DEIKSIS PADA NOVEL 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

(1)

ABSTRAK

DEIKSIS PADA NOVEL99 CAHAYA DI LANGIT EROPA

KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA

INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

Oleh

ELVANUR SYAFITRI

Masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah deiksis pada Novel 99 Cahaya di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra dan Implikasinya terhadap Pembelajaran di Sekolah Menengah Atas (SMA). Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan pemakaian deiksis pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber data berupa novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra yang berjumlah 392 halaman. Data penelitian ini adalah deiksis eksofora yang terdiri atas deiksis persona, deiksis ruang dan deiksis waktu dalam Novel 99 Cahaya di langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melewati empat, yaitu (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, (4) dan penarikan kesimpulan.

Berdasarkan hasil analisis data ditemukan data eksofora dan endofora. Data eksofora berupa deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu. Deiksis persona terbagi menjadi tiga yaitu persona pertama (aku, saya, -ku, ku-, kami, kita), persona kedua (engkau, kau, -mu, anda, kalian), dan persona ketiga (dia, beliau, mereka). Ketiga jenis deiksis tersebut ditemukan terdapat dalam sumber data, begitu juga dengan deiksis ruang (di sini, di situ, di sana, ke sana, ke dalam, di dalam, ke sini, di depan) dan deiksis waktu (sekarang, hari ini, besok, kemarin dulu, sejak dulu, dahulu, tadi, tadi siang, tadi malam). Sama halnya dengan deiksis endofora yang terbagi menjadi anafora dan katafora terdapat dalam sumber data penelitian ini. Berdasarkan hasil pembahasan penelitian ditemukan terdapat 1131 dialog dalam novel yang mengandung deiksis. Deiksis persona


(2)

sebanyak 991, deiksis ruang ditemukan sebanyak 64, dan deiksis waktu sebanyak 76. Dari penjelasan deiksis tersebut dapat diketahui bahwa deiksis yang banyak ditemukan adalah deiksis persona. Kajian deiksis dalam penelitian ini berimplikasi terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SMA kelas X sebagai bahan ajar, pada pembelajaran menulis materi teks anekdot. Sebab dalam pembelajaran menulis diperlukan ketepatan kata dan pemahaman tentang menggunaan pemilihan kata (diksi). Teks anekdot adalah salah satu teks cerita yang merupakan teks sastra sesuai dengan sumber data penelitian.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

Penulis dilahirkan di Negeri Ratu, Kabupaten Pesisir Barat pada 25 Januari 1993. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan H.Syairullah Syam, S.Pd dan Hj.Hartati Sulasmi, A.MaPd.

Penulis pertama kali menempuh pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Aisyah, pada 1997 dan selesai pada 1998. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) ditempuh di SD Negeri 1 Kampung Jawa, Pesisir Barat pada 1998 dan selesai pada 2004. Kemudian, penulis menyelesaikan studi tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 2 Pesisir Tengah Krui, Pesisir Barat pada 2007. Jenjang pendidikan selanjutnya yang ditempuh adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Al-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2007 diselesaikan pada tahun 2010.

Tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung melalui jalur Ujian Masuk Lokal (UML). Pengalaman mengajar didapatkan penulis ketika melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 1 Batu Ketulis, Kabupaten Lampung Barat pada Tahun Pelajaran 2013/2014.


(8)

Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika

kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan

dia tidak akan meminta hartamu

(Q.S Muhammad: 36)

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

(Q.S. Al Insyirah : 5)

Ingatlah tidak ada titik akhir suatu keputusan kecuali nurani

(Elvanur Syafitri)


(9)

Untuk segenap kesabaran akan sebuah perjuangan.

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memberikanku anugerah-anugerah terindah-Nya dalam kehidupanku, akhir yang indah dari setiap kesabaran dalam menapaki kehidupan ini, dan untuk mampu berdiri tegar dan optimis dengan menatap ke depan, aku persembahkan karya kecil ini kepada:

1) Kedua Orang Tuaku Tercinta

Ayahanda H.Syairullah Syam, S.Pd dan Ibunda Hj. Hartati Sulasmi, A.MaPd yang senantiasa tulus memberi tanpa harap, berdoa tanpa henti dalam setiap hembusan napasnya, mendidik dengan penuh cinta dan kasih, membesarkan dengan tulus, menanti dengan penuh kesabaran, serta memberikan nafkah lahir batin dengan tetesan peluh dan linangan air mata. Semoga AllahSubhanahu wa

ta’ala membalas setiap butir peluh, linangan air mata, kesabaran, dan jejak langkah Papa dan Mama dengan kebahagiaan di surga.

2) Kakak-Kakakku tersayang

Yongki Nur Syah, S.H dan Puspa Nur Endah, A.Md.Keb terimakasih untuk segenap doa, dukungan, kesabaran, dan selalu memberikan semangat untukku. Aku sayang kalian.


(10)

xi

SANWACANA

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wata’ala atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Deiksis pada Novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”. Salawat teriring salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa salam, semoga keluarga dan sahabat dan para pengikutnya mendapatkan syafaatnya kelak di hari pembalasan.

Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas lampung. Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengahaturkan terima kasih semoga amal kebaikan yang telah diberikan akan mendapatkan pahal dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd., Pembimbing I yang telah banyak membantu, membimbing, mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan penuh kesabaran, memberikan saran, motivasi, serta nasihat yang amat berharga bagi penulis;


(11)

xii

2. Dra. Ni Nyoman Wetty Suliani, M.Pd., Pembimbing II atas kesediaanya untuk memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran, motivasi-motivasi yang sangat membangun dalam proses penyelesaian skripsi ini;

3. Dr. Mulyanto Widodo. M.Pd., penguji utama yang telah memberikan nasihat, arahan, saran dan motivasi kepada penulis;

4. Dr. Edi Suyanto, M.Pd., Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan, masukan, nasihat, dan motivasi kepada penulis;

5. Drs. Kahfie Nazaruddin, M.Hum., Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membimbing penulis selama menempuh studi di Universitas Lampung;

6. Dr. Muhammad Fuad, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas keguruan dan Ilmu pendidikan, Universitas lampung;

7. Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., Dekan FKIP Universitas Lampung, beserta stafnya;

8. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia terima kasih atas ilmu yang sangat bermanfaat sebagai bekal hidup penulis; 9. Bapak dan Ibu staf administrasi FKIP Unila.

10. Papa dan Mama tercinta (H. Syairullah Syam, S.Pd dan Hj. Hartati Sulasmi, A.MaPd) yang tak henti memberikan kasih sayangnya, mendoakan, memberikan nasihat, motivasi dalam bentuk moral maupun materi dan untaian doa yang tiada terputus untuk keberhasilan penulis;

11. Kakak-kakakku tersayang Yongki Nur Syah, S.H dan Puspa Nur Endah, A.Md.Keb yang selalu memberikan semangat, dukungan dan motivasi kepada penulis;


(12)

xiii

12. Keluarga besarku yang senantiasa menantikan kelulusanku dengan memberikan dorongan, semangat dan doa kepada penulis;

13. Sahabat seperjuangan Adelina Harry Santi, Z. Soraya Ayu P.S dan Restty Purwana S.J yang telah mengajarkan arti persahabatan dan warna dalam kehidupan di dalam kampus maupun di luar kampus bagi penulis;

14. Teman-teman terbaikku Anida Febriani, Rizki Yunaini, Tika Yuni Arsita, Wenny Nisma, Yesi Wariesta yang senantiasa saling memberi motivasi, dukungan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 15. Teman-teman Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

angkatan 2010 terima kasih atas persahabatan, doa serta kebersamaan yang telah teman-teman berikan;

16. Kakak-kakak tingkat 2007, 2008, 2009 dan adik tingkat 2011, 2012, 2013 terima kasih atas bantuan, dukungan, persahabatan serta kebersamaan yang telah kalian berikan;

17. Teman-teman seperjuangan PPL di SMP N 1 Batu Ketulis (Dongah Yudi, kordes Abdul, Korsek Wella, Andriyani Mustika, levi, dilla, aya, resti, yuni) dan Bapak/Ibu guru yang banyak memberikan bimbingan dan ilmu, serta murid-murid SMP N 1 Batu Ketulis yang selalu memberikan semangat; 18. Keluarga besar Taman Palem Permai 3 yang selalu memberiku banyak

kenangan-kenangan indah (bibeh Septa, uwo Ayas, mumu Aya, mba Tina, mba Oca, mba Acon, mba Silvi, ajo Medi, aa’ Fahmi, Burhan, Danny, kak Adin, kak Ino, kak Irfan) kalian keluarga keduaku;


(13)

xiv

19. Seseorang yang telah datang dalam kehidupanku dan telah membuatku semakin dewasa, selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis terima kasih partner terbaikku;

20. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah mem-bantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah Subhanahu wata’ala selalu memberikan balasan yang lebih besar untuk Bapak, Ibu dan rekan-rekan semua. Hanya ucapan terima kasih dan doa yang bisa penulis berikan. Kritik dan saran selalu terbuka untuk menjadi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk kemajuan pendidikan, khususnya pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Amin.

Bandarlampung, Agustus 2014 Penulis


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... viii

MOTO ... ix

PERSEMBAHAN ... x

SANWACANA ... xi

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 8

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Semantik ... 9

2.2 Pengertian Deiksis ... 11

2.3 Jenis Jenis Deiksis... 14

2.3.1 Deiksis Eksofora ... 15

2.3.1.1 Deiksis Orang (Persona) ... 15

2.3.1.2 Deiksis Ruang (Tempat) ... 26

2.3.1.3 Deiksis Waktu... 31

2.3.2 Deiksis Endofora ... 37

2.4 Hubungan Deiksis dengan Novel... 38

2.4.1 Pengertian Novel ... 39

2.4.2 Percakapan dalam Novel ... 40

2.4.3 Hubungan Deiksis dengan Novel ... 40

2.5 Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMA) berdasarkan kurikulum 2013... 41


(15)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian ... 46

3.2 Sumber Data... 46

3.3 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ... 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil dan Penelitian ... 52

4.2 Pembahasan Penelitian ... 59

4. 2. 1 Deiksis Persona ... 59

4.2.1.1 Persona Pertama ... 60

4.2.1.2 Persona Kedua ... 66

4.2.1 3 Persona Ketiga ... 68

4. 2. 2 Deiksis Ruang ... 70

4. 2. 3 Deiksis Waktu ... 73

4.3 Implikasi pada Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA ... 75

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Simpulan ... 82

5. 2 Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(16)

Tabel Halaman

2.1 Penjelasan katananti ...... 32

2.2 Penggunaan katatadidi awal ... 34

2.3 Penggunaan katatadidi akhir ... ... 35

3.4 Tahapan Masa Pengumpulan Data Model Alir ... 48

4.5 Tabel Pembagian Deiksis Persona ... 53

4.6 Tabel Deiksis Persona ... 53

4.7 Tabel Deiksis Ruang ... 55


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Semantik merupakan ilmu tentang makna, dalam bahasa Inggris disebut meaning. Vehaar (1999: 14) mengemukakan bahwa semantik (Inggris: semantics) berarti teori makna atau teori arti, yakni dengan sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti. Pendapat lain mengenai deiksis menurut (Chaer, 1995:2) mengemukakan bahwa kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Kemudian, semantik disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik untuk memelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan sesuatu yang ditandainya.

Deiksis sebagai salah satu bidang kajian semantik menjadi topik dalam penelitian ini, yang dibahas meliputi deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu. Alwi, dkk (1998:42) menyatakan bahwa deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. Kata atau konstruksi seperti itu bersifat deiksis.


(19)

Contoh:

Pada kalimat (1a)sekarangmerujuk ke jam atau bahkan menit. Pada kalimat (1b) cakupan waktunya lebih luas, mungkin sejak minggu lalu sampai hari ini. Pada kalimat (1c) cakupannya lebih luas lagi, mungkin berbulan-bulan dan tidak mustahil bertahun-tahun. Kata sekarang beroposisi dengan kata deiksis penunjuk waktu lain, sepertibesokataunanti; acuan katasekarangselalu merujuk pada saat peristiwa pembicaraan.

Kata dapat dikatakan bersifat deiksis apabila referennya tidak pasti, atau berpindah-pindah, bergantung pada siapa pembicaranya, dan bergantung pada waktu dan tempat saat berlangsungnya pembicaraan. Seperti kata saya, sana, besok adalah kata-kata deiksis. Kata-kata seperti ini memiliki referen yang tidak tetap. Berbeda dengan kata-kata seperti meja, buku, gedung, di tempat mana pun, pada waktu kapan pun, referen yang diacu tetaplah sama. Akan tetapi, referen dari kata saya, sana, besok barulah dapat diketahui jika diketahui siapa, dimana, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan.

Penelitian tentang deiksis pernah dilakukan oleh Purwo (1984). Pada tanggal 20 Februari 1982 Purwo mendapatkan gelar doktor ilmu sastra di bidang linguistik dari Universitas Indonesia. Disertasi ini diterbitkan memenuhi permintaan Indonesian Linguistics Development Project(ILDEP), yang di Indonesia diwakili oleh Dr. W.A.L. Stokhof, yang bekerja sama dengan Penerbit Balai Pustaka. Penelitian itu mengemukakan bahwa deiksis dibagi atas tiga, yaitu deiksis

(1) a. Kita harus berangkatsekarang b. Harga barang naik semuasekarang


(20)

persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu. Deiksis persona dibaginya atas tiga bagian, yaitu kata ganti persona pertama tunggal sepertiaku, saya; pertama jamak seperti kami, kita; kata ganti persona kedua tunggal seperti, kau, engkau; kedua jamak seperti kalian; kata ganti persona ketiga tunggal seperti dia; ketiga jamak seperti mereka. Maka dari itu tinjauan pustaka pada Bab II penelitian tentang deiksis akan banyak menggunakan teori dari Bambang Kaswanti Purwo dan akan menggunakan teori-teori dari ahli-ahli lainnya untuk melengkapi penelitian ini.

Penelitian tentang deiksis juga pernah dilakukan oleh Ni Made Mulyasari (0913041048) dengan judul skripsi Deiksis dalam naskah drama Gerr karya I Putu Wijaya dan implikasinya dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah menengah pertama (SMP). Ni Made Mulyasari memfokuskan penelitian terhadap deiksis persona, deiksis tempat dan deiksis waktu pada naskah dramaGerrkarya I Putu Wijaya. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya, Ni Made Mulyasari mengimplikasikan deiksis dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sedangkan peneliti mengimplikasikan deiksis dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan menggunakan Kurikulum 2013. Perbedaan selanjutnya terdapat pada sumber data yang diteliti dalam penelitian. Sumber data yang digunakan Ni Made Mulyasari ialah naskah drama Geer karya I Putu Wijaya sedangkan sumber data dalam penelitian ini ialah novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra.

Penulis tertarik untuk meneliti deiksis pada sebuah novel, karena Novel merupakan salah satu karya sastra yang berbentuk prosa yang memiliki unsur


(21)

intrinsik dan unsur ekstrinsik, serta terdapat nilai-nilai yang bisa diambil hikmahnya, seperti nilai moral, nilai pendidikan, nilai budaya dll. Selain itu novel juga memiliki gaya bahasa bergantung siapa pengarangnya, oleh karena itu peneliti tertarik meneliti deiksis pada novel.

Penulis memilih novel 99 Cahaya di langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra sebagai sumber data, sebab penulis merasa tertarik pada alur cerita yang diuraikan oleh pengarang tentang Eropa yang menyimpan misteri peradaban Islam pada masanya. Sepintas novel ini seperti novel pada kebanyakannya, yang menceritakan tentang tempat-tempat yang indah di Eropa, namun setelah dibaca lebih lanjut ternyata novel perjalanan ini menguak hal-hal yang selama ini tidak pernah terpikirkan sebagai muslim ada misteri tentang Islam di tempat-tempat indah di ranah Eropa, padahal selama ini kita mengenal Eropa dengan negaraatheis.

Dengan kata lain, novel ini mencoba menunjukkan bahwa Eropa menyimpan misteri peradaban luhur sejarah Islam, tak hanya terbatas pada Eiffel atau Colosseum belaka. Di sisi lain Hanum Salsabiela Rais sebagai pengarang novel ini memiliki darah jawa yang terkenal dengan tutur kata yang lembut, sedangkan novel ini memiliki cerita tentang sejarah peradaban Islam negara Eropa yang terkenal dengan negara atheis, oleh karena itu peneliti merasa tertarik meneliti deiksis pada novel ini bagaimana kata demi kata yang digunakan pengarang dalam menjabarkan cerita tentang negara Eropa, karena tidak semua pembaca mengerti apa yang disampaikan penulis, semua itu bergantung gaya bahasa penulis, novel ini memiliki gaya bahasa yang cukup rumit, terlihat dari penjelasan


(22)

penulis tentang pemaparannya pada cerita dan itu akan sulit dicerna pembaca bila pembaca tidak mengetahui konteksnya.

Novel 99 Cahaya di Langit Eropa ditulis oleh putri Amien Rais yang bernama Hanum Salsabiela Rais bersama teman perjalanan sekaligus suaminya, Rangga Almahendra. Hanum lahir dan menempuh pendidikan dasar Muhammadiyah di Yogyakarta hingga mendapat gelar Dokter Gigi dari FKG UGM. Tahun 2010, Hanum menerbitkan buku pertamanya,Menapak Jejak Amien Rais: Persembahan Seorang Putri untuk Ayah Tercinta.Sebuah novel biografi tentang kepemimpinan, keluarga mutiara hidup. Rangga Almahendra adalah suami Hanum, teman seperjalanan sekaligus penulis kedua novel ini. Memenangi beasiswa dari Pemerintah Austria untuk studi Strata3 di WU Vienna, Rangga berkesempatan berpetualang bersama sang istri menjelajah Eropa. Pada tahun 2010 ia menyelesaikan studinya dan meraih gelar doktor dibidang International Business & Management. Saat ini ia tercatat sebagai dosen di Johannes Kepler University dan Universitas Gadjah Mada.

Deiksis pada novel 99 Cahaya di Langit Eropakarya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra dapat dikembangkan menjadi pilihan diksi (kata) dan pemahaman makna kata dalam wacana. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia yang tertuang dalam Kurikulum 2013 bahwa belajar Bahasa Indonesia tidak sekadar memakai bahasa Indonesia untuk menyampaikan materi belajar, namun, perlu juga dipelajari soal makna atau bagaimana memilih kata yang tepat. Selama ini pembelajaran bahasa Indonesia tidak dijadikan sarana pembentuk pikiran padahal teks merupakan satuan bahasa


(23)

yang memiliki struktur berpikir yang lengkap. Karena itu pembelajaran bahasa Indonesia harus berbasis teks. Melalui teks maka peran Bahasa Indonesia sebagai penghela dan pengintegrasi ilmu lain dapat dicapai.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian deiksis pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa. Dengan demikian, judul penelitian ini adalah “Deiksis pada Novel 99 Cahaya di Langit Eropakarya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar masalah yang telah dikemukakan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Deiksis pada Novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA)?”

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pemakaian deiksis pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA).


(24)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara teoritis dan praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan ilmu bahasa dalam bidang semantik pada umumnya dan pada kajian deiksis khususnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Bagi peserta didik diharapkan penelitian ini dapat menambah pemahaman mengenai pemilihan kata dan keefektifan kalimat dalam kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia. Selanjutnya bagi guru Bahasa Indonesia, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar. Kemudian untuk mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi atau bahan penunjang kegiatan perkuliahan, dapat membantu kesulitan mahasiswa dalam menemukan referensi yang tepat mengenai kajian di bidang Semantik, dan diharapkan dapat membantu peneliti lain dalam usahanya untuk memperkaya wawasan dan mengetahui hal-hal yang terungkap dalam Deiksis.


(25)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam ruang lingkup sebagai berikut.

1. Sumber data penelitian ini adalahNovel 99 Cahaya di langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra.

2. Data penelitian ini adalah deiksis eksofora yang terdiri atas deiksis persona, deiksis ruang dan deiksis waktu dalamNovel 99 Cahaya di langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Semantik

Bahasa merupakan alat komunikasi penting bagi umat manusia. Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, karena bahasa tidak terlepas dari makna dan arti dalam setiap perkataan yang diucapkan. Tidak ada bahasa di dunia ini, maka tidak ada interaksi, sebab interaksi berlangsung agar terjadi hubungan timbal balik. Dalam penyampaiannya bahasa memiliki makna. Sebagai suatu unsur yang dinamis, bahasa senantiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan perbagai pendekatan untuk mengkajinya. Antara lain pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang bahasa yang memelajari tentang makna.

Charles Morris, dalam bukunya Sign, Languange, and Behaviour dalam Chaer dan Agustina (2010:3) membicarakan bahasa sebagai sistem lambang, membedakan adanya tiga macam kajian bahasa berkenaan dengan fokus perhatian yang diberikan. Jika perhatian difokuskan pada hubungan antara lambang dengan maknanya disebut semantik, jika fokus perhatian diarahkan pada hubungan lambang disebut sintaktik, dan kalau fokus perhatian diarahkan pada hubungan antara lambang dan dengan para penuturnya disebutpragmatik.


(27)

Terdapat dua cabang utama linguistik yang khusus menyangkut kata yaitu etimologi, studi tentang asal usul kata, dan semantik atau ilmu makna, studi tentang makna kata. Di antara kedua ilmu itu, etimologi sudah merupakan disiplin ilmu yang lama mapan (established), sedangkan semantik relatif merupakan hal yang baru.

Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filologi Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 2009:2)

Dalam analisis semantik harus juga disadari karena bahasa itu bersifat unik, dan memunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakaiannya maka, analisis semantik suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk pada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dan dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish.Tetapi kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan juga berarti daging yang digunakan sebagai lauk, teman pemakan nasi.


(28)

2.2 Pengertian Deiksis

Deiksis (deixis) adalah bentuk bahasa yang berfungsi sebagai penunjuk hal atau fungsi tertentu di luar bahasa. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang berarti ‘hal penunjukan secara langsung’ (Sudaryat, 2008:121). Dengan kata lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis, misalnya saya, dia, di sini, di situ, kemarin, sekarang. Contoh-contoh tersebut memberi perintah untuk menunjuk konteks tertentu agar makna ujaran dapat dipahami dengan tegas.

Purwo (1984:2) menyatakan bahwa kata deiksis berasal Yunani deiktikos, yang berarti hal penunujukkan secara langsung. Dalam linguistik sekarang digunakan sebagai kata ganti persona, kata ganti demonstratif, fungsi waktu dan bermacam-macam ciri gramatikal dan leksikal lainnya yang menghubungkan ujaran dengan jalinan ruang dan waktu dalam tindak ujaran.

Pengertian deiksis yang dikemukakan oleh Alwi (1998:42) menyebutkan bahwa deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memerhatikan situasi pembicaraan. Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berubah-ubah, bergantung pada siapa yang menjadi si pembicara dan bergantung pada saat dan dituturkannya kata itu. Dalam deiksis yang dipersoalkan adalah unsur yang referennya dapat diidentifikasi dengan memerhatikan identitas si pembicara serta saat dan tempat diutarakannya tuturan yang mengandung unsur yang bersangkutan.


(29)

Contoh:

Pada kalimat (1a)sekarangmerujuk ke jam atau bahkan menit. Pada kalimat (1b) cakupan waktunya lebih luas, mungkin sejak minggu lalu sampai hari ini. Pada kalimat (1c) cakupannya lebih luas lagi, mungkin berbulan-bulan dan tidak mustahil bertahun-tahun. Kata sekarang beroposisi dengan kata deiksis penunjuk waktu lain, sepertibesokataunanti; acuan katasekarangselalu merujuk pada saat peristiwa pembicaraan.

Tuturan atau kata yang merupakan unsur yang mengandung arti dapat dibedakan antara yang referensial/memiliki acuan (gudang, kursi) dan yang tidak referensia/tidak memiliki acuan (meskipun, dan, yang). Kata yang tidak referensial ini tidak dipersoalkan sedangkan untuk kata referensial dapat dibagi lagi menjadi deiksis dan yang tidak deiksis. Dari sebagian besar kata yang mengandung arti disebut tidak deiksis dan referennya tidak berpindah-pindah menurut siapa yang mengutarakan tuturan.

Dalam pemakaian leksem dapat pula terjadi perpindahan referen karena digunakan secara tidak lazim. Misalnya, penggunaan kata anjing dalam keadaan marah yang dituturkannya kepada lawan bicaranya. Kata anjing mengalami perpindahan referen; referennya bukan binatang berkaki empat, melainkan lawan bicara yang dikenai rasa amarah itu. Pemakaian leksem seperti contoh tersebut juga tidak dipersoalkan, karena meskipun ada perpindahan referen namun pindahnya referen disebabkan oleh maksud si pembicara. Jadi yang diperhatikan

(1) a. Kita harus berangkatsekarang b. Harga barang naik semuasekarang


(30)

adalah unsur yang referen (benda atau orang tertentu yang diacu oleh kata atau untaian kata di dalam kalimat atau konteks tertentu) dapat diidentifikasi.

Pengertian deiksis lain yang dikemukakan Nababan dalam Rusminto (2009:69) bahwa deiksis adalah kata atau satuan kebahasaan yang referensinya tidak pasti atau berubah-ubah. Kata dia, di sana dan kemarin, misalnya memiliki referensi yang berubah-ubah sesuai dengan konteks yang melatarinya. Hal ini berbeda dengan katarumah, kertasataukursi.

Verhaar (1999:397) juga memberikan pendapat tentang deiksis. Deiksis adalah semantik (di dalam tuturan tertentu) yang berakar pada identitas penutur. Semantik ini dapat bersifat gramatikal, dapat bersifat leksikal pula, bila leksikal, dapat menyangkut semantik semata-mata, dapat menyangkut juga referensi.

Dari pendapat para ahli di atas dapat diartikan bahwa deiksi adalah kata atau satuan kata, frasa, atau ungkapan yang rujukannya berpindah-pindah atau tidak tetap bergantung dari siapa yang menjadi pembicara dan waktu, dan tempat dituturkannya satuan bahasa tersebut.

Perhatikan contoh kalimat berikut:

Dari contoh di atas, kata-kata yang bercetak miring dikategorikan sebagi deiksis. Pada kalimat (2a) yang dimaksud dengan begitulah tidak bisa diketahui karena uraian berikutnya tidak dijelaskan. Pada kalimat (2b) kapan yang dimaksud

(2a)Begitulahtingkahnya sehari-hari. (2b)Hari inibayar,besokgratis.


(31)

dengan hari ini dan besok juga tidak jelas, karena kalimat itu terpampang setiap hari di sebuah kafetaria. Pada kalimat (2c) kata Anda tidak jelas rujukannya, apakah seorang wanita atau pria, begitu juga frasa diruangan ini lokasinya tidak jelas.

Semua kata dan frasa yang tidak jelas pada kalimat di atas dapat diketahui jika konteks untuk masing-masing kalimat tersebut disertakan. Dalam pragmatik kalimat seperti di atas wajar hadir di tengah-tengah pembicaraan karena konteks pembicaraan sudah disepakati antara si pembicara dan lawan bicara.

2.3 Jenis-Jenis Deiksis

Dalam kajian pragmatik ada beberapa kriteria pembagian deiksis, Nababan dalam Rusminto (2009:69), membagi deiksis menjadi lima macam, yaitu deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Yayat Sudaryat (2008:121) menyatakan sesuatu yang diacu oleh deiksis disebut anteseden (unsur terdahulu yang ditunjuk oleh ungkapan dalam suatu klausa atau kalimat). Berdasarkan antesedennya, deiksis dibedakan atas lima macam, yakni: deiksis persona deiksis temporal, deiksis lokatif, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Sedangkan Alwi, dkk. (1998:42) membagi deiksis atas tiga macam, yaitu deiksis waktu, deiksis tempat, dan deiksis persona. Pembagian ini sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Bambang Kaswanti Purwo (1984:19). Seperti telah dijelaskan pada Bab I penelitian ini akan banyak menggunakan teori dari Bambang Kaswanti Purwo dan akan menggunakan teori-teori dari ahli-ahli


(32)

lainnya untuk melengkapi penelitian ini, jadi penjelasan jenis-jenis deiksis di bawah ini menurut Bambang Kaswanti Purwo.

Deiksis juga dibagi menjadi dua yaitu deiksis eksofora (Luar tuturan) dan deiksis endofora (Dalam tuturan). Deiksis eksofora terdiri atas deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu, sedangkan deiksis endofora terdiri atas anafora dan katafora.

2.3.1 Deiksis Eksofora

Rusminto (2009:26) menyatakan bahwa eksofora bersifat situasional (referensi yang berada di luar teks). Sedangkan Bambang Kaswanti Purwo (1984:19) berpendapat bahwa yang membedakan labuhan luar-tuturan dengan labuhan dalam tuturan adalah bidang permasalahannya. Deiksis eksfora terdiri atas deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu.

2.3.1.1 Deiksis Orang (Persona)

Deiksis persona merupakan pronomina persona yang bersifat ekstratektual yang berfungsi menggantikan suatu acuan (anteseden) di luar wacana (Sudaryat, 2008:122). Deiksis orang (persona) dibagi menjadi tiga macam, yaitu persona pertama, persona kedua, persona ketiga. Dalam sistem ini, persona pertama kategorisasi rujukan pada pembicara kepada dirinya sendiri, persona kedua ialah kategorisasi rujukan pembicara kepada pendengar atau si alamat, dan persona ketiga adalah kategorisasi rujukan kepada orang atau benda yang bukan


(33)

pembicara dan lawan bicara. Deiksis persona merupakan deiksis asli, sedangkan deiksis waktu dan deiksis tempat adalah deiksis jabaran. Hal ini didasarkan atas pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984:21) bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu.

Deiksis orang adalah pemberian rujukan kepada orang atau pemeran serta dalam peristiwa berbahasa. Djajasudarma (2009:51) mengistilahkan dengan deiksis pronomina orangan (persona), sedangkan Purwo (1984:21) menyebutkan dengan deiksis persona. Dalam kategori deiksis orang, yang menjadi kriteria adalah peran pemeran serta dalam peristiwa berbahasa tersebut. Dalam penelitian ini dipilih istilah persona. Kata Latin persona ini merupakan terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya ‘topeng’ (topeng yang dipakai oleh seorang pemain sandiwara), dan yang juga berarti peranan atau watak yang juga dibawakan oleh pemain drama. Pemilihan istilah ini dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan sandiwara Lyons dalam Purwo (1984:22).

Referen yang ditunjuk oleh kata ganti persona berganti-ganti bergantung pada peranan yang dibawakan oleh peserta tindak ujaran. Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut persona pertama. Apabila dia tidak berbicara lagi, dan kemudian menjadi pendengar maka ia berganti memakai “topeng” yang disebut persona kedua. Sedangkan orang yang tidak hadir dalam tempat terjadinya pembicaraan (tetapi menjadi bahan pembicaraan), atau yang hadir dekat dengan tempat pembicaraan (tetapi tidak terlibat dalam pembicaraan itu sendiri secara aktif) diberi “topeng” yang disebut persona ketiga.


(34)

Tanz dalam Purwo (1984:20) menyatakan dalam penelitiannya terhadap tingkat-tingkat perkembangan penguasaan bahasa pada kanak-kanak sampai pada kesimpulan bahwa ada banyak anak yang sudah mengusai sistem persona pada umur dua tahun, terutama bentuk saya, kamu, dia, sedangkan bentuk-bentuk lainnya belum dikuasai dan diketahui banyak oleh mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa deiksis persona merupakan deiksis asli, sedangkan deiksis ruang dan waktu adalah jabaran.

Aku, saya, kamidankitamengacu dan menunjuk kepada pembicara;engkau, kami anda dan kalian menyapa dan menunjuk kepada yang diajak bicara (kawan bicara); ia, dia, beliau, dan mereka mengacu dan menunjuk kepada yang dibicarakan. Fungsi pronomina persona adalah penunjukkan kepada pembicara, kawan bicara, dan yang dibicarakan (sebagai fungsi pertama, di samping berfungsi sebagai acuan dan sapaan). Di dalam bahasa Indonesia pronomina persona membedakan status yang dileksikalkan, terutama terlihat pada pronomina persona pertama dan kedua.

Sehubungan dengan ketepatan pemilihan bentuk deiksis persona, maka harus diperhatikan fungsi bentuk-bentuk kata ganti persona dalam bahasa Indonesia. Ada tiga bentuk kata ganti persona, yaitu : 1) kata ganti persona pertama, (2) kata ganti persona kedua, dan (3) kata ganti persona ketiga.

a. Kata Ganti Persona Pertama

Kata ganti pronomina persona pertama adalah kategorisasi rujukan pembicara kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain pronomina persona pertama merujuk pada orang sedang berbicara. Purwo (1984:22)


(35)

menyatakan ada dua bentuk kata ganti persona pertama: aku dan saya, masing-masing memiliki perbedaan dalam pemakaian. Kata aku hanya dapat dipakai dalam situasi informal, misalnya di antara dua peserta tindak ujaran yang saling mengenal atau sudah akrab hubungannya. Kata saya dapat dipergunakan dalam situasi formal (misalnya, dalam suatu ceramah, kuliah, atau di antara dua peserta tindak ujaran yang belum saling mengenal), tetapi dapat pula dipakai situasi informal; kata saya dapat dipergunakan dalam konteks pemakaian yang “sama” dengan kata aku. Contoh:

Bentuk aku mempunyai dua variasi bentuk, yaitu -ku dan ku-, sedangkan bentuk saya tidak mempunyai variasi bentuk. Berdasarkan distribusi sintaksisnya bentuk–kumerupakan bentuk lekat kanan, sedangkan bentuk ku- merupakan bentuk lekat kiri. Bentuk lekat kanan seperti itu dalam bahasa Indonesia dapat dijumpai dalam konstruksi posesif dan dalam konstruksi posesif bentuk persona senantiasa lekat kanan Sudaryanto dalam Purwo (1984:27).

Contoh :

Selain bentuk kata ganti persona, digunakan pula nama-nama orang untuk menunjuk persona pertama tunggal. Djajasudarma (2009: 57) menyatakan

(3) “Fatma, maaf jikaakumenyinggungmu ... ” (hlm: 24 pada novel)

(4) “Ah, tadinyakupikir juga demikian, Hanum” (hlm: 24 pada novel)


(36)

bahwa anak-anak biasa memakai nama diri untuk merujuk pada dirinya, misalnya seorang anak bernama Unyil ingin pergi ke sekolah dan dia mengucapkan “Unyil mau ke sekolah, Bu” yang berarti ‘Aku mau ke sekolah’ (bagi diri Unyil). Akan tetapi apabila kalimat itu diucapkan oleh seorang ayah atau seorang ibu dengan nada bertanya seperti “Unyil mau ke sekolah?” maka nama Unyil tidak lagi merujuk pada pembicara tetapi merujuk pada persona kedua tunggal (mitra tutur).

Dalam hal pemakaiannya kata ganti persona pertama aku dan saya memiliki perbedaan. Djajasudarma (2009:52) menjelaskan perbedaan bentuk kata ganti persona pertamaakudansaya.Kataakudigunakan dapat corak bahasa keakraban kalau pembicara tidak mengutamakan faktor ketakziman. dalam corak bahasa ini tidak terdapat “jarak psikologis” antara pembicara dengan yang diajak bicara (lawan bicara). Kata saya tidak dipakai dalam corak bahasa akrab ataupun yang adab, kalau pembicara menyertakan faktor ketakziman. Dalam corak bahasa itu diindahkan “jarak psikologis” di antarapembicara dengan lawan bicara.

Kata aku dan saya berbeda, karena saya tak bermarkah (unmarked) sedangkan kata aku bermarkah keintiman (marked intimacy). Orang yang belajar bahasa Indonesia lebih aman memakai kata saya dalam situasi formal maupun informal, karena sayatak bermarkah / lebih bersifat netral (tidak mempertimbangkan akrab/tidak). Aku sebagai bentuk pronomina persona pertama yang asli dalam bahasa Indonesia lebih fleksibel darisaya (sebabakumempunyai bentuk terikat–ku, sedangkansayatidak).


(37)

Contoh:

Bentuk kata ganti persona pertama aku pada kalimat bernada akrab dan digunakan dalam situasi yang tidak formal (5) dan (6) sedangkan bentuk saya pada kalimat (7) dan (8) digunakan dalam tuturan yang bernada formal. Seperti yang dijelaskan di dalam skripsi Ni Made Mulyasari (2013:18) Bentuk dan fungsi persona pertama tunggal berbeda dengan bentuk dan fungsi kata ganti persona jamak. Bentuk kata ganti persona pertama jamak meliputi kami dan kita. Dalam bahasa Inggris, baik untuk merujuk bentuk kami maupun kitahanya menggunakan satu bentuk, yaitu we. Bentukwe yang berarti kamiakan meliputi(I, she, he,danthey)tanpa you sebagai lawan bicara, sedangkan bentuk we yang berarti kita akan meliputi(I, she, he, theydanyou).

Purwo (1984:24) menyatakan bentuk persona pertama jamak kami merupakan bentuk yang bersifat eksklusif (gabungan antara persona pertama dan ketiga) dengan kata lain bentuk persona tersebut merujuk pada pembicara atau penulis dan orang lain dipihaknya, akan tetapi tidak mencakup orang lain dipihak lawan bicaranya. Selain itu, bentukkamijuga

(5) “Akuperlu tahu dulu, berapa orang yang ada di balik tembok itu, Hanum.” (hlm: 40 pada novel)

(6)“Akutak yakin Fatma, tapiakubisa berpura-pura pergi ke WC untuk melihat berapa jumlah mereka.” (hlm:40 pada novel)

(7) “Maaf,sayatidak tahu tentang hanum madam” jawab fatma kepada guru les bahasa Jermannya (hlm: 105 pada novel) (8) “NamasayaImam Hashim. Sebut saja begitu. Suami Anda bilang, Anda ingin berbincang-bincang sebentar usai Shalat Jumat.” (hlm:114 pada novel)


(38)

sering digunakan dalam pengertian tunggal mengacu kepada pembicara dalam situasi formal (misalnya dalam pidato atau khotbah). Dengan demikian, kedudukan kami dalam hal ini sebagai kata ganti persona pertama tunggal, yaitusaya.

Hal ini berhubungan dengan sikap pemakai bahasa yang sopan mengemukakan dirinya dan karenanya menghindari bentuk saya. Sebaliknya dengan bentuk kita, bentuk ini bersifat inklusif (gabungan antara persona pertama dan kedua) artinya bentuk pronomina tersebut merujuk kepada pihak lain. Oleh karena itu, bentuk kita biasanya digunakan oleh pembicara sebagai usaha untuk mengakrabkan atau mengeratkan hubungan dengan lawan bicara.

Contoh :

Dalam situasi yang berbeda bentuk kami memiliki rujukan dan makna yang berbeda. Pada contoh (10) bentuk kami yang digunakan oleh kepala sekolah saat berhadapan dengan wali murid salah satu siswa, bukanlah untuk merujuk kepada pembicara tunggal guna mencapai kadar kesopanan tetapi bentuk kami tersebut mewakili dirinya (kepala sekolah) dengan segenap wakil-wakilnya, dan guru-guru lainnya. Bentuk persona pertama selain merujuk kepada pembicara kemungkinannya juga merujuk pada lawan bicara (persona kedua). Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan konteks penuturan.

(9) “Pintar sekali mereka. Tentu saja karenakitaadalah mahasiswa bahasa”


(39)

b. Kata Ganti Persona Kedua

Kata ganti persona kedua adalah kategorisasi rujukan kepada lawan bicara. Dengan kata lain, bentuk kata ganti persona kedua baik tunggal maupun jamak merujuk pada lawan bicara. Purwo (1984:23) menyatakan bentuk kata ganti persona kedua adalah engkau dan kamu. Kedua bentuk kata ganti persona kedua tunggal tersebut memiliki variasi –mu dan kau-. Bentuk persona ini biasanya digunakan oleh:

a) orang tua terhadap orang muda yang telah dikenal dengan baik dan lama.

b) orang yang mempunyai hubungan akrab

c) orang yang mempunyai status sosial lebih tinggi untuk menyapa lawan bicara yang berstatus sosial lebih rendah.

Contoh :

Purwo (1984:23) menyatakan sebutan ketakziman untuk persona kedua di dalam bahasa Indonesia banyak ragamnya, antara lain anda, saudara, leksem kekerabatan seperti bapak, kakak, dan leksem jabatan seperti dokter, mantri.Pemilihan bentuk mana yang harus dipakai ditentukan oleh aspek sosiolingual. Depdikbud (1997:175) menyatakan dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia persona kedua Anda dimaksudkan untuk

(11) “Itu karena suhu tubuhmumasih dalam penyesuaian, Hanum”. (hlm: 22 pada novel)

(12) “Fatma, kau ambil sisi baiknya. Jika kau bekerja, siapa yang akan mengurusnya?” (hlm: 25 pada novel)


(40)

menetralkan hubungan, seperti halnya kata you dalam bahasa Inggris. PronominaAndadipakai pada :

a) dalam hubungan yang tak pribadi sehingga Anda tidak diarahkan kepada satu orang khusus.

b) dalam hubungan bersemuka, tetapi pembicara tidak ingin bersikap terlalu formal ataupun terlalu akrab.

Contoh:

Pada contoh (13) tujuan pembicara penggunaan bentuk Anda tidak terarahkan pada satu lawan bicara secara khusus, melainkan kepada pihak lain juga yang menjadi lawan bicara. Begitu juga pada contoh (14) pembicara tidak ingin terlalu bersikap formal ataupun terlalu akrab.

Bentuk persona kedua selain memiliki bentuk tunggal memiliki bentuk jamak, yaitu (1) kalian, dan (2) persona kedua ditambah dengan kata sekalian:Anda sekalian,dankamu sekalian. Meskipunkaliantidak terikat pada tata krama sosial, orang muda atau orang yang status sosialnya lebih rendah umumnya tidak memakai bentuk itu terhadap orang tua atau atasannya.

Contoh:

(13) Pakailah sabun ini; kulitAndaakan bersih (14) ApaAndasudah mendengar berita itu?

(15)Kalianmau ke mana liburan mendatang?

(16)Kamu sekalianharus datang ke kantor pada waktunya. (17) Hal ini terserah padaAnda sekalian


(41)

c. Kata Ganti Persona Ketiga

Bentuk kata ganti persona ketiga merupakan kategorisasi rujukan pembicara kepada lawan bicara yang berada di luar tindak komunikasi atau tidak sedang berada di area komunikasi. Dengan kata lain bentuk kata ganti persona ketiga merujuk pada orang yang tidak berada dalam pihak pembicara ataupun lawan bicara. Sama seperti bentuk persona pertama dan kedua, bentuk persona ketiga memiliki dua macam, yaitu bentuk persona ketiga tunggal dan bentuk persona ketiga jamak. Bentuk persona ketiga tunggal terdiri atas ia, dia dan beliau (kata beliau dipakai dalam bentuk ketakziman), sedangkan bentuk persona ketiga jamak adalah mereka. (Purwo, 1984:24).

Dalam pemakaiannya, bentuk dia, dan ia berbeda dengan bentuk beliau. Bentukdia dania umumnya digunakan oleh pembicara tanpa ada maksud untuk menghormati orang yang dirujuk, berbeda dengan bentuk beliau digunakan oleh pembicara untuk merujuk kepada orang lain yang patut untuk dihormati meskipun lebih muda dari pembicara.

Contoh:

Depdikbud (1997:178) menjelaskan bentuk pronomina persona ketiga jamak adalah mereka. Di samping arti jamaknya, merekaberbeda dengan pronomina persona tunggal dalam acuannya. Pada umumnya bentuk

(18) “Bagaimana Ayse?Diatidak rewelkan?” (hlm: 87 pada novel) (19) “Saya tidak tahu alamatdia”

(20) “iatidak tahu masalah itu, tidak usah bertanya” (21) “sepertinyaiasetuju pendapat itu”


(42)

pronomina persona ketiga jamak bentuk mereka hanya dipakai untuk insan. Akan tetapi pada karya sastra, bentuk mereka kadang-kadang dipakai untuk merujuk binatang atau benda yang dianggap bernyawa. Bentuk pronomina persona ketiga jamak ini tidak mempunyai variasi bentuk, sehingga dalam posisi manapun hanya bentuk itu yang dipergunakan. Penggunanan bentuk persona ini digunakan untuk hubungan yang netral, artinya tidak digunakan untuk lebih menghormati atau pun sebaliknya.

Contoh:

Menurut Purwo (1984:105) di antara bentuk-bentuk persona hanya persona ketiga yang bisa eksoforis dan endoforis. Salah satu akibat dari penyusunan konstituen-konstituen bahasa secara linear adalah kemungkinan adanya konstituen tertentu yang sudah disebutkan sebelumnya disebut ulang pada penyebutan. Bentuk persona ketiga dapat menjadi pemarkah anafora dan katafora. Anafora merujuk terhadap unsur yang disebutkan sebelumnya atau terlebih dahulu, sedangkan katafora merujuk terhadap unsur yang disebutkan kemudian.

Contoh:

(22) “Apa sih yangmerekamakan?Croissantsaja?” (hlm: 40 pada novel)

(23) “Aku yakin tagihanmerekatak lebih dari 15 Euro...” (hlm:41 pada novel)

(24) “Siapa tahu, jikamerekaberkirim e-mail padaku” (hlm: 49 pada novel)


(43)

Pada contoh (25) nyamengacu pada kempis , memiliki referensi endofora yang anafora (merujuk silang pada unsur yang disebut terdahulu). Untuk nya pada unsur anafora dapat merujuk silang pada ban motor saya (yang didorong) atau padakempis(sebagai unsur yang didorong).

Untuk memperjelas endofora yang bersifat katafora, perhatikan contoh (26) di bawah ini. Unsur nya merujuk silang pada unsur yang disebutkan kemudian, yaitu Dekan FKIP Unila.

Contoh:

2.3.1.2 Deiksis Ruang (Tempat)

Deiksis ruang (tempat) adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang atau tempat dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa itu. Dalam berbahasa, orang akan membedakan antara di sini, di situ dan di sana. Hal ini dikarenakan di sini lokasinya dekat dengan si pembicara, di situ lokasinya tidak dekat pembicara, sedangkan di sana lokasinya tidak dekat dari si pembicara dan tidak pula dekat dari pendengar. Purwo (1984:37) mengistilahkan dengan deiksis ruang dan lebih banyak menggunakan kata penunjuk seperti dekat, jauh, tinggi, pendek, kanan, kiri, dan di depan. Sedangkan Djajasudarma (2009:65) mengistilahkannya dengan deiksis penunjuk.

(26) Dalam sambutannya, Dekan FKIP Unila menjelaskan tujuan terselenggaranya acara tersebut.


(44)

Contoh penggunaan deiksis tempat dapat dilihat pada kalimat-kalimat berikut.

Kata-kata yang dicetak miring seperti contoh-contoh tersebut di atas adalah contoh dari kata-kata yang digunakan sebagai penunjuk dalam deiksis tempat.

Djajasudarma (2009:65) menyebutkan deiksis yang menyangkut pronomina demonstratif ini ditunjukkan oleh satuan leksikal yang berhubungan dengan arah dan ruang, yang berupa antara lain ini, itu, sini, situ dan sana. Di dalam bahasa Indonesia deiksis yang menyangkut pronomina demonstratif atau penunjuk dapat dibedakan dari sudut jauh dekatnya (proximity). Pronomina aku dan saya berkorelasi dengan ini, yakni dekat dengan pembicara; engkau, kamu, dan anda berkorelasi denganitu, yakni jauh dari pembicara dan dekat dengan kawan bicara; dia, ia, beliau berkorelasi dengan anu, yakni jauh baik dari pembicara maupun kawan bicara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan deiksis ruang (tempat) berkorelasi dengan persona atau pembicara.

Di dalam bahasa Sunda kita kenal adanya tiga pronomina demonstratif, yakni ieu (ini), eta (itu), dan itu (itu) (urutan dilihat dari segi keterdekatan), dan eta lebih jauh dari ieudan lebih dekat dari itu dilihat dari segi pembicara; untuk menunjuk orang yang tidak tentu (pelaku yang tidak tentu) dikatakan si itu, si eta (orang lain). Pronomina demonstratif bahasa Indonesia tidak menyatakan perbedaan jenis kelamin seperti di dalam bahasa Prancis (celui-ci dan celle-ci) dan perbedaan jumlah seperti di dalam bahasa Inggris (these dan those). Kata ini, itu, dan anu

(27) Tempat itu terlalujauhbaginya, meskipun bagimu tidak. (28) Duduklah bersamakudi sini.


(45)

bersifat demonstratif, sedangkan sini, situ dan sana bersifat lokatif. Kata anu dalam sejarah perkembangan bahasa Melayu memperlihatkan pergeseran dari penunjukan acuan yang jauh dari pembicara dan kawan bicara ke pronomina demonstratif (penunjukan) acuan yang tidak dapat atau tidak dikehendaki disebut (Djajasudarman, 2009:65). Perhatikanlah contoh berikut:

Bandingkanlah dengan pemakaian pronomina demonstratif yang menunjukkan perbedaan jauh dekatnya:

dengan

Pada contoh (30) bukuinidan pada (31) bukuitu,katainidanitusebagai penanda takrif (definite).Buku ini maksudnya buku yang ada di ini atau buku yang dekat dengan pembicara; buku itu maksudnya buku yang ada di situ atau buku yang tidak dekat dengan pembicara. Lyons dalam Djajasudarma (2009:66) meninjau segi tersebut sebagai hubungan antara pronomina demonstratif (penunjuk) dengan peranan pembicara dalam tuturan.

Kata sini dan situ selain dipakai untuk mengacu ke dan menuju lokasi, dipakai juga untuk mengacu kepada pembicara dan menyapa yang diajak bicara, seperti pada:

(29) Orang akan tertarik dengananunyayang / ... /

(30) Bukuinisaya beli disitu

(31) Bukuitu sayabeli disana


(46)

Katasitudigunakan untuk menyapa yang diajak bicara. Hal tersebut terjadi karena pembicara tidak mau atau tidak dapat memilih salah satu bentuk sapaan karena alasan tertentu. Demikian pula katasini,seperti pada kalimat berikut:

Kata sini mengacu kepada diri pembicara. Pembicara tidak menggunakan pronomina orang yang mengacu kepada dirinya karena ia tidak mau melakukannya, atau karena ia sengaja menyapa balik dengan istilah pronomina penunjuk yang segolongan dengan situ.Kata sanamengacu dan menunjuk lokasi yang jauh dari pembicara dan kawan bicara, akan tetapi kadang-kadang didapatkan pula kata sana yang digunakan sebagai sapaan bagi kawan bicara (pronomina persona kedua) seperti pada:

Fungsi pronomina penunjuk (demonstratif) lebih terlihat bila orang bergerak, dan biasanya digunakan pula preposisi direktif, seperti pada:

sini sini

ke sana dari sana

situ situ

Bandingkanlah dengan yang statif mengacu kepada lokasi, sehingga didapatkan pula

sini sini

di situ dari situ

sana sana

(33)Sinimau ke kampus.


(47)

Padadi sinimengacu kepada pronomina persona I baik tunggal maupun jamak;di situ mengacu kepada pronomina persona II baik tunggal maupun jamak; dan di sanamengacu kepada pronomina persona III (pihak ke-3) dalam suatu ujaran.

Pronomina demonstratif yang menyangkut verba di dalam bahasa Indonesia yang menunjukkan gerakan (dinamis) menuju lokasi, baik lokasi pembicara maupun lokasi kawan bicara pada situasi tertentu, misalnya berangkat, pergi,dan datang. Verba tersebut selalu muncul dengan preposisi direktif bila menunjukkan gerak (bandingkanlah dengan menuju menginklusifkan preposisi ke). Bandingkanlah data berikut:

Pada kalimat (35) berangkat dari berhubungan dengan asal dan mulai bergeraknya menuju tempat lain. Pada kalimat (36) berangkat ke berhubungan dengan lokasi atau arah yang dituju. Pada kalimat (37) pergi ke berhubungan dengan lokasi atau arah yang dituju sama halnya dengan (36), proses ke arah tujuan. Pada kalimat (38) datang ke berhubungan dengan lokasi yang dituju, sedang dalam proses mencapai tempat tujuan. Pada kalimat (39) datang di berhubungan dengan tercapainya tempat yang dituju (kalimat pencapaian – tidak menunjukkan proses, bandingkanlahtiba di) dan sudah berada di tempat tujuan.

(35) Amir berangkat dari rumah pukul delapan. (36) Tuti berangkat ke sekolah naik sepeda. (37) Adik pergi ke pasar dengan ibu.

(38) Saya datang ke Jakarta naik kereta Parahiangan. (39) Kakak datang di Bandung tengah malam.


(48)

2.3.1.3 Deiksis Waktu

Deiksis waktu adalah pengungkapan atau pemberian bentuk kepada titik atau jarak waktu yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat (Agustina, 1995:46). Contoh deiksis waktu adalah kemarin, lusa, besok, bulan ini, minggu ini, atau pada suatu hari. Djajasudarma (2009:68) menyebutkan Deiksis yang menyangkut waktu ini berhubungan dengan struktur temporal. Bahasa – bahasa Indo-Eropa memiliki baik aspek, kala, maupun nomina temporal; lain halnya dengan bahasa Indonesia, yang hanya memiliki aspek (keaspekan) dan nomina temporal.

Di dalam bahasa Indonesia kategori gramatikal perubahan verba (kala) tidak ditemukan. Dalam bahasa Melayu Indonesia nama hari dapat dileksikalkan seperti kemarin ‘dulu’, kemarin ‘suatu hari sebelum sekarang’, sekarang ‘kini’, besok ‘satu hari sesudah sekarang’, tubin ‘lima hari sesudah sekarang’. Leksem waktu seperti pagi, siang, sore dan malam tidak bersifat deiktis karena perbedaan masing-masing leksem itu ditentukan berdasarkan patokan posisi planet bumi terhadap matahari. Leksem waktu bersifat deikstis apabila yang menjadi patokan si pembicara. Kata sekarang bertitik labuh pada saat pembicara mengungkapkan kata itu (dalam kalimat) atau yang disebut saat tuturan. Kata kemarin bertitik labuh pada satu hari sebelum saat tuturan dan kata besokbertitik labuh pada satu hari sesudah tuturan (Purwo,1984). Ditinjau dari segi keaspekan leksem waktu kemarin menunjukkan keaspekan perfektif, sekarang menunjukkan keaspekan duratif (progresif; kontinuatif), dan besok menunjukkan keaspekan prospektif (situasi terjadi dan tidak terjadi).


(49)

Penentuan kata kemarin dan besok terhadap sekarang adalah tertentu, karena penghitungannya berdasarkan ukuran satuan kalender (satu hari, dua hari), penentuan leksem deiktis dulu, tadi, nanti, kelak tidak tertentu dan relatif. Kata dulu dan tadi bertitik labuh pada waktu sebelum saat tuturan;dulu menunjukkan lebih jauh ke belakang daripada tadi. Kata nanti dan kelak bertitik labuh pada waktu sesudah saat tuturan; kedua kata ini dapat sama-sama menunjuk jauh ke depan. Seperti pada:

Kata kelak tidak dapat dipakai untuk menunjuk waktu dekat ke depan, misalnya dalam pengertian satu menit, lima menit, atau satu jam; tidak melebihi jangkauan satu hari, sedangkan kata nanti dapat mengacu kepada waktu tersebut, seperti pada:

Kata nanti dapat dirangkaikan dengan kata pagi, siang, sore, malam (yang dapat menandai perubahan hari atau tanggal), perhatikan:

Tabel 2.1. Penjelasan katananti

*nanti pagi pagi nanti

nanti siang siang nanti

nanti sore sore nanti

nanti malam malam nanti

(40) Kalau kau sudah besar, mau jadi apa kamu ... 1. Nanti? 2. Kelak?


(50)

Urutannanti pagi tidak terdapat digunakan, dan biasanya digunakan urutanbesok pagi. Bila nanti pagi diucapkan pada malam hari pun waktu yang diacu adalah hari berikutnya. Urutanpagi nanti biasanya diucapkan pada waktu-waktu sesudah pukul dua belas malam sampai pukul tiga pagi. Frase pagi nanti tidak dapat diucapkan pada siang hari, sore hari, ataupun malam hari sebelum pukul dua belas malam.

Kata nanti bila bergabung dengan kata pagi, siang, sore, atau malam tidak dapat memiliki jangkauan ke depan lebih dari satu hari. Dalam rangkaian dengan nama bulan, kata nantidapat memiliki jangkauan ke depan yang lebih jauh, seperti juga katadepan.Perhatikanlah contoh berikut:

Dalam rangkaian dengan nama bulan tampaknya kata nanti bersinonim dengan kata depan. Akan tetapi, hanya kata depan yang dapat dirangkaikan dengan kata bulan. Dalam rangkaian ini kata depan hanya dapat menjangkau satu bulan sesudah saat tuturan, misalnya (43) menghadapi SEA Games X di Jakarta September depan, ada 6 pelatih luar negeri yang / ... / bandingkanlah dengan bulan 1. Depan, dan 2. Nanti. (Tempo19 Mei ’74; Djajasudarma 2009:70).

Kata tadi dan dulu berbeda dalam hal jangkauannya. Kata tadi dapat bertitik labuh, misalnya pada satu menit, lima menit, satu jam, atau tujuh jam sebelum saat tuturan (asal tidak lebih dari sau hari sebelum saat tuturan), sedangkan kata dulu mempunyai jangkauan lebih dari satu tahun sebelum saat tuturan, dan dapat

(42) BulanJuni nanti jumlah pengunjung mungkin lebih meningkat. Pada 20 Juni nanti akan diadakan peringatan sewindu wafat Bung Karno yang / ... / (Tempo 29 April 1978; Purwo, 1984:72).


(51)

lebih jauh lagi ke belakang tanpa ada batasnya. Apabila jangkauan ke belakang terbatas hanya beberapa hari sebelum saat tuturan, maka digunakan frase tempo hari,seperti pada:

Kata tadiberbeda dengan kata nanti, (yang tidak dirangkaikan dengan kata pagi) dapat dirangkaikan dengan kata malam sebagai batas dari tanggal dilihat dengan arah ke belakang.

Tabel. 2.2 Penggunaan katatadidi awal

Tadi

Titik Labuh Contoh dalam kalimat Pagi Tadi pagi adik bangun kesiangan. Siang Tadi siang dia telat menemui kami.

Sore Tadi sore di lapangan ramai sekali.

Malam Tadi malam dia janji datang, tapi ternyata tidak.

Frase tadi malam atau malam tadi bertitik labuh pada malam hari sebelum saat tuturan. Tetapi, frasetadi malamhanya dapat diucapkan pada pagi hari, siang hari atau sore hari pada hari berikutnya. Apabila diucapkan pada malam hari (untuk menunjuk pada malam sebelumnya) sebagai ganti frase tadi malam digunakan kemarin malam atau malam kemarin. Kata semalam dapat memiliki makna satu malamataukemarin malam.

(44) “Aku teringat pengalaman seperti apa yang dilakukan Herbert tempo

hari”,katanya. “Aku diancam mereka ....”

“Aku tahu. Itu sudah kau ceritakan tadi. / ... / (Tuyet, ’96; Purwo, 1984: 73)


(52)

Tabel. 2.3 Penggunaan katatadidi akhir

Titik Labuh

Tadi

Contoh dalam kalimat Pagi Tadi pagi adik bangun kesiangan. Siang Tadi siang dia telat menemui kami.

Sore Tadi sore di lapangan ramai sekali.

Malam Tadi malam dia janji datang, tapi ternyata tidak.

Kata tadi tidak dapat dirangkaikan dengan satuan kalender, berbeda dengan kata nanti,dan sebagai gantinya dipakai katalaluataukemarin,seperti pada:

Atau

Bila disebutkan nama bulannya, kata lalu dan kemarin dapat menunjuk pada satu bulan atau lebih dari satu bulan ke belakang, tetapi bila dirangkaikan dengan kata bulan tanpa disebutkan nama bulannya, kata lalu dan kemarin hanya dapat menjangkau satu bulan ke belakang.

Sejajar dengan kata dulu (yang memiliki jangkauan tahunan ke belakang) kata kelak mempunyai jangkauan tahunan ke muka. Ekspresi di kelak kemudian hari yang memiliki titik labuh pada suatu hari yang tidak tentu dalam beberapa tahun yang akan datang. Pengertian beberapa disini mempunyai patokan kira-kira lebih dari sepuluh tahun; lima tahun masih terasa belum cukup lama untuk jangkauan

(45) Daerah bencana Larantuka, Flores Timur yang hancur akibat banjir batu dan pasir akhir Februari lalu, bulan Mei nanti akan mulai direhabilitasi(Kompas 31 Maret 79’ ; Purwo, 1984: 73)

(46) Tak kurang dari 7 peristiwa perampokan toko emas di Jakarta seperti di / ... /, diduga keras bekas tangan komplotannya antara awal tahun lkalu sampaiMaret kemarin(Tempo, 5 Mei ’79; Purwo, 1984:


(53)

kata kelak. Kata dulu memiliki pengertian kala lampau, perhatikan konstruksi berikut dengan urutan dulu sebelum konstituen predikat:

Kata dulu yang diletakkan sesudah konstituen predikat digunakan untuk menggambarkan situasi sekuensial (kronologis). Dulu dalam hal ini menyatakan situasi awal, menandai perbuatan pertama kali (dulu disini biasanya memiliki ciri sintaksis dapat bergabung denganlebih,dan kehadirannya bersifat opsional.

Contoh:

atau

Kata dulu didapatkan pula di akhir kalimat (sebelah kanan konstituen predikat) dengan pengertian lampau juga, tetapi biasanya didahului dengan jeda, seperti pada:

(46a)Duluia bekerja di Bandung. (46b) Iadulubekerja di Bandung.

(47) Anak itu makan (lebih)dulu,baru kemudian berangkat.

(48a) Pak Dul tinggal di jakarta (lebih) dulu beberapa tahun, kemudian menetap di Tegal.

(48b) Pak Dul tinggal di Tegal / / dulu

Katapernahselalu digunakan dalam situasi lampau, seperti pada: (48c) Pak Dulpernahbekerja di rumah saya


(54)

Kata pernah dapat dirangkaikan dengan kata akan (cemarkan keaspekan prospektif atau modus keinginan), dengan acuan berada dalam situasi lampau, seperti pada:

Hal lampau tidak perlu dikaitkan dengan kata pernah bila kata pernah berada dalam kalimat ingkar, seperti pada:

Situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) yang mengacu kepada peristiwa prospektif dapat diungkapkan dengan kata ingkar belum diikuti pernah, seperti pada:

2.3.2 Deiksis Endofora

Rusminto (2009:26) menyatakan bahwa endofora bersifat tekstual (referensi yang berada di dalam teks). Berdasarkan posisi acuan/referensinya, endofora terbagi atas anafora dan katafora. Anafora merujuk silang pada unsur yang disebutkan terlebih dahulu , sedangkan Katafora merujuk silang pada unsur yang disebutkan kemudian. Alwi, dkk (1998:43) berpendapat bahwa Anafora adalah peranti dalam bahasa untuk membuat rujuk silang dengan hal atau kata yang telah dinyatakan

(49) Sayapernah akanmenyapa si kembar itu ( / / dulu).

(50) Pekerjaannya tidakakan pernahselesai.


(55)

sebelumnya. Peranti itu dapat berupa kata ganti persona seperti dia, mereka, nomina tertentu, konjungsi, keterangan waktu, alat dan cara. Perhatikan contoh berikut.

Pada contoh di atas kata dia beranafora dengan Bu Mastuti. Kebalikan dari anafora adalah katafora, yakni rujuk silang terhadap anteseden yang ada di belakangnya. Perhatikan kalimat berikut.

Salah satu interpretasi dari kalimat di atas ialah bahwa dia merujuk pada Tony meskipun ada kemungkinan interpretasi lain. Gejala pemakaian pronomina seperti dia yang merujuk pada anteseden Tony yang berada pada di sebelah kanannya inilah yang disebut katafora.

2. 4 Hubungan Deiksis dengan Novel

Sesuai dengan pengertian deiksis yang dikemukakan oleh Alwi (1998:42) menyebutkan bahwa deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata yang hanya dapat ditafsirkan acuannya. Sesuai pengertiannya bahwa deiksis memiliki referensi yang berubah-ubah sesuai dengan konteks yang melatarinya. Dengan demikian deiksis dalam novel berguna untuk membantu pembaca mengetahui arti yang terkandung dalam tulisan yang sulit dicerna. Sebab novel merupakan salah satu karya sastra yang menggunakan gaya bahasa yang tergolong rumit untuk diartikan.

(52) Bu Mastuti belum mendapat pekerjaan, padahal diamemperoleh ijazah sarjananya dua tahun lalu.


(56)

2. 4. 1 Pengertian Novel

Menurut Nurgiyantoro (2010:1) Dunia kesusastraan mengenal prosa (Inggris: prose) sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan. Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan cerpen.

Perbedaan antara novel dengan cerpen yang pertama (dan yang terutama) dapat dilihat dari segi formalitas bentuk, segi panjang cerita.Sebuah cerita yang panjang berjumlah ratusan halaman lebih tepat sebagai novel. Dari segi panjang cerita, novel (jauh) lebih panjang daripada cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.

Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui sebagai unsur instrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuannya tentu bersifat naratif.

Nurgiyantoro (2010:9) menjelaskan bahwa novel berasal dari bahasa Italinovella, yang dalam bahasa Jerman Novelle. Kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel. Dewasa ini istilah novella dan novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya


(57)

prosa fiksi yang panjangnya cakupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus.

2. 4. 2 Percakapan dalam Novel

Sebuah karya fiksi umumnya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan: narasi dan dialog. Dialog dan percakapan adalah ujaran-ujaran yang dilakukan oleh para tokoh dalam sebuah cerita. Narasi dan dialog hadir secara bergantian sehingga cerita yang ditampilkan menjadi tidak bersifat monoton, terasa variatif, dan segar. Dalam hal penyampaian informasi kepada pembaca, teknik narasi dan dialog, dapat dipergunakan secara saling melengkapi.

Informasi tertentu mungkin lebih tepat diungkapkan dengan gaya narasi, sedang informasi lainnya lebih berkesan diungkapkan gaya percakapan (dialog). Dalam pengungkapan bahasa bentuk percakapan, seolah-seolah pengarang membiarkan pembaca untuk melihat dan mendengar sendiri kata-kata seorang tokoh, percakapan antartokoh, bagaimana wujud kata-katanya dan apa isi percakapannya (Nurgiyantoro, 2010:310).

2. 4. 3Hubungan Deiksis dengan Novel

Menurut Saussure dalam (Sudaryat, 2008:120) memandang bahasa sebagai sistem tanda (sign linguistique) atau sistem semiotik. Semiotik mencakup bidang sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis menelaah kalimat-kalimat atau hubungan antara unsur-unsur bahasa, semantik menelaah proposisi-proposisi atau


(58)

hubungan unsur bahasa dengan objeknya, dan pragmatik menelaah hubungan unsur bahasa dengan para pemakainya atau tindak linguistik beserta konteks situasinya.

Salah satu cabang ilmu yang dipelajari dalam semantik ialah deiksis. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa deiksis adalah kata atau satuan kata, frasa, atau ungkapan yang rujukannya berpindah-pindah atau tidak tetap bergantung dari siapa yang menjadi pembicara dan waktu, dan tempat dituturkannya satuan bahasa tersebut, atau semua itu dapat diketahui maknanya setelah kita memerhatikan konteksnya.

Selanjutnya hubungan antara deiksis dengan novel yang merupakan sumber data dalam penelitian ini, karena novel merupakan salah satu karya sastra yang di dalamnya terdapat jenis-jenis deiksis, dan deiksis tersebut tidak dapat diketahui bila tidak memerhatikan konteksnya. Sumber data dalam penelitian ini ialah novel 99 Cahaya di Langit Eropakarya Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra dalam novel ini terdapat jenis-jenis deiksis, seperti deiksis persona, deiksis ruang dan deiksis waktu, dan novel ini memiliki gaya bahasa yang cukup rumit, terlihat dari penjelasan penulis tentang pemaparannya pada cerita dan itu akan sulit dicerna pembaca bila pembaca tidak mengetahui konteksnya.

2. 5 Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA) berdasarkan Kurikulum 2013

Pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Ni Made Mulyasari, beliau melakukan penelitian tentang deiksis dan mengimplikasikannya pada pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah menengah Pertama (SMP) berdasarkan


(59)

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pada penelitian ini peneliti mengimplikasikan pada pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA) berdasarkan Kurikulum 2013. Dilihat dari segi perencanaan silabus Kurikulum 2013 berbeda dari Kurikulum KTSP.

Pada Kurikulum 2013 terdapat kompetensi inti dan kompetensi dasar. Kompetensi inti mengacu pada struktur kurikulum sedangkan kompetensi dasar dikembangkan dari komptensi inti. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia terdapat dua aspek yakni kemampuan berbahasa dan bersastra. Kedua aspek tersebut masing-masing terdiri atas subaspek mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Bahasan pelajaran bahasa Indonesia tidak hanya sebatas kata, frasa, klausa dan kalimat saja, melainkan sudah sampai pada wacana. Wacana tersebut dianalisis sebagai satuan yang otonom dan tidak terlepas dari konteks.

Parera dalam Mulyasari (2013: 39), akhir-akhir ini telaah bahasa tidak terbatas hanya pada satu-satuan kalimat. Kalimat-kalimat yang berhubungan satu dengan yang lain, baik dengan kalimat yang mendahuluinya maupun kalimat yang menyusulnya. Lahirlah satu hipotesis bahwa masih ada satuan yang lebih tinggi dari satuan kalimat, satuan ini disebut satuan suprakalimat atau satuan wacana. Untuk memahami sebuah wacana, tidak terlepas dari konteks dan tekstur wacana. Begitu juga untuk memahami dialog dalam sebuah novel, dibutuhkan konteks dan tekstur. Salah satu dari tekstur-tekstur yang dibutuhkan antara lain yakni deiksis. Untuk memahami kalimat yang mengandung deiksis, dibutuhkan konteks linguistik dalam novel tersebut.


(60)

Penelitian novel sebagai bahan penelitian, disebabkan novel merupakan salah satu bahan ajar, dan dalam proses pemilihan itu ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yakni kegunaannya dalam pembelajaran di sekolah dan kesesuaiannya dengan kurikulum yang berlaku saat ini.

Kegunaan deiksis pada novel adalah untuk menghindari kebosanan pembaca novel. Bagi guru yang mengajar agar lebih bisa memperhatikan pemilihan kata atau diksi. Penelitian deiksis pada novel bertujuan agar dalam pembelajaran novel siswa lebih memahami pemilihan kata dalam novel tersebut.

Dalam kurikulum 2013, program pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang terkait dalam pemilihan kata atau diksi terdapat pada kelas X SMA. Berikut ini adalah kompetensi inti dan kompetensi dasar yang berkaitan dengan penggunaan deiksis guna pemilihan kata pada silabus SMA kelas X Kurikulum 2013.


(61)

KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR BAHASA INDONESIA (WAJIB)

SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)/MADRASAH ALIYAH (MA) KELAS X

Sekolah : SMA ...

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas / Semester : X/Ganjil

Kompetensi Inti

4. Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Kompetensi Dasar

4.2 Memproduksi teks anekdot baik secara lisan maupun tulisan

Indikator •Mampu menentukan langkah-langkah penulisan teks anekdot (mengamati, menemukan topik, mengembangkan sesuai dengan struktur isi dan ciri bahasa) dengan memerhatikan ejaan yang baik dan benar.

•Mampu membuat teks anekdot sesuai dengan struktur isi teks anekdot (abstrak, orientasi, krisis, respon, coda), ciri bahasa (pertanyaan retoris, proses material, konjungsi temporal), dan kelucuan

Kompetensi Inti

4. Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Kompetensi Dasar

4.3 Menyunting teks anekdot sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan

Indikator •Mampu menganalisis bahasa teks anekdot (pilihan kata, gaya bahasa, dan konjungsi ) dengan cermat

•Mampu menyunting teks yang ditulis teman dari aspek struktur isi dan bahasa teks anekdot dengan cermat

•Mampu menemukan dan menyimpulkan struktur dan kaidah teks anekdot yang baik.

Kompetensi Inti

4. Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.


(62)

Kompetensi Dasar

4.5 Mengonversi teks anekdot ke dalam bentuk yang lain sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan Indikator •Mampu menulis ulang teks anekdot dalam bentuk uraian

monolog

•Mampu membuat naskah drama pendek yang berisi kritik sosial dengan memperhatikan struktur teks anekdot: abstraksi, orientasi, krisis, reaksi dan koda.


(63)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif. Menurut Arikunto (2010:20) penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi atau hal lain-lain yang sudah disebutkan yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian.

Pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif. Seperti yang dikemukakan Miles dan Huberman (1992:15) analisis kualitatif merupakan analisis dengan hasil data yang berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. Data itu mungkin telah dikumpulkan dalam aneka macam cara (observasi, wawancara, intisari dokumen, pita rekaman, dan lain-lain).

3. 2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah novel99 Cahaya di Langit Eropakarya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra yang berjumlah 392 halaman, cetakan pertama November 2013 yang diterbitkan pertama kali oleh PT Gramedia Pustaka Utama.


(64)

Data penelitian adalah deiksis yang terdapat pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Peneliti memilih novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra karena novel ini memiliki gaya bahasa yang cukup rumit, terlihat dari penjelasan penulis tentang pemaparannya pada cerita dan itu akan sulit dicerna pembaca bila pembaca tidak mengetahui konteksnya oleh karena itu peneliti merasa tertarik meneliti deiksis pada novel ini.

3.3 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Sesuai dengan penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah analisis dokumentasi. Analisis dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan dokumen yang ada hubungannya dengan dokumen. Dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, serta meramalkan. Dalam penelitian ini menggunakan analisis dokumentasi dari novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra.

Teknik analisis data dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman dalam Wetty (2008: 90) bahwa analisis dilakukan secara bersamaan yang mencakup empat kegiatan yaitu (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, (4) dan penarikan kesimpulan. Analisis data seperti ini diberi nama dengan analisis data model alir. Di bawah ini penjelasan gambar analisis data model alir.


(65)

Gambar 3.1 Komponen-Komponen Analisis Data: Model Alir

Analisis data model alir ini, diawali dengan data yang mucul berupa deskripsi kata-kata atau rangkaian kata. Kemudian reduksi data diartikan sebagai pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang mucul dari catatan-catatan yang tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus-menerus selama di lokasi penelitian. Reduksi bukan terpisahkan dari analisis. Peneliti memilih data mana yang dikode dan mana yang dibuang. Cerita-cerita apa yang sedang berkembang, semuanya merupakan pilihan-pilihan analisis. Penyajian data merupakan alur terpenting kedua.

Penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun dan memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian lebih banyak mengacu pada teks naratif dan akan dilakukan penyederhanaan pada informasi yang bersifat kompleks. Penarikan kesimpulan dilakukan dari permulaan pengumpulan data, peneliti mulai mencari arti atau makna dari model pembelajaran.


(1)

❊❋

4. Penarikan Kesimpulan

a) Mengimplikasikannya ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMA kelas X dalam keterampilan menulis, dan merancang skenario pembelajaran penggunaaan deiksis dalam keterampilan menulis.

b) Menyimpulkan pemakaian deiksis dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropakarya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra


(2)

●❍

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian terhadap novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, terdapat dialog yang mengandung deiksis sebanyak 1131. Deiksis persona sebanyak 991, deiksis ruang ditemukan sebanyak 64, dan deiksis waktu sebanyak 76. Berdasarkan jumlah keseluruhan pada novel99 Cahaya di Langit Eropakarya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, deiksis persona lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan deiksis ruang dan deiksis waktu.

Deiksis persona dibagi menjadi tiga yaitu persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga. Semua jenis deiksis persona itu ditemukan dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Begitupun dengan deiksis ruang dan deiksis waktu. Deiksis persona dianalisis berdasarkan referensi endofora meliputi anafora dan katafora (tata letak unsur yang dirujuk). Kata-kata yang banyak ditemukan pada penelitian meliputi kata saya, aku, -ku, ku-, engkau, kau, -mu, anda, diadanbeliau. Selain deiksis persona kata-kata yang banyak ditemukan di dalam novel ini adalah deiksis ruang. Kata yang bersifat deiktis yang bisa dikategorikan ke dalam deiksis ruang berupa katadi sini, di situ, di sana, ke sana, ke dalam, di dalam, ke


(3)

■❏

sini dan di depan. Lalu untuk deiksis waktu meliputi kata sekarang, hari ini, besok, kemarin, dulu, sejak dulu, dahulu, tadi, tadi siang,dantadi malam.

Berdasarkan paparan di atas dapat diketahui bahwa deiksis yang banyak ditemukan berdasarkan hasil analisis adalah deiksis persona. Deiksis ini terjadi karena terdapat konteks yang melatari percakapan, yaitu dialog percakapan antartokoh yang terdapat dalam novel. Dialog percakapan tersebut berguna untuk menyampaikan maksud dan tujuan antartokoh yang ingin disampaikan. Penelitian ini memiliki keterkaitan terhadap pembelajaran bahasa Indonesia keterampilan menulis sebagai bahan ajar, sebab keterampilan menulis diperlukan pemahaman tentang menggunakan pilihan kata (diksi) yang tepat dan kalimat efektif. Selain itu peneliti mengimplikasikan deiksis pada pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA berdasarkan Kurikulum 2013 yang di dalamnya mencakup pembelajaran berbasis teks. Salah satu teks dalam Kurikulum 2013 ialah teks anekdot yang termasuk dalam teks cerita yang merupakan teks sastra.

5.2 Saran

Sehubungan dengan hasil penelitian, ada beberapa saran yang dapat dikemukakan.

a. Bagi peserta didik diharapkan dapat membantu menambah pemahaman mengenai pemilihan kata dan keefektifan kalimat dalam pembelajaran bahasa Indonesia umumnya khususnya dalam keterampilan menulis.


(4)

❑▲

b. Bagi guru deiksis dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif sumber belajar, khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia kurikulum 2013 yang berbasis teks karena penggunaan deiksis ini dapat memengaruhi keefektifan kalimat dalam pembelajaran Bahasa Indonesia keterampilan menulis.

c. Bagi peneliti selanjutnya yang berminat pada bidang kajian yang sama, disarankan untuk meneliti deiksis lainnya seperti deiksis sosial dan deiksis wacana, sehingga dapat melengkapi penelitian yang telah dilakukan dan penelitian mengenai deiksis menjadi lebih lengkap dan mendalam.


(5)

▼ ◆

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010.Sosiolinguistik.Jakarta: Rineka Cipta. Dardjowidjojo, Soenjono dan Unika Atma Jaya. 2005. Psikolinguistik. Jakarta:

Yayasan Obor.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.

Djajasudarma, T. Fatimah. 2009.Semantik 2.Bandung: PT Refika Aditama. Milles, Matthew. B dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.

Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press)

Mulyasari, Ni Made. 2013. Deiksis dalam Naskah Drama Gerr Karya I Putu Wijaya dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP).Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rais, H. Salsabiela dan Rangga Almahendra. 2014. 99 Cahaya di Langit Eropa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Rusminto, Nurlaksana E. 2009. Analisis Wacana Bahasa Indonesia(Buku Ajar). Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Sudaryat, Yayat. 2008.Makna dalam Wacana.Bandung: Yrama Widya.

Suliani, Ni Nyoman Wetty. 2008. Pembelajaran Bahasa pada Pendidikan Anak Usia Dini Babul’ilmi Kedaton Bandar Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung.


(6)

❖P

Suryabrata, Sumadi. 2012.Metodologi Penelitian.Jakarta: Rajawali Pers.

Universitas Lampung. 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung.Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Verhaar, J. M. W. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.


Dokumen yang terkait

NILAI-NILAI RELIGIUS ISLAM DALAM NOVEL 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA

4 93 24

Implikatur Percakapan pada Novel "99 Cahaya di Langit Eropa" Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

3 19 126

DEIKSIS PADA NOVEL 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

5 32 148

IDENTITAS BUDAYA ISLAM PADA NOVEL 99 CAHAYA Di LANGIT EROPA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA: Identitas Budaya Islam Pada Novel 99 Cahaya Di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra Kajian Antropologi Sastra Dan Imp

0 8 15

IDENTITAS BUDAYA ISLAM PADA NOVEL 99 CAHAYA Di LANGIT EROPA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA: Identitas Budaya Islam Pada Novel 99 Cahaya Di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra Kajian Antropologi Sastra Dan Imp

0 4 16

ASPEK RELIGIUS DALAM NOVEL 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA: Aspek Religius Dalam Novel 99 Cahaya Di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya

0 2 13

ASPEK RELIGIUS DALAM NOVEL 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA: Aspek Religius Dalam Novel 99 Cahaya Di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya

0 3 18

EKRANISASI NOVEL KE BENTUK FILM 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA.

4 38 153

NILAI RELIGI PADA NOVEL 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA

0 0 12

DEVIASI ALUR FILM 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA TERHADAP NOVEL 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA

0 0 12