ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

Oleh

LIBERTI MARANATA SITEPU

Tindak pidana di bidang lingkungan hidup merupakan kejahatan yang cukup meresahkan masyarakat serta membawa dampak yang berbahaya bagi kesehatan dan kenyamanan lingkungan sekitarnya, oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji dalam bentuk skripsi berjudul: “Analisis Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Lingkungan Hidup”. Permasalahan yang diajukan adalah: 1) Bagaimanakah upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dan 2) Apakah faktor penghambat upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup.

Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan masalah berupa pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Oleh karena itu data yang digunakan berupa data primer yang didapat dari penelitian lapangan dan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup di Kota Bandar Lampung dilaksanakan dengan menggunakan 2 (dua) cara, yaitu Upaya penal yang salah satu upaya penegakan hukum atau segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih menitikberatkan pada pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang dilakukan dengan hukum pidana yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya. Penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan, dan seterusnya merupakan bagian-bagian dari politik kriminal, Upaya non penal yang lebih menitikberatkan pada pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, selanjutnya juga dilaksanakan dengan menggunakan 3 (tiga) tahap, yaitu Tahap formulasi berupa perumusan tindak pidana dan sanksi pidana terhadap pencemaran lingkungan hidup; Tahap aplikasi, berupa tahap pemberian pidana atau penerapan pidana oleh penegak hukum (sebagai kebijakan yudikatif), dan Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh instansi yang berwenang


(2)

LIBERTI MARANATA SITEPU

(sebagai kebijakan eksekutif). serta (2) Faktor penghambat upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat dipaparkan sebagai berikut: a) kurang baiknya sistematisasi dan sinkronisasi perangkat hukum lingkungan, b) kurangnya pengetahuan penegak hukum tentang hukum lingkungan, c) kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap kelestarian lingkungan hidup dan d) kurangnya sarana.dan fasilitas yang mendukung daya berlakunya hukum lingkungan.

Berdasarkan kesimpulan diatas, diajukan saran sebagai masukan bagi penegak hukum sebagai berikut: a) Perlunya pakar ahli di instansi yang menangani kasus-kasus tindak pidana lingkungan hidup, b) Perlu adanya laboratorium di setiap instansi, c) Perlu adanya Penyuluhan Hukum pada masyarakat, dan d) Perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat untuk melestarikan lingkungan sekitar. Kata kunci: Penegakan Hukum, Pelaku Tindak Pidana Lingkungan Hidup.


(3)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

(Studi Kasus Di Wilayah Kota Bandar Lampung)

Oleh

Liberti Maranata Sitepu

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum ... 15

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 19

C. Tindak Pidana Lingkungan Hidup ... 23

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 28

B. Sumber dan Jenis Data ... 28

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 29

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 30


(5)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 31 B. Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana

Lingkungan Hidup ... 32 C. Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum terhadap

Pelaku Tindak Pidana Lingkungan Hidup ... 47

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 53 B. Saran ... 54 DAFTAR PUSTAKA


(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Dr. Nikmah R, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(7)

Judul Skripsi : ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

(Studi Kasus Di Wilayah Kota Bandar Lampung)

Nama Mahasiswa : Liberti Maranata Sitepu

Nomor Pokok Mahasiswa : 0912011335

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H. NIP. 19620817 198703 2 003 NIP. 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H.,M.H. NIP. 19620817 198703 2 003


(8)

MOTTO

WITH GOD ALL THINKS ARE

POSSIBLE

BERSAMA TUHAN SEMUA AKAN

MENJADI MUNGKIN


(9)

PERSEMBAHAN

Karya kecil namun begitu besar artinya bagiku, ku persembahkan

untuk

Bapak (S. Sitepu)

Sosok yang selalu memotivasi hidup saya

Saudara-Saudara tersayang :

Edison Sitepu

Rudiyanto Sitepu

Risma Yanti Br Sitepu


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang beragama Kristen Protestan ini dilahirkan di Natar, pada tanggal 2 Agustus 1991 sebagai anak terakhir dari empat bersaudara pasangan Bapak S. Sitepu dan Ibu S. Sidabalok (Alm).

Penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Merak Batin Lampung Selatan tahun 2002, kemudian menyelesaikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SMP Negeri 1 Natar Lampung Selatan pada tahun 2005, dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas di SMA Fransiskus Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2008.

Pada tahun 2009, penulis terdaftar sebagai Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Untuk lebih khususnya penulis mengambil bagian praktisi hukum pada jurusan Hukum Pidana. Pada tahun 2013 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Kelurahan Karangrejo, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Propinsi Lampung.


(11)

SANWACANA

Segala Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala Kasih dan Karunianya yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “Analisis Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Lingkungan Hidup”.

Penulisan skirpsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan akademis bagi penulis guna menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung dalam rangka memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum, khususnya hukum pidana.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis memperoleh bayak sekali bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Firganefi, S.H., M.H. Sekretaris Jurusan Hukum Pidana yang senantiasa memberikan saran selama penulisan skripsi ini.

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H.,M.H., selaku Ketua bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, juga sekaligus sebagai selaku


(12)

Pembimbing I yang telah bayak membantu dan memberikan bimbingan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dr. Nikmah R, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah banyak memberikan saran, koreksi serta masukan-masukan yang sangat membantu penulis.

6. Ibu Dona Raisa, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang telah memberikan saran, koreksi serta masukan-masukan yang sangat membantu penulis.

7. Bapak Depri Liber Sonata, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan.

8. Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung, atas pendidikan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis.

9. Bapak dan Ibu Karyawan dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Lampung baik dibidang kemahasiswaan maupun akademik. Atas bantuannya selama penulis belajar dan menyelesaikan skripsi ini.

10. Teristimewa untuk kedua orangtuaku, Bapak S. Sitepu dan Mamaku S. Sidabalok senantiasa mendoakanku, memberi dukungan, kesabaran dan motivasi dan pengorbanan baik moril maupun materil yang tidak ada habisnya demi keberhasilanku.

11. Aipda Erman, T., Selaku Subdit IV Tipiter DIT Reskrimsus Kepolisian Daerah Lampung yang telah banyak memberikan inforasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(13)

12. Pegawai BPPLH Kota Bandar Lampung, atas bantuan yang telah diberikan selama penulis melakukan penelitian.

13. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H..selaku Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah menjadi responden, terimakasih atas bantuan yang telah diberikan selama penulis melakukan wawancara.

14. Saudara-Saudaraku yang kusayangi, Abang Edison Sitepu, Abang Rudiyanto Sitepu dan Kakak Risma Yanti Br Sitepu terimakasih atas dukungan selama ini.

15. Keluarga Besar saya di tempat Magang saya, di Kantor Sopian Sitepu & Partners, yaitu: Bapak Sopian Sitepu, S.H., M.H., M.Kn., Ibu Sumarsi, S.H., M.H., Bang Nuki, S.H., Mas Kabul, S.H., Bang Simon Petrus Ginting, S.H., Bang Jepri, S.H., Bang Firdaus Pranata Barus, S.H., Dika, Esti, dan Mita, terimakasih atas semua dukungan serta doa kepada penulis selama ini.

16. Brother-Brother seperjuangan 2009: Nico Andreas Simanungkalit, Andi Krisno Pakpahan, Waldi Indrawan Banjarnahor, Adi S Nainggolan, Verdy Tambunan, Timoteus Silalahi, Elsie Panggabean, Handy Sihotang, Alrferi Sianturi, Daniel Marbun, Andriawan Kusuma, Muhamad Maliki, Satono, Ryan Agung Saputra, dan Yulius Nanda Sionaris atas kebersamaan yang terus dijalin sampai saat ini, sukses ya buat kita semua, tetap jaga persaudaraan dan saling membantu.

17. Teman-teman KKN Tematik Unila: Ryan agung saputra, Anjani, Yulius Nanda Sionaris, Ucha Clarinta, Murdani Efhendy, Shifra nasution, Galih Kristianto, Wynda, Anggi Royan, Dian oktaviani, Cety Marbun dan Keluarga


(14)

besar Bapak Sumani beserta keluarga serta kepala pekon karangrejo Bapak Susilo beserta keluarga penulis ucapkan banyak terimakasih.

18. Mbak Sri dan Mbak Yanti terimakasih atas bantuannya selama ini.

19. Teman-teman jurusan Hukum Pidana dan seluruh mahasiswa angkatan 2009 terimakasih atas pertemanan dan kerjasama yang baik selama ini.

20. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang memberikan kontribusinya bagi keberhasilan penulis.

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan di bidang hukum demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Amien.

Bandar Lampung, Mei 2013 Penulis


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak Pidana Lingkungan Hidup yang dilakukan seseorang ataupun badan hukum korporasi sering terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggal kita tanpa kita sadari, terutama di lingkungan yang penuh dengan perusahaan-perusahaan yang dapat memcemarkan lingkungan di sekitarnya. Hal tersebut sangat merugikan masyarakat sekitar, karena akan membawa dampak yang negatif, seperti akan menimbulkan banyak penyakit yang terserang, bukan hanya itu, air dan udara pun juga tercemar akibat dari perusahaan yang melakukan pelanggaran dan membuang limbah tanpa adanya penyaringan. Namun apakah seseorang dan/atau perusahaan korporasi yang melakukan pelanggaran tersebut akan mendapatkan hukuman, itu semua tergantung pada permasalahan yang dihadapi apakah terdapat pelanggaran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau tidak.

Pelanggaran dan/atau ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan pada Pasal 98 sampai Pasal 120. Dari Undang-Undang tersebut terdapat Pelanggaran khususnya untuk pembuangan limbah yaitu pada Pasal 98 sampai Pasal 100 UUPPLH. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu ternyata


(16)

2

mempunyai kesalahan atau melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup selanjutnya disingkat (UUPPLH), maka orang atau perusahaan korporasi tersebut harus dipidana. Tetapi jika perbuatan tersebut tidak mempunyai kesalahan, walaupun telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, pelakunya tentu tidak dipidana. Hal tersebut sesuai dengan asas yang mengatakan, “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar dari pada dipidananya pembuat.

Asas dalam hukum pidana disebutkan bahwa tidak pidana jika tidak ada kesalahan. Hal ini merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal pidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari persoalan apakah dalam melakukan perbuatan tersebut mempunyai kesalahan atau tidak.

Selain itu lingkungan hidup merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan generasi manusia. Jika lingkungan tercemar oleh perbuatan seseorang atau perusahaan korporasi, maka sangat jelas akan merusak bahkan menimbulkan pengaruh buruk terhadap kehidupan manusia di sekitarnya, maka tidak perlu harus ada unsur kesalahan terhadap pelaku untuk membuktikannya karena berdasarkan pada Pasal 88 UUPPLH. Pertanggungjawaban semacam itu disebut strict liability

tanpa kesalahan.

Berdasarkan berita dari Koran Radar Lampung hari senin tanggal 25 Maret 2013, bahwa Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah yang selanjutnya disebut (BPLHD) mengatakan, setidaknya terdapat 2 (dua) program guna mengatasi permasalahan pencemaran lingkungan hidup di kota Bandar lampung,


(17)

3

yaitu program peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup (proper) guna pengawasan limbah industri serta bank sampah untuk pengendalian sampah rumah tangga. Ini karena pencemaran sungai rata-rata dikarenakan limbah domestik dan limbah industri.

Diterangkan, tahun ini terdapat 95 perusahaan yang masuk penilaian proper. Jumlah itu jauh meningkat dibanding tahun lalu yang hanya berjumlah 45 perusahaan. Tetapi untuk 20 perusahaan, pihaknya dibantu pusat dalam pembinaannya.

Kemudian terkait bank sampah, Relliyani menerangkan bahwa bank sampah merupakan sebuah program pengumpulan sampah untuk didaur ulang. Sampah yang selama ini dinilai tidak berguna, namun jika didaur ulang dengan pengelolaan yang lebih baik, akan menjadi produk barang yang bermanfaat. Jadi masyarakat diharapkan membuang sampah sembarang atau ke bantaran sungai seperti yang selama ini kerap terjadi.1

Masalah lingkungan pada hakekatnya adalah masalah ekologi manusia. Masalah lingkungan timbul sebagai akibat adanya pencemaran terhadap lingkungan. Faktor penyebab utamanya adalah adanya unsur kesalahan dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi. Kesalahan itu meliputi unsur kesengajaan dan kelalaian.

Penggunaan hukum lingkungan hidup melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan

primum remedium, dan hukum pidana sebagai ultimum remedium. Namun, dalam

hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana sebagai ultimum remedium dapat

1.


(18)

4

diutamakan. Ini berarti bahwa Korporasi atau Perusahaan atau Perseroan Terbatas atau disebut juga Perseroan yang tidak melaksanakan kewajibannya berupa tanggung jawab sosial dan lingkungan seharusnya merupakan suatu perbuatan yang dapat dipidana, perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana2.

Berikut adalah tabel kasus tindak pidana lingkungan hidup di Kota Bandar Lampung Tahun 2009 – 2013:

Tabel 1. Kasus Pelanggaran Lingkungan Hidup di Kota Bandar Lampung Tahun 2009 – 2013

No PELAKU DAN KEG. USAHA KASUS YG TERJADI LOKASI KEJADIAN PASAL YG DILANGGAR KETERANGAN PENYELESAIAN 1 Sdr. Z Pemotong Sapi Pencemaran air (Way Belau) Kedamaian, Bdr.Lampu ng UUPPLH NO.32 TH 2009 PSL 98 ayat (1)

Penyelidikan (2009)

2 PT. Golden Sari Pencemaran air (Way Belau) Kedamaian, Bdr.Lampu ng UUPPLH NO.32 TH 2009 PSL 98 ayat (1)

Diserahkan kpd Pemda (2010)

3 PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Panjang Pencemaran air laut dan pengerukan alur pelabuhan panjang Pel.Panjan Bdr.Lampu ng UUPPLH NO.32 TH 2009 PSL 98 ayat (1)

Sampai

sekarang masih dalam

penyidikan Polda Lampung

Sumber BPPLH Kota Bandar Lampung 2013

2.


(19)

5

Berdasarkan Tabel 1 tersebut diatas, dapat dilihat bahwa ada pelanggaran Lingkungan Hidup di wilayah Kota Bandar Lampung Tahun 2009-2013, yaitu: ada 3 (tiga) perusahaan yang ketiganya melakukan Pencemaran air namun ada juga yang melakukan pencemaran air juga melakukan pengerukan alur pelabuhan panjang. Ketiga Perusahaan semua berada di wilayah Kota Bandar Lampung, dan ketiganya melanggar Pasal 98 ayat (1) UUPPLH No.32 Tahun 2009. Pada Perusahaan No.1 yakni, Sdr. Z pemotong sapi keterangan penyelesaian hanya sampai pada tahap penyelidikan, dan tidak sampai ke pengadilan, begitu juga pada perusahaan No.2 yakni, PT Golden Sari keterangan penyelesaiannya hanya diserahkan kepada Pemda, namun pada perusahaan No.3 yakni, PT Pelindo II, keterangan penyelesaiannya sudah sampai ke Pihak Kepolisaian Daerah Lampung untuk ditindaklanjuti sampai kepengadilan.

Sebagai contoh kasus pencemaran lingkungan hidup yang menjadi perhatian di Kota Bandar Lampung saat ini salah satunya yaitu pencemaran air laut yang dilakukan oleh PT Pelindo II Cabang Panjang atau yang biasa disebut pelabuhan panjang yang berada di Panjang Kota Bandar Lampung. Permasalahan yang timbul karena PT Pelindo II melakukan pembuangan limbah sedimen pengerukan alur Pelabuhan Panjang sehingga masyarakat dan pembudidaya ikan kerapu yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kerapu Lampung (Fokkel), merasa dirugikan dan mereka yakini memicu ledakan populasi fitoplankton atau disebut pasang merah yang membunuh ratusan ribu ikan budidaya yang yang mereka kelola. Namun, pihak PT Pelindo II Cabang Panjang bersikeras, kegiatan pengerukan dan pembuangan limbah itu sudah sesuai dengan ketentuan. Mereka juga telah mengantongi izin kegiatan dari Wali Kota Bandar Lampung dan


(20)

6

Menteri Perhubungan serta PT Pelindo II juga mengajak sejumlah media untuk menengok langsung lokasi dumping pengerukan alur pelabuhan itu

Ribuan ikan kerapu bebek (Chromileptes altivelis) yang dibudidayakan di keramba jaring apung di Ringgung, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, menggelepar di permukaan akibat kesulitan bernafas serta puluhan ribu ikan berbagai jenis di Teluk Lampung mati akibat fenomena pasang merah atau meledaknya populasi fitoplankton akibat dari PT Pelindo II melakukan pembuangan limbah sedimen pengerukan alur Pelabuhan Panjang, sehingga pembudidaya ikan kerapu yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kerapu Lampung (Fokkel) yang dalam hal ini menjadi korban atas kasus tersebut, dan melaporkan PT Pelindo II Cabang Panjang ke Polda Lampung terkait aktivitas pembuangan limbah sedimen pengerukan alur Pelabuhan Panjang.

Jika dilihat dari contoh kasus tersebut, perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders). Sehingga dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut dapat hal-hal yang dikecualikan khususnya pertanggungjawaban berdasarkan unsur kesalahan dalam UUPPLH 2009 tidak sama dengan pertanggungjawaban dalam hukum pidana.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul skripsi mengenai: “Analisis Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup”.


(21)

7

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, maka dikemukakan rumusan permasalahan sebagai berikut:

1) Bagaimanakah upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup?

2) Apakah faktor penghambat upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah meliputi kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan. Substansi penelitian dibatasi pada upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Lokasi penelitian di Polda Lampung dan Badan Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPPLH) Kota Bandar Lampung

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan ruang lingkup penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana Lingkungan Hidup.


(22)

8

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana Lingkunagn Hidup.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara Teoritis, untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum dan memperluas wawasan guna menerapkan dan mengembangkan ilmu hukum. b. Secara Praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan

masukan bagi aparat penegak hukum, terutama jaksa dan Hakim dalam menangani perkara-perkara Tindak Pidana Lingkungan yang dilakukan Korporasi di Lampung.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian3.

Membicarakan penegakan hukum pidana sebenarnya tidak hanya bagaimana cara membuat hukum itu sendiri, melainkan juga mengenai apa yang dilakukan oleh aparatur penegaka hukum dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah dalam penegakan hukum, oleh karena itu, dalam menangani masalah-masalah dalam penegakan hukum pidana yang terjadi dalam masyarakat dapat dilakukan secara penal (hukum pidana) dan non penal (tanpa menggunakan hukum pidana).

3.

Soerjono Soekanto, 1986, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 123.


(23)

9

Menurut Sudarto4 penegakan hukum dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu:

1. Upaya Penal (Represif)

Upaya penal merupakan salah satu upaya penegakan hukum atau segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih menitikberatkan pada pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang dilakukan dengan hukum pidana yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya. Penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan, dan seterusnya merupakan bagian-bagian dari politik kriminal.

Demikian pula Hoefnagels menyatakan, upaya penegakan hukum dapat ditempuh dengan cara:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan melalui media masa (influencing view of society on crime and

punishment/mass media).5

2. Upaya Non Penal (Preventif)

Upaya penegakan hukum secara non penal ini lebih menitikberatkan pada pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya:

4.

Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm.113.

5.

Barda Nawawi Arif, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 48.


(24)

10

a) Penanganan objek kriminalitas dengan sarana fisik atau kongkrit gun mencegah hubungan antara pelaku dengan objeknya dengan sarana pengamanan, pemberian pengawasan pada objek kriminalitas.

b) Mengurangi dan menghilangkan kesempatan berbuat kriminal dengan perbaikan lingkungan.

c) Penyuluhan kesadaran mengenai tanggungjawab bersama dalam terjadinya kriminal yang akan mempunyai pengaruh baik dalam penanggulangan kejahatan.

Lebih lanjut dikatakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa upaya penegakan hukum secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non-penal” (bukan/di luar hukum pidana).

Berbicara mengenai masalah penegakan hukum tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum, yang menurut Soejono Soekanto dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut6:

1. Faktor Perundang-undangan (substansi hukum).

Bahwa semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin baik memungkinkan penegakannya, sebaliknya semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah menegakkannya. Secara umum bahwa peraturan hukum yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofi.

6


(25)

11

2. Faktor penegak hukum

Bahwa faktor penegak hukum ini menentukan proses penegakan hukum yaitu pihak-pihak yang menerapkan hukum tersebut. Adapun pihak-pihak ini yang langsung terkait dalam proses fungsionalisasi hukum pidana terhadap perbuatan yang merusak obyek dan daya tarik wisata.

3. Faktor Prasarana atau fasilitas

Penegakan hukum akan berlangsung dengan baik apabila didukung dengan sarana atau fasilitas yang cukup. Sarana atau fasilitas ini digunakan untuk mencapai tujuan, yaitu tercapainya masyarakat yang tertib dan taat hukum.

4. Faktor Masyarakat

Merupakan bagian terpenting dari masyarakat yng menentukan penegakan hukum dan kesadaran hukum merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu, sedangkan kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum itu.

5. Faktor Kebudayaan

Merupakan hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

3. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kesimpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti7.

7.


(26)

12

Agar tidak terjadi kesalahan pemahan terhadap permasalahan, maka penulis akan memberikan beberapa konsep dari berbagai istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Upaya adalah usaha; ikhtiar (untuk mendapatkan suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dan sebagainya)8.

b. Penegakan hukum pidana yaitu sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atu bekerja dan terwujud secara konkret9. c. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbadan hukum10.

d. Tindak Pidana Lingkungan adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang atau aturan hukum disertai ancaman bagi barang siapa yang merusak atau yang mencemarkan lingkungan.11

e. Pencemaran Lingkungan Hidup, yaitu masuk atau dimasukkannya makluk hidup, zat, energi, atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui buku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.12

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

8.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

9.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 157.

10

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (32) Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

11. Ibid

., Pasal 88, Pasal 116 ayat (1), dan Pasal 118.

12. Ibid


(27)

13

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan kerangka konseptual, dan selanjutnya diakhiri dengan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab yang berisikan tinjauan pustaka, yakni pengertian perbuatan pidana dan unsur pidana, teori pertanggungjawaban pidana, pengertian-pengertian umum mengenai tentang pokok bahasan pengaturan/peralihan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang menguraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu mengenal pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini dilakukan pembahasan terhadap permasalahan yang dikemukakan, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Menjelaskan permasalahan yaitu bagaimana pengaturan/peralihan unsur kesalahan dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


(28)

14

V. PENUTUP

Merupakan bab penutup dari pembahasan skripsi ini yang memuat kesimpulan secara ringkas dari hasil pembahasan dari penelitian, juga memuat saran penulis sehubungan dengan permasalahan yang dibahas.


(29)

15

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan ketiga ide inilah yang merupakan hakekat dari penegakan hukum.1

Penegakan hukum dapat diartikan pada penyelenggaraan hukum oleh petugas penegakan hukum dan setiap orang yang mempunyai kepentingan dan sesuai kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian penegakan hukum merupakan suatu sistem yang menyangkut suatu penyerasian antara lain dan kaidah serta perilaku nyata manusia. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya, perilaku atau sikap tindak itu bertujuan untuk menciptakan, memelihara, mempertahankan kedamaian.

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku. Ganguan tersebut timbul apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma dalam kaidah-kaidah yang simpangsiur dan pola perilaku yang tidak terarah yang menggangu kedamaian pergaulan hidup.

1.


(30)

16

Menurut Soerjono Soekanto2 bahwa penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan. Walaupun dalam kenyataan di Indonesia kecenderungan adalah demikian. Sehingga pengertian Law Enforcement begitu popular. Bahkan ada kecenderungan untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksana keputusan-keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan pengadilan bisa terjadi malahan justru mengganggu kedamaian dalam pergaulan hidup masyarakat.

Membicarakan penegakan hukum pidana sebenarnya tidak hanya bagaimana cara membuat hukum itu sendiri, melainkan juga mengenai apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah dalam penegakan hukum pidana yang terjadi dalam masyarakat dapat dilakukan secara penal (hukum pidana) dan non penal (tanpa menggunkan hukum pidana) Menurut Sudarto3 bahwa penegakan hukum dapat dilaksanakan dengan dua cara sebagai berikut:

1. Upaya Penal (Represif)

Upaya penal merupakan salah satu upaya penegakan hukum atau segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih menitikberatkan pada pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang dilakukan dengan hukum pidana yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya. Penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan, dan seterusnya merupakan bagian-bagian dari politik kriminal.

2.

Soerjono Soekanto, loc. cit.

3.


(31)

17

2. Upaya Non Penal (Preventif)

Upaya penegakan hukum secara non penal ini lebih menitikberatkan pada pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya:

a). Penanganan objek kriminalitas dengan sarana fisik atau kongkrit guna mencegah hubungan antara pelaku dengan objeknya dengan sarana pengamanan, pemberian pengawasan pada objek kriminalitas.

b). Mengurangi dan menghilangkan kesempatan berbuat kriminal dengan perbaikan lingkungan.

c). Penyuluhan kesadaran mengenai tanggungjawab bersama dalam terjadinya kriminal yang akan mempunyai pengaruh baik dalam penanggulangan kejahatan.

Berkaitan dengan penegakan hukum pidana, Muladi dan Barda Nawawi Arief4 menyatakan, bahwa menegakkan hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan yang merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang tidak termaksuk dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Tahap-tahap tersebut adalah:

1. Tahap Formulasi

Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa

4


(32)

18

kini dan yang akan datang, kemudian merumuskan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislatif.

2. Tahap Aplikasi

Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai kepengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan-peraturan perundangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang, dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut sebagai tahap yudikatif.

3. Tahap Eksekusi

Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Pada tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan. Dengan demikian proses pelaksanaan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam pelaksanaan tugasnya harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang daya guna.

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut dilihat sebagai suatu usaha atau proses rasioanal yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.


(33)

19

Jelas harus merupakan jalinan rantai aktivitas yang terputus yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan. Istilah penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan, melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum merupakan perwujudan konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan. Di dalam proses tersebut, hukum tidaklah mandiri, artinya ada faktor-faktor lain yang erat dengan proses penegakan hukum tersebut yang harus ikut serta, yaitu masyarakat itu sendiri dan penegak hukumnya. Dalam hal ini hukum tidak lebih hanya ide-ide atau konsep-konsep yang mencerminkan didalamnya apa yang disebut dengan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang dituangkan dalam bentuk perundang-undangan dengan maksud mencapai tujuan tertentu. Namun demikian, tidak berarti pula peraturan-peraturan hukum yang berlaku diartikan telah lengkap dan sempurna, melainkan suatu kerangka yang masih memerlukan penyempurnaan. Untuk merealisasikan tujuan hukum tersebut, sangat ditentukan tingkat profesionalisme aparat penegak hukum, yang meliputi kemampuan dan keterampilan baik dalam menjabarkan peraturan-peraturan maupun di dalam penerapannya.


(34)

20

Menurut Soerjono Soekanto5 penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, terdapat faktor yang mempengaruhinya yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri.

2. Faktor Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum itu

tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergumulan hidup.

Apabila kelima faktor tersebut dijadikan barometer didalam penegakan hukum untuk melihat faktor penghambat dan pendorong di dalam pelaksanaan tugasnya, maka akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Faktor Hukum

Praktek penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal itu dikarenakan konsensi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakekatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup “Law enforcement” saja, akan tetapi juga

“peace maintenance”, karena penyelenggaraan hukum sesunggungnya

merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

5

. Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm 5.


(35)

21

Dengan demikian tidak berarti setiap permasalahaan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.

2. Kepribadian atau Mentalitas Penegak Hukum

Salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum, dengan mengutip pendapat J.E Sahetapy yang menyatakan bahwa, dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan.6

3. Fasilitas Pendukung

Fasilitas Pendukung mencangkup perangkat lunak dan keras. Salah satu perangkat lunak adalah pendidikan, pendidikan yang diterima oleh polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan dalam tugasnya, antara lain pengetahuan tentang kejahatan Korupsi, yang merupakan tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenangnya kepada Jaksa Penuntut Umum. Hal ini karena secara teknis-yuridis kepolisian dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun

6


(36)

22

disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh pihak kepolisian begitu luas dan begitu banyak.

4. Taraf Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum Masyarakat.

Setiap warga masyarakat atau kelompok, pasti mempunyai kesadaran hukum, masalah yang trimbul adalah taraf kepatuhan hukum, yakni kepatuhan hukum yang tinggi, sedang atau rendah. Sebagaimana diketahui kesadaran hukum sebenarnya merupakan suatu proses yang mencangkup pengetahuan hukum, sikap hukum, dan perilaku hukum.

5. Faktor Budaya dan Masyarakat

Secara analisis konsepsional terhadap berbagai jenis kebudayaan, apabila dilihat dari perkembangannya dan ruang lingkupnya di Indonesia, adanya super-culture,

culture, subculture dan counter-culture. Variasi kebudayaan yang demikian

banyaknya, dapat menimbulkan persepsi-persepsi tertentu terhadap penegakan hukum, variasi-variasi kebudayaan sangat sulit untuk diseragamkan, oleh karena itu penegakan hukum harus disesuaikan dengan kondisi setempat, misalnya penegakan hukum di Papua akan berbeda dengan di Jakarta.

Kelima Faktor tersebut diatas saling berkaitan, karena merupakan hal pokok dalam penegakan hukum, serta merupakan ukuran untuk mengetahui efektivitas dalam penegakan hukum. Dari kelima faktor tersebut faktor penegak hukum menempati titik sentral. Hal ini disebabkan oleh karena undang-undang dibuat untuk dilaksanakan oleh penegak hukum dan dalam penerapannya kemungkinan ada perbedaan persepsi antara penegak hukum yang satu dengan penegak hukum


(37)

23

yang lain. Di samping itu dalam masyarakat ada anggapan, bahwa penegak hukum merupakan golongan yang mengetahui dan mengerti tentang hukum, sehingga dijadikan panutan oleh masyarakat.

C. Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup merupakan satu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makluk hidup, termaksuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia dan makluk hidup lainnya. Lingkungan hidup memerlukan pengelolaan yang baik dan benar guna melestarikan fungsi lingkungan hidup sehingga tidak tercemar dan dapat memberikan manfaat bagi manusia dan alam sekitarnya.

Menurut Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup dijelaskan, bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.7

Berdasarkan perumusan Pasal 1 angka (14) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tersebut diatas, dapat diketahui pencemaran lingkungan hidup yaitu:

1) masuknya atau dimasukannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lin kedalam lingkungan.

2) Kegiatan tersebut dilakukan oleh manusia.

7

. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


(38)

24

3) Menimbulkan akibat kualitas lingkungan menurun sampai pada tingkat tertentu yaitu sesuatu keadaan yang menyebabkan lingkungan hidup menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya atau penerunan fungsi lingkungan hidup dari keadaan yang seharusnya.

Mengenai perbuatan perusakan lingkungan, dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 angka (16) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang berbunyi:

“Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.

Memperhatikan rumusan Pasal 1 angka (16) di atas, secara garis besarnya perusakan lingkungan hidup mengandung unsur-unsur bahwa:

1) Adanya tindakan yang dilakukan.

2) Tindakan tersebut menimbulkan perubahan secara langsung maupun tidak langsung terhadap sifat fisik maupun hayati lingkungan tersebut.

3) Tindakan yang dilakukan secara nyata telah mengakibatkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi dalam menunjang kehidupan selanjutnya.

Dalam pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pencemaran lingkungan hidup oleh suatu korporasi (badan hukum), ada 3 golongan yang dapat dipertnggungjawabkan jika suatu korporasi melakukan tindak pidana, yaitu:

1) Orang sebagai pribadi yang melakukan 2) Orang sebagai pengurus korporasi 3) Orang sebagai pengurus,


(39)

25

Kententuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindak pidana berkenaan dengan pencemaran lingkungan hidup diluar KUHP, sebagaimana diatur pada Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut:

Pasal 98;

Ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Ayat (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Ayat (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 99;

Ayat (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Ayat (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Ayat (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).


(40)

26

Pasal 100

Ayat (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Ayat (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.

Jika tindak pidana terhadap pencemaran lingkungan dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada Korporasi dan seseorang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana orang tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut (Pasal 116 Undang-Undang 32 Tahun 2009).

Dalam KUHP ketentuan yang dapat dianggap berkenaan dengan tindak pidana pencemaran lingkungn hidup diterangkan dalam Pasal 187,188, 202 dan 203 sebagai berikut:

Pasal 187;

Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir akan diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun jika karenanya timbul bahaya bagi nyamwa orang lain, dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang.

Pasal 188;

Barang siapa karena kealfaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang, timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya menyebabkan matinya orang.

Pasal 202

Ayat (1) Barang siapa memasukkan barang sesuatu kedalam sumur, pompa, sumber air atau perlengkapan air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh atau bersama-sama dengan orang lain, padahal diketahui


(41)

27

bahwa karenanya air lalu berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Ayat (2) Jika perbuatan dimaksud mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Pasal 203

Ayat (1) Barang siapa karena kealfaannya menyebabkan bahwa barang sesuatu dimasukkan kedalam sumur, pompa, sumber air atau perlengkapan air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh atau bersama-sama dengan orang lain, padahal diketahui bahwa karenanya air lalu berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan.

Ayat (2) Jika perbuatan dimaksudkan mengakibatkan matinya orang, yang besalah dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurungan paling lama satu tahun.

Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHP dan Undang-Undang mengenai lingkungan hidup, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:

1) Perampasan Keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau 2) Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan;dan/atau

3) Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau

4) Mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau 5) Meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau

6) Menempatkan perusahaan di bawah pengampunan paling lama 3 (tiga) tahun. (Pasal 119 Undang-Undang 32 Tahun 2009).


(42)

28

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Metode Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat teoritis yang melandasi kajian tentang penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Di samping itu, pendekatan ini didukung dengan pendekatan yuridis empiris, yang dilakukan untuk mengetahui penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunaka dalam penelitian ini adalah:

1. Data Primer, yakni data yang diperoleh langsung dari hasil penelitian di lapangan, terutama melalui wawancara yang dilakukan terhadap para penegak hukum yang terkait dengan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup serta yang meliputi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup .


(43)

29

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, serta peraturan pelaksana undang-undang yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup.

3. Data Tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan tersier, seperti bibliografi; ensiklopedi; kamus, dan sebagainya.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisi yang ciri-cirinya akan diduga.1

Sampel adalah sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara “purposive sampling” atau penarikan sampel yang bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu.

Berdasarkan tujuan yang ingin dipenuhi melalui responden, maka yang dijadikan sampel sebagai responden adalah :

1. Penyidik Polda Lampung 1 orang 2. Dosen Bagian Hukum Pidana FH UNILA 1 orang 3. Pegawai BPPLH Kota Bandarlampung 1 orang Jumlah 3 orang

1

. Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 51.


(44)

30

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan.

a. Studi lapangan adalah penelitian yang dilakukan secara langsung pada obyek penelitian dengan melakukan wawancara terhadap pihak-pihak yang ada hubungannya dengan Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup.

b. Studi kepustakaan adalah studi yang dilakukan terhadap buku-buku kepustakaan yang dilakukan dengan membaca, mempelajari dan mengutip serta mencatat terhadap beberap literatur ilmu pengetahuan hukum, peraturan perundang-undangan dan hukum pidana, buku-buku dan dokumen yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, baik data primer maupun data sekunder maka tahap selanjutnya melakukan pengelolaan data tersebut dengan cara:

1. Editing, yaitu memeriksa data yang diperoleh, dan diteliti kembali kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya sehingga terhindar dari kesalahan.

2. Interpretasi Data, yakni menghubungkan, membandingkan, dan menguraikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian, untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan.

3. Sistematisasi data, disusun secara sistematis sesuai dengan pokok-pokok bahasan, sehingga memudahkan analisis data.


(45)

31

E. Analisi Data

Penelitian ini menggunakan tehnik analisis kualitatif, yaitu analisis data yang dilakukan dengan cara menggambarkan dan menginterprestasi data yang diteliti dan diuraikan dalam bentuk kalimat (deskripsi), sehingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan.

Kesimpulan dari hasil analisis tersebut guna mendapatkan pengertian-pengertian dalam menjawab permasalahan, diperoleh dengan berpedoman pada cara berfikir induktif, yakni suatu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan yang berdasarkan atas data-data yang bersifat khusus dan kemudian disimpulkan secara umum.


(46)

54

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ke responden-responden dapat disimpulkan, bahwa:

1. Penegakan hukum pidana secara umum agar benar-benar dapat terwujud harus melalui 2 (dua) cara, yaitu:

a) Upaya Penal (Represif) yaitu salah satu upaya penegakan hukum yang lebih menitikberatkan pada pemberantasan setelah terjadinya kejahatan dan

b) Upaya Non Penal (Preventif) yaitu upaya penegakan hukum yang lebih menitikberatkan pada pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana,

Selain itu juga penegakan hukum dapat menggunakan 3 (tiga) tahap, yaitu:

a) Tahap formulasi yakni berupa perumusan tindak pidana dan sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang telah dirumuskan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup (sebagai kebijakan legislatif).

b) Tahap aplikasi yakni berupa tahap pemberian pidana atau penerapan pidana oleh penegak hukum (sebagai kebijakan yudikatif), dan


(47)

55

c) Tahap eksekusi yakni berupa, penjatuhan hukum pidana oleh instansi yang berwenang bagi perusahaan yang melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (sebagai kebijakan eksekutif).

2. Faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: a) kurang baiknya sistematisasi dan sinkronisasi perangkat hukum lingkungan; b) kurangnya pengetahuan penegak hukum tentang hukum lingkungan; c) kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap kelestarian lingkungan hidup; dan d) kurangnya sarana.dan fasilitas yang mendukung daya berlakunya hukum lingkungan. Dari keempat faktor tersebut dapat dianalisis bahwa, kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap kelestarian lingkungan hidup merupakan faktor yang paling dominan. Apabila kesadaran masyarakat tinggi terhadap lingkungan maka tidak adanya peraturan pun tidak menjadi masalah, mengingat tingginya kesadaran hukum maysarakat terhadap lingkungan. Masyarakat di negaranegara Eropa umumnya sudah memiliki kesadaran hukum yang tinggi terhadap lingkungan mereka, hal itu bisa menjadi contoh dalam penerapan hukum di Indonesia.

B. Saran

1. Perlunya pakar-pakar ahli di instansi yang menangani kasus-kasus tindak pidana lingkungan hidup dan kemampuan profesional aparat penegak hukum (Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana lingkungan dan hukum lingkungan hidup.


(48)

56

2. Perlu adanya laboratorium yang lengkap yang dapat mengadakan pengujian dan penelitian terhadap pencemaran lingkungan hidup di setiap instansi yang menangani kasus tindak pidana lingkungan hidup bahkan sampai tiap-tiap provinsi.

3. Perlu adanya Penyuluhan Hukum pada masyarakat berkaitan dengan pencemaran Lingkungan Hidup.

4. Perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat untuk melestarikan lingkungan sekitar dengan menggunakan spanduk-spanduk.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, M. Arief, 2008, Pengertian Korporasi, Rajawali, Jakarta.

Arief, Barda Nawawi. 1984. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Diktat Fakultas Hukum Undip, Semarang.

Hamid, Hamrat. 1991. Pedoman Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan. Kejaksaan Agung RI. Jakarta.

Harun, Husein M., 1995. Lingkungan Hidup: Masalah, Pengelolaan, dan

Penegakan Hukum. Bina Aksara. Jakarta. Koran Radar Lampung, senin, tanggal 25 Maret 2013.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Priyatno, Dwidja. 2004. Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungfawaban

PidanaKorporasi di Indonesia. Utomo. Bandung.

Raharjo, Satjipto.tt. Masalah Penegakan Hukum. Sinar Baru. Bandung. tt.

Reksodiputro, Mardjono. 1982. Tinjauan terhadap Perkembangan Delik-Delik

Khusus dalam Masyarakat yang Mengalami Modernisasi. Bina Cipta.

Bandung.

Sahetapy, JE. 1995. Bunga Rampai Viktimisasi. Bandung. Eresco.

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor ynag Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali. Jakarta. 1983.

Soesilo, R. 1994, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta

Komentar-Komentarnya Lengkap pasal demi Pasalnya. Politeia Bogor.


(50)

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Sudarto. 1983. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 2003

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas


(1)

Penelitian ini menggunakan tehnik analisis kualitatif, yaitu analisis data yang dilakukan dengan cara menggambarkan dan menginterprestasi data yang diteliti dan diuraikan dalam bentuk kalimat (deskripsi), sehingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan.

Kesimpulan dari hasil analisis tersebut guna mendapatkan pengertian-pengertian dalam menjawab permasalahan, diperoleh dengan berpedoman pada cara berfikir induktif, yakni suatu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan yang berdasarkan atas data-data yang bersifat khusus dan kemudian disimpulkan secara umum.


(2)

54

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ke responden-responden dapat disimpulkan, bahwa:

1. Penegakan hukum pidana secara umum agar benar-benar dapat terwujud harus melalui 2 (dua) cara, yaitu:

a) Upaya Penal (Represif) yaitu salah satu upaya penegakan hukum yang lebih menitikberatkan pada pemberantasan setelah terjadinya kejahatan dan

b) Upaya Non Penal (Preventif) yaitu upaya penegakan hukum yang lebih menitikberatkan pada pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana,

Selain itu juga penegakan hukum dapat menggunakan 3 (tiga) tahap, yaitu:

a) Tahap formulasi yakni berupa perumusan tindak pidana dan sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang telah dirumuskan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup (sebagai kebijakan legislatif).

b) Tahap aplikasi yakni berupa tahap pemberian pidana atau penerapan pidana oleh penegak hukum (sebagai kebijakan yudikatif), dan


(3)

berwenang bagi perusahaan yang melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (sebagai kebijakan eksekutif).

2. Faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: a) kurang baiknya sistematisasi dan sinkronisasi perangkat hukum lingkungan; b) kurangnya pengetahuan penegak hukum tentang hukum lingkungan; c) kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap kelestarian lingkungan hidup; dan d) kurangnya sarana.dan fasilitas yang mendukung daya berlakunya hukum lingkungan. Dari keempat faktor tersebut dapat dianalisis bahwa, kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap kelestarian lingkungan hidup merupakan faktor yang paling dominan. Apabila kesadaran masyarakat tinggi terhadap lingkungan maka tidak adanya peraturan pun tidak menjadi masalah, mengingat tingginya kesadaran hukum maysarakat terhadap lingkungan. Masyarakat di negaranegara Eropa umumnya sudah memiliki kesadaran hukum yang tinggi terhadap lingkungan mereka, hal itu bisa menjadi contoh dalam penerapan hukum di Indonesia.

B. Saran

1. Perlunya pakar-pakar ahli di instansi yang menangani kasus-kasus tindak pidana lingkungan hidup dan kemampuan profesional aparat penegak hukum (Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana lingkungan dan hukum lingkungan hidup.


(4)

56

2. Perlu adanya laboratorium yang lengkap yang dapat mengadakan pengujian dan penelitian terhadap pencemaran lingkungan hidup di setiap instansi yang menangani kasus tindak pidana lingkungan hidup bahkan sampai tiap-tiap provinsi.

3. Perlu adanya Penyuluhan Hukum pada masyarakat berkaitan dengan pencemaran Lingkungan Hidup.

4. Perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat untuk melestarikan lingkungan sekitar dengan menggunakan spanduk-spanduk.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, M. Arief, 2008, Pengertian Korporasi, Rajawali, Jakarta.

Arief, Barda Nawawi. 1984. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Diktat Fakultas Hukum Undip, Semarang.

Hamid, Hamrat. 1991. Pedoman Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan. Kejaksaan Agung RI. Jakarta.

Harun, Husein M., 1995. Lingkungan Hidup: Masalah, Pengelolaan, dan Penegakan Hukum. Bina Aksara. Jakarta.

Koran Radar Lampung, senin, tanggal 25 Maret 2013.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Priyatno, Dwidja. 2004. Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungfawaban Pidana Korporasi di Indonesia. Utomo. Bandung.

Raharjo, Satjipto.tt. Masalah Penegakan Hukum. Sinar Baru. Bandung. tt.

Reksodiputro, Mardjono. 1982. Tinjauan terhadap Perkembangan Delik-Delik Khusus dalam Masyarakat yang Mengalami Modernisasi. Bina Cipta. Bandung.

Sahetapy, JE. 1995. Bunga Rampai Viktimisasi. Bandung. Eresco.

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor ynag Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali. Jakarta. 1983.

Soesilo, R. 1994, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap pasal demi Pasalnya. Politeia Bogor. Bogor.


(6)

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Sudarto. 1983. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 2003

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Penerbit Universitas Lampung. Bandar Lampung.