FAKTOR–FAKTOR YANG MEMENGARUHI REPEAT BREEDER SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI LAMPUNG

(1)

ABSTRAK

FAKTOR–FAKTOR YANG MEMENGARUHI REPEAT BREEDER SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh Khirotul Ulya

Penelitian mengenai repeat breeder sapi perah pada peternakan rakyat di Provinsi Lampung dilaksanakan pada Juni – Juli 2016, terhadap 4 orang inseminator, 79 ekor sapi perah betina yang telah diinseminasi milik 14 orang peternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1) besarnya repeat breeder sapi perah pada peternakan rakyat di Provinsi Lampung; 2) faktor-faktor dan besarnya faktor yang memengaruhi repeat breeder sapi perah pada peternakan rakyat di Provinsi Lampung. Analisis data yang digunakan adalah logistic regression dengan aplikasi SPSS (Statistics Packet for Social Science). Hasil yang diperoleh adalah kejadian repeat breeder sapi perah pada peternakan rakyat di Provinsi Lampung sebesar 30,38%. Faktor-faktor yang memengaruhi repeat breeder sapi perah peternakan rakyat di Provinsi Lampung berasal dari peternak dan ternak. Faktor yang memengaruhi repeat breeder dari peternak adalah lama beternak dengan besar faktor 0,235 dan frekuensi pemberian hijauan dengan besar faktor 1,643 berasosiasi negatif terhadap repeat breeder, jarak peternakan menuju rumah yang berasosiasi positif dengan besar faktor 0,229. Faktor yang memengaruhi repeat breeder dari ternak adalah jumlah produksi susu yang berasosiasi positif dengan besar faktor 0,040.

Kata kunci : Faktor dan Besar Faktor, Repeat Breeder, Sapi Perah, Peternakan Rakyat, Provinsi Lampung,


(2)

ABSTRACT

REPEAT BREEDER OF DAIRY CATTLE ON PUBLIC FARM AT LAMPUNG PROVINCE

By Khirotul Ulya

Research on repeat breeder of dairy cattles on public farm at Lampung Province was held on June-July 2016 with 4 inseminators, 79 dairy cattles that had been inseminated belong to 14 farmers. The purpose of this research are to know : 1) value repeat breeder of dairy cattles on public farm at Lampung Province; 2) the factors and magnitude factors which distrub repeat breeder of dairy cattles on public farm at Lampung Province. Data was analysis by logistic regression with SPSS (Statistics Packet for Social Science) program. The result showed that repeat breeder of dairy cattles on public farm at Lampung Province is 30,38%. Factors that affect the repeat breeder are from farmers and dairy cattles. Factors that affect the repeat breeder from farmers negatively associated are old ranching with factor value 0,235 and frequency of forage distribution with value 1,64, that positively associated is distance of stall from farmer house with factor value 0,229. Factor that affect the repeat breeder from dairy cattles that positively associated is amount of milk production with factor value 0,040.

Keyword : Repeat Breeder, Dairy Cattle, Public Farm, Lampung Province, Factor and factor value


(3)

FAKTOR–FAKTOR YANG MEMENGARUHI REPEAT BREEDER SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT

DI PROVINSI LAMPUNG (Skripsi)

Oleh

Khirotul Ulya

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016


(4)

ABSTRAK

FAKTOR–FAKTOR YANG MEMENGARUHI REPEAT BREEDER SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh Khirotul Ulya

Penelitian mengenai repeat breeder sapi perah pada peternakan rakyat di Provinsi Lampung dilaksanakan pada Juni – Juli 2016, terhadap 4 orang inseminator, 79 ekor sapi perah betina yang telah diinseminasi milik 14 orang peternak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1) besarnya repeat breeder sapi perah pada peternakan rakyat di Provinsi Lampung; 2) faktor-faktor dan besarnya faktor yang memengaruhi repeat breeder sapi perah pada peternakan rakyat di Provinsi Lampung. Analisis data yang digunakan adalah logistic regression dengan aplikasi SPSS (Statistics Packet for Social Science). Hasil yang diperoleh adalah kejadian repeat breeder sapi perah pada peternakan rakyat di Provinsi Lampung sebesar 30,38%. Faktor-faktor yang memengaruhi repeat breeder sapi perah peternakan rakyat di Provinsi Lampung berasal dari peternak dan ternak. Faktor yang memengaruhi repeat breeder dari peternak adalah lama beternak dengan besar faktor 0,235 dan frekuensi pemberian hijauan dengan besar faktor 1,643 berasosiasi negatif terhadap repeat breeder, jarak peternakan menuju rumah yang berasosiasi positif dengan besar faktor 0,229. Faktor yang memengaruhi repeat breeder dari ternak adalah jumlah produksi susu yang berasosiasi positif dengan besar faktor 0,040.

Kata kunci : Faktor dan Besar Faktor, Repeat Breeder, Sapi Perah, Peternakan Rakyat, Provinsi Lampung,


(5)

ABSTRACT

REPEAT BREEDER OF DAIRY CATTLE ON PUBLIC FARM AT LAMPUNG PROVINCE

By Khirotul Ulya

Research on repeat breeder of dairy cattles on public farm at Lampung Province was held on June-July 2016 with 4 inseminators, 79 dairy cattles that had been inseminated belong to 14 farmers. The purpose of this research are to know : 1) value repeat breeder of dairy cattles on public farm at Lampung Province; 2) the factors and magnitude factors which distrub repeat breeder of dairy cattles on public farm at Lampung Province. Data was analysis by logistic regression with SPSS (Statistics Packet for Social Science) program. The result showed that repeat breeder of dairy cattles on public farm at Lampung Province is 30,38%. Factors that affect the repeat breeder are from farmers and dairy cattles. Factors that affect the repeat breeder from farmers negatively associated are old ranching with factor value 0,235 and frequency of forage distribution with value 1,64, that positively associated is distance of stall from farmer house with factor value 0,229. Factor that affect the repeat breeder from dairy cattles that positively associated is amount of milk production with factor value 0,040.

Keyword : Repeat Breeder, Dairy Cattle, Public Farm, Lampung Province, Factor and factor value


(6)

FAKTOR–FAKTOR YANG MEMENGARUHI REPEAT BREEDER SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT

DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

KHIROTUL ULYA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA PETERNAKAN

Pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG


(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Kotabumi pada 20 Desember 1994 yang merupakan putri keempat dari empat bersaudara, hasil buah cinta dari pasangan Bapak Syahri Shohib dan Ibu Erpha Wati. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak Tunas Harapan Kotabumi pada tahun 2000; Sekolah Dasar Negeri 1 Candimas Lampung Utara pada tahun 2006; Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kotabumi pada 2009; Madrasah Aliyah Negeri Kotabumi Lampung Utara pada 2012. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada 2012, melalui Seleksi Undangan.

Penulis melaksanakan Praktik Umum pada tahun 2015 di Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari, Malang, Jawa Timur. Pada tahun 2016 melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Babakan, Kecamatan Pugung, Kabupaten

Tanggamus, Provinsi Lampung. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di kepengurusan Himpunan Mahasiswa Peternakan (Himapet) FP Unila sebagai Anggota Bidang Penelitian dan Pengembangan periode 2013/2014 serta sebagai penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) 2013/2014.


(10)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si. − selaku Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung − atas izin yang telah diberikan;

2. Ibu Sri Suharyati, S.Pt., M.P. − selaku Ketua Jurusan Peternakan, Universitas Lampung dan Pembimbing Anggota, − atas izin dan arahan yang telah diberikan serta bimbingan, kesabaran, dan nasihat yang dapat membangun diri penulis;

3. Bapak drh. Madi Hartono, M.P. − selaku Pembimbing Utama − atas

ketulusan hati, kesabaran dalam membimbing, memberikan arahan, motivasi, dan ilmu yang terbaik untuk penulis;

4. Bapak drh. Purnama Edy Santosa, M.Si. − selaku Pembahas − atas bimbingan, kritik, saran, dan arahan kepada penulis;

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S. − selaku Dosen Pembimbing Akademik − atas motivasi, nasihat, bantuan, dan bimbingan yang telah diberikan;

6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung − atas bimbingan, kesabaran, arahan, dan nasihat selama


(11)

7. Seluruh staf administrasi Fakultas Pertanian, Universitas Lampung − atas bantuan dan kerjasama yang diberikan kepada penulis;

8. Bapak Afri, Bapak Supriyono, Bapak Sukoco, Bapak Budi, dan Bapak Sucipto − atas izin yang telah diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian;

9. Bapak Krisetyo, Bapak Sutarmo, Bapak Beni, dan Bapak Bambang − selaku inseminator yang telah mendampingi dan membantu penulis selama

penelitian;

10. Ayah Syahri dan Ibu Erpha Wati tercinta − atas doa restu, cinta, kasih sayang, motivasi, nasihat, dukungan moril maupun materil yang tak terhingga kepada penulis;

11. Kanda Erwan Widiansyah, Ahmad Habib, dan Yunda Juwita Syahara − atas semangat, dukungan, kehadiran, dan penghibur disaat penat;

12. Ahmad Fauzy, Hindun Larasati, Ertha Colanda Wari, dan Muhammad Fadhil sebagai rekan seperjuangan − atas dukungan, bantuan, motivasi, dan

kerjasama selama melaksanakan penelitian;

13. Nila Amalia Nabilah, Vanesya Annastasia Agus, Eka Ayu Astrini, Winddi Amelia Saputri sebagai sahabat − atas dukungan dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis;

14. Keluarga besar Peternakan Angkatan 2012 (Dini, Raina, Eva, Sintha, Marya, Anita, Iis, Ina, Neni, Pione, Hanan, Yogie, Salamun, Disa, Naldo, Ambya, Quanta, Miyan, Destama, Tino dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan secara keseluruhan) − atas dukungan, kekeluargaan, kenangan indah selama masa studi, serta motivasi yang diberikan kepada penulis;


(12)

15. Seluruh kakak tingkat (Angkatan 2010 dan 2011) serta adik tingkat (Angkatan 2013, 2014, dan 2015) Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung − atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis berharap semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Oktober 2016 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C. Manfaat Penelitian ... 4

D. Kerangka Pemikiran ... 4

E. Hipotesis ... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah ... 8

B. Gambaran Umum Peternakan Rakyat di Provinsi Lampung... 10

C. Repeat Breeder... 13

3. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 22

B. Bahan Penelitian ... 22

C. Alat Penelitian ... 22

D. Metode Penelitian ... 22


(14)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Inseminator, Peternak, dan Ternak Sapi Perah Rakyat di Provinsi Lampung ... 26 B. Faktor-faktor yang Memengaruhi Repeat Breeder ... 28 1. Faktor-faktor yang memengaruhi repeat breeder dari peternak . 28 a. Pernah mengikuti kursus ... 29 b. Frekuensi pemberian hijauan ... 30 c. Frekuensi pemberian konsentrat ... 31 2. Faktor-faktor yang memengaruhi repeat breeder dari peternak . 32 a. Jumlah pemberian air minum... 33 C. Penerapan Model ... 34 5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 37 B. Saran ... 37 DAFTAR PUSTAKA ... 38


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel

1.Data populasi sapi perah di Provinsi Lampung ... 10

2. Kuisioner untuk data inseminator ... 42

3. Kuisioner untuk data peternak ... 43

4. Kuisioner untuk data ternak ... 44

5. Kriteria penentu skor kondisi tubuh sapi ... 45

6. Hasil pengamatan variabel pada tingkat inseminator, peternak dan ternak yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kejadian repeat breeder pada sapi perah rakyat di Provinsi Lampung ... 46

7. Analisis repeat breeder berdasarkan variabel inseminator, peternak, dan ternak ... 48


(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan susu sapi semakin tinggi dari tahun ke tahun seiring dengan

bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan dan kesejahteraan masyarakat serta semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat tentang pentingnya

mengkonsumsi protein hewani. Kebutuhan susu nasional saat ini berkisar 7500 ton/hari, populasi sapi perah yang ada di Indonesia saat ini hanya mampu memproduksi susu sekitar 2250 —2500 ton/hari, jumlah tersebut hanya mampu mencukupi 30 persen dari total kebutuhan nasional, sedangkan 70 persen sisanya diimpor dari luar negeri untuk mencukupi permintaan yang dibutuhkan

masyarakat (Kementerian Perindustrian, 2012).

Sapi perah merupakan salah satu ternak penghasil susu terbesar yang dapat menyuplai sebagian besar kebutuhan susu nasional. Jenis sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia adalah sapi perah Friesian Holstein (Soetanto, 2003). Sapi perah jenis Friesian Holstein dipilih karena sifatnya yang mudah beradaptasi dengan lingkungan Indonesia, selain itu sapi perah jenis ini memiliki keunggulan masa laktasi yang panjang sehingga dapat memproduksi susu dengan jumlah yang cukup tinggi yaitu mencapai 15 — 20 liter susu/hari atau 4500 — 5500


(17)

Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera, dengan rata-rata suhu maksimum berkisar antara 31,4 — 34,1oC dan rata-rata kelembaban udara 72—86% sedangkan suhu minimum di Provinsi Lampung antara 21,2 — 23,6oC, suhu tersebut sesuai dengan suhu di lingkungan asli sapi perah yaitu 22 oC (Sudono, et al., 2005). Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang mempunyai peluang untuk melakukan peningkatan produksi susu nasional. Usaha untuk meningkatkan produksi susu nasional dapat dilakukan dengan cara

peningkatan populasi sapi perah, perbaikan manajamen pemeliharaan, serta efisiensi reproduksi (Basyir, 2009).

Kondisi peternakan sapi perah rakyat di Indonesia pada umumnya masih bersifat tradisional. Sapi perah yang diternakkan di Indonesia umumnya adalah jenis Friesian Holstein, peranakan Friesian Holstein, maupun silangannya. Sapi PFH merupakan sapi kelahiran Indonesia dari induk Friesian Holstein atau silangannya dengan pejantan atau semen beku Friesian Holstein. Sapi PFH merupakan ternak yang sudah mengalami aklimatisasi dan adaptasi fisiologis, sehingga lebih sesuai dengan daerah tropis daripada sapi Friesian Holstein asli. Adaptasi tersebut juga menyangkut perubahan aspek reproduksi dan permasalahannya secara umum (Sudono, et al., 2005).

Permasalahan reproduksi yang sering terjadi pada sapi perah peternakan rakyat di Indonesia adalah rendahnya efisiensi reproduksi. Rendahnya efisiensi reproduksi pada sapi perah tersebut menandakan ada gangguan reproduksi, dan salah satu gejala gangguan reproduksi adalah adanya kejadian repeat breeder. Repeat Breeder adalah suatu keadaan sapi betina yang mengalami kegagalan untuk


(18)

bunting setelah dikawinkan dengan pejantan fertil tanpa adanya abnormalitas yang teramati. Repeat Breeder pada sapi umumnya ditandai dengan panjangnya calving interval (18—24 bulan), rendahnya angka kosepsi (< 40%) serta tingginya service per conception (> 3) (Rustamaji, 2004).

Faktor –faktor yang memengaruhi repeat breeder berasal dari peternak, ternak, dan inseminator. Hasil penelitian Yuliana (2000), tingkat kejadian repeat breeder dengan kriteria sapi perah yang telah diinseminasi 3 kali atau lebih di KPBS Bandung, Jawa Barat sebesar 19,4% dengan faktor-faktor yang memengaruhi frekuensi pemberian hijauan, lama laktasi, selang beranak, distokia, bangsa sapi, birahi pertama setelah beranak, dan skor kondisi tubuh. Hasil penelitian Prihatno, et al., (2013), besarnya repeat breeder sapi perah di daerah Yogyakarta sebesar 29,4% dengan faktor-faktor yang mempengaruhi adalah jumlah inseminasi buatan, kondisi sapi kurus, pakan, gangguan teracak dan umur ternak, selain itu terdapat beberapa faktor yang disebabkan oleh peternak yaitu lantai kandang tanah dan saluran pembuangan yang kotor.

Kejadian repeat breeder merupakan permasalahan dunia peternakan yang harus segera diatasi karena sangat merugikan peternak. Saat ini belum diketahui nilai repeat breeder dan faktor – faktor yang memengaruhi repeat breeder pada peternakan sapi perah rakyat di Provinsi Lampung. Oleh karena itu penulis

melakukan penelitian untuk mengetahui nilai dan faktor-faktor yang memengaruhi repeat breeder sapi perah peternakan rakyat di Provinsi Lampung.


(19)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

1. besarnya repeat breeder sapi perah pada peternakan rakyat di Provinsi Lampung;

2. faktor-faktor dan besarnya faktor yang memengaruhi repeat breeder sapi perah pada peternakan rakyat di Provinsi Lampung.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang repeat breeder pada sapi perah di daerah tempat dilakukannya penelitian, agar dapat diupayakan langkah utama untuk memperkecil nilai repeat breeder sehingga efisiensi reproduksi dan pendapatan peternak dapat meningkat. Penelitian ini juga dapat menyumbangkan data atau informasi bagi peneliti selanjutnya.

D. Kerangka Pemikiran

Sapi perah adalah salah satu hewan ternak penghasil protein hewani yaitu susu, tingginya produksi susu yang dihasilkan mampu menyuplai sebagian besar

kebutuhan susu masyarakat. Jika dibanding jenis ternak penghasil susu yang lain, sapi perah mempunyai kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan susu yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Produksi susu saat ini belum dapat

memenuhi permintaan karena populasi sapi perah saat ini sedikit. Peningkatan populasi sapi perah akan menjadi lebih cepat apabila efisiensi reproduksinya tinggi. Kinerja reproduksi sapi perah erat hubungannya dengan keberhasilan sapi perah dalam menghasilkan anakan dan memproduksi susu.


(20)

Efisiensi reproduksi adalah ukuran kemampuan seekor sapi untuk bunting dan menghasilkan keturunan yang layak. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama melalui penerapan bioteknologi atau mengembangkan teknologi praktis dan praktik-praktik manajemen yang dapat meningkatkan efisiensi reproduksi (Basyir, 2009). Rendahnya efisiensi

reproduksi mengindikasikan terjadinya gangguan reproduksi salah satunya yaitu repeat breeder. Repeat breeder adalah sapi betina yang mempunyai siklus birahi normal dan gejala birahi yang jelas bila dikawinkan dengan pejantan atau melalui IB dengan sperma bermutu tinggi namun tidak pernah bunting tanpa disertai gejala klinis dari penyakit atau abnormalitas alat reproduksi (Rustamaji, 2004). Repeat breeder bisa menjadi faktor utama ketidaksuburan. Dalam kelompok hewan fertil yang normal, kecepatan pembuahan biasanya 50— 55%, kira-kira 9— 12% sapi betina menjadi sapi yang mengalami repeat breeder. Angka repeat breeder yang tinggi akan menyebabkan rendahnya produksi susu yang dihasilkan, karena keberhasilan efisiensi reproduksi sangat mempengaruhi produktivitas susu (Brunner, 1984).

Kejadian repeat breedersudah melanda hampir seluruh dunia, yaitu sekitar 10-25% (Brunner, 1984). Kasus repeat breeder di KPBS Bandung, Jawa Barat sekitar 19,4% (Yuliana, 2000), dan kasus repeat breederdi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekitar 18% — 30%, dengan rata-rata sekitar 20% (Prihatno, et al., 2013). Tingginya kejadian kawin berulang ini merupakan permasalahan di dunia peternakan yang harus segera diatasi karena sangat merugikan peternak. Penyebab kawin berulang pada dasarnya adalah kegagalan fertilisasi dan akibat kematian embrio dini (Hardjopranjoto, 1995). Kegagalan


(21)

fertilisasi dan kematian embrio dini pada umumnya disebabkan oleh faktor yang kompleks dan saling berhubungan, misalnya karena faktor infeksi, gangguan hormonal, lingkungan, nutrisi, dan manajemen (Toelihere, 1993). Faktor lain yang menyebabkan kawin berulang adalah gangguan ovarium, infeksi, dan gangguan reproduksi seperti distokia, retensi plasenta, dan prolaps uterus, serta aktivitas ovarium, nutrisi, inseminator, infeksi, dan hormonal (Hardjopranjoto, 1995).

Penyebab kawin berulang di Indonesia, khususnya di Provinsi Lampung sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Sistem manajemen peternak sapi perah Indonesia pada umumnya masih bersifat tradisional sehingga dalam mengelola kemungkinan masih kurang maksimal, sehingga arti penting pengenalan siklus estrus, deteksi estrus, nutrisi, waktu terbaik untuk perkawinan dan kondisi lingkungan menjadi kurang diperhatikan dan ini dapat menyebabkan tingginya kejadian kegagalan kebuntingan.

Faktor risiko pada tingkat ternak maupun peternak merupakan komponen penting dalam mengkaji faktor risiko kawin berulang sapi perah. Konsekuensi dari kejadian kawin berulang yang tinggi akan memperpanjang masa kosong yang mengakibatkan jarak beranak menjadi lebih panjang. Berdasarkan kajian tersebut, penulis melakukan penelitian mengenai repeat breeder sapi perah pada

peternakan rakyat di Provinsi Lampung dan faktor-faktor yang memenuhi belum diketahui, nilai repeat breeder dapat diketahui dengan menghitung jumlah betina yang mengalami kawin berulang per jumlah betina yang diinseminasi dikalikan 100%, sedangkan faktor-faktor yang memengaruhi dapat diperoleh dari


(22)

mengetahui manajemen reproduksi dan pemeliharaan sapi perah di Provinsi Lampung. Hasil yang diperoleh akan menjadi dasar untuk membantu peternak dan pemerintah dalam meningkatkan efisiensi reproduksi sapi perah di Provinsi Lampung.

E. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat beberapa faktor dan perbedaan besar nilai faktor yang memengaruhi repeat breeder sapi perah pada peternakan rakyat di Provinsi Lampung.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sapi Perah

Sapi perah merupakan salah satu ternak penghasil susu terbesar yang dapat

menyuplai sebagian besar kebutuhan susu dunia. Beberapa jenis bangsa sapi yang umumnya dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil susu adalah Ayshire, Brown Swiss, Guerensey, Jersey, dan Friesian Holstein. Diantara kelima jenis bangsa sapi tersebut yang paling banyak dipelihara di Indonesia adalah bangsa sapi perah Friesian Holstein atau disebut Fries Holand (Soetanto, 2003).

Bangsa sapi Friesian Holstein adalah bangsa sapi perah yang berasal dari Belanda yaitu Provinsi Belanda Utara dan Friesland Barat dengan suhu dibawah 22 oC dengan ciri sapi berwarna hitam dan putih (Sudono, 2003). Sapi ini juga merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat karena memiliki beberapa keunggulan yaitu jinak, tidak tahan panas akan tetapi dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya (Blakely dan Bade, 1994). Selain itu sapi Friesian Holstein mempunyai keunggulan masa laktasi panjang dan produksi susu tinggi, serta persistensi produksi susu yang baik, dan mampu beradaptasi dengan kondisi di Indonesia meskipun produksi susu sapi ini relatif rendah jika dibandingkan di negara asalnya (Sudono, 2003).


(24)

Bangsa sapi perah yang asli berasal dari Indonesia tidak ada, sapi perah di Indonesia berasal dari sapi impor dan hasil persilangan sapi impor dengan sapi lokal. Secara umum sapi Friesian Holstein berwarna bulu hitam dan bercak putih, pada dapinya terdapat warna putih berbentuk segitiga, dada, perut, kaki dan ekor berwarna putih, ambing besar, tanduk kecil dan pendek, tenang serta jinak, body score condition yang ideal pada sapi perah berkisar 2-3 (tabel 5) (Pammusereng, 2009), produksi susunya mencapai 4500 — 5500 liter/laktasi (Tuthan, 2014). Sapi Friesian Holstein yang berproduksi susu tinggi memiliki ciri-ciri yaitu ukuran ambing simetris, letak ambing di bawah perut diantara kedua kaki yang lebar, ukuran ambing bagian depan cukup besar dan bagian belakang sama

besarnya dengan batas-batas diantara keempat bagian, kulit ambing tampak halus, bentuk dan ukuran dari keempat puting sama, silindris, penuh, bergantung dan letaknya simetris, pembuluh darah balik atau vena susu terdapat dibawah perut di mulai dari tali pusat sampai ambing, tampak besar, panjang, bercabang-cabang, dan berkelok-kelok nyata (Utomo dan Miranti, 2010).

Konsumsi susu masyarakat mulai mengalami peningkatan, namun hingga saat ini produksi susu dalam negeri belum cukup untuk memenuhi kebutuhan susu masyarakat Indonesia yaitu hanya mampu memproduksi sekitar 2250 — 2500 ton/hari yang artinyaIndonesia hanya dapat memenuhi 30% dari kebutuhan sedangkan 70% dari pasokan susu yang dibutuhkan masih harus diimpor dari luar negeri (Kementerian Perindustrian, 2012).


(25)

Kondisi peternakan sapi perah rakyat di Indonesia pada umumnya masih bersifat tradisional. Sapi perah yang diternakan di Indonesia umumnya adalah jenis Friesian Holstein, peranakan Friesian Holstein, maupun silangannya. Sapi PFH merupakan sapi kelahiran Indonesia dari induk Friesian Holstein atau silangannya dengan pejantan atau semen beku Friesian Holstein. Sapi peranakan Friesian Holstein merupakan ternak yang sudah mengalami aklimatisasi dan adaptasi fisiologis, sehingga lebih sesuai dengan daerah tropis daripada sapi Friesian Holstein asli. Adaptasi tersebut juga menyangkut perubahan aspek reproduksi dan permasalahannya secara umum (Sudono, et al.,2005).

Populasi sapi perah Friesian Holstein di Provinsi Lampung berdasarkan hasil survey penelitian terdapat 79 ekor sapi betina pada fase dara, laktasi maupun kering.

Tabel 1. Data Populasi Sapi Perah di Provinsi Lampung

No. Kab/Kota Sapi Perah Betina(Ekor)

1. Bandar Lampung 16

2. Metro 18

3. Tanggamus 17

4. Lampung Barat 28

Jumlah 79

Sumber : Data prapenelitian, 2016

B. Gambaran Umum Peternakan Rakyat di Provinsi Lampung

Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang mempunyai potensi menjadi sentra peternakan sapi perah di Indonesia dengan masih tersedianya lahan, pakan yang berlimpah, dan iklim di beberapa wilayah Lampung yang cukup mendukung untuk mengembangkan peternakan sapi perah. Provinsi


(26)

Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Karesidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan (Ryushaa, 2016).

Daerah Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km2 termasuk pulau – pulau yang terletak pada bagian sebelah paling ujung tenggara pulau Sumatera, dan dibatasi oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu di sebelah Utara, Selat Sunda disebelah Selatan, laut Jawa di sebelah Timur, dan Samudra Indonesia di sebelah Barat. Secara geografis Provinsi Lampung terletak pada kedudukan 103o40’ — 105o50’ dan 6o45’ — 3o45’ dengan arus angin di bulan November hingga Maret bertiup dari arah Barat dan Barat Laut dan Juli hingga Agustus bertiup dari arah Timur dan Tenggara. Rata – rata suhu minimum di Provinsi Lampung antara 21 — 23oC pada bulan September hingga Maret dan suhu rata – rata maksimum berkisar antara 31 — 34oC dengan kelembaban 72 — 86% dan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Desember (BPS Provinsi Lampung, 2015).

Peternakan rakyat merupakan suatu usaha keluarga yang tidak menggunakan hukum ekonomi produksi secara ketat. Pulungan dan Pambudy (1993)

menyatakan usaha peternakan sapi perah rakyat adalah usaha peternakan yang memiliki total sapi perah dibawah 20 ekor, sedangkan perusahaan peternakan sapi perah adalah usaha peternakan yang memiliki lebih dari 20 ekor sapi perah. Pada umumnya peternakan rakyat memiliki banyak kekurangan baik dari segi modal maupun pengetahuan mengenai manajemen pemeliharaan sapi perah, berbeda dari


(27)

usaha peternakan yang memiliki modal tinggi dengan bantuan tenaga ahli yang memiliki pengetahuan beternak sapi perah dengan baik. Peternakan rakyat biasanya memiliki banyak permasalahan produksi dan reproduksi, hal tersebut disebabkan pada peternakan rakyat cenderung tidak mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi serta tidak adanya inovasi, sehingga peternakan rakyat tidak dapat berkembang seperti perusahaan peternakan yang cenderung mengutamakan keuntungan, dimana peternakan tersebut selalu berinovasi dan pengembangkan peternakannya dengan memperhatikan kualitas manajemen pemeliharaan yang dilakukan.

Sistem manajemen peternak sapi perah di Provinsi Lampung masih bersifat tradisional sehingga dalam mengelola kemungkinan masih kurang maksimal sehingga arti penting pengenalan siklus estrus, deteksi estrus, nutrisi, waktu terbaik untuk perkawinan dan kondisi lingkungan menjadi kurang diperhatikan dan ini dapat menyebabkan tingginya kejadian kegagalan kebuntingan.

Permasalahan reproduksi yang sering terjadi pada sapi perah peternakan rakyat di Indonesia adalah rendahnya efisiensi reproduksi. Rendahnya efisiensi reproduksi pada sapi perah tersebut menandakan ada gangguan reproduksi, dan salah satu gejala gangguan reproduksi adalah adanya kejadian repeat breeder. Repeat Breeder adalah suatu keadaan sapi betina yang mengalami kegagalan untuk bunting setelah dikawinkan dengan pejantan fertil tanpa adanya abnormalitas yang teramati. Repeat Breeder pada sapi umumnya ditandai dengan panjangnya calving interval (18—24 bulan), rendahnya angka kosepsi (< 40%) serta tingginya service per conception (> 3) (Rustamaji, 2004).


(28)

Faktor lain yang mungkin menyebabkan kawin berulang adalah infeksi dan gangguan reproduksi seperti distokia, retensi plasenta, prolaps uterus, dan gangguan ovarium. Infeksi pada uterus dapat terjadi baik setelah perkawinan (karena tidak hygines dan tidak prosedural) atau setelah partus (masa puerpureum) dapat menyebabkan endometritis (radang pada endometrium) (Toelihere, 1993). Selain itu, endometritis dapat juga disebabkan oleh kelanjutan distokia, prolaps uterus, retensi plasenta, dan lingkungan yang buruk. Lingkungan yang buruk terutama pada pasca beranak akan memudahkan masuknya mikroba ke dalam lumen uterus, mencemari lingkungan lumen uterus, mengganggu kehidupan embrio dan ini dapat menyebabkan kematian embrio dini. Gejala adanya kematian embrio dini pada sapi perah yang sudah dikawinkan adalah timbulnya kawin berulang (Syarief, 1985).

C. Repeat Breeder

Efisiensi reproduksi adalah ukuran kemampuan seekor sapi untuk bunting dan menghasilkan keturunan yang layak. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama melalui penerapan bioteknologi atau mengembangkan teknologi praktis dan praktik-praktik manajemen yang dapat meningkatkan efisiensi reproduksi. Beberapa faktor juga dapat menyebabkan gangguan reproduksi, diantaranya adalah conception rate kurang dari 60%, jarak antara melahirkan melebihi 400 hari, rata-rata jumlah service per conception lebih dari 2, jarak antar melahirkan sampai bunting kembali melebihi 120 hari, dan jumlah sapi yang membutuhkan lebih dari tiga kali IB (repeat breeder) untuk terjadi kebuntingan melebihi 30% (Basyir, 2009).


(29)

Kegagalan reproduksi merupakan masalah yang besar pengaruhnya terhadap usaha peternakan sapi perah, karena kelangsungan produksi susu akan terganggu. Ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan kegagalan reproduksi seperti faktor tatalakasana pemeliharaan dan faktor internal ternak. Faktor tatalaksana pemeliharaan meliputi mutu genetik sapi yang dipelihara, pakan yang diberikan (sejak pedet/anak sampai dewasa), pengelolaan reproduksi (deteksi berahi, pengetahuan peternak, ketepatan waktu kawin dan keahlian inseminator). Kesalahan dalam tatalaksana pemeliharaan juga dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan pada ternak tersebut, sehingga ternak akan mengalami kelainan-kelainan pada alat reproduksinya. Semua kegiatan tersebut harus mendapat perhatian dan pengawasan yang intensif, dengan sistem pencatatan yang akurat. Kegagalan reproduksi karena faktor internal ternak dapat disebabkan oleh kerusakan alat-alat reproduksi karena penyakit, kelainan fungsi hormonal, dan kelainan bentuk anatomis dari alat-alat reproduksi, sehingga kurang/tidak berfungsi. Faktor internal yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya adalah fertilitas. Fertilitas diartikan sebagai daya atau kemampuan untuk memproduksi keturunan dari seekor hewan/ternak (Hardjosubroto dan Astuti, 1993).

Sapi kawin berulang (repeat breeder) adalah sapi betina yang mempunyai siklus normal dan telah dikawinkan sekurang-kurangnya 2 kali dengan pejantan atau semen pejantan fertil namun belum bunting tanpa disertai gejala klinis dari penyakit atau abnormalitas alat reproduksi (Toelihere, 1993). Kawin berulang merupakan salah satu masalah utama yang dapat memengaruhi efisiensi reproduksi dan produksi susu pada peternakan sapi perah.


(30)

Kawin berulang bisa menjadi faktor utama ketidaksuburan. Kawin berulang dapat terjadi apabila sapi betina yang belum bunting setelah tiga kali atau lebih kawin. Dalam kelompok hewan fertil yang normal, dimana kecepatan pembuahan biasanya 50— 55%, kira-kira 9— 12% sapi betina menjadi sapi yang kawin berulang (Brunner, 1984). Secara umum kawin berulang disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu kegagalan pembuahan/fertilisasi dan kematian embrio dini. Kondisi lain yang pernah ditemui bangsa ternak yang bereproduksi normal, kegagalan pembuahan dan kematian embrio dini dapat mencapai 30— 40%. Kematian embrio dini pada induk yang normal terjadi karena pada dasarnya embrio sampai umur 40 hari, kondisinya labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak baik atau kekurangan pakan (Hardjopranjoto, 1995).

Faktor kegagalan pembuahan merupakan faktor utama penyebab kawin berulang sapi, termasuk dalam faktor ini adalah kelainan anatomi saluran reproduksi, kelainan ovulasi, sperma yang abnormal, sel telur yang abnormal dan kesalahan pengelolaan reproduksi. Menurut Hardjopranjoto (1995), kelainan anatomi saluran reproduksi dapat bersifat genetik dan non genetik. Kelainan anatomi saluran reproduksi ini ada yang mudah diketahui secara klinis dan ada yang sulit diketahui, yaitu seperti tersumbatnya tuba falopii yang menyebabkan sel telur yang diovulasikan dari ovarium gagal mencapai tempat pembuahan sehingga pembuahan gagal.

Kelainan ovulasi dapat menyebabkan kegagalan pembuahan sehingga akan menghasilkan sel telur yang belum cukup dewasa, sehingga tidak mampu dibuahi oleh sperma dan menghasilkan embrio yang tidak sempurna. Kegagalan ovulasi


(31)

karena adanya gangguan hormon pada folikel de graaf yang sudah matang namun gagal pecah karena adanya gangguan sekresi hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH (Toelihere, 1985). Kasus adanya kista pada folikel yang tidak tumbuh lebih lanjut dan tidak pernah tumbuh menjadi folikel de graaf karena rendahnya sekresi LH. Ovulasi yang tertunda (delayed ovulation). Normalnya ovulasi terjadi 12 jam setelah estrus. Ovulasi tertunda berhubungan dengan musim dan nutrisi yang jelek, selain dapat disebabkan oleh terlalu lamanya sel sperma menunggu sel telur untuk di buahi. Ovulasi ganda adalah ovulasi dengan dua atau lebih sel telur. Pada hewan monopara seperti sapi, kerbau, kasusnya mencapai 13,19% . (Hardjopranjoto, 1995).

Sel telur yang abnormal disebabkan oleh keseimbangan hormon reproduksi yang tidak normal. Beberapa tipe morfologi dan abnormalitas fungsi telah teramati dalam sel telur yang tidak subur seperti; sel telur raksasa, sel telur berbentuk lonjong (oval), sel telur berbentuk seperti kacang dan zona pellucida yang ruptur. Kesuburan yang menurun pada induk-induk sapi tua mungkin berhubungan dengan kelainan ovum, ovum yang sudah lama diovulasikan menyebabkan kegagalan fertilisasi (Toelihere, 1985).

Sperma yang abnormalmerupakan sperma yang mempunyai bentuk abnormal menyebabkan kehilangan kemampuan untuk membuahi sel telur di dalam tuba falopii. Kasus kegagalan proses pembuahan karena sperma yang bentuknya abnormal mencapai 24— 39% pada sapi induk yang menderita kawin berulang dan 12— 13% pada sapi dara yang menderita kawin berulang (Hardjopranjoto, 1995). Angka kegagalan ini merupakan penyebab utama dari rendahnya angka


(32)

kebuntingan. Kesalahan pengelolaan reproduksi yang mendorong sel sperma gagal membuahi sel telur dan timbulnya kawin berulang.

Kesalahan pengelolaan reproduksi dapat berupa kurang telitinya dalam deteksi birahi sehingga terjadi kesalahan waktu untuk diadakan inseminasi buatan

(Toelihere, 1985). Deteksi birahi yang tidak tepat menjadi penyebab utama kawin berulang, karena itu program deteksi birahi harus selalu dievaluasi secara

menyeluruh. Saat deteksi birahi salah, birahi yang terjadi akan kecil

kemungkinan terobservasi dan lebih banyak sapi betina diinseminasi berdasarkan tanda bukan birahi, hal ini menyebabkan waktu inseminasi tidak akurat sehingga akan engalami kegagalan pembuahan (Brunner, 1984), teknik inseminasi yang tidak tepat, sapi betina yang mengalami metritis, endometritis, cervitis dan vaginitis, manajemen pakan dan sanitasi kandang yang tidak baik, kesalahan dalam memperlakukan sperma, khususnya perlakuan pada semen beku yang kurang benar, pengenceran yang kurang tepat, proses pembekuan sperma, penyimpanan dan thawing yang kurang baik, manajemen lain seperti pemelihara atau pemilik ternak hendaknya ahli dalam bidang kesehatan reproduksi

(Toelihere, 1985).

Kematian embrio menunjukkan kematian dari ovum dan embrio yang fertil sampai akhir dari implantasi yaitu 40 hari. Faktor yang mendorong kematian embrio dini adalah faktor genetik, faktor penyakit, faktor lingkungan, gangguan hormonal. Kelainan genetik yang menyebabkan kematian embrio dini pada sapi betina sering terjadi karena perkawinan inbreeding atau perkawinan sebapak atau seibu, sehingga sifat jelek yang dimiliki induk jantan maupun betina akan lebih sering muncul pada turunannya (Hardjopranjoto, 1995). Kematian embrio dini


(33)

juga dapat disebabkan oleh penyakit, selain itu juga dapat disebabkan karena adanya peradangan pada saluran alat kelamin khususnya peradangan pada uterus yang ringan juga dapat menyebabkan kematian embrio dini. Faktor kekebalan juga dapat menjadi salah satu penyebab kegagalan, dimana mekanisme

imunosupresi tidak berjalan dengan baik, maka antibodi yang terbentuk akan mengganggu perkembangan embrio di dalam uterus (Ismail, 2011).

Faktor Lingkungan yang kurang sesuai khususnya di dalam rongga tuba falopii atau uterus menghasilkan angka kematin embrio dini meningkat, menyebabkan kasus kawin berulang juga meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat adanya faktor penyakit induk, stres panas pada uterus yang disebabkan suhu lingkungan kandang yang tinggi, dan kasus hormonal seperti steroid. Ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron dapat menyebabkan terjadinya kematian embrio dini. Hormon estrogen yang berlebih kadarnya dalam darah pada awal

kebuntingan dapat menyebabkan terjadinya kontraksi dinding uterus yang berlebihah sehingga diikuti dengan kematian embrio. Kekurangan hormon progesteron akibat regresi korpus luteum pada awal kebuntingan juga dapat menyebabkan kematian embrio. Hormon progesteron berfungsi untuk memelihara pertumbuhan mukosa uterus dan kelenjar-kelenjarnya, sehingga mampu menghasilkan cairan yang menjadi sumber makanan embrio

(Hardjopranjoto, 1995).

Cara terbaik untuk meningkatkan efisiensi reproduksi adalah dengan memberikan hijauan sedikit demi sedikit namun berulang kali, khususnya pada ternak yang sedang diperah tiga atau empat kali dalam sehari. Menurut Siregar (2001),


(34)

pemberian hijauan yang dilakukan sedikit demi sedikit tetapi berulang kali, sesuai dengan kebiasaan makan sapi perah semakin banyak frekuensi hijauan yang diberikan untuk dikonsumsi, maka makanan tersebut akan terserah secara sempurna di dalam tubuh ternak guna keperluan reproduksi dan produksi sapi perah. Konsentrat pada sapi perah bertujuan untuk meningkatkan nilai pakan dan menambah energi. Tingginya pemberian pakan berenergi menyebabkan

meningkatnya konsumsi dan daya cerna dari rumput atau hijauan yang berkualitas rendah, selain itu penambahan konsentrat tertentu dapat menghasilkan asam amino essensial yang dibutuhkan sapi perah yang sangat dibutuhkan dalam proses penyerapan makanan di usus tanpa terfermentasi di rumen, mengingat fermentasi rumen membutuhkan energi lebih banyak. Selain protein yang tinggi, didalam konsentrat juga terdapat mineral, vitamin dan zat aditif yang berfungsi dalam perkembangan embrio, kekurangan nutrisi dapat menurunkan aliran darah uterus dan menyebabkan menurunan pada insulin fetus sehingga dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fetus (Toelihere, 1985).

Air berfungsi untuk mengatur suhu di dalam tubuh, membantu proses pencernaan, metabolisme, pelepasan kotoran, dan sebagai pelumas pada persendian.

Kebutuhan air bagi sapi perah tergantung berbagai faktor, yakni umur, bobot tubuh, jenis makanan, iklim, dan jumlah produksi. Sapi-sapi yang banyak menerima makanan berupa konsentrat, bertubuh gemuk, dan produksi tinggi membutuhkan air yang lebih banyak. Kebutuhan air minum untuk seekor sapi perah sebesar 3,6 — 4,0 liter/hari untuk setiap liter susu yang dihasilkan, oleh karena itu seekor sapi perah membutuhkan air minum minimal 37 — 45 liter/hari dan jumlah tersebut akan bertambah apabila kondisi suhu udara di lingkungan


(35)

peternakan diatas 28oC. Menurut Thahir, et al., (2006), pemberian air sebaiknya dilakukan secara adlibitum untuk mencukupi kebutuhan ternak sebagai pengontrol suhu tubuh dan merupakan komponen penting dalam metabolisme tubuh, oleh karena itu air minum harus bersih, segar, jernih, dan tidak mengandung mikroorganisme berbahaya yang dapat menyebabkan penyakit.

Hewan kelaparan dapat kehilangan semua glikogen, lemak, dan setengah protein tubuhnya dan 40% berat badan masih dapat tetap hidup, namun jika kehilangan 10% air dalam tubuh akan terjadi gangguan berat badan dan apabila kehilangan 20% dapat menyebabkan kematian. Pemberian air minum yang berlebih juga tidak baik karena air yang mengendap ditempat minum akan banyak ditumbuhi kapang dan mikroorganisme lain yang dapat menimbulkan penyakit. Menurut Noor, S.M. (2006), bak air minum yang jarang dibersihkan daapat menyebabkan terjadinya kontaminasi air dengan mikroorganisme penyebab penyakit, air merupakan media yang sangat mudah dicemari seperti kontaminasi bakteri

Salmonella sp. Salmonella dapat menyerang pedet dan sapi dewasa dengan gejala klinis seperti penurunan produksi susu dan diare, pada sapi perah yang sedang bunting dapat menyebabkan abortus pada fetus.

Menurut Hilman (2009), terjadinya kematian embrio dini ditandai dengan perpanjangan waktu siklus birahi setelah IB yang terakhir. pengaruh buruk dari masa laktasi terhadap perkembangan embrio diduga ada hubungannya dengan ketidakseimbangan hormonal selama laktasi, khususnya hormon progresteron terhadap kehidupan embrio dalam uterus. Produksi susu yang tinggi dapat menyebabkan embrio dalam uterus tidak mendapatkan makanan dengan cukup


(36)

untuk perkembangannya, selain itu proses involusi uteri yang belum sempurna setelah melahirkan juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kematian embrio saat laktasi, terjadinya pembuatan dapat menurunkan kemampuan embrio yang terbentuk dalam mengadakan perlekatan pada dinding uterus pada proses implantasi sehingga mudah terjadi kematian embrio.

Hasil penelitian Yuliana (2000), tingkat kejadian repeat breeder dengan kriteria sapi perah yang telah diinseminasi 3 kali atau lebih di KPBS Bandung, Jawa Barat sebesar 19,4% dengan faktor-faktor yang memengaruhi frekuensi pemberian hijauan, lama laktasi, selang beranak, distokia, bangsa sapi, birahi pertama setelah beranak, dan skor kondisi tubuh. Hasil penelitian Prihatno, et al., (2013),

besarnya repeat breeder sapi perah di daerah Yogyakarta sebesar 29,4% dengan faktor-faktor yang mempengaruhi adalah jumlah inseminasi buatan, kondisi sapi kurus, pakan, gangguan teracak dan umur ternak, selain itu terdapat beberapa faktor yang disebabkan oleh peternak yaitu lantai kandang tanah dan saluran pembuangan yang kotor.


(37)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Juni— Juli 2016, terhadap peternak, ternak, dan inseminator sapi perah pada peternakan rakyat yang terdapat di Provinsi

Lampung.

B. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan sebagai obyek dalam penelitian ini adalah 79 ekor sapi perah betina dara, laktasi, dan kering yang ada pada sapi perah peternakan rakyat yang terdapat di Provinsi Lampung.

C. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuisioner mengenai peternak, ternak, serta inseminator yang bertugas pada sapi perah peternakan rakyat di Provinsi Lampung.

D. Metode Penelitian

1. Teknik pengambilan sampel

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Data penelitian diambil dari sapi perah betina pada fase dara, laktasi dan kering yang ada di peternakan


(38)

rakyat di Provinsi Lampung. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara mengamati ternak secara langsung mengenai manajemen pemeliharaan sapi perah, kemudian melakukan wawancara pada inseminator dan peternak di Provinsi Lampung. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari recording milik inseminator dan peternak.

2. Variabel yang digunakan

Variabel dependen yangdigunakan adalah nilai repeat breeder (Y) pada sapi perah. Variabel independen yang digunakan untuk data inseminator adalah pendidikan inseminator (X1), lama menjadi inseminator (X2), tempat pelatihan (X3), Jumlah akseptor (X4), Jarak menuju akseptor (X5), Produksi straw (X6), lama thawing (X7), dan ketepatan IB (X8). Variabel independent untuk peternak dan ternak adalah alasan beternak (X9), pendidikan peternak (X10), lama beternak (X11), pernah mengikuti kursus (X12), jenis hijauan (X13), frekuensi pemberian hijauan (X14), jumlah hijauan (X15), frekuensi pemberian konsentrat (X16), jumlah konsentrat (X17), sistem pemberian air minum (X18), jumlah pemberian air (X19), letak kandang (X20), bahan atap (X21), luas kandang (X22), sanitasi kandang (X23), umur sapi (X24), skor kondisi tubuh (X25), umur pertama kali dikawinkan

(X26),gangguan reproduksi (X27), status reproduksi (X28),produksi susu (X29), lama laktasi (X30), dan laktasi ke- (X31).


(39)

3. Pelaksanaan penelitian

Berikut ini adalah langkah-langkah dalam melaksanakan penelitian, yaitu :

1. melakukan survey pendahuluan pendataan sapi perah yang digunakan sebagai bahan penelitian. Survey dilakukan pada sapi perah peternakan rakyat di Bandar Lampung, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Barat, dan Kota Metro pada Desember 2015. Sapi perah yang digunakan sebagai bahan penelitian berjumlah 79 ekor (Tabel 1);

2. mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari hasil rekording IB oleh inseminator;

3. mengumpulkan data primer yang diperoleh dengan cara pengisian kuisioner kepada peternak dan inseminator. Pengisian kuisioner dilakukan dengan cara wawancara secara langsung kepada peternak dan inseminator;

4. melakukan pengamatan mengenai manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak terhadap sapi perah betina yang ada di lokasi penelitian; 5. menghitung nilai repeat breeder dengan cara menghitung jumlah sapi perah

betina yang telah diinseminasi tiga kali atau lebih namun tidak bunting, kemudian jumlah yang diperoleh dibagi dengan jumlah seluruh sapi perah betina yang di IB, kemudian dikalikan dengan seratus persen (Astuti, 2007).


(40)

E. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis logistik regresi. Sebelum dilakukan analisis data, dilakukan pengkodean terhadap data peternak, ternak, dan inseminator. Hal ini dilakukan untuk memudahkan analisis,

setelah itu data diolah dalam program SPSS (statistics packet for social science) (Sarwono, 2006).

Variabel dengan nilai P terbesar dikeluarkan dari penyusunan model kemudian dilakukan analisis kembali sampai didapatkan model dengan nilai P < 0,10.


(41)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. repeat breeder (RB) pada sapi perah peternakan rakyat di Provinsi Lampung adalah sebesar 30,38%;

2. faktor-faktor yang memengaruhi repeat breeder pada sapi perah peternakan rakyat di Provinsi Lampung berasal dari peternak dan ternak. Faktor yang memengaruhi dari peternak dan berasosiasi negatif antara lain lama beternak dengan besar faktor 0,235, frekuensi pemberian hijauan dengan besar faktor 1,643, dan jarak peternakan menuju rumah yang berasosiasi positif dengan besar faktor 0,229 terhadap nilai RB. Faktor yang memengaruhi dari ternak adalah jumlah produksi susu yang berasosiasi positif dengan besar faktor 0,040 terhadap nilai RB.

B.Saran

Saran yang ingin disampaikan penulis dari penelitian ini adalahmemperbaiki manajemen pemeliharaan sapi perah peternak rakyat di Provinsi Lampung khususnya meningkatkan pengalaman beternak, meningkatkan frekuensi pemberian hijauan, serta memperbaiki jarak kandang dari rumah agak memudahkan pengawasan peternak terhadap sapi perah.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z., Y. S. Ondho, dan B. Sutiyono. 2012. Penampilan birahi sapi jawa berdasarkan poel 1, poel 2, poel 3. Jurnal Peternakan 1(2): 86--92 Astuti, M. 2007. Pengantar Ilmu Statistika untuk Peternakan dan Kesehatan

Hewan. Binasti. Bogor

Basyir, Arifin. 2009. Meningkatkan Efisiensi Reproduksi melalui Kelahiran Pedet Kembar. http://www.vet-indo.com Diakses 9 April 2016

Blakely, J. dan H. B. David. 1994. The Science Of Animal Husbandry. Diterjemahkan oleh Srigandono, B. dan Soedarsono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

BPS Provinsi Lampung. 2015. Lampung dalam Angka 2015. http://www.lampung.bps.go.idDiakses 9 April 2016

Brunner, M. A. 1984. Repeat Breeder. Dairy Integrated Reproductive Management. Cornell University

Hafizudin. T. N., Siregar, dan M. Akmal. 2012. Hormon dan perannya dalam dinamika folikuler pada hewan domestik. JESBIO. 1 (1) : 1705--2302 Hardjosubroto, W. dan M. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. Gramedia

Widiasarana Indonesia. Jakarta

Hardjopranjoto, H. S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya

Hawk, H. W. 1987. Transport and fate of spermatozoa after insemination of cattle. J. Dairy Sci. 70 : 1487--1503

Hilman. 2009. Kematian Embrio Dini pada Sapi.

http://www.drhilman.com/2009/08/kematian-embrio-dini-pada-sapi.html Diakses 15 September 2016


(43)

Hunter, R. H. and T. Greve. 1997. Could artificial insemination of cattle. J. Anim. 32 : 137--141

Ismail. 2011. Pengertian Manajemen dalam Peternakan Sapi Perah.

https://rismanismail2.wordpress.com/2011/10/12/pengertian-manajemen-dalam-peternakan-sapi-perah/ Diakses 15 September 2016

Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2012. Pasokan Minim Produsen Susu Tergantung Impor. http://www.kemenperin.go.id/artikel/5069 Diakses 24 April 2016

Noor, S. M. 2006. Brucellosis : Penyakit zoonosis yang belum banyak dikenal di Indonesia. Wartazoa 16 (1) : 31--39

Pammusereng. 2009. Penilaian Kondisi Tubuh Dan Pengukuran Pertumbuhan Pedet dan Dara. Koperasi Pengolahan Susu Bandung Utara. Lembang Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Jakarta

Prihatno, S. A., A. Kusumawati, N. W. K. Karja, dan B. Sumiarto. 2013.

Prevalensi dan faktor resiko kawin berulang pada sapi perah pada tingkat peternak. J. Veteriner. 14 (4): 452--461

Pulungan, I. dan R. Pambudy .1993. Peraturan dan Undang- Undang Peternakan. Produksi Media Informasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Rustamaji, B. 2004. Bangsa Bangsa Sapi Perah di Indonesia. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta

Ryushaa. 2016. Lampung. https://id.wikipedia.org/wiki/Lampung Diakses 9 April 2016

Sarwono, J. 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Penerbit Andi. Yogyakarta

Singarimbun, J. 2015. Faktor yang Memengaruhi Produksi dan Kualitas Susu. faktor-faktor-yang-memengaruhi-produksi-dan-kualitas-susu.html Diakses 15 September 2016

Siregar, B. 2001. Peningkatan kemampuan berproduksi susu sapi perah laktasi melalui perbaikan pakan dan frekuensi pemberiannya. Ilmu Terapan Indonesia 6 (2): 76--82

Soetanto, T. 2003. Manajemen Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta


(44)

Sudono, A., R. F. Rosdiana, dan B. S. Setiawan. 2005. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta

Syarief, M. Z. dan C. D. A. Sumopradtowo. 1985. Ternak Perah. CV Yasaguna. Jakarta

Thahir. R., A. Djajamegara, dan A. Hasannudin. 2006. Panduan Penerapan Inovasi Teknologi dalam Prima Tani. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor

Tuthan, F. 2014. Kebutuhan Susu Indonesia. Konferensi Pers. Kantor Kementerian Pertanian Jakarta Selatan. Jakarta

Toelihere, M.R. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak dan Kerbau. Universitas Indonesia Press. Jakarta

. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak Perah. Angkasa. Bandung Utomo dan D.P. Miranti. 2010. Tampilan Produksi Susu Sapi Perah Yang

Mendapat Perbaikan Manajeman Pemeliharaan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Tengah

Yuliana. 2000. Faktor-faktor yang Memengaruhi Repeat Breeder Sapi Perah di Koperasi Peternakan Bandung Selatan Pengalengan Bandung Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung


(1)

3. Pelaksanaan penelitian

Berikut ini adalah langkah-langkah dalam melaksanakan penelitian, yaitu :

1. melakukan survey pendahuluan pendataan sapi perah yang digunakan sebagai bahan penelitian. Survey dilakukan pada sapi perah peternakan rakyat di Bandar Lampung, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Barat, dan Kota Metro pada Desember 2015. Sapi perah yang digunakan sebagai bahan penelitian berjumlah 79 ekor (Tabel 1);

2. mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari hasil rekording IB oleh inseminator;

3. mengumpulkan data primer yang diperoleh dengan cara pengisian kuisioner kepada peternak dan inseminator. Pengisian kuisioner dilakukan dengan cara wawancara secara langsung kepada peternak dan inseminator;

4. melakukan pengamatan mengenai manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak terhadap sapi perah betina yang ada di lokasi penelitian; 5. menghitung nilai repeat breeder dengan cara menghitung jumlah sapi perah

betina yang telah diinseminasi tiga kali atau lebih namun tidak bunting, kemudian jumlah yang diperoleh dibagi dengan jumlah seluruh sapi perah betina yang di IB, kemudian dikalikan dengan seratus persen (Astuti, 2007).


(2)

E. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis logistik regresi. Sebelum dilakukan analisis data, dilakukan pengkodean terhadap data peternak, ternak, dan inseminator. Hal ini dilakukan untuk memudahkan analisis,

setelah itu data diolah dalam program SPSS (statistics packet for social science) (Sarwono, 2006).

Variabel dengan nilai P terbesar dikeluarkan dari penyusunan model kemudian dilakukan analisis kembali sampai didapatkan model dengan nilai P < 0,10.


(3)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. repeat breeder (RB) pada sapi perah peternakan rakyat di Provinsi Lampung adalah sebesar 30,38%;

2. faktor-faktor yang memengaruhi repeat breeder pada sapi perah peternakan rakyat di Provinsi Lampung berasal dari peternak dan ternak. Faktor yang memengaruhi dari peternak dan berasosiasi negatif antara lain lama beternak dengan besar faktor 0,235, frekuensi pemberian hijauan dengan besar faktor 1,643, dan jarak peternakan menuju rumah yang berasosiasi positif dengan besar faktor 0,229 terhadap nilai RB. Faktor yang memengaruhi dari ternak adalah jumlah produksi susu yang berasosiasi positif dengan besar faktor 0,040 terhadap nilai RB.

B.Saran

Saran yang ingin disampaikan penulis dari penelitian ini adalahmemperbaiki manajemen pemeliharaan sapi perah peternak rakyat di Provinsi Lampung khususnya meningkatkan pengalaman beternak, meningkatkan frekuensi pemberian hijauan, serta memperbaiki jarak kandang dari rumah agak memudahkan pengawasan peternak terhadap sapi perah.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z., Y. S. Ondho, dan B. Sutiyono. 2012. Penampilan birahi sapi jawa berdasarkan poel 1, poel 2, poel 3. Jurnal Peternakan 1(2): 86--92 Astuti, M. 2007. Pengantar Ilmu Statistika untuk Peternakan dan Kesehatan

Hewan. Binasti. Bogor

Basyir, Arifin. 2009. Meningkatkan Efisiensi Reproduksi melalui Kelahiran Pedet Kembar. http://www.vet-indo.com Diakses 9 April 2016

Blakely, J. dan H. B. David. 1994. The Science Of Animal Husbandry. Diterjemahkan oleh Srigandono, B. dan Soedarsono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

BPS Provinsi Lampung. 2015. Lampung dalam Angka 2015. http://www.lampung.bps.go.id Diakses 9 April 2016

Brunner, M. A. 1984. Repeat Breeder. Dairy Integrated Reproductive Management. Cornell University

Hafizudin. T. N., Siregar, dan M. Akmal. 2012. Hormon dan perannya dalam dinamika folikuler pada hewan domestik. JESBIO. 1 (1) : 1705--2302 Hardjosubroto, W. dan M. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. Gramedia

Widiasarana Indonesia. Jakarta

Hardjopranjoto, H. S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya

Hawk, H. W. 1987. Transport and fate of spermatozoa after insemination of cattle. J. Dairy Sci. 70 : 1487--1503

Hilman. 2009. Kematian Embrio Dini pada Sapi.

http://www.drhilman.com/2009/08/kematian-embrio-dini-pada-sapi.html Diakses 15 September 2016


(5)

Hunter, R. H. and T. Greve. 1997. Could artificial insemination of cattle. J. Anim. 32 : 137--141

Ismail. 2011. Pengertian Manajemen dalam Peternakan Sapi Perah.

https://rismanismail2.wordpress.com/2011/10/12/pengertian-manajemen-dalam-peternakan-sapi-perah/ Diakses 15 September 2016

Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2012. Pasokan Minim Produsen Susu Tergantung Impor. http://www.kemenperin.go.id/artikel/5069 Diakses 24 April 2016

Noor, S. M. 2006. Brucellosis : Penyakit zoonosis yang belum banyak dikenal di Indonesia. Wartazoa 16 (1) : 31--39

Pammusereng. 2009. Penilaian Kondisi Tubuh Dan Pengukuran Pertumbuhan Pedet dan Dara. Koperasi Pengolahan Susu Bandung Utara. Lembang Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Jakarta

Prihatno, S. A., A. Kusumawati, N. W. K. Karja, dan B. Sumiarto. 2013.

Prevalensi dan faktor resiko kawin berulang pada sapi perah pada tingkat peternak. J. Veteriner. 14 (4): 452--461

Pulungan, I. dan R. Pambudy .1993. Peraturan dan Undang- Undang Peternakan. Produksi Media Informasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Rustamaji, B. 2004. Bangsa Bangsa Sapi Perah di Indonesia. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta

Ryushaa. 2016. Lampung. https://id.wikipedia.org/wiki/Lampung Diakses 9 April 2016

Sarwono, J. 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Penerbit Andi. Yogyakarta

Singarimbun, J. 2015. Faktor yang Memengaruhi Produksi dan Kualitas Susu. faktor-faktor-yang-memengaruhi-produksi-dan-kualitas-susu.html Diakses 15 September 2016

Siregar, B. 2001. Peningkatan kemampuan berproduksi susu sapi perah laktasi melalui perbaikan pakan dan frekuensi pemberiannya. Ilmu Terapan Indonesia 6 (2): 76--82

Soetanto, T. 2003. Manajemen Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta


(6)

Sudono, A., R. F. Rosdiana, dan B. S. Setiawan. 2005. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta

Syarief, M. Z. dan C. D. A. Sumopradtowo. 1985. Ternak Perah. CV Yasaguna. Jakarta

Thahir. R., A. Djajamegara, dan A. Hasannudin. 2006. Panduan Penerapan Inovasi Teknologi dalam Prima Tani. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor

Tuthan, F. 2014. Kebutuhan Susu Indonesia. Konferensi Pers. Kantor Kementerian Pertanian Jakarta Selatan. Jakarta

Toelihere, M.R. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak dan Kerbau. Universitas Indonesia Press. Jakarta

. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak Perah. Angkasa. Bandung Utomo dan D.P. Miranti. 2010. Tampilan Produksi Susu Sapi Perah Yang

Mendapat Perbaikan Manajeman Pemeliharaan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Tengah

Yuliana. 2000. Faktor-faktor yang Memengaruhi Repeat Breeder Sapi Perah di Koperasi Peternakan Bandung Selatan Pengalengan Bandung Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung