REPRESENTASI NASIONALISME PADA FILM TENDANGAN DARI LANGIT (Studi Pada Tokoh Wahyu Melalui Tanda Verbal dan Visual)

ABSTRAK
REPRESENTASI NASIONALISME PADA
FILM TENDANGAN DARI LANGIT

Oleh :
M. Gilang Dwandaru
Tendangan dari Langit adalah film Indonesia yang dirilis pada tahun 2011 dengan
disutradarai oleh Hanung Bramantyo yang diprouksi oleh SinemArt Pictures. Tujuan
dari sang sutradara menumbuhkan rasa nasionalisme sejak dini pada anak-anak,
Tendangan dari Langit menyuguhkan adegan nasionalisme dan patriotisme melalui
simbol-simbol, dengan perantara objek olah raga yaitu sepak bola, olah raga yang
sangat populer di Indonesia, yang digemari kalangan manapun dan usia berapapun.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah nasionalisme
dipresentasikan dalam tokoh Wahyu melalui tanda verbal dan tanda visual pada film
Tendangan dari Langit.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan
adalah semiotik Roland Barthes di karenakan peneliti ingin mengungkapkan ideologi
film melalui pemaknaan dua tahap denotasi dan konotasi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa penggambaran
nasionalisme dalam film Tendangan Dari Langit disampaikan melalui kecintaan,
kesetiaan, kekaguman, kebanggaan, serta pengabdian yang menjadi unsur dari simbol

sosial dan simbol teknis berupa scene, shot, visual, audio dan dialog yang di dapat
pada emblem, kaos tim nasional, dan bendera merah putih. Nasionalisme mencoba
untuk direpresentasikan melalui olahraga, dalam hal ini adalah sepak bola.
Nasionalisme juga berusaha ditampilkan dalam wujud anak-anak, terutama anak-anak
perkotaan, dan nasionalisme. Hal ini di karenakan nasionalisme di ungkapkan dengan
cara yang salah, melalui cinta yang berlebih lebihan. Nasionalisme sebagai sebuah
konsep ideal dalam film ini mampu menjadi sebuah media yang ampuh untuk
menanggulangi berbagai pemikiran yang tidak sesuai dengan pemikiran atau gagasan
yang berasal dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Kata Kunci: Representasi, Nasionalisme, Film.

ABSTRACT
REPRESENTATIONS OF NATIONALISM IN
FILM TENDANGAN DARI LANGIT
By :
M. Gilang Dwandaru
Tendangan Dari Langit is Indonesian film was released in 2011 directed by Hanung
Bramantyo the produced by SinemArt Pictures. The purpose of the director foster a
sense of nationalism since early in children, Tendangan Dari Langit panoramic
scenes of nationalism through symbols, with intermediary objects sports namely

soccer, sports are very popular in Indonesia, which is popular among anywhere and
any age. The problems discussed in this study are presented in the figure how
nationalism Revelation through verbal signs and visual cues in the movie Tendangan
Dari Langit.
This study uses qualitative research methods. The approach used is due to Roland
Barthes semiotic researchers to reveal ideological film through two levels of
denotation and connotation.
Based on the research results and the discussion of nationalism in mind that filming
the movie Tendangan Dari Langit conveyed through love, devotion, admiration,
adoration, and devotion to the elements of a social symbol and symbol of a technical
kind of scene, shot, visual, audio and dialogue in the can on Patch, a national team
shirt, white and red flags. Nationalism try to be represented through athletics, in this
case football. Nationalism also work appears in the existence of children, especially
younger children, urban. This is because the nationalism expressed in the wrong way,
through love overbuilding. Nationalism as an ideal concept in this film can be a
powerful medium for tackling various thoughts that do not fit with a thought or idea
that comes from the noble values of the Indonesian people.
Keywords: Representation, Nationalism, Film.

REPRESENTASI NASIONALISME PADA

FILM TENDANGAN DARI LANGIT
(Studi Penelitian Pada Tokoh Wahyu Melalui Tanda Verbal dan Visual)
Oleh
M. GILANG DWANDARU

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA ILMU KOMUNIKASI
Pada

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

MOTO

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di

dunia, dan ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang
beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal
(Q.S.Asy Syura: 36)
Maka bermimpilah selagi mimpi tersebut dapat menjadikan seseorang berusaha untuk
mendapat apa yang akan di inginkannya
(M. Gilang Dwandaru)
Real success is determined by two factors. First is faith, and second is action
(Reza M. Syarif)
Life isn’t about finding yourself, life is about creating yourself
(M.Gilang Dwandaru)

Kupersembahkan karya ku kepada orang-orang yang
kucintai :

Mama dan Papa tercinta, yang telah memberikan motivasi terbesar
dalam hidupku, yang telah mengiringiku dengan doa dalam setiap
hembusan nafas dan ayunan langkahku.

Kakak dan adik-adikku tersayang, serta keluarga besarku yang selalu
memberiku semangat.


Sahabat-sahabatku tersayang, yang telah memberikan warna-warni
dalam hidupku dan selalu ada pada saat susah maupun senang.

Almamater tercinta...

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi yang berjudul “Representasi
Nasionalisme Pada Film Tendangan Dari Langit (Studi Pada Tokoh Wahyu Melalui Tanda
Verbal dan Visual)” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Lampung.
Penulis Menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan
dan dorongan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih yang setulusnya kepada:
1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Lampung.
2. Bapak Drs. Teguh Budi Raharjo, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi dan
selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian

skripsi ini.
3. Bapak Dr. Andy Corry Wardhani, M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktunya dan dengan sabar memberikan arahan, saran, nasihat,
dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dhanik Sulistyarini, S.Sos.,MComm&MediaST., selaku Sekretaris Jurusan Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung dan selaku
Pembimbing Akademik yang telah membantu dalam perkuliahan dan aktivitas penulis
selama masa studi.
5. Seluruh Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Lampung, yang telah memberikan didikan dan ilmu yang bermanfaat.
6. Segenap staf administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung
atas bantuannya.
7. Kedua orang tuaku, Papa (Rudy Priajaya, S.E.,M.IP) dan Mama (Sri Ayu Rafida,
S.E.,M.M) terima kasih atas perlindungan, kasih saying, cinta, dan dukungannya serta
pengorbanan yang selalu diberikan dengan tulus kepada anak-anaknya.
8. Kakakku tersayang Finidya Demarani, S.E., adikku tersayang Firianda Dzakiya, dan
M.Gifary Dharmayandaru. Terimakasih atas doa, bantuan dan dukungan kalian.
9. Eyang H. Radjimin Djamil dan Nenek Hj. Emma Hosi atas doa dan dukungannya
untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Datuk H. Alhusniduki Hamim (alm) dan Hj. Nyaik Dewi Sriyati (almh) yang sudah
mensupport saya sewaktu hidup sampai akhir hayatnya, semoga Datuk dan Nyaik
dapat melihat saya dari surga Allah SWT. Amiinn.
11. Marini yang selalu ada dan mensupport saya saat susah dan senang, serta doa dan
dukungannya agar saya dapat menyelesaikan skripsi ini, makasih ya say…
12. Temen-temen seperjuangan komunikasi 2009, Dendi, Tanjul, Pakde, Iqbal, Tojo,
Fadli, Agus, Barker, Reza, dan seluruh temen-temen komunikasi 2009 yang nggak

kesebut semua baik yang udah lulus maupun yang sedang berjuang, tetap
semangat!!!!
13. Temen-temen nongkrong khususan di wakilin sist Yuki dan temen-temen SMA di
wakilin Bundo, terimakasih dukungannya.
14. Seluruh Keluarga besar Ilmu Komunikasi beserta jajarannya yang telah membantu
dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

Setiap karya pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Segala kelebihan dan manfaat yang
bias diambil merupakan hasil dari bimbingan dan bantuan segenap pengajar, dan segala
kelemahan dalam karya ini merupakan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Karena
itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan dimasa
mendatang.


Bandar Lampung, Februari 2015
Penulis

M. Gilang Dwandaru

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .........................................................................................
ABSTRAK ........................................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN .........................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................
RIWAYAT HIDUP ...........................................................................................
MOTTO .............................................................................................................
PERSEMBAHAN ..............................................................................................
SANWACANA.................................................................................................
DAFTAR ISI ......................................................................................................

i

ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
ix

BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.

Latar Belakang ..............................................................................
Perumusan Masalah ......................................................................
Tujuan Penelitian ..........................................................................
Manfaat Penelitian ........................................................................


1
4
4
4

BABA II TINJAUAN PUSTAKA
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.

Penelitian Terdahulu ......................................................................
Komunikasi Massa ........................................................................
Film Sebagai Komunikasi Massa ..................................................
Nasionalisme .................................................................................

Komunikasi Simbolik ...................................................................
Semiotika Film ...............................................................................
Semiotik dalam Tanda dan Makna .................................................
Representasi ...................................................................................
Kerangka Pikir ..............................................................................

6
8
10
13
15
17
21
24
27

BAB III METODE PENELITIAN
A.
B.
C.
D.
E.

Jenis Penelitian ..............................................................................
Definisi Konseptual .......................................................................
Fokus Penelitian ............................................................................
Teknik Pengumpulan Data ............................................................
Analisis Data .................................................................................

28
29
30
31
32

BAB IV DESKRIPSI FILM TENDANGAN DARI LANGIT
A. Sinopsis Film Tendangan Dari Langit ...........................................
B. Antusiasme Penonton Tendangan Dari Langit ..............................
C. Theme Song Tendangan Dari Langit .............................................
D. Rilis Tendangan Dari Langit ..........................................................
E. Sukses Besar Tendangan Dari Langit ............................................

35
42
43
43
43

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .............................................................................. 46
B. Pembahasan .................................................................................... 67
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................... 72
B. Saran ............................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Film adalah gambar hidup yang sering disebut movie. Film secara kolektif sering
disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film
juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di duina
para sineas sebagai seluloid. Garin Nugroho menyebutkan “film sebagai
penemuan komunal dari penemuan-penemuan sebelumnya (fotografi, perekaman
gambar, perekaman suara, dll), dan ia tumbuh seiring pencapaian penemuanpenemuan selanjutnya. Film juga merupakan hasil peleburan sekaligus
persitegangan hakikat seni dan media komunikasi massa” (Nugroho, 1995: 77).
Sebuah film sebagai produk kesenian maupun sebagai medium, adalah suatu cara
untuk berkomunikasi. Dalam sebuah film ada pesan yang ingin dikomunikasikan
kepada penonton. Dalam konteksnya sebagai media komunikasi massa. Dalam
film, cara komunikasinya adalah cara bertutur. Film mengandung unsur tema,
cerita dan tokoh yang dikemas dalam format audio visual yang pada akhirnya
mengkomunikasikan sebuah pesan baik secara eksplisit maupun implisit.

2

Film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi dan
unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan
rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra,
arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung
pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film
yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat dicangkok dan
dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan
teknilogi media, dan seni lainnya.

Tendangan dari Langit adalah film Indonesia yang dirilis pada tahun 2011 dengan
disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Bercerita tentang Wahyu seorang anak
berumur 16 tahun yang memiliki kemampuan luar biasa dalam bermain
sepakbola. Ia tinggal di Desa Langitan di lereng gunung Bromo bersama ayahnya
seorang penjual minuman hangat di kawasan wisata gunung api itu, dan ibunya.
Demi membahagiakan orang tuanya, Wahyu memanfaatkan keahliannya dalam
bermain bola dengan menjadi pemain sewaan dan bermain bola dari satu tim desa
ke tim desa lain dengan bantuan pamannya. Hanung Bramantyo mengklaim film
berjudul Tendangan dari Langit merupakan salah satu film layar lebar pertama
bergenre Olahraga tentang Sepak Bola dengan produksi bergaya Hollywood
blockbuster.
(Anonim, Tendangan dari Langit, http://id.wikipedia.org/wiki, diakses tanggal 2
Juni 2013)

Kehadiran film ini menjadi oase di tengah kenasionalismean yang mulai meredup
yang ditandai ciri-ciri kaum muda kini mulai sirna perlahan-lahan. Kaum muda

3

kurang menampilkan karakter intelektual yang netral, nasionalisme yang
menggebu-gebu, malah justru terjebak dalam pragmatisme dan hedonisme.
Sehingga kaum muda kemudian ditengarai mengalami krisis nasionalisme. Terjadi
pergeseran orientasi nilai kaum muda. Kaum muda sudah kurang menghayati
nilai-nilai nasionalisme. Nasionalisme kaum muda sudah terasa menjadi sesuatu
yang “banal”, sesuatu yang mengalami pendangkalan makna. Seolah-olah bagi
kaum muda masa kini, nasionalisme bukan sesuatu yang penting lagi.
(Anonim, Tendangan dari Langit, http://id.wikipedia.org/wiki, diakses tanggal 2
Juni 2013).

Dalam studi pesan terdapat beberapa macam metode penelitian salah satunya
adalah metode semiotik. Sebagai bentuk pesan film ini terdiri dari berbagai tanda
dan simbol yang membentuk sebuah sistem makna. Proses pemaknaan simbolsimbol dan tanda-tanda tersebut tentu saja sangat tergantung dari referensi dan
kemampuan pikir masing-masing individu. Oleh karena itu dalam hal ini analisis
semiotik sangat berperan. Semiotik tanda-tanda dan simbol-simbol dianalisa
dengan kaidah-kaidah berdasarkan pengkodean yang berlaku, dengan demikian
proses intrepertasi akan menemukan sebuah “kebenaran makna” dalam
masyarakat, semiotik akan menemukan makna yang hakiki, makna yang
terselubung dalam sebuah pesan (film). Oleh karena itu penulis ingin melakukan
kajian semiotik mengenai bagaimanakah perfilman Indonesia menggambarkan
nilai-nilai nasionalisme dalam film yang mereka buat.

4

B. Rumusan Masalah

Setelah melihat pemaparan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
dapat dirumuskan adalah bagaimanakah nasionalisme dipresentasikan dalam
tokoh Wahyu melalui tanda verbal dan tanda visual pada film Tendangan dari
Langit?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mendapatkan temuan-temuan tentang bagaimana nasionalisme di representasikan
dalam tokoh Wahyu melalui pengungkapan tanda verbal dan tanda visual pada
film Tendangan dari Langit.

D. Kegunaan Penelitian

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan ilmu komunikasi, terutama dalam kajian media massa yang
mencoba mengkaji representasi nasionalisme dalam film Tendangan dari
Langit.

5

2. Kegunaan Praktis
Penelitian

ini

dapat

memberikan

informasi

mengenai

representasi

nasionalisme dalam kehidupan masyarakat yang digambarkan dalam film
Tendangan dari Langit. Penelitian ini juga dapat dijadikan masukan bagi para
pembuat film untuk dapat menghasilkan film yang berkualitas.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan kumpulan dari hasil-hasil penelitian dari peneliti
sebelumnya dalam kaitannya dengan lama mencari kerja tenga kerja terdidik.
Penelitian terdahulu yang diambil dalam penelitian ini adalah:
1. Christina Ineke Widhiastuti, Skripsi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,
2012, Serang.
Judul : “Representasi Nasionalisme Dalam Film Merah Putih (Analisis
Semiotika Roland Barthes)”.
Dalam penelitian ini diteliti bagaimana representasi nasionalisme dalam film
Merah Putih dan teori yang digunakan adalah teori Roland Barthes. Hasil
penelitian diketahui bahwa representasi nasionalisme dalam film Merah Putih
masih disimbolkan dengan hal-hal yang bersifat fisik. Nasionalisme hanya
dihubungkan dengan senjata, bambu runcing, bendera, tentara, ataupun perang
yang sifatnya lebih mengarah pada pertempuran fisik. Sifat kenasionalismean
dalam film ini bersifat dangkal karena menilai nasionalisme hanya dari atribut
dan simbol-simbol kenegaraan yang dipakai. Lidya Ivana Rawung, Skripsi,
Universitas Sam Ratulangi, 2012, Manado Sulawesi Utara.

7

Judul : “Analisis Semiotika Pada Film Laskar Pelangi”.
Peneliti menjelaskan analisis semiotika dengan menggunakan teori dari
Ferdinand De Saussure serta menganalisis data berdasarkan Kamus, Ideologi,
Frame Work Budaya dan Interpretan Kelompok. Hasil Penelitian menunjukan
bahwa film Laskar Pelangi memiliki makna pesan yang positif untuk
mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Dalam film ini, terdapat makna
tentang semangat dan tekad yang kuat untuk belajar ditengah keterbatasan
serta mencerikatakan tentang pengabdian guru meski hidup dibawah garis
kemiskinan. Dengan memiliki semangat, tekad yang kuat serta dididik oleh
guru yang benar-benar ingin mengabdi maka siswa-siswa SD Muhamadiah
bisa mencapai impian mereka.
2. Hendra Harahap, Skripsi, Universitas Sumatra Utara, 2011, Medan.
judul

:

“Representasi

Feminisme Dalam

Film

(Analisis

Semiotika

Representasi Feminisme Dalam Film “Sex And The City 2”.
Penelitian ini menggunakan metode semiotika khususnya kode-kode televisi
John Fiske. Subtema yang digunakan untuk menganalisa film tersebut adalah
feminisme dalam hubungan dunia kerja, feminisme dalam hubungan dengan
pasangan dan keluarga, feminisme dalam hubungan dunia sosial. Hasil
penelitian ini

menunjukan

bahwa dalam

proses encodingnya

yang

menghasilkan sebuah teks film, faktor-faktor eksternal di luar maksud
pembuat film dapat berperan dalam membentuk muatan ideologisnya. Lalu,
kesimpulan dalam penelitian ini adalah pada akhirnya, ditemukan bahwa film
dapat menjadi media untuk menyampaikan pesan berupa representasi atas

8

realita sosial dari kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki dalam
berbagai bidang, sebagai manusia yang sederajat yang disebut feminisme.

Dalam penelitian yang di buat oleh penulis sangat berbeda dengan penelitian
terdahulu yang sudah ada, karena penelitian dari film Tendangan Dari Langit
merepresentasiakan nasionalisme melalui penggambaran melalui kecintaan,
kesetiaan, kekaguman, kebanggaan, serta pengabdian yang menjadi unsur dari
simbol sosial dan simbol teknis berupa scene, shot, visual, audio, maupun
dialog.

B. Komunikasi Massa

Menurut Bittner seperti yang dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, komunikasi massa
adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar
orang (Rakhmat. 2005:188). Perkembangan media komunikasi massa terbilang
begitu cepat. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran
dan televisi (media elektronik); surat kabar dan majalah (media cetak); serta
media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah film bioskop (Ardianto,
2007:3).

Elvinaro menyebutkan komunikasi massa dapat dijelaskan melalui beberapa
karakteristik. Karakteristik tersebut antara lain : komunikator dalam komunikasi
massa terlembagakan. Komunikasi massa menggunakan media massa, baik media
cetak maupun elektronik. Komunikasi massa juga melibatkan lembaga dan
komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks (Ardianto, 2007: 6).

9

Pesan yang disampaikan komunikasi massa bersifat umum. Komunikasi massa
bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan
tidak untuk sekelompok orang tertentu. Komunikasi massa bersifat anonim dan
heterogen. Komunikator dalam komunikasi massa tidak mengenal komunikan
(anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka.
Selain itu, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari
berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, yang dapat dikelompokkan
berdasarkan faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang
budaya, agama, dan tingkat ekonomi (Ardianto, 2007: 7).

Komunikasi massa menimbulkan keserempakan. Kelebihan komunikasi massa
dibandingkan dengan komunikasi lainnya adalah jumlah sasaran khalayak atau
komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih dari
itu, komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang
bersamaan memperoleh pesan yang sama pula. Komunikasi massa mengutamakan
dimensi isi ketimbang dimensi hubungan. Sedangkan pada komunikasi antar
personal unsur hubungan sangat penting. Dimensi isi menunjukkan muatan atau
isi komunikasi, yaitu apa yang dikatakan, sedangkan dimensi hubungan
menunjukkan bagaimana cara mengatakannya, yang juga mengisyaratkan
bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu (Ardianto, 2007: 8).

Komunikasi massa bersifat satu arah artinya komunikator dan komunikan dalam
komunikasi massa tidak dapat melakukan kontak langsung. Di antara keduanya
tidak dapat melakukan dialog sebagaimana halnya terjadi dalam komunikasi
antarpersonal. Dengan demikian komunikasi massa bersifat satu arah.28 Dalam

10

komunikasi massa stimulasi alat indra bersifat terbatas. Stimulasi alat indra
bergantung pada jenis media massa. Tidak seperti pada komunikasi antar personal
yang bersifat tatap muka, maka seluruh alat indra pelaku komunikasi dapat
digunakan secara maksimal (Ardianto, 2007: 9).

Umpan balik pada komunikasi massa bersifat tertunda (delayed) atau tidak
langsung (indirect). Artinya, komunikator komunikasi massa tidak dapat dengan
segera

mengetahui

bagaimana

reaksi

khalayak

terhadap

pesan

yang

disampaikannya. Tanggapan khalayak bisa diterima lewat telepon, email, atau
surat pembaca. Proses penyampaian feedback lewat telepon, email, atau surat
pembaca itu menggambarkan feedback komunikasi massa bersifat indirect
(Ardianto, 2007: 10).

C. Film sebagai Komunikasi Massa

Menurut Agee seperti yang dikutip oleh Ardianto dan Lukiati Komala, film
(gambar bergerak) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual. Lebih
dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film TV, dan film laser setiap
minggunya (Ardianto, 2007:134). Menurut Oey Hong Lee yang juga dikutip oleh
Alex Sobur, film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia,
mempunyai masa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19. Dengan perkataan lain
pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah dibikin
lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah
dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur-unsur
teknik, politik, ekonomi, sosial, dan demografi yang merintangi kemajuan surat

11

kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19
(Sobur. 2006:126).

Namun seiring dengan kebangkitan film pula muncul film-film yang mengumbar
seks, kriminal, dan kekerasan. Inilah yang kemudian melahirkan berbagai studi
komunikasi massa. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen
sosial, lantas membuat para ahli menyatakan bahwa film memiliki potensi untuk
mempengaruhi khalayaknya (Sobur. 2006:127). Film melalui medianya sendiri
merupakan media komunikasi massa yang bisa dijadikan alat pembelajaran untuk
kita. Banyak film yang mengandung nilai-nilai positif di dalamnya. Dan ini bisa
dijadikan alat untuk mendidik masyarakat, yang juga merupakan fungsi
komunikasi massa.

Sebagaimana media massa umumnya film merupakan cermin atau jendela
masyarakat di mana media massa itu berada. Nilai, norma, dan gaya hidup yang
berlaku pada masyarakat akan disajikan dalam film yang diproduksi. Film juga
berkuasa menetapkan nilai-nilai budaya yang “penting” dan “perlu” dianut oleh
masyarakat, bahkan nilai-nilai yang merusak sekalipun. Meskipun secara teoretis
hubungan antara film dan budaya bersifat dua arah, para pakar lebih sering
mengkaji pengaruh film terhadap nilai budaya khalayaknya daripada pengaruh
nilai budaya khalayak terhadap film (Mulyana. 2008: 89). Pada akhirnya,
hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Kritik yang
muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret
dari masyarakat di mana film itu dibuat (Sobur. 2006:127).

12

Alex Sobur menunjukkan faktor-faktor yang menunjukkan karakteristik film.
Faktor-faktor tersebut antara lain film memiliki layar yang luas/ lebar yang
memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang
disajikan dalam film. Penonton pun bisa menikmati film dengan leluasa.
Pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh
atau extreme long shot, dan panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan
menyeluruh. Shot tersebut dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana yamg
sesungguhnya. Dengan pengambilan shot-shot yang berbeda inilah film menjadi
lebih menarik. Film di bioskop membuat kita berkonsentrasi penuh. Kita akan
terbebas dari gangguan hiruk-pikuknya suara di luar karena biasanya ruangan
kedap suara. Semua mata hanya tertuju pada layar, sementara pikiran perasaan
kita tertuju pada alur cerita. Dalam keadaan demikian emosi kita juga terbawa
suasana (Ardianto, 2007: 145-147).

Film juga dapat mengidentifikasikan psikologis kita. Kita dapat merasakan bahwa
suasana di gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam
cerita yang disajikan. Karena penghayatan kita yang amat mendalam, seringkali
secara tidak sadar kita menyamakan (mengidentifikasikan) pribadi kita dengan
salah seorang pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah kita lah yang sedang
berperan. Menurut Ardianto jenis-jenis film dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis.
Adapun jenis-jenis film tersebut antara lain, film cerita (story film) adalah jenis
film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung
bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang
dagangan. Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau
berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi (Ardianto, 2007: 148-149).

13

Jenis film selanjutnya adalah film berita. Film berita atau newsreel adalah film
mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka
film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value).44
Selain film cerita dan film berita, ada juga film dokumenter. Film dokumenter
(documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty yang dikutip oleh Ardianto
sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan”. Berbeda dengan film berita yang
merupakan rekaman kenyataan, maka film dokumenter merupakan hasil
interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut. Dan yang jenis
film terakhir adalah film kartun. Film kartun (cartoon film) dibuat untuk
dikonsumsi anak-anak. Sekalipun tujuan utamanya menghibur, film kartun bisa
juga mengandung unsure pendidikan (Ardianto, 2007: 149).

D. Nasionalisme

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasionalisme diartikan sebagai (1)
paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; politik untuk membela
pemerintahan sendiri; sifat kenasionalan; (2) kesadaran keanggotaan dalam suatu
bangsa yang potensial atau actual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan
mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu;
semangat kebangsaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995: 610). Rasa
kebangsaan menumbuhkan faham kebangsaan atau nationalisme yaitu cita-cita
atau pemikiran-pemikiran bangsa dengan karakteristik yang berbeda dengan
bangsa lain (jati diri). Rasa kebangsaan dan faham kebangsaan melahirkan
semangat kebangsaan yaitu semangat untuk mempertahankan eksistensi bangsa
dan semangat untuk menjunjung tinggi martabat bangsa. Pada era menjelang

14

kemerdekaan, semangat kebangsaan bangsa Indonesia terfokus pada semangat
anti kolonial. Tantangan baru dalam mengisi kemerdekaan jauh berbeda dengan
tantangan pada waktu merebut kemerdekaan. Tantangan yang kita hadapi dewasa
ini adalah mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa yang telah maju (Kansil,.
1993:1).

Kebangunan bangsa jajahan dan perlawanan terhadap system kolonial itu disebut
dengan istilah sosiologisnya Nasionalisme. Adapun Nasionalisme itu mempunyai
bermacam-macam bentuk dan unsur-unsur tetapi yang pokok ialah unsur
kebangsaan. Unsur ini merupakan unsure yang terpenting. Di samping itu maka
gerakan menuju ke perubahan masyarakat dan perekonomian, merupakan unsur
kedua. Tentang nasionalisme Indonesia sendiri telah banyak dikemukakan
pendapat oleh penulis-penulis kenamaan, antara lain Verdoom yang dikutip oleh
Kansil, mengatakan bahwa Nasionalisme di Indonesia tujuannya ialah
melenyapkan tiap-tiap bentuk kekuasaan penjajahan dan mencapai suatu keadaan
yang memberi tempat untuk perkembangan merdeka dan mencapai suatu keadaan
yang memberi tempat untuk perkembangan merdeka bangsa Indonesia (Kansil,
1993: 17).

Sedangkan menurut Bouman yang juga dikutip Kansil menjelaskan bahwa
Nasionalisme Indonesia itu lebih luas sifatnya ialah perasaan menjadi anggota
masyarakat besar yaitu bangsa Indonesia, tetapi syarat mutlak untuk mencapai
maksud itu ialah melenyapkan sistem kolonialisme yang menekan bangsa
Indonesia dalam keadaannya yang buruk. Nasionalisme adalah satu paham yang
berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada

15

kebangsaan (Kohn. 1984:11). Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang
erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasapenguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan
yang berbeda-beda.

Kita harus meninggalkan cara pandang Ernest Renan bahwa nasionalisme bukan
lagi sekadar kehendak untuk bersatu (le desir d'etre ensemble) sebagai sebuah
negara-bangsa. Sejatinya, nasionalisme yang utuh adalah ide dan cita-cita tentang
sebuah masa depan: bagaimana karakter sebuah bangsa yang merdeka kukuh di
tengah arus globalisasi. Karena itu, nasionalisme lama harus direkonstruksi
menjadi nasionalisme baru yang berpijak pada tantangan-tantangan kebangsaan
yang makin kompleks.

E. Komunikasi Simbolik

Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk
berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek
yang diharapkan. Hal yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara:
kata yang diucapkan (ditambah dengan suarasuara lain yang serentak mengiringi
gambar-gambar) dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam
film

adalah digunakannya

tanda-tanda ikonis,

yakni

tanda-tanda

yang

menggambarkan sesuatu.
(Anonim,

Rekonstruksi

Nasionalisme

Kaum

http://www.tempointeraktif.com, diakses tanggal 2 Juni 2013)

Muda.

16

Sebuah film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk symbol visual dan
linguistik untuk mengodekan pesan yang sedang disampaikan. Pada tingkatan
paling dasar, misalnya, “suara di luar layar” mungkin hanya menguraikan objek
dan tindakan yang ada di layar. Namun, unsur suara (voice over) dan dialog dapat
juga mengkoding makna kesusastraan. Pada tataran gambar bergerak, kode-kode
gambar dapat diinternalisasikan sebagai bentuk representasi mental (Sobur. 2007:
128).

Film memaknai realitas sosial dengan simbol. Fiske membagi pengkodean dalam
tiga level pengkodean tayangan televisi, yang juga berlaku pada film, yaitu : Level
Reality: Kode yang tercakup dalam level ini adalah penampilan, kostum, riasan,
lingkungan, tingkah laku, cara berbicara, bahasa atau gerak tubuh, ekspresi, suara,
dll. Level Representation: Di level kedua ini kode yang termasuk di dalamnya
adalah seputar kode kode teknik, seperti kamera, pencahayaan, editing, musik, dan
suara. Di mana level ini mentransmisikan kode-kode konvensional. Dan Level
Ideology : Level ini adalah hasil dari level realita dan level representasi yang
terorganisir atau terkategorikan kepada penerimaan dan hubungan sosial oleh
kode-kode ideologi, seperti individualisme, patriarki, ras, kelas, materialisme,
kapitalisme, dan lain-lain.
(Television

Culture.

Memaknai

Realitas

http://id.shvoong.com, diakses tanggal 2 Juni 2013).

Sosial

Dengan

Simbol

17

F. Semiotika Film

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau
semiotika. Seperti yang dikemukakan oleh van Zoest, film dibangun dengan tanda
semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama
dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi
statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan.
Pada film digunakan tandatanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan
sesuatu. Ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang
ditunjuknya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas
yang dinotasikannya (Sobur. 2007: 31).

Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri. Kekhususan film
adalah mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukkannya
dengan proyektor dan layar. Ada hal-hal yang dapat dilakukan film yang tidak
dapat dilakukan cerita tertulis dan sebaliknya (Sobur. 2007: 128). Film dan
televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang
berbeda. Tata bahasa itu terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti
pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two shot),
pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan
gambar (zoom-out), memudar (fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow
motion), gerakan yang dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect)
(Sobur. 2007: 130).

Semiotika sebagai suatu cara untuk mengkaji tentang film. Semiotika beroperasi
dalam wilayah tanda. Film dikaji melalui system tanda, yang terdiri dari lambang

18

baik verbal maupun yang berupa ikonikon atau gambar. Dari berbagai tanda
dalam semiotika film, dikenal pula istilah mise en scene yang terkait dengan
penempatan posisi dan pergerakan aktor pada set (blocking), serta sengaja
dipersiapkan untuk menciptakan sebuah adegan (scene) dan sinematografi yang
berkaitan dengan penempatan kamera. Mise en scene berarti menempatkan
sesuatu pada satu layar, unsur-unsurnya antara lain actor’s performance yang
terdiri dari script adalah sebuah naskah yang berisi semua kalimat yang diucapkan
oleh pemain film, dan movement yaitu semua hal dan berbagai tindakan yang
dilakukan oleh pemain film. Selain itu mise en scene juga terdiri dari unsur suara
(sound). Sound yaitu latar belakang suara pemain, lagu, sound effect, atau nat
sound (suara di sekeliling pemain film). Suara yang dapat didengar mendampingi
visualisasi gambar pada layar (Sobur. 2007: 131).

Adapun kategori suara antara lain: Spoken word berupa perkataan, komentar,
dialog, maupun monolog dari seorang pemain film. Natural sound berupa semua
suara selain ucapan pemain film dan musik yang berfungsi sebagai ilusi realitas
dan simbolisasi keadaan. Serta, music berupa instrumen atau nyanyian yang
berfungsi untuk membantu transisi antar sequence, membentuk suasana latar
tempat, membentuk kesan emosi pemain lebih hidup, untuk membentuk atmosfer,
menambah kesan dramatis ataupun sekedar menyampaikan pesan non verbal
(Bordwell, 1993: 45).

Unsur selanjutnya dalam mise en scene yaitu production design. Production
design yang terdiri dari setting berupa lokasi pengambilan gambar, property
berupa segala peralatan atau barang yang mendukung pelaksanaan produksi film,

19

dan costum berupa segala pakaian yang dipakai oleh pemain film. Penerapan
metode semiotika dalam film berkaitan erat pula dengan media televisi. Karena
televisi merupakan medium yang kompleks yang menggunakan bahasa verbal,
gambar dan suara untuk menghasilkan impresi dan ide-ide pada orang. Aspekaspek yang diperhatikan dari medium yang berfungsi sebagai tanda, untuk
membedakan sebagai pembawa tanda. Apa yang menarik dari TV adalah
pengambilan gambar dari kamera yang dilakukan (Barger. 1999: 33).
Hal di atas menunjukkan semacam “tata bahasa” televisi seperti pengambilan
gambar, kerja kamera, dan teknik penyuntingan. Hal tersebut membantu kita
untuk memahami apa yang terjadi pada sebuah program. Terdapat pula hal lain
yang mungkin juga menarik, seperti teknik pencahayaan, penggunaan warna, efek
suara, dan musik. Semua penanda tersebut menolong kita untuk menerjemahkan
apa yang kita lihat dan yang kita dengar dari televisi.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tandatanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di
dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Kata ”semiotika”
berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ”tanda” atau seme, yang berarti
”penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni
logika, retorika, dan poetika. ”Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal
yang menunjuk pada adanya hal lain (Sobur. 2007:15).

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning)
ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda. Konsep dasar ini
mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol,

20

bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan
bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun.
Secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika (Sobur. 2007:15).

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode semiotika Roland Barthes
karena dalam semiotika Roland Barthes terdapat dua tingkatan makna yaitu
denotasi dan konotasi dimana di dalam tingkatan konotasi terdapat unsur mitos,
dan semiotika Roland Barthes dianggap sebagai menyempurna semiotika Peirce
dan Saussure.

Roland Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang
mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu
(Sobur. 2007:17). Dalam setiap eseinya, Barthes menghabiskan waktu untuk
menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologimitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat.
Tabel 2.2 Peta Tanda Roland Barthes
1. Signifier 2. signified
(penanda)
(petanda)
3. denotative sign (tanda
denotatif)
4. CONNOTATIVE
5. CONNOTATIVE
SIGNIFIER (PENANDA
SIGNIFIED (PETANDA
KONOTATIF)
KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Sumber: Sobur. 2006:69.

Berdasarkan peta Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif

21

tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan
antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan
konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi
biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan
kadangkala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang
secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada
penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Dalam hal
ini denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi
merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan
dengan ketertutupan makna dan dengan demikian, sensor atau represi politis.
Sedangkan konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai
”mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi
nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

G. Semiotika dalam Tanda Dan Makna
Semiotika (Semiotic) adalah teori tentang pemberian ‟tanda‟. Secara garis besar
semiotika digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotika pragmatik
(semiotic pragmatic), semiotika sintaktik (semiotic syntactic) dan semiotika
sematik (semiotic sematic) (Sobur, 2007:31).
1. Semiotika Pragmatik (semiotic pragmatic)
Semiotika pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda
oleh yang menerapkannya dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan
dalam batas perilaku subjek. Dalam arsitektur, semiotika prakmatik

22

merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda)
terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotika pragmatik
arsitektur berpengaruh terhadap indra manusia dan perasaan pribadi
(kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur
akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi
tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam
menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur
merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.
2. Semiotika Sintaktik (semiotic syntactic)
Semiotika

sintaktik

menguraikan

tentang

kombinasi

tanda

tanpa

memperhatikan ‟maknanya‟ ataupun hubungannya terhadap perilaku subjek.
Semiotika sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subjek yang
menginterpretasikannya. Dalam arsitektur, semiotika sintaktik merupakan
tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai panduan dan kombinasi dari
berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara
komposisional dan ke dalam bagianbagiannya, hubungan antar bagian dalam
keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.
3. Semiotika Sematik (semiotic sematic)
Semiotika sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan
‟makna‟ yang disampaikan. Dalam arsitektur, semiotika sematik merupakan
tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan.
Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan
oleh perancangnya. Makna tersebut disampaikan melalui ekpresi wujudnya,
wujud tersebut akan dimakanai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh

23

pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil
jika makna atau ‟arti‟ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui
rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya,
jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi
pengamatnya.

Dunia komunikasi visual, sematik menjadi panutan yang tepat dalam menelaah,
meneliti dan menganalisis makna tanda-tanda visual. Visualisasi dari image
merupakan simbol dari suatu makna. Dalam lingkup pemaknaan terhadap pesan
terdapat istilah Asosiasi dan Sinestesia. Asosiasi adalah perubahan makna yang
terjadi karena persamaan sifat (Sobur, 2007:35).

Penelaahan makna dan tanda-tanda visual digunakan dengan dua cara yaitu
pemaknaan denotatif dan pemaknaan konotatif yang akan dijelaskan secara
lengkap dalam semiologi Roland Barthes. Makna tanda maupun simbol yang ada
biasanya bersifat refleks dan datang dari alam. Tetapi ada juga yang merupakan
representasi simbolik dan interpretasi manusia berdasarkan budaya atau peraturan
yang telah disepakati bersama dalam masyarakat. Simbol-simbol yang diciptakan
dalam masyarakat tertentu disebarkan melalui komunikasi sehingga symbolsimbol tersebut dimiliki secara luas dan distandarisasi maknanya. Dalam hal ini,
peran menonjol dimainkan oleh tenaga komunikasi (komunikasi massa). Sebagai
contoh, film-film Hollywood yang booming di abad ini mempengaruhi cara
berpakaian, berbicara, life style kita. Kita seakan-akan menjiplak style kebaratang
akibat pengaruh media massa (televisi, internet maupun bioskop) yang kita lihat.

24

H. Representasi

Menurut David Croteau dan William Hoynes (dalam Wibowo, 2010: 120),
representasi

merupakan

hasil

dari

suatu

proses

penyeleksian

yang

menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi
media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuuatu
mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan
pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementaran
tanda-tanda lain diabaikan. Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai,
proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik.Secara lebih tepat
dapat diidefinisikan sebagai penggunaan „tanda-tanda‟ (gambar, suara, dan
sebagainya)

untuk

menampilkan

ulang

sesuatu

yang

diserap,

diindra,

dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik. Didalam semiotika dinyatakan
bahwa bentuk fisik sebuah representasi, yaitu X, pada umumnya disebut sebagai
penanda. Makna yang dibangkitkannya (baik itu jelas maupun tidak), yaitu Y,
pada umumnya dinamakan petanda; dan makna secara potensial bisa diambil dari
representasi ini
(X = Y) dalam sebuah lingkungan budaya tertentu, disebut sebagai signifikasi
(sistem penandaan).

Hal ini bisa dicirikan sebagai proses membangun suatu bentuk X dalam rangka
mengarahkan perhatian sesuatu, Y, yang ada baik dalam bentuk material maupun
konseptual, dengan cara tertentu, yaitu X = Y. Meskipun demikian, upaya
menggambarkan arti X = Y bukan suatu hal yang mudah. Maksud dari pembuat
bentuk, konteks historis dan sosial yang terkait dengan terbuatnya bentuk ini,

25

tujuan pembuatannya, dan seterusnya merupakan faktor-faktor kompleks yang
memasuki gambaran tersebut. Agar tugas ini bisa dilakukan secara sistematis,
terbentuklah disini suatu terminologi yang khas (Danesi, 2010: 3-4).

Contoh seperti proses yang dilakukan dalam merepresentasikan seks bisa
dirangkum dalam diagram dibawah ini. Untuk menunjukkan pelbagai penanda
dan petanda yang ada didalam masing-masing representasi ini, dipakai subskrip
dalam bentuk angka. Meskipun demikian, ini bukanlah praktik standar dalam
semiotika; hal ini dipakai di sini untuk memberikan kejelasan saja. Di sini tidak
ada cara untuk menentukan hal menjadi petanda atau meramalkan signifikasi
mana yang akanditerapkan untuk bisa menggambarkan secara tepat representasi
(X = Y) seperti apa yang berlaku pada satu kelompok orang tertentu. Meskipun
demikian, proses penurunan makna dari representasi tertentu bukan merupakan
proses terbukakarena dibatasi oleh konvensi sosial, pengalaman komunal, serta
banyak hal faktorkontekstualyang membatasi pelbagai pilihan makna yang
mungkin berlaku pada pilihan tertentu. Analisis semiotika adalah upaya
menggambarkan pelbagai pilihan makna yang tersedia. Danesi mencontohkan
representasi dengan sebuah konstruksi X yang dapat mewakilkan atau
memberikan suatu bentuk kepada suatu materil atau konsep tentang Y. (Wibowo,
2010: 122).

Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental,
yaitu konsep tentang „sesuatu„ yang ada dikepala kita masing-masing (peta
konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua,
„bahasa‟ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak

26

yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam „bahasa‟ yang lazim,
supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan
tanda dari simbol-simbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak menebarkan
bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjuk Pada
bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu
ditampilkan dalam pemberitaan (Wibowo, 2010: 123).

Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga film dan hal-hal lain di luar
pemberitaan intinya bahwa sama dengan berita, film juga merepresentasikan
orang-orang, kelompok atau gagasan tertentu. John Fiske merumuskan tiga proses
yang terjadi dalam representasi:
a. Realitas dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh
media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek
seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas
selalu siap ditandakan.
b. Representasi dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkatperangkat teknis seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lain-lain.
c. Tahap ideologis d

Dokumen yang terkait

MAKNA TANDA NASIONALISME PADA FILM(Studi Semiotik pada Film Garuda di Dadaku)

2 10 2

NASIONALISME DALAM FILM Nasionalisme Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Nasionalisme dalam Film “Habibie dan Ainun”).

1 4 16

NASIONALISME DALAM FILM Nasionalisme Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Nasionalisme dalam Film “Habibie dan Ainun”).

0 2 15

REPRESENTASI NASIONALISME DAN PATRIOTISME Representasi Nasionalisme dan Patriotisme dalam Film Tanah Surga Katanya.

0 2 15

REPRESENTASI NASIONALISME DAN PATRIOTISME Representasi Nasionalisme dan Patriotisme dalam Film Tanah Surga Katanya.

0 1 16

REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER NASIONALISME DAN KERJA KERAS PADA TOKOH MARTINI-KUSNADI DALAM FILM Representasi Pendidikan Karakter Nasionalisme Dan Kerja Keras Pada Tokoh Martini-Kusnadi Dalam Film “Cerita Dari Tapal Batas” (Analisis Semiotik untuk Pemb

0 2 16

REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER NASIONALISME DAN KERJA KERAS PADA TOKOH MARTINI-KUSNADI DALAM FILM Representasi Pendidikan Karakter Nasionalisme Dan Kerja Keras Pada Tokoh Martini-Kusnadi Dalam Film “Cerita Dari Tapal Batas” (Analisis Semiotik untuk Pemb

0 1 12

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM FILM ”TENDANGAN DARI LANGIT” (Kajian Semiotik Dalam Perspektif PPKn) Pendidikan Karakter Dalam Film ”Tendangan Dari Langit” (Kajian Semiotik Dalam Perspektif PPKn).

0 0 14

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM FILM ”TENDANGAN DARI LANGIT” (Kajian Semiotik Dalam Perspektif PPKn) Pendidikan Karakter Dalam Film ”Tendangan Dari Langit” (Kajian Semiotik Dalam Perspektif PPKn).

0 2 17

MOTIF REMAJA DALAM MENONTON FILM TENDANGAN DARI LANGIT (Studi Deskriptif Kuantitatif Motif Remaja Dalam Menonton Film Tendangan Dari Langit di Kota Malang).

0 0 102