ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ADVOKAT PELAKU TINDAK PIDANA SUAP

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ADVOKAT PELAKU TINDAK PIDANA SUAP

Oleh

JURY AJI STIHALI

Advokat sebagai profesi didasarkan kepada nilai-nilai kehormatan dan kepribadian dan memegang teguh kejujuran, kemandirian, kerahasiaan dan keterbukaan. Nilai-nilai tersebut harus dilaksanakan guna mencegah lahirnya sikap-sikap tidak terpuji dan perilaku kurang terhormat, mempunyai peranan penting dalam penegakan hukum dan keadilan. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap Advokat sebagai pelaku pembantu tindak pidana suap? (2) Apakah faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap Advokat pelaku pembantu tindak pidana suap? Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari Jaksa pada Kejaksaan Negeri Lampung, Anggota Dewan Kehormatan Peradi Bandar Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana suap dilaksanakan dengan penegakan hukum yang bersifat total dan penegakan hukum yang bersifat total. Penegakan hukum yang bersifat total dilaksanakan melalui norma hukum Kode Etik Advokat, dengan sanksi berupa pemberhentian sebagai advokat. Penegakan hukum terhadap advokat yang melakukan tindak pidana suap yang bersifat penuh dilaksanakan dengan ketentuan hukum acara (KUHAP) melalui proses sistem peradilan pidana yang mencakup penyidikan, penuntutan dan penjatuhan sanksi pidana terhadap advokat pelaku tindak pidana penyuapan.(2) Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana suap adalah: a) Faktor penegak hukum, yaitu adanya tidak profesionalisme aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan advokat dalam dalam melaksanakan penegakan hukum, tetapi justru terlibat dalam tindak pidana korupsi dan penyuapan, b) Faktor sarana dan fasilitas, yaitu adanya dukungan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan dalam penyidikan sampai dengan putusan pengadilan, seperti peralatan komunikasi, transportasi dan teknologi informasi c) Faktor masyarakat, yaitu adanya kesadaran masyarakat yang bermasalah dengan hukum untuk tidak melakukan penyuapan kepada aparat penegak hukum dengan menggunakan jasa advokat guna memudahkan proses hukum yang dijalani dan bersedia untuk melaporkan jika mengetahui adanya tindak pidana suap serta


(2)

Jury Aji Stihali

bersedia untuk menjadi saksi dalam pengadilan. d) Faktor budaya, yaitu adanya nilai dan norma bahwa tindak pidana suap yang dilakukan oleh advokat merupakan pelanggaran terhadap hak milik orang lain yang harus diberi hukuman setimpal sesuai dengan hukum yang berlaku.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Aparat penegak hukum (kepolisian, jaksa dan hakim) hendaknya meningkatkan kerja dalam menangani dan menyelesaikan tindak pidana penyuapan secara cepat, akuntabel dan benar.(2) Kesadaran peran aktif masyarakat harus ditingkatkan dalam membantu kinerja aparat penegak hukum dalam penegakan hukum tindak pidana penyuapan, karena tindak pidana penyuapan ini relatif sulit dibuktikan dan sering lolos dari pengawasan, oleh karena itu diperlukan adanya laporan dari masyarakat. (3) Disarankan kepada advokat untuk konsisten melaksanakan Kode Etik Advokat Indonesia serta menerapkannya ke dalam aktivitasnya di bidang hukum sesuai dengan tugas dan fungsi yang dimilikinya, serta menghindari perilaku yang dapat merusak citra advokat pada khususnya dan citra penegakan hukum pada umumnya.


(3)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ADVOKAT PELAKU TINDAK PIDANA SUAP

Oleh

JURY AJI STIHALI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 22 Februari 1986, merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara, buah hati pasangan Bapak Alfian A. Husin, S.H dan Ibu Sortalina Hutabarat.

Jenjang pendidikan yang ditempuh penulis adalah TK Tunas Harapan Kota Bumi selesai pada tahun 1991, Sekolah Dasar (SD) 2 Way Halim Permai Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 1997, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 25 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2000, Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 6 Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2003. Pada Tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(7)

PERSEMBAHAN

Penulis persembahkan Skripsi ini kepada :

Papah dan Mamah,

sebagai orang tua penulis tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan membimbing

penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus dan

memberikan do’a

yang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati

Kakak penulis, Jimmy Maruli, S.H.,M.H dan Jeffry Albertli, S.T

yang selalu Mendukung dan Membantu

serta

Keluarga penulis, Kakakku Rosi dan Kakakku Vera, Desy CH’Jeesyme’, Queen

Alkhansa Saihanggum, Akiko Fathiya saihanggum, Queen Malaka Saihanggum,

Yogi J, Abang Sany

Sahabat-sahabat penulis, Gagan Ghautama, S.H, Dek Dedi Dedot, Novi, Hendra,

Fajar, Rendi, Christ, M. Iqbal, S.IP, Ronald, Hengki Dewa, Broe, Bastek, Sam

Simuk, Mas Bims, Popobun, Papaeza, Mas Vick, dan yang tidak dapat disebutkan satu

persatu

yang telah banyak membantu, menemani dan memberikan dukungan

kepada penulis selama ini.

Terimakasih atas persahabatan yang indah yang telah kalian berikan

dan waktu yang telah kalian luangkan


(8)

MOTTO

You can walk on the water if you believe you can

(Jury Aji Stihali)


(9)

i

SAN WACANA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Analisis Penegakan Hukum Pidana Terhadap Advokat Pelaku Tindak Pidana Suap.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum padaFakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Pembahas I yang memberikan saran dan kritik dalam penulisan ini

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

4. Bapak Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H, selaku Pembimbing I yang penuh dengan kesabaran memberikan bimbingan, motivasi, jalan, saran dan juga kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini


(10)

ii

penyelesaian skripsi ini

6. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku Pembahas II, masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini

7. Seluruh dosenFakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satupersatu 10.Almamater tercinta Universitas Lampung

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, April 2015 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Penegakan Hukum Pidana... 16

B. Advokat ... 20

C. Pengertian Tindak Pidana Suap ... 28

III METODE PENELITIAN ... 32

A. Pendekatan Masalah ... 32

B. Sumber dan Jenis Data ... 32

C. Penentuan Narasumber... 34

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34

E. Analisis Data ... 35

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Karakteristik Narasumber ... 36

B. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Advokat Sebagai Pelaku Tindak Pidana Suap... 37

C. Faktor-Faktor yang Menghambat Penegakan Hukum Pidana Terhadap Advokat Sebagai Pelaku Tindak Pidana Suap ... 55


(12)

B. Saran ... 64


(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Advokat menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Sebagai profesi hukum, setiap Advokat memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada kejujuran, kemandirian, kerahasiaan dan keterbukaan, guna mencegah lahirnya sikap-sikap tidak terpuji dan perilaku kurang terhormat, mempunyai peranan penting dalam penegakan hukum dan keadilan.1

Posisi Advokat dalam konteks sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan profesi hukum (legal profession), yang berfungsi membela klien yang sedang diperiksa atau disidik, diinterogasi, didakwa atau dituntut baik di luar maupun di dalam pengadilan. Profesi Advokat secara akademik diartikan sebagai legal counsel atau lawyer, yang mempunyai peran dalam membantu tersangka atau terdakwa dalam membebaskan, meringankan, mengubah dan menghindar dari tuntutan hukum, penangkapan dan penahanan oleh penegak hukum. 2

1

Fabiana Rima, Mafia Hukum dan Moralitas Penegak Hukum, Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya Jakarta.2000, hlm.3

2Ibid


(14)

Advokat merupakan profesi bebas dan independen yang tugasnya membela kepentingan dan hak hukum serta hak asasi manusia kliennya.Tugas Advokat adalah membela kliennya dan dalam pembelaan harus merahasiakan dan menyimpan rahasia klien, pembicaraannya dengan klien, strategi dalam pembelaannya, bukti dan saksi apa yang akan digunakan dan seterusnya.3

Tugas dan fungsi Advokat sebagai pemberi jasa hukum diatur dalam dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahwa jasa hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Advokat memiliki kewajiban moral untuk ikut memastikan bahwa prinsip-prinsip peradilan yang baik harus dipenuhi dalam sistem hukum yang ada, misalnya Advokat harus memastikan bahwa sistem administrasi yudisial (administration of justice) memenuhi prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan murah. Advokat dalam menjalankan fungsinya berkewajiban pula untuk mengupayakan peradilan yang adil dan benar. 4

Pada tataran pelaksanaannya tidak semua Advokat mampu melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut, hal ini berkaitan dengan menurunnya kualitas penegakan hukum dewasa ini, karena ukuran menguntungkan atau tidak menguntungkan suatu perkara dipandang hanya dari kacamata politis dan ekonomis dan hal ini dianggap sah karena mekanisme penentuannya telah memenuhi standar legal formal. Hal yang

3Ibid

, hlm.4

4

Sumaryono,E. Etika Profesi Hukum dan Norma-Norma Bagi Penegak Hukum. PT.Kanisius. Yogyakarta. 2007. hlm. 11


(15)

3

membuat sistem hukum semakin parah dengan adanya mafia peradilan. Mafia peradilan merupakan sebutan bagi aparat penegak hukum yang melakukan praktik-praktik curang dengan secara sistematis dengan tujuan agar pelaku tindak pidana dapat terlepas dari jeratan hukum atas perkara yang dilakukannya. Praktek-praktek koruptif yang sering mereka lakukan dapat dikategorikan sebagai judicial

corruption, yang terjadi karena tindakan-tindakan yang menyebabkan

ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa penuntut umum, Advokat/pengacara dan hakim).5 Tidak dapat dipungkiri bahwa Advokat pun secara langsung maupun tidak langsung turut menciptakan terjadinya praktik kecurangan tersebut, padahal posisi Advokat dalam sistem hukum mempunyai peran yang penting, karena Advokat memiliki akses menuju keadilan dan penghubung antara masyarakat dengan negara melalui institusi hukumnya. Profesi Advokat lebih dikenal sebagai broker perkara yang menjadi perantara perilaku koruptif antara kliennya dan aparat penegak hukum (hakim, jaksa dan polisi) sebagai pembeli dan penjual keadilan. Peran Advokat yang seharusnya memberikan jasa hukum dan mewakili kliennya diganti dengan peran mendekati aparat penegak hukum agar perkara yang ditanganinya dapat dimenangkan dengan cara apapun. Advokat yang seharusnya berperan secara konsisten menjembatani kepentingan masyarakat dalam sistem peradilan, justru turut terlibat dan menjadi bagian dari mafia peradilan.6

Profesi Advokat ternodai oleh ulah para oknum Advokat yang terjadi dalam praktik peradilan. Salah satu contoh kasusnya adalah Advokat Susi Tur Andayani yang tengah menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Susi diduga menjadi

5

Fabiana Rima, Op cit, hlm.4

6

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt537c63a468269/advokat-advokat-nakal-di-pusaran- korupsi. Diakses 30 Mei 2014


(16)

perantara suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar dalam sejumlah sengketa Pilkada. Susi dituntut tujuh tahun penjara karena dianggap terbukti turut serta melakukan suap. Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada Kabupaten Lebak dan Lampung Selatan di Mahkamah Konstitusi (MK), Susi Tur Andayani alias Uci, dengan pidana penjara selama tujuh tahun. Menurut jaksa, Uci yang berprofesi sebagai Advokat itu turut serta menerima duit suap sebesar Rp 1.000.000.000 terkait pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak, Banten, pada 2013 dan uang Rp 500.000.000,- terkait sengketa pilkada Lampung Selatan pada 2010.

Jaksa Edi juga menuntut pidana denda kepada Susi sebesar Rp 250 000.000,- Jika tidak dibayar, maka dia mesti mengganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Pertimbangan memberatkan Susi adalah praktisi hukum tidak yang seharusnya tidak menerima suap, dan perbuatannya dianggap mencederai hukum dan lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Konstitusi. Hal meringankan adalah terdakwa berterus terang, mengakui dan menyesali perbuatan, serta belum pernah dihukum. Perbuatan pidana Susi dianggap terbukti. Perbuatannya dianggap memenuhi unsur dimaksud dalam Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana.

Dalam uraian perbuatan dibacakan Jaksa Edi Hartoyo, Susi bersama-sama dengan Akil disebut menerima uang Rp 1.000.000.000,- dari Komisaris Utama PT Bali Pacific Pragama, Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias Wawan, dan Gubernur


(17)

5

Banten Ratu Atut Chosiyah. Uang itu diberikan supaya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perkara konstitusi diajukan pasangan Amir Hamzah-Kasmin, yang menggugat kemenangan Iti Octavia Jayabaya-Ade Sumardi dalam pilkada Lebak 2013. Awalnya Akil meminta Rp 3.000.000.000 kepada Wawan, Atut, dan Amir melalui Susi jika perkaranya ingin dikabulkan. Tetapi, Wawan cuma bersedia memberikan Rp 1.000.000.000. Uang itu kemudian diberikan kepada Akil melalui Susi. Susi Tur Andayani patut diduga mengetahui pemberian uang itu supaya MK RI mengabulkan permohonan perkara pasangan Amir Hamzah-Kasmin dan membatalkan kemenangan Iti Octavia Jayabaya-Ade Sumardi dalam pilkada Lebak.7 Selain Susi masih ada sejumlah Advokat yang terjerat kasus korupsi seperti Mario Cornelio Bernardo. Advokat ini divonis Pengadilan Tipikor Jakarta dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 200.000.000 karena terbukti menyuap pegawai Mahkamah Agung (MA), Djodi Supratman. Advokat lainnya yang pernah masuk dalam bidikan KPK adalah Adner Sirait, Harini Wijoso, dan Tengku Syaifuddin Popon. Adner ditangkap KPK usai menyuap Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (TUN) Ibrahim untuk memuluskan perkara sengketa tanah seluas 9,9 hektar di Cengkareng, Jakarta Barat tahun 2010.8

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis terhadap advokat Susi Tur Andayani selama lima tahun penjara dan denda sebesar Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan. Majelis hakim menilai Susi Tur Andayani telah terbukti secara sah dan meyakinkan menjadi perantara suap kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, M. Akil Mochtar terkait sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten

7

http://www.inilampung.com/archives/6373id/ Diakses 30 Mei 2014


(18)

Lebak, Banten, dan Kabupaten Lampung Selatan. Perbuatan Susi dinilai terbukti melanggar Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP, dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP9

Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan rentannya profesi Advokat yang sangat rawan dengan tindak pidana korupsi. Modus yang umumnya dilakukan oleh Advokat ini adalah ikut terlibat menjadi bagian dalam penyuapan. Para Advokat tersebut bukan sekedar menjadi perantara suap, tapi menjadi pelaku penyuapan. Apabila dilihat dari semua kasus yang melibatkan Advokat di KPK, seluruhnya terkategori tindak pidana suap. KPK belum pernah menjadikan Advokat sebagai tersangka karena menghalang-halangi penyidikan.

Suap menyuap atau sogok menyogok menjadi modus yang seringkali digunakan dalam mafia peradilan yang melibatkan Advokat. Para pelaku pelanggaran hukum atau kejahatan dapat menikmati vonis bebas atau keringanan hukuman yang menguntungkan dengan praktik dalam penyelesaian perkara seperti itu. Kendati korupsi dan sogok-menyogok adalah kejahatan atau tindak pidana, tapi para hakim

9

http://www.centroone.com/news/2014/06/1a/terbukti-susi-tur-andayani-divonis-5-tahun-bui/ Diakses 12 Agustus 2014


(19)

7

dan jaksa maupun pengacara yang diduga kuat terlibat praktik penyogokan, lebih sering justru menikmati pembebasan dan proses hukum. 10

Menurut catatan Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) maka diketahui bahwa modus penyuapan sering dilakukan oknum Advokat. Peradi sangat mendukung dengan penangkapan-penangkapan yang dilakukan terhadap para Advokat yang menghalalkan penyuapan dalam menjalankan profesinya. Pada intinya, penyuapan itu dilakukan oknum Advokat untuk mempengaruhi penyelenggara negara, atau penegak hukum agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Praktik seperti itu kerap membawa keuntungan tersendiri bagi oknum Advokat.11 Terjadinya perilaku koruptif yang melibatkan Advokat tersebut sangat bertentangan dengan peran utama Advokat sebagai profesi hukum memperjuangkan hak-hak para pencari keadilan dan berpegang teguh dalam penyelenggaraan peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum, sehingga keterlibatan Advokat dalam tindak pidana penyuapan (korupsi) harus mendapatkan sanksi pidana yang sesuai dengan kesalahannya.

Aspek penting yang menjadi perhatian terkait dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para Advokat tersebut adalah meningkatkan pengawasan.Tugas pengawasan ini merupakan tanggung jawab organisasi Advokat karena eksistensi organisasi Advokat erat kaitannya dengan sejauh mana fungsi-fungsi Advokat dijalankan sesuai dengan profesi tersebut. Dengan melihat ketentuan tentang

10Ibid.

11


(20)

tanggung jawab dan fungsi organisasi Advokat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa organisasi Advokat juga harus mendukung penegakan hukum.12

Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan yang ketat terhadap perilaku dan etika para Advokat. Dalam konteks inilah peran Kode Etik Advokat yang menjadi alat monitoring perilaku Advokat untuk memastikan kualitas pelayanan, integritas dan membela kepentingan masyarakat di bidang hukum dan peradilan. Untuk tetap mempertahankan kualitas para anggotanya, sebuah organisasi Advokat harus memperhatikan kompetensi intelektual para anggotanya agar lebih baik lagi mutu pelayanannya kepada masyarakat.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis akan melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan Skripsi dengan judul: “Analisis Penegakan Hukum Pidana Terhadap Advokat Pelaku Tindak Pidana Suap”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap Advokat sebagai pelaku pembantu tindak pidana suap?

b. Apakah faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap Advokat pelaku pembantu tindak pidana suap?

12

Jimly Asshiddiqie. Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum. Orasi Hukum DPP IPHI. Bandung, 2008. hlm. 2


(21)

9

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada kajian penegakan hukum pidana terhadap Advokat pelaku pembantu tindak pidana suap dan faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap Advokat pelaku pembantu tindak pidana suap.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap Advokat pelaku pembantu tindak pidana suap

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap Advokat pelaku pembantu tindak pidana suap

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat berguna untuk menambah kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan dengan penegakan hukum pidana terhadap Advokat pelaku pembantu tindak pidana suap.


(22)

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum pada umumnya dan Advokat pada khususnya dalam menyelenggarakan sistem peradilan pidana yang bersih dan berpihak pada rasa keadilan masyarakat.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum adalah upaya aparat penegak hukum untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.13

13

Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,1994, hlm.76.


(23)

11

Menurut Joseph Goldstein sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro, penegakan hukum sendiri, harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu:14

(1) Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali

(2) Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual

(3) Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.

Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui penegakan hukum. Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya15

14

Ibid, hlm.78.

15


(24)

b. Teori Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum

Penegakan hukum pada dasarnya bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:16

(1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.

(2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.

(3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup.

(4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

16

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.8-11


(25)

13

mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

(5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.17 Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penegakan hukum pidana adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.18

b. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku

17

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.63

18

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.


(26)

tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum19

c. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang [Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat]

d. Suap atau penyuapan adalah bentuk tindak pidana korupsi yang ditandai adanya para pelakunya yang memberikan uang atau benda lain oknum-oknum pegawai negeri, pejabat pemerintahan atau penegak hukum agar si penerima suap memberikan kemudahan, keringanan, pembebasan dan sebagainya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.20

E. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara keseluruhan diuraikan sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

19

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 25

20

Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi. Fakutals Hukum Universitas Pakuan Bogor. 2009, hlm. 3-4.


(27)

15

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian Penegakan Hukum Pidana, Pengertian Advokat dan Tindak Pidana Suap.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat terdiri dari penegakan hukum pidana terhadap Advokat pelaku pembantu tindak pidana suap dan faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap Advokat pelaku pembantu tindak pidana suap

V PENUTUP

Berisi kesimpulan yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum pidana adalah upaya untuk dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum sebagai sistem peradilan pidana1

Menurut Joseph Goldstein sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro, penegakan hukum sendiri, harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu:2

(1) Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali

(2) Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual

(3) Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena

1

Mardjono Reksodiputro.Op cit. hlm.76

2


(29)

17

keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.

Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui penegakan hukum. Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.3

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat

3


(30)

materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

Pandangan penyelenggaraan tata hukum pidana demikian itu disebut sebagai model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 4

Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, menurut Muladi yaitu due process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti

4


(31)

19

dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.5

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.6

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak masyarakat. Kebangkitan hukum nasional mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam mekanisme sistem peradilan pidana.7

Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggungjawab. Semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan yang saling interrelasi dan mempengaruhi. Artinya

5

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1997, hlm.62.

6

Ibid, hlm.63.

7


(32)

penegakan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena saling berkaitan dan mempengaruhi.

B. Advokat

1. Pengertian dan Syarat-Syarat Advokat

Pengertuan Advokat menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang.

Advokat merupakan suatu bentuk profesi terhormat (officium nobile), dalam menjalankan profesi, seorang Advokat harus memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada kejujuran, kemandirian, kerahasiaan dan keterbukaan, guna mencegah lahirnya sikap-sikap tidak terpuji dan berperilakuan kurang terhormat.8

Menurut Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), pengertian Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum. Dalam hal ini, seorang Advokat selain memberikan bantuan hukum di dalam pengadilan, seperti mendampingi, mewakili, membela, atau menjalankan kuasa demi kepentingan klien, juga dapat memberikan bantuan hukum diluar pengadilan, berupa konsultasi hukum, negosiasi maupun dalam hal

8

M. Atho Mudzhar, Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat, Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta. 2005.hlm.64.


(33)

21

pembuatan perjanjian kontrak-kontrak dagang serta melakukan tindakan hukum lainnya untuk kepentingan hukum klien baik orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari Advokat.

Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, untuk dapat menjadi seorang Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Warga Negara Republik Indonesia 2) Bertempat tinggal di Indonesia

3) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat Negara 4) Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun

5) Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum 6) Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat

7) Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus-menerus pada kantor Advokat 8) Tidak pernah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana

penjara 5 (lima) tahun atau lebih

9) Berprilaku baik, jujur, bertanggungjawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan bahwa seorang sarjana hukum dapat diangkat sebagai seorang Advokat dan akan menjadi anggota organisasi Advokat (admission to the bar). Dengan diangkatnya seseorang menjadi Advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat.

2. Fungsi dan Peranan Advokat

Secara garis besar fungsi dan peranan Advokat, sebagai berikut:9 a) Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia; b) Memeperjuangkan hak asasi manusia;

c) Melaksanakan Kode Etik Advokat;

d) Memegang teguh sumpah Advokat dalam rangka menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran;

9

Asosiasi Advokat Indonesia, UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia. Jakarta. 2005. hlm.3.


(34)

e) Menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan,kebenaran dan moralitas);

f) Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat dan martabat Advokat;

g) Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan Advokat terhadap masyarakat dengan cara belajar terus-menerus (continuous legal education) untuk memperluas wawasan dan ilmu hukum;

h) Menangani perkara-perkara sesuai dengan kode etik Advokat, baik secara nasional maupun secara internasional;

i) Mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan masyarakat dengan cara mengawasi pelaksanaan etika profesi Advokat melalui Dewan Kehormatan Asosiasi Advokat;

j) Memelihara kepribadian Advokat karena profesi Advokat yang terhormat (officium nobile);

k) Menjaga hubungan baik dengan klien maupun dengan teman sejawat;

l) Memelihara persatuan dan kesatuan Advokat agar sesuai dengan maksud dan tujuan organisasi Advokat;

m) Member pelayanan hukum (legal services), nasehat hukum (legal advice), konsultan hukum (legal consultation), pendapat hukum (legal opinion), informasi hukum (legal information) dan menyusun kontrak-kontrak (legal drafting);

n) Membela kepentingan klien (litigasi) dan mewakili klien di muka pengadilan (legal representation)

o) Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada masyarakat yang lemah dan tidak mampu (melaksanakan pro bono publico).

Pembelaan bagi orang tidak mampu, baik di dalam maupun di luar pengadilan merupakan bagian dari fungsi dan peranan Advokat di dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Advokat pada prinsipnya mempunyai peran penting karena menjadi akses menuju keadilan dan penghubung antara masyarakat dengan Negara melalui institusi hukumnya. Dalam menjalankan tugas sebagai profesi hukum, Advokat mempunyai kode etik sebagai norma yang mengarahkan atau memberi petunjuk bagaimana seharusnya berbuat sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di masyarakat.Untuk mewujudkan Negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan


(35)

23

bernegara, haruslah ada peran serta dari pemerintah, serta semua kalangan masyarakat khususnya peran serta dari setiap individu. 10

3. Kewajiban dan Larangan Bagi Advokat

a. Kewajiban Advokat kepada masyarakat

Seorang Advokat tidak saja harus berprilaku jujur dan bermoral tinggi,tetapi harus juga mendapat kepercayaan publik, bahwa Advokat tersebut akan selalu berprilakuan demikian. Dengan diangkatnya seorang Advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan perkerjaan terhormat, dengan hak eksklusif:

1) Menyatakan dirinya pada publik bahwa ia seorang Advokat;

2) Dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya; 3) Menghadap dimuka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya.11

Hak dan kewenangan istimewa juga menimbulkan kewajiban Advokat kepada masyarakat,yaitu mMenjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi Advokat yang selalu mempunyai kompetensi pengetahuan profesi untuk itu, dan mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat serta bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat. Kewajiban Advokat kepada masyarakat tersebut merupakan bagian dari kewajiban Advokat kepada masyarakat, adalah telah memberi bantuan jasa hukum kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu (miskin). 12

10

A. Sukris Sarmadi, Advokat, Litigasi dan Non-Litigasi Pengadilan Menjadi Advokat Indonesia Kini, Mandar Maju, Bandung. 2009. hlm.28.

11

Amir Syamsuddin, Tanggung Jawab Profesi dan Etika Advokat. Rineka Cipta. Jakarta. 2006.hlm.7

12

Frans Hendra Winata. Advokat Indonesia, Citra Idealisme dan Keprihatinan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 2006..hlm.7


(36)

Pasal 3 KEAI menyatakan bahwa seorang Advokat tidak dapat menolak dengan alasan kedudukan sosial orang yang memerlukan jasa hukum. Pasal 4 menyatakan kalimat mengurus perkara cuma-cuma telah tersirat kewajiban ini. Asas ini dipertegas lagi dalam Pasal 7 KEAI bahwa Advokat kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu. Meskipun di Indonesia telah ada lembaga-lembaga yang membantu kelompok ekonomi lemah ini, khususnya dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH atau yang serupa) dan Biro Bantuan Hukum (BBH atau yang serupa), namun kewajiban Advokat atau kantor Advokat memberi jasa hukum kepada klien miskin, tetap harus diutamakan.13

b. Kewajiban Advokat kepada pengadilan

Seorang Advokat (counsel) adalah seorang pejabat pengadilan (officer of the court) apabila dia melakukan tugasnya di pengadilan. Oleh karena itu seorang Advokat harus mendukung kewenangan pengadilan dan menjaga kewibawaan sidang. Untuk memungkinkan keadaan ini, maka Advokat harus patuh pada aturan-aturan sopan santun yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya dan menunjukkan sikap penghargaan profesional kepada hakim, Advokat lawan (atau jaksa/penuntut umum), dan para saksi. Dalam hal kewajiban Advokat kepada pengadilan, perilaku Advokat di muka sidang pengadilan dan dengan para teman sejawatnya harus bercirikan keterbukaan dan kejujuran. Inti dari asas ini adalah melarang Advokat berperilaku curang terhadap majelis hakim dan Advokat lawannya. Memang kewajiban Advokat mempunyai dua sisi: dia

13

Asosiasi Advokat Indonesia, UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia. Jakarta. 2005. hlm.3.


(37)

25

berkewajiban untuk loyal (setia) pada kliennya, tetapi juga wajib beritikad baik dan terhormat dalam berhubungan dengan pengadilan.

c. Kewajiban Advokat kepada sejawat profesi

Pasal 5 KEAI mengatur asas-asas tentang hubungan antar teman sejawat Advokat. Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan menjalankan profesi sebagai suatu usaha, maka persaingan adalah normal, namun persaingan ini harus dilandasi oleh sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai. Apalagi dalam persaingan melindungi dan mempertahankan kepentingan klien, sering antara para Advokat, atau Advokat dan jaksa/ penuntut umum, terjadi pertentangan . Sering pula Advokat terbawa oleh rasa-marah kepada klien mereka dan kejadian seperti ini harus dicegah. Masalah lain dalam hubungan antar Advokat ini adalah tentang penggantian Advokat. Advokat lama berkewajiban untuk menjelaskan pada klien segala sesuatu yang perlu diketahuinya tentang perkara bersangkutan. Di sini perlu diperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 4 alinea 2 KEAI tentang pemberian keterangan oleh Advokat yang dapat menyesatkan kliennya.14

Advokat baru sebaiknya menghubungi Advokat lama dan mendiskusikan masalah perkara bersangkutan dan perkembangannya terakhir. Hal yang perlu diperhatikan Advokat baru adalah, bahwa klien telah benar-benar mencabut kuasanya kepada Advokat lama dan klien juga telah memenuhi kewajibannya pada Advokat lama (Alinea 5 dan 6, Pasal 5 KEAI). Hal yang tidak boleh dilakukan seorang Advokat adalah berkomunikasi atau menegosiasi masalah

14


(38)

perkara, langsung dengan seseorang yang telah mempunyai Advokat, tanpa kehadiran Advokat orang yang bersangkutan.15

4. Kewajiban Advokat kepada klien

Advokat adalah suatu profesi terhormat (officium nobile) dan mendapat kepercayaan penuh dari klien yang diwakilinya. Akibat dari hubungan kepercayaan dan kewajiban untuk loyal pada kliennya, maka berlakulah asas tentang kewajiban Advokat memegang rahasia jabatan (Pasal 4 alinea 8 KEAI). Seorang Advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan hukum. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang tentang untung ruginya perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya. Advokat tidak boleh memberikan keterangan yang menyesatkan dan tidak menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang

Salah satu tugas utama dari seorang Advokat adalah menjaga agar dirinya tidak menerima kasus dari klien yang menimbulkan pertentangan atau konflik kepentingan. Kewajiban untuk loyal kepada klien berakibat bahwa Advokat dilarang (menerima perkara yang akan merugikan kepentingan kliennya. Kewajiban Advokat memegang rahasia jabatan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antar Advokat dan klien.16

15

Ibid. hlm.5.

16

H. Tanjung. Istilah Advokat, Pengacara, Penasihat Hukum dan Konsultan Hukum. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 2005.hlm.42.


(39)

27

Pasal 4 KEAI mengatur beberapa larangan bagi advokat sebagai berikut:

a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai.

b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya.

c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.

d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien.

e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.

f. Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa. g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak

ada dasar hukumnya.

h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.

i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan

j. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

k. Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien. 17

C. Tindak Pidana Suap

Menurut Victor M. Situmorang adalah kejahatan yang dilakukan oleh pegawai negeri/pejabat dalam pekerjaannya dan kejahatan mana termasuk salah satu perbuatan pidana yang tercantum dalam KUHP sebagai berikut: 18

17

Ibid. hlm.44.

18


(40)

Pasal 209 Ayat (1) KUHP:

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

a. Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud untuk membujuknya supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; b. Barangsiapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat oleh sebab atau

karena pejabat itu dalam jabatannya sudah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pasal 210 KUHP:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1. Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan hakim itu tentang perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

2. Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan tentang perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

(2) Bila pemberian atau janji itu dilakukan dengan maksud agar dalam perkara pidana dijatuhkan pemidanaan, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pengaturan pidana mengenai penerima suap dalam Pasal 419 KUHP sebagai berikut: Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang pejabat: 2) yang menerima hadiah atau janji, padahal dia tahu bahwa hadiah atau janji

itu diberikan untuk membujuknya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

3) yang menerima hadiah, padahal dia tahu bahwa hadiah itu diberikan kepadanya karena dia telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Tindak pidana suap merupakan salah satu modus tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang pada umumnya memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh para Pegawai Negeri Sipil di dalam lingkungan


(41)

29

pemerintahan daerah atau pejabat Badan Usaha Milik Daerah. Beberapa modus operandi korupsi yaitu sebagai berikut:19

1) Penggelapan; tindak pidana korupsi penggelapan antara lain ditandai dengan adanya para pelaku, seperti menggelapkan aset-aset harta kekayaan negara atau keuangan negara untuk memperkaya dirinya sendiri atau orang lain. 2) Pemerasan; bentuk tindak pidana korupsi pemerasan antara lain dengan

ditandainya adanya pelaku seperti memaksa seorang secara melaan hukum yang berlaku agar memberikan sesuatu barang atau uang kepada yang bersangkutan.

3) Penyuapan; bentuk tindak pidana korupsi penyuapan antara lain ditandai adanya para pelakunya, seperti memberikan suap kepada oknum-oknum pegawai negeri agar si penerima suap memberikan kemudahan dalam pemberian izin, kredit Bank dll. yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Manipulasi; bentuk tindak pidana korupsi manipulasi antara lain ditandai dengan adanya para pelakunya yang melakukan mark-up proyek pembangunan, SPJ, pembiayaan gedung/kantor, pengeluaran anggaran fiktif. 5) Pungutan Liar; bentuk korupsi pungutan liar antara lain ditandai dengan

adanya para pelakunya yang malakukan pungutan liar di luar ketentuan peraturan. Umumnya pungutan liar ini dilakukan terhadap seseorang/ koorporasi jika ada kepentingan atau berurusan dengan instansi pemerintah. 6) Kolusi dan Nepotisme; yaitu pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau

kelompok politiknya pada jabatan-jabatan dalam kedinasan aparat pemerintah tanpa memandang keahlian dan kemampuan.

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ada beberapa kategori suap menyuap, yaitu sebagai berikut:

Pasal 5:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

19


(42)

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1). Pasal 6:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud

dalam Ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1).

Berdasarkan pasal-pasal di atas diketahui bahwa dalam perbuatan suap menyuap terdapat unsur pemberian dan maksud pemberian: 20

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu.

(1) Yang termasuk dengan “sesuatu” dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a adalah baik berupa benda berwujud, misalnya mobil, televisi, atau tiket pesawat terbang atau benda tidak berwujud, misalnya hak yang termasuk dalam Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) maupun berupa fasilitas, misalnya fasilitas bermalam di suatu hotel berbintang. Memberi atau menjanjikan sesuatu tersebut dapat dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi sendiri maupun oleh pihak ketiga demi kepentingan pelaku tindak pidana korupsi.

(2) Unsur “memberikan sesuatu” atau “menjanjikan sesuatu” dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a, dapat dilakukan baik oleh pelaku tindak pidana korupsi sendiri maupun oleh pihak ketiga demi kepentingan pelaku

20

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 59-61


(43)

31

(3) Adapun yang dimaksud dengan “janji” adalah tawaran sesuatu yang diajukan

dan akan dipenuhi oleh si pemberi tawaran. Pada waktu menerima “hadiah atau janji”, tidak perlu dilakukan oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara

Negara sendiri, tetapi dapat dilakukan oleh orang lain. b. Maksud suap

(1) Seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dalam melaksanakan tugasnya dikatakan bertentangan dengan kewajibannya jika terdapat keadaan sebagai berikut : a) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara telah berbuat sesuatu, padahal berbuat sesuatu tidak merupakan kewajiban yang terdapat atau melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan. b) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara telah tidak berbuat sesuatu, padahal tidak berbuat sesuatu tersebut, tidak merupakan kewajiban yang terdapat atau melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan atau dengan perkataan lain justru Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut harus berbuat sesuatu sesuai dengan kewajiban yang terdapat atau melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.

(2) Unsur “menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya“ pada Pasal 12 Huruf a di dalam hukum pidana disebut “maksud selanjutnya” yang tidak perlu telah tercapai pada waktu pelaku tindak pidana selesai melakukan tindak pidana.


(44)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

1


(45)

33

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini bersumber dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

6) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2) Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) Tahun 2002 c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta


(46)

memahami permasalahan, seperti literatur, kamus hukum dan sumber lain yang sesuai.

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber sebagai penyampai informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah:

1). Jaksa pada Kejaksaan Negeri Lampung = 1 orang

2). Dewan Kehormatan Peradi Bandar Lampung = 1 orang

3). Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka (library research). Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan melakukan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan dan dilakukan pula studi dokumentasi untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang berkaitan dengan penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Prosedur pengolahan data dalam penelitian ini meliputi tahapan sebagai berikut: a. Seleksi Data. Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui


(47)

35

b. Klasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Penyusunan Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.


(48)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana suap dilaksanakan dengan penegakan hukum yang bersifat total dan penegakan hukum yang bersifat penuh. Penegakan hukum yang bersifat total dilaksanakan melalui norma hukum Kode Etik Advokat, dengan sanksi berupa pemberhentian sebagai advokat. Penegakan hukum terhadap advokat yang melakukan tindak pidana suap yang bersifat penuh dilaksanakan dengan ketentuan hukum acara (KUHAP) melalui proses sistem peradilan pidana yang mencakup penyidikan, penuntutan dan penjatuhan sanksi pidana terhadap advokat pelaku tindak pidana penyuapan.

2. Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana suap adalah sebagai berikut:

a. Faktor penegak hukum, yaitu adanya tidak profesionalisme aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan advokat dalam dalam melaksanakan penegakan hukum, tetapi justru terlibat dalam tindak pidana korupsi dan penyuapan.


(49)

64

b. Faktor sarana dan fasilitas, yaitu keterbatasan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan dalam penyidikan sampai dengan putusan pengadilan, seperti komputer, faximili, internet dan sebagainya.

c. Faktor masyarakat, yaitu adanya kesadaran masyarakat yang bermasalah dengan hukum untuk tidak melakukan penyuapan kepada aparat penegak hukum dengan menggunakan jasa advokat guna memudahkan proses hukum yang dijalani dan bersedia untuk melaporkan jika mengetahui adanya tindak pidana suap serta bersedia untuk menjadi saksi dalam pengadilan.

d. Faktor budaya, yaitu adanya nilai dan norma bahwa tindak pidana suap yang dilakukan oleh advokat merupakan pelanggaran terhadap hak milik orang lain yang harus diberi hukuman setimpal sesuai dengan hukum yang berlaku.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum (kepolisian, jaksa dan hakim) hendaknya meningkatkan kinerja dalam menangani dan menyelesaikan tindak pidana penyuapan secara cepat, akuntabel dan professional

2. Peran aktif masyarakat harus ditingkatkan dalam membantu kinerja aparat penegak hukum dalam penegakan hukum tindak pidana penyuapan.

3. Disarankan kepada advokat untuk konsisten melaksanakan Kode Etik Advokat Indonesia serta menerapkannya ke dalam aktivitasnya di bidang hukum sesuai dengan tugas dan fungsi yang dimilikinya, serta menghindari perilaku yang dapat merusak citra advokat pada khususnya dan citra penegakan hukum pada umumnya.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asosiasi Advokat Indonesia, 2005. UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia. Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2008. Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum. Orasi Hukum DPP IPHI. Bandung

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung.

Arief, Barda Nawawi.2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta

Muladi, 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang.

Mudzhar, M. Atho. 2005. Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat, Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta

Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. Rima, Fabiana. 2000. Mafia Hukum dan Moralitas Penegak Hukum, Pusat

Pengembangan Etika Atma Jaya Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta

Sumaryono,E. 2007. Etika Profesi Hukum dan Norma-Norma Bagi Penegak Hukum. PT.Kanisius. Yogyakarta.


(51)

Soepardi, Eddy Mulyadi. 2009. Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai

Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi. Fakutals Hukum Universitas

Pakuan Bogor.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung

Sarmadi, A. Sukris. 2009. Advokat, Litigasi dan Non-Litigasi Pengadilan Menjadi Advokat Indonesia Kini, Mandar Maju, Bandung.

Syamsuddin, Amir. 2006. Tanggung Jawab Profesi dan Etika Advokat. Rineka Cipta. Jakarta.

Situmorang, Victor M. 1990. Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Rineka Cipta, Jakarta

Tanjung, H. 2005. Istilah Advokat, Pengacara, Penasihat Hukum dan Konsultan Hukum. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Winata, Frans Hendra. 2006. Advokat Indonesia, Citra Idealisme dan Keprihatinan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Wiyono, R. . 2008. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.


(52)

Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) Tahun 2002

Internet

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt537c63a468269/advokat-advokat-nakal-di-pusaran- korupsi. Diakses 30 Mei 2014

http://www.inilampung.com/archives/6373id/ Diakses 30 Mei 2014 http://www.peradi.or.id/ Diakses 30 Mei 2014

http://www.centroone.com/news/2014/06/1a/terbukti-susi-tur-andayani-divonis-5- tahun-bui/ Diakses 12 Agustus 2014


(1)

35

b. Klasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Penyusunan Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.


(2)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana suap dilaksanakan dengan penegakan hukum yang bersifat total dan penegakan hukum yang bersifat penuh. Penegakan hukum yang bersifat total dilaksanakan melalui norma hukum Kode Etik Advokat, dengan sanksi berupa pemberhentian sebagai advokat. Penegakan hukum terhadap advokat yang melakukan tindak pidana suap yang bersifat penuh dilaksanakan dengan ketentuan hukum acara (KUHAP) melalui proses sistem peradilan pidana yang mencakup penyidikan, penuntutan dan penjatuhan sanksi pidana terhadap advokat pelaku tindak pidana penyuapan.

2. Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana suap adalah sebagai berikut:

a. Faktor penegak hukum, yaitu adanya tidak profesionalisme aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan advokat dalam dalam melaksanakan penegakan hukum, tetapi justru terlibat dalam tindak pidana korupsi dan penyuapan.


(3)

64

b. Faktor sarana dan fasilitas, yaitu keterbatasan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan dalam penyidikan sampai dengan putusan pengadilan, seperti komputer, faximili, internet dan sebagainya.

c. Faktor masyarakat, yaitu adanya kesadaran masyarakat yang bermasalah dengan hukum untuk tidak melakukan penyuapan kepada aparat penegak hukum dengan menggunakan jasa advokat guna memudahkan proses hukum yang dijalani dan bersedia untuk melaporkan jika mengetahui adanya tindak pidana suap serta bersedia untuk menjadi saksi dalam pengadilan.

d. Faktor budaya, yaitu adanya nilai dan norma bahwa tindak pidana suap yang dilakukan oleh advokat merupakan pelanggaran terhadap hak milik orang lain yang harus diberi hukuman setimpal sesuai dengan hukum yang berlaku.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum (kepolisian, jaksa dan hakim) hendaknya meningkatkan kinerja dalam menangani dan menyelesaikan tindak pidana penyuapan secara cepat, akuntabel dan professional

2. Peran aktif masyarakat harus ditingkatkan dalam membantu kinerja aparat penegak hukum dalam penegakan hukum tindak pidana penyuapan.

3. Disarankan kepada advokat untuk konsisten melaksanakan Kode Etik Advokat Indonesia serta menerapkannya ke dalam aktivitasnya di bidang hukum sesuai dengan tugas dan fungsi yang dimilikinya, serta menghindari perilaku yang dapat merusak citra advokat pada khususnya dan citra penegakan hukum pada umumnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asosiasi Advokat Indonesia, 2005. UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia. Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2008. Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum. Orasi Hukum DPP IPHI. Bandung

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung.

Arief, Barda Nawawi.2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta

Muladi, 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang.

Mudzhar, M. Atho. 2005. Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat, Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta

Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. Rima, Fabiana. 2000. Mafia Hukum dan Moralitas Penegak Hukum, Pusat

Pengembangan Etika Atma Jaya Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta

Sumaryono,E. 2007. Etika Profesi Hukum dan Norma-Norma Bagi Penegak Hukum. PT.Kanisius. Yogyakarta.


(5)

Soepardi, Eddy Mulyadi. 2009. Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi. Fakutals Hukum Universitas Pakuan Bogor.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung

Sarmadi, A. Sukris. 2009. Advokat, Litigasi dan Non-Litigasi Pengadilan Menjadi Advokat Indonesia Kini, Mandar Maju, Bandung.

Syamsuddin, Amir. 2006. Tanggung Jawab Profesi dan Etika Advokat. Rineka Cipta. Jakarta.

Situmorang, Victor M. 1990. Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Rineka Cipta, Jakarta

Tanjung, H. 2005. Istilah Advokat, Pengacara, Penasihat Hukum dan Konsultan Hukum. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Winata, Frans Hendra. 2006. Advokat Indonesia, Citra Idealisme dan Keprihatinan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Wiyono, R. . 2008. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.


(6)

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) Tahun 2002

Internet

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt537c63a468269/advokat-advokat-nakal-di-pusaran- korupsi. Diakses 30 Mei 2014

http://www.inilampung.com/archives/6373id/ Diakses 30 Mei 2014 http://www.peradi.or.id/ Diakses 30 Mei 2014

http://www.centroone.com/news/2014/06/1a/terbukti-susi-tur-andayani-divonis-5- tahun-bui/ Diakses 12 Agustus 2014