INAKTIVASI BAKTERI PATOGEN S. aureus ATCC 25923, S

109

VI. INAKTIVASI BAKTERI PATOGEN S. aureus ATCC 25923, S

. Typhimurium ATCC 14028, E . coli ATCC 25922 DENGAN METODE UV seri-HPEF SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KERUSAKAN SEL BAKTERI [Inactivation of Bacteria S . aureus ATCC 25923, S. Typhimurium ATCC

14028, E

. coli ATCC 25922 Influence of UV series-HPEF and Its Cell Damage] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja unit kombinasi UV seri- HPEF yang dihasilkan pada penelitian sebelumnya dalam menginaktivasi populasi bakteri Gram-positif S. aureus ATCC 25923 dan dua bakteri Gram- negatif S. Thyphimurium ATCC 14028 dan E. coli ATCC 25922 yang diinokulasi pada media susu kambing steril. Peralatan pasteurisasi metode UV menggunakan 3 buah reaktor yang disusun seri dengan menggunakan UV-C 10 W panjang gelombang 253.7 nm Kada-USA Inc dengan dosis 1.80 Jcm 2 per reaktor. Peralatan HPEF menggunakan kuat medan listrik 31.67 kVcm dengan jumlah pulsa 7.0, kecepatan aliran susu kambing sebesar 4.32 ± 0.71 ccdetik. Metode penghitungan bakteri patogen mengacu pada SNI 01-2782-1998. Laju inaktivasi bakteri patogen S. Typhimurium ATCC 14028, E. coli ATCC 25922 dan S. aureus ATCC 25923 berturut-turut adalah 0.28; 0.07 dan 0.19 log siklus atau 6.35, 1.66; 4.34 log cfumljam, nilai D berturut-turut 0.16; 0.60 dan 0.23 jam. Pengamatan kerusakan sel dengan SEM Scanning Electron Microscopy menunjukkan sel S. Thyphimurium ATCC 14028 dan S. aureus ATCC 25923 mengalami perubahan bentuk. Kata kunci: E. coli, HPEF-UV, S. Typhimurium, S. aureus Abstract The research was objected to study the unit performance combination of UV series-HPEF in activating bacteria population of Gram-positive S. aureus ATCC 25923 and Gram-negative S Typhimurium ATCC 14028 and E. coli ATCC 25922 inoculated in sterilized goat’s milk. UV pasteurization instrument employed three reactors constructed in series system at UV-C 10 W, 253.7 nm wavelength made in Kada USA Inc with 1.80 Jcm 2 dose per reactor. HPEF instrument used high pulsed electric field at 31.67 kVcm, 7.0 pulses and goat’s milk rate at 4.32 ± 0.71 ccsecond. Pathogenic bacteria was observed according to Indonesian National Standard 01-2782-1998. Inactivation rate of pathogenic bacteria i.e. S Typhimurium ATCC 14028, E. coli ATCC 25922 and S. aureus ATCC 25923 were 0.28; 0.07 and 0.19 log cycle or 6.35, 1.66; and 4.34 log cfumlhour, respectively; D value was 0.16; 0.60 and 0.23 hour. Cell observation using SEM Scanning Electron Microscopy showed that S. Typhimurium ATCC 14028 and S. aureus ATCC 25923 had formation changes. Keywords: E. coli, HPEF-UV, S. Typhimurium, S. aureus 110 Pendahuluan Faktor keamanan pangan dengan upaya mempertahankan kualitas sensori dan nutrisi bahan pangan merupakan dasar dari penerapan kombinasi metode pengawetan pangan yang disebut dengan teknologi hurdle Leistner 2000. Kesadaran konsumen terhadap produk pangan alami, produk dalam kondisi segar dengan proses pengolahan yang minimal dan kandungan bahan pangan yang terjaga terus meningkat. Hal ini mendorong pengembangan teknologi pengolahan pangan alternatif seperti teknologi UV Guerrero-Beltran dan Barbosa-Cannovas 2004 dan teknologi HPEF Ho dan Mittal 2000. Sinar UV telah banyak digunakan pada proses bahan pangan, meskipun demikian hingga saat ini masih sangat terbatas informasi tentang kajian aplikasi sinar UV untuk bahan pangan yang dilaporkan Koutchma et al. 2009. Treatment chamber harus didesain sedemikian rupa untuk dilewati bahan pangan cair dengan lapisan tipis hingga medium untuk meningkatkan laju inaktivasi mikroorganisme. Laju inaktivasi mikroorganisme tergantung pada dosis UV yang diaplikasikan meskipun juga terjadi sedikit peningkatan suhu akibat adanya paparan sinar UV Binstsis et al. 2000. Perlakuan HPEF pada bahan pangan menghasilkan perubahan sensori dan kandungan bahan pangan yang minimal Ho dan Mittal 2000. Hal ini dikarenakan bahan pangan dikenai medan pulsa listrik tegangan tinggi dalam waktu singkat. Laju inaktivasi mikroorganisme metode HPEF tergantung pada kuat medan listrik, lebar pulsa dan jumlah pulsa Barbosa-Canovas et al. 1998. Susu dapat menjadi salah satu sarana bagi berkembangnya bakteri patogen. Di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 76 juta kasus keracunan pangan yang menyebabkan 325 ribu orang dirawat di rumah sakit, dan 5 200 kasus kematian Mead et al. 1999. CDC Centers for Disease Control and Prevention melaporkan terdapat 17 248 dan 1 413 kasus keracunan yang diakibatkan S. aureus selama periode 1973-1987 dan 1983-1987 atau sekitar 14 dan 1.6 dari total kasus yang diakibatkan bakteri patogen Olsen et al. 2000. S. aureus ditemukan pada susu dan produk olahan susu sebagai salah satu penyebabnya. Cemaran Salmonella pada susu segar di USA dan di UK berturut-turut sebesar 4.7 dan 0.06 Anon 1998. Kontaminasi Salmonella pada susu segar 111 biasanya terjadi karena proses pemerahan yang tidak bersih serta sanitasi yang buruk. Kejadian luar biasa keracunan makanan karena Salmonella salmonelosis masih terjadi di banyak negara. E . coli sering dijadikan sebagai indikator kontaminasi pada bahan pangan. Tahun 2000 sekitar 2.4 milyar pound daging sapi ditarik dari pasaran karena terkontaminasi E. coli O157:H7. Bahan pangan yang telah terkontaminasi E. coli O157:H7 dapat tertular pada manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Sumber cemaran berasal dari industri yang mengolah produk pangan serta sumber lain yang telah tercemar pada waktu proses pengolahan, distribusi dan penyimpanan, atau pada saat persiapan hingga penyajian Amiali et al. 2004. Lahan pertanian yang menggunakan manure sebagai pupuk organik, kemungkinan besar juga dapat menjadi sumber penularan. Peningkatan keamanan pangan terhadap makanan asal hewan yang akan dikonsumsi manusia dan penanganan buah atau sayur-sayuran segar yang dipupuk dengan kotoran sapi, perlu ditekankan untuk mencegah dan menurunkan prevalensi food borne pathogens selama dalam mata rantai penyiapan makanan mulai dari produksi sampai di tangan konsumen. Oleh karena itu inaktivasi bakteri patogen pada susu kambing yang efektif dengan memperhatikan keinginan konsumen menjadi sangat penting untuk dilakukan. Gachovska et al. 2008 melaporkan reduksi maksimum E. coli pada jus apel dengan kombinasi metode UV dan HPEF. Penelitian mendapatkan reduksi sebesar 5.35 log cfuml dengan kondisi HPEF kuat medan listrik 60 kVcm; energi spesifik 162 Jml, 11.3 pulsa dan kondisi UV panjang 50 cm; waktu perlakuan 2.94 detik; laju aliran 8 mlmenit. Amiali et al. 2004 melaporkan reduksi bakteri S. enteritidis dan E. coli yang diinokulasikan pada kuning telur sebanyak 10 7 cfuml dan mendapat perlakuan HPEF. Perlakuan HPEF pada aliran kontinyu dengan suhu proses 20, 30 dan 40 o C menggunakan kuat medan 20 dan 30 kVcm menghasilkan reduksi maksimum berturut-turut sebesar lima dan 4.5 log siklus. Krishnamurthy et al. 2008 melaporkan aplikasi cahaya UV dengan panjang gelombang 100 – 1100 nm untuk menginaktivasi S. aureus ATCC 25923 pada media susu. Aplikasi dengan volume chamber 12, 30 dan 48 ml 112 dengan lama waktu perlakuan 30, 105 dan 180 detik pada variasi jarak 8, 10.5 dan 13 cm menghasilkan reduksi antara 0.26 – 8.55 log siklus. Perubahan atau kerusakan sel bakteri umumnya dinyatakan dalam bentuk kebocoran sel, perubahan ukuran dan ketebalan dinding sel, maupun penampakan sitoplasma. Kerusakan sel oleh medan listrik telah diamati oleh beberapa peneliti sebelumnya dengan menggunakan SEM, Zhong et al. 2009 pada jaringan tomat, Zhong et al. 2009 pada jaringan jagung, Naufalin 2005 pada ekstrak bunga kecombrang, Parhusip 2006 pada ekstrak buah andaliman, Asriani 2006 pada minyak kelapa serta Suliantari 2009 pada ekstrak sirih hijau terhadap berbagai bakteri Gram positif dan Gram negatif. Hasil penelitian tersebut umumnya melaporkan bahwa kerusakan pada sel bakteri diawali dengan rusaknya membran sel yang berlanjut dengan keluarnya material isi sel dan akhirnya sel bakteri mengalami kematian. Penelitian ini bertujuan membandingkan laju inaktivasi bakteri patogen Gram positif S. aureus ATCC 25923 dan bakteri Gram negatif S. Thyphimurium ATCC 14208 dan E. coli ATCC 25922 yang diinokulasikan pada susu kambing dengan kondisi UV waktu perlakuan 159.72 detik, debit 4.32 ± 0.71 ccdetik, dosis 5.41 Jcm 2 dan kondisi HPEF kuat medan 31.67 kVcm, jarak elektrode 3 mm, waktu perlakuan 0.48 μs, jumlah pulsa 7.0 serta menentukan nilai D waktu yang diperlukan untuk menurunkan jumlah bakteri satu log siklus. Penentuan nilai D pada produk susu kambing dengan metode kombinasi UV seri-HPEF masih belum banyak dilakukan, demikian pula tentang kajian perubahan morfologi sel bakteri patogen tersebut menggunakan SEM. Bahan dan Metode Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan adalah kultur S. aureus ATCC 25923, E. coli ATCC 25922 dan S. Typhimurium ATCC 14208 yang diperoleh dari koleksi kultur Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bahan-bahan lain adalah susu kambing yang diperoleh dari peternakan rakyat di Ciampea Bogor, media Plate Count Agar PCA, media Buffer Pepton Water BPW, media Natrium Agar, 113 media Eosin Metylen Blue Agar EMBA, media Beird Park Agar BPA, telurit, kuning telur egg yolk, NaCl fisiologis 0.85, kristal violet, iodium Gram. Lugol, safranin, alkohol 70 serta alkohol 90. Bahan untuk preparasi pengamatan perubahan morfologis bakteri dengan SEM adalah buffer cacodilat, glutaraldehid, tannic acid dan OsO 4 , etanol, aseton, resin, film yang diperoleh dari Laboratorium Zoologi LIPI Cibinong Bogor. Alat Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah vortex, spektro- fotometer , mikroskop, inkubator, tabung ulir, tabung reaksi, botol schott, pipet volumetrik, labu erlenmeyer, pipet mikro, tip, stick hockey, hot plate, hitter, oven, jarum ose, sentrifuse dan tabung eppendorf, unit pasteurisasi UV seri-HPEF Gambar 6.1 dan SEM JEOL JSM-5310LV. Gambar 6.1 Skematik peralatan pengujian UV seri - HPEF Keterangan : 1 = separating funnel 2 = reaktor UV 3 = tabung quartz 4 = lampu UV 5 = selang silikon ”food grade” 6 = treatment chamber 7 = HPEF Wadah sampel 1 2 3 4 Reaktor UV 1 Reaktor UV 2 Reaktor UV 3 5 6 7 114 Metode Penelitian Persiapan Bakteri Uji . Persiapan bakteri uji S. aureus ATCC 25923, S. Typhimurium ATCC 14208 dan E. coli ATCC 25922 dilakukan dengan pemeriksaan kemurnian bakteri melalui pengamatan mikroskopik terhadap preparat bakteri dengan bantuan pewarnaan Gram, untuk menentukan keseragaman sel dan bebas dari kontaminan. Pengujian katalase dilakukan dengan penambahan H 2 O 2 terhadap preparat bakteri. Penyegaran dilakukan untuk mendapatkan bakteri berumur 24 jam. Pewarnaan Gram Fardiaz 1989 . Metode yang digunakan untuk penentuan keseragaman koloni bakteri adalah dengan metode pewarnaan Gram. Sampel bakteri dari koloni yang homogen ditumbuhkan pada media Nutrient Agar NA selama 24 jam. Pembuatan preparat dilakukan dengan pengambilan koloni satu ose dan dioleskan pada kaca obyek lalu difiksasi panas. Olesan bakteri ditetesi dengan kristal violet dan didiamkan selama satu menit, kemudian dibilas dengan aquadestilata. Selanjutnya olesan bakteri ditetesi iodium Gram dan didiamkan selama dua menit lalu dibilas dengan aquades dan ditiriskan. Preparat dicuci dengan cara ditetesi etanol 95 selama 30 detik, segera dicuci dengan aquadestilata dan ditiriskan. Preparat kemudian ditetesi dengan safranin selama 30 detik dan segera dibilas dengan aquades. Preparat yang telah kering, diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Sel bakteri S. aureus yang merupakan bakteri Gram positif akan berwarna biru, sedangkan E. coli dan S. Typhimurium yang merupakan bakteri Gram negatif akan berwarna merah. Penyegaran Bakteri Uji . Sebanyak satu ml bakteri stok ditumbuhkan dalam media Nutrient Broth NB, dibiakkan ke dalam tabung yang berisi 9 ml media NB steril, diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 o C. Standardisasi populasi bakteri melalui pengukuran nilai optical density OD menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 620 nm, untuk mendapatkan populasi uji sebesar 10 5 cfuml atau setara dengan OD sebesar 0.25. Rekontaminasi pada Susu Kambing . Susu kambing sebanyak satu liter disterilkan dengan autoklaf pada suhu 115 o C selama tiga menit dan siap direkontaminasi dengan bakteri uji yang telah dibiakkan sebelumnya dengan konsentrasi 10 5 cfuml. 115 Perhitungan Jumlah Bakteri S. aureus SNI 01-2782-1998 . Sampel susu dari treatment chamber diambil sebanyak satu ml dengan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi sembilan ml BPW steril sebagai pengenceran sepersepuluh P -1 . Hasil pengenceran ini dipipet sebanyak satu ml untuk diencerkan lagi ke dalam sembilan ml BPW steril sebagai pengenceran seperseratus P -2 . Pengenceran ini dilakukan hingga P -5 . Pemupukan dilakukan dari pengenceran P -3 sampai P -5 secara duplo. Sebanyak satu ml dari masing-masing pengenceran P -3 sampai P -5 dipupukkan ke dalam cawan petri steril yang telah berisi media BPA - Egg Yolk Tellurite sebanyak 12-15 ml yang telah memadat. Sampel tersebut disebar menggunakan stick hockey steril. Setelah sampel mengering, cawan petri diinkubasi pada suhu 37+1 o C dengan posisi terbalik selama 24 jam. Hal yang sama dilakukan pada sampel kontrol, yaitu susu yang diinokulasi dengan bakteri patogen S. aureus ATCC 25923 tanpa perlakuan UV seri-HPEF. Perhitungan Jumlah Bakteri E. coli SNI 01-2782-1998 . Sampel susu dari treatment chamber diambil sebanyak satu ml dengan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi sembilan ml BPW steril sebagai pengenceran sepersepuluh P -1 . Hasil pengenceran ini dipipet sebanyak satu ml untuk diencerkan lagi ke dalam sembilan ml BPW steril sebagai pengenceran seperseratus P -2 . Pengenceran ini dilakukan hingga P -5 . Pemupukan dilakukan dari pengenceran P -3 sampai P -5 secara duplo. Sebanyak satu ml dari masing-masing pengenceran P -3 sampai P -5 dipipet ke dalam cawan petri steril dan dipupukkan dengan media Eosin Methylene Blue Agar EMBA yang bersuhu ± 37 o C sebanyak 12-15 ml. Campuran tersebut dihomogenkan dengan cara cawan petri digerakkan dengan arah membentuk angka delapan. Setelah agar memadat, cawan petri diinkubasi pada suhu 37+1 o C dengan posisi terbalik selama 24 jam. Hal yang sama dilakukan pada sampel kontrol, yaitu susu yang diinokulasi dengan bakteri patogen E. coli ATCC 25922 tanpa perlakuan UV seri-HPEF. Penghitungan Jumlah Bakteri S. Typhimurium SNI 01-2782-1998 . Sampel susu sebanyak satu ml diambil menggunakan pipet pasteur steril dan dimasukkan ke dalam sembilan ml Buffer Pepton Water BPW sebagai pengenceran sepersepuluh P -1 . Pengenceran desimal selanjutnya dilakukan 116 dengan memipet satu ml dari tabung P -1 untuk diencerkan lagi ke dalam sembilan ml BPW sehingga didapatkan pengenceran seperseratus P -2 . Demikian pengenceran ini terus dilakukan hingga diperoleh P -5 . Pemupukan dilakukan terhadap pengenceran P -3 , P -4 dan P -5 secara duplo. Sebanyak satu ml dari masing- masing pengenceran P -3 , P -4 dan P -5 dipipet ke dalam cawan petri steril dan dipupukkan dengan medium Salmonella dan Shigella Agar SSA steril dengan suhu 37-40 o C sebanyak 12-15 ml. Campuran dihomogenkan dengan cara cawan petri digerakkan membentuk angka delapan. Setelah agar mengeras, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37 + 1 o C selama 24 jam. Secara umum prosedur pemupukan bakteri uji diperlihatkan pada Gambar 6.2. Analisis perhitungan jumlah bakteri uji menggunakan Standard Plate Count SPC yang mengacu pada Bacteriological Analytical Manual BAM. Penyiapan Bahan untuk Persiapan SEM a. Pembuatan buffer caccodylate dilakukan sebagai berikut:  Larutan stok : 0.2 M sodium caccodylate 42.6 g ditambahkan aquadestilata hingga 1 000 ml pada pH 8.4  Larutan siap pakai: 50 ml larutan stok ditambahkan 5.4 ml 0.1 M HCl ditambahkan lagi dengan aquadestilata sampai 200 ml pada pH 8.4 b. Pembuatan glutaradehyde 2.5: 5 ml glutaraldehyde + caccodylate buffer hingga 40 ml c. Larutan tannic acid 2: 2 g tannic acid dalam 100 ml buffer caccodylate d. Larutan OsO 4 1: satu bagian OsO 4 1 ditambahkan empat bagian buffer caccodylate 117 Gambar 6.2 Prosedur pemupukan bakteri uji Penyiapan Kultur Bakteri untuk Uji SEM . Bakteri S. aureus dan S. Typhimurium diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bakteri dalam bentuk liofil dipindahkan dengan pinset steril ke dalam tabung erlenmeyer yang berisi medium NB steril 900 ml, diinkubasikan pada suhu 37 o C. Jumlah sel bakteri yang diperlukan adalah 10 6 – 10 7 cfuml. Penyegaran kultur dilakukan dengan cara inokulasi 10 kultur cair ke dalam 1 000 ml medium NB cair steril, diinkubasi- kan selama 24 jam dan kultur siap digunakan. Perbanyakan stok dibuat dalam biakan NA, kemudian diinkubasikan pada suhu 37 o C selama 24 jam. Analisis Kerusakan Morfologi Sel . Suspsensi sel bakteri S. aureus dan S. Typhimurium dengan populasi 10 7 cfuml diinokulasi pada larutan NB, yang selanjutnya diperlakukan dengan metode UV seri – HPEF 31.67 kVcm, 7.0 pulsa. Sel dipisahkan dengan cara disentrifus 1 200 rpm selama 10 menit, supernatan dibuang dan ditambahkan glutaraldehyde 2 , proses dilakukan pada suhu 4 o C dan direndam beberapa jam. Dilakukan sentrifuse ulang dengan 1 200 rpm, larutan fiksatif dibuang dan ditambahkan buffer caccodylate dan direndam selama 10 menit diulang sebanyak dua kali. Disentrifuse lagi dengan 1 200 rpm, buffer dibuang dan ditambahkan osmium tetra oksida 1 dan direndam selama satu jam. Selanjutnya disentrifuse ulang dengan larutan dibuang dan ditambahkan alkohol Kontrol S. aureus S. Typhimurium E. coli 1 ml 10 -1 1 ml 10 -2 1 ml 10 -3 1 ml 10 -4 1 ml 10 -5 Pengenceran dalam Buffer Pepton Water BPW Perlakuan S. aureus S. Typhimurium E. coli UV seri - HPEF 15 Hz 118 50, kemudian dilakukan perendaman 10 menit sebanyak dua kali. Pengeringan digunakan etanol pada konsentrasi bertingkat 70, 80 dan 95 selama 10 menit dan konsentrasi absolut selama 10 menit dilakukan sebanyak dua kali. Disentrifuse ulang, dengan larutan dibuang dan ditambahkan t-butanol, kemudian dilakukan perendaman selama 10 menit sebanyak dua kali. Disentrifuse kembali, butanol dibuang kemudian ditambahkan butanol baru untuk pembuatan suspensi dalam butanol. Spesimen yang telah kering diletakkan pada stub alumunium dan dilapisi argon dengan ketebalan 20-30 mm selama lima detik. Sampel siap untuk diamati dengan SEM tipe JEOL JSM-5310LV. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Bakteri Uji

S. aureus ATCC 25923

Hasil pengamatan mikroskopik bakteri S. aureus melalui pewarnaan Gram diperlihatkan pada Gambar 6.3. Karakteristik bakteri uji S. aureus menunjukkan bentuk sel bulat, seragam dengan susunan tunggal, berpasangan maupun membentuk kumpulan yang tidak beraturan seperti buah anggur Ray dan Bhunia

2007. Bakteri S. aureus berukuran 0.5-1 µm, bersifat anaerobik fakultatif, tidak

bergerak, tidak berkapsul dan tidak membentuk spora, tergolong bekteri mesofil karena dapat hidup pada suhu 7-48°C dan memproduksi enterotoksin secara optimum pada suhu 37-40°C. Gambar 6.3 Morfologi bakteri S. aureus ATCC 25923 S. aureus tergolong bakteri Gram positif karena menghasilkan warna ungu ketika dilakukan pewarnaan Gram. Bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang sebagian besar disusun lapisan peptidoglikan 90 dan lapisan lainnya seperti asam teikoat. Lapisan peptidoglikan yang tebal ini dapat mempertahankan 119 kompleks zat warna basa kristal violet dan larutan Iodium Lugol saat dilakukan pencucian preparat sel dengan alkohol. Asam teikoat dalam dinding sel yang bermuatan negatif akan bereaksi dengan alkohol, sehingga menyebabkan dehidrasi pada dinding sel. Dehidrasi menyebabkan pori-pori mengecil berkerut dan terjadi penurunan permeabilitas dinding sel, sehingga kompleks kristal violet tidak dapat keluar dari sel, mengakibatkan sel tetap berwarna ungu. Keadaan ini menyebabkan pewarnaan selanjutnya dengan safranin tidak berpengaruh terhadap sel Fardiaz 1992. Hasil uji katalase menunjukkan bahwa S. aureus bersifat katalase positif yang ditandai dengan dihasilkannya gelembung-gelembung gas O 2 pada preparat bakteri yang ditetesi H 2 O 2. Bakteri ini memproduksi enzim katalase yang dapat memecah H 2 O 2 menjadi H 2 O dan O 2 . Bakteri S. aureus memiliki karakteristik biokimia katalase positif. Komponen H 2 O 2 ini merupakan salah satu hasil metabolisme respirasi aerobik bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri karena bersifat toksik bagi bakteri itu sendiri sehingga komponen ini harus dipecah menjadi H 2 O dan O 2 Ray dan Bhunia 2007. Karakteristik Bakteri Uji Escherichia coli ATCC 25922 Hasil pengamatan mikroskopik morfologi bakteri uji E. coli dapat dilihat pada Gambar 6.4. Gambar 6.4 Morfologi bakteri E. coli ATCC 25922 Kultur bakteri E. coli memiliki morfologi sel berbentuk batang dengan ukuran 1 x 3 µm dan tergolong bakteri Gram negatif, ditunjukkan dengan dihasilkannya sel berwarna merah ketika dilakukan pewarnaan Gram. Fardiaz 1992 mengemukakan bahwa bakteri Gram negatif merupakan bakteri yang memiliki lapisan peptidoglikan yang tipis 5-20 pada dinding selnya. Tahap pencucian dengan alkohol ketika dilakukan pewarnaan Gram, menyebabkan 120 lemak terekstraksi dari dinding sel dan pori-pori sel membesar, sehingga kompleks warna basa kristal violet dan iodium keluar dari dinding sel bakteri. Pewarnaan selanjutnya dengan safranin menyebabkan sel bakteri berwarna merah karena menyerap safranin. Ray dan Bhunia 2007 menjelaskan bahwa E. coli hidup secara anaerobik fakultatif, bersifat soliter maupun berkoloni, motil, tidak berspora dan katalase positif. Bakteri ini mempunyai sifat katalase positif artinya dapat memproduksi enzim katalase yang dapat mengkatalis H 2 O 2 , ditandai dengan terbentuknya gelembung gas O 2 setelah kultur bakteri ditetesi dengan H 2 O 2. Karakteristik Bakteri Uji S. Typhimurium ATCC 14208 Bakteri uji S. Typhimurium terlebih dahulu diperiksa karakteristiknya melalui pengamatan mikroskopik terhadap preparat bakteri dengan bantuan pewarnaan Gram untuk penentuan keseragaman sel dan ketiadaan kontaminan. Karakteristik S. Typhimurium diperlihatkan pada Gambar 6.5. Karakteristik morfologi S. Typhimurium ATCC 14028 menunjukkan bentuk sel batang yang seragam dengan susunan tunggal maupun rantai pendek dan tergolong bakteri Gram negatif karena menghasilkan warna merah ketika dilakukan pewarnaan Gram Gambar 6.5 b . Menurut Fardiaz 1992, bakteri Gram negatif merupakan bakteri yang memiliki lapisan peptidoglikan yang tipis 5-20 pada dinding selnya sehingga ketika dilakukan uji pewarnaan Gram yaitu pada tahap pencucian dengan alkohol akan menyebabkan lemak terekstraksi dari dinding sel dan pori-pori sel akan membesar sehingga kompleks kristal violet dan iodium keluar dari dinding sel bakteri. Pewarnaan selanjutnya dengan safranin menyebabkan sel bakteri berwarna merah karena menyerap safranin. Bell dan Kryakides 2003 menjelaskan bahwa bakteri Salmonella mempunyai karakteristik Gram negatif berbentuk batang, tidak membentuk spora, aerobfakultatif anaerob. 121 Gambar 6.5 Koloni Salmonella pada media SSA a dan morfologi sel secara mikroskopis b Koloni Salmonella yang ditumbuhkan pada media selektif Shigella dan Salmonella Agar mempunyai ciri-ciri yang spesifik Gambar 6.5 a. Bakteri yang tidak memfermentasi laktosa seperti Salmonella tumbuh dengan ciri koloni yang tidak berwarna, memproduksi H 2 S, membuat bagian tengah koloni menjadi berwarna hitam. Tiosulfat yang berkombinasi dengan besi Fe sebagai indikator terbentuknya sulfid diindikasikan oleh menghitamnya bagian tengah koloni Oxoid 2009. Laju Inaktivasi Bakteri Patogen E. coli merupakan bakteri Gram negatif fakultatif anaerob, sering dijadikan indikator kontaminasi kotoran pada produk pangan E. coli merupakan bakteri yang tergolong bakteri enterik Nikaido dan Vaara 1985. S. Typhimurium merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang, tidak membentuk spora, bersifat motil dengan flagela peritrikat berukuran 0.7-1.5 µm. S. Typhimurium normal menunjukkan permukaan sel yang mulus, agak bulat memanjang dengan ukuran diameter 1.2 - 2 µm Jay 1997; serta berukuran sekitar 0.7-1.5 x 2.0-5.0 µm Bell dan Kyriakides 2003. S. aureus merupakan bakteri Gram positif yang sangat penting dalam proses produk pangan karena dapat bersifat toksik pada manusia. Mikroorganisme ini berbahaya bagi kesehatan, dengan konsentrasi lebih dari 10 5 cfuml dapat menyebabkan penyakit. S. aureus sangat tahan, dapat tumbuh pada konsentrasi garam yang tinggi, aktivitas air a w yang rendah dan pH relatif rendah Jay 1997. Sel normal S. aureus berbentuk bulat dengan diameter 0.5-2.0 µm Lynn dan Bohach 2001, bergerombol seperti anggur dengan permukaan licin. Dinding sel 122 S. aureus berbeda-beda menurut strain dan umur sel. Umumnya sel muda dindingnya tipis dengan ketebalan berkisar 15 nm dan pada kultur yang tua berkisar 80 nm Suganuma 1972. Menurut Gemmel dan Lorian 1996 Staphylococcus yang ditumbuhkan pada 37 o C selama 24 jam dalam broth mempunyai diameter berkisar 0.7-0.9 µm dengan ketebalan dinding berkisar 50 nm. Mekanisme kerusakan sel berbeda-beda tergantung jenis komponen penyusunnya. Russel 2005 membedakan mekanisme komponen antimikroorganisme sebagai berikut: 1 berpengaruh terhadap dinding sel, 2 berpengaruh terhadap membran sel dan mekanisme transport nutrien, 3 berpengaruh terhadap enzim, dan 4 berpengaruh terhadap sintesis protein dan asam laktat Tabel 6.1 Tabel 6.1 Mekanisme senyawa antimikroorganisme Mikroorganisme Target kerusakan Bakteri bentuk kokus Dinding sel, membran sitoplasma, enzim DNA dan RNA Bakteri Gram negatif Membran dalam, membran luar, protein, enzim, DNA dan RNA Mycobacteria Dinding sel, membran sitoplasma, protein, enzim, DNA dan RNA Bacillus spp, Clostridium spp Selubung spora luar, selubung spora dalam, kortek, membran spora, inti spora Kapang Dinding sel, membran sitoplasma, enzim, DNA dan RNA Khamir Dinding sel, membran sitoplasma, enzim, DNA dan RNA Laju inaktivasi, nilai D bakteri patogen S. Typhimurium, E. coli dan S. aureus yang diperlakuan dengan metode UV seri-HPEF diperlihatkan pada Tabel 6.2. Tabel 6.2 Laju inaktivasi, nilai D bakteri patogen dengan perlakuan metode UV seri-HPEF Jenis bakteri Reduksi mikroorganisme Laju inaktivasi log siklus Laju inaktivasi log cfumljam Nilai D jam S. Typhimurium 47.80 0.28 6.35 0.16 S. aureus 35.02 0.19 4.34 0.23 E. coli 14.78 0.07 1.66 0.60 123 Laju inaktivasi bakteri E. coli mempunyai nilai terendah bila dibandingkan bakteri patogen lainnya, hal ini disebabkan bakteri E. coli mempunyai membran luar yang sangat efektif dalam mempertahankan diri dibandingkan bakteri Gram negatif lainnya. Ketahanan E. coli disebabkan permukaan luarnya mempunyai rantai polisakarida dari lipopolisakarida LPS yang bersifat hidrofobik serta adanya polisakarida asam yang terdapat pada kapsul dalam jumlah yang cukup tinggi. Protein utama yang terdapat pada membran luar sel dari bakteri E. coli adalah asam. Polisakarida asam pada bakteri enterik ditemukan dalam bentuk asam colanat antigen M yang disusun dari glukosa, galaktosa, fruktosa dan asam glukoronat. Asam-asam ini dihasilkan bakteri pada kondisi lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan. Hasil penelitian ini memperoleh laju inaktivasi bakteri Gram negatif S. Typhimurium lebih tinggi dibandingkan dengan E. coli. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lavlinesia 2007 yaitu bakteri E. coli mempunyai nilai MIC 5.34 mgml sedangkan S. Typhimurium mempunyai nilai MIC 0.75 mgml dalam media cair NB. Semakin tinggi nilai MIC Konsentrasi Minimum Penghambatan maka bakteri tersebut lebih tahan. S. aureus merupakan bakteri Gram positif mempunyai derajat ikatan silang antar peptida yang berdekatan sangat tinggi 100 dengan dinding sel yang banyak mengandung asam amino alanin yang bersifat hidrofobik Franklin dan Snow 1989. Sedangkan dinding sel bakteri Gram negatif mempunyai sisi hidrofilik yaitu karboksil, amino dan hidroksil Franklin dan Snow 2005. Dinding sel bakteri Gram negatif berlapis-lapis dengan lapisan peptidoglikan hanya 5-20 dari dinding sel, lapisan lainnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein Fardiaz 1989. Perbedaan mendasar antara bakteri Gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya. Kompleks zat iodin terperangkap antara dinding sel dan membran sitoplasma organisme Gram positif, sedangkan penyingkiran zat lipida dari dinding sel organisme Gram negatif dengan pencucian alkohol memungkinkan hilang dari sel. Bakteri Gram positif memiliki membran tunggal yang dilapisi peptidoglikan yang tebal 25-50 nm sedangkan bakteri Gram negatif mempunyai lapisan peptidoglikogen yang tipis 1-3 nm. 124 Pengaruh Perlakuan UV seri-HPEF terhadap Morfologi sel S. Typhimurium Sel S. Typhimurium normal berbentuk batang dan pada beberapa terdapat tonjolan kecil pada satu sisi atau dua sisi dengan kedua ujungnya berwarna cerah mengkilap. Ukuran sel bakteri berdasarkan hasil pengukuran SEM diperoleh panjang dan lebar berturut-turut 3.61 µm dan 1.2 µm Gambar 6.6 a, sedangkan S . Typhimurium yang siap membelah diri diperlihatkan pada Gambar 6.6 b. Gambar 6.6 Bentuk sel normal S. Typhimrium a dan sel siap membelah b Perbesaran 7500 X Pengaruh perlakuan UV seri-HPEF menyebabkan sel S. Typhimurium berubah dengan ditemukannya beberapa lekukan-lekukan Gambar 6.7 a dengan ukuran sel berdasarkan pengukuran SEM dengan panjang dan lebar berturut-turut adalah 3.15 µm dan 1.15 µm. Hasil menunjukkan terjadi perubahan bentuk sel seperti ukuran diameter sel mengecil dan memanjang Gambar 6.7 b. Ukuran sel berdasarkan pengukuran SEM yaitu panjang dan lebar berturut-turut adalah 6.21 µm dan 1.00 µm. Dijumpai pula adanya kerusakan sel dengan keluarnya cairan sitoplasma Gambar 6.7 c dengan ukuran sel berdasarkan pengukuran SEM dengan panjang dan lebar berturut-turut adalah 3.81 µm dan 1.07 µm. a b 125 Gambar 6.7 Pengaruh perlakuan UV seri-HPEF terhadap morfologi sel S. Typhimurium a terdapat lekukan, b ukuran diameter sel mengecil dan memanjang, c cairan sitoplasma keluar. Perbesaran 7 500 X Terdapatnya bentuk tonjolan dan lekukan pada permukaan sel S. Typhimurium diperkirakan akibat proses pembelahan sel yang terhambat, jika perlakuan UV seri-HPEF diberikan dengan dosis dan waktu perlakuan yang lebih tinggi menyebabkan keluarnya cairan sitoplasma sehingga sel berhenti tumbuh dan terjadi lisis. Perubahan morfologis sel disebabkan porositas membran sel meningkat akibat melemahnya dinding sel. Peningkatan porositas menyebabkan perubahan permeabilitas membran sel yang dapat menyebabkan kebocoran sel. Menurut Parhusip 2006, perubahan permeabilitas dinding sel mengakibatkan cairan sitoplasma merembes keluar sehingga terbentuk ruang antar membran sitoplasma. Ruang ini akan semakin besar dengan semakin lemahnya dinding sel. Pada kondisi membran tidak dapat menahan tekanan dari sitoplasma, maka membran akan bocor, terjadi aliran sitoplasma keluar sel. Bila jumlah cairan c a b 126 sitoplasma yang keluar dalam jumlah besar, menyebabkan sel menjadi mengkerut dan mati. Menurut Zimmermann 1986, dalam teori electrical breakdown disebutkan dengan terus bertambahnya pengaruh kuat medan listrik menyebabkan kerusakan dinding sel secara permanen. Lisis sel dapat menyebabkan terganggunya enzim- enzim yang mensintesis dinding sel, akibatnya dinding sel melemah dan porositas meningkat Gilbert 1984. Pengaruh Perlakuan UV seri-HPEF terhadap Morfologi Sel S. aureus Sel S. aureus berbentuk bulat dengan ukuran diameter 0.5-2.0 µm Lynn dan Bohach 2001. Sel normal dari S. aureus hasil pengamatan dengan SEM berbentuk bulat, permukaan licin, diameter sel 0.90 – 0.95 µm Gambar 6.8 a dan b. Gambar 6.8 c dan d menunjukkan bakteri S. aureus yang membelah diri. a b c d Gambar 6.8 Sel S. aureus normal dalam susunan a berpasangan, b anggur perbesaran 10 000 X dan sel membelah diri c dengan perbesaran 10 000 X atau d dengan perbesaran 15 000 X Perlakuan pasteurisasi kombinasi UV seri-HPEF menyebabkan bakteri S. aureus berlubang besar Gambar 7.9 a dan 7.10 dan ditemukannya tonjolan kecil klebs Gambar 6.9 b dengan diameter sel antara 0.86 – 1.0 µm. Menurut Gilbert 1984 terbentuknya tonjolan-tonjolan kecil pada S. aureus disebabkan adanya 127 peptidoglikan yang rusak karena ketidakmampuan menahan tekanan intraselluler yang tinggi, sehingga sitoplasma dan membran sitoplasma keluar. Tonjolan- tonjolan ini biasanya muncul pada daerah-daerah yang dilemahkan. Terbentuknya tonjolan merupakan indikasi terganggunya proses biosintesis dinding sel yang umumnya dapat menyebabkan lisis. Pada kondisi ini enzim-enzim biosintesis dinding sel diduga mulai terganggu, sehingga dapat menyebabkan kematian bakteri. Menurut Syamsir 2001, semakin pekatnya sitoplasma diduga disebabkan karena terjadinya denaturasi protein. Kebocoran sel dapat menyebabkan lisis, karena sel tidak dapat menahan tekanan intraseluler. Dinding sel yang lisis menyebabkan membran sel sitoplasma mengeluarkan cairan yang juga dapat diamati dengan SEM Gambar 6.9 c. Perubahan bentuk ini menyebabkan permeabilitas dinding sel meningkat yang dapat menyebabkan kebocoran dinding sel. Gambar 6.9 S. aureus a berlubang, b terdapat tonjolan, c cairan sitoplasma keluar setelah mendapat perlakuan UV seri-HPEF b a c 128 Gambar 6.10 S. aureus dengan permukaan berlubang besar tanda panah hasil perbesaran 10 000 X dan 15 000 X Simpulan dan Saran Simpulan Simpulan yang diperoleh dari penelitian pengaruh inaktivasi bakteri patogen S . aureus ATCC 25923, S. Typhimurium ATCC 14028, E. coli ATCC 25922 dengan metode UV seri-HPEF terhadap kerusakan sel bakteri : a. Laju inaktivasi bakteri patogen S. Typhimurium ATCC 14028, E. coli ATCC 25922 dan S. aureus ATCC 25923 berturut-turut adalah 0.28; 0.07 dan 0.19 log siklus atau reduksi berturut-turut 47.80, 35.02 dan 14.78, nilai D berturut-turut adalah 0.16; 0.60 dan 0.23 jam. b. Perlakuan UV seri-HPEF menyebabkan kerusakan morfologis sel S. Typhimurium dan S. aureus dengan tingkat kerusakan yang berbeda-beda. Kerusakan sel pada S. Typhimurium seperti tonjolan dan lekukan, ukuran sel yang mengecil serta sel yang pecahbocor yang ditandai keluarnya cairan sitoplasma, sedangkan pada S. aureus ditemukan permukaan yang berlubang, tonjolan kecil dan dinding sel yang lisis ditandai keluarnya cairan sitoplasma. c. Berdasarkan nilai laju inaktivasi maka bakteri S. Typhimurium lebih peka terhadap perlakuan pasteurisasi kombinasi UV seri-HPEF bila dibandingkan dengan S. aureus. Bakteri Gram positif lebih tahan terhadap perlakuan fisik UV seri-HPEF bila dibandingkan bakteri Gram negatif. 129 Saran Dalam usaha memperbaiki dan melengkapi penelitian inaktivasi bakteri patogen dan uji SEM perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada jenis bakteri lainnya dan umur simpan susu kambing hasil perlakuan. Daftar Pustaka Amiali M, Ngadi MO, Raghavan VGS, Smith JP. 2004. Inactivation of Escherichia coli O157:H7 in liquid dialyzed egg using pulsed electric fields. J Food Bioprod Proc 82:151 –156 Anon. 1998. Surveillance of the microbiological status of raw cows milk on retail sale. Microbiological food safety surveillance. London: Departement of Health. Asriani. 2006. Kajian efek sinergi antimikroba metabolit bakteri asam laktat dan monoasilgliserol minyak kelapa terhadap mikroba patogen pangan [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Barbosa-Cánovas GV, Gòngora-Nieto MM, Swanson BG. 1998. Nonthermal electrical methods in food preservation. J Food Sci Technol Int 4:363 –370. Bell C dan A Kyriakides. 2003. Salmonella. Di dalam Blackburn C dan McClure PJ, editor. Foodborne Pathogens Hazards, Risk Analysis and Control. Cambrige: Woodhead Publishing Limited. bab XI. Binstsis T, Litopoulou-Tzanetaki E, Robinson R. 2000. Existing and potential applications of ultraviolet light in the food industry a critical review. J Sci Food Agric 80:637 −645. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Franklin T, Snow GA. 1989. Biochemistry of Antimicrobial Action. London: Chapman Hall. Franklin T, Snow GA. 2005. Inhibitors of Nucleic Acids Biosynthesis. Di dalam Franklin TJ, Snow GA. Biochemistry and Molecular Biology of Antimicrobial Drug Action . Ed ke-6. London: Springer. Gachovska TK, Kumar S, Thippareddi H, Subbiah J, Williams F. 2008. Ultraviolet and pulsed electric field treatments have additive effect on inactivation of E. coli in apple juice. J Food Sci 73: 412-417. Gemmel GC, Lorian V. 1996. Effect of low concentration of antibiotics on bacterial ultrasucture, virulence and suscebtibility to immunodefence: clinical significance . Di dalam: V Lorians. Antibiotics in Laboratory Medecine. Ed ke- 4. London: Williams Wilkins. 130 Gilbert P. 1984. The revival of microorganisms sublethally injured by chemical inhibitors . Di dalam: Andrew MHE dan Russel AD, editor. The Revival of injured microbes . London: Acad Pr. Guerrero-Beltrán JA, Barbosa-Cánovas GV. 2004. Advantages and limitations on processing foods by UV Light. J Food Sci Technol Intl 10:137-147. Ho S, Mittal GS. 2000. High voltage pulsed electrical field for liquid food pasteurization. J Food Rev Intl 16:395 –434. Jay JM. 1996. Modern Food Microbiology. Ed ke-4. Florence: Chapman dan Hall. Int; Thomson Publ. Koutchma TN, Larry JF, Carmen IM. 2009. Ultraviolet Light In Food Technology: Principles and Application . Boca Raton USA: CRC Press. Krishnamurthy K, Demirci A, Irudayaraj J. 2008. Inactivation of Staphylococcus aureus in milk and milk foam by pulsed UV light treatment and surface response modeling. Trans ASABE 51: 2083-2090. Lavlinesia. 2007. Kajian pola dan mekanisme inaktivasi bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung Parinarium glaberimum Hassk [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Leistner L. 2000. Review: Basic aspects of food preservation by hurdle technology. Intl J Food Microbiol 55:181 –186. Lynn MJ, Bohach GA. 2001. Staphylococcus aureus. Di dalam Doyle MP, Beachat LR, Montville TJ, editor. Food microbiology: Fundamental and Frontiers . Washington DC: ASM Pr. Mead PS et al. 1999. Food-related illnesses and death in the United States. Emerg Infect Dis 5:607-625. Naufalin R. 2005. Kajian sifat antimikroba ekstrak bunga kecombrang Nicolaia speciosa Horan terhadap berbagai mikroba patogen dan perusak pangan [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nikaido H, Vaara M.1985. Moleculer basis of bacteria outer membrane permeability. Microb Rev 49:1-32. Olsen SJ, MacKinon LC, Goulding JS, Bean NH, Slutsker L. 2000. Surveillance for foodborne disease outbreaks – United States. 1992-1997. Morb Mortal Week Rep 49:1-66. Oxoid 2009. Parmaceutical Catalogue. United Kingdon: Oxoid Ltd, Wade Road, Basingstoke, Hants, RG24 8PW. Parhusip AJN. 2006. Kajian mekanisme antibakteri ekstrak andaliman Zanthoxylum acanthopodium DC terhadap bakteri patogen pangan [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ray B, Bhunia A. 2007. Fundamental Food Microbiology. Ed ke-4. Boca Raton. New York: CRC Pr. 131 Russel AD. 2005. Mechanisms of Action, Resistance and Stress Adaptation. Di Dalam Davidson PM, Sofos JN dan Branen AL. editor. Antimicrobial in Food. 3 ed. Boca Raton: Taylor Francis. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1998. SNI 01-2782-1998. Metode Pengujian Susu Segar . Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Suganuma A. 1972. Fine structure of S. aureus electron microscopy. Di dalam Cohen JO. Editor. The Staphylococci. London. New York: J Wiley. Suliantari. 2009. Aktivitas antibakteri dan mekanisme penghambatan ekstrak sirih hijau Piper betle Linn terhadap bakteri patogen pangan [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syamsir E. 2002. Mempelajari stabilitas aktivitas antimikroba ekstrak biji atung Parinarium glaberimum Hassk dengan pelarut etil asetat teknis selama penyimpanan terhadap S. aureus [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zhong H, Zeng XA, Yu SJ, Zhang BS , Chen XD. 2009. Effects of pulsed electric fields PEF treatment on physicochemical properties of potato starch. Innov Food Sci Emerg Technol 10:481-485. Zimmermann U. 1986. Electrical breakdown, electropermeabilization and electrofusion. Rev Physiol Biochem Pharmacol 105:175-256. 132 133

VII. PEMBAHASAN UMUM