GURU BERKARAKTER

  Guru dan Wajah Pendidikan Indonesia Pendidikan menjadi kata kunci dalam proses pencerdasan suatu bangsa. Kecerdasan lahir dari orang-orang yang pernah merasakan pendidikan formal, walaupun pada zaman dahulu orang-orang

  (pintar) mampu belajar secara otodidak. Dalam dunia pendidikan ada berbagai komponen yang turut membentuk kualitas sebuah lembaga pendidikan. Salah satu komponen penting adalah peran para guru. Guru menjadi sosok penting, yang memungkinkan adanya kreatifitas dalam dunia pendidikan sebelum daya kreatifitas itu ditularkan kepada para peserta didik.

  Beberapa waktu yang lalu, pemerintah secara serentak menguji kinerja para guru dengan uji kompetensi guru (UKG) sebelum mendapat ‘pangkat’ sertifikasi. Uji kompetensi menjadi kesempatan bagi para guru untuk mengingat kembali dan menguji pengetahuan, sejauhmana wawasan ilmu pengetahuan seorang pendidik. Angka kelulusan uji kompetensi guru menunjukkan suatu situasi yang memprihatinkan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengungkap hasil UKG yang tidak memuaskan, dengan nilai 44,55 di bawah rata-rata nasional. Yang paling memprihatinkan, skor paling rendah ditemukan di UKG bahasa Indonesia. Padahal bahasa Indonesia adalah bahasa resmi bangsa (Jawa Pos, 4/8).

  Uji Kompetensi Guru memang bukan menjadi standard yang dijadikan tolok ukur kemampuan guru di Indonesia. Namun, setidaknya hasil tes tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi terhadap kemampuan dan kapasitas guru-guru sekarang. Apa yang bisa diharapkan kalau guru sendiri kurang kompeten sebagai pendidik. Mental ‘penguasa ilmu’ mesti segera dikikis dari persepsi para guru. Menjadi guru bukan berarti perkara belajar sudah selesai. Guru bukan pemilik ilmu pengetahuan dan kebenaran. Kemampuan intelektual harus direvisi terus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Karena itu guru mestinya tidak merasa mapan dengan pengetahuan. Ada usaha terus- menerus, memperlengkapi diri dengan pengetahuan yang luas dan memadai.

  Ada pengalaman yang menunjukkan bahwa banyak guru yang enggan membaca buku atau koran karena merasa mapan dengan pengetahuan yang ada, atau ada juga guru merasa bosan dengan membaca dan menulis. Bahkan banyak guru yang tidak sanggup menulis dalam jurnal, majalah atau media massa (baca: Koran-koran harian). Padahal membaca dan menulis secara kontinyu akan memampukan para guru menjadi lebih kritis terhadap setiap situasi sosial dan berpartisipasi mencerahkan masyarakat. Dalam lemabaga pendidikan, guru adalah fasilitator dan pembimbing yang memungkinkan para murid menemukan kebenaran ilmu pengetahuan. Kalau guru sendiri kurang memadai memahami bidang yang mesti dia bimbing, bagaimana dengan nasib para murid. Karena itu kompetensi seorang guru turut mempengaruhi peserta didik yang menerima share pengetahuan dari para guru.

  Bukti bahwa guru juga belajar sekurang-kurangnya tampak ketika mereka mengerjakan soal-soal dalam Uji Kompetensi Guru. Ketidakmampuan mengerjakan soal-soal Uji Kompetensi, paling kurang menjadi bukti bahwa guru-guru kurang belajar, kurang mendalami ilmu pengetahuan dan hanya merasa mapan dan puas dengan pengetahuan yang ada. Kemapanan semu seperti ini bisa menjadi virus dalam dunia pendidikan yang mengandalkan kehadiran sosok guru yang kompeten. Dengan argumen ini, kita bukan mengabaikan kemampuan dan kreatifitas seorang peserta didik yang mampu belajar sendiri. Namun, hanya sedikit murid yang memiliki kompetensi seperti ini. Tidak semua pelajar yang memiliki kemampuan akademis-bawaan yang mumpuni. Karena itu, dia membutuhkan bimbingan seorang guru, bagai bidan, untuk melahirkan ide-ide yang brilian dan mencerahkan. Guru tidak saja sebagai pengajar yang membuku pada buku-buku pelajaran yang tersistematis, tetapi memiliki kesanggupan untuk membuka wawasan (berpikir) bagi para muridnya. Bahkan dalam situasi tertentu guru bisa dianggap sebagai orang tua yang penuh perhatian yang memberikan rasa aman kepada para peserta didik. Hal itu mungkin terjadi kalau guru memiliki pengetahuan dan kepribadian yang memadai. Belajar banyak hal melalui buku sebagai sumber ilmu pengetahuan memungkin guru dapat tampil sebagai sosok yang berwibawa secara kognitif di hadapan para peserta didik. Guru bisa menjadi suri-teladan para murid untuk belajar serius dan menjadi pelajar yang sungguh-sungguh. Karena itu, seorang guru mesti memiliki karakter yang kuat dan kemampuan untuk memimpin para muridnya.

Hemat penulis, seorang guru memiliki sekurang-kurang tiga karakter pendidik. Pertama, guru

  sebagai inspirator. Seorang guru pada tempat pertama adalah seorang animator atau inspirator, pemberi inspirasi. Yang dimaksudkan dengan inspirasi bukanlah sekadar pengetahuan dan informasi yang disampaikannnya kepada para peserta didik; inspirasi adalah ajaran dan teladan yang menggetarkan hati, sehingga peserta didik sanggup melihat kenyataan secara baru dan tergerak dari dalam untuk mewujudkan apa yang diilhami itu. Kedua, guru sebagai koordinator. Tugas koordinator ialah mengatur kerjasama yang baik antar para pelajar dalam sebuah lembaga pendidikan sehingga tiap siswa melakukan tugasnya sebaik-baiknya demi kepentingan bersama. Untuk itu pemimpin perlu mengetahui kemampuan, bakat atau talenta para muridnya, khususnya mereka yang diserahi tugas tertentu, dan mendelegasikan wewenang yang tepat untuk melakukan tugas sesuai job-description yang jelas. Delegasi ini perlu karena sang guru tidak pernah bisa bekerja sendirian sebagai ‘pemain tunggal’. Akan tetapi delegasi itu harus disertai jaringan komunikasi yang transparan sehingga tidak terjadi tumpang tindih wewenang, dan dengan itu juga bisa dilaksanakan kontrol pelaksanaan tugas. Ketiga, guru sebagai administrator. Kata ‘administrasi’ dewasa ini kerap kali dimengerti secara sangat sempit sebagai urusan surat menyurat atau tata usaha di kantor. Itu bukanlah arti dasariah dan bukan arti yang terpenting. Ketika penulis memeriksa kamus Latin, penulis menemukan arti kata administratio sebagai berikut: 1. Bantuan kepada (seseorang), 2. pelayanan, 3. pewartaan, 4. pekerjaan eksekutif, pelaksanaan, pimpinan, 5. penyelenggaraan, 6. hal Jika semua pengertian di atas digabungkan, maka

  

administratio pada hakekatnya merupakan pelaksanaan tugas seorang guru yang sekaligus merupakan

  pelayanan dan pemberi ‘bantuan’ pengetahuan untuk para peserta didik. Karena itu, tugas guru sebagai inspirator ialah memberikan pencerahan dan inspirasi. Kalau tugas koordinator ialah mengatur kerja sama para anggota menurut fungsi dan bakat mereka, maka tugas administrator ialah mengatur agar kebaikan bersama (bonum commune) bisa disalurkan secara adil dan merata kepada semua peserta didik. Tugas administrator ini menunjukkan bahwa guru yang sejati adalah sekaligus pelayan yang mengabdikan diri untuk kepentingan para peserta didik sebagai bentuk pengabdian kepada bangsa dan negara.