Deteksi dan Uji Toksisitas LC50 Senyawa Aflatoksin B1, B2, G1, G2 pada Kacang Tanah (Arachis hypogaea L)

PENDAHULUAN
Biji-bijian seperti kacang tanah, kedelai,
jagung mengandung hanyak kandungan gizi.
Namun cara pengolahan pascapanen yang
kurang tepat ternyata dapat berdampak buruk.
Bila dikonsumsi dalam jangka panjang dan
dalam jumlah banyak bisa membahayakan
tubuh. Di antaranya menyebabkan daya tahan
tubuh menurun sehingga mudah terserang
berbagai macam penyakit hati (Allen 1992).
Aflatoksin ialah suatu zat hasil proses
metabolisme kapang (jamur) Aspergillus
j7avus yang tumbuh pada kacang tanah,
terutama pada kacang tanah yang tidak
dikehgkan dengan baik. Aflatoksin jika
dikonsumsi dalam jangka panjang dan jumlah
yang banyak bisa menyebabkan kanker hati.
Aflatoksin
yang
terakumulasi
akan

memberikan pengaruh yang cepat bagi tubuh
yaitu daya tahan tubuh menjadi lemah,
sehingga lebih mudah terserang penyakit
(Cutlcn 1993). Penelitian terbaru (Williams et
a1 2004) menunjukkan bahwa aflatoksin tidak
hanya bersifat karsinogenik dan mutagenik
tetapi juga inzmunologic suppression dan
nutritional interference.
Aflatoksikosis akut bersifat mematikan
karena diketahui menyerang hati dan empedu
secara langsung. Hal ini dapat terjadi terutama
pada anak-anak (Amla 1971). Sistem regulasi
pangan termasuk pengendalian kontaminasi
cemaran aflatoksin di Indonesia masih belum
memadai. Berdasarkan pertemuan Food
Agricultural Organization, World Healthy
Organization dan Codex Alimentarius
Comision (1995-2000), diputuskan bahwa
untuk standar keamanan pangan perlu
dilakukan risk analysis yang mencakup tiga

komponen, yaitu: risk assessment, risk
management, dan risk communication.
Penyebab timbulnya cemaran aflatoksin
berdasarkan penelitian di Indonesia adalah
proses pengeringan dan penyimpanan kacang
tanah yang kondisi suhu dan kelembabannya
tidak dikontrol dengan baik. Pada masa
penyimpanan itu akan tumbuh Aspergillus
flavus yang memproduksi aflatoksin. Selama
28 minggu, kandungan
penyimpanan
aflatoksin mencapai 300 kali dari jumlah yang
diperkenankan. Seharusnya kadar air dalam
komoditi kacang tanah di bawah 10 persen
agar tidak ditumhuhi asp erg ill^!^ f[avlis.
Komoditi kacang tanah dengan kadar air
sebesar 14 persen dapat menyebabkan
tumbuhnya jamur Aspergilzis flavus yang
memproduksi aflatoksin. Keadaan lingkungan
dan iklim Indonesia sangat menunjang


perkembangan jamur Aspergillzis j7mlis dan
biosintesis aflatoksin (Ginting 2005).
Untuk mendeteksi seberapa besar
cemaran jamur AspergiNzis j7avus dan kadar
aflatoksin serta tingkat toksisitasnya pada
komoditi kacang tanah maka perlu dilakukan
penelitian ini. Penelitian dilakukan terhadap
komoditi kacang tanah yang diambil secara
acak dari berbagai lokasi di Bogor, Depolc dan
Tangerang. Pemeriksaan kapang dan jamur
Aspergill~s flavus
ditetapkan
secara
mikrobiologi. Penetapan aflatoksin dilakukan
secara KLT (kromatografi lapis tipis). Uji
toksisitas aflatoksin pada kacang tanah
dilakukan dengan analisis probit Finney LCSo
menggunakan larva udang Artemia salina.
Pengembangan metode untuk mendeteksi

dan menganalisis tingkb toksisitas cemaran
aflatoksin pada kacang tanah merupakau ha1
yang sangat penting dalam memperbaiki
sistem standar keamanan pangan dan risk
analysis yang mencakup tiga komponen,
yaitu: risk assessment, risk management, dan
risk communication. Saat ini diperlukan
metode untuk analisis kandungan dan tingkat
toksisitas aflatoksin pada sampel komoditi
kacang tanah yang relatif mudah, sederhana,
efisien dan sesuai kebutuhan. Dari beberapa
metode seperti analisis I-IPLC, KIT ECISA
dan kromatografi lapis tipis dipilih mstode
kromatografi lapis tipis. Metode kromatografi
lapis tipis adalah metode yang paling mudah,
etisien, sederhana, ekonomis serta bersifat
semi kuantitatif dibandingkan dengan
beberapa metode lain. Peiigujian tingkat
toksisitas dari senyawa cemaran atlatoksin
menggunakan metode arialisis probit Finney

LC50 pada larva udang Artemia salina yang
lebih sederhana, cepat, murah dan mudah.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengidentifikasi
keberadaan
senyawa
aflatoksin dan mendeteksi kadar senyawa
tersebut pada sampel kacang tanah dari
beberapa pasar di kawasan Bogor, Depok,
Tangerang melalui metocle kromatografi lapis
tipis. Penelitian ini juga nienguji tingkat
toksisitas aflatoksin yang terdeteksi pada
sampel kacang tanah dengan pengujian
toksisitas LC50 pada larva udang Artemia
salina menggunakan analisis probit Finney.
Penelitian
ini

diharapkan
dapat
memherikan
informasi
baru
kepada
masyarakat konsume~l ~nengenai keamanan
pangan wood safely) aflatoksin pada kacang
tanah secara umum yang ditunjukkan dengan
kadar cemaran aflatoksin dan tingkat
toksisitas aflatoksin tersebut pada kacang
tanah. Selain itu bertindak sebagai stimulan

kepada pemerintah dalam membuat food
standard pada sistem regulasi pangan,
khususnya bahan pangan berbahan dasar
kacang tanah di Indonesia. Bagi produsen dan
distributor kacang tanah diharapkan dapat
mengendalikan proses produksi, pengolahan
pasca panen, penyimpanan, transportasi

dengan baik dan melakukan evaluasi melalui
proses pengawasan mutu (qualily cotltrol)
sehingga
cemaran
aflatoksin
dapat
diminimalisasi jumlahnya. Secara tidak
langsung penelitian ini diharapkan dapat ikut
mendukung peningkatan ketahanan dan
keamanan pangan dalam negeri.
Hipotesis penelitian ini adalah ekshak
kacang tanah dapat diidentifikasi mengandung
aflatoksin B1 (berfluoresens bim tua), B2
(berfluoresens b h muda pudar), GI
(berfluoresens bijau tua), G2 (berfluoresens
hijau muda pndar) pada lempeng TLC.
Senyawa aflatoksin yang terdeteksi pada
ekstrak kasar kacang tanah memiliki tingkat
toksisitas yang akut dan berbahaya jika hasil
pengujian toksisitas LC,, (analisis Probit)

pada Artemia salina nilainya < 1000 ppm.

TINJAUAN PUSTAKA
Aflatoksin
Aflatoksin berasal dari kata Aspergilus
flavus toksin, untuk mengingatkan penemuan
pertama kali dari toksin h i . Di dalam
perkemhangan
selanjutnya,
aflatoksin
diproduksi oleh kapang Aspergillus jlav~is,
Aspergillus parasilic~is atau Aspergillus
nornitis. Ketiga spesies kapang ini banyak
terdapat pada bahan pangan seperti sereal,
kacang-kacangan, rempah-rempah, dan kopra
maupun produk olahannya seperti bumbu
pecel, kacang telur, dan kacang atom. Kapang
ini biasanya tumbuh di daerah yang beriklim
tropis dan lembab (Cullen 1993).
Saat ini telah diketahui paling sedikitnya

4 macam aflatoksin alamiah yang paling
sering dijumpai dan bersifat toksik, yaitu
aflatoksin B1, 8 2 , GI, G2 berdasarkan
penampakan fluoresensinya pada lempeng
kromatografi lapis tipis di bawah sinar UV
yang memberikan warna bim (blue) untuk B
dan warna hijau (green) untuk G (Winarno
1997). Aflatoksin mempunyai kurang lebih 20
macam derivat, akan tetapi yang paling toksik
adalah aflatoksin BI. Kadar toksisitas dari
tiap jenis aflatoksin berbeda-beda. Tipe

aflatoksin yang paling toksik adalah aflatoksin
B1, dengan urutan tingkat toksisitas adalah B1
> G1 >. B2 > G2 (Frank 1995).
Seperti tampak pada Gambar I , struktur
aflatoksin B1 dan B2 dapat menghasilkan
senyawa metabolit aflatoksin MI dan M2
melalui hidroksilasi, dimana keduanya
dihasilkan sapi atau hewan mminansia lainnya

yang memakan pakan yang terkontaminasi
oleh aflatoksin B1 atau 82. Aflatoksin MI
dan M2 ini kemudian akan diekskresikan
melalui susu yang dihasilkan sapi tersebut dan
bisa saja mengknntarnir~asiproduk dari susu
seperti keju dan yogurt. Aflatoksin sering
terdapat pada ja,wg dnn produk olahannya,
kacang dan produk olahannya, biji kapas,
susu, kacang brasil, kacang pistachio dan
walnut. Selain itu juga terdapat pada sereal
dan produk sereal seperti pasta, dan mi instan.
Pada sejumlah spesies hewan, senyawa ini
menyebabkan nekrosis, sirosis dan karsinoma
organ hati. Tidak ada hewan yang resisten
terhadap efek toksik akut dari aflatoksin oleh
karena itu disimpulkan manusia pun akan
terkena efek yang sama (Cullen 1993).
Aflatoksin B1 mempakan karsinogen
paling potensial (termasuk kelompok 1A)
pada banyak menyerang berbagai spesies

termasuk primata, bumng, ikan, dan rodensia.
Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat
menyebabkan erek akut. Aflatoksin juga dapat
terakumulasi di otak dan mempunyai efek
bumk terhadap paru-paw, miokardium dan
ginjal. Efek kronik dan sub akut aflatoksin
pada manusia yaitu penyakit hati seperti
kanker hati, hepatitis kronik, penyakit kuning,
sirosis hati. Aflatoksin dapat pula
mengakibatkan
gangguan
penyerapan
makanan,
gangguan
pencemaan
dan
rnetabolisme nutrien akibat mengkonsumsi
pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada
konsennasi rendah secara terus menems.
Aflatoksin juga be~perandalam menyebahkan
penyakit seperti sindrom Reye's dan busung
lapar. Selain itu juga dapat mengganggu
sistem kekebalan tubuh (imunosupresif) pada
manusia dan hewan (Hollstein 1993).
Aflatoksin ini di hati akan direaksikan
menjadi senyawa epoksida (aflatoksin B1 8,9
oksida) yang sangat reaktif terhadap senyawasenyawa di dalam sel. Efek karsinogenik
terjadi karena basa N guanin pada DNA akan
diikat oleh epoksida dan mengganggu kerja
gen. Pemanasan hingga :250 c tidak efektif
untuk menginaktifkan senyawa aflatoksin ini.

kepada pemerintah dalam membuat food
standard pada sistem regulasi pangan,
khususnya bahan pangan berbahan dasar
kacang tanah di Indonesia. Bagi produsen dan
distributor kacang tanah diharapkan dapat
mengendalikan proses produksi, pengolahan
pasca panen, penyimpanan, transportasi
dengan baik dan melakukan evaluasi melalui
proses pengawasan mutu (qualily cotltrol)
sehingga
cemaran
aflatoksin
dapat
diminimalisasi jumlahnya. Secara tidak
langsung penelitian ini diharapkan dapat ikut
mendukung peningkatan ketahanan dan
keamanan pangan dalam negeri.
Hipotesis penelitian ini adalah ekshak
kacang tanah dapat diidentifikasi mengandung
aflatoksin B1 (berfluoresens bim tua), B2
(berfluoresens b h muda pudar), GI
(berfluoresens bijau tua), G2 (berfluoresens
hijau muda pndar) pada lempeng TLC.
Senyawa aflatoksin yang terdeteksi pada
ekstrak kasar kacang tanah memiliki tingkat
toksisitas yang akut dan berbahaya jika hasil
pengujian toksisitas LC,, (analisis Probit)
pada Artemia salina nilainya < 1000 ppm.

TINJAUAN PUSTAKA
Aflatoksin
Aflatoksin berasal dari kata Aspergilus
flavus toksin, untuk mengingatkan penemuan
pertama kali dari toksin h i . Di dalam
perkemhangan
selanjutnya,
aflatoksin
diproduksi oleh kapang Aspergillus jlav~is,
Aspergillus parasilic~is atau Aspergillus
nornitis. Ketiga spesies kapang ini banyak
terdapat pada bahan pangan seperti sereal,
kacang-kacangan, rempah-rempah, dan kopra
maupun produk olahannya seperti bumbu
pecel, kacang telur, dan kacang atom. Kapang
ini biasanya tumbuh di daerah yang beriklim
tropis dan lembab (Cullen 1993).
Saat ini telah diketahui paling sedikitnya
4 macam aflatoksin alamiah yang paling
sering dijumpai dan bersifat toksik, yaitu
aflatoksin B1, 8 2 , GI, G2 berdasarkan
penampakan fluoresensinya pada lempeng
kromatografi lapis tipis di bawah sinar UV
yang memberikan warna bim (blue) untuk B
dan warna hijau (green) untuk G (Winarno
1997). Aflatoksin mempunyai kurang lebih 20
macam derivat, akan tetapi yang paling toksik
adalah aflatoksin BI. Kadar toksisitas dari
tiap jenis aflatoksin berbeda-beda. Tipe

aflatoksin yang paling toksik adalah aflatoksin
B1, dengan urutan tingkat toksisitas adalah B1
> G1 >. B2 > G2 (Frank 1995).
Seperti tampak pada Gambar I , struktur
aflatoksin B1 dan B2 dapat menghasilkan
senyawa metabolit aflatoksin MI dan M2
melalui hidroksilasi, dimana keduanya
dihasilkan sapi atau hewan mminansia lainnya
yang memakan pakan yang terkontaminasi
oleh aflatoksin B1 atau 82. Aflatoksin MI
dan M2 ini kemudian akan diekskresikan
melalui susu yang dihasilkan sapi tersebut dan
bisa saja mengknntarnir~asiproduk dari susu
seperti keju dan yogurt. Aflatoksin sering
terdapat pada ja,wg dnn produk olahannya,
kacang dan produk olahannya, biji kapas,
susu, kacang brasil, kacang pistachio dan
walnut. Selain itu juga terdapat pada sereal
dan produk sereal seperti pasta, dan mi instan.
Pada sejumlah spesies hewan, senyawa ini
menyebabkan nekrosis, sirosis dan karsinoma
organ hati. Tidak ada hewan yang resisten
terhadap efek toksik akut dari aflatoksin oleh
karena itu disimpulkan manusia pun akan
terkena efek yang sama (Cullen 1993).
Aflatoksin B1 mempakan karsinogen
paling potensial (termasuk kelompok 1A)
pada banyak menyerang berbagai spesies
termasuk primata, bumng, ikan, dan rodensia.
Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat
menyebabkan erek akut. Aflatoksin juga dapat
terakumulasi di otak dan mempunyai efek
bumk terhadap paru-paw, miokardium dan
ginjal. Efek kronik dan sub akut aflatoksin
pada manusia yaitu penyakit hati seperti
kanker hati, hepatitis kronik, penyakit kuning,
sirosis hati. Aflatoksin dapat pula
mengakibatkan
gangguan
penyerapan
makanan,
gangguan
pencemaan
dan
rnetabolisme nutrien akibat mengkonsumsi
pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada
konsennasi rendah secara terus menems.
Aflatoksin juga be~perandalam menyebahkan
penyakit seperti sindrom Reye's dan busung
lapar. Selain itu juga dapat mengganggu
sistem kekebalan tubuh (imunosupresif) pada
manusia dan hewan (Hollstein 1993).
Aflatoksin ini di hati akan direaksikan
menjadi senyawa epoksida (aflatoksin B1 8,9
oksida) yang sangat reaktif terhadap senyawasenyawa di dalam sel. Efek karsinogenik
terjadi karena basa N guanin pada DNA akan
diikat oleh epoksida dan mengganggu kerja
gen. Pemanasan hingga :250 c tidak efektif
untuk menginaktifkan senyawa aflatoksin ini.

Diambil dari Cullen JM dan Newbeme PM (1993).

1

Gambar 1 Struktur kimia Aflatoksin.
Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi
aflatoksin biasanya tidak dapat dikonsumsi
lagi. Praktis semua produk pertanian dapat
mengandung aflatoksin meskipun biasanya
masih pada kadar toleransi. Kapang ini
biasanya tumbuh pada penyimpanan yang
tidak memperhatikan faktor kelembaban
(minimum 7%) dan bertemperatur tinggi.
Daerah tropis rnerupakan tempat berkembang
biak paling ideal bagi kapang tersebut
(Dwidjoseputro 1981).
Kontaminasi aflatoksin sering terjadi di
negara-negara beriklim tropis dan lembab
seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
Kasus kontaminasi aflatoksin diketahui terjadi
pada awal tahun 1960-an dengan adanya
kematian lebih dari 100.000 ekor ayam kalkun
muda di peternakan lnggris karena pakan
kacang brazil impor yang digunakan
mengandung kadar aflatoksin yang tinggi.
Peristiwa tersebut dikenal dengan Turkey X
disease. Pada tahun 1967 tiga orang warga
Taiwan meninggal akibat mengkonsumsi

beras terkontaminasi aflatoksin, dan pada
tahun 1974 lebih dari 100 orang warga India
meninggal akibat mengkonsumsi jagung
terkontaminasi aflatoksin (Maxwell 2001).
Aspergillus flavus
Aspergill~rs jlavus mempakan kapang
saprofit, koloni yang sudab menghasilkan
spora benvama coklat kehijauan hingga
kehitaman. Miselium yang semula benvarna
putih tidak tampak lagi (Dwidjoseputro 1981).
Bila asp erg ill^ jlavus telah memproduksi
aflatoksin maka biji akan terasa pahit bila
dimakan. Kandungan aflatoksin yang tinggi
dikenali dari warna biji yang coklat dan rasa
yang makin pahit pula. lnfeksi Aspergillus
@us dan produksi aflatoksin pada biji-bijian
atau kacang-kacangan mempakan hasil
interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.
lnfeksi Aspergill~rs flnvus dan produksi
aflatoksin pada biji-bijian atau kacangkacangan melibatkan tiga faklor agar terjadi

kolonisasi Aspergillusflavzrs dan kontaminasi
aflatoksin. Ketiga faktor tersebut adalah
varietas tanaman kacang-kacangan yang peka,
Aspergillzrs Javus yang ganas dan agresif,
serta lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan dan produksi aflatoksin
(Dharmaputra OS et a1 1989). AspergiNus
jlavus
dan
Aspergillus
parasiticus
memerlukan kelembaban relatif untuk
pertumbuhan dengan batas optimum 82-85 %
dan suhu 30-32"C, sedangkan kondisi
optimum untuk menghasilkan aflatoksin
adatah pada suhu 25-30°C
dengan
kelembaban relatif 85 % dan pertumbuhan
jamur tersebut optimum pada kandungan air
15-30 % (Dwidjoseputro 1981).
Kacang Tanah
Kacang tanah (Arochis hypogaea L.)
mempakan tanaman polong-polongan atau
legum kedua terpenting setelah kedelai di
Indonesia. Tanaman ini berasal dari Amerika
Selatan namun saat ini telah menyebar ke
seluruh dunia yang beriklim hopis atau
subhopis. Republk Rakyat Cina mempakan
penghasil kacang tanah terbesar di dunia,
disusul India sebagai penghasil terbesar
kedua. Sebagai tanaman budidaya, kacang
tanah terutama dipanen bijinya yang kaya
protein dan lemak. Biji ini dapat dimakan
mentah, direbus (di dalam polongnya),
digoreng, atau disangrai. Di Amerika Serikat,
biji kacang tanah diproses menjadi semacam
selai dan mempakan industri pangan yang
menguntungkan.
Produksi minyak kacang tanah mencapai
sekitar 10% pasaran minyak masak dunia
pada tahun 2003 menurut FAO. Selain
dipanen biji atau polongnya, kacang tanah
juga dipanen hijauannya (daun dan batang)
untuk makanan temak atau mempakan pupuk
hijau. Kacang tanah budidaya dibagi menjadi
dua tipe: tipe tegak dan tipe menjalar. Tipe
menjalar lebih disukai karena memiliki
potensi hasil lebih tinggi. Tanaman ini adalah
satu di antara dua jenis tanaman budidaya,
tanaman budidaya yang lainnya adalah kacang
bogor (Voandziea subterranea) yang buahnya
mengalami pemasakan di bawah permukaan
tanah. Jika buah yang masih muda terkena
cahaya, proses pemasakan biji terganggu.
Cemaran Aflatoksin Pada Kacang Tanah
Pangan merupakan kebutuhan manusia
yang sangat mendasar karena berpengaruh
terhadap eksistensi dan ketahanan hidupnya.

Tersedianya pangan yang cukup, aman,
bermutu dan bergizi menjadi persyaratan
utama yang harus terpenuhi dalam upaya
mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Kepedulian terhadap kesehatan
masyarakat telvs meningkat seiring dengan
banyaknya pemberitaan mengenai produk
pangan nabati terkontaminasi oleh cemaran
yang dapat mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia. Pada
kenyataamya, cemaran tersebut dapat tejadi
di sepanjang mata rantai panganfrom farm to
table dan mungkin ada sebagai akibat dari
berbagai tahapau sejak dari bahan baku,
proses produksi, pengemasan, hansportasi
sampai pemasaran. Kerusakan bahan pangan
oleh jasad renik dapat menyebabkan makanan
atau minuman tidak layak dikonsumsi akibat
penurunan mutu atau karena makanan tersebut
telah mengandung racun (Ginting 2005).
Sumber-sumber karbohidrat seperti serealia
dan bebijian cenderung dicemari oleh
berbagai
jenis
kapang
(Aspergillus,
Penicillium, Fusarium, Rhizopus, Monilia).
Maraknya kasus keracunan makanan
nabati akhir-akhir ini menuntut kita untuk
lebih waspada dalam memilih makanan yang
benar-benar layak unh~k dikonsumsi. Kita
perlu tahu bahwa segala macam bahan
makanan pada umumnya merupakan media
yang sesuai untuk perkembangbiakan
mikroorganisme. Akibat mikroorganisme,
bahan makanan membusuk dan mengalami
kemsakan
sehingga
mempengaruhi
kandungan
nutrisi makanan tersebut.
Keracunan karena mikroorganisme dapat
bempa keracunan makanan wood intoxication)
dan infeksi (bod infection) karena makanan
yang terkontaminasi oleh parasit atau bakteri
patogen.
Keracunan
makanan
wood
intoxication) dapat tejadi karena makanan
tercemar toksin. Toksin bisa bempa
eksotoksin yaitu toksin yang dikeluarkan oleh
mikroorganisme
yang
~nasih hidup,
enterotoksin yaitu toksin yang spesifik bagi
lapisan lendir usus seperti tahan terhadap
enzim hipsin dan stabil terhadap panas;
aflatoksin maupun toksoflavin seperti pada
kasus keracunan tempe bongkrek (Cullen
1993).
Kontaminasi aflatoksin pada kacang
tanah telah dilaporkan oleh banyak peneliti.
Kacang tanah dalam bentuk polong segar,
polong kering, biji serta produk olahan
sederhana (kacang rebus, kacang garing,
bungkil, oncom) dan olahan modem (kacang
atom, pasta kacang, mentega kacang)
umumnya telah terkontaminasi aflatoksin B1

1

dalam kadar di atas batas toleransi yang
dinyatakan aman (Adenan ef a1 1985,
Dharmaputra el a1 1989, Bahri 2001).
Menurut Bahri (2001) kacang tanah
merupakan substrat yang cocok untuk
perkembangan berbagai macam kapang.
Kesadaran penduduk dunia tentang keamanan
pangan diwujudkan dengan penetapan standar
mutu produk (IS0 9000) dan mutu lingkungan
(IS0 14000) serta ekolabel sebagai inshumen
pengendali nonlegal dalam interaksi pasar.
Oleh karena itu, berbagai upaya untuk
meminimumkan kandungan aflatoksin dalam
rangka menghilangkan berbagai bambatan
dalam pemasaran serta melindungi konsumen
dalam dan luar negeri perlu ddiembangkan
(Ginting 2005). Selama penyimpanan, bahan
pangan kacang-kacangan dapat mengalami
kerusakan akibat adanya aktifitas mikroba
seperti tumbuhnya jamur. Beberapa faktor
yang dapat mempengarubi pertumbuhan
Aspergilus f[avus pada kacang tanah antara
lain adalab : 1) aktivitas air, yang dinyatakan
dengan Aw yaitu jumlah air bebas yang dapat
dimanfaatkan oleh mikroorganisme, 2)
konsentrasi ion hidrogen, 3) temperatur, 4)
konsistensi cair dan padat, 5) status nutrien,
dan 6) adanya bahan pengawet (Pitt dan
Hocking 1991).
Kadar air dalam bahan pangan kacangkacangan serta kelembaban relatif sangat
berpengamh pada pertumbuhan Aspergillzrs
flmus penghasil aflatoksin. Kenaikan kadar
air selama penyimpanan akibat komoditi
kacang menyerap uap air dari udara
menyebabkan pertumbuhan kapang semakin
meningkat karena bertambah banyak spora
kapang dari udara terbawa masuk (Goldblatt
1969). Kadar aflatoksin dalam komoditi
kacang tanah meningkat seiring dengan
meningkatnya kadar air kacang tanah selama
penyimpanan (Kasno 2004).
Kapang Aspergillus jlavus tumbuh
dimana-mana baik di udara, air, tanah, bahan
pangan (kacang-kacangan) maupun pakan
seperti jagung, betas dan biji kapas
(Dwidjoseputro 1981). Species Aspergillus
dan Penicillium sangat cepat tumbuh pada
biji-bijian, kacang-kacangan dan produk
lainnya selama proses penyimpanan terutama
jika kandungan air bahan cukup tinggi (Kasno
2004).
L a w a Udang (Arthemin snlina Leaclr)
Artemiu merupakan kelompok udangudangan (Crustaceae) dari filum Arthropoda.
Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton

lain seperti Copepode dan Dflphnia (kutu air).
Artemia hidup di danau-danau garam (berair
asin) yang ada di seluruh dunia. Udang ini
toleran terhadap selang salinitas yang sangat
luas, mulai dari nyaris tawar hingga jenuh
garam. Secara ala~niahsalinitas danau dimana
mereka hidup sangat hewariasi, tergantung
pada jumlah hujan dan penguapan yang
terjadi. Apabila kadar garam kurang dari 6 %
telw Artemia akan tenggelam sehingga telur
tidak bisa menetas. Hal ini biasanya terjadi
apabila air tawar banyak masuk ke dalam
danau di musim penghujan. Jika kadar garam
lebih dari 25% telur akan tetap berada dalam
kondisi tersusvensi. sehineea daoat menetas
dengan normai (~u&akusu&h 2607):

Gambar 2 Siklus hidup Arlemia salina Leach
(0-Fish 2007).
Seperti tampak pada Ga~nbar2 , siklus
hidup Arternia bisa dimulai dari saat
menetasnya kista atau telor. Setelah 15-20 jam
pada suhu 25°C kista aka1 menetas manjadi
embrio. Dalam waktu 20-24 jam embrio ini
masih menempel pada kulit kista. Pada fase
ini embrio tersebut akan menyelesaikan
perkembangannya kemuclian berubah menjadi
naupli yang sudah bisa berenang bebas.
Variabel yang menentukan siklus hidup
artemia adalah pH, cahaya, suhu, kadar
garam, dan oksigen. pH dengan selang 8-9
merupakan selang yang paling baik,
sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi
dari 10 dapat rnembunuh Artemia. Cahaya
minimal diperlukan dalam proses penetasan
dan akan sangat menguntungkan bagi
pertumbuhan mereka. Lampu standar growlite sudah cukup untuk keperluan hidup
Artemia. Kadar oksigen harus dijaga dengan
baik untuk pertumbuhan Artemia. Melalui

asupan suplai oksigen yang baik, Artemia
akan berwarna kuning atau merah
jambu. Warna ini bisa berubah menjadi
kehijauan
apabila
mereka
banyak
mengkonsumsi mikro algae. Saat kondisi yang
ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dan
beranak-pinak dengan cepat, sehingga suplai
Arlemia untuk ikan yang kita pelihara bisa
terns berlanjut secara kontinu. Apabila kadar
oksigen dalam air rendah dan air banyak
mengandung bahan organik atau jika salintas
meningkat, Arlemia akan memakan bakteri,
plankton, dan sel-sel khamir (yeast). Pada
kondisi ini Artemia akan memproduksi
hemoglobin sehingga tampak benvarna
merah atau orange. Apabila keadaan ini terns
berlanjut Artemia mulai memproduksi kista
(Punvakusumah 2007).
Pada saat inkubasi selama 24 jam di
dalam media tumbuh (vial), larva udang
mengalami proses aerasi menggunakan
aerator. Aerasi mempakan proses terjadinya
kontak antara air dengan udara, sehingga
tejadi perpindahan senyawa yang bersifat
volatil. Proses aerasi dapat meningkatkan
jumlah oksigen ke dalam air, menghilangkan
COz dan &S, serta menghilangkan rasa dan
ban yang disebabkan oleh zat-zat organik.
Aerasi juga dapat meningkatkan pH dan
menurunkan panas air laut. Aerasi dilakukan
dengan dua cara yaitu cara pertama dengan
memompakan udara luar atau oksigen murni
ke dalam air sehiigga diiasilkan gelembunggelembung udara yang berkontak dengan air.
Cara kedua dilakukan dengan menekan air ke
atas untuk berkontak dengan oksigen melalui
pemutaran baling-baling yang diletakkan pada
permukaan air, sehingga air terangkat dan
berkontak langsung dengan udara sekitamya
(Moss 1990).
Metode Deteksi Aflatoksin
Kadar aflatoksin pada bahan makanan
nabati
ditentukan
dengan
metode
kromatografi lapis tipis (thin l q e r
chromulography) sesuai dengan panduan
Official Methods of Analysis of the A.0.A.C
970. 451 49. 2. 09. 2005 yang mengacu
ketentuan SNI. Walaupun memerlukan waktu
yang relatif lama dalam melakukan analisis,
metode kromatografi lapis tipis
lebih
sederhana dan mudah dikerjakan bila
dibandingkan dengan metode HPLC. Secara
umum metode ini digunakan untuk mengukur
kadar aflatoksin pada prodnk kacang tanah
secara semi kuantitatif. Hasil akhir analisis
dihitung dengan menggunakan rumus berikut,

dimana kandungan aflatoksin dalam contoh
dinyatakan sebagai ppb (pait per billion)
dihitung sampai dua angka desimal.

Keterangan:
C = Kandungan masing-masiog aflatoksin
dalam contoh (dalam ppb).
S =Volume stmdar yang ditotolkan yang
intensitasnya sama dengan intensitas
contoh (dalam PI).
Y = Konsentrasi masing-masing standar
(dalam pgfml).
W = Bobot contoh (dalam gram).
Z = Volume ekstrak contoh yang ditotolkan
yang memberikan intensitas yang sama
dengan standar (dalam PI).
V = Volume pelamt kloroform yang dipakai
untuk melamtkan eks'ak (dalam PI).
f = Faktor pengenceran.
Saat ini sed'ang dikembangkan metode
lain agar pendeteksian kadar aflatoksin dari
sampel kacang tanah lebih bersifat kuantitatif,
akurat serta lebih sensitif. Di luar negeri,
khususnya Amerika Serikat dan negara-negara
Uni Eropa deteksi kadar aflatoksin BI, B2,
GI, G2 maupun MI tclah dapat dilakukan
dengan menggunakan metode analisis HPLC
(kromatografi cair kinerja tinggi) yang
memiliki sensilifitas dnn keakuratan yang
sangat tinggi lnaupun KIT ELISA. Demi
memenuhi standar kelayakan uji bertaraf
internasional saat ini beberapa balai penelitian
seperti BBIA dan Balitvet sedang melakukan
riset penggunaan HPLC sebagai metode barn
standardisasi SNI dalam proses pendeteksian
aflatoksin, meskipun memerlukan biaya yang
cendernng sangat mahal.
Prinsip kerja dari KIT ELISA ini adalah
pertama-tama antibodi dilapis pada plat mikro
dan ditambahkan enzim konjugat serta lamtan
sampel, lalu terjadi kompetisi antara
aflatoksin B1, 82, GI, G2 dan konjugat.
Setelah itu dilakukan pencucian, sehingga
terjadi
pembentukan
warna
setelah
penambahan subsirat. Komponen pereaksi
KIT ELISA antara lain standar aflatoksin
(blank0 standar, aflatoksi~iB1 30, 10, 3.3, 1.1,
0.37, 0.12 ppb), enzim konjugat (Aflatoksin
B1-Morse Radish Peroksidase), substrat A
(Nidrogen peroksida), substrat B (Tetra
methyl benzidin), larntan penghenti (asam
sulfat), antibodi
coaled plate, plat
pencampuran polystyrena, serta software

pengolahan data (biosensor). Sementara itu
keuntungan yang dapat diperoleh dengan
menggunakan KIT ELISA ini adalah ekstrasi
sampel sederhana, analisis lebih cepat (15
menit), sensitif dan spesifik, akurat (hasil
konsisten dengan metoda HPLC) dan
reprodusibel, kisaran analisis (0.3-30 ppb),
kros reaktifitas (AFBI loo%, AFB2 0.9%,
AFGl
3.1%,
AFG2
11.2%), dapat
menganalisis 40 sampel (duplo) sekaligus,
serta ekonomis.
Uji Toksisitas LCSoAtlatoksin
dengan Analisis Probit (Finney)
Lethal concentration (LCso) adalah
konsentrasi
yang
dibutuhkan
untuk
mematikan setengah dari populasi (50%) yang
ada (Frank 1995). Nilai LCSo tidak konstan,
artinya nilainya berbeda antara spesies yang
satu dengan spesies yang lain karena adanya
variasi antar spesies. Nilai LC,, merupakan
bentuk statistika yang didesain untuk
menggambarkan respon yang mematikan
komponen dalam beberapa populasi dari suatu
percobaan (Balazs 1970). Banyak faktor yang
berpengamh di dalamnya antara lain: umur,
suhu, jumlah hewan uji, dan jenis galur
(Fmney 1971).
Salah satu metode analisis statistika yang
digunakan untuk menghitung besarnya LCso
adalah dengan menggunakan analisis probit.
Analisis tersebut diperkenalkan oleh Finney
tahun 1971. Metode regresi linear digunakan
untuk mendapatkan grafik garis lums apabila
probit kematian ditransformasikan pada log
konsentrasi.
Konsentrasi
yang
dapat
mengakibatkan kematian 50% populasi hewan
diperoleh dengan menarii garis dari 50%
probit kematian (Finney 1971).
Perbedaan konsentrasi pada setiap
perlakuan secara jelas mempennudah dalam
menentukan konsentrasi letal pada suatu
hewan yang diujikan. Kontrol dalam
percobaan sangat penting dalam suatu
perhitungan mortalitas alami. Jika terjadi
kematian dari suatu konhol, perlu dilakukan
koreksi terhadap analisis dengan persen
kematian terkoreksi. Setiap makhluk hidup
mempunyai tingkat toleransi terhadap suatu
rangsangan, respon tidak akan terjadi apabila
berada di bawah tingkat toleransi tersebut
(Finney 1971).
Berbagai macam pengujian dilakukan
untuk menentukan tingkat toksisitas senyawa
cemaran aflatoksin pada kacang tanah
sehingga dapat diketahui ambang batas
toleransi keberadaan senyawa tersebut pada

makanan. Salah satu pengujian yang
dilakukan adalah dengan menggunakan larva
udang (Artemia salino). Meyer et a1 (1982)
telah nlengembnngkal~ metode ini supaya
dapat digunakan dalanr menemukan senyawa
bioaktif baru dari tumbuhan tingkat tinggi.
Metode ini telah banyak digunakan untuk uji
hayati dalam analisis residu pestisida,
anestetika dan zat pencemar air. Keuntungan
metode ini adalah cepat, tidak mahal, mudah
dilakukan dan tidak membutuhkan peralatan
yang mmit. Metode ini sering digunakan
untuk mendeteksi senyawa bioaktif yang
memiliki komponen bioaktif dan memiliki
efek fmakologi. Data yang diperolell dari
hasil pengujian dengan larva udang kemudian
dianalisis dengan menggunakan program
probit untuk menentukan LCso dan LC,
( F i ~ e y1971). Data dapat dianalisis apabila
mortalitas pada kontrol< 20% (Abbott 1925).
Uji beda nyata antar nilai LCSo atau LC9o
dilakukan dengan membandingkan nilai 95%
selang kepercayaamya. Dua nilai LC5, atau
LC, akan berbeda nyata kalau nilai selang
kepercayaamya tidak tumpang tindih (Savin
ef a[. 1977, Marqon et al. 1999). Senyawa
dengan nilai LCSo < 1000 ppm dikatakan
memiliki potensi bioaktlvitas (Mc Laughlin et
a1 1991).
Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi pertalna kali diberikan oleh
Michael Tswelt, seorarlg ahli botani Rusia
pada tahun 1906. Kromatografi berasal dari
bahasa Yunani Kromaros yang berarti warna
dan Graphos yang berarti menulis.
Kromatografi mencakup berbagai proses yang
berdasarkan pada perbedaan distribusi dari
penyusun cupliltan antara dua fasa. Satu fasa
tinggal pada sistem dan dinan~akanfasa diam.
Fasa lainnya, dinamakan fasa gerak,
memperkolasi melalui celah-celah fasa diam.
Gerakan fasa menyebabkan perbedaan migrasi
dari penyusun cuplikan (Harjadi 1994).
Kromatografi lapis tipis yaitu kromatografi
yang menggunakan lempeng gelas atau
alumunium yang tlilapisi dengan lapisan tipis
alumina, silika gel, atau bahan serbuk lainnya.
Kromatografi lapis tipis pada umumnya
dijadikan metode pilihan pertama pada
pemisaharl dengan kromatografi (Underwood
2002).
Pelaksaanan k r ~ ~ i t o g r a f lapis
i
tipis
menggunakan sebuah lapis tipis silika atau
alumina yang seragam pada sebuah lempeng
gelas atau logam atau plastik yang keras. Gel
silika (atau alumina) merupakan fase diam.

Fase diam untuk kromatografi lapis tipis
seringkali juga menganduug substansi yang
beduoresensi dalam sinar ultra violet. Fase
gerak mempakan pelarut atau campuran
pelamt yang sesuai. Gel silika adalah bentuk
dari silikon dioksida (silika). Atom silikon
dihubungkan oleh atom oksigen dalam
shuktur kovalen yang besar, sepeti tampak
pada Gambar 3. Pada permukaan gel silika,
atom silikon berlekatan pada gugus -OH. Jadi
pada permukaan gel silika terdapat ikatan Si0-H selain Si-0-Si. Permukaan jel silika
sangat polar sehingga gugus -OH dapat
membentuk ikatan hidrogen dengan senyawasenyawa yang sesnai di sekitarnya
sebagaimana gaya van der Waals. Fase diam
lainnya yang biasa digunakan adalah aluminaaluminium oksida. Atom aluminium pada
permukaan memiliki gugus -OH (Underwood
2002).
Pelaksanaan kromatografi lapis tipis
adalah sebagai berikut yaitu sebuah garis
digambar menggunakan pinsil di dekat bagian
bawah lempengan kemudian dilakukan
penotolan campuran pada garis itu. Diberikan
penandaan pada garis di lempengan untuk
menunjukkan posisi awal dari tetesan. Ketika
bercak dari campuran itu mengering,
lempengan ditempatkan dalam sebuah gelas
kimia bertutup berisi pelarut dalam jumlah
yang tidak terlalu banyak. Perlu diperhatikan
bahwa batas pelarut berada di bawah garis
dimana posisi bercak berada (Underwood
2002).

Struktur Ikatan K i i a Silika Gel

Gambar 3 Struktur kimia fase diam silika.
Alasan untuk menutup bejana kimia
adalah untuk meyakinkan bawah kondisi
dalam bejana kimia terjenuhkan oleh uap dari
pelarut. Kondisi jenuh dalam bejana kimia
dengan uap mencegah penguapan pelarut.
Karena pelarut bergerak lambat pada
lempengan,
komponen-komponen
yang
berbeda dari campuran pewarna akan bergerak
pada kecepatan yang berbeda dan akan
tampak sebagai perbedaan bercak wama.
Ketika pelarut mulai membasahi lempengan,
pelarut pertama akan melarutkan senyawa-

senyawa dalam bercak yang telah ditempatkan
pada garis dasar. Senyawa-senyawa akan
cenderung
bergerak pada
lempengan
kromatografi sebagaimana halnya pergerakan
pelarut (Underwood 2002).
Tingkat kecepatan senyawa-senyawa
bergerak ke atas Iempengan tergantung pada
dua ha1 yaitu: a) kelarutan senyawa dalam
pelarut (ha1 ini bergautung pada bagaimana
besar atraksi antara molekul-molekul senyawa
dengan pelarut, b) kemampuan senyawa
meiekat pada fase diam misalnya jel silika
(ha1 ini tergantung pada bagaimana besar
atraksi antara senyawa deugan jel silika). Jika
dianggap bercak awal mengandung dua
senyawa yaitu senyawa yang satu dapat
membentuk ikatan hidrogen, dan senyawa
yang lainnya hanya dapat mengambil interaksi
van der Waals yang lemah. Senyawa yang
dapat membentuk ikatan hidrogen akan
melekat pada jel silika lebih kuat dibanding
senyawa laimya. Dapat dikatakan bahwa
senyawa ini terjerap lebih kuat dari senyawa
yang lainnya (Undenvood 2002).
Penjerapan adalah pembentukan suatu
ikatan dari satu substansi pada permukaan
yang bersifat tidak pemianen. Pada proses ini
terdapat pergenkan yang tetap dari molekul
antara yang terjerap pada permukaan jel silika
dan yang kembali pada lamtan dalam pelarut.
Dengan jelas senyawa hanya dapat bergerak
ke atas pada lempengan selama waktu terlarut
dalam pelarut. I