Keadilan Atas Sumber Daya Alam Dalam Per
KEADILAN
ATAS
SUMBER DAYA ALAM
Dalam Perspektif Teori Egalitarian Global
Prof. Chris Amstrong
Southamton University, Oxford University Pres, Segera Rilis.
1
Prolog
Part I: Kesetaraan dan Sumber Daya Alam
1. Sumber Daya dan Hak Asasi
2. Kesetaraan dan Kritik yang Menyertainya
3. Tuntutan Kesetaraan
4. Pengembangan Kemanfaatan atas Sumber Daya Alam
5. Akomodasi terhadap Teori Keterikatan
Part II: Keunggulan Prinsip Kesetaraan
6. Melawan Kedaulatan Permanen
7. Kedaulatan adalah Absolut ?
8. Bea atas Sumber Daya
9. Kekayaan Alam di Laut
10. Tanggung Jawab Konservasi
2
KEADILAN ATAS SUMBER DAYA ALAM
Dalam Kajian Teori Egaliter Global
Prolog
Konflik mengenai sumber daya alam mustahil untuk diabaikan dalam dunia kita.
Kita mafhum bahwa suku Amazon telah terusir secara brutal dari sebagian besar
wilayah hutan tropis yang telah dirusak. Kita mengerti bahwa faktor utama berbagai
perang
sipil
yang
meluluhlantakan
komunitas
afrika
adalah
perang
untuk
memenangkan kontrol distribusi minyak, berlian dan emas. Bahkan, kita mungkin
masih ingat bahwa kebutuhan akan sumber daya alam telah mendorong kolonialisasi
Eropa terhadap penjuru dunia, lalu menetapkan batas-batas teritorial negara-bangsa
koloninya. Bahkan negara-negara seperti Argentina, Pantai Gading dan Gold Coast
(sekarang Ghana) dinamai dari sumber daya alamyang ditemukan (atau dijarah) dari
wilayah tersebut. Selainnya, (termasuk Nigeria, Kamerun, Senegal dan Gambia)
dinamai dari nama sungai setempat menirukan penyebutan komunitas lokal.
Dikarenakan konsumsi sumber daya alam secara membabi buta, perebutan akses
atas sumber daya alam sepertinya tidak akan menunjukkan tanda-tanda surut. Hasrat
untuk menguasai kontrol atas sumber daya alam yang belum tereksplorasi telah
memotivasi negara-negara disekitar lingkar arktik saling klaim atas wilayah tersebut,
lalu menginvestasikan berjuta-juta untuk tekhnologi pengeboran lepas pantai. Para
sarjana ilmu politik sering memprediksi bahwa ‘waters wars’ akan menjadi bagian dari
masa depan kita, meski kita harus bersyukur prediksi itu belum terjadi hingga saat ini.1
Kita tahu bahwa ekonomi negara-negara Timur Tengah telah berubah karena ditopang
perminyakan, dan ditopang pula oleh konflik yang kadang mengikutinya. Tetapi prokontra tentang siapa berhak atas sumber daya alam dan bagaimana sumberdaya alam
dipergunakan adalah masalah yang bersifat endemik. Ketika terjadi kampanye
kemerdekaan Skotlandia pada tahun 2014, perdebatan tentang kelangsungan negara
Skotlandia kerap memunculkan saling adu klaim tentang siapa yang akan menguasai
minyak di laut utara pada ujung-ujungnya, dan ekspektasi berapa income yang mungkin
1
Wendy Barnaby, Do Nations Go to War over Waters? , Nature
9.
(
9), 282-3.
3
didapat untuk otoritas pemerintahan di tahun-tahun mendatang. Sebagaimana yang
telah saya ulas, banyak dari warga negara Kanada mengkampanyekan serta melawan
terhadap dampak lingkungan dari jaringan pipa minyak dan eksploitasi penambangan
pasir di hutan Virginia dan mengkampanyekan perlindungan terhadap masyarakat adat
yang tinggal di sana.
Pemaparan diatas sangatlah jelas bahwa sumber daya alam adalah problematika
tersendiri bagi umat manusia. Kita semua membutuhkan beberapa jenis sumber daya
alam untuk bertahan hidup –termasuk air, udara, sinar matahari, dan beberapa jengkal
tanah untuk berdiam diatasnya. Dilain sisi, sumber daya alam yang besar sangatlah
berarti bagi negara yang memilikinya, batubara atau gas alam memberi garansi
pemasukan dari sektor sumber daya alam (yang mana pemasukan itu akan disalurkan
untuk keberlangsungan pembangunan ekonomi, atau dialokasikan bagi warga negara
sepenuhnya adalah pembahasan lain). Penguasa suatu negara akan marah jika
kedaulatan atas sumber daya alamnya diganggu, individu-individu mempertahankan
klaim atas peroperti sumber daya yang ditemukan diwilayahnya. Sementara ‘kutukan
sumber daya’ dalam literatur kepustakaan memberikan kesan bahwa negara (dengan
sistem pemerintahan) lemah yang terdapat sumber daya melimpah dapat menjadi
sumber pemicu terjadinya kudeta dan perang sipil, ini hanya suatu ilustrasi, dan tentu
saja kebrutalan yang mengikutinya pula. Sumber daya begitu bernilai bagi manusia dan
mereka rela untuk membahayakan hidupnya serta saling membunuh.
Kenyataannya, bahwa sumber daya alam adalah problematika bagi keberadaan
manusia yang telah mengantarkan pada suatu kajian yang obyektif dan (usaha
perumusan) pola keadilan (Justice of Patterns) dalam mengakses atau mengontrol
terhadap sumber daya tersebut. Dan mendiskusikan hal itu sangatlah penting. Setelah
itu semua, Kita semua haruslah bisa menerima konsekuensi apapun, dimanapun yang
terjadi atas kontrol fisik sumber daya pada satu waktu tertentu. Oleh karena itu, sebisa
mungkin kita mampu mempertahankan semua kemanfaatan yang yang terkandung
dalam sumber daya tersebut atau situasi konflik akan sumber daya alam diselesaikan
dengan kekuatan mana yang lebih kuat.2 Jika tidak begitu, maka kita butuh aturan
2Padahal
untuk membuat suatu peraturan yang baik dari peran yang prinsipil yaitu 'mungkin membuat
benar' bagaimanapun juga berperan memainkan politik sumber daya global, lihat Leif Wenar, Blood Oil
(Oxford: Oxford University Press, 2015).
4
normatif (normative account) tentang regulasi terkait sumber daya alam -dan adanya
aturan tertulis/legal-normatif antara hak dan kewajiban bagi mereka untuk
mendistribusikannya diantara kita semua. Secara cermat, kita mungkin telah siap untuk
berargumentasi jika kita semua membutuhkan air, dan jika ketersediaan air lebih dari
cukup di dunia ini, maka masing-masing dari kita memiliki hak atas air yang cukup
untuk hidup. Lantas masihkah kita menuntut adanya prinsip-prinsip keadilan
(principle of justice)? Teori keadilan sendiri memilih dan menyeleksi secara ketat hal
urgen apa yang harusnya dipatuhi -terutama nilai-nilai moral disaat genting atau seriusyang mana kita benar-benar terpanggil untuk penegakannya. Hak atas keadilan
(Entitlements of Justice) ditujukan bagi setiap individu yang mengklaim bahwa mereka
yang tidak terpenuhi rasa keadilannya dapat mengadu ke lembaga penegak hukum
untuk membela mereka atau, bahkan mereka mengambil tindakan inisiatif untuk
membela diri mereka sendiri. Tugas dari keadilan cukup berat bilamana mereka
menolak untuk mematuhi terciptanya keadilan, pada prinsipnya, mereka bisa dipaksa
untuk melakukan hal itu.3
Tujuan dari buku ini adalah untuk memberikan suatu bangunan konseptual guna
memikirkan isu-isu terkait keadilan atas sumber daya alam –termasuk juga
menjabarkan definisi sumber daya alam, memberikan keyword atas sumber daya yang
tersimpan yang mana hakikatnya untuk dinikmati- dari klaim pihak tertentu yang
memiliki sumber daya alam, serta memaparkan hakikat dan signifikansinya terhadap
apa yang saya sebut ‘klaim khusus’ (special claims) atas sumber daya alam. Tentu saja,
(tujuan) untuk mengembangkan bangunan konseptual ini agar dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat dengan sendirinya. Oleh karena itu saya menginginkan suatu perdebatan
komperhensif dalam lingkup sumber daya alam itu sendiri. Tapi terpenting adalah
keberadaan buku ini tujuannya guna mempertahankan salah satu teori tertentu terkait
keadilan atas sumber daya alam, yang saya sebut ‘teori egaliter global’ (global
egalitarian theory). Teori tersebut berpendirian bahwasanya ruang lingkup yang tepat
(setidaknya secara signifikan mendekati) pada prinsip-prinsip keadilan secara umum.
3Untuk
mendapatkan pemahaman lebih dari distributive justice, lihat Chris Armstrong, Global Distributive
Justice: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), chapter 1.
5
Dan sejauh mana teori egaliter bisa ditegakan mencapai tujuannya maka kita harus
mempromosikannya kepada setiap manusia dimanapun mereka berada di dunia ini.4
Buku ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama, pengembangan teori
egalitarian atas sumber daya alam yang berkeadilan (Egalitarian Theory of Natural
Resource Justice). Disamping itu, buku ini bertujuan memberikan argumentasi atas
keunggulan
teori
egalitarian
dibanding
teori-teori
lainnya,
dan
juga
untuk
mempertahankan keunggulan sudut pandang egaliterianisme (egalitarian perspective)
dari teori-teori tandingan yang telah ditujukan pada teori ini. Tapi disisi lain, buku ini
juga bertujuan untuk mempertahankan account tertentu terkait tuntutan kesetaraan
(Demands of Equality) terkait sumber daya alam. Banyak pandangan egaliter
terkemuka berpendapat bahwa sumber daya alam
terkait soal peraturan normatif
khusus dalam batas-batas tertentu; beberapa diantaranya bahkan menyatakan bahwa
sumber daya alam adalah satu-satunya hal yang mana kesetaraan harus menjadi
kepedulian terkait pendistribusiannya –atau secara umum, kesetaraan dalam hal value
atas sumber daya alam adalah bagian terpisah yang harus dirinci sendiri. Berangkat dari
semua pandangan-pandangan tersebut, posisi saya sendiri sepertinya akan terjelaskan
dengan sendirinya. Menolak pandangan bahwa sumber daya alam hanya soal sumber
keuntungan semata yang mana teori egalitarian harus memusatkan perhatiannya pada
hal tersebut. Sebaliknya pandangan ini bertujuan untuk memperoleh kembali (reclaims)
atas teori mereka sebagai salah satu keunggulannya terkait sumber daya
diantara banyaknya keunggulan teori ini. Argumentasi ini untuk mencapai kesetaraan
dalam mencapai konsepsi kesejahteraan (welfarist account of equality), dan
berargumentasi bahwa tujuan kita bukan meminta atas pemerataan sumber daya alam
(atau nilai keekonomiannya) tetapi akses lebih sama dalam rangkaian yang jauh lebih
luas dari hanya soal keuntungan dan kerugian yang terkait dengan kesejahteraan
manusia. Meskipun perdebatan mengenai akurasi peranan sumber daya alam yang
harus bekutat dalam sebuah teori egalitarian itu mungkin terdengar agak terdengar
janggal-misterius. Saya akan coba menunjukkan perspektif berbeda tentang bagaimana
permintaan atas kesetaraan dalam hal sumber daya alam memiliki implikasi yang cukup
4
Penggagas hukum egaliter global termasuknya Charles Beitz, Political Theory and International Relations
(Princeton: Princeton University Press, 1979); Kok-Chor Tan, Justice Without Borders (Cambridge:
Cambridge University Press, 2004); Simon Caney, Justice Beyond Borders (Oxford: Oxford University Press,
2005); Darrel Moellendorf, Global Inequality Matters (Basingstoke: Palgrave, 2009)
6
serius dalam serangkaian bentuk kajian mengenai perampasan sumber daya alam,
keadilan iklim dan keadilan antar generasi.
Isi dari bagian buku pertama adalah sebagai berikut, bab pertama dari buku ini
memberi definisi terkait sumber daya alam, memberikan penjelasan apa yang bisa kita
harapkan dan perbuat dari teori keadilan atas sumber daya alam, dan hal terpenting
adalah memperkenalkan konsepsi peraturan (conceptual account) yang menjadi
dasar/pijakan secara tepat bagi para pihak-pihak yang memiliki sumber daya alam,
disini juga mendiskusikan keanekaragaman sumber daya alam, dan beberapa cara yang
mungkin subtansial terhadap teori ini.
Bab kedua untuk memberikan argumentasi teori egalitarian sebagai pendekatan
atas isu-isu mengenai sumber daya alam, sebagai suatu pembanding sederhana atas
hak-hak asasi manusia yang mendasar. Misalnya, meskipun perlindungan hak-hak asasi
paling mendasar itu urgen dan penting, menjalankan tindakan itu tidaklah cukup untuk
(merepresentasikan) keadilan. Bab ini menjelaskan mengapa kesetaraan atas sumber
daya alam itu harus, dan mendekontruksi setiap implikasi (yang timbul) dari teori
egalitarian ini. Bagian ini juga membahas rintangan-rintangan utama bagi teori ini.
Contohnya, Banyak argumentasi beredar bahwa sumber daya alam itu tak bertalian
(inconsequential) dengan pembangunan ekonomi, dan oleh karena itu (dalam batasbatas tertentu) kita tidak perlu menyibukkan diri dengan keadilan distribusif mereka;
bahwasannya teori egalitarian perhatianya tidak berhenti pada aturan hitam diatas
putih, dan (membahas) cara-cara agar bagaimana orang-orang tertentu menghargai
sumber daya alam; mereka mengabaikan fakta bahwa masyarakat sering bertindak
terhadap sumber daya alam yang dimiliki agar lebih memiliki nilai keekonomian
semata, yang mana klaim tersebut melemahkan ‘klaim khusus’ terkait sumber daya
sebagai result; atau bahkan jika kita amati dengan baik bahwasanya sumber daya alam
juga memiliki nilai politis bagi self-determination; atau membentuk pemerintahan yang
efektif berkat adanya sumber daya alam tersebut, kita memiliki alasan untuk sebisa
mungkin setiap masyarakat untuk mempertahankan kesetaraan kontrol atas sumber
daya ‘mereka’, bukannya melihat sumber daya alam hanya sebagai aset untuk di redistribusikan
secara
global.
Saya
merespon
setiap
permasalahan
tersebut,
mengutarakan pemikiran secara komperhensif dengan mengkaji berbagai literatur.
7
Bab ketiga memberi penjelasan peraturan terkait sumber daya alam haruslah
dirumuskan dalam metode teori egalitarian, sebagai suatu set penting dari keunggulan
dan kelemahan diantara banyaknya relevansinya terhadap keadilan. Teori ini secara
kritis tak memiliki titik temu –bahkan menolak– dengan argumen yang menyatakan
bahwa sumber daya alam adalah satu-satunya hal yang penting dari sudut pandang
keadilan distributif, dan pandangan yang menganggap bahwa kalaupun jika kita harus
memperhatikan mengenai beberapa cakupan yang lebih luas dari keunggulannya,
sumber daya alam atau nilai keekonomiannya hanyalah hal yang harus kita
distribusikan sehingga membawa kita lebih dekat dengan kesetaraan (dalam konsep
teori egalitarian). Sebaliknya, teori egalitarian membuktikan bahwa sumber daya alam,
dalam bentuk slogan bisa dikatakan; ‘sangatlah penting tapi bukanlah yang istimewa’
sebagai ujung tombak bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Berangkat dari hal
itu, maka menelusuri permasalahan-permasalahan adalah penting tentang implikasinya
berupa akan adanya; (1)upaya perampasan sumber daya alam, (2) perlunya keadilan
iklim, dan (3) keadilan bagi generasi berikutnya.
Bab keempat mengulas subyek yang memiliki klaim khusus terhadap sumber
daya alam, yang mana teori egalitarian akan bergumul menganalisanya. Sementara itu,
kita semua secara keseluruhan mungkin merasa berhak mengklaim atas setiap sumber
daya alam di dunia ini. dilain sisi, beberapa pihak memiliki klaim yang sangat kuat atas
sumber daya alam tertentu. Nah, jika klaim khusus (special claims) tersebut tetap
dipertahankan, keberadaannya dapat mempersulit perspektif akan perlunya distribusi
sumber daya alam, atau kemanfaatan dan tanggung jawab yang terkandung didalamnya
itu adalah bentuk ‘morally arbitrary’5 (bentuk tindakan kesewenang-wenangan). Bab
ini juga menelusuri apakah bisa diterima klaim khusus tersebut berdasarkan pada apa
yang saya sebut ‘Improvement’ terkait sumber daya alam. Secara khusus teori
Improvement ini menggugurkan prinsip pertanggungjawaban katering (responsibilitycatering principle) yang akan dijadikan tameng terhadap klaim khusus mereka yang
menguntungkan pihak-pihak pemilik klaim khusus tersebut atas nilai keekonomian
sumber daya alam yang diberdayakan. Jika hal ini tetap dipertahankan, ini
dimungkinkan akan menjadi tameng bagi setiap negara guna memproteksi sumber daya
5
Beitz, Political Theory and International Relations.
8
alamnya.
Dengan
argumentasi
tersebut
setiap
negara
akan
mereduksi
pendistribusiannya secara global. Bahkan bila 'tidak diperbaiki' perspektif atas nilai
keekonomian sumber daya alam akan rentan adanya distribusi tidak adil,
bertambahnya nilai keekonomian sumber daya alam yang mungkin juga akan
menguntungkan bagi komunitas yang mengusahakannya. Tapi bagian ini menimbulkan
sejumlah kerancuan terkait klaim tanggung jawab katering atas 'pertambahan nilai'
keekonomiannya. Akibatnya, kadang-kadang adanya ‘teori perbaikan’ (improvement)
agak kurang mengena sasaran dalam hal kasus seperti ini.
Bab kelima berkaitan ulasan yang mengikuti klaim khusus, yaitu apa yang saya
sebut 'keterikatan’ (attachment). Hal ini seringkali (secara logis) memberi pemahaman
bahwa sumber daya alam tidak hanya soal hubungan antar manusia yang menjadikan
bahan bakar untuk diperjualbelikan sebagai komoditas ekonomi semata. Mungkin ada
beberapa sumber daya alam tertentu yang penting bagi masyarakat tertentu, yang tak
mungkin didistrisbusikan guna mendukung rencana hidup paling vital mereka. Jika
demikian, teori egalitarian global mungkin keliru untuk kita rekomendasikan kepada
masyarakat
tersebut
guna
mendistribusikan
sumber
daya
alamnya
tanpa
memperhatikan ketergantungan masyarakat tersebut pada sumber daya itu.
Bab ini menunjukkan bahwa teori egalitarian tidak mengharuskan kita untuk
mendistribusikan sumber daya alam tanpa memperhatikan ketergantungan masyarakat
yang menyertainya. Variasi teori keadilan
tersebut, saya sendiri termasuk
pendukungnya, memiliki alasan untuk mengindahkan pentingnya tujuan memberikan
perimbangan hakikat-makna bagi kehidupan perorangan dan kesetaraan (antar
sesama), dengan begitu, ada alasan untuk menelaah bagaimana dan sejauh apa
ketertarikan/keterikatan (attachment) dapat diakomodasi dalam teori egalitarian. Saya
berpendapat bahwa teori egalitarian sebisa mungkin dan haruslah memperhatikan
(hubungan) keterikatan/keterkaitan ini, dan lebih dari itu, kita bisa jauh (bertindak)
lebih
permisif
terhadap
mereka
dari
apa
yang
diperkirakan.
Tapi
teori
‘keterkaitan/keterikatan’ (attachment) ini bukan berarti memberikan kita alasan untuk
mempercayai bahwa tujuan hidup masyarakat tertentu lebih prioritas daripada
masyarakat lain. dan hal itu tidak menjadikan alasan kita untuk mengesampingkan
egalitarianisme global sebagai teori terkait sumber daya alam.
9
Jika Bagian pertama menegaskan teori egalitarian atas sumber daya alam yang
berkeadilan -di mana sumber daya alam diatur dalam porsi yang tepat-. Bagian kedua
mefokuskan diri tentang bagaimana pendekatan konsep keadilan (dalam perspektif
pemahaman egaliter global). Bahkan jika kita memiliki peraturan konseptual
(Conceptual Accounts) yang baik sekalipun dari adanya tuntutan keadilan ketika
membahas sumber daya alam, itu adalah permasalahan tersendiri tentang bagaimana
kita bisa membawa teori ini lebih dekat guna menghasilkan sasarannya -atau secara
lebih spesifik, bagaimana kita mungkin mempromosikan kesetaraan global lebih luas.
Kita sekarang, pada tahap ini, mungkin ‘mengangkat tangan’ dan mengatakan bahwa
kepentingan teori yang telah dipaparkan ini; adalah tujuan dari teori politis untuk
menggapai
tujuannya,
yang
cocok
dilakukan
oleh
politiskus,
ekonom,
para
administrator atau -bahkan mungkin- warga biasa untuk memperdebatkannya untuk
bagaimana mereka sebisa mungkin mendapat apa yang mereka inginkan. Tapi semua
itu bukan tujuan yang saya inginkan. Sebaliknya, bagian kedua menelaah cara-cara
bagaimana kita mungkin mencapai sasaran dari adanya keadilan yang egaliter. Hal ini
bukan maksud saya -sebagai penegasan kembali- untuk mengutarakan secara penuh
'teori peralihan' (theory of transition) atau bahkan secara lebih jauh teori guna
perubahan sosial dan politik.6 Sebaliknya (secara sederhana) niat saya adalah untuk
mengidentifikasi beberapa jalan keluar yang menjanjikan untuk penataan ulang
(reformasi terkait sumber daya alam) yang mungkin akan membawa kita pada satu
waktu kepada tatanan dunia yang lebih adil. Bahkan jika teori ini tidak memenuhi
kualifikasi tertentu untuk membicarakan tentang kemungkinan reformasi tatanan dunia
yang telah ditawarkan kepada kita –toh, pada kenyataannya mereka tak sanggup
memberi kualifikasi syarat-syarat bagi generasi berikutnya –jika berkomitmen tidak
hanya menganalisa tatanan dunia tetapi mengubah tatanan itu, sebuah amanah untuk
mengidentifikasi secercah cahaya yang kita tawarkan dimana dunia dewasa ini tidak
mungkin mengabaikannya.
Bagian kedua buku ini berisi sebagai berikut. Bab enam dimulai dengan
pembahasan status quo dalam politik internasional, yang mana didominasi oleh
mendapatkan gambaran baik atas sumber daya dan tuntutan-tuntutan mengenai transitional theory,
lihat Gopal Sreenivasan, What is Non Ideal Theory? in Melissa Williams, Rosemary Nagy and Jon Elster
(eds.) Transitional Justice - NOMOS LI (New York: New York University Press, 2012), pp. 233-56.
6Untuk
10
lembaga 'kedaulatan permanen' atas sumber daya alamnya dengan cara masing-masing
negara-bangsa menikmatinya secara penuh dan menikmati sebagian hak eksklusif atas
sumber daya yang berada dalam garis terluar perbatasan territorial. Teori Egalitarian
sering kali diasumsikan seperti sebuah rezim yang tidak dapat mempertahankan kontrol
negaranya, tapi peribahasa itu masih harus dibuktikan sejelas-jelasnya dari
‘kebenarannya’ dalam peraturan (dalam hukum internasional) yang begitu rumit untuk
negara terkait hak atas sumber daya alamnya yang telah dibuat dalam beberapa dekade
terakhir.
Klaim seperti diatas ada beragam cara, ada negara yang mengimprovisasi –atau
mendasarkan klaim mereka pada perundang-undangan tertentu yang berlaku di
yuridiksi negaranya atau dalam rezim yang longgar sering dikaitkan dengan tujuan
keadilan bagi hak-hak dasar warga negara, alasan efisiensi sumber daya atau
konservasi. Saya secara kritis menelaah berbagai argumen tersebut, dan bisa
menunjukan bahwa alasan mereka tidak memadai sebagai alasan pembenar oleh
lembaga pemerintahan atau
negara, dan tentu saja
negara-negara itu sering kali
mengingkarinya. Terlebih lagi, saya bisa menunjukkan argumen-argumen yang
memiliki bobot normatif, Argumentasi yang signifikansinya cocok dengan penyebaran
hak atas sumber daya dari negara-bangsa tertentu, baik ke bawah dalam arti bagi
masyarakat domestiknya, dan ke atas, yaitu ke lembaga-lembaga trans-nasional dan
global.
Mungkin kesimpulannya bahwa kita harus mencoba teori tersebut sebagai hal
yang urgen guna mengatasi (mendekonstruksi) kedaulatan lembaga negara, atau
setidaknya secara serius memenuhi syarat-syaratnya. Tapi mungkin keputusan tersebut
akan dianggap terlalu prematur. Bab ketujuh mengupas pandangan bahwa kita tidak
harus secara radikal mereformasi kedaulatan permanen negara, tetapi sebaiknya
berupaya untuk terus-menerus melakukan itu secara berkesinambungan. Mungkin
kedaulatan permanen adalah prinsip mendasar karena menciptakan lapangan kerja
terkait sumber daya alamnya bagi warga negara (meskipun penciptaan lapangan
pekerjaan tersebut tak akan memberi kontribusi terhadap tercapainya kesetaraan antar
berbagai negara). Selain itu, menjadikan sumber daya untuk lapangan pekerjaan bagi
warga negara yang miskin dianggap menjadi tujuan yang ingin diwujudkan, sedangkan
reformasi mendasar
(terhadap prinsip kedaulatan) yang yang dianut oleh teori
11
egalitarian global dapat memiliki prospek jauh lebih meyakinkan keberhasilannya (guna
mencapai kesetaraan domestik maupun global).
Dalam bab ini saya mengkaji gagasan prioritas kami untuk mereformasi sistem
perdagangan internasional dalam kaitan sumber daya sehingga mampu melindungi
hak-hak warga negara, dan secara khusus untuk mengantarkan pada sebuah tatanan
ideal 'akuntabilitas publik' berkenaan transaksi sumber daya alam.7 Saya mampu
menunjukkan bahwa teori egalitarian dapat menawarkan konsep bersyarat guna
mendukung reformasi akuntabilitas demikian rupa, sejauh mereka ada niat untuk
mempromosikan kesetaraan (meskipun saya memiliki alasan untuk meragukan mereka
akan mengaktualisasinya di seluruh aspek). Tapi saya berani bertaruh bahwa
mengaplikasikan gagasan pembaruan selain teori egalitarian tak ada yang lebih
ambisius. Saya juga langsung dihadapkan pada tantangan bersifat pragmatis yang
menuduh teori egalitarian global yang menjadi pro-kontra terlalu ambisius. Sisi positif
dari usulan mereformasi sistem perdagangan internasional atas sumber daya alam yang
mana hal itu hanya tergantung pada prinsip (dari 'akuntabilitas publik' atas sumber
daya) yang jelas-jelas diakui dalam hukum internasional. Tanggapan saya memiliki dua
unsur; (pertama) adalah negatif, saya bisa membuktikan bahwa prinsip tersebut tidak
secara jelas diatur dalam hukum internasional; secara praktis, hal ini sudah mereduksi
nilai kemanfaatan yang merupakan dasar akuntabilitas, dan (bentuk) pengakuan
mereka atas superioritas terkait pembaruan kesetaraan yang bersifat lebih ambisius.
(Kedua) sisi positifnya, saya setuju bahwasanya sangatlah penting bagi teori egalitarian
untuk mengidentifikasi –setidaknya– beberapa reformasi yang akan dicapai dengan
suatu cara yang mana kita dapat membuat kemajuan yang signifikan terkait ‘status quo’.
Kalaupun tujuan ini tidak bisa terlaksanakan sebagai suatu teori dalam satu waktu,
namun upaya ini cukup bermanfaat jika teoritisasi kami tujuannya adalah untuk
membuat perubahan. ini merupakan tantangan dimana bab-bab berikutnya dari buku
ini berupaya untuk memenuhinya.
Bab kedelapan mengkaji beberapa saran yang populer untuk memajukan
keadilan terkait sumber daya alam serta masalah perpajakannya. Bahkan, perpajakan
dalam sumber daya alam telah menyita perhatian luar biasa dari teori keadilan sumber
7
Leif Wenar, Blood Oil,. Lihat juga Thomas Pogge, World Proverty and Human Rights (Cambridge: Polity,
2002), Chapter 8.
12
daya alam ini, tetapi pajak merupakan salah satu rangkaian dalam satu rangkaian besar
opsional yang kita miliki untuk memajukan keadilan sosial secara global. Karena itu
saya mulai pembahasan dengan beberapa pertanyaan umum seperti kapan, mengapa,
dan apa yang harus kita lakukan terhadap adanya pungutan pajak. Bab ini kemudian
membahas beberapa kekhawatiran tentang pajak sumber daya alam tertentu, dan
menjelaskan peran pajak sumber daya alam bisa memberi sumbangsih dalam proyek
kesetaraan (egaliter). Lantas hal itu mengajak kita untuk menelaah dimana basis tepat
menempatkan perpajakan, setidaknya untuk beberapa jenis pajak sumber daya alam.
Salah satu kesimpulan terpenting adalah bahwa pajak global tak berdiferensiasi atas
salah satu sumber daya alam yang tidak mungkin untuk memenuhi tuntutan prinsip
keadilan (global) dengan baik. Maka dari itu, sangat mungkin bahwa kemajuan dalam
mencapai sistem perpajakan global sumber daya alam akan dibangun secara bertahap,
bukan dalam satu kali fase, bukannya dicapai pada satu fase. Untuk kedua alasan itu,
ada baiknya menyelidiki beberapa usulan atas sistem perpajakan sumber daya alam
secara lebih spesifik. Salah satunya, pajak pelaku eksploitasi sumber daya alam yang
berada di luar batas-batas portal negaranya, akan dibahas dalam bab kesembilan. Bab
sembilan ini membahas dua hal lagi, yaitu: pajak karbon, dan pajak atas Aset Kekayaan
Kedaulatan (Sovereign Wealth Funds).
Bab kesembilan membahas sumber daya yang terkandung di laut lepas diseluruh
dunia, sumber yang cukup diabaikan oleh sistem politik (internasional) tetapi sangat
memiliki signifikansi
penting bagi proses berlangsungnya ekosistem dan memiliki
potensi ekonomi besar. Bab ini menguraikan intrik politis yang telah dikobarkan terkait
sumber daya alam yang terkandung di laut lepas dalam beberapa dekade terakhir,
dimana ada protagonisme ketegangan terkait soal apakah sumber daya tersebut harus
di bawah kendali masing-masing negara atau tidak telah meninggalkan masalah
ketidakteraturan, ataukah harus dikelola secara global sebagai bagian dari ‘warisan
bersama’ umat manusia dan dieksploitasi sedemikian rupa untuk memperbaiki
kesenjangan global yang tajam. Bab ini membahas kontradiksi terkait sumber daya
alam dengan lebih rinci. Pertama, membahas mengenai hak penangkapan ikan, dimana
kita telah melihat kontrol negara diperluas dan eksploitasi dibatasi di wilayah dalam
yurisdiksi
negaranya;
itu
menunjukkan
bahwa
pendekatan
ini
telah
secara
komprehensif gagal mewujudkan keadilan, baik intra-generasi ataupun antar generasi.
13
Kemudian membahas sumber daya mineral yang terkandung dalam laut lepas (kawasan
laut internasional) yang masih berada diluar kontrol negara. Dibawah yuridiksi hukum
internasional, laut lepas diberlakukan berbeda terkait sumber daya perikananya.
Kesepakatan mengenai wilayah laut internasional telah dicapai, (yang mana
pengawasannya) dibawah naungan International Seabed Authority (ISA), untuk
memanfaatkan eksploitasi mineral di laut internasional yang benilai potensial untuk
mempromosikan kesetaraan global. Meskipun ada sejumlah rintangan, bab ini antusias
mengulas perkembangan tersebut dan mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang
lebih luas, yang mungkin kita bisa mengambil kemanfaatanya guna memperjuangkan
dan menempatkan sumber daya alam berfungsi untuk mengkampanyekan kesetaraan
global. Salah satunya adalah bahwa lembaga yang mampu mempromosikan kesetaraan
sudah ada, yang mana konstituen yang cukup besar, terutama konstituen di negara
berkembang, yang menjadi tantantgan bagi mereka untuk melakukannya. Hal Itu
merupakan tantangan yang negara maju belum terpenuhi dengan baik hingga saat ini.
Tapi demi keadilan intra dan antar generasi, kita harus berharap bahwa ketidakmauan
negara negara-negara tersebut dapat diatasi.
Bab kesepuluh membahas terkait pembagian tanggung jawab konservasi. Hal ini
logis untuk memikirkannya karena keadilan atas sumber daya alam terkait juga
pelestarian, setidaknya dari beberapa sumber daya tersebut dalam satu waktu, apakah
hal ini akan dibiarkan begitu saja –sehingga, misalnya, mereka bisa lepas tanggung
jawab ketika telah memberikan biaya konservasi ekosistem yang vital tersebut, atau
secara aktif ikut peran serta dan (ikut juga dalam) pendanaan dalam perlindungan
terhadap ekosistem sumber daya alam dari berbagai ancaman. Bab ini membahas biayabiaya tersebut kemana dialokasikan. Secara khusus, bab ini memfokuskan diri pada dua
keywords terkait sumber daya alam yang secara khusus dari masing-masing keywords
itu mengenai pertanyaan dimana tanggung jawab konservasi akan dibebankan yang
mana akan memiliki konsekuensi pendistribusiannya yang cukup besar. Kata kunci
(keyword) pertama; membahas perlindungan hutan hujan. Ada banyak alasan –
diantaranya– untuk meyakini bahwa hutan hujan harus dipertahankan daripada
eksploitasi membabi buta guna kepentingan pembangunan ekonomi masyarakat lokal.
Bukan berhenti disitu saja, mereka juga berperan serta dalam menjaga kondisi iklim
global kita (yang semakin mengkhawatirkan). Tetapi masyarakat tersebut dalam
14
keterbelakangannya akan berdampak oportunis, paling tidak jika masyarakat setempat
terjebak dalam kemiskinan sebagai akibat dari ketidakmampuan mereka untuk
menikmati secara arif sumber daya yang bernilai. Kedua, membahas kasus bahan bakar
fosil. Hal ini sering dikatakan jika kita ingin terus menikmati iklim yang sehat-aman,
maka kita harus meninggalkan minyak bumi -serta gas alam, dan batubara. Tapi sekali
lagi, hal itu akan memiliki konsekuensi melebar, paling tidak bagi mereka yang saat ini
bergantung pada ekeberadaan bahan bakar fosil untuk urat nadi perekonomian mereka.
Saya (mencoba) memberikan gambaran awal kapan saat yang tepat untuk menyatukan
pembiayaan ini secara umum, dan mengkaji beberapa mekanisme yang memungkinkan
kita untuk melakukan hal ini,
dan menyelidiki beberapa mekanisme yang
memungkinkan kita untuk melakukan hal ini. Salah satu konsekuensi dari argumentasi
dalam bab ini adalah bahwa suatu gambaran umum terkait keadilan atas sumber daya
alam -dimana pihak atau masyarakat yang memiliki sumber daya berharga dikenakan
pajak guna dialihkan/disubsidikan dananya kepada mereka yang tidak memilikinya,
memang sangatlah rumit. Setidaknya dalam beberapa kasus yang signifikan, keadilan
mungkin memerlukan ‘kemauan berbagi’ oleh pihak atau komunitas masyarakat yang
saat ini mengontrol sumber daya yang berharga. Saya berkesimpulan setelah
mengamati beberapa lembaga yang sudah ada, dan mengamati lembaga yang mungkin
membantu kita untuk memperbaiki ketidakadilan global dengan menyebarkan manfaat
dan tanggung jawab dari sumber daya alam secara lebih adil. Seperti bab-bab lain di
bagian kedua, tujuannya adalah untuk mempertahankan rasa pengertian –rasa
pengertian dari banyaknya ketidakadilan yang mungkin bias diperbaiki, dan kesetaraan
dipromosikan, (hal itu semua bisa dilakukan) jika kita memiliki kemauan politik untuk
melakukannya.
15
ATAS
SUMBER DAYA ALAM
Dalam Perspektif Teori Egalitarian Global
Prof. Chris Amstrong
Southamton University, Oxford University Pres, Segera Rilis.
1
Prolog
Part I: Kesetaraan dan Sumber Daya Alam
1. Sumber Daya dan Hak Asasi
2. Kesetaraan dan Kritik yang Menyertainya
3. Tuntutan Kesetaraan
4. Pengembangan Kemanfaatan atas Sumber Daya Alam
5. Akomodasi terhadap Teori Keterikatan
Part II: Keunggulan Prinsip Kesetaraan
6. Melawan Kedaulatan Permanen
7. Kedaulatan adalah Absolut ?
8. Bea atas Sumber Daya
9. Kekayaan Alam di Laut
10. Tanggung Jawab Konservasi
2
KEADILAN ATAS SUMBER DAYA ALAM
Dalam Kajian Teori Egaliter Global
Prolog
Konflik mengenai sumber daya alam mustahil untuk diabaikan dalam dunia kita.
Kita mafhum bahwa suku Amazon telah terusir secara brutal dari sebagian besar
wilayah hutan tropis yang telah dirusak. Kita mengerti bahwa faktor utama berbagai
perang
sipil
yang
meluluhlantakan
komunitas
afrika
adalah
perang
untuk
memenangkan kontrol distribusi minyak, berlian dan emas. Bahkan, kita mungkin
masih ingat bahwa kebutuhan akan sumber daya alam telah mendorong kolonialisasi
Eropa terhadap penjuru dunia, lalu menetapkan batas-batas teritorial negara-bangsa
koloninya. Bahkan negara-negara seperti Argentina, Pantai Gading dan Gold Coast
(sekarang Ghana) dinamai dari sumber daya alamyang ditemukan (atau dijarah) dari
wilayah tersebut. Selainnya, (termasuk Nigeria, Kamerun, Senegal dan Gambia)
dinamai dari nama sungai setempat menirukan penyebutan komunitas lokal.
Dikarenakan konsumsi sumber daya alam secara membabi buta, perebutan akses
atas sumber daya alam sepertinya tidak akan menunjukkan tanda-tanda surut. Hasrat
untuk menguasai kontrol atas sumber daya alam yang belum tereksplorasi telah
memotivasi negara-negara disekitar lingkar arktik saling klaim atas wilayah tersebut,
lalu menginvestasikan berjuta-juta untuk tekhnologi pengeboran lepas pantai. Para
sarjana ilmu politik sering memprediksi bahwa ‘waters wars’ akan menjadi bagian dari
masa depan kita, meski kita harus bersyukur prediksi itu belum terjadi hingga saat ini.1
Kita tahu bahwa ekonomi negara-negara Timur Tengah telah berubah karena ditopang
perminyakan, dan ditopang pula oleh konflik yang kadang mengikutinya. Tetapi prokontra tentang siapa berhak atas sumber daya alam dan bagaimana sumberdaya alam
dipergunakan adalah masalah yang bersifat endemik. Ketika terjadi kampanye
kemerdekaan Skotlandia pada tahun 2014, perdebatan tentang kelangsungan negara
Skotlandia kerap memunculkan saling adu klaim tentang siapa yang akan menguasai
minyak di laut utara pada ujung-ujungnya, dan ekspektasi berapa income yang mungkin
1
Wendy Barnaby, Do Nations Go to War over Waters? , Nature
9.
(
9), 282-3.
3
didapat untuk otoritas pemerintahan di tahun-tahun mendatang. Sebagaimana yang
telah saya ulas, banyak dari warga negara Kanada mengkampanyekan serta melawan
terhadap dampak lingkungan dari jaringan pipa minyak dan eksploitasi penambangan
pasir di hutan Virginia dan mengkampanyekan perlindungan terhadap masyarakat adat
yang tinggal di sana.
Pemaparan diatas sangatlah jelas bahwa sumber daya alam adalah problematika
tersendiri bagi umat manusia. Kita semua membutuhkan beberapa jenis sumber daya
alam untuk bertahan hidup –termasuk air, udara, sinar matahari, dan beberapa jengkal
tanah untuk berdiam diatasnya. Dilain sisi, sumber daya alam yang besar sangatlah
berarti bagi negara yang memilikinya, batubara atau gas alam memberi garansi
pemasukan dari sektor sumber daya alam (yang mana pemasukan itu akan disalurkan
untuk keberlangsungan pembangunan ekonomi, atau dialokasikan bagi warga negara
sepenuhnya adalah pembahasan lain). Penguasa suatu negara akan marah jika
kedaulatan atas sumber daya alamnya diganggu, individu-individu mempertahankan
klaim atas peroperti sumber daya yang ditemukan diwilayahnya. Sementara ‘kutukan
sumber daya’ dalam literatur kepustakaan memberikan kesan bahwa negara (dengan
sistem pemerintahan) lemah yang terdapat sumber daya melimpah dapat menjadi
sumber pemicu terjadinya kudeta dan perang sipil, ini hanya suatu ilustrasi, dan tentu
saja kebrutalan yang mengikutinya pula. Sumber daya begitu bernilai bagi manusia dan
mereka rela untuk membahayakan hidupnya serta saling membunuh.
Kenyataannya, bahwa sumber daya alam adalah problematika bagi keberadaan
manusia yang telah mengantarkan pada suatu kajian yang obyektif dan (usaha
perumusan) pola keadilan (Justice of Patterns) dalam mengakses atau mengontrol
terhadap sumber daya tersebut. Dan mendiskusikan hal itu sangatlah penting. Setelah
itu semua, Kita semua haruslah bisa menerima konsekuensi apapun, dimanapun yang
terjadi atas kontrol fisik sumber daya pada satu waktu tertentu. Oleh karena itu, sebisa
mungkin kita mampu mempertahankan semua kemanfaatan yang yang terkandung
dalam sumber daya tersebut atau situasi konflik akan sumber daya alam diselesaikan
dengan kekuatan mana yang lebih kuat.2 Jika tidak begitu, maka kita butuh aturan
2Padahal
untuk membuat suatu peraturan yang baik dari peran yang prinsipil yaitu 'mungkin membuat
benar' bagaimanapun juga berperan memainkan politik sumber daya global, lihat Leif Wenar, Blood Oil
(Oxford: Oxford University Press, 2015).
4
normatif (normative account) tentang regulasi terkait sumber daya alam -dan adanya
aturan tertulis/legal-normatif antara hak dan kewajiban bagi mereka untuk
mendistribusikannya diantara kita semua. Secara cermat, kita mungkin telah siap untuk
berargumentasi jika kita semua membutuhkan air, dan jika ketersediaan air lebih dari
cukup di dunia ini, maka masing-masing dari kita memiliki hak atas air yang cukup
untuk hidup. Lantas masihkah kita menuntut adanya prinsip-prinsip keadilan
(principle of justice)? Teori keadilan sendiri memilih dan menyeleksi secara ketat hal
urgen apa yang harusnya dipatuhi -terutama nilai-nilai moral disaat genting atau seriusyang mana kita benar-benar terpanggil untuk penegakannya. Hak atas keadilan
(Entitlements of Justice) ditujukan bagi setiap individu yang mengklaim bahwa mereka
yang tidak terpenuhi rasa keadilannya dapat mengadu ke lembaga penegak hukum
untuk membela mereka atau, bahkan mereka mengambil tindakan inisiatif untuk
membela diri mereka sendiri. Tugas dari keadilan cukup berat bilamana mereka
menolak untuk mematuhi terciptanya keadilan, pada prinsipnya, mereka bisa dipaksa
untuk melakukan hal itu.3
Tujuan dari buku ini adalah untuk memberikan suatu bangunan konseptual guna
memikirkan isu-isu terkait keadilan atas sumber daya alam –termasuk juga
menjabarkan definisi sumber daya alam, memberikan keyword atas sumber daya yang
tersimpan yang mana hakikatnya untuk dinikmati- dari klaim pihak tertentu yang
memiliki sumber daya alam, serta memaparkan hakikat dan signifikansinya terhadap
apa yang saya sebut ‘klaim khusus’ (special claims) atas sumber daya alam. Tentu saja,
(tujuan) untuk mengembangkan bangunan konseptual ini agar dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat dengan sendirinya. Oleh karena itu saya menginginkan suatu perdebatan
komperhensif dalam lingkup sumber daya alam itu sendiri. Tapi terpenting adalah
keberadaan buku ini tujuannya guna mempertahankan salah satu teori tertentu terkait
keadilan atas sumber daya alam, yang saya sebut ‘teori egaliter global’ (global
egalitarian theory). Teori tersebut berpendirian bahwasanya ruang lingkup yang tepat
(setidaknya secara signifikan mendekati) pada prinsip-prinsip keadilan secara umum.
3Untuk
mendapatkan pemahaman lebih dari distributive justice, lihat Chris Armstrong, Global Distributive
Justice: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), chapter 1.
5
Dan sejauh mana teori egaliter bisa ditegakan mencapai tujuannya maka kita harus
mempromosikannya kepada setiap manusia dimanapun mereka berada di dunia ini.4
Buku ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama, pengembangan teori
egalitarian atas sumber daya alam yang berkeadilan (Egalitarian Theory of Natural
Resource Justice). Disamping itu, buku ini bertujuan memberikan argumentasi atas
keunggulan
teori
egalitarian
dibanding
teori-teori
lainnya,
dan
juga
untuk
mempertahankan keunggulan sudut pandang egaliterianisme (egalitarian perspective)
dari teori-teori tandingan yang telah ditujukan pada teori ini. Tapi disisi lain, buku ini
juga bertujuan untuk mempertahankan account tertentu terkait tuntutan kesetaraan
(Demands of Equality) terkait sumber daya alam. Banyak pandangan egaliter
terkemuka berpendapat bahwa sumber daya alam
terkait soal peraturan normatif
khusus dalam batas-batas tertentu; beberapa diantaranya bahkan menyatakan bahwa
sumber daya alam adalah satu-satunya hal yang mana kesetaraan harus menjadi
kepedulian terkait pendistribusiannya –atau secara umum, kesetaraan dalam hal value
atas sumber daya alam adalah bagian terpisah yang harus dirinci sendiri. Berangkat dari
semua pandangan-pandangan tersebut, posisi saya sendiri sepertinya akan terjelaskan
dengan sendirinya. Menolak pandangan bahwa sumber daya alam hanya soal sumber
keuntungan semata yang mana teori egalitarian harus memusatkan perhatiannya pada
hal tersebut. Sebaliknya pandangan ini bertujuan untuk memperoleh kembali (reclaims)
atas teori mereka sebagai salah satu keunggulannya terkait sumber daya
diantara banyaknya keunggulan teori ini. Argumentasi ini untuk mencapai kesetaraan
dalam mencapai konsepsi kesejahteraan (welfarist account of equality), dan
berargumentasi bahwa tujuan kita bukan meminta atas pemerataan sumber daya alam
(atau nilai keekonomiannya) tetapi akses lebih sama dalam rangkaian yang jauh lebih
luas dari hanya soal keuntungan dan kerugian yang terkait dengan kesejahteraan
manusia. Meskipun perdebatan mengenai akurasi peranan sumber daya alam yang
harus bekutat dalam sebuah teori egalitarian itu mungkin terdengar agak terdengar
janggal-misterius. Saya akan coba menunjukkan perspektif berbeda tentang bagaimana
permintaan atas kesetaraan dalam hal sumber daya alam memiliki implikasi yang cukup
4
Penggagas hukum egaliter global termasuknya Charles Beitz, Political Theory and International Relations
(Princeton: Princeton University Press, 1979); Kok-Chor Tan, Justice Without Borders (Cambridge:
Cambridge University Press, 2004); Simon Caney, Justice Beyond Borders (Oxford: Oxford University Press,
2005); Darrel Moellendorf, Global Inequality Matters (Basingstoke: Palgrave, 2009)
6
serius dalam serangkaian bentuk kajian mengenai perampasan sumber daya alam,
keadilan iklim dan keadilan antar generasi.
Isi dari bagian buku pertama adalah sebagai berikut, bab pertama dari buku ini
memberi definisi terkait sumber daya alam, memberikan penjelasan apa yang bisa kita
harapkan dan perbuat dari teori keadilan atas sumber daya alam, dan hal terpenting
adalah memperkenalkan konsepsi peraturan (conceptual account) yang menjadi
dasar/pijakan secara tepat bagi para pihak-pihak yang memiliki sumber daya alam,
disini juga mendiskusikan keanekaragaman sumber daya alam, dan beberapa cara yang
mungkin subtansial terhadap teori ini.
Bab kedua untuk memberikan argumentasi teori egalitarian sebagai pendekatan
atas isu-isu mengenai sumber daya alam, sebagai suatu pembanding sederhana atas
hak-hak asasi manusia yang mendasar. Misalnya, meskipun perlindungan hak-hak asasi
paling mendasar itu urgen dan penting, menjalankan tindakan itu tidaklah cukup untuk
(merepresentasikan) keadilan. Bab ini menjelaskan mengapa kesetaraan atas sumber
daya alam itu harus, dan mendekontruksi setiap implikasi (yang timbul) dari teori
egalitarian ini. Bagian ini juga membahas rintangan-rintangan utama bagi teori ini.
Contohnya, Banyak argumentasi beredar bahwa sumber daya alam itu tak bertalian
(inconsequential) dengan pembangunan ekonomi, dan oleh karena itu (dalam batasbatas tertentu) kita tidak perlu menyibukkan diri dengan keadilan distribusif mereka;
bahwasannya teori egalitarian perhatianya tidak berhenti pada aturan hitam diatas
putih, dan (membahas) cara-cara agar bagaimana orang-orang tertentu menghargai
sumber daya alam; mereka mengabaikan fakta bahwa masyarakat sering bertindak
terhadap sumber daya alam yang dimiliki agar lebih memiliki nilai keekonomian
semata, yang mana klaim tersebut melemahkan ‘klaim khusus’ terkait sumber daya
sebagai result; atau bahkan jika kita amati dengan baik bahwasanya sumber daya alam
juga memiliki nilai politis bagi self-determination; atau membentuk pemerintahan yang
efektif berkat adanya sumber daya alam tersebut, kita memiliki alasan untuk sebisa
mungkin setiap masyarakat untuk mempertahankan kesetaraan kontrol atas sumber
daya ‘mereka’, bukannya melihat sumber daya alam hanya sebagai aset untuk di redistribusikan
secara
global.
Saya
merespon
setiap
permasalahan
tersebut,
mengutarakan pemikiran secara komperhensif dengan mengkaji berbagai literatur.
7
Bab ketiga memberi penjelasan peraturan terkait sumber daya alam haruslah
dirumuskan dalam metode teori egalitarian, sebagai suatu set penting dari keunggulan
dan kelemahan diantara banyaknya relevansinya terhadap keadilan. Teori ini secara
kritis tak memiliki titik temu –bahkan menolak– dengan argumen yang menyatakan
bahwa sumber daya alam adalah satu-satunya hal yang penting dari sudut pandang
keadilan distributif, dan pandangan yang menganggap bahwa kalaupun jika kita harus
memperhatikan mengenai beberapa cakupan yang lebih luas dari keunggulannya,
sumber daya alam atau nilai keekonomiannya hanyalah hal yang harus kita
distribusikan sehingga membawa kita lebih dekat dengan kesetaraan (dalam konsep
teori egalitarian). Sebaliknya, teori egalitarian membuktikan bahwa sumber daya alam,
dalam bentuk slogan bisa dikatakan; ‘sangatlah penting tapi bukanlah yang istimewa’
sebagai ujung tombak bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Berangkat dari hal
itu, maka menelusuri permasalahan-permasalahan adalah penting tentang implikasinya
berupa akan adanya; (1)upaya perampasan sumber daya alam, (2) perlunya keadilan
iklim, dan (3) keadilan bagi generasi berikutnya.
Bab keempat mengulas subyek yang memiliki klaim khusus terhadap sumber
daya alam, yang mana teori egalitarian akan bergumul menganalisanya. Sementara itu,
kita semua secara keseluruhan mungkin merasa berhak mengklaim atas setiap sumber
daya alam di dunia ini. dilain sisi, beberapa pihak memiliki klaim yang sangat kuat atas
sumber daya alam tertentu. Nah, jika klaim khusus (special claims) tersebut tetap
dipertahankan, keberadaannya dapat mempersulit perspektif akan perlunya distribusi
sumber daya alam, atau kemanfaatan dan tanggung jawab yang terkandung didalamnya
itu adalah bentuk ‘morally arbitrary’5 (bentuk tindakan kesewenang-wenangan). Bab
ini juga menelusuri apakah bisa diterima klaim khusus tersebut berdasarkan pada apa
yang saya sebut ‘Improvement’ terkait sumber daya alam. Secara khusus teori
Improvement ini menggugurkan prinsip pertanggungjawaban katering (responsibilitycatering principle) yang akan dijadikan tameng terhadap klaim khusus mereka yang
menguntungkan pihak-pihak pemilik klaim khusus tersebut atas nilai keekonomian
sumber daya alam yang diberdayakan. Jika hal ini tetap dipertahankan, ini
dimungkinkan akan menjadi tameng bagi setiap negara guna memproteksi sumber daya
5
Beitz, Political Theory and International Relations.
8
alamnya.
Dengan
argumentasi
tersebut
setiap
negara
akan
mereduksi
pendistribusiannya secara global. Bahkan bila 'tidak diperbaiki' perspektif atas nilai
keekonomian sumber daya alam akan rentan adanya distribusi tidak adil,
bertambahnya nilai keekonomian sumber daya alam yang mungkin juga akan
menguntungkan bagi komunitas yang mengusahakannya. Tapi bagian ini menimbulkan
sejumlah kerancuan terkait klaim tanggung jawab katering atas 'pertambahan nilai'
keekonomiannya. Akibatnya, kadang-kadang adanya ‘teori perbaikan’ (improvement)
agak kurang mengena sasaran dalam hal kasus seperti ini.
Bab kelima berkaitan ulasan yang mengikuti klaim khusus, yaitu apa yang saya
sebut 'keterikatan’ (attachment). Hal ini seringkali (secara logis) memberi pemahaman
bahwa sumber daya alam tidak hanya soal hubungan antar manusia yang menjadikan
bahan bakar untuk diperjualbelikan sebagai komoditas ekonomi semata. Mungkin ada
beberapa sumber daya alam tertentu yang penting bagi masyarakat tertentu, yang tak
mungkin didistrisbusikan guna mendukung rencana hidup paling vital mereka. Jika
demikian, teori egalitarian global mungkin keliru untuk kita rekomendasikan kepada
masyarakat
tersebut
guna
mendistribusikan
sumber
daya
alamnya
tanpa
memperhatikan ketergantungan masyarakat tersebut pada sumber daya itu.
Bab ini menunjukkan bahwa teori egalitarian tidak mengharuskan kita untuk
mendistribusikan sumber daya alam tanpa memperhatikan ketergantungan masyarakat
yang menyertainya. Variasi teori keadilan
tersebut, saya sendiri termasuk
pendukungnya, memiliki alasan untuk mengindahkan pentingnya tujuan memberikan
perimbangan hakikat-makna bagi kehidupan perorangan dan kesetaraan (antar
sesama), dengan begitu, ada alasan untuk menelaah bagaimana dan sejauh apa
ketertarikan/keterikatan (attachment) dapat diakomodasi dalam teori egalitarian. Saya
berpendapat bahwa teori egalitarian sebisa mungkin dan haruslah memperhatikan
(hubungan) keterikatan/keterkaitan ini, dan lebih dari itu, kita bisa jauh (bertindak)
lebih
permisif
terhadap
mereka
dari
apa
yang
diperkirakan.
Tapi
teori
‘keterkaitan/keterikatan’ (attachment) ini bukan berarti memberikan kita alasan untuk
mempercayai bahwa tujuan hidup masyarakat tertentu lebih prioritas daripada
masyarakat lain. dan hal itu tidak menjadikan alasan kita untuk mengesampingkan
egalitarianisme global sebagai teori terkait sumber daya alam.
9
Jika Bagian pertama menegaskan teori egalitarian atas sumber daya alam yang
berkeadilan -di mana sumber daya alam diatur dalam porsi yang tepat-. Bagian kedua
mefokuskan diri tentang bagaimana pendekatan konsep keadilan (dalam perspektif
pemahaman egaliter global). Bahkan jika kita memiliki peraturan konseptual
(Conceptual Accounts) yang baik sekalipun dari adanya tuntutan keadilan ketika
membahas sumber daya alam, itu adalah permasalahan tersendiri tentang bagaimana
kita bisa membawa teori ini lebih dekat guna menghasilkan sasarannya -atau secara
lebih spesifik, bagaimana kita mungkin mempromosikan kesetaraan global lebih luas.
Kita sekarang, pada tahap ini, mungkin ‘mengangkat tangan’ dan mengatakan bahwa
kepentingan teori yang telah dipaparkan ini; adalah tujuan dari teori politis untuk
menggapai
tujuannya,
yang
cocok
dilakukan
oleh
politiskus,
ekonom,
para
administrator atau -bahkan mungkin- warga biasa untuk memperdebatkannya untuk
bagaimana mereka sebisa mungkin mendapat apa yang mereka inginkan. Tapi semua
itu bukan tujuan yang saya inginkan. Sebaliknya, bagian kedua menelaah cara-cara
bagaimana kita mungkin mencapai sasaran dari adanya keadilan yang egaliter. Hal ini
bukan maksud saya -sebagai penegasan kembali- untuk mengutarakan secara penuh
'teori peralihan' (theory of transition) atau bahkan secara lebih jauh teori guna
perubahan sosial dan politik.6 Sebaliknya (secara sederhana) niat saya adalah untuk
mengidentifikasi beberapa jalan keluar yang menjanjikan untuk penataan ulang
(reformasi terkait sumber daya alam) yang mungkin akan membawa kita pada satu
waktu kepada tatanan dunia yang lebih adil. Bahkan jika teori ini tidak memenuhi
kualifikasi tertentu untuk membicarakan tentang kemungkinan reformasi tatanan dunia
yang telah ditawarkan kepada kita –toh, pada kenyataannya mereka tak sanggup
memberi kualifikasi syarat-syarat bagi generasi berikutnya –jika berkomitmen tidak
hanya menganalisa tatanan dunia tetapi mengubah tatanan itu, sebuah amanah untuk
mengidentifikasi secercah cahaya yang kita tawarkan dimana dunia dewasa ini tidak
mungkin mengabaikannya.
Bagian kedua buku ini berisi sebagai berikut. Bab enam dimulai dengan
pembahasan status quo dalam politik internasional, yang mana didominasi oleh
mendapatkan gambaran baik atas sumber daya dan tuntutan-tuntutan mengenai transitional theory,
lihat Gopal Sreenivasan, What is Non Ideal Theory? in Melissa Williams, Rosemary Nagy and Jon Elster
(eds.) Transitional Justice - NOMOS LI (New York: New York University Press, 2012), pp. 233-56.
6Untuk
10
lembaga 'kedaulatan permanen' atas sumber daya alamnya dengan cara masing-masing
negara-bangsa menikmatinya secara penuh dan menikmati sebagian hak eksklusif atas
sumber daya yang berada dalam garis terluar perbatasan territorial. Teori Egalitarian
sering kali diasumsikan seperti sebuah rezim yang tidak dapat mempertahankan kontrol
negaranya, tapi peribahasa itu masih harus dibuktikan sejelas-jelasnya dari
‘kebenarannya’ dalam peraturan (dalam hukum internasional) yang begitu rumit untuk
negara terkait hak atas sumber daya alamnya yang telah dibuat dalam beberapa dekade
terakhir.
Klaim seperti diatas ada beragam cara, ada negara yang mengimprovisasi –atau
mendasarkan klaim mereka pada perundang-undangan tertentu yang berlaku di
yuridiksi negaranya atau dalam rezim yang longgar sering dikaitkan dengan tujuan
keadilan bagi hak-hak dasar warga negara, alasan efisiensi sumber daya atau
konservasi. Saya secara kritis menelaah berbagai argumen tersebut, dan bisa
menunjukan bahwa alasan mereka tidak memadai sebagai alasan pembenar oleh
lembaga pemerintahan atau
negara, dan tentu saja
negara-negara itu sering kali
mengingkarinya. Terlebih lagi, saya bisa menunjukkan argumen-argumen yang
memiliki bobot normatif, Argumentasi yang signifikansinya cocok dengan penyebaran
hak atas sumber daya dari negara-bangsa tertentu, baik ke bawah dalam arti bagi
masyarakat domestiknya, dan ke atas, yaitu ke lembaga-lembaga trans-nasional dan
global.
Mungkin kesimpulannya bahwa kita harus mencoba teori tersebut sebagai hal
yang urgen guna mengatasi (mendekonstruksi) kedaulatan lembaga negara, atau
setidaknya secara serius memenuhi syarat-syaratnya. Tapi mungkin keputusan tersebut
akan dianggap terlalu prematur. Bab ketujuh mengupas pandangan bahwa kita tidak
harus secara radikal mereformasi kedaulatan permanen negara, tetapi sebaiknya
berupaya untuk terus-menerus melakukan itu secara berkesinambungan. Mungkin
kedaulatan permanen adalah prinsip mendasar karena menciptakan lapangan kerja
terkait sumber daya alamnya bagi warga negara (meskipun penciptaan lapangan
pekerjaan tersebut tak akan memberi kontribusi terhadap tercapainya kesetaraan antar
berbagai negara). Selain itu, menjadikan sumber daya untuk lapangan pekerjaan bagi
warga negara yang miskin dianggap menjadi tujuan yang ingin diwujudkan, sedangkan
reformasi mendasar
(terhadap prinsip kedaulatan) yang yang dianut oleh teori
11
egalitarian global dapat memiliki prospek jauh lebih meyakinkan keberhasilannya (guna
mencapai kesetaraan domestik maupun global).
Dalam bab ini saya mengkaji gagasan prioritas kami untuk mereformasi sistem
perdagangan internasional dalam kaitan sumber daya sehingga mampu melindungi
hak-hak warga negara, dan secara khusus untuk mengantarkan pada sebuah tatanan
ideal 'akuntabilitas publik' berkenaan transaksi sumber daya alam.7 Saya mampu
menunjukkan bahwa teori egalitarian dapat menawarkan konsep bersyarat guna
mendukung reformasi akuntabilitas demikian rupa, sejauh mereka ada niat untuk
mempromosikan kesetaraan (meskipun saya memiliki alasan untuk meragukan mereka
akan mengaktualisasinya di seluruh aspek). Tapi saya berani bertaruh bahwa
mengaplikasikan gagasan pembaruan selain teori egalitarian tak ada yang lebih
ambisius. Saya juga langsung dihadapkan pada tantangan bersifat pragmatis yang
menuduh teori egalitarian global yang menjadi pro-kontra terlalu ambisius. Sisi positif
dari usulan mereformasi sistem perdagangan internasional atas sumber daya alam yang
mana hal itu hanya tergantung pada prinsip (dari 'akuntabilitas publik' atas sumber
daya) yang jelas-jelas diakui dalam hukum internasional. Tanggapan saya memiliki dua
unsur; (pertama) adalah negatif, saya bisa membuktikan bahwa prinsip tersebut tidak
secara jelas diatur dalam hukum internasional; secara praktis, hal ini sudah mereduksi
nilai kemanfaatan yang merupakan dasar akuntabilitas, dan (bentuk) pengakuan
mereka atas superioritas terkait pembaruan kesetaraan yang bersifat lebih ambisius.
(Kedua) sisi positifnya, saya setuju bahwasanya sangatlah penting bagi teori egalitarian
untuk mengidentifikasi –setidaknya– beberapa reformasi yang akan dicapai dengan
suatu cara yang mana kita dapat membuat kemajuan yang signifikan terkait ‘status quo’.
Kalaupun tujuan ini tidak bisa terlaksanakan sebagai suatu teori dalam satu waktu,
namun upaya ini cukup bermanfaat jika teoritisasi kami tujuannya adalah untuk
membuat perubahan. ini merupakan tantangan dimana bab-bab berikutnya dari buku
ini berupaya untuk memenuhinya.
Bab kedelapan mengkaji beberapa saran yang populer untuk memajukan
keadilan terkait sumber daya alam serta masalah perpajakannya. Bahkan, perpajakan
dalam sumber daya alam telah menyita perhatian luar biasa dari teori keadilan sumber
7
Leif Wenar, Blood Oil,. Lihat juga Thomas Pogge, World Proverty and Human Rights (Cambridge: Polity,
2002), Chapter 8.
12
daya alam ini, tetapi pajak merupakan salah satu rangkaian dalam satu rangkaian besar
opsional yang kita miliki untuk memajukan keadilan sosial secara global. Karena itu
saya mulai pembahasan dengan beberapa pertanyaan umum seperti kapan, mengapa,
dan apa yang harus kita lakukan terhadap adanya pungutan pajak. Bab ini kemudian
membahas beberapa kekhawatiran tentang pajak sumber daya alam tertentu, dan
menjelaskan peran pajak sumber daya alam bisa memberi sumbangsih dalam proyek
kesetaraan (egaliter). Lantas hal itu mengajak kita untuk menelaah dimana basis tepat
menempatkan perpajakan, setidaknya untuk beberapa jenis pajak sumber daya alam.
Salah satu kesimpulan terpenting adalah bahwa pajak global tak berdiferensiasi atas
salah satu sumber daya alam yang tidak mungkin untuk memenuhi tuntutan prinsip
keadilan (global) dengan baik. Maka dari itu, sangat mungkin bahwa kemajuan dalam
mencapai sistem perpajakan global sumber daya alam akan dibangun secara bertahap,
bukan dalam satu kali fase, bukannya dicapai pada satu fase. Untuk kedua alasan itu,
ada baiknya menyelidiki beberapa usulan atas sistem perpajakan sumber daya alam
secara lebih spesifik. Salah satunya, pajak pelaku eksploitasi sumber daya alam yang
berada di luar batas-batas portal negaranya, akan dibahas dalam bab kesembilan. Bab
sembilan ini membahas dua hal lagi, yaitu: pajak karbon, dan pajak atas Aset Kekayaan
Kedaulatan (Sovereign Wealth Funds).
Bab kesembilan membahas sumber daya yang terkandung di laut lepas diseluruh
dunia, sumber yang cukup diabaikan oleh sistem politik (internasional) tetapi sangat
memiliki signifikansi
penting bagi proses berlangsungnya ekosistem dan memiliki
potensi ekonomi besar. Bab ini menguraikan intrik politis yang telah dikobarkan terkait
sumber daya alam yang terkandung di laut lepas dalam beberapa dekade terakhir,
dimana ada protagonisme ketegangan terkait soal apakah sumber daya tersebut harus
di bawah kendali masing-masing negara atau tidak telah meninggalkan masalah
ketidakteraturan, ataukah harus dikelola secara global sebagai bagian dari ‘warisan
bersama’ umat manusia dan dieksploitasi sedemikian rupa untuk memperbaiki
kesenjangan global yang tajam. Bab ini membahas kontradiksi terkait sumber daya
alam dengan lebih rinci. Pertama, membahas mengenai hak penangkapan ikan, dimana
kita telah melihat kontrol negara diperluas dan eksploitasi dibatasi di wilayah dalam
yurisdiksi
negaranya;
itu
menunjukkan
bahwa
pendekatan
ini
telah
secara
komprehensif gagal mewujudkan keadilan, baik intra-generasi ataupun antar generasi.
13
Kemudian membahas sumber daya mineral yang terkandung dalam laut lepas (kawasan
laut internasional) yang masih berada diluar kontrol negara. Dibawah yuridiksi hukum
internasional, laut lepas diberlakukan berbeda terkait sumber daya perikananya.
Kesepakatan mengenai wilayah laut internasional telah dicapai, (yang mana
pengawasannya) dibawah naungan International Seabed Authority (ISA), untuk
memanfaatkan eksploitasi mineral di laut internasional yang benilai potensial untuk
mempromosikan kesetaraan global. Meskipun ada sejumlah rintangan, bab ini antusias
mengulas perkembangan tersebut dan mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang
lebih luas, yang mungkin kita bisa mengambil kemanfaatanya guna memperjuangkan
dan menempatkan sumber daya alam berfungsi untuk mengkampanyekan kesetaraan
global. Salah satunya adalah bahwa lembaga yang mampu mempromosikan kesetaraan
sudah ada, yang mana konstituen yang cukup besar, terutama konstituen di negara
berkembang, yang menjadi tantantgan bagi mereka untuk melakukannya. Hal Itu
merupakan tantangan yang negara maju belum terpenuhi dengan baik hingga saat ini.
Tapi demi keadilan intra dan antar generasi, kita harus berharap bahwa ketidakmauan
negara negara-negara tersebut dapat diatasi.
Bab kesepuluh membahas terkait pembagian tanggung jawab konservasi. Hal ini
logis untuk memikirkannya karena keadilan atas sumber daya alam terkait juga
pelestarian, setidaknya dari beberapa sumber daya tersebut dalam satu waktu, apakah
hal ini akan dibiarkan begitu saja –sehingga, misalnya, mereka bisa lepas tanggung
jawab ketika telah memberikan biaya konservasi ekosistem yang vital tersebut, atau
secara aktif ikut peran serta dan (ikut juga dalam) pendanaan dalam perlindungan
terhadap ekosistem sumber daya alam dari berbagai ancaman. Bab ini membahas biayabiaya tersebut kemana dialokasikan. Secara khusus, bab ini memfokuskan diri pada dua
keywords terkait sumber daya alam yang secara khusus dari masing-masing keywords
itu mengenai pertanyaan dimana tanggung jawab konservasi akan dibebankan yang
mana akan memiliki konsekuensi pendistribusiannya yang cukup besar. Kata kunci
(keyword) pertama; membahas perlindungan hutan hujan. Ada banyak alasan –
diantaranya– untuk meyakini bahwa hutan hujan harus dipertahankan daripada
eksploitasi membabi buta guna kepentingan pembangunan ekonomi masyarakat lokal.
Bukan berhenti disitu saja, mereka juga berperan serta dalam menjaga kondisi iklim
global kita (yang semakin mengkhawatirkan). Tetapi masyarakat tersebut dalam
14
keterbelakangannya akan berdampak oportunis, paling tidak jika masyarakat setempat
terjebak dalam kemiskinan sebagai akibat dari ketidakmampuan mereka untuk
menikmati secara arif sumber daya yang bernilai. Kedua, membahas kasus bahan bakar
fosil. Hal ini sering dikatakan jika kita ingin terus menikmati iklim yang sehat-aman,
maka kita harus meninggalkan minyak bumi -serta gas alam, dan batubara. Tapi sekali
lagi, hal itu akan memiliki konsekuensi melebar, paling tidak bagi mereka yang saat ini
bergantung pada ekeberadaan bahan bakar fosil untuk urat nadi perekonomian mereka.
Saya (mencoba) memberikan gambaran awal kapan saat yang tepat untuk menyatukan
pembiayaan ini secara umum, dan mengkaji beberapa mekanisme yang memungkinkan
kita untuk melakukan hal ini,
dan menyelidiki beberapa mekanisme yang
memungkinkan kita untuk melakukan hal ini. Salah satu konsekuensi dari argumentasi
dalam bab ini adalah bahwa suatu gambaran umum terkait keadilan atas sumber daya
alam -dimana pihak atau masyarakat yang memiliki sumber daya berharga dikenakan
pajak guna dialihkan/disubsidikan dananya kepada mereka yang tidak memilikinya,
memang sangatlah rumit. Setidaknya dalam beberapa kasus yang signifikan, keadilan
mungkin memerlukan ‘kemauan berbagi’ oleh pihak atau komunitas masyarakat yang
saat ini mengontrol sumber daya yang berharga. Saya berkesimpulan setelah
mengamati beberapa lembaga yang sudah ada, dan mengamati lembaga yang mungkin
membantu kita untuk memperbaiki ketidakadilan global dengan menyebarkan manfaat
dan tanggung jawab dari sumber daya alam secara lebih adil. Seperti bab-bab lain di
bagian kedua, tujuannya adalah untuk mempertahankan rasa pengertian –rasa
pengertian dari banyaknya ketidakadilan yang mungkin bias diperbaiki, dan kesetaraan
dipromosikan, (hal itu semua bisa dilakukan) jika kita memiliki kemauan politik untuk
melakukannya.
15