Hati Cinta pertamanya terhadap Sinur, Saraswati harus memendamnya dalam-dalam.
Saraswati seorang penari sintren, maka ia tidak dapat dimiliki oleh lelaki siapapun dan manapun. Walau ia memiliki perasaan kepada teman lelakinya itu semenjak duduk di
Sekolah Dasar, ia tidak dapat memiliki raganya kecuali Saraswati harus siap melihat orang yang dicintainya meninggal karenanya. Kutipan di bawah ini menunjukkan indiksi tersebut.
32. Sinur, teman laki-laki sekelasnya yang menyentuh hatinya itu, berseragam putih biru.
Ah, malang sekali. Saraswati hanya akan bisa memandang dengan sembunyi-sembunyi karena malu.
Degup jantung Saraswati bergemuruh setiap kali bayangan Sinur melintas dalam benaknya. Mengapa anak laki-laki miskin yang menarik hati Saraswati.
Dianing Widya Yudhistira, 89:1
33. Teman-teman masih memandanginya. Saraswati merasa desiran nyeri darahnya. Apakah
mungkin mereka sekelas tahu isi hatinya terhadap Sinur? Selama ini ia menyimpan dengan sangat rapi sebentuk hatinya pada Sinur.
Dianing Widya Yudhistira, 131:4
34. Sinur langsung mengambil langkah cepat menuju kelasnya. Saraswati, yang ingin
tersenyum padanya karena dilihatnya sudah masuk sekolah lagi, jadi heran. Mengapa Sinur melihat dirinya seperti melihat hantu di pagi hari?
Dianing Widya Yudhistira, 151:2
35. Inikah wajah teman laki-laki sekelasnya yang mampu melumpuhkan hatinya. Seorang
yang terpikirkan kala menjelang tidur dan saat terjaga. Ah, Sinur. Sungguh saat-saat seperti itulah yang bisa mendebarkan hati Saraswati.
Dianing Widya Yudhistira, 152:3
36. “Ah, andaikan dia jadi…,” Saraswati tidak meneruskan ucapannya dalam hati.
Dianing Widya Yudhistira, 153:1 37.
Saraswati tentu merasa tersanjung ditatap Sinur seperti itu. Kalau saja Saraswati bisa memiliki keindahan mata itu pasti dialah perempuan yang paling bahagia di muka bumi
ini. Sayang, sintren yang melekat dalam diri Saraswati tidak memungkinkan keduanya bersatu.
Dianing Widya Yudhistira, 249:1
38. Saraswati menatap sedih. Ia merasakan sebentuk cinta Sinur. Ah, mengapa hidup jadi
rumit. Dianing Widya Yudhistira, 250:1
39. Ia membuka jendela kamar. Memandang langit malam, mengucapkan kejujuran hatinya
pada Sinur. Saying ia tak akan pernah bisa memiliki Sinur kecuali ia rela kehilangan Sinur selamanya. Saraswati sungguh menyadari siapa pun lelaki yang masuk dalam
kehidupannya akan berakhir hidupnya. Dianing Widya Yudhistira, 251 dan 252:1
40. Sakit hati Saraswati. Ia melihat Sinur begitu acuh padanya.
Dianing Widya Yudhistira, 253, paragraf 2 41.
“Aku harus melupakannya,” seru Saraswati jauh di dasar hatinya. Sejak ia ingin melupakan Sinur, ia kian gencar menari sintren berkeliling dari satu kampung ke
kampung lain. Dianing Widya Yudhistira, 254:3
42. Saraswati mengangguk lesu. Ia tahu maksud orang tua Sinur. Menjauhkan Sinur darinya.
Orang tua mana yang bisa tenang bila tahu anaknya menaruh hati pada seorang sintren. Dianing Widya Yudhistira, 261:1
43. Saraswati mengangguk lesu. Ia sungguh tidak suka dengan kalimat Sinur. Yang ia
inginkan waktu-waktu mendatang, ia bisa bertemu, memandangi bola mata Sinurmenikmati seraut wajahnya yang teduh, berjalan bersisian di sepanjang jalan
menuju rumah setiap pulang sekolah, dan tentunya berbagi hati dengan Sinur. Tapi sintren yang melekat dalam tubuhnya telah membelenggunya, memenjarakan cintanya
untuk orang lain. Dianing Widya Yudhistira, 262:1
44. Bagi Saraswati, laki-laki di dunia ini tak aka nada yang mampu membahagiakan dirinya,
selain Sinur, dan hanya Sinur. Sayangnya, laki-laki itu kini jauh di kota Solo. Ah, itu lebih baik dari pada satu kampug, yang selalu bisa bertemu, tetapi tidak bisa bersatu.
Dianing Widya Yudhistira, 269:3
45. Bagaimana mungkin ia lupa dengan lelaki yang mampu memberinya rasa kangen di
dunia ini. Saraswati gugup, segera ia mempersilahkan Sinur masuk. Dianing Widya Yudhistira, 291:1
46. Saraswati menghela napas. Pedih ia dengar kata-kata indah itu. Kalau saja ia bukan
sintren, tentu ia sudah mengiyakan hasrat Sinur. Sinur bersikukuh akan melamar Saraswati dan menikahinya.
Dianing Widya Yudhistira, 292:2
3.1.4 Konflik Batin karena Nikah Paksa Konflik batin yang terjadi pada Saraswati ini disbabkan pernikahan yang tidak ia
harapkan. Pernikahan itu bukan yang ia inginkan, lelaki yang menjadi pasangannya pun bukanlah pilihannya sendiri tetapi paksaan dari emak dan masyarakat. Hali ini terjadi karena
Saraswati seorang sintren yang memiliki pesona luar biasa, maka ia harus segera dinikahkan
untuk menghindari para suami dan lelaki lanjang mengerjarnya. Ia harus menerima apa pun yang menjadi pilihan para isteri yang mengharuskannya segera mendapat pasangan hidup
dengan segala resikonya. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 47.
Coba kalau ia laki-laki dan anak juragan Wargo adalah anak perempuan. Mak tidak akan begitu saja pergi melamarkan anaknya ke juragan Wargo.
Emak akan memikirkan berkali-kali terlebih dahulu, pantaskah seorang laki-laki dengan pendidikan rendah melamar anak perempuan seorang kaya raya. Emak pasti akan
memberiya kesempatan sekolah setinggi-tingginya. Tetapi kenyataannya ia perempuan. Harus menuruti kehendak orang tuanya. Sekolah
sangat dibatasi. Yang menyedihkan, orang-orang di kampungnya akan merasa senang bila anak gadisnya cepat dilamar orang, yang berarti anaknya cepat laku.
Dianing Widya Yudhistira, 91:1
48. Ia bertarung dengan pikirannya sendiri. Sungguh Saraswati tidak ingin menerima
lamaran itu. Ia masih ingin sekolah, tetapi pertengkaran emak dan bapaknya membuat hatinya lumpuh. Terlebih keadaannya keseharian keluarganya yang masih sangat kurag.
Dianing Widya Yudhistira, 96:2
49. Saraswati gundah luar biasa. Hatinya miris. Besok adalah awal dari hilangnya masa
depan. Ia ingin dilamar kemudian menikah, punya anak lalu menghabiskan waktu di dapur. Tak ada kesempatan lagi untuk sekolah. Dunia seolah runtuh.
Dianing Widya Yudhistira, 99:2
50. Saraswati tidak tahu apakah ia harus tersenyum atau menangis. Tersenyum karena
akhirnya lamaran itu dibatalkan oleh pihak Kirman. Atau menangis, ia merasa harga dirinya dipermainkan oleh juragan Wargo. Ia ingin marah sama juragan Wargo. Ia ingin
teriak. Ingin menghancurkan semua yang ada di depannya. Ia kecewa dan sakit hati, meski sebagian hatinya lega.
Dianing Widya Yudhistira, 100:3
51. Saraswati dilamar oleh Dharma. Ia menerima lamaran itu, Saraswati memenuhi janjinya
menikah dengan Dharma selepas SMEA. Para perempuan di kampung menyambut pernikahan Saraswati dengan suka cita. Sementara para lelaki patah hati. Suami
Saraswati yang ternyata sudah tua jadilah sebagai bahan gunjingan orang-orang sekampung.
Dianing Widya Yudhistira, 270: 2
52. Selepas kepergian Dharma, ada sesuatu yang mengganggu pikiran Saraswati. Ia belum
juga paham dengan sikap Dharma. Bagaimana mungkin Dharma menikahinya hanya untuk mengamankan kekayaannya. Esoknya, kampung digegerkan oleh kabar buruk.
Kapal yang ditumpangi Dharma seorang diri pecah terbelah dua. Ia baru semalam menikah, namun ia sudah meninggal.
Dianing Widya Yudhistira, 271:1
53. Akhirnya Saraswati menuruti juga keinginan emaknya dan orang-orang kampung untuk
menikah lagi, tepat empat puluh hari setelah meninggalnya Dharma. Laki-laki itu Warno, duda belum punya anak. Satu minggu pernikahan Saraswati keadaan kampung
tenang. Menjelang hari kesembilan datang kabar buruk dari Baran. Ia terjatuh dari pohon kelapanya yang tertinggi. Untuk kedua kalinya Saraswati memakamkan suaminya. Ia
tampak tenang, tetapi wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa dukanya, karena sebentar lagi para suami di kampungnya akan mengejar-ngejar lagi pada dirinya.
Dianing Widya Yudhistira, 278 dan 279:3
54. Tiga bulan kemudian, Saraswati menikah dengan Royali, pemilik mobil angkutan kota.
Sama dengan Warno, ia juga duda belum punya anak. Sesuatu yang mencengangkan terjadi. Baru sehari Royali menikahi Saraswati mobilnya terbalik di jalan raya jalur
pantura. Royali meninggal seketika, mobilnya hancur. Saraswati bersumpah tak akan lagi mau menikah mesti orang-orang kampung mendesaknya.
Dianing Widya Yudhistira, 280:1
55. Maka menikahlah Saraswati untuk yang keempat kalinya. Kali ini dengan seorang lajang
bernama Sumito. Orang-orang kampung terkaget-kaget lagi. Baru tiga hari usia perkawinan Saraswati, toko Sumito habis terbakar. Mayat Sumito ditemukan ditempat di
dekat pintu belakang tokonya. Dianing Widya Yudhistira, 280:2
3.1.5 Konflik Batin karena Orang-orang Kampung Saraswati mengalami konflik batin karena tuntutan dari orang disekelilingnya.
Wastini yang selalu iri dengan apa yang dimiliki Saraswati, Wati teman sekelasnya yang tiada henti mengganggunya, dan beberapa orang disekelilingnya yang dapat mengganggu
pikirannya. Ditambah semenjak dirinya menjadi penari sintren ia memiliki pesona yang luar biasa. Karena itu, para suami tergila-gila dengan kecantikan yang ia miliki. Dari lelaki yang
beristeri sampai lelaki lajang berlomba-lombang untuk mendapatkan hatinya Saraswati. Semenjak itu, para isteri menuntut Saraswati agar segera memiliki pendamping. Namun,
tidak berhenti sampai disitu para isteri juga mengucilkan Saraswati sebagai perempuan pembawa sial dengan beberapa kejadian yang dianggap penybabnya adalah Saraswati di
kampungnya. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 56.
Sial juga Saraswati hari ini. Ia harus berdekatan dengan Wati, temannya yang selalu tak lelah-lelahnya mengganggunya. Padahal sedikitpun dirinya tak pernah mengganggunya.
Wati seperti mengidap penyakit parah yang bernama “mengganggu Saraswati”. Agar
Wati terbebas dari penyakitnya itu, sepertinya Wati harus mengusili dirinya. Wati pun makin senang kalau Saraswati menanggapinya.
Dianing Widya Yudhistira, 133:2
57. Saraswati menanyakan kedatangannya Legiman apa tujuannya datang ke rumahnya. Ia
tambah terkejut ketika Legiman mengatakan hanya ingin bertemu dengannya saja.
Saraswati lebih terkejut lagi ketika Legiman mengaku kangen pada dirinya. Saraswati pun bingung harus berkata apa.
Saraswati bingung setengah mati. Baru kali ini ia mendengar pengakuan dari seorang laki-laki, yang sangat mendambakannya. Semua orang tahu Legiman sudah bertunangan
dan dalam waktu dekat akan menikah dengan Kartika, ibu gurunya juga. Dianing Widya Yudhistira, 220:1
58. Saraswati tak kalah terkejutnya mendengar penuturan bapaknya kalau Legiman
melamarnya. Dianing Widya Yudhistira, 224:1
59. Dari jendela sekolah Saraswati bisa melihat Legiman yang sedang dihalau. Saraswati tak
tega melihat gurunya dihalau seperti itu. Ia tak habis pikir mengapa Legiman jadi seperti sekarang ini, seperti orang gila.
Dianing Widya Yudhistira, 232:2
60. Teriakan-teriakan Legiman membuat orang-orang yang tahu atau kenal Saraswati jadi
geleng-geleng kepala. Rupanya kecantikan dan pesona Saraswati yang elok jelita itu menjadi buah bibir diberbagai kampung. Kegilaannya Legiman disangkut pautkan
dengan Saraswati. Maka, Saraswati harus bertanggung jawab agar dapat menyembuhkan Legiman tuntutan orang kampung.
Dianing Widya Yudhistira, 233:1
61. Saraswati masih memakai seragam sekolah. Ia duduk sendiri di teras rumah. Wajahnya
menyimpan kebingungan. Ia tak mengerti mengapa Kartika harus mengakhiri hidupnya dengan seperti tiu. Ia tak mengerti mengapa juga emaknya menyalahkannya.
Dianing Widya Yudhistira, 241:4
62. Saraswati memandang kepergiannya Wati dan Dadung itu dengan menghela napas sedih.
Ia hampir tidak percaya dengan yang ia lihat. Orang-orang kampung benar-benar telah mengusir Dadung dari rumahnya sendiri.
Dianing Widya Yudhistira, 259:5
63. Hari itu ia ingat Dadung. Mestinya Saraswati memaafkan Dadung, tetapi ia tak berdaya.
Memaafkan Dadung berarti mau diganggu Dadung setiap saat. Dianing Widya Yudhistira, 260:1
64. Saraswati menaburkan mawar terakhir di atas gundukan tanah yang masih basah. Hari
itu hari mengerikan baginya. Ia sudah menduga, orang-orang kampung akan menggunjingkannya sebagai perempuan pembawa sial.
Dianing Widya Yudhistira, 274:1
65. Sejak Dharma meninggal, Saraswati juga hanya mau menemui emak da bapaknya.
Orang-orang kampung pun penasaran, mereka ingin melihat Saraswati yang lama tak mau keluar rumah.
Dianing Widya Yudhistira, 275:2
66. Bagaimana kata orang lagi kalau Saraswati cepat menikah lagi. Emak ternyata masih juga
mendesak Saraswati untuk menerima salah satu dari mereka. Tetapi Saraswati bersikukuh tidak akan menikah lagi.
Dianing Widya Yudhistira, 277:2
67. Untuk kedua kalinya Saraswati memakamkan suaminya. Ia tampak tenang, tetapi
wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa dukanya, karena sebentar lagi para suami di kampungnya akan tergila-gila lagi pada dirinya. Mereka akan hanya terbengong-
bengong sepanjang hari. Dianing Widya Yudhistira, 279:1
3.1.6 Konflik Batin Karena Kesepian dan Kesendiriannya Saraswati mengalami konflik batin yang mendalam, satu-satu orang di sekelilingnya
yang ia sayang dan cintai meninggalkannya. Karena itu ia memiliki luka yang mendalam, kesendirian membawanya terlarut dalam kesedihan sepanjang waktunya. Kutipan di bawah
ini menunjukkan indikasi tersebut. 68.
“Aku ingin menjadi perempuan biasa saja.” “Aku takut itu akan menyakitkanku. Aku ingin hidup tenang saja.”
Ungkapan dalam batin Saraswati. Dianing Widya Yudhistira, 168:2
69. Dalam kesendirian dan kesedihannya itu anak-anak kecil temannya menghampirinya lalu
menuntunnya menuju rumah pemberian Dharma. Dianing Widya Yudhistira, 274:2
70. Hari-hari Saraswati terasa sepi dn lama. Sepi. Orang-orang kampung telah menjauhinya.
Tak ada yang mau menyapanya lagi. Para perempuan menghindar begitu akan ketemu dengan dirinya. Siapapun akan lari masuk ke dalam rumah kalau Saraswati terlihat di
jalanan. Kecuali mereka para laki-laki. Para lelaki masih saja memandang Saraswati seperti memandang bidadari.
Saraswati sedih melihat sedikitnya orang yang datang melayat. Apakah akan sesepi ini kelak kalau dirinya mati? Larasati menghibur Saraswati, tak perlu perasaannya terlalu
dibawa sedih. Dianing Widya Yudhistira, 288:1
71. Kehilangan mbah Mo seperti kehilangan sesuatu dalam dirinya. Saraswati mulai
mengurung diri di rumah besar peninggalan Dharma. Selang bebarapa hari Saraswati disentakkan lagi dengan kabar Larasati yang menyusul kematian mbah Mo. “Ya
tuhan…” dalam hati Saraswati. Dianing Widya Yudhistira, 289:1
72. “Ah, mengapa begitu cepat mereka pergi,” batin Saraswati. Mereka pergi di saat
Saraswati ditimpa berbagai musibah, berturut-turut ditinggal mati suaminya, dan sekarang ditinggal mbah Mo dan Larasati.
Dianing Widya Yudhistira, 289:2
73. Saraswati kian larut dalam kesedihannya. Setiap malam ia ditemani aak-anak kecil,
mengadakan sintren di rumahnya. Saraswati menar dan terus menari sepanjang malam. Ia juga tak melupakan ritual yang diajarkan mbah Mo dan Larasati., ketika sebelum
masuk pertunjukan dengan berbusana sintren lengkap, ia berendam di air bunga tujuh rupa lalu menelangkupkan kedua tangannya di depan dadanya, dan memejamkan mata
seperti bersemedi di bawah siraman purnama. Setiap tanggal lima belas bulan Jawa, ritual itu dilakukannya, hingga kecantikannya terus terjaga.
Dianing Widya Yudhistira, 289:3
74. Sayangnya kecantikannya membawa malapetaka bagi dirinya sendiri. Banyak lelaki
jatuh cinta padanya, tetapi kemudian patah hati, merekapun malas kerja. Siapa pun yang menikahinya segera akan mati.
Dianing Widya Yudhistira, 289:4
Konflik ini merupakan bagian akhir dari cerita ini. Penyelesaikan konflik ini
diserahkan kepada pembaca untuk menginterpretasikannya sendiri apakah Saraswati mampu mengatasinya atau tidak.
Dari penjelasan di atas dapat diambil suatu garis besar bahwa konflik yang terjadi Dorongan id Saraswati menghendaki untuk segera dilaksanakan sehingga menimbulkan
perasaan senang pada diri Saraswati yang terjadi karena adanya dua dorongan yang saling bertentangan. Super ego sebagai pengontrol yang berupa norma-norma masyarakat. Ego yang
bertugas sebagai penyeimbang antara dua dorongan yang bertentangan tidak dapat menjaga keseimbangan antara dua dorongan tersebut. Disinilah konflik-konflik batin terjadi pada diri
Saraswati. Dorongan super ego lebih mendominasi dalam penyelesaian konflik batin pada Saraswati.