Indonesia dan Perubahan Iklim Menunda Be

Indonesia dan Perubahan Iklim : Menunda Berakibat Bencana

Siang itu, Minggu, 30 Agustus 2009, matahari sedang bersinar dengan sangat terik di atas Desa
Krambilsawit, Saptosari, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Puluhan ember tampak
tergeletak diatas tanah kering kerontang yang pecah-pecah, pertanda sudah begitu lama tak
tersentuh air hujan. Sementara itu, beberapa meter dari

tempat puluhan ember itu bergeletakan,

tampak belasan ibu-ibu antre mengerumuni sebuah lubang kecil, sembari mencidukkan gayung yang
disambung dengan tongkat kecil kedalam lubang tersebut.
Beberapa tahun belakangan ini, Masyarakat Desa Krambilsawit, Gunung Kidul, Yogyakarta, merasakan
betapa menderitanya mengalami krisis air bersih, akibat kekeringan dahsyat yang mereka alami
setiap musim kemarau. Kekeringan yang mereka alami

akan memuncak sekitar bulan Juli-

September, pada puncak musim kemarau. Di saat-saat seperti ini, Telaga Miri, menjadi satu-satunya
sumber air bersih bagi kebutuhan mereka sehari-hari. Namun, telaga yang berubah menjadi
kubangan kering pada puncak musim kemarau itu, hanya menyisakan sedikit air, pada beberapa
lubang kecil disekitar telaga. Lubang-lubang itulah yang dikerumuni oleh belasan ibu-ibu Desa

Krambilsawit setiap harinya, lubang itu juga yang menjadi tumpuan bagi kebutuhan air mereka
sehari-hari selama kemarau menggila.
Januari, 2008. Belasan jadwal pesawat yang seharusnya mendarat dan lepas landas dari Bandara
Temindung, Samarinda, terpaksa dibatalkan. Banjir yang sudah terjadi sejak seminggu sebelumnya di
Ibu Kota Kalimantan Timur itu tak kunjung surut, puluhan ribu orang harus mengungsi dari rumah
mereka. Samarinda berubah menjadi kota petaka. Banjir besar yang biasanya terjadi setiap 10 tahun
sekali di Samarinda, tiba-tiba menghantam kota itu pada awal tahun 2008, lebih cepat dari biasanya,
banjir yang tak pernah diperkirakan sebelumnya itu, mengakibatkan kerugian begitu besar bagi
penduduknya. Diprediksi kerugian mencapai puluhan miliar rupiah, akibat bencana itu. Belum lagi
korban jiwa, baik akibat dampak langsung ataupun tidak langsung dari bencana ini. Kerusakan alam
yang masif di Kalimantan Timur akibat aktivitas pertambangan batubara di provinsi itu dituding
menjadi penyebab utama bencana banjir yang terjadi di luar periode biasanya. Selain itu para pakar
dan jajaran pemerintahan di provinsi itu menuding fenomena “el nino” lah yang menjadi biang keladi
dari air bah ini.
Januari 2009. Sudah 2 minggu, Fransiskus Mooi, tidak juga bisa menyebrang ke Kupang dari kampung
halamannya di Pulau Rote. Cuti natal dan tahun barunya yang hanya selama 10 hari, sudah habis
sejak seminggu lalu. Frans takut akan dipecat dari pekerjaannya jika tak bisa juga menyebrang ke
Kupang dalam 2-3 hari ini. Pak Wijaya induk semangnya, tentu tak akan mau mengerti kendala yang
dialami Frans. Gelombang laut setinggi 5-7 meter membuat kapal-kapal ferry reguler yang melayani
penyebrangan Rote-Kupang tak diperbolehkan beroperasi, risiko yang akan dihadapi akan sangat

besar jika nekat beroperasi. Gelombang yang sangat tinggi ditambah badai laut yang sewaktu-waktu

bisa terjadi akan membuat kapal ferry itu bagai kapal mainan dihempas gelombang lautan. Peristiwa
tenggelamnya kapal Ferry

Citra Mandala Bahari yang melayani Rote-Kupang tahun 2006 lalu,

membuat trauma masyarakat Rote dan Operator Ferry untuk kembali berani menantang risiko maut
ini.
Apa yang dialami oleh Fransiskus Mooi, sudah jamak dialami oleh masyarakat yang tinggal di
kepulauan yang terdapat di wilayah NTT dan Maluku. Setiap musim timur, yang terjadi pada bulan
Desember-Februari. Masyarakat pulau-pulau kecil di wilayah NTT dan Maluku yang sangat tergantung
pada penyebrangan laut ini, merasakan betapa hidup mereka sangat ditentukan oleh gelombang laut.
Sudah jamak terjadi, pemudik yang pulang kampung untuk merayakan natal dan tahun baru di
kampung halamannya, tak bisa kembali tepat waktu ke kota tempat mereka bekerja karena badai dan
gelombang laut yang tinggi membuat ferry yang menjadi satu-satunya alat transportasi mereka tak
bisa beroperasi. Bencana tenggelamnya kapal ferry yang nekat beroperasi , pada saat mengganasnya
gelombang laut di wilayah negeri ini, menjadi bukti bahwa beberapa tahun belakangan ini kondisi
cuaca laut semakin tak mudah ditebak, badai dan gelombang laut semakin sering terjadi dalam skala
yang ekstrim.


Perubahan Iklim sedang menghantam kita
Puluhan laporan penelitian mengenai perubahan iklim dirilis dan diluncurkan baik secara global
maupun secara nasional selama setahun terakhir ini. Semuanya membeberkan data-data dan faktafakta mengenai dampak dari perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan kita. Berbagai kalangan
yang sebelumnya skeptis terhadap perubahan iklim, mau tak mau , terpaksa mengubah keyakinan
mereka karena fakta-fakta mengenai dampak perubahan iklim yang begitu gamblang di hadapan
mereka.
Para pakar perubahan iklim dunia yang tergabung dalam IPCC (Intergovernmental panel on Climate
Change), bahkan mengaku mereka sendiri terkejut dengan laju perubahan iklim yang semakin cepat
dan dampak perubahan iklim yang semakin dahsyat, jauh lebih cepat dan dahsyat dari perkiraan
mereka sebelumnya.
Global Humanitarian Forum, sebuah lembaga bentukan Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB,
meluncurkan laporan terbaru mereka yang menunjukkan fakta yang sangat mencengangkan. Menurut
laporan itu, dampak dari perubahan iklim mengakibatkan korban jiwa sebesar 300.000 jiwa di seluruh
dunia, setiap tahunnya, angka ini melonjak dua kali lipat dari laporan sebelumnya. Angka fantastis ini,
juga menempatkan perubahan iklim sebagai ancaman terbesar bagi keberlangsungan hidup umat
manusia di bumi ini.
ADB, pada sidangnya di Bali, bulan April lalu, merilis laporan yang bertajuk “The Economics of Climate
Change in Southeast Asia”, dalam laporan ini ADB memaparkan data-data yang terkait dengan


dampak perubahan iklim di kawasan ini. Laporan ini menyebutkan Asia Tenggara merupakan kawasan
di dunia yang paling rentan terhadap perubahan perubahan iklim, dan berisiko mengalami konflik
akibat terjadinya kelapan, krisis air bersih, kerugian ekonomi yang tinggi di kawasan ini.
Perekonomian kawasan Asia Tenggara akan mengalami kerugian sebesar 6,7% dari total GDP
kawasan pertahun, pada tahun 2100 nanti. Ini artinya kerugian yang ditanggung kawasan ini lebih
dari dua kali lipat kerugian ekonomi yang ditanggung secara global.
Laporan ini juga menyebutkan Indonesia merupakan negara kontributor terbesar gas rumah kaca di
kawasan ini, sekaligus merupakan negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim di
Asia Tenggara. Sekitar 56% emisi gas rumah kaca di Asia Tenggara, datang dari Indonesia. Selain itu
Indonesia telah mengalami berbagai bencana yang diduga terjadi akibat perubahan iklim. Banjir,
Kekeringan, Tanah longsor, dan meningkatnya prevalensi

penyakit-penyakit tropis semakin sering

terjadi di negara terbesar di kawasan ini.
Masih dalam tahun ini, EEPSEA (Economy dan Environment Program for Southeast Asia), sebuah
lembaga riset yang berbasis di Singapura. Meluncurkan laporan risetnya yang bertajuk “Climate
Change Vulnerability Mapping in Southeast Asia”. Penelitian yang dilakukan oleh EEPSEA, bertujuan
untuk mengukur dan memetakan tingkat kerentanan perubahan iklim di 530 kota di wilayah Asia
Tenggara.


Hasil dari penelitian yang mereka lakukan

menempatkan hampir semua kota besar di

Indonesia sebagai kota yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Jakarta, sendiri,
menempati urutan teratas sebagi kota yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim di antara
530 kota di kawasan Asia Tenggara.
Kementrian Negara Lingkungan Hidup Indonesia, dalam SLHI (Status Lingkungan Hidup Indonesia)
tahun 2008, memaparkan data yang cukup mencengangkan, menurut catatan KLH, di wilayah
Indonesia sepanjang tahun 2008, tidak ada satu bulan pun, sejak Januari sampai Desember, yang
bebas dari bencana-bencana yang diduga akibat perubahan iklim. Bencana-bencana yang terjadi
sepanjang tahun 2008, menghantam berbagai kawasan di negeri ini. Mulai dari Banjir di Samarinda,
Kekeringan di Gunung Kidul, sampai gelombang laut di wilayah timur Indonesia.
Fakta-fakta serta data hasil riset berbagai lembaga itu, menunjukkan dan membuktikan bahwa saat
ini, Indonesia sedang menghadapi bencana perubahan iklim, negeri ini sedang dalam pusaran
bencana perubahan iklim. Ancaman perubahan iklim bukan lagi isapan jempol, perubahan iklim bukan
lagi sekedar ancaman kosong. Dampaknya sedang terjadi dan sudah memakan korban jiwa.
Lamban Berakibat Bencana
Berbagai bencana akibat dampak perubahan iklim yang terjadi di negeri ini, mengharuskan kita

semua, mengambil langkah-langkah kongkret untuk ikut mengatasinya. Jika tak ada upaya nyata
yang diambil, maka dampak dari perubahan iklim yang mengancam kita akan semakin dahsyat dan
tak terbayangkan lagi tingkat kerusakannya.

Di tingkatan individu, langkah-langkah sederhana untuk ikut mengurangi emisi gas rumah kaca
penyebab perubahan iklim harus segera diambil. Penghematan penggunaan kertas, hemat energi, dan
efisiensi energi adalah langkah paling mudah untuk berperan serta dalam mengatasi ancaman global
ini.
Namun, langkah yang paling penting dan sangat mendesak harus diambil oleh SBY sebagai pemimpin
negeri ini. Jika tak ada juga komitmen politik dari pemerintahannya maka, negeri ini akan
menghadapi berbagai bencana perubahan iklim yang semakin dahsyat.
Pemerintah SBY, harus segera sadar dengan krisis iklim yang sedang terjadi, dan karenanya SBY
harus segera menunjukkan kepemimpinannya untuk berperan nyata dalam mengurangi emisi gas
rumah kaca penyebab perubahan iklim yang dihasilkan negeri ini. Saat ini, Indonesia tercatat, sebagai
negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ke-3 di Dunia setelah China dan Amerika Serikat.
Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia, sekitar 75% dihasilkan dari sektor hutan.
Deforestasi masif yang terjadi di Indonesia mengakibatkan jutaan ton emisi gas rumah kaca
dilepaskan ke atmosfer. Pembukaan hutan alam untuk perkebunan kelapa sawit, industri kertas dan
bubur kertas, serta pertambangan batubata, membuat tingkat deforestasi semakin luar biasa.
Menurut data FAO, laju deforestasi yang terjadi di Indonesia sebesar 1,8 Juta hektar Pertahun. Atau

setara dengan seluar 300 lapangan bola dalam satu jam.
Selain deforestasi, sektor listrik juga merupakan kontributor dominan gas rumah kaca di negeri ini.
Ketergantungan Indonesia terhadap batubara sebagai energi untuk penghasil listriknya, membuat
emisi yang dihasilkan dari sektor listrik menempati urutan kedua setelah deforestasi. Sayangnya,
sampai saat ini tidak tampak upaya serius dari pemerintah RI untuk mengurangi ketergantungan
negeri ini terhadap energi kotor, batubara. Alih-alih, pemerintah bahkan membangun secara besarbesaran pembangkit listrik tenaga batubara di seloroh pelosok negeri ini.
Sayangnya, sampai sejauh ini, belum nampak upaya sungguh-sungguh dari Pemerintah SBY untuk
mengambil langkah kongkret dalam mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim di
negeri ini. Meskipun dalam beberapa kesempatan SBY, sempat berjanji untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca dari Indonesia. Yang paling anyar adalah janji SBY di pertemuan pemimpin G8 tahun lalu
di Jepang, dalam pertemuan tersebut, SBY berjanji akan mengurangi emisi gas rumah kaca dari
deforestasi di Indonesia, sebesar 50% pada tahun 2009, 75% pada tahun 2012, dan 95% pada akhir
tahun 2025. Angka yang luar biasa fantastis ini tentu menggembirakan kita, karena menunjukkan
komitmen SBY untuk ikut serta dalam mengatasi ancaman perubahan iklim.
Namun, bukannya diterjemahkan dalam berbagai kebijakan yang mendukung komitmennya ini, alihalih kabinet dalam pemerintahan SBY justru mengeluarkan kebijakan yang bertolak belakang bahkan
terkesan meremehkan janji SBY tersebut. Kebijakan paling anyar datang dari Menteri Pertanian yang
mengijinkan pembukaan lahan gambut untuk kelapa sawit, kebijakan ini jelas sekali meremehkan
komitmen SBY untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di negeri ini. Karena dengan mengijinkan

pembukaan lahan gambut untuk industri, sama artinya dengan


sengaja melepaskan cadangan

raksasa gas rumah kaca yang selama ini tersimpan dalam lahan gambut. Kebijakan lain datang dari
Departemen ESDM dan PLN, yang

sedang membangun secara besar-besaran puluhan pembangkit

listrik tenaga batubara di seluruh pelosok negeri ini.
Kelambanan serta kurangnya komitmen dari pemerintah SBY dalam mengatasi krisis iklim akan
menyebabkan laju perubahan iklim semakin cepat, dan dampak-dampaknya semakin menghantui
berbagai wilayah di negeri ini.
Sikap lamban, dan janji-janji surga, sama sekali tak punya tempat dalam upaya mengatasi perubahan
iklim. SBY harus sadar, bahwa dia tidak lagi sedang berkampanye, yang dibutuhkan sekarang adalah
langkah nyatanya bukan lagi janji-janji surga khas politisi. SBY harus paham sikap menunda-nunda
dan lamban akan berakibat bencana bukan Cuma bagi negeri ini tapi juga bagi seluruh umat manusi.
Filosofi Jawa biar lambat asal selamat (Alon-alon asal kelakon) mestinya dibuang jauh-jauh dalam
konteks mengatasi krisis iklim ini.