Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR
DAGING SAPI DI INDONESIA

GRADISNY QALIFFA MARAYA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang
Memengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013
Gradisny Qaliffa Maraya
NIM H14090109

ABSTRAK
GRADISNY QALIFFA MARAYA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor
Daging Sapi di Indonesia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI.
Pesatnya laju peningkatan penduduk serta perubahan selera konsumen
menyebabkan perubahan pola konsumsi kearah protein hewani, termasuk daging
sapi. Laju produksi daging sapi di Indonesia saat ini tidak dapat mengimbangi
permintaan daging sapi, sehingga dilakukan impor. Hal ini ditunjukkan dengan
laju peningkatan impor daging sapi yang semakin tinggi. Kondisi demikian perlu
langkah proteksi untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap negaranegara pengekspor daging sapi. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi impor daging sapi di Indonesia dengan
menggunakan data sekunder tahun 2000 hingga tahun 2011 berupa panel data
dengan model estimasi terbaik yaitu model efek tetap (fixed effect model).
Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang berpengaruh terhadap impor daging sapi
di Indonesia yaitu GDP riil per kapita negara asal impor, GDP riil per kapita
Indonesia, nilai tukar riil, harga riil daging sapi internasional dan harga riil daging
sapi di Indonesia, sedangkan produksi daging sapi di Indonesia dan produksi

daging sapi di negara asal impor tidak mempengaruhi impor daging sapi di
Indonesia.
Kata kunci: Daging sapi, GDP, harga, impor, panel data.

ABSTRACT
GRADISNY QALIFFA MARAYA. Factors Affecting Imports of Beef in
Indonesia. Supervised by RINA OKTAVIANI.
The rapid increase in population and changes in consumer preference
cause the changes in consumption patterns towards animal protein, including beef.
Beef production rate in Indonesia can not fulfill the demand rate, therefore import
is necessary. This is indicated by the increase of beef imports. In this condition,
barriers of trade is needed to reduce Indonesia’s dependency from beef exporter
countries. The objectives of this research is to analyze the factors that affect beef
imports in Indonesia by using secondary data from 2000 to 2011 in the form of
panel data with a model that best estimated with fixed effect model. Based on the
estimation, the variables that affect the beef imports in Indonesia are real GDP per
capita of exporter countries, Indonesia’s real GDP per capita, real exchange rate,
international real beef price and Indonesia real beef price, while beef production
in Indonesia and exporter countries did not affect the import of beef in Indonesia.
Keywords: Beef, GDP, prices, imports, panel data.


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR
DAGING SAPI DI INDONESIA

GRADISNY QALIFFA MARAYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia
Nama

: Gradisny Qaliffa Maraya
NIM
: H14090109

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah

impor daging sapi, dengan judul Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging
Sapi di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS selaku
pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, masukan dan motivasi
yang baik. Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc, selaku dosen penguji utama yang
telah memberikan saran dan kritik demi perbaikan penulisan skripsi ini dan Dewi
Ulfah Wardani, MSi, selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah
memberikan masukan demi perbaikan penulisan skripsi ini. Selain itu ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua penulis yang selalu
mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis, teman-teman terbaik
penulis, Bella Herwanda, Marsha Dewi Putri, Tiara Natalia, Achmad Rivano,
Febriana Rangkuti dan Charra Rosemarry atas persahabatan, doa, semangat dan
motivasi selama kuliah di Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa penulis ucapkan
terimakasih kepada teman satu bimbingan, Nyimas Tyah Nadhilah, Marsela Dwi
Tamisari dan Indah Rizki Anugrah yang selalu mendukung dan berjuang bersama
penulis, teman-teman Ilmu Ekonomi 46, serta pihak-pihak lain yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013

Gradisny Qaliffa Maraya

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

5

Ruang Lingkup Penelitian

5

Hipotesis


6

TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori

6
6

Penelitian Terdahulu

11

Kerangka Pemikiran

13

METODE

15


Jenis dan Sumber Data

15

Metode Analisis dan Pengolahan Data

15

Model Penelitian

18

Pengujian Model

18

HASIL DAN PEMBAHASAN

20


Gambaran Umum

20

Kondisi dan Kecenderungan Impor Daging Sapi di Indonesia

25

Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi

28

SIMPULAN DAN SARAN

31

Simpulan

31


Saran

31

DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

43

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Konsumsi produk peternakan per kapita tahun 2007-2011
Produksi produk peternakan tahun 2007-2011 (000 ton)
Ekspor dan impor daging sapi tahun 2009-2011
GDP riil per kapita Indonesia dan negara asal impor tahun 2000-2011
Nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara asal impor tahun 2000Harga daging sapi di Indonesia dan internasional tahun 2000-2011
Produksi daging nasional non unggas tahun 2000-2011
Produksi daging sapi di negara asal impor tahun 2000-2011
Volume impor daging sapi (HS0202) ke Indonesia tahun 2000-2011
Hasil pendugaan parameter faktor-faktor yang memengaruhi impor
daging sapi Indonesia periode tahun 2000-2011
11 Hasil uji normalitas

1
2
3
20
21
22
23
23
24
28
29

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Kurva permintaan
Kurva penawaran
Kurva perdagangan internasional
Kerangka pemikiran
Nilai impor daging sapi (HS0202) Indonesia tahun 2000-2011
Volume impor daging sapi (HS0202) Indonesia tahun 2000 -2011
Volume impor daging sapi (HS0202) Indonesia berdasarkan negara asal
impor tahun 2000-2011

8
9
11
14
26
27
27

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

PLS
LSDV
Uji chow
Uji normalitas
Uji homoskedastisitas
Uji multikolinearitas
Variabel-variabel dalam model faktor-faktor yang memengaruhi impor
daging sapi di Indonesia

34
35
36
37
38
39
40

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir ini permintaan akan pangan hewani di
Indonesia cenderung meningkat, seiring dengan perkembangan ekonomi,
perbaikan tingkat pendidikan, dan perubahan gaya hidup yang terjadi dalam
masyarakat yang disebabkan arus urbanisasi dan globalisasi. Semakin
meningkatnya populasi penduduk dan perbaikan taraf hidup masyarakat Indonesia
tentu akan mendorong perubahan kebutuhan pangan, dan konsumsi menu
makanan rumah tangga secara bertahap akan mengalami perubahan kearah
konsumsi protein hewani (termasuk produk peternakan). Komoditas seperti
daging, telur dan susu merupakan komoditas pangan yang berprotein tinggi dan
memiliki harga yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan komoditas pangan
lainnya. Hal tersebut menyebabkan tingginya volume impor bakalan sapi hidup
maupun daging sapi di Indonesia, karena harga daging sapi impor cenderung lebih
murah. Selama ini kebutuhan daging sapi di Indonesia diperoleh dari tiga sumber,
yaitu sapi lokal, sapi impor, dan daging impor.
Tabel 1 Konsumsi produk peternakan per kapita tahun 2007-2011
Kelompok bahan makanan

2007

2008

2009

2010

2011

Daging sapi (kg)
Telur (kg)
Susu (liter)

0.42
6.20
0.21

0.36
2.87
0.21

0.31
5.91
0.10

0.36
6.80
0.10

0.47
6.62
0.15

Sumber: Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011).

Berdasarkan Tabel 1, rata-rata konsumsi daging sapi per kapita di Indonesia
dari tahun 2007-2011 sebesar 0.38 kg/kapita/tahun. Konsumsi daging sapi per
kapita bangsa Indonesia saat ini mencapai rata-rata 1.87 kg. Angka ini termasuk
rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara seperti di
Malaysia rata-rata 46.87 kg/kapita/tahun, sementara di Filipina sebesar 24.96
kg/kapita/tahun. Konsumsi yang rendah itu pun, Indonesia memerlukan
setidaknya 448 000 ton daging sapi per tahun. Dari jumlah tersebut, baru sekitar
85% yang dapat dipenuhi oleh produksi daging sapi dalam negeri dan sisanya
masih berasal dari impor negara lain. Pemenuhan konsumsi masyarakat untuk
pangan hasil ternak dapat ditunjukkan dari hasil produksi ternak yaitu daging,
telur dan susu yang meningkat sejak tahun 2007-2011 seperti disajikan dalam
Tabel 2 berikut.

2
Tabel 2 Produksi produk peternakan tahun 2007-2011 (000 ton)
Jenis Produk
Daging sapi
Telur
Susu

Tahun (Ton)
2007

2008

2009

2010

2011

339.5

392.5

409.3

436.5

485.3

1 382.1
567.7

1 323.6
647.0

1 306.9
827.2

1 366.2
909.5

1 456.3
974.7

Sumber: Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012).

Pada tahun 2011 total produksi daging sebanyak 2 554.20 ribu ton yang
terdiri dari daging sapi dan kerbau, kambing dan domba, babi, ayam buras, ayam
ras pedaging, ayam ras petelur dan ternak lainnya (Statistik peternakan 2012). Bila
dibandingkan tahun sebelumnya (2010) produksi daging sapi mengalami
peningkatan dari 436.5 ribu ton menjadi 485.3 ribu ton. Tingginya protein dalam
daging sapi membuat konsumen meningkatkan konsumsi mereka terhadap daging
sapi, sehingga produksi juga meningkat.
Kebutuhan daging dunia terus meningkat setiap tahunnya walaupun angka
konsumsi daging di beberapa negara maju mengalami penurunan. Padahal angka
konsumsi daging negara maju sekarang ini jauh di atas konsumsi daging negara
berkembang. Namun,seiring dengan perkembangan perekonomian negara
berkembang, kebutuhan daging pun semakin meningkat. Dengan keadaan ini
sangat besar peluang negara produsen untuk memasok daging ke negara-negara
berkembang. Kemampuan Indonesia memproduksi daging hanya sebesar 1.1 juta
ton setiap tahunnya. Dengan kemampuan ini sebenarnya Indonesia sudah
memiliki modal untuk mengekspor daging ke luar negeri. Akan tetapi, sebagian
besar produksi daging ini hanya dikonsumsi dalam negeri. Umumnya daging yang
dihasilkan kurang bermutu kendatipun ada juga perusahaan besar yang sudah
mampu mengekspor daging (Nazaruddin 1993).
Perbedaan harga merupakan salah satu penyebab terjadinya perdagangan
antar negara (lokasi), dimana suatu produk cenderung bergerak dari daerah
surplus ke daerah defisit, sampai perbedaan harga mendekati biaya transfer
(Purcell, 1979; Tomek and Robinson, 1990 dalam Ilham 2001). Indonesia
merupakan negara net importer daging sapi. Permintaan impor daging sapi
merupakan kekurangan produksi tersebut atas konsumsi dalam negeri. Disamping
itu, paritas harga yang tinggi antara harga domestik dengan harga impor, juga
merupakan faktor pendorong terjadinya kegiatan impor. Perbedaan harga tersebut
dapat disebabkan oleh perbedaan penawaran dan permintaan pada sentra produsen
dan sentra konsumen, dapat juga disebabkan oleh perubahan nilai tukar mata uang
negara eksportir dan importir. Kualitas komoditas yang diperdagangkan juga
menyebabkanperbedaan harga tersebut (Ilham 2001).
Berdasarkan Tabel 3 neraca perdagangan daging sapi di Indonesia
mengalami defisit yang tinggi. Perbedaan yang sangat besar ditunjukkan dari
volume dan nilai ekspor daging sapi. Pada tahun 2010 impor daging sapi
dilakukan secara besar-besaran, hal ini dapat dilihat dari nilai dan volume ekspor
daging sapi yang berbanding sangat timpang dengan volume dan nilai impor.
Volume impor dari tahun 2009 ke tahun 2010 meningkat sebesar 23 115 605 kg,
sementara dari tahun 2010 ke tahun 2011 volume impor menurun drastis sebesar

3
49 671 209 kg. Hal ini disebabkan karena kebijakan penetapan aturan non-tarif
komoditas peternakan impor, yaitu pengurangan pembatasan kuota impor daging
sapi sesuai dengan RENSTRA KEMENTAN 2010-2014.
Tabel 3 Ekspor dan impor daging sapi tahun 2009-2011
Tahun
2009
2010
2011
Total

Ekspor
Volume (kg) Nilai (USD)
5 861
20 712
4
14
296
3 196
6 161
23 922

Impor
Volume (kg) Nilai (USD)
67 390 133 188 187 318
90 505 738 289 506 475
65 022 487 234 265 843
222 918 358 711 959 636

Sumber: Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012).

Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014) merupakan
salah satu program prioritas pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan asal
ternak berbasis sumberdaya lokal. Pencapaian swasembada daging sapi
merupakan tantangan yang tidak ringan, karena pada tahun 2009 impor daging
mencapai 70 ribu ton dan sapi bakalan setara dengan 250.8 ribu ton daging
(Ditjenak 2010). Angka ini kira-kira meliputi 30% dari kebutuhan daging nasional.
Bahkan ada kecenderungan volume impor terus meningkat menjadi sekitar 720
ribu ekor sapi pada tahun-tahun mendatang. Hal ini dapat menyebabkan
kemandirian dan kedaulatan pangan hewani, khususnya daging sapi, semakin jauh
dari harapan dan menyebabkan Indonesia masuk dalam perangkap pangan negara
eksportir (Strategi dan Kebijakan Dalam Percepatan Pencapaian PSDS 2014
2010).
Impor daging dan sapi bakalan yang pada awalnya bertujuan untuk
mendukung dan mencukupi kebutuhan daging sapi malah terus meningkat dan
menganggu usaha agribisnis sapi potong lokal. Harga daging, jeroan dan sapi
bakalan impor relatif lebih murah karena manajemen budidaya dan pengelolaan
sumber daya produksi sapi di negara pengekspor sangat efisien dibandingkan
dengan Indonesia. Kegiatan agroindustri sapi potong skala besar semakin bergeser
dari kegiatan feedloting menjadi kegiatan yang lebih ke hilir, yaitu impor sapi siap
potong dan menjurus pada perdagangan daging. Hal ini dapat merugikan
perekonomian negara dan masyarakat, mengingat kegiatan impor bakalan dan
daging yang begitu pesat sehingga mengurangi insentif masyarakat untuk
membudidayakan sapi potong dalam negeri. Kebutuhan daging yang meningkat
menyebabkan pemotongan terhadap sapi betina lokal produktif juga meningkat
mencapai 200 ribu ekor per tahun. Hal ini menyebabkan stok bibit nasional
semakin berkurang dan menghambat pertambahan populasi sapi lokal.
Strategi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam
melaksanakan pembangunan peternakan dan kesehatan hewan tahun 2010-2014
diarahkan untuk mencapai tujuan dan sasaran dalam pembangunan peternakan
sesuai dengan target empat sukses Kementrian Pertanian, yaitu Pencapaian
Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan. Dalam mencapai target tersebut,
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengacu pada kesepakatan
General Agreement on Tarif and Trade (GATT) yang diwadahi oleh WTO,
dengan salah satu kesepakatannya memuat agreement on agriculture, termasuk

4
didalamnya terkait perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical
Barrier to Trade (TBT) seperti yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 2004. Prinsip
perjanjian tersebut pada intinya adalah bahwa produk dan jasa yang dihasilkan
dari kegiatan sub sector peternakan dan kesehatan hewan harus memenuhi
persyaratan keamanan (safety), standard mutu (quality), kesejahteraan hewan
(animal walfare), ramah lingkungan dan berkelanjutan (Renstra Ditjen PKH
2010-2014).
Berdasarkan gambaran kondisi produksi, konsumsi, dan impor daging sapi
di Indonesia, maka diperlukan suatu kajian atau penelitian yang membahas
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi impor daging sapi di Indonesia
sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang berperan penting dalam impor daging
sapi sekaligus menganalisis tindakan yang seharusnya dilakukan untuk
meningkatkan produksi domestik dan mengurangi impor daging sapi ke Indonesia.

Perumusan Masalah
Daging sapi yang bersifat demand driven tersebut, masih bermasalah dalam
pemenuhannya. Kesenjangan antara kebutuhan konsumsi dengan produksi daging
sapi lokal terjadi tiap tahun, yang diduga karena adanya peningkatan jumlah
masyarakat yang berpendapatan menengah ke atas. Peningkatan jumlah tersebut
tercermin dari peningkatan konsumsi daging sapi dari sebesar 1.95 kg per kapita
pada tahun 2007 menjadi 2 kg per kapita pada tahun 2008 dan meningkat menjadi
2.24 kg per kapita pada tahun 2009. Peningkatan konsumsi ini berdampak pada
meningkatnya kebutuhan daging sapi dan jeroan dari 455 755 ton pada tahun 2008
menjadi 516 603 ton pada tahun 2009 (BPS dan Statistik Peternakan 2009).
Kebutuhan daging tersebut setara dengan jumlah sapi sebanyak 2.432 juta ekor
sapi pada tahun 2008 dan 2.746 juta ekor sapi pada tahun 2009. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, maka impor daging sapi dan jeroan juga meningkat menjadi
sebesar 110 246 ton serta untuk sapi bakalan sebanyak 768 133 ekor pada tahun
2009. Hal ini karena sapi lokal hanya dapat mensuplai kebutuhan daging sebesar
49% dari kebutuhan daging nasional pada tahun 2009 (BPS dan Statistik
Peternakan 2009).
Kebijakan izin impor sapi bakalan dan daging sapi yang dikeluarkan
pemerintah tahun 1980an semula untuk menyediakan daging murah, sehingga
konsumsi daging masyarakat meningkat. Namun, pada saat ini proporsi daging
sapi impor telah mencapai 30% dari kebutuhan daging sapi nasional, sehingga
mengkhawatirkan bagi kedaulatan dan ketahanan pangan.
Swasembada daging yang dilakukan pemerintah merupakan upaya yang
sangat relevan untuk ketahanan pangan, dengan mengurangi ketergantungan
impor sampai pada batas 10% dari kebutuhan. Impor daging yang selama ini
dilakukan tidak lain untuk mengisi excess demand agar konsumsi daging sapi
dapat dipenuhi. Oleh karena itu perlu ada target produksi dari sisi penawaran dan
target konsumsi dari sisi permintaan yang seimbang, agar swasembada daging
sapi bisa terwujud.
Setiap negara tentu menginginkan profil neraca perdagangannya surplus,
demikian pula untuk sektor pertanian dan peternakan dengan tujuan selain dapat
memenuhi kebutuhan domestik (ketahanan pangan) yang semakin meningkat

5
seiring dengan pertambahan populasi juga dapat memberikan kesempatan yang
luas bagi produsen domestik untuk meningkatkan produksinya. Namun upaya
untuk mewujudkannya tidak mudah, karena input produksi sebagian besar masih
tergantung pada pasokan impor. Untuk itu penelitan ini dimaksudkan untuk
memberikan solusi yang tepat dalam mengatasi ketergantungan Indonesia
terhadap negara-negara pengekspor daging sapi.
Berdasarkan uraian tersebut maka perumusan masalah yang dapat dikaji dan
dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kondisi dan kecenderungan impor daging sapi di Indonesia?
2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi impor daging sapi di Indonesia?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang dijelaskan, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan kondisi dan kecenderungan impor daging sapi di Indonesia .
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi di
Indonesia.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat tidak hanya
bagi penulis tetapi juga bagi pemerintah Indonesia dan instansi yang terkait dalam
melakukan impor, khususnya komoditas yang dijelaskan dalam penelitian ini.
Manfaat yang diharapkan antara lain:
1. Sebagai tambahan informasi, masukan dan bahan pertimbangan bagi
pemerintah dalam menyusun kebijakan yang terkait dengan kegiatan impor
daging sapi agara mengurangi ketergantungan impor daging sapi.
2. Bagi peneliti-peneliti lainnya diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan
pertimbangan atau perbandingan dalam penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji masalah terhadap faktor-faktor yang memengaruhi
volume impor daging sapi di Indonesia. Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data gabungan time series dan cross section atau panel data.
Tahun pengamatan sebanyak 12 tahun, mulai dari tahun 2000 hingga 2011.
Komoditas daging sapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi
dengan kode HS empat digit, yaitu HS 0202 atau daging sapi beku. Adapun
variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi harga riil daging sapi
internasional, harga riil daging sapi di Indonesia, Produk Domestik Bruto (GDP)
riil per kapita Indonesia dan GDP riil per kapita negara asal impor, nilai tukar riil
Rupiah terhadap mata uang negara asal impor serta produksi daging sapi domestik
dan produksi daging sapi negara asal impor. Dikarenakan ketersediaan data, maka
negara yang diamati dalam penelitian ini adalah sebanyak lima negara yaitu
Australia, New Zealand, USA, Singapura dan Jepang.

6
Hipotesis
Dalam penelitian ini, hipotesis sementara yang digunakan dalam
menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi adalah:
1. GDP riil per kapita Indonesia mempunyai hubungan yang positif terhadap
volume impor daging sapi di Indonesia. Apabila GDP per kapita meningkat
maka akan meningkatkan tingkat pendapatan sehingga daya beli masyarakat
meningkat, oleh karena itu permintaan daging sapi akan meningkat pula
dengan asumsi daging sapi adalah barang normal.
2. GDP riil per kapita negara asal impor mempunyai hubungan yang negatif
terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Semakin tinggi GDP per
kapita negara asal impor maka akan menurunkan volume ekspornya ke
Indonesia karena permintaan daging sapi di negara tersebut akan meningkat,
dengan asumsi daging sapi adalah barang normal.
3. Faktor nilai tukar (Official Exchange Rate) Rupiah terhadap mata uang negara
asal impor mempunyai hubungan yang positif terhadap volume impor daging
sapi di Indonesia. Apresiasi Rupiah terhadap nilai mata uang negara asal
impor menyebabkan harga daging sapi di negara asal impor menjadi rendah,
sehingga dengan menguatnya nilai Rupiah maka volume impor daging sapi
akan meningkat.
4. Faktor harga daging sapi Indonesia mempunyai hubungan yang positif
terhadap volume impor daging sapi. Kenaikan harga daging sapi domestik
akan menurunkan permintaan daging sapi domestik sehingga menyebabkan
peningkatan impor daging sapi karena harga daging sapi impor cenderung
lebih murah.
5. Faktor harga daging sapi internasional mempunyai hubungan yang negatif
terhadap volume impor daging sapi. Kenaikan harga internasional akan
menyebabkan penurunan volume impor daging sapi.
6. Produksi daging sapi Indonesia mempunyai hubungan yang negatif terhadap
volume impor daging sapi Indonesia. Semakin tinggi produksi daging sapi
domestik maka kebutuhan daging sapi domestik akan terpenuhi sehingga
volume impor daging sapi akan berkurang.
7. Produksi daging sapi di negara asal impor mempunyai hubungan yang positif
terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Semakin tinggi produksi
daging sapi di negara asal impor maka insentif negara tersebut untuk
mengekspor daging sapi akan meningkat sehingga volume impor daging sapi
di Indonesia akan bertambah.

TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
Permintaan adalah jumlah barang yang sanggup dibeli oleh para pembeli
pada tempat dan waktu tertentu dengan harga yang berlaku pada saat itu. Adapun
menurut Lipsey (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan adalah:

7
1. Harga barang yang bersangkutan
Keadaan harga suatu barang mempengaruhi jumlah permintaan terhadap
barang tersebut. Bila harga naik maka permintaan akan barang tersebut akan
turun. Sebaliknya, bila harga turun maka permintaan akan barang tersebut
akan naik. Hubungan harga dengan permintaan adalah hubungan yang negatif
dengan catatan faktor lain yang mempengaruhi jumlah permintaan dianggap
tetap.
2. Harga barang lain
Terjadinya perubahan harga pada suatu barang akan berpengaruh pada
permintaan barang lain. Keadaan ini bisa terjadi bila kedua barang tersebut
mempunyai hubungan, apakah saling menggantikan (substitusi) atau saling
melengkapi (komplemen). Bila tidak berhubungan, maka tidak akan saling
berpengaruh.
3. Selera
Selera merupakan variabel yang mempengaruhi besar kecilnya permintaan.
Selera dan pilihan konsumen terhadap suatu barang bukan saja dipengaruhi
oleh struktur umur konsumen, tetapi juga karena faktor adat dan kebiasaan
setempat, tingkat pendidikan, atau lainnya.
4. Jumlah penduduk
Semakin banyak jumlah penduduk makin besar pula barang yang dikonsumsi
dan semakin besar pula jumlah permintaan akan barang tersebut.
5. Tingkat pendapatan
Perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi banyaknya barang yang
dikonsumsi. Secara teoritis, peningkatan pendapatan akan meningkatkan
konsumsi.
6. Rata-rata pendapatan rumah tangga
Jika rumah tangga menerima rata-rata pendapatan yang lebih besar, maka
mereka akan membeli lebih banyak suatu komoditi, walaupun harga komoditi
itu tetap sama. Kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga akan menggeser
kurva permintaan kekanan yang menunjukkan peningkatan permintaan
komoditi tersebut pada setiap tingkat harga yang mungkin.
Hubungan antara harga dengan jumlah barang yang akan dibeli adalah
negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ketika produsen meningkatkan harga barang,
maka yang terjadi pada jumlah barang yang akan dibeli akan berkurang.
Kemudian ketika harga barang menurun, konsumen akan bersedia membeli lebih
banyak sehingga jumlah barang yang diminta akan meningkat. Kurva permintaan
menyajikan hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan harga, dengan
asumsi faktor lain adalah sama (Gambar 1).

8
HargaBarang
P2
P1
D
JumlahBarang
Sumber: Lipsey (1995).

Q2

Q1

Gambar 1 Kurva permintaan
Menurut Nicholson (2002), penawaran adalah jumlah suatu barang atau jasa
yang rela dan mampu dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan
kondisi tertentu. Jumlah produksi yang ditawarkan di pasaran berasal dari
produksi pada waktu tertentu dan persediaan (inventory) dari periode-periode
sebelumnya. Perubahan pada penawaran dapat terjadi karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain :
1. Harga komoditi itu sendiri
Harga komoditi itu sendiri mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah
yang ditawarkan, ceteris paribus. Semakin tinggi harga suatu komoditi, maka
semakin banyak jumlah komoditi yang akan ditawarkan oleh produsen.
Sebaliknya, semakin rendah rendah harga suatu komoditi maka semakin
sedikit jumlah komoditi yang ditawarkan oleh produsen.
2. Harga komoditi lain
Berbagai komoditi dapat disubstitusi atau saling komplemen dalam produksi
maupun dalam konsumsi. Jika harga komoditi substitusi meningkat, maka
penawaran komoditi yang bersangkutan akan menurun. Sebaliknya, penurunan
harga komoditi substitusi akan meningkatkan penawaran komoditi yang
bersangkutan. Sementara untuk barang komplementer, kenaikan harga
komoditi tersebut akan menyebabkan peningkatan penawaran komoditi yang
bersangkutan. Demikian juga sebaliknya, penurunan harga barang
komplementer akan menyebabkan turunnya penawaran komoditi yang
bersangkutan.
3. Teknologi
Bila terjadi perubahan atau peningkatan pada teknologi dalam proses produksi
maka akan terjadi perubahan pada produksi yang cenderung meningkat. Bila
produksi meningkat karena perubahan teknologi berarti penawaran pun akan
meningkat.
4. Harga input (faktor-faktor produksi)
Apabila harga faktor produksi turun, maka produsen akan menambah
penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan meningkat. Jika harga
faktor produksi meningkat, maka produsen akan cenderung mengurangi
penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan menurun. Turunnya hasil
produksi akan menurunkan penawaran.

9
5. Jumlah produsen
Jika jumlah produsen bertambah, maka produksi yang ditawarkan akan
meningkat.
6. Tujuan perusahaan
Dalam teori ekonomi, perusahaan diasumsikan bertujuan untuk mencapai laba
yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, terdapat juga perusahaan yang tidak
berorientasi kepada maksimisasi laba sehingga perusahaan tersebut dapat
meningkatkan
ataupun
menurunkan
produksinya
tanpa
terlalu
memperhitungkan laba atau rugi yang akan diperoleh perusahaan.
7. Pajak dan subsidi
Adanya pajak seperti pajak penjualan atau pajak penghasilan akan
mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif
untuk berproduksi. Dengan demikian, penawaran komoditi tersebut akan
berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi
dan meningkatkan keuntungan sehingga penawaran komoditi tersebut akan
meningkat.
Harga Barang
S
P2
P1

Sumber: Nicholson (2002).

Q1

Q2

Jumlah Barang

Gambar 2 Kurva penawaran
Harga dibentuk oleh pasar yang mempunyai dua sisi, yaitu penawaran dan
permintaan. Harga merupakan sinyal kelangkaan (scarcity) suatu sumberdaya
yang mengarahkan pelaku ekonomi untuk mengalokasikan sumber dayanya.
Perpotongan kurva permintaan dan penawaran suatu komoditi menentukan harga
pasar komoditi tersebut, dimana jumlah komoditi yang diminta sama dengan
jumlah komoditi yang ditawarkan. Dengan kata lain, keseimbangan harga pasar
merupakan hasil interaksi kekuatan penawaran dan permintaan komoditi di pasar
(Nicholson 2002).
Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai: (1) pemberi
informasi tentang jumlah komoditi yang sebaiknya dipasok oleh produsen untuk
memperoleh laba maksimum; (2) penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang
menginginkan kepuasan maksimum (Nicholson 2002).
Permintaan mempengaruhi harga secara positif, dimana jika permintaan
turun maka kuantitas komoditi yang ada di pasar cenderung berlebihan sehingga
produsen akan menawarkan komoditinya dengan harga yang lebih rendah.
Sedangkan penawaran mempengaruhi harga secara negatif, dimana jika
penawaran meningkat maka harga akan cenderung turun dikarenakan kuantitas

10
komoditi yang ada lebih besar daripada yang diinginkan konsumen (Nicholson
2002).
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan
bersama. Perdagangan internasional yang tercermin dari kegiatan ekspor dan
impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB
(Produk Domestik Bruto) dari sisi pengeluaran suatu negara (Oktaviani dan
Novianti 2009). Krugman dalam Oktaviani dan Novianti (2009) mengungkapkan
bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional:
1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.
2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala
ekonomi (economic of scale)
Berdasarkan teori keunggulan absolut Adam Smith, perdagangan
internasional hanya dapat terjadi pada negara yang memiliki keunggulan absolut.
Diasumsikan ada dua negara yang melakukan perdagangan. Jika suatu negara
lebih efisien dari pada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun
kurang efisien dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut
akan mendapatkan keuntungan masing-masing dengan melakukan spesialisasi
dalam memproduksi komoditi yang memiliki keuntungan absolut dan menukarnya
dengan komoditi yang memiliki kerugian absolut.
Kelebihan dari teori Absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas
antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana
terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini akan meningkatkan kemakmuran negara.
Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut
maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan.
Kelemahan teori Adam Smith ini kemudian disempurnakan oleh David Ricardo
dengan teori keunggulan komparatif baik secara cost comparative (labor
efficiency) maupun production comparative (labor productivity). Apabila suatu
negara tersebut melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana
negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih produktif serta mengimpor barang
dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif. Salvatore
(1997) merumuskan model sederhana terjadinya perdagangan internasional
sebagai berikut:
Sebelum terjadinya perdagangan internasional harga relatif suatu komoditi di
negara A adalah sebesar PA, sedangkan harga relatif suatu komoditi di negara B
adalah PB. Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional
lebih tinggi dari PA sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika
harga internasional lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama
dengan PA maka negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga
internasional sama dengan PB maka di negara A akan terjadi excess supply (ES)
sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED yang akan menentukan
harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan
tersebut, maka negara A akan mengekspor komoditi sebesar X sedangkan negara
B akan mengimpor komoditi sebesar M, dimana di pasar internasional besar X
sama dengan M yaitu Q*.

11
DA

SA

SB

DB

A

ES
PB

X
P*

M

PA
ED
O

QA
Negara A

Q*
Perdagangan

B
QB
Negara B

Sumber: Salvatore (1997)

Gambar 3 Kurva perdagangan internasional
Perbedaan harga merupakan salah satu penyebab terjadinya perdagangan
antar negara (lokasi), dimana suatu produk cenderung dari daerah surplus ke
daerah defisit, sampai harga mendekati biaya transfer. Indonesia merupakan
negara net importer daging sapi. Permintaan impor daging sapi merupakan
kekurangan produksi tersebut dalam konsumsi dalam negeri. Disamping itu,
paritas harga yang tinggi antara harga domestik dengan harga impor juga
merupakan faktor pendorong terjadinya kegiatan impor. Perbedaan harga tersebut
dapat disebabkan oleh perbedaan penawaran dan permintaan pada produsen dan
konsumen, dapat juga disebabkan oleh perubahan nilai tukar mata uang negara
eksportir dan importir. Kualitas komoditas yang diperdagangkan juga
menyebabkan perbedaan harga tersebut (Ilham 2001).
Kuota merupakan bentuk hambatan perdagangan non tarif. Kuota adalah
pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau ekspor. Kuota bisa
berupa pembatsan kuantitas pasokan, misalkan sekian ton per tahun atau sekian
unit per tahun, atau bisa juga berupa pembatasan nilai, misalkan ekspor produk ke
suatu negara tidak boleh lebih dari sekian juta dolar per tahun. Pembatasan ini
biasanya diberlakukan dengan memberi lisensi kepada beberapa individu atau
perusahaan domestik untuk mengimpor suatu produk yang jumlahnya langsung
dibatasi. Kuota impor dapat digunakan untuk melindungi sektor industri tertentu,
melindungi sektor pertanian, dan untuk melindungi neraca pembayaran suatu
negara (Oktaviani dan Novianti 2009).

Penelitian Terdahulu
Manik (2012) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor mempengaruhi
aliran perdagangan impor bawang merah dan kentang Indonesia. Data yang
digunakan berupa data sekunder tahun 2006 sampai tahun 2010 yang dianalisis
dengan menggunakan model gravitasi. Model estimasi yang digunakan untuk
melakukan analisis komoditi bawang merah adalah dengan menggunakan fixed

12
effect model sementara komoditi kentang oleh pooled least square. Berdasarkan
hasil estimasi dengan menggunakan model gravitasi diketahui variabel yang
berpengaruh terhadap volume impor bawang merah dan kentang Indonesia yaitu
populasi negara pengekspor, populasi Indonesia, harga impor, jarak ekonomi,
GDP riil Indonesia dan GDP riil negara pengekspor. Sedangkan variabel yang
tidak mempengaruhi volume impor bawang merah dan kentang Indonesia adalah
nilai tukar.
Hutabalian (2009) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
penawaran daging sapi domestik tahun 1990-2007 menggunakan data sekunder
time series dan cross section dengan model ekonometrika regresi data panel. Hasil
dugaan model penawaran daging sapi domestik dengan menggunakan metode
fixed effect, menunjukkan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh nyata
terhadap penawaran daging sapi domestik pada taraf nyata lima persen adalah
populasi ternak sapi potong, harga daging sapi dan luas panen padi. Sedangkan
peubah harga ternak sapi signifikan pada taraf nyata 20%.
Dalam tesis Nyak Ilham (1998) yang berjudul “Penawaran dan Permintaan
Daging Sapi di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi” meneliti tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga daging sapi di Indonesia
serta dampak kebijakan penurunan tarif impor, penurunan tingkat suku bunga,
depresiasi rupiah, penghapusan kuota perdagangan antar daerah, dan perubahan
faktor-faktor eksternal terhadap penawaran, permintaan, dan harga daging sapi di
Indonesia, serta bagaimana pengaruhnya terhadap kesejahteraan produsen dan
konsumen. Penelitian ini menggunakan data sekunder time series dari triwulan
kesatu 1990 sampai triwulan kedua 1997 yang dianalisis dalam bentuk persamaan
simultan dengan metode 3SLS (Three Stage Least Squares). Model penawaran
dan permintaan daging sapi terdiri dari tujuh persamaan struktural dan tujuh
persamaan identitas.
Alternatif kebijakan yang diperoleh dari hasil analisis simulasi yaitu
penurunan tarif impor, penghapusan kuota perdagangan antar daerah, depresiasi
rupiah, penurunan tingkat suku bunga. Sedangkan alternatif perubahan faktor
eksternal yaitu peningkatan ekspor Selandia Baru, peningkatan ekspor Australia,
peningkatan impor Amerika Serikat, peningkatan impor Jepang, dan gabungan
peningkatan ekspor Selandia Baru dan impor Amerika Serikat
Studi oleh Tseuoa et al (2012) yang berjudul ”The Impact of The ASEAN
Australia and New Zealand and Free Trade Agreement (AANZFTA) on The Beef
Industry in Indonesia” bertujuan untuk mengevaluasi dampak penghapusan tarif
terhadap produksi, konsumsi, harga domestik dan impor daging sapi di Indonesia,
menganalisis dampak free trade agreement terhadap produsen daging sapi dan
surplus konsumen, dan merumuskan alternatif kebijakan untuk meningkatkan
produksi daging sapi domestik dan mengurangi impor daging sapi. Studi
dianalisis dengan persamaan simultan yang terdiri dari tujuh persamaan struktural
dan dua persamaan identitas dan diestimasi dengan metode 2SLS (Two Stage
Least Squares) dengan data sekunder time series tahun 1990 sampai 2008.
Hasil studi menunjukkan bahwa penghapusan tarif impor daging sapi dari
Australia dan Selandia Baru dalam AANZFTA akan meningkatkan impor daging
sapi dan penawaran daging sapi domestik. Hal ini akan menguntungkan
konsumen karena harga daging sapi domestik akan menurun, tetapi tidak akan

13
menurunkan produksi daging sapi domestik secara drastis. Adanya AANZFTA
akan mengurangi surplus produsen dan meningkatkan surplus konsumen.

Kerangka Pemikiran
Peningkatan populasi di Indonesia yang pesat serta berkembangnya arus
modern menyebabkan tingginya kesadaran masyarakat akan perbaikan taraf hidup
terutama dalam pemenuhan pangan. Daging sapi salah satu bahan pangan pokok
yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Akan tetapi, produksi daging sapi di
domestik tidak dapat mengimbangi tingginya permintaan akan daging sapi
domestik. Pemenuhan permintaan daging sapi domestik masih harus melakukan
impor daging sapi dari negara produsen. Volume impor daging sapi Indonesia
setap tahun mengalami. Tingginya permintaan impor juga dikarenakan harga
daging sapi impor cenderung lebih rendah daripada harga daging sapi domestik.
Oleh karena itu, konsumen lebih memilih untuk mengkonsumsi daging sapi impor
dibandingkan daging sapi domestik. Kondisi ini akan menjadikan Indonesia
menjadi bergantung pada negara-negara pengkespor daging sapi.

14
Produksi daging sapi
domestik rendah

Impor daging sapi di Indonesia tinggi

Ketergantungan Indonesia
terhadap negara pengekspor
daging sapi

Faktor-faktor yang
mempengaruhi impor
daging sapi di Indonesia

Kecenderungan volume
impor daging sapi di
Indonesia

Analisis regresi data panel
impor daging sapi

Analisis deskriptif

- GDP riil per kapita Indonesia dan negara asal
impor
- Nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara
asal impor
- Harga riil daging sapi domestik Indonesia
- Harga riil daging sapi internasional
- Produksi daging sapi domestik Indonesia dan
produksi daging sapi negara asal impor

Rekomendasi Kebijakan
Gambar 4 Kerangka pemikiran

15

METODE
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data yang
diamati merupakan data gabungan time series dan cross section atau panel data
(pooled data). Adapun tahun pengamatan sebanyak 12 tahun, mulai dari tahun
2000 sampai tahun 2011 dengan data penampang lintangnya sebanyak lima
negara pengekspor daging sapi terbesar ke Indonesia yaitu Australia, New
Zealand, USA, Singapura dan Jepang.
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa sumber,
yaitu Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Worldbank, United Nation Commodity Trade
(UNComtrade), Food and Agriculture Organization (FAO) serta penelusuran
internet dan literatur terkait. Jenis data meliputi data GDP riil per kapita Indonesia
dan GDP riil per kapita negara asal impor, nilai tukar riil Rupiah terhadap mata
uang negara asal impor, harga riil daging sapi di Indonesia, harga riil daging sapi
internasional, serta produksi daging sapi di Indonesia dan produksi daging sapi
negara asal impor.
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dan metode kuantitatif.Metode deskriptif yang digunakan dalam
penelitian ini adalah untuk menjelaskan informasi-informasi yang terkandung
dalam data hasil analisis dan kecenderungan volume impor daging sapi di
Indonesia. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi impor daging sapi di Indonesia dengan menggunakan analisis
regresi data panel dengan yang diolah dengan program Eviews6.
Data panel merupakan salah satu jenis data yang dapat digunakan dalam
analisis model regresi data panel (Panel Data Regression Models), atau disebut
juga dengan pooled data (pooling dari pengamatan times series dan cross-section)
kombinasi dari time series dan cross-section data. Data cross section merupakan
data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, perusahaan,
negara dan lain-lain. Data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu
kewaktu terhadap suatu individu. Menggunakan data panel memiliki beberapa
keuntungan. Menurut Firdaus (2011) beberapa kelebihan menggunakan data panel
disebutkan sebagai berikut:
1. Dengan mengkombinasikan data time series dan cross section membuat
jumlah observasi menjadi lebih besar sehingga parameter yang diestimasi akan
lebih akurat,
2. Memberikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, derajat
kebebasanyang lebih efisien, serta mengurangi kolinieritas antar variabel,
3. Data panel lebih baik dalam hal untuk studi mengenai dynamics of adjustment,
yang memungkinkan estimasi masing-masing karakteristik individu maupun
karakteristik antar waktu secara terpisah, dan

16
4. Mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam mengidentifikasi dan
mengukur pengaruh yang secara sederhana tidak dapat dideteksi oleh data
cross section ataupun time series saja dan mampu mengontrol heterogenitas
individu.
Pada analisis model panel data dikenal tiga metode pendekatan estimasiyang
ditawarkan yaitu metode kuadrat terkecil (Pooled Least Square), metode efek
tetap (Fixed Effect) dan metode efek acak (Random Effect). Pendekatan pertama
secara sederhana menggabungkan (pooled) seluruh data time-series dan cross
section dan kemudian mengestimasi model dengan menggunakan metode OLS
(Ordinary Least Square). Pendekatan kedua memperhitungkan kemungkinan
bahwa kita menghadapi masalah omitted variables, yaitu kemungkinan adanya
perubahan pada intercept time-series atau cross-section. Metode dengan Fixed
Effect menambahkan dummy variables untuk mengizinkan adanya perubahan
pada intercept. Pendekatan ketiga memperbaiki efisiensi proses least square
dengan memperhitungkan error dari cross-section dan time series. Metode
Random Effect adalah variasi dari estimasi Generalized Least Squares (GLS).
Data panel merupakan gabungan dari data cross section dan time series,
maka model dapat dituliskan dengan:
Yit = α + β1Xit + it
i = 1, 2, …, N;
t = 1, 2, …, T
Dimana:
N = Banyaknya observasi
T = Banyaknya waktu
Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square)
Pendekatan pertama adalah pendekatan kuadrat terkecil, pada metode ini
penggunaan data panel dengan mengumpulkan semua data cross section dan time
series lalu melakukan pendugaan (pooling). Di setiap observasi terdapat regresi
sehingga datanya berdimensi tunggal. Dari data panel akan diketahui N adalah
jumlah unit cross section dan T adalah jumlah periode waktu. Dengan melakukan
pooling seluruh observasi sebanyak N x T, maka dapat ditulis fungsi dari model
kuadrat terkecil,yaitu:
untuk
i = 1, 2, 3, …,n dan t = 1, 2, 3, …,t
Dimana:
i
= Unit cross section
t
= Unit time series
= Peubah respon pada unit cross section ke-i dan waktu ke-t
= Peubah bebas ke-k pada unit cross section ke-i dan waktu ke-i
β
= Intercept
= Peubah galat pada unit cross section ke-i dan waktu ke-t
it
Pendekatan yang paling sederhana untuk mengestimasi persamaan tersebut
adalah mengabaikan dimensi cross section dan time series dari data panel dan
mengestimasi data dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) yang diterapkan
dalam data yang berbentuk pool. Pada metode ini, model mengasumsikan bahwa
nilai intercept masing-masing variabel adalah sama, kemudian model ini juga

17
mengasumsikan bahwa slope koefisien dari dua variabel adalah identik untuk
semua unit cross section. Ini merupakan asumsi yang harus dipenuhi, sehingga
walaupun metode Pooled Least Square (PLS) cenderung lebih mudah, namun
model mungkin mendistorsi gambaran yang sebenarnya dari hubungan antara Y
dan X antar unit cross section.
Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect)
Kesulitan terbesar dalam pendekatan metode kuadrat terecil biasa adalah
asumsi intercept dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik
antar daerah maupun antar waktu yang mungkin tidak beralasan. Generelasi
secara umum yang sering dilakukan adalah dengan memasukkan variabel boneka
(dummy variable) untuk mengizinkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang
berbeda-beda baik lintas unit cross section maupun time series.
Pendekatan dengan memasukkan variabel dummy ini dikenal dengan
sebutan model efek tetap (fixed effect) atau Least Square Dummy Variabel
(LSDV) atau disebut juga Covariance Model. Pendekatan tersebut dapat
dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:


Dimana :
Yit
= Variabel terikat diwaktu t untuk unit cross section i
αi
= intercept yang berubah-ubah antar cross section unit
= Variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i
βj
= Parameter untuk variabel ke j
=
Peubah galat pada unit cross section ke-i dan waktu ke-t
it
Penggunaan Least Square Dummy Variable Model dapat dilakukan jika
persamaan regresi memiliki sedikit unitcross section, namun jika unit cross
sectionnya banyak maka penggunaan Least Square Dummy Variable Model akan
mengurangi derajat kebebasan yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari
parameter yang diestimasi
Pendekatan Efek Acak (Random Effect)
Memasukkan variabel dummy dalam efek tetap dapat menimbulkan
konsekuensi (trade off) yaitu dapat mengurangi derajat kebebasan (degree of
freedom) yang akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi.
Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi hal ini adalah model efek acak
(random effect). Dalam model ini, parameter-parameter yang berbeda antar daerah
maupun antar waktu dimasukkan kedalam error. Model efek acak ini dijelaskan
dengan persamaan berikut:

Dimana:
ui ~ N(0,
vt ~ N(0,
wit~ N(0,

2
u )
2
v )
2
w )

= komponen cross section error
= komponen time series error
= komponen error kombinasi

18
Dalam model ini, diasumsikan bahwa error secara individual tidak saling
berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya. Penggunaan model efek acak
ini dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi
jumlahnya seperti yang akan dilakukan pada model efek tetap. Hal ini
berimplikasi pada parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi
semakin efisien. Keputusan penggunaan model efek tetap ataupun efek acak
ditentukan dengan menggunakan uji Hausmann. Spesifikasi ini akan memberikan
penilaian dengan menggunakan chi square statistic sehingga keputusan pemilihan
model akan dilakukan secara statistik.

Model Penelitian
Variabel yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi impor daging sapi di Indonesia antara lain: GDP riil perkapita
Indonesia dan negara asal impor, nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara
asal impor, harga riil daging sapi di Indonesia, harga riil daging sapi internasional,
produksi daging sapi di Indonesia dan negara asal impor.
IMPit = β0 + β1 GDPIt + β2 GDPJit + β3 EXRATEit + β4 PIDNt + β5 PINTt + β6
PROD_IDNt + β7 PRODJit + it
Dimana:
β0
= Intersep
IMPit
= Volume impor daging sapi dari negara asal i tahun t (kg)
GDPIt
= GDP riil perkapita Indonesia pada tahun t (juta USD)
GDPJit
= GDP riil perkapita negara i pada tahun t (juta USD)
EXRATEit
= Nilai Rupiah terhadap mata uang negara i pada tahun t
(Rp/LCU)
PIDNt
= Harga riil daging sapi Indonesia pada tahun t (Rp)
PINTt
= Harga riil daging sapi internasional tahun t (cents/kg)
PROD_IDNt
= Produksi daging sapi Indonesia tahun t (ton)
PRODJit
= Produksi daging sapi negara i pada tahun t (ton)
= random error
it

Pengujian Model
Pada analisis model dengan menggunakan data panel, dikenal tiga macam
pendekatan yang terdiri dari Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Squared),
Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model), dan Pendekatan Efek Acak (Random
Effect). Pemilihan model t