PERBEDAAN ORIENTASI KEBERAGAMAAN PADA SISWA SANTRI PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DAN SISWA SEKOLAH ISLAM Perbedaan Orientasi Keberagamaan Pada Siswa Santri Pondok Pesantren Tradisional dan Siswa Sekolah Islam Swasta.

(1)

PERBEDAAN ORIENTASI KEBERAGAMAAN PADA SISWA SANTRI PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DAN SISWA SEKOLAH ISLAM

SWASTA

PUBLIKASI ILMIAH

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Psikologi

Fakultas Psikologi

Oleh :

ANISYAH YASMIN ACHMAD F 100 120 126

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016


(2)

i

HALAMAN PERSETUJUAN

PERBEDAAN ORIENTASI KEBERAGAMAAN PADA SISWA SANTRI PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DAN SISWA SEKOLAH ISLAM

SWASTA

PUBLIKASI ILMIAH

Oleh :

ANISYAH YASMIN ACHMAD F 100 120 126

Telah diperiksa dan disetujui untuk dikaji oleh :

Dosen Pembimbing


(3)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

PERBEDAAN ORIENTASI KEBERAGAMAAN PADA SISWA SANTRI PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DAN SISWA SEKOLAH ISLAM

SWASTA OLEH :

ANISYAH YASMIN ACHMAD F 100 120 126

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Fakultas Psikologi

Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari Sabtu, 17 September 2016 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Dewan Penguji : 1. Drs. Soleh Amini Yahman, M.Si, Psi

(Ketua Dewan Penguji)

2. Drs. Mohammad Amir, M.Si, Psi (Anggota 1 Dewan Penguji) 3. Dra. Zahrotul Uyun, M.Si, Psi

(Anggota II Dewan Penguji) Dekan,


(4)

(5)

1

PERBEDAAN ORIENTASI KEBERAGAMAAN PADA SISWA SANTRI PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DAN SISWA SEKOLAH ISLAM

SWASTA

Anisyah Yasmin Achmad Drs. Soleh Amini Yahman, M.Si, Psi

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Nisyaanisyah@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan orientasi keberagamaan yang dimiliki oleh santri pondok pesantren tradisional dan siswa sekolah islam swasta. Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu SMA Muhammadiyah 2 Surakarta dan Pondok Pesantren Tradisional Al-Mu’min Sragen. Subjek penelitian pada penelitian ini berjumlah 100 orang dengan 50 siswa SMA Muhammadiyah 2 Surakarta dan 50 santri pondok pesantren

Al-Mu’min Sragen. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menggunakan skala orientasi keberagamaan. Teknik analisis data penelitian ini menggunakan independent sampel T-tes. Berdasarkan hasil pengujian independent sampel t-test diperoleh nilai uji-t sebesar t = -0,399 dengan nilai koefisien sig 0,691= (p>0,005) yang berarti tidak ada perbedaan orientasi keberagamaan santri pondok pesantren tradisional dan siswa sekolah islam swasta. Subjek dalam penelitian ini memiliki orientasi keagamaan yang tinggi.

Kata Kunci : orientasi keberagamaan, keberagamaan ekstrinsik-intrinsik institusi pendidikan


(6)

2 ABSTRACT

This study aims to understand and describe the religious orientation of which is owned by a traditional boarding school students and students of private Islamic schools. This research was conducted in two places, namely SMA Muhammadiyah 2 Surakarta and Traditional Pondok Pesantren Al-Mu'min Sragen. Research subjects in this study of 100 people with 50 high school students Muhammadiyah 2 Surakarta and 50 boarding school students of Al-Mu'min Sragen. Sampling was conducted by random sampling technique. The method used in this penlitian is a quantitative method by using religious orientation scale. This research data analysis techniques using independent sample t-tests. Based on the results of independent testing of samples ttest ttest values obtained at t = -0.399 with coefficient sig = 0.217 (p> 0.005) which means there is no difference in the orientation of traditional religious boarding school students and students of private Islamic schools. Subjects in this study had a religious orientation is high. Keywords : Religious orientation, religious extrinsic-intrinsic, educational institutions

1. PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan manusia yang banyak mengalami perubahan seperti fisik, intelektual, moral, sosial, emosional dan religiusitas. Pada masa remaja ini, ada suatu keinginan mencari identitas diri, rasa ingin tahu yang tinggi mengakibatkan remaja mencoba sesuatu hal yang baru. Adanya konflik batin antara ajaran agama dan norma masyarakat dengan keinginan remaja sehingga menyebabkan kecemasan dalam dirinya. Kondisi psikologis remaja mempengaruhi kehidupan beragamanya, seperti yang diungkapkan oleh Piaget yaitu remaja memiliki emosi yang sangat labil. Seorang remaja akan menyelidikinya secara teliti mengenai sesuatu yang diyakininya dalam beragama (Ismail, 2012).


(7)

3

Remaja tidak menerima begitu saja ajaran-ajaran agama yang diberikan oleh orang tuanya. Bahkan pelajaran-pelajaran agama yang pernah mereka dapatkan pada waktu masih anak-anak mulai dipertanyakan, sehingga tidak jarang menimbulkan keraguan beragama. Konflik dan keragu-raguan beragama yang terjadi pada masa remaja sering dianggap para ahli agama sebagai sesuatu yang membahayakan bagi perkembangan kehidupan dan orientasi beragama seseorang di masa yang akan datang. Tetapi menurut para ahli psikologi agama, konflik dan keraguan dalam beragama merupakan suatu hal yang wajar dari proses perkembangan kehidupan beragama seseorang, dengan mempertanyakan, mengevaluasi dan membanding-bandingkan ajaran yang satu dengan lainnya, maka remaja akan mendapatkan landasan pemahaman rasional yang kuat dalam kehidupan beragama, tidak lagi sekedar meniru apa yang diyakini dan dilakukan oleh orang tuanya (Subandi, 1995).

Setiap manusia memiliki keyakinan yang berbeda dalam menjalani kehidupan keagamaannya. Untuk membedakan keyakinan yang dimiliki setiap manusia, Psikolog menyebutnya dengan orientasi keagamaan (religious orientation). Orientasi beragama mengarah pada pendekatan keimanan, yaitu tentang apa makna iman dalam kehidupan seseorang. Konsep orientasi keagamaan ini dikembangkan oleh G.W. Allport, Allen and Spilka (Ismail, 2012). Orientasi keberagamaan berhubungan dengan keputusan individu untuk masuk dalam suatu kelompok keagamaan, yang berperan dalam membentuk kepribadian seseorang, pengalaman beragama, dan sikap seseorang dalam beragama (Wibisono, 2012).

Seorang siswa yang beragama Islam diharapkan memiliki sikap religiusitas di sekolah dengan cara melaksanakan ibadah berdasarkan keinginan individu itu sendiri, bukan karena mengikuti peraturan yang ada di sekolah. Namun belum semua siswa yang beragama Islam melaksanakan ibadah sesuai dengan keinginan individu itu sendiri ketika berada di sekolah, hanya sebagian siswa saja yang melaksanakan ibadah disekolah, seperti mengerjakan sholat sunnah serta sholat wajib di masjid sekolah (Azizah, 2009).


(8)

4

Pendidikan formal dibagi ke dalam beberapa tingkatan seperti pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dengan kurikulum yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Akan tetapi sistem pendidikan di sekolah formal, belum sepenuhnya mencapai tujuan pendidikan nasional. Hal tersebut terjadi karena pendidikan formal lebih fokus pada pendidikan akademis, sedangkan pendidikan keagamaan yang memiliki pengaruh terhadap budi pekerti dan pembinaan karakter, hanya diberikan sebagai mata pelajaran tambahan. Oleh karena itu, banyak terjadi kerusakan moral di masyarakat akibat kurangnya pendidikan keagamaan yang ada di rumah maupun di sekolah. Dari fenomena tersebut, tumbuhlah kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan keagamaan, salah satunya pondok pesantren (Hidayat, 2012).

Menurut Nasir (dalam Hidayat, 2012) Pondok pesantren adalah gabungan dari kata pondok dan pesantren. Istilah pondok berasal dari bahasa Arab yaitu kata funduk yang berarti penginapan atau hotel. Akan tetapi di dalam pesantren Indonesia, khususnya pulau Jawa, lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetakkan dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri. Sedangkan istilah pesantren secara etimologis asalnya pe-santri-an yang berarti tempat santri. Pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam.

Dhofier (dalam Hidayat, 2012) membagi pesantren menjadi dua kategori yaitu pondok pesantren tradisional (salafi) dan pondok pesantren modern (khalafi). Pesantren tradisional (salafi) mengajarkan pengajaran kitab-kitab islam klasik sebagai inti pendidikannya, tanpa mengajarkan pengetahuan umum. Sistem pendidikannya dijalankan melalui dua cara yaitu yang pertama sistem sorogan, yang berarti pengajaran dilakukan secara individual dari kyai kepada santri, diberikan kepada santri yang telah menguasai pembacaan Al-Qur’an sedangkan yang kedua yaitu sistem bandongan atau weton, yang berarti sekelompok santri mendengarkan seorang kyai membaca,


(9)

5

menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap santri membuat catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Selain itu, menurut Bashori (dalam Hidayat, 2012) dalam kebanyakan pesantren tradisional tidak memberikan ijazah sebagai tanda keberhasilan belajar, melainkan ditandai oleh prestasi kerja yang diakui oleh masyarakat, kemudian direstui oleh kyai. Pesantren tradisional, menurut Dhofier digunakan untuk memelihara dan mengembangkan ideologi Islam tradisional. Proses belajar di pesantren dan lembaga pendidikan seperti sekolah umum tidaklah sama, baik dari segi kurikulum, model pembelajaran, peserta didik dan waktu kegiatan belajar. Lembaga pendidikan yang berbentuk sekolah seperti sekolah umum, kejuruan dan madrasah memiliki model dan sistem pembelajaran yang sama. Sekolah umum islam yang didirikan oleh yayasan milik umat islam, mengatakan sekolah tersebut berdasarkan islam tetapi sistem pendidikannya sama seperti madrasah dan sekolah publik milik pemerintah dan swasta, hampir tidak ada perbedaan dengan sekolah umum biasa. Perbedaan hanya terletak pada hafalan Al- Qur’an dan jenis-jenis do’a yang diajarkan kepada siswa (Musnandar, 2014 di unduh pada 25 Februari 2016).

Menurut Psikolog Fitri Ariyanti Abidin (dalam Evidia & Hapsari, diunduh 25Februari2016), setiap anak dapat dimasukkan ke dalam suatu pondok pesantren, akan tetapi orangtua harus memiliki kesepakatan dengan anak yang akan dimasukkan ke dalam pondok pesantren tersebut seperti seorang anak yang memiliki inisiatif untuk masuk pondok pesantren maka orangtua mendukung keputusan anak tersebut. Namun apabila anak tidak setuju dengan keputusan orangtua yang ingin memasukkannya ke dalam pondok pesantren, maka hasil yang didapatkan tidak optimal yaitu sang anak masuk dalam keadaan terpaksa dan menjalaninya tidak berdasarkan keinginan. Bila orangtua menginginkan anak masuk pesantren sekaligus mendapat ilmu pengetahuan umum agar lolos ke perguruan tinggi, maka pilih pondok pesantren yang juga madrasah. Di pondok pesantren tersebut, anak mendapat


(10)

6

pelajaran agama sekaligus pelajaran umum. Tetapi jika orangtua menginginkan anak hafal Al-Qur’an dan kitab-kitab, maka pilihlah pondok pesantren yang khusus membahas Al-Qur’an dan kitab-kitab. Tujuan memasukkan anak ke dalam pondok pesantren, harus seimbang dengan minat dan kemampuan anak.

Pernyataan tersebut sesuai dengan kasus yang terjadi pada seorang anak lulusan sekolah dasar yang dimasukkan ke dalam suatu pondok pesantren oleh orangtuanya. Posisi pondok pesantren jauh dari tempat tinggal sang anak, membutuhkan waktu yang lama sekitar 12 jam dari rumah menuju pondok pesantren tersebut. Awalnya sang anak mulai beradaptasi dan belajar bersosialisasi dengan teman-temannya di tempat tersebut. Hal tersebut tidak terlalu sulit, karena beberapa teman SD sang anak melanjutkan di tempat yang sama. Setelah dua minggu, karena menjelang Ramadhan murid-murid diliburkan. Banyak dari anak-anak ini yang kemudian memilih untuk pulang ke rumah orangtuanya masing-masing, termasuk sang anak tersebut. Setiap bercerita soal situasi pesantren, sang anak merasa agak kesal, jengkel, atau perasaan sejenisnya yang bisa dimaknai dengan ketidaksiapannya untuk mengikuti aturan-aturan yang ada di dalam pondok tersebut. Namun orangtuanya masih meminta sang anak untuk mencoba kembali karena orangtua beranggapan sang anak hanya belum terbiasa. Si anak pun kembali diantar oleh ayahnya untuk masuk kembali ke pondok pesantren setelah libur berakhir. Kehadiran kedua kalinya ini adalah puncak dari perasaan tak tertahankan sang anak berada di tempat tersebut yang menyebabkan dirinya nekat kabur bersama dua orang temannya. Bersama termannya, dia membayar seorang senior yang berada di pondok tersebut untuk memberitahu jalan keluar meninggalkan pesantren. Setelah selesai, seniornya pun kembali ke pondok pesantren. Kemudian sang anak menuju ke rumah omnya dengan menggunakan angkot kemudian orangtua dari sang anak pun dihubungi, diberi informasi mengenai permasalahan yang terjadi pada sang anak. Akibatnya sang anak sudah tidak mau lagi kembali ke pesantren tersebut meskipun di rayu, di iming-iming, di beri ancaman, semua sudah tidak ampuh


(11)

7

untuk membuat hatinya kembali ke pondok pesantren (Mulkin, 2014 di unduh pada 25 Februari 2016).

Dari cerita di atas dapat disimpulkan bahwa apabila orangtua ingin memasukkan anaknya ke dalam pondok pesantren, melakukan sebuah kesepakatan terlebih dahulu dengan si anak supaya tidak ada rasa terpaksa, terbebani dan tidak nyaman selama sang anak menjalani pendidikan di pondok pesantren. Memberi suatu pengertian tentang bagaimana sistem belajar di pondok pesantren, peraturan-peraturan yang ada sehingga sang anak ketika masuk di dalam pondok pesantren sudah memiliki bekal terlebih dahulu dan tidak merasa kaget karena sudah diberi pengenalan sebelumnya sebab tidak semua anak mau bertanya seperti apakah pesantren tersebut, terkadang anak hanya mengikuti apa yang diperintahkan orangtua supaya tidak kena marah. Dari perasaan tersebut, sang anak tidak akan bertahan lama di pondok pesantren dengan kegiatan yang full setiap harinya karena menjalaninya tanpa adanya kesepakatan namun karena rasa takut menolak permintaan orangtua dan melihat temannya berada di pondok tersebut bukan berdasarkan niat dari hati.

Berdasarkan fenomena tersebut, bukan mengenai sekolah negeri atau sekolah swasta yang menjadikan suatu pertimbangan orangtua, akan tetapi bagaimana sekolah yang sesuai dengan kebutuhan sang anak dan orangtua. Sebagai contoh, orangtua yang ingin anaknya menguasai ilmu akademis serta ilmu agama, maka lebih sesuai jika memilih sekolah swasta yang proses belajarnya berdasarkan kedua ilmu tersebut seperti sekolah pondok modern. Namun permasalahannya, orangtua sering memaksa anak masuk di sekolah yang sesuai dengan kehendaknya tanpa memperhatikan kebutuhan sang anak (Nurani, 2011 di unduh pada 3 Maret 2016).

Penelitian Azizah, N (2009) sebagaimana dalam jurnal penelitian dengan judul Perilaku Moral dan Religiusitas Siswa Berlatar Belakang Pendidikan Umum dan Agama. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan perilaku moral yang signifikan dan tidak terdapat perbedaan religiusitas antara siswa berlatar


(12)

8

belakang pendidikan umum dan siswa berlatar belakang pendidikan agama, dimana siswa berlatar belakang pendidikan umum mempunyai perilaku moral yang lebih tinggi daripada siswa berlatar belakang pendidikan agama.

2. METODE

Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan skala orientasi keberagamaan. Teknik pemilihan subjek dengan menggunakan teknik random sampling. Subjek dalam penelitian ini 50 SMA Muhammadiyah 2 Surakarta dan 50 Pondok Pesantren Tradisional Al-Mu’min Sragen. Pemilihan subjek berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala yang di rujuk dari skala orientasi keagamaan (religion orientation scale) yang disusun oleh (Yahman,1991) Skala ini tersusun atas aspek-aspek sebagai berikut : (a) personal versus institusional, (b) unselfish versus selfish, (c) relevansi terhadap keseluruhan kehidupan, (d) kepenuhan penghayatan keyakinan, (e) pokok versus instrumental, (f) asosiasional versus komunal, dan (g) keteraturan penjagaan perkembangan iman.

Adapun teknik analisis yang digunakan di dalam penelitian ini menggunakan analisis independent sampel T-test yang terdiri dari uji asumsi yang di dalamnya terdapat uji normalitas dan homogenitas dan uji hipotesis. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dilihat dari nilai rerata empirik orientasi keberagamaan menunjukkan siswa sekolah islam swasta memiliki nilai rerata empirik lebih besar daripada santri pondok pesantren tradisional meskipun tidak signifikan. Diperoleh dari nilai angka 149,32 untuk santri pondok pesantren tradisional dan 150,16 untuk sekolah islam swasta. Kemungkinan munculnya hasil tersebut karena adanya sistem kurikulum yang Hal tersebut dapat terjadi karena sekolah islam swasta memiliki waktu belajar lebih lama untuk mempelajari tentang agama lebih dalam seperti terdapat beberapa pelajaran agama tafsir al-qur’an,


(13)

9

memahami arti dari al-qur’an, mempelajari hadits, sholat berjamaah yang diikuti oleh seluruh siswa dan guru, selesai sholat pun salah satu siswa diwajibkan untuk khutbah sehingga tidak berbeda dengan pondok pesantren yang hanya mengajarkan agama saja, mereka memiliki orientasi keberagamaan yang sama-sama sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Jalaluddin dan Ramayulis sebagaimana dikutip oleh (Yahman, 1999) menyatakan bahwa orientasi atau kesadaran beragama seseorang itu dipengaruhi oleh faktor kepribadian dan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dari luar diri seseorang. Perpaduan antara faktor eksternal dan faktor internal tersebut akan menentukan kualitas kehidupan keagamaan seseorang. Adapun faktor-faktor yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Faktor psikologis, yaitu kondisi mental dan kepribadian antara lain kecerdasan (kognisi) dan sensitifitas afeksi.

b. Faktor umur, kehidupan keagaamaan anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua cukup berbeda secara signifikan.

c. Faktor jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.

d. Faktor stratifikasi sosial , yaitu petani, pegawai, karyawan dan sebagainya.

e. Faktor pendidikan, yaitu pendidikan keluarga dan pendidikan kelembagaan.

Tidak adanya perbedaan orientasi keberagamaan antara santri pondok pesantren tradisional dan siswa sekolah islam swasta disebabkan oleh pemahaman orientasi keberagamaan yang dimiliki oleh keduanya sama sama mendalam.

4. PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan orientasi keberagamaan santri pondok pesantren tradisional dan siswa sekolah islam swasta memiliki kategori kriteria orientasi keberagamaan yang sama sama tergolong tinggi. Selain itu penulis juga menyarankan, Bagi subjek penelitian,


(14)

10

Diharapkan siswa dapat meningkatkan atau mempertahankan orientasi keberagamaan yang tergolong dengan cara memfungsikan keyakinan agama sebagai penuntun perilaku, menjaga iman, rajin sholat dan mengaji, mengatasi masalah dengan cara pandang melalui agama.

Bagi ustadzah/guru, berdasarkan penelitian, diketahui bahwa orientasi keberagamaan siswa tergolong tinggi. Oleh karena itu, guru/ustad/ustadzah diharapkan dapat mempertahankan metode dalam pembelajaran serta diharapkan dapat meningkatkan orientasi keberagamaan dengan cara memberikan penghargaan atau hukuman bagi siswa yang tidak melaksanakan. Bagi sekolah, berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa orientasi keberagamaan siswa tergolong tinggi. Maka dari itu, diharapkan sekolah mengoptimalkan peraturan dalam mewujudkan siswa yang islami. Bagi peneliti selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa diketahui bahwa tidak ada perbedaan orientasi keberagamaan pada siswa santri pondok pesantren tradisional dan sekolah islam swasta. Maka dari itu, diharapkan peneliti selanjutnya mengungkap lebih dalam lagi mengenai adanya perbedaan orientasi keberagamaan dengan menambah subjek atau menghubungkan dengan variabel lain.

5. PERSANTUNAN

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada bapak dan ibu yang telah senantiasa mendo’akan tanpa lelah untuk penulis. Kakak, adik dan teman-teman yang selalu mendukung penulis. Serta bapak Drs. Soleh Amini Yahman, M.Si., Psi, yang telah memberikan semangat dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, N. (2009). Perilaku Moral dan Religiusitas Siswa Berlatar Belakang Pendidikan Umum dan Agama. Jurnal Psikologi , 33, 1-2.

Evidia, S., & Hapsari, E. (2013, Februari 26). Anak Ingin Masuk Pesantren, Simak Dulu Ini. Retrieved Februari 25, 2016, from Republika.co.id :


(15)

11

http://www.republika.co.id/berita/humaira/samara/13/02/26/mitanz -anak-ingin-masuk-pesantren-simak-dulu-ini

Hidayat. (2012). Perbedaan Penyesuaian Diri Santri Pondok Pesantren Tradisional dan Moderen. Talenta Psikologi , 1, 115-117.

Ismail, R. (2012). Keberagamaan Koruptor Menurut Psikologi (Tinjauan Orientasi Keagamaan dan Psikografi Agama). Jurnal Esensia , XIII, 292-293.

Mahmud, A. (2015, Oktober 28). Sekolah Negeri dan Swasta, Jelas Beda ? Retrieved Maret 3, 2016, from Kompasiana.com :

http://www.kompasiana.com/amirudinmahmud/sekolah-negeri-dan-swasta-jelas-beda_5630643f517a617d08a9b118

Mulkin, M. (2014, April 28). Anak Kabur dari Pesantren, Salah Siapa? .Retrieved Februari 25, 2016, from Kompasiana.com : http://www.kompasiana.com/mauliahmulkin/anak-kabur-dari

pesantren- salah-siapa_54f5ef6aa333113d078b458c

Musnandar, A. (2014, April 28). Pesantren Sekolah Publik dan

Madrasah.Retrieved Februari 25, 2016, from umm.ac.id

:http://www.umm.ac.id/id/detail-164-pesantren-sekolah-publik-dan madrasah-opini-umm.html

Nurani, P. B. (2011, Juli 8). Memilih Sekolah Sesuai Kebutuhan. Retrieved Maret 3, 2016, from Kompasiana.com:

http://www.kompasiana.com/prastiwibhaktinurani/memilih-sekolah-sesuai kebutuhan_5500f4c9a33311ef6f512ade

Subandi. (1995). Perkembangan Kehidupan Beragama. Buletin Psikologi, III (1), 11-18.

Wibisono, S. (2012). Orientasi Keberagaman, Modal Sosial dan Prasangka Terhadap Kelompok Agama lain Pada Mahasiswa Muslim. Jurnal insan ,14, 137-138.

Yahman, S. A. (1999). Orientasi Keagamaan Siswa Santri Pondok Pesantren Tradsional Dan Pondok Pesantren Modern Dengan Siswa Pada Sekolah Umum Yang Berlatar Belakang Pendidikan Agama Islam. Tesis : Tidak Diterbitkan , 18-22.


(1)

6

pelajaran agama sekaligus pelajaran umum. Tetapi jika orangtua menginginkan anak hafal Al-Qur’an dan kitab-kitab, maka pilihlah pondok pesantren yang khusus membahas Al-Qur’an dan kitab-kitab. Tujuan memasukkan anak ke dalam pondok pesantren, harus seimbang dengan minat dan kemampuan anak.

Pernyataan tersebut sesuai dengan kasus yang terjadi pada seorang anak lulusan sekolah dasar yang dimasukkan ke dalam suatu pondok pesantren oleh orangtuanya. Posisi pondok pesantren jauh dari tempat tinggal sang anak, membutuhkan waktu yang lama sekitar 12 jam dari rumah menuju pondok pesantren tersebut. Awalnya sang anak mulai beradaptasi dan belajar bersosialisasi dengan teman-temannya di tempat tersebut. Hal tersebut tidak terlalu sulit, karena beberapa teman SD sang anak melanjutkan di tempat yang sama. Setelah dua minggu, karena menjelang Ramadhan murid-murid diliburkan. Banyak dari anak-anak ini yang kemudian memilih untuk pulang ke rumah orangtuanya masing-masing, termasuk sang anak tersebut. Setiap bercerita soal situasi pesantren, sang anak merasa agak kesal, jengkel, atau perasaan sejenisnya yang bisa dimaknai dengan ketidaksiapannya untuk mengikuti aturan-aturan yang ada di dalam pondok tersebut. Namun orangtuanya masih meminta sang anak untuk mencoba kembali karena orangtua beranggapan sang anak hanya belum terbiasa. Si anak pun kembali diantar oleh ayahnya untuk masuk kembali ke pondok pesantren setelah libur berakhir. Kehadiran kedua kalinya ini adalah puncak dari perasaan tak tertahankan sang anak berada di tempat tersebut yang menyebabkan dirinya nekat kabur bersama dua orang temannya. Bersama termannya, dia membayar seorang senior yang berada di pondok tersebut untuk memberitahu jalan keluar meninggalkan pesantren. Setelah selesai, seniornya pun kembali ke pondok pesantren. Kemudian sang anak menuju ke rumah omnya dengan menggunakan angkot kemudian orangtua dari sang anak pun dihubungi, diberi informasi mengenai permasalahan yang terjadi pada sang anak. Akibatnya sang anak sudah tidak mau lagi kembali ke pesantren tersebut meskipun di rayu, di iming-iming, di beri ancaman, semua sudah tidak ampuh


(2)

7

untuk membuat hatinya kembali ke pondok pesantren (Mulkin, 2014 di unduh pada 25 Februari 2016).

Dari cerita di atas dapat disimpulkan bahwa apabila orangtua ingin memasukkan anaknya ke dalam pondok pesantren, melakukan sebuah kesepakatan terlebih dahulu dengan si anak supaya tidak ada rasa terpaksa, terbebani dan tidak nyaman selama sang anak menjalani pendidikan di pondok pesantren. Memberi suatu pengertian tentang bagaimana sistem belajar di pondok pesantren, peraturan-peraturan yang ada sehingga sang anak ketika masuk di dalam pondok pesantren sudah memiliki bekal terlebih dahulu dan tidak merasa kaget karena sudah diberi pengenalan sebelumnya sebab tidak semua anak mau bertanya seperti apakah pesantren tersebut, terkadang anak hanya mengikuti apa yang diperintahkan orangtua supaya tidak kena marah. Dari perasaan tersebut, sang anak tidak akan bertahan lama di pondok pesantren dengan kegiatan yang full setiap harinya karena menjalaninya tanpa adanya kesepakatan namun karena rasa takut menolak permintaan orangtua dan melihat temannya berada di pondok tersebut bukan berdasarkan niat dari hati.

Berdasarkan fenomena tersebut, bukan mengenai sekolah negeri atau sekolah swasta yang menjadikan suatu pertimbangan orangtua, akan tetapi bagaimana sekolah yang sesuai dengan kebutuhan sang anak dan orangtua. Sebagai contoh, orangtua yang ingin anaknya menguasai ilmu akademis serta ilmu agama, maka lebih sesuai jika memilih sekolah swasta yang proses belajarnya berdasarkan kedua ilmu tersebut seperti sekolah pondok modern. Namun permasalahannya, orangtua sering memaksa anak masuk di sekolah yang sesuai dengan kehendaknya tanpa memperhatikan kebutuhan sang anak (Nurani, 2011 di unduh pada 3 Maret 2016).

Penelitian Azizah, N (2009) sebagaimana dalam jurnal penelitian dengan judul Perilaku Moral dan Religiusitas Siswa Berlatar Belakang Pendidikan Umum dan Agama. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan perilaku moral yang signifikan dan tidak terdapat perbedaan religiusitas antara siswa berlatar


(3)

8

belakang pendidikan umum dan siswa berlatar belakang pendidikan agama, dimana siswa berlatar belakang pendidikan umum mempunyai perilaku moral yang lebih tinggi daripada siswa berlatar belakang pendidikan agama.

2. METODE

Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan skala orientasi keberagamaan. Teknik pemilihan subjek dengan menggunakan teknik random sampling. Subjek dalam penelitian ini 50 SMA Muhammadiyah 2 Surakarta dan 50 Pondok Pesantren Tradisional Al-Mu’min Sragen. Pemilihan subjek berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala yang di rujuk dari skala orientasi keagamaan (religion orientation scale) yang disusun oleh (Yahman,1991) Skala ini tersusun atas aspek-aspek sebagai berikut : (a) personal versus institusional, (b) unselfish versus selfish, (c) relevansi terhadap keseluruhan kehidupan, (d) kepenuhan penghayatan keyakinan, (e) pokok versus instrumental, (f) asosiasional versus komunal, dan (g) keteraturan penjagaan perkembangan iman.

Adapun teknik analisis yang digunakan di dalam penelitian ini menggunakan analisis independent sampel T-test yang terdiri dari uji asumsi yang di dalamnya terdapat uji normalitas dan homogenitas dan uji hipotesis.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dilihat dari nilai rerata empirik orientasi keberagamaan menunjukkan siswa sekolah islam swasta memiliki nilai rerata empirik lebih besar daripada santri pondok pesantren tradisional meskipun tidak signifikan. Diperoleh dari nilai angka 149,32 untuk santri pondok pesantren tradisional dan 150,16 untuk sekolah islam swasta. Kemungkinan munculnya hasil tersebut karena adanya sistem kurikulum yang Hal tersebut dapat terjadi karena sekolah islam swasta memiliki waktu belajar lebih lama untuk mempelajari tentang agama lebih dalam seperti terdapat beberapa pelajaran agama tafsir al-qur’an,


(4)

9

memahami arti dari al-qur’an, mempelajari hadits, sholat berjamaah yang diikuti oleh seluruh siswa dan guru, selesai sholat pun salah satu siswa diwajibkan untuk khutbah sehingga tidak berbeda dengan pondok pesantren yang hanya mengajarkan agama saja, mereka memiliki orientasi keberagamaan yang sama-sama sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Jalaluddin dan Ramayulis sebagaimana dikutip oleh (Yahman, 1999) menyatakan bahwa orientasi atau kesadaran beragama seseorang itu dipengaruhi oleh faktor kepribadian dan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dari luar diri seseorang. Perpaduan antara faktor eksternal dan faktor internal tersebut akan menentukan kualitas kehidupan keagamaan seseorang. Adapun faktor-faktor yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Faktor psikologis, yaitu kondisi mental dan kepribadian antara lain kecerdasan (kognisi) dan sensitifitas afeksi.

b. Faktor umur, kehidupan keagaamaan anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua cukup berbeda secara signifikan.

c. Faktor jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.

d. Faktor stratifikasi sosial , yaitu petani, pegawai, karyawan dan sebagainya.

e. Faktor pendidikan, yaitu pendidikan keluarga dan pendidikan kelembagaan.

Tidak adanya perbedaan orientasi keberagamaan antara santri pondok pesantren tradisional dan siswa sekolah islam swasta disebabkan oleh pemahaman orientasi keberagamaan yang dimiliki oleh keduanya sama sama mendalam.

4. PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan orientasi keberagamaan santri pondok pesantren tradisional dan siswa sekolah islam swasta memiliki kategori kriteria orientasi keberagamaan yang sama sama tergolong tinggi. Selain itu penulis juga menyarankan, Bagi subjek penelitian,


(5)

10

Diharapkan siswa dapat meningkatkan atau mempertahankan orientasi keberagamaan yang tergolong dengan cara memfungsikan keyakinan agama sebagai penuntun perilaku, menjaga iman, rajin sholat dan mengaji, mengatasi masalah dengan cara pandang melalui agama.

Bagi ustadzah/guru, berdasarkan penelitian, diketahui bahwa orientasi keberagamaan siswa tergolong tinggi. Oleh karena itu, guru/ustad/ustadzah diharapkan dapat mempertahankan metode dalam pembelajaran serta diharapkan dapat meningkatkan orientasi keberagamaan dengan cara memberikan penghargaan atau hukuman bagi siswa yang tidak melaksanakan. Bagi sekolah, berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa orientasi keberagamaan siswa tergolong tinggi. Maka dari itu, diharapkan sekolah mengoptimalkan peraturan dalam mewujudkan siswa yang islami. Bagi peneliti selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa diketahui bahwa tidak ada perbedaan orientasi keberagamaan pada siswa santri pondok pesantren tradisional dan sekolah islam swasta. Maka dari itu, diharapkan peneliti selanjutnya mengungkap lebih dalam lagi mengenai adanya perbedaan orientasi keberagamaan dengan menambah subjek atau menghubungkan dengan variabel lain.

5. PERSANTUNAN

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada bapak dan ibu yang telah senantiasa mendo’akan tanpa lelah untuk penulis. Kakak, adik dan teman-teman yang selalu mendukung penulis. Serta bapak Drs. Soleh Amini Yahman, M.Si., Psi, yang telah memberikan semangat dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, N. (2009). Perilaku Moral dan Religiusitas Siswa Berlatar Belakang Pendidikan Umum dan Agama. Jurnal Psikologi , 33, 1-2.

Evidia, S., & Hapsari, E. (2013, Februari 26). Anak Ingin Masuk Pesantren, Simak Dulu Ini. Retrieved Februari 25, 2016, from Republika.co.id :


(6)

11

http://www.republika.co.id/berita/humaira/samara/13/02/26/mitanz -anak-ingin-masuk-pesantren-simak-dulu-ini

Hidayat. (2012). Perbedaan Penyesuaian Diri Santri Pondok Pesantren Tradisional dan Moderen. Talenta Psikologi , 1, 115-117.

Ismail, R. (2012). Keberagamaan Koruptor Menurut Psikologi (Tinjauan Orientasi Keagamaan dan Psikografi Agama). Jurnal Esensia , XIII, 292-293.

Mahmud, A. (2015, Oktober 28). Sekolah Negeri dan Swasta, Jelas Beda ? Retrieved Maret 3, 2016, from Kompasiana.com :

http://www.kompasiana.com/amirudinmahmud/sekolah-negeri-dan-swasta-jelas-beda_5630643f517a617d08a9b118

Mulkin, M. (2014, April 28). Anak Kabur dari Pesantren, Salah Siapa? .Retrieved

Februari 25, 2016, from Kompasiana.com :

http://www.kompasiana.com/mauliahmulkin/anak-kabur-dari pesantren- salah-siapa_54f5ef6aa333113d078b458c

Musnandar, A. (2014, April 28). Pesantren Sekolah Publik dan

Madrasah.Retrieved Februari 25, 2016, from umm.ac.id

:http://www.umm.ac.id/id/detail-164-pesantren-sekolah-publik-dan madrasah-opini-umm.html

Nurani, P. B. (2011, Juli 8). Memilih Sekolah Sesuai Kebutuhan. Retrieved Maret

3, 2016, from Kompasiana.com:

http://www.kompasiana.com/prastiwibhaktinurani/memilih-sekolah-sesuai kebutuhan_5500f4c9a33311ef6f512ade

Subandi. (1995). Perkembangan Kehidupan Beragama. Buletin Psikologi, III (1), 11-18.

Wibisono, S. (2012). Orientasi Keberagaman, Modal Sosial dan Prasangka Terhadap Kelompok Agama lain Pada Mahasiswa Muslim. Jurnal insan ,14, 137-138.

Yahman, S. A. (1999). Orientasi Keagamaan Siswa Santri Pondok Pesantren Tradsional Dan Pondok Pesantren Modern Dengan Siswa Pada Sekolah Umum Yang Berlatar Belakang Pendidikan Agama Islam. Tesis : Tidak Diterbitkan , 18-22.


Dokumen yang terkait

PERBEDAAN KECEMASAN ANTARA SISWA SMP DAN SANTRI PONDOK PESANTREN KELAS I

0 3 9

PERBEDAAN RELIGIUSITAS PADA REMAJA SANTRI PONDOK PESANTREN DENGAN REMAJA SEKOLAH MENENGAH UMUM

0 5 1

PERBEDAAN ORIENTASI KEBERAGAMAAN PADA SISWA SANTRI PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DAN SISWA SEKOLAH ISLAM Perbedaan Orientasi Keberagamaan Pada Siswa Santri Pondok Pesantren Tradisional dan Siswa Sekolah Islam Swasta.

0 3 16

PENDAHULUAN Perbedaan Orientasi Keberagamaan Pada Siswa Santri Pondok Pesantren Tradisional dan Siswa Sekolah Islam Swasta.

0 2 9

PERBEDAAN ORIENTASI KEBERAGAMAAN PADA SANTRI PONDOK PESANTREN MODREN DAN SISWA SEKOLAH MADRASAH ALIYAH Perbedaan Orientasi Keberagamaan Pada Santri Pondok Pesantren Modren Dan Siswa Sekolah Madrasah Aliyah Negeri.

0 4 16

PERBEDAAN ORIENTASI KEBERAGAMAAN PADA SANTRI PONDOK PESANTREN MODREN DAN SISWA SEKOLAH MADRASAH ALIYAH Perbedaan Orientasi Keberagamaan Pada Santri Pondok Pesantren Modren Dan Siswa Sekolah Madrasah Aliyah Negeri.

0 1 16

PENDAHULUAN Perbedaan Orientasi Keberagamaan Pada Santri Pondok Pesantren Modren Dan Siswa Sekolah Madrasah Aliyah Negeri.

0 3 11

PERBEDAAN PENYESUAIAN DIRI SANTRI DI PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DAN MODERN.

0 1 8

HUBUNGAN ANTARA KEMANDIRIAN DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA (SANTRI) PONDOK PESANTREN Hubungan Antara Kemandirian Dengan Penyesuaian Diri Pada Siswa (Santri) Pondok Pesantren.

2 6 16

HUBUNGAN ANTARA KEMANDIRIAN DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA PONDOK PESANTREN Hubungan Antara Kemandirian Dengan Penyesuaian Diri Pada Siswa (Santri) Pondok Pesantren.

0 0 11