Evaluasi Ketersediaan Hara Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Padi Di Daerah Irigasi Cihea, Cianjur, Jawa Barat

EVALUASI KETERSEDIAAN HARA LINGKUNGAN
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI
DI DAERAH IRIGASI CIHEA, CIANJUR, JAWA BARAT

RESTU PUJI MUMPUNI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Ketersediaan
Hara Lingkungan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi di Daerah Irigasi
Cihea, Cianjur, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016
Restu Puji Mumpuni
NIM A252110171

RINGKASAN
RESTU PUJI MUMPUNI. Evaluasi Ketersediaan Hara Lingkungan terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Padi di Daerah Irigasi Cihea, Cianjur, Jawa Barat.
Dibimbing oleh ISKANDAR LUBIS dan AHMAD JUNAEDI.
Pertanian adalah salah satu faktor utama yang memberikan dampak
lingkungan secara langsung di daerah tropis seperti Indonesia. Salah satu isu
lingkungan di bidang pertanian adalah meluasnya penggunaan teknik pertanian
intensif. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi teknik budidaya
tanaman, ketersediaan hara lingkungan dan serapan hara bagi pertumbuhan dan
produksi padi sawah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
sebagai bahan evaluasi sistem budidaya padi sawah yang dilakukan oleh petani
dan kelompok tani di sepanjang daerah aliran sungai.
Penelitian dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum
khususnya Daerah Irigasi Cihea (DI Cihea) yaitu di Desa Sukajaya (hulu) dan

Desa Bojongpicung (tengah) di Kecamatan Bojongpicung dan Desa Ciranjang
(hilir) di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Waktu penelitian
dilaksanakan bulan Mei 2012 hingga Juli 2013 (2 musim tanam). Penelitian ini
termasuk jenis penelitian deskriptif. Metode pengumpulan data dengan
pengambilan data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer dengan cara
wawancara dan observasi. Observasi atau pengamatan dilakukan pada areal sawah
dari kelompok tani di 3 lokasi DI Cihea (hulu, tengah dan hilir) masing masing
lokasi dipilih 10 petak sawah, setiap petak dipilih 5 tanaman contoh secara acak.
Pola tanam di DI Cihea dipengaruhi oleh pasokan air irigasi, untuk
wilayah hulu bisa menanam padi sepanjang tahun dengan pola tanam padi-padipadi karena ketersediaan air selalu cukup. Daerah tengah dan hilir karena
keterbatasan jumlah air irigasi maka pola tanam yang digunakan padi-padi-bera
atau padi-padi-palawija. Teknik budidaya intensif diterapkan di tiap lokasi, ratarata berdasarkan pengalaman petani dan berbasis pada pupuk dan pestisida
anorganik. Kepemilikan lahan ada yang milik sendiri dan ada yang hanya
mengerjakan sawah milik orang lain.
Perbedaan lokasi dan musim secara umum tidak berbeda nyata pada
peubah vegetatif tanaman. Perbedaan nyata terlihat pada bobot kering tajuk
tanaman saat panen dan 20 HST. Perbedaan lokasi berpengaruh nyata pada
generatif tanaman terutama pada musim kemarau. Secara umum, ketersediaan
hara N dan P tanah tersedia sedang hara K rendah. Kadar hara pada air irigasi di
tiga lokasi pada berbagai periode pertumbuhan padi menunjukkan tidak berbeda

nyata. Perbedaan hanya terlihat pada musim kemarau dimana kandungan hara N
di hilir lebih tinggi dibandingkan lokasi lain. Ketersediaan hara N dan P dari tanah
dan air berkorelasi erat dengan serapan hara tanaman dan pertumbuhan vegetatif
tanaman. Hara N, P dan K dari tanah dan air berkorelasi erat dengan
perkembangan generatif tanaman.
Kata kunci: budidaya padi, musim kemarau, musim hujan, serapan hara

SUMMARY
RESTU PUJI MUMPUNI. Evaluation on Environtment Nutrient Availability for
Rice Growth and Production in Cihea Irigation Area, Cianjur, West Java.
Supervised by ISKANDAR LUBIS and AHMAD JUNAEDI.
Agriculture has a major impact on the environment in tropical regions,
such as Indonesia. One of the environmental issues in agriculture is widespread
use of intensive farming techniques. The objectives of this research were to obtain
and evaluate information on the environmental nutrient availability, nutrient
uptake, rice growth and production in watershed area.
Research was conducted in the Cihea Irrigation Area in Bojongpicung and
Ciranjang District, Cianjur. Plant tissue analysis performed at Laboratory of Plant
Analysis, Department of Agronomy and Horticulture, soil and water analysis at
Laboratory of Soil Analysis, Department of Soil Science, IPB. The time research

took place from May 2012 to July 2013, in two growing season dry season and
wet season. This research includes a descriptive type of research. The information
collected is expected to be on the management of lowland rice commonly
practiced by farmers. Observations were made on rice field from 14 farmers in
three different area of watershed. In each area 10 plots farmer rice fields were
selected, and in every plot 5 paddy sample were selected to observed.
Cropping patterns in DI Cihea determined by the supply of irrigation
water. Water was available in the upstream region throughout the year and the
cropping pattern was rice-rice-rice. Midstream and downstream areas due to the
limited amount of irrigation water used, the cropping pattern were rice-rice-fallow
or rice-rice-legumes. Intensive cultivation techniques were applied at each
location, an average based on the experience of farmers and based on inorganic
fertilizers and pesticides. Land ownership were its own or borrower.
In general, all vegetative variables were not significantly different among
location and season. Differences location significantly affected generative
development, especially in the dry season. The availability of N and P soil were
sufficient but K nutrient was low. The nutrient content of the irrigation water in
three locations at different rice growth period showed no significant difference,
difference was only visible during the dry season. The availability of N and P
from soil and water were closely correlated with plant nutrient uptake and

vegetative growth. N, P and K from the soil and water were closely correlated
with plant generative development.
Keywords: Dry and rainy season, nutrient uptake, rice cultivation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EVALUASI KETERSEDIAAN HARA LINGKUNGAN
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI
DI DAERAH IRIGASI CIHEA, CIANJUR, JAWA BARAT

RESTU PUJI MUMPUNI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir MH Bintoro, MAgr

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian ini adalah Evaluasi Ketersediaan Hara Lingkungan terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Padi di Daerah Irigasi Cihea, Cianjur, Jawa Barat.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Iskandar
Lubis, MS dan Bapak Dr Ir Ahmad Junaedi, MSi selaku dosen pembimbing.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Program Diploma IPB yang telah
memberikan beasiswa selama masa pendidikan beserta Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan Republik Indonesia (LPDP RI) dan Dr Koki Homma yang telah
memberikan bantuan dana penelitian tesis dan teman-teman yang telah membantu
dalam proses pengambilan data. Ungkapan rasa hormat dan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada almarhum ayahanda Mudjiman, ibunda Sutini, Taufiq
Qoharudin serta seluruh keluarga dan sahabat, atas segala do’a dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016

Restu Puji Mumpuni

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan

2

TINJAUAN PUSTAKA


2

Botani Tanaman Padi

2

Kebutuhan Hara Tanaman Padi

3

Peranan Air bagi Tanaman

4

Gambaran Umum Daerah Aliran Sungai Citarum

4

Evaluasi Kesuburan Tanah


5

METODE PENELITIAN

5

Tempat dan Waktu

5

Bahan dan Alat

6

Metode

6

Pelaksanaan


6

Pengamatan

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Budidaya Padi Sawah di Daerah Irigasi Cihea

8
8

Pertumbuhan Vegetatif Tanaman

10

Pertumbuhan Generatif Tanaman

13

Kandungan Hara Tanah, Air dan Tanaman

14

Hubungan Hara Lingkungan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi

18

SIMPULAN DAN SARAN

20

Simpulan

20

Saran

21

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

24

RIWAYAT HIDUP

30

DAFTAR TABEL
1 Karakteristik petani di Daerah Irigasi Cihea
9
2 Teknik budidaya yang diterapkan petani di Daerah Irigasi Cihea
9
3 Bobot kering tanaman di tiga lokasi Daerah Irigasi Cihea pada beberapa
periode pertumbuhan tanaman padi di dua musim
12
4 Peubah generatif tanaman di hulu tengah dan hilir Daerah Irigasi Cihea
pada musim kemarau dan musim hujan
13
5 Kandungan hara esensial dalam tanah sawah di hulu tengah dan hilir
Daerah Irigasi Cihea pada musim kemarau dan musim hujan
15
6 Kadar hara N, P, K pada air di lahan sawah pada berbagai periode
pertumbuhan padi di tiga lokasi Daerah Irigasi Cihea pada musim
kemarau dan musim hujan
16
7 Kadar hara N, P, K pada jaringan akar tanaman pada berbagai periode
pertumbuhan padi di tiga lokasi Daerah Irigasi Cihea pada musim
kemarau dan musim hujan
17
8 Kadar hara N, P, K pada jaringan tajuk tanaman pada berbagai periode
pertumbuhan padi di tiga lokasi Daerah Irigasi Cihea pada musim
kemarau dan musim hujan
18

DAFTAR GAMBAR
1 Tinggi tanaman di hulu, tengah dan hilir Daerah Irigasi Cihea a) musim
kemarau, b) musim hujan
10
2 Jumlah anakan di hulu, tengah dan hilir Daerah Irigasi Cihea a) musim
kemarau, b) musim hujan
11
3 Nilai indeks luas daun di hulu, tengah dan hilir Daerah Irigasi Cihea a)
musim kemarau, b) musim hujan
12

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta lokasi penelitian di Daerah Irigasi Cihea
24
2 Jumlah curah hujan, rata-rata curah hujan dan hari hujan di Kecamatan
Ciranjang dan Bojongpicung
24
3 Deskripsi padi Varietas Ciherang
25
4 Rekapitulasi sidik ragam uji t
26
5 Korelasi ketersediaan hara lingkungan terhadap peubah pertumbuhan
dan produksi padi di Daerah Irigasi Cihea
28

PENDAHULUAN

Latar belakang
Daerah tropis merupakan daerah yang memiliki daya dukung lingkungan
yang optimum bagi pertumbuhan dan perkembangan berbagai jenis flora dan
fauna. Daerah tropis mendapatkan cahaya sepanjang tahun, suhu konstan
sepanjang tahun, distribusi curah hujan spasial dan temporal yang mendukung
usaha pertanian (Chozin 2006). Pertanian merupakan salah satu faktor utama yang
memberikan dampak lingkungan secara langsung di daerah tropis seperti
Indonesia. Salah satu isu lingkungan di bidang pertanian yaitu meluasnya
penggunaan teknik pertanian intensif. Sejak Revolusi hijau Indonesia dapat
menghasilkan padi dengan produktivitas tinggi karena penggunaan varietas
berdaya hasil tinggi (High Yielding Variety), penggunaan pupuk dan pestisida
anorganik. Praktik pertanian tersebut berdampak buruk bagi lingkungan baik
ekosistem dan keanekaragaman hayati maupun kondisi tanah.
Tanah mempunyai fungsi esensial, sebagai salah satu komponen sistem
lahan. Kesuburan tanah di dalam pertanian merupakan bagian dari sistem yang
dinamis yang dapat berubah menurun maupun meningkat, yang terjadi secara
alami maupun akibat perbuatan manusia (Munawar 2011). Penurunan kesuburan
tanah dapat berupa berkurangnya konsentrasi hara yang tersedia, kandungan
bahan organik, kapasitas tukar kation, dan perubahan pH, atau yang disebut
dengan penurunan kesuburan kimiawi (Dierolf et al. 2000). Penurunan kesuburan
tanah secara alami terjadi misalnya akibat erosi oleh air yang menyebabkan
kehilangan lapisan tanah bagian atas yang subur dan meninggalkan lapisan
permukaan tanah baru yang kurang atau tidak subur. Hara yang terbawa air akibat
erosi menjadi aspek penting yang menentukan ketersediaan hara lingkungan.
Penurunan kesuburan akibat aktivitas manusia misalnya eksploitasi hara tanah
melalui pemanenan seluruh bagian tanaman tanpa pasokan hara yang memadai
dan pengolahan tanah yang berlebihan yang menyebabkan kehilangan bahan
organik tanah dipercepat, sehingga tanah tidak dapat mengikat hara. Banyak
dijumpai tanah yang semula produktif, tetapi karena pengusahaan tanah yang
intensif dan jangka panjang tanah menjadi tidak produktif lagi.
Usaha untuk mengatasi dampak lingkungan akibat pertanian intensif tidak
bisa langsung diterapkan di petani, diperlukan pengembangan model teknik
pertanian ramah lingkungan namun tetap berproduksi tinggi yang secara perlahan
diadaptasikan di lingkungan petani. Usaha awal penerapan teknik pertanian yang
ramah lingkungan yaitu dengan mengumpulkan basis data lingkungan dan
budidaya tanaman pangan terutama padi yang selama ini dipraktikkan petani di
daerah sentra padi sebagai evaluasi ketersediaan hara lingkungan.
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu sentra penghasil padi di Provinsi
Jawa Barat. Kabupaten Cianjur memiliki luas wilayah 350 148 ha, pemanfaatan di
bidang pertanian seluas 58 101 ha (16.59%) berupa tanah pertanian lahan basah,
97 227 ha (27.76%) berupa lahan pertanian kering dan tegalan. Mata pencaharian
penduduk Kabupaten Cianjur di sektor pertanian yaitu sekitar 62.99%. Sektor

pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) yaitu sekitar 42.80% (Kab. Cianjur 2012). Produksi padi sawah di
Jawa Barat pada tahun 2010 sebesar 7 364 222 ton dan Kabupaten Cianjur
menyuplai sebesar 915 266 ton atau sekitar 12.43% ke Provinsi Jawa Barat (BPS
2011). Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan DAS utama yang
melewati Kabupaten Cianjur dan berperan penting dalam memenuhi kebutuhan
air untuk pertanian. Daerah Aliran Sungai Citarum memiliki beberapa sub DAS
yang kemudian dibagi menjadi daerah-daerah aliran irigasi. Daerah Irigasi Cihea
merupakan salah satu daerah aliran irigasi penting di Kabupaten Cianjur.
Penanganan masalah pangan dan teknologi produksi secara parsial yang
telah ditempuh selama ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah yang
kompleks dan juga tidak efisien (Kartaatmadja & Fagi 2000). Suartha (2002),
memprediksi bahwa negara kita akan mengalami krisis pangan khususnya beras,
apabila usaha-usaha kita dalam meningkatkan produksi pangan masih tetap seperti
waktu-waktu sebelumnya. Kabupaten Cianjur memiliki potensi besar dalam
menyediakan bahan pangan bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu
diperlukan evaluasi terhadap sistem budidaya padi sawah yang dilakukan oleh
petani dan kelompok tani agar didapat suatu rekomendasi yang sesuai untuk
mengatasi peningkatan kebutuhan konsumsi beras.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Mendapatkan informasi teknik budidaya padi sawah di daerah irigasi
Cihea, Cianjur
2. Mendapatkan informasi dan mengevaluasi pertumbuhan, produksi padi,
dan serapan hara pertanaman padi di Daerah Irigasi Cihea, Cianjur
3. Mendapatkan informasi dan mengevaluasi ketersediaan hara lingkungan
pada padi sawah di Daerah Irigasi Cihea, Cianjur.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Padi
Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk dalam tumbuhan suku Graminae
yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Ruas-ruas ini
merupakan bumbung kosong yang ditutup oleh buku dan panjang ruasnya tidak
sama. Ruas yang terpendek berada di pangkal batang, ruas yang kedua dan
seterusnya lebih panjang dari ruas-ruas yang lebih bawah. Pada buku bagian
bawah dari ruas, tumbuh daun pelepah yang membalut ruas sampai buku bagian
atas. Tepat pada buku bagian atas ujung dari daun pelepah memperlihatkan
percabangan dan cabang yang terpendek menjadi ligulae (lidah) daun, dan bagian
yang terpanjang dan terbesar menjadi helaian daun. Tepat pada daun pelepah yang
menjadi ligula dan pada helaian daun terdapat dua embel sebelah kiri dan kanan
yang disebut auricular. Auricular dan ligula yang kadang-kadang berwarna hijau

dan ungu dapat digunakan sebagai alat untuk mendeterminasi dan identifikasi
suatu varietas (Citrosupomo 2007).
Tanaman padi bersifat merumpun, artinya tanaman tersebut menghasilkan
anakan yang tumbuh dari tanaman induk. Dari satu batang bibit yang ditanam,
dalam waktu yang sangat singkat dapat terbentuk suatu rumpun yang terdiri atas
20-30 atau lebih tunas baru atau anakan (Siregar 1987). Tanaman padi
mempunyai sistem perakaran serabut (De Datta 1981) Akar primer (radikula)
yang tumbuh sewaktu berecambah bersama akar lain yang muncul dari embrio
dekat bagian buku disebut akar seminal, yang jumlahnya antara satu sampai tujuh
helai. Penyebaran sistem akar dapat mencapai kedalaman 20-30 cm. meskipun
demikian, akar banyak mengambil zat makanan dari tanah dekat permukaan
tanah.
De Datta (1981) menyatakan bahwa stadia reproduktif tanaman padi
ditandai dengan memanjangnya beberapa ruas teratas pada batang yang
sebelumnya tertumpuk rapat dekat permukaan tanah. Stadia reproduktif juga
ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera,
kebuntingan, dan pembungaan. Inisiasi primordia malai biasanya dimulai 30 hari
sebelum pembungaan. Stadia inisiasi primordia hampir bersamaan dengan
memanjangnya ruas-ruas yang terus berlanjut sampai berbunga. Oleh sebab itu
stadia reproduktif juga disebut stadia pemanjangan ruas-ruas.
Pembibitan padi umumnya dilakukan dengan cara menanam langsung pada
lahan tidak tergenang ataupun pada kondisi tanah yang digenangi air (Siregar
1987). Varietas Ciherang tumbuh dan berproduksi baik pada lahan tidak
tergenang maupun tergenang. Varietas IR64 tumbuh dan berproduksi baik pada
lahan genangan air dalam (Djunainah et al. 1993) Pada kondisi tergenangi air, biji
padi melakukan respirasi secara anaerob. Pada kondisi tergenang energi ATP
yang terbentuk sedikit, sementara untuk proses perkecambahan biji padi
dibutuhkan energi ATP yang cukup tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan ATP
dibutuhkan pembongkaran cadangan makanan yang ada di endosperm dengan
cepat yang melibatkan enzim-enzim dalam metabolisme cadangan makanan
tersebut.
Kebutuhan Hara Tanaman Padi
Tanaman padi membutuhkan 16 hara esensial yaitu karbon, hidrogen,
oksigen, nitrogen, fosfor, kalium, belerang, kalsium, magnesium, seng, besi,
tembaga, molibdenum, boron, mangan, dan klorin. Unsur silikon walaupun bukan
unsur esensial, namun sebaiknya diberikan pada tanah-tanah yang telah
mengalami pemupukan lanjut (Hardjowigeno 2007).
Menurut De datta (1981) pada saat panen sejumlah hara terangkut pada
brangkasan padi, dalam 7.9 ton gabah dan 7.0 ton jerami hasil panen terdapat
kandungan nitrogen sebanyak 86.1 kg pada gabah dan 37.1 kg pada jerami,
kandungan fosfornya 15.8 kg pada gabah dan 5.6 kg pada jerami, sedangkan
kandungan kaliumnya sebesar 24.5 kg pada gabah dan 95.2 kg pada jerami. Dari
hasil penelitian di atas, bila jerami dikembalikan ke sawah maka sejumlah besar
kalium akan dapat dipergunakan untuk pertanaman berikutnya.
Nitrogen, fosfor dan kalium merupakan unsur hara makro utama yang
dibutuhkan tanaman. Nitrogen merupakan hara yang berhubungan dengan

kerebahan pada padi (Lubis 1991). Nitrogen berperan pada pertumbuhan vegetatif
dan generatif yaitu dalam pertumbuhan tinggi dan jumlah anakan padi, menambah
ukuran daun dan gabah, menambah butir per malai, meningkatkan persentase
gabah isi. Adapun fungsi fosfor adalah merangsang pembungaan dan pemasakan,
penambahan anakan secara lebih aktif, meningkatkan mutu gabah dan memberi
nilai gizi. Fungsi hara kalium antara lain memperbaiki anakan padi, menambah
ukuran dan bobot gabah, meningkatkan respon pemupukan fosfor, berperan
penting dalam proses fisiologis tanaman termasuk membuka dan menutupnya
stomata, menambah resistensi terhadap penyakit (De Datta 1981).
Peranan Air Bagi Tanaman
Air merupakan komponen utama dari tanaman, namun penggunaan air
berbeda untuk setiap jenis tanaman. Perbedaan penggunaan air disebabkan oleh
perbedaan sifat anatomi dan morfologi tiap spesies tanaman sehingga
menyebabkan perbedaan tingkat transpirasi (Monteith 1975).
Gupta (1979) menjelaskan bahwa kekurangan air dapat mempengaruhi
pertumbuhan pada beberapa organ, antara lain: (1) penurunan nisbah tunas dan
pertumbuhan akar, (2) pengurangan akar lateral dan total panjang akar, dan (3)
pengurangan pada nisbah daun dan tangkai. Kebutuhan air tanaman menurut
Doorenbos & Pruitt (1977) adalah air yang hilang oleh evapotranspirasi dari
tanaman yang bebas penyakit, tumbuh di lapangan luas pada keadaan tanah
dengan air dan kesuburannya tidak menjadi pembatas serta tanaman mencapai
potensi produksi maksimum.
Kebutuhan air dari tanaman disediakan oleh lingkungan perakaran dan air
tersebut berasal dari air yang tertahan dalam tanah yang dapat dengan mudah
diserap tanaman. Jumlah air yang dapat ditahan oleh tanah tergantung dari kadar
bahan organik dan tekstur tanah (Tisdale & Nelson 1975). Makin rendah jumlah
air tersedia, suplai air di daerah perakaran makin berkurang, akibatnya absorpsi air
oleh akar juga makin berkurang. Air yang diserap akar dari tanah tidak seluruhnya
dimanfaatkan tanaman untuk menghasilkan bahan kering, karena sebagian besar
(> 90%) dari total air yang diserap akar hilang melalui transpirasi (Gardner et al.
1991).
Gambaran Umum Daerah Aliran Sungai Citarum
Daerah Aliran Sungai (DAS) menurut Sitorus (1985) adalah suatu wilayah
yang dibatasi oleh batas alam seperti punggung bukit-bukit atau gunung maupun
batas buatan seperti jalan atau tanggul tempat air hujan yang turun di wilayah
tersebut memberi kontribusi aliran ke titik kontrol (outlet). Menurut kamus
Webster, DAS adalah suatu daerah yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang
menerima hujan, menampung, menyimpan, dan mengalirkan ke sungai dan
seterusnya ke danau atau ke laut.
DAS Citarum merupakan DAS utama di wilayah Jawa Barat yang memiliki
luas 6 080 km2, dengan sungai Citarum yang panjangnya 300 km (Tukayo 2011).
Sungai utama Citarum memiliki 36 anak sungai dengan panjang sekitar 873 km,
dengan tiga waduk besar yakni Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Dalam bentang
perjalanannya sungai Citarum yang berhulu di Gunung Wayang Kabupaten

Bandung dan bermuara di Laut Jawa, melewati 7 kabupaten di Jawa Barat yakni
Bandung, Sumedang, Cianjur, Bogor, Bekasi, Purwakarta dan Karawang. DAS
Citarum memainkan peranan penting dalam memenuhi kebutuhan air untuk
pertanian, aktivitas industri, pembangkit listrik, serta kebutuhan domestik di
wilayah Jawa Barat.
DAS Citarum berada pada koordinat 106o51’36” – 107o51’ BT dan 7o19’ –
o
6 24’ LS memanjang dari bagian hulu di selatan Kabupaten Bandung ke hilir
menuju pantai Jakarta. Luas keseluruhan wilayah DAS Citarum seluas 718 269 ha
dan dibagi dalam 12 sub DAS yang kemudian dibagi lagi menjadi daerah-daerah
aliran irigasi (Tukayo 2011).
Evaluasi Kesuburan Tanah
Kesuburan tanah bersifat dinamis, dapat menurun dan meningkat. Oleh
karena itu, untuk menjamin agar kesuburan tanah tidak menjadi faktor pembatas
produksi pertanian, status kesuburan tanah harus secara rutin dipantau dan
dievaluasi secara periodik. Evaluasi kesuburan tanah juga diperlukan ketika ada
persoalan dengan pertumbuhan tanaman akibat faktor tanah, sehingga segera
dilakukan tindakan yang tepat untuk mengatasinya (Munawar 2011). Evaluasi
kesuburan tanah dimaksudkan untuk meyakinkan produktivitas tanaman optimal
dengan memaksimalkan keuntungan ekonomis dan mengurangi terjadinya
degradasi lingkungan. Beberapa metode yang digunakan untuk evaluasi
kesuburan tanah yaitu diagnosis gejala kekahatan hara, analisis jaringan tanaman
yang tumbuh di lapangan, uji biologis dan uji tanah di laboratorium (Tisdale &
Nelson 1975)
Diagnosis gejala kekahatan hara didasarkan pada pengamatan visual atau
pengukuran tanaman yang sedang tumbuh. Analisis tanaman bersama-sama
dengan analisis tanah menjadi alat bantu pemantauan pasokan hara selama musim
pertumbuhan dan mendapatkan jalan keluar ketika tanaman tumbuh buruk di
lapangan. Analisis tanaman didasarkan kepada prinsip bahwa jumlah suatu unsur
dalam tanaman merupakan indikator pasokan unsur hara tersebut dan
berhubungan langsung dengan jumlah unsur tersebut di dalam tanah. Karena
kekurangan satu unsur akan menghambat pertumbuhan tanaman, unsur-unsur
yang lain dapat menumpuk di dalam cairan sel, sehingga konsentrasinya
meningkat (Sitorus 1985).

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di area sawah petani di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Citarum khususnya Daerah Irigasi Cihea yaitu di Desa Sukajaya (hulu),
Desa Bojongpicung (tengah) dan Desa Ciranjang (hilir), Kecamatan
Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Peta Lokasi penelitian dan sumber
air irigasi di Daerah Irigasi Cihea dapat dilihat pada Lampiran 1. Analisis tanah
dan air dilakukan di Laboratorium Kesuburan Tanah Departemen Manajemen dan
Sumberdaya Lahan, sedangkan analisis jaringan tanaman dilakukan di
Laboratorium Analisis Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Fakultas Pertanian – IPB. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei 2012
hingga Juli 2013.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu genotipe padi yang biasa ditanam oleh petani
di daerah irigasi Cihea yaitu varietas Ciherang. Pupuk yang digunakan antara lain
Urea, SP-36, dan KCl, Pupuk majemuk NPK, dengan dosis yang biasa digunakan
oleh petani setempat. Alat yang digunakan Mikroskop, Soil Solution Sampler,
Plant Canopy Analyzer (Li-Cor LAI-2200), kamera digital timbangan analitik dan
oven.
Metode
Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif, penelitian yang
menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel.
Beberapa metode pengumpulan data dalam penelitian deskriptif yaitu dengan
pengambilan data primer dan data sekunder. Data primer berupa wawancara dan
observasi. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan atau informasi untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab (Sitorus 1985). Wawancara dilakukan
kepada petani yang arealnya digunakan untuk penelitian. Informasi yang
dikumpulkan yaitu mengenai pengelolaan padi sawah yang biasa dipraktikkan
oleh petani meliputi varietas padi yang digunakan, jenis pupuk, dosis, teknik
aplikasi, pestisida, pengelolaan pemeliharaan hingga panen padi di petani
setempat. Observasi atau pengamatan dilakukan pada areal sawah dari sejumlah
petani di 3 tempat yang berbeda (hulu, tengah dan hilir). Tiap lokasi dipilih 10
petak sawah petani, tiap petak dipilih 5 tanaman contoh secara acak yang diamati
pertumbuhan tanamannya, sehingga terdapat 150 satuan percobaan. Data sekunder
diperoleh dari buku pustaka maupun dari dokumentasi UPTD setempat dan
kelompok tani baik berupa laporan, catatan kegiatan, surat-surat, buku maupun
jurnal.
Pengolahan data: Hasil pengamatan, wawancara dan data sekunder
kemudian dianalisis dengan analisis deskriptif. Untuk mengevaluasi hubungan
antara kandungan hara pada air dan tanah dengan pertumbuhan dan produksi padi
dilakukan uji korelasi. Uji t digunakan untuk mengetahui beda antara
pertumbuhan vegetatif, generatif, kandungan hara tanaman, air dan tanah di tiap
lokasi di dua musim. Analisis data digunakan perangkat lunak minitab versi 14.

Pelaksanaan
Observasi lapang. Pemilihan area sawah untuk penelitian dan pendekatan
ke petani setempat, wawancara dengan petugas Unit Pelaksana Teknis Daerah
Bojongpicung (UPTD Bojongpicung) maupun petani mengenai teknik budidaya
tanaman yang biasa dipraktikkan petani.
Persiapan benih dan Penanaman. Mengikuti dan mengamati persiapan
benih dan penanaman yang dilakukan petani. Teknik persemaian, umur pindah

tanam dan jarak tanam menyesuaikan dengan teknik budidaya yang biasa
dipraktikkan petani.
Pemeliharaan hingga panen. Mengikuti dan mengamati pemeliharaan
tanaman hingga panen yang dilakukan petani. Teknik pemupukan, penyiangan
dan pemberantasan hama penyakit menyesuaikan dengan teknik budidaya yang
biasa dipraktikkan petani. Serta melakukan pengamatan morfologi dan fisiologi
tanaman mingguan.
Pengamatan
Peubah pengamatan yang penting untuk penelitian ini yaitu :
a. Teknik budidaya tanaman padi yang digunakan petani antara lain: varietas
yang digunakan, jenis pupuk yang digunakan, pestisida yang digunakan, dosis
pupuk, teknik aplikasi, jarak tanam, dll, hingga panen. Evaluasi kesuburan
lahan meliputi informasi-informasi tindakan budidaya tanaman yang sesuai
terhadap tanah dan tanaman yang berbeda-beda (FAO 2004).
b. Penutupan kanopi dan indeks luas daun diamati dengan alat Plant Canopy
Analyzer (Li-Cor LAI-2200), dilakukan setiap minggu. Alat Li-Cor LAI-2200
secara otomatis menunjukkan hasil penghitungan indeks luas daun ketika alat
diarahkan ke atas tajuk tanaman (kurang lebih 10 cm di atas tajuk) dan bawah
tajuk tanaman (empat titik di sekeliling penutupan kanopi tanaman).
c. Karakter morfologi dan pertumbuhan: tinggi tanaman (cm) diukur dari
permukaan tanah hingga ujung daun/malai tertinggi, jumlah anakan dan bobot
kering akar dan tajuk (batang dan daun) diamati saat pindah tanam, 20 Hari
Setelah Tanam (HST), 49 HST dan saat panen (dikeringkan dalam oven pada
suhu 80oC selama 48 jam) (Lakitan 2011). Pada umur 20 HST merupakan fase
pertumbuhan padi saat mulai aktif membentuk anakan, sedangkan 49 HST
merupakan fase akhir pertumbuhan anakan dan padi mulai membentuk malai.
d. Kandungan hara pada air, tanah dan tanaman (analisis jaringan tanaman, tanah
dan air).
1. Contoh tanah diambil di awal dan akhir penelitian, pengambilan contoh
tanah diambil secara komposit pada beberapa titik di lahan sawah. Sampel
tanah diambil pada kondisi kapasitas lapang dengan menggunakan sekop
sedalam ± 20 cm dan dibersihkan dari sisa-sisa akar. Kemudian, diambil
sebanyak 200 g untuk dianalisis. (Pusat Penelitian Tanah 2005). Analisis
tanah yang dilakukan pada hara makro dan pH.
2. Contoh air diambil saat transpanting, 20 HST, 49 HST dan saat Panen.
Kandungan hara dalam air yang diamati yaitu hara makro (N, P, K)
Kandungan hara di air dianalisis dengan teknik kromatografi ion, teknik
kromatografi ion dapat menentukan konsentrasi ion-ion (anion dan/atau
kation) dengan memisahkannya berdasarkan pada interaksinya. Ion - ion ini
kemudian dapat dipisahkan (separated) dalam kolom pemisah berdasarkan
pada jenis dan ukurannya karena teknik kromatografi ion mempunyai
kemampuan deteksi sampai pada level ppt (parts per trillion).
3. Analisis jaringan tanaman: Analisis kadar unsur hara makro (N, P, K)
contoh tanaman diambil saat transpanting, 20 HST, 49 HST dan saat panen.
Contoh yang diambil yaitu bagian akar dan tajuk (batang dan daun).
Pengambilan contoh dilakukan pada pagi hari. Setelah sampai di

laboratorium contoh dikeringkan dengan menggunakan oven dengan suhu
80oC selama 48 jam. Contoh tanaman dipotong kasar, kemudian diambil ±
10 gram untuk digiling halus dengan grinder sampai dapat lolos mata
saring 0.5 mm dan dianalisis di laboratorium.
e. Komponen hasil dan hasil (panen pada kondisi masak kuning): jumlah malai,
jumlah anakan produktif ditentukan berdasarkan jumlah anakan yang
menghasilkan malai, panjang malai, jumlah gabah per malai, bobot per 1 000
butir (g) dan bobot ubinan per 16 tanaman dilakukan dengan menimbang
butiran gabah setelah dijemur 3 hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Budidaya Padi Sawah di Daerah Irigasi Cihea
Penelitian ini dilaksanakan di lahan petani di sepanjang daerah aliran Irigasi
Cihea (DI Cihea) di Kecamatan Ciranjang dan Bojongpicung. Penelitian
dilaksanakan di 3 lokasi DAS yaitu wilayah hulu, tengah dan hilir, masing masing
lokasi dipilih 10 petakan sawah milik petani atau kelompok tani. Daerah Irigasi
Cihea merupakan salah satu daerah irigasi di Kabupaten Cianjur dengan total
wilayah irigasi 5 458 ha, sumber air DI Cihea berasal dari Sungai Cisokan yang
merupakan cabang dari Sungai Citarum. Pasokan air sungai Cisokan berasal dari
sungai Citarum dan dari curah hujan. Sungai Cisokan tidak memiliki DAM atau
bendungan maka pada musim kemarau debit airnya akan berkurang dan
berkurangnya debit air mempengaruhi pola tanam petani di sepanjang alirannya.
Puspito et al. (2011) menyatakan ketersediaan air irigasi mempengaruhi pola
tanam pada usahatani lahan sawah irigasi. Berdasarkan pencatatan PSDAP (2012)
Desa Ciranjang berada pada ketinggian 265 mdpl, Desa Bojongpicung berada
pada ketinggian 270 mdpl dan Desa Sukajaya berada pada ketinggian 330 mdpl.
Perbedaan ketinggian tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap waktu panen.
Rata-rata petani panen padi pada umur tanaman 118-122 Hari Setelah Tanam
(HST) baik di lokasi hulu, tengah dan hilir. Curah hujan di DAS Cihea selama 5
tahun terakhir sebesar 185.99 mm bulan-1 atau berkisar 2 231 mm tahun-1
(Lampiran 2). Pola tanam di DI Cihea juga dipengaruhi olah pasokan air irigasi
untuk wilayah hulu bisa menanam padi sepanjang tahun dengan pola tanam padipadi-padi karena ketersediaan air selalu cukup. Daerah tengah dan hilir karena
keterbatasan jumlah air irigasi dan letak petak sawah dari jaringan irigasi dan
sumber air irigasi lainnya jauh maka pola tanam yang digunakan padi-padi-bera
atau padi-padi-palawija.
Teknik budidaya yang diterapkan di tiap lokasi berbeda-beda, rata-rata
berdasarkan pengalaman petani secara turun temurun dan berbasis pada pupuk
dan pestisida anorganik. Tabel 1 menjelaskan deskripsi petani di DAS Cihea yang
lahannya digunakan untuk pengamatan penelitian. Karakteristik petani sampel
merupakan gambaran umum mengenai latar belakang dan keadaan petani yang
berkaitan dengan budidaya padi sawah irigasi. Rata-rata petani masih berada di
usia produktif kecuali beberapa di hulu. Tingkat pendidikan petani mulai dari
SMP dan SMA. Kepemilikan lahan ada yang milik sendiri dan ada yang hanya
mengerjakan sawah milik orang lain. Petani di tengah sebagian besar mengerjakan
sawah orang lain. Petani hulu rata-rata mengerjakan sawah milik sendiri.

Kesadaran terhadap penggunaan bahan organik ditemui di daerah hulu dan hilir
sebagai contoh petani hulu menambahkan pupuk kandang sebagai pupuk dasar di
awal tanam dan petani hilir menggunakan pupuk organik cair (Tabel 2).
Tabel 1. Karakteristik petani di Daerah Irigasi Cihea
Keterangan
Jumlah petani
Umur petani
Tingkat pendidikan
Kepemilikan lahan
Luas lahan sawah

Hulu
6
40-50 tahun
SMP dan SMA
Milik sendiri
10 000 m2

Tengah
4
30-40 tahun
SMP
Buruh
5 000 m2

Hilir
4
40-60 tahun
SMP dan SMA
1 pemilik, 3 buruh
7 000 m2

Tabel 2. Teknik budidaya yang diterapkan petani di Daerah Irigasi Cihea
Teknik budidaya
Hulu
Tengah
Hilir
Varietas
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Umur pindah
20 HST
14 HST
15 HST
tanam
Bibit per lubang
5-7 bibit
5-7 bibit
3-4 bibit
Jarak tanam
27 X 27
25 X 25
27 X 25
dominan
Populasi per hektar 137 170
160 000
148 150
Jenis pupuk dan
Pupuk kandang
Pupuk majemuk Pupuk NPK 50
dosis per hektar
200 kg, pupuk
NPK 250 kg,
kg, urea 150 kg,
majemuk NPK
urea 50 kg, 50
SP-36 100 kg dan
250 kg, urea 50
kg SP-36
pupuk organik
kg, 50 kg SP-36
cair 20 L
Waktu aplikasi
14 HST, 25 HST 14 HST, 25 HST Satu minggu
pupuk
dan 35 HST
dan 30 HST
sebelum tanam,
14 dan 35 HST
OPT yang
Keong mas
Keong mas
Bacterial leaf
menyerang
blight (kresek)
Pengendalian OPT Furadan, Decis
Furadan, Decis
Furadan, Decis
Produktivitas padi
7-8 ton ha-1
7 ton ha-1
7-8 ton ha-1
Pola tanam
Padi – padi - padi Padi – padi –
Padi – padi bera
kedelai
Petani masih menggunakan teknik pertanian intensif dan sangat sedikit
menambahkan pupuk dan pestisida organik (Tabel 2). Rata-rata petani
menggunakan benih dan pupuk yang disubsidi oleh pemerintah, jumlahnya
berbeda tiap petani tergantung luas lahan tanam. Bantuan pemerintah tiap lokasi
juga berbeda-beda tergantung permintaan kelompok tani. Dalam penelitian ini
ternyata kelompok tani hilir cukup aktif. Ketua kelompok tani daerah hilir
memiliki inisiatif untuk membuat proposal usaha tani sehingga mendapat bantuan
traktor dan pupuk organik cair. Petani tengah dan petani hulu tergolong pasif.
Petani dari daerah tengah rata-rata merupakan buruh yang bekerja mengolah tanah
orang lain sehingga tidak memiliki cukup inisiatif untuk meningkatkan
produktivitas tanamannya. Petani hulu walaupun pasif tetapi telah memiliki
kesadaran tentang pentingnya bahan organik dengan menambahkan pupuk

kandang sebagai pupuk dasar. Organisme pengganggu tanaman yang menyerang
tidak terlalu banyak, di hulu dan tengah di awal pindah tanam sempat diserang
keong mas sedang di hilir terserang penyakit kresek (bacterial leaf blight).
Serangan hama keong mas disebabkan tingginya penggenangan air di lahan
sawah, setelah pengairan dikurangi hama keong mas juga berkurang.
Produktivitas tanaman tidak terlalu berbeda berkisar pada 7 ton ha-1 dari hasil
wawancara petani.
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman
Tinggi tanaman
Tinggi tanaman padi di tiga lokasi Daerah Irigasi Cihea yaitu hulu tengah
hilir tidak berbeda nyata dari uji-t begitu juga ketika dibandingkan antara musim
hujan dan musim kemarau tidak berbeda nyata. Teknik budidaya yang berbeda di
ketiga lokasi yang diterapkan oleh petani tidak berpengaruh terhadap tinggi
tanaman padi (Gambar 1). Pada musim kemarau ketiga lokasi menunjukkan
pertumbuhan tinggi tanaman yang hampir sama. Pada musim hujan tinggi
tanaman di hulu terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lain. Besarnya
curah hujan mempengaruhi kadar air tanah, aerasi, kelembaban dan secara tidak
langsung juga menentukan jenis tanah. Ketersediaan air merupakan pengaruh
utama lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tapi di daerah irigasi curah
hujan tidak terlalu berpengaruh nyata karena air disediakan oleh saluran irigasi
(Darmawan & Baharsjah 2010).

Gambar 1 Tinggi tanaman di hulu, tengah dan hilir Daerah Irigasi Cihea a)
musim kemarau, b) musim hujan
Jumlah anakan
Jumlah anakan padi bertambah dengan bertambahnya umur tanaman di tiga
lokasi Daerah Irigasi Cihea. Dari hasil uji-t perbedaan lokasi hulu tengah hilir
tidak memberikan pengaruh yang nyata begitu juga ketika dibandingkan antara
musim hujan dan musim kemarau tidak berbeda nyata (Gambar 2).
Anakan padi merupakan indikator pertumbuhan tanaman padi yang sehat.
Bila daun ke 13 pada batang telah tumbuh dan bila pola pertumbuhan anakan
berjalan sebagaimana mestinya, maka dalam keadaan ini harusnya terdapat 40

anakan yang terdiri dari 9 anakan primer, 21 sekunder dan 10 tersier (Yoshida
1981). Pada musim hujan daerah tengah dan hilir dapat mencapai 40 anakan
sedang di musim kemarau rata-rata mencapai 36 anakan pada 8 MST. Jumlah
anakan padi akan mempengaruhi nilai indeks luas daun tanaman.

Gambar 2 Jumlah anakan di hulu, tengah dan hilir Daerah Irigasi Cihea a) musim
kemarau, b) musim hujan

Indeks luas daun
Nilai indeks luas daun (ILD) menggambarkan tingkat efisiensi pemanfaatan
radiasi matahari oleh tanaman. Daun merupakan organ utama yang menyerap
cahaya matahari, pengamatan nilai indeks luas daun akan berpengaruh pada
produktivitas tanaman (Makarim & Suhartatik 2009). Indeks luas daun padi ratarata meningkat di tiap pertambahan umur tanaman dan indeks luas daun tertinggi
dicapai pada minggu ke 7 (Gambar 3). ILD setelah minggu ke 8 mulai menurun
disebabkan tumbuhnya malai secara serentak di tiga lokasi baik pada musim
kemarau maupun musim hujan. Gardner et al. (1991) menyatakan perkembangan
luas daun pada tanaman budidaya semusim akan meningkat dengan laju
eksponensial saat vegetatif dan menurun saat fase berbunga atau generatif. Nilai
indeks luas daun di tiga lokasi dan dua musim tidak berbeda nyata. ILD sangat
ditentukan oleh pertumbuhan tanaman terutama jumlah anakan. Hasil korelasi
menunjukkan bahwa antara indeks luas daun dan jumlah anakan sebesar 0.980
sedang korelasi indeks luas daun dengan tinggi tanaman sebesar 0.778 pada 7
MST di musim hujan.

Gambar 3 Nilai indeks luas daun di hulu, tengah dan hilir Daerah Irigasi Cihea a)
musim kemarau, b) musim hujan
Bobot Kering
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum, tidak terdapat
perbedaan pertambahan bobot kering di tiga lokasi hulu tengah dan hilir, kecuali
saat panen di musim hujan. Tabel 3 menunjukkan bobot kering di tiga lokasi pada
beberapa periode pertumbuhan padi di dua musim tanam.
Tabel 3 Bobot kering tanaman di tiga lokasi Daerah Irigasi Cihea pada beberapa
periode pertumbuhan tanaman padi di musim kemarau dan musim hujan
Irigasi
Musim
kemarau
Hulu
Tengah
Hilir
Notasi (HT,
HHi, THi)
Musim
hujan
Hulu
Tengah
Hilir
Notasi (HT,
HHi, THi)
Beda antar
musim
Keterangan :

Saat tanam
akar
tajuk

20 HST
akar
tajuk

49 HST
akar
tajuk

Panen
akar
tajuk

-- g -0.97
1.00
1.21
tn,
tn, tn

1.20
1.59
1.46
tn,
tn, tn

15.50
11.42
13.41
tn,
tn, tn

18.90
13.12
18.77
tn,
tn, tn

19.59
15.15
16.71
tn,
tn, tn

29.73
29.94
42.71
tn,
tn, tn

30.43
29.70
18.52
tn,
tn, tn

60.82
62.82
66.11
tn,
tn, tn

0.92
1.47
0.95
tn,
tn, tn

1.44
1.64
2.19
tn,
tn, tn

13.05
12.40
13.58
tn,
tn, tn

11.54
11.81
10.82
tn,
tn, tn

21.20
14.23
14.19
tn,
tn, tn

44.00
28.39
36.98
tn,
tn, tn

30.00
23.32
21.86
tn,
tn, tn

55.11
36.70
37.69
*,
*, tn

tn

tn

tn

*

tn

tn

tn

*

*,**: Berbeda nyata pada taraf 5% dan 1 % pada uji t
HT : Hulu-Tengah, HHi : Hulu-Hilir, THi : Tengah-Hilir

Perbedaan lokasi penanaman menunjukkan beda nyata hanya saat panen di
musim hujan, bobot kering tajuk di hulu paling tinggi dibandingkan lokasi
lainnya. Panen bobot kering tertinggi terjadi saat musim kemarau. Perlakuan beda
musim memberikan pengaruh nyata pada bobot kering tajuk 20 HST dan saat
panen. Bobot kering saat panen di musim kemarau tinggi karena intensitas sinar

matahari yang lebih tinggi dibandingkan musim hujan. Fotosintesis lebih efektif
terjadi saat musim kemarau sehingga pengolahan fotosintat juga tinggi, yang pada
akhirnya berpengaruh terhadap berat kering tanaman. Indeks luas daun
memberikan korelasi yang erat terhadap bobot kering tajuk pada 3 MST sebesar
0.993 hal ini sesuai dengan Gardner et al. (1991) yang menyatakan bahwa bobot
kering tanaman erat hubungannya dengan penyerapan radiasi matahari yang
ditunjukkan dengan nilai indeks luas daun.

Pertumbuhan Generatif Tanaman
Perbedaan lokasi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan generatif
tanaman terutama pada musim kemarau. Hampir seluruh peubah generatif berbeda
nyata kecuali jumlah malai di musim kemarau (Tabel 4).
Tabel 4 Peubah generatif tanaman di hulu tengah dan hilir Daerah Irigasi Cihea
pada musim kemarau dan musim hujan

Irigasi

Jumlah
malai

Musim kemarau
Hulu
Tengah
Hilir
Notasi (HT,
HHi, THi)
Musim hujan
Hulu
Tengah
Hilir
Notasi (HT,
HHi, THi)
Beda antar
musim
Keterangan :

Peubah generatif tanaman
Jumlah Bobot
Jumlah Panjang
gabah
1 000
malai
malai
per
butir
produktif
(cm)
malai
(g)

Bobot
ubinan
(g)

28.8
27.6
31.8
tn,
tn, tn

26.6
26.7
31.4
tn,
*, *

24.2
21.1
23.6
*,
tn, tn

122.5
135.1
152.4
tn,
**, *

30.5
23.8
33.8
*,
tn, **

460.0
390.0
482.0
*,
tn, *

28.2
28.8
29.6
tn,
tn, tn

26.1
27.9
28.4
tn,
tn, tn

23.6
23.2
24.0
tn,
tn, tn

114.8
121.3
113.4
tn,
tn, tn

30.1
25.9
27.5
tn,
tn, tn

445.0
350.0
400.0
**,
tn, tn

tn

tn

tn

*

tn

**

*,**: Berbeda nyata pada taraf 5% dan 1 % pada uji t
HT : Hulu-Tengah, HHi : Hulu-Hilir, THi : Tengah-Hilir

Perbedaan lokasi memberikan pengaruh sangat nyata pada peubah jumlah
gabah per malai dan bobot 1 000 butir dengan nilai tertinggi di lokasi hilir. Malai
tanaman padi menopang gabah yang merupakan sink yang perlu dipenuhi dengan
fotosintat dari berbagai sumber tanaman. Menurut Yoshida (1981) malai
mencapai hasil tinggi ketika jumlah gabah per m2 banyak dan bobot gabah 1 000
butir tinggi. Pada musim kemarau lokasi hilir memiliki jumlah malai, jumlah
malai produktif, jumlah gabah per malai, bobot 1 000 butir dan bobot ubinan
tertinggi. Pemberian pupuk organik dan anorganik yang cukup intensif di hilir
serta endapan tanah subur dari daerah yang lebih tinggi dari air irigasi

kemungkinan yang menyebabkan hasil yang tinggi di lokasi hilir. Perbedaan
lokasi memberikan pengaruh sangat nyata pada peubah jumlah gabah per malai
dan bobot 1 000 butir dengan nilai tertinggi di lokasi hilir. Malai tanaman padi
menopang gabah yang merupakan sink yang perlu dipenuhi dengan fotosintat dari
berbagai sumber tanaman. Menurut Yoshida (1981) malai mencapai hasil tinggi
ketika jumlah gabah per m2 banyak dan bobot gabah 1 000 butir tinggi. Pada
musim kemarau lokasi hilir memiliki jumlah malai, jumlah malai produktif,
jumlah gabah per malai, bobot 1 000 butir dan bobot ubinan tertinggi. Pemberian
pupuk organik dan anorganik yang cukup intensif di hilir serta endapan tanah
subur dari daerah yang lebih tinggi dari air irigasi kemungkinan yang
menyebabkan hasil yang tinggi di lokasi hilir. Pembentukan fotosintat yang lebih
efektif di musim kemarau karena intensitas cahaya matahari yang lebih tinggi di
musim kemarau juga menjadi penyebab pembentukan malai dan pengisian gabah
lebih tinggi. Pada musim hujan daerah hulu walaupun jumlah gabah per malainya
tidak terlalu tinggi tapi memiliki bobot 1 000 butir gabah tertinggi sehingga bobot
ubinan juga tinggi. Pada musim hujan pengaruh lokasi memberikan perbedaan
sangat nyata pada bobot ubinan. Penanaman di musim yang berbeda memberikan
pengaruh nyata pada jumlah gabah per malai dan bobot ubinan. Penanaman di
musim kemarau ternyata memberikan hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan
musim hujan dengan produktivitas tertinggi di lokasi hilir. Penelitian Anwarie
(2011) menunjukkan curah hujan dan perbedaan musim tidak berpengaruh nyata
terhadap produksi padi pada lahan sawah irigasi, sedangkan pada lahan tadah
hujan produksi padi di musim hujan cenderung lebih tinggi. Produksi padi di DI
Cihea tertinggi sebesar 482.0 g per 16 rumpun yang jika dikonversi ke hektar
sebesar 4.46 ton ha-1 produktivitas padi di DI Cihea mendekati potensi produksi
varietas Ciherang yang dinyatakan oleh Suprihatno et al. (2011) sebesar 5-6 ton
ha-1 (Lampiran 3).
Kandungan Hara Tanah, Air dan Tanaman
Padi merupakan tanaman unik karena dapat tumbuh dalam keadaan
tergenang maupun tanah kering. Dinamika hara pada kedua ekosistem tersebut
sangat berbeda. Ketersediaan air yang cukup merupakan keuntungan bagi
pertumbuhan padi sawah. Produksi padi yang tidak stabil pada lahan sawah tadah
hujan dan lahan kering sering kali disebabkan karena kekurangan air. Dalam
keadaan tergenang, semua hara berada dalam kondisi terduksi. Nitrogen yang
pada kondisi aerob diserap tanaman dalam bentuk nitrat, pada kondisi tergenang
diserap dalam bentuk ion ammonium. Penggenangan menyebabkan fosfat lebih
tersedia. Oleh sebab itu, pemupukan fosfat pada padi sawah tidak sepenting pada
padi gogo dan palawija. Penggenangan juga seharusnya meningkatkan
ketersediaan kalium, besi, mangan dan silikon (Setyorini & Abdulrachman 2009).
Unsur hara yang melarut dalam larutan tanah berasal dari beberapa sumber seperti
pelapukan mineral primer, dekomposisi bahan organik, aplikasi bahan pupuk,
rembesan air tanah dari tempat lain dan endapan run off.
Kandungan hara tanah sawah
Larutan tanah merupakan sumber zat hara yang terpenting, walaupun tidak
semua zat hara berada pada larutan tanah. Sebagian diabsorbsi oleh partikel

partikel liat yang permukaannya bermuatan negatif. Hasil analisis hara dalam
tanah sawah pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan lokasi tanam tidak
memberikan perbedaan nyata dari hasil uji t. Lampiran rekapitulasi sidik ragam
uji t dapat dilihat pada Lampiran 4. Perbedaan terjadi antar musim pada
kandungan hara N dalam tanah. Kandungan hara N dalam tanah di tiga lokasi
berada pada rentang 0.21% sampai 0.35% jumlah ini menurut Hardjowigeno
(2007) statusnya dalam tanah tergolong sedang. Kandungan P dalam tanah
berkisar 6.4 ppm sampai 8.1 ppm dan tergolong sedang, kandungan K dalam
tanah berkisar 107 ppm sampai 185 ppm dan tergolong rendah. Hasil analisis
menunjukkan kandungan hara N dan P masih dapat mencukupi kebutuhan
tanaman, tetapi untuk hara K belum tercukupi.
Tabel 5 Kandungan hara esensial dalam tanah sawah di hulu tengah dan hilir
Daerah Irigasi Cihea pada musim kemarau dan musim hujan
Kandungan hara tanah
N (%)
P (ppm)
K (ppm)

Irigasi
Musim kemarau
Hulu
Tengah
Hilir
Notasi (HT, HHi, THi)
Musim hujan
Hulu
Tengah
Hilir
Notasi (HT, HHi, THi)
Beda antar musim
Status dalam tanah)
Keterangan :

pH

0.22
0.22
0.21
tn, tn, tn

8.10
6.40
6.80
tn, tn, tn

152.46
179.08
107.69
tn, tn, tn

6.10
6.00
6.40
tn, tn, tn

0.35
0.28
0.38
tn, tn, tn
*
sedang

8.00
7.40
6.80
tn, tn, tn
tn
sedang

170.32
185.25
110.23
tn, tn, tn
tn
rendah

6.00
5.70
5.50
tn, tn, tn
tn
agak masam

*,**: Berbeda nyata pada taraf 5% dan 1 %
) : (Hardjowigeno 2007); HT : Hulu-Tengah, HHi : Hulu-Hilir, THi : TengahHilir



Kalium dalam tanah sawah di DI Cihea tergolong rendah disebabkan juga
karena petani tidak menambahkan pupuk kalium secara khusus, petani memupuk
dengan urea, Sp-36 dan pupuk majemuk NPK sehingga kebutuhan K kurang
terpenuhi. Tambahan kalium hanya dari pupuk majemuk NPK. Kalium juga dapat
terpenuhi jika setiap kali panen petani mengembalikan brangkasan panen seperti
jerami ke tanah sawah karena pada jerami kandungan kaliumnya sebesar 13.6 kg
ton-1 De Datta (1981). Setyorini & Abdulrachman (2009) menyatakan kalium
yang diberikan difiksasi oleh koloid tanah menjadi tidak mudah tersedia bagi
tanaman terutama karena sifat koloid tanah dan adanya penggenangan.
Kandungan hara air irigasi
Kadar hara pada air irigasi di lahan sawah di tiga lokasi pada berbagai
periode pertumbuhan padi menunjukkan tidak berbeda nyata baik di hulu, tengah
dan hilir (Tabel 6). Perbedaan hanya terlihat pada musim kemarau kandungan N
saat 20 HST, Kandungan hara N di hilir lebih tinggi dibandingkan lokasi lain.
Hara N lebih tinggi di hilir disebabkan adanya pencucian hara dari lokasi yang
lebih tinggi. Penanaman di