BERHATI-HATI DALAM MENILAI ‘HALAL DAN HARAM’

KAJIAN SENIN SIANG BA’DA ZHUHUR

TAFSIR AL-QURAN
MASJID KHA DAHLAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Tafsir QS an-Nahl /16 : 116-117
Berhati-hati Dalam Menilai ‘Halal dan Haram’

َ َ َ ٰ َ َ َ ْ ُ ُ َُ َْ ُ َ َ ُ َُ ََ
َ ََٰ
َ
َ
‫ب اه اـذا احَلا اوه اـذا احراماا‬
‫ف اأ ِسنتك ا اال ِذ ا‬
‫ل ا ق ا ا ِ ا ات ِص ا‬
‫وا‬
َ َ َ ْ َ ََ َ َُْ َ َ َ َ
َ ْ َ ََ َُ َْ‫ت‬
َ
‫اَي ا اي َ ا‬
‫ب ا ا ِإ ا‬
‫اّ اال ِذ ا‬

‫ِِ َوا اَا ا ِا‬
‫لا‬
‫با ا‬
‫اّ اال ِذ ا‬
‫ون اَا ا ِا‬
ِ ‫نا‬
َ َ َ ْ َُ
َ ََ
َ ُ ُْ
َ
﴾١١‫﴾امتاعااق ِي ااو ااعذابااأ ِِ اا﴿ل‬١١١﴿‫نا‬
‫ي ِح ا‬
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu
secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka
azab yang pedih.” (QS an-Nahl /16: 116-117)

Ayat di atas membicarakan salah satu dari sekian banyak budaya
jahiliyyah yang berkembang di tengah masyarakat zaman dulu, sebelum akhirnya

terhapus syariat Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam . Yakni, mengharamkan
dan menghalalkan sesuatu tanpa mengindahkan dan tanpa merujuk kepada wahyu
ilahi maupun ketetapan-ketetapan hukum samawi lainnya yang berasal dari Allah,
Yang Maha Mengetahui kemaslahatan seluruh makhluk. Padahal, mereka
mengklaim sebagai para penganut ajaran Nabi Ibrâhim ‘Alaihi as-Salâm Sehingga
Allah melarang umat Islam mengikuti jalan kaum musyrikin tersebut.1
Realita yang terjadi, mereka mengharamkan hal-hal yang dihalalkan, dan
sebaliknya menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, al-Khâliq. Mereka
menetapkan hukum-hukum halal dan haram sesuai dengan hawa nafsunya.
Dengan tindakan ini, mereka telah melakukan iftirâ 'alâ Allâh (kedustaan atas
nama Allah).
Allah telah menjelaskan substansi ayat di atas melalui beberapa ayat
lainnya. Di antaranya:

ََ ُ َ َ َ َٰ َ َ َ ََ َ َ َ ُ َ َْ َ َ ُ ُ َ َ َ ُ َُ َ ُْ
‫َا‬
‫اّاحر اماه اـذا ۖااف ِإناش ِ دوااف ا‬
‫نا ا‬
‫وناأ ا‬
‫اَي اايش د ا‬

ِ ‫ق ااه ااش داءك اا‬
َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ ََ ََ ْ ُ َ َ ْ َ َْ
َ ُ ُْ َ َ َ َ َ َ
ُ
‫ل اتّ ِب اع اأه ا‬
‫تش اد امع ا ا او ا‬
‫نا‬
‫ل ايؤ ِم ا‬
‫اَي ا ا ا‬
ِ ‫اَي ا اكذب ا ابِآياتِ ا او‬
ِ ‫اء ا‬
َ ُ َْ ْ ‫ْ َ َُ َت‬
‫بِاْ ِخر ِاةاوه ابِربِ ِ اايع ِد ا‬
‫ن‬
“Katakanlah: "Bawalah kemari saksi-saksi kamu yang dapat memersaksikan
bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan yang kamu) haramkan ini", jika
1

Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, juz IV, hal. 609 dan Al-Jazâiri, Aisar atTafâsîr, juz I, hal. 326.


Page 1 of 7

mereka memersaksikan, maka janganlah kamu ikut pula menjadi saksi bersama
mereka; dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada
kehidupan akhirat, sedang mereka memersekutukan Tuhan mereka.” (QS alAn'âm/6 : 150)
Allah berfirman:

ُْ ً َ َ َ ً َ َ ُْ ‫ت ت ْ َ َ َ ُْ ت‬
‫ل اق اا‬
‫ا ِم ا ِرزقا افجع ت ا ِم ا احراما اوحَ ا‬
َ َُْ
‫َ ا‬
‫ون‬

ُ َ َُ َ َ َ َ َََُْ ُْ
‫اّ الك‬
‫ق ا اأرأيت اما اأنز ال ا ا‬
َ َ ََ َْ ْ ُ َ َ َ َُ
‫آّاأ ِذ ا‬

‫ا‬
‫اّا‬
‫نالك ا ۖااأ اماَاا ِا‬

“Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah
kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal".
Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau
kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS Yûnus/10: 59)

Pengertian ayat ini – QS an-Nahl/16: 116-117 -- akan kian jelas dengan
memerhatikan ayat sebelumnya. Bahwasanya Allah memerintahkan agar mereka
memakan makanan-makanan yang baik-baik lagi halal. Allah berfirman:

َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ ً‫َ ُُ َ َ َ َ ُ ُ َُ َ َ ً َ ت‬
ُ‫اّ اإن ا ُك تُ ْا اإيَ ااها‬
‫ل اط ِيبا اواش روا انِع ا‬
‫اّ احَ ا‬
‫فُ ا ا ِ ا ارزقك ا ا ا‬
ِ
ِ ‫ت ا ِا‬

َ
َْ
‫عبُ ُد ا‬
‫ون‬
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah
kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja
menyembah.” (QS an-Nahl/16: 114)
Selanjutnya, Allah menjelaskan hal-hal yang diharamkan atas diri mereka
dalam ayat berikutnya:

ْ َ َْ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ َ َ َ َ
َ َْ َ ُ ََ
‫اّ ابِ ِا ۖاا‬
‫ي ا ِا‬
‫ير اوما اأ ِه ا ا ِلغ ِا‬
‫ز ِا‬
ِ ‫ِإّ ا احر ام اع يك ا اا يت اة اواّ ام اوَ ا ا‬
ِ ْ‫ا‬
َ
ُ َ ََ َ َ َ ََ َ َْ َ َ ُ ْ

َ
‫ّاغ راار ِحي ا‬
‫ناا ا‬
‫لاَدااف ِإ ا‬
‫ياباغااو ا‬
‫ف َ ِاااضط اراغ ا‬
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah,
daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi
barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula
melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS an-Nahl/16: 115)

Kenyataannya, justeru tidak sejalan dengan apa yang telah dinyatakan
oleh Allah, al-Hakam (Dzat Yang Maha Menentukan Hukum) dalam ayat tersebut.
Mereka justeru menghalalkan bangkai, darah dan binatang-binatang yang mereka
sembelih tanpa dengan menyebut nama Allah. Dan sebaliknya, mereka
mengharamkan pemanfaatan binatang-binatang, baik untuk dikonsumsi maupun
sebagai tunggangan, yang sebenarnya dihalalkan bagi umat manusia.

Page 2 of 7


Sebagai contoh, sebagaimana tertuang dalam firman Allah berikut ini:

َ َ َٰ َ
ََ َ َ ََ َ َ ََ َ َ ْ َُ ََ َ َ
َ ‫لا‬
َ‫اَي اا‬
‫ا‬
‫ا‬
‫ك‬
‫ل‬
‫و‬
‫ا‬
‫ا‬
‫ا‬
‫ام‬
‫ا‬
‫ح‬
‫ا‬
‫ل او ِصي ةا او‬

‫ل اسائِبةا او ا‬
‫َيةا او ا‬
‫ما اجع ا ا ا‬
ِ
ِ ‫اّ ا ِم ا ا‬
ِ
َ ُ ْ َ َ ْ ُ َُ ْ ََ َ َ ْ َ ََ َ َُ ْ َ ُ َ َ
‫ك روااي َ ا‬
‫وناَاا ِا‬
‫لاي اع ِق ا‬
‫ن‬
‫ب ۖااوأكَه اا ا‬
‫اّاال ِذ ا‬
“Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahîrah2, sâibah3, washîlah4
dan hâm5. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah,
dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (QS al-Mâ`idah/5: 103)6

Demikianlah, konsep ‘halal-haram’ di mata orang-orang Jahiliyyah pada
masa lalu. Shâlih al-Fauzân menyatakan, yang menjadi biang keladi dalam masalah
ini, ialah karena adanya perangkap nafsu dan syahwat serta doktrin tokoh-tokoh

besar mereka7
Ringkasnya, permulaan ayat ini melarang seseorang untuk menjatuhkan
penilaian tentang ‘halal dan haram’ terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak
dihalalkan atau diharamkan oleh Allah. Karena hal itu merupakan kedustaan dan
kebohongan dengan mengatasnamakan Allah.8
Melebihi Kesalahan Perbuatan Syirik
Tak diragukan, perbuatan syirik merupakan perbuatan dosa yang sangat
besar dan merupakan kesalahan sangat fatal. Perbuatan syirik ini, lantaran
mengandung perbuatan yang menyamakan antara al-Khâliq Yang Maha Sempurna
dari segala sisi dengan makhluk yang sarat dengan segala kelemahan dari setiap
2

Bahîrah: ialah unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu
jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi
dan tidak boleh diambil air susunya.
3
Sâibah: ialah unta betina yang dibiarkan pergi kemana saja lantaran sesuatu
nazar. Seperti, jika seorang Arab Jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang
berat, Maka ia biasa bernazar akan menjadikan untanya saaibah bila maksud atau
perjalanannya berhasil dengan selamat.

4
Washîlah: seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari
jantan dan betina, Maka yang jantan ini disebut washiilah, tidak disembelih dan
diserahkan kepada berhala.
5
Hâm: unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi, karena telah dapat
membuntingkan unta betina sepuluh kali. perlakuan terhadap bahiirah, saaibah,
washiilah dan haam ini adalah kepercayaan Arab jahiliyah.
6
Bahîrah, Sâibah, Washîlah dan Hâm, adalah sebutan untuk hewan ternak dalam
kondisi tertentu. Kaum Jahiliyah mengharamkan pemanfaatannya sama sekali. Tentang
makna istilah-istilah di atas, lihat footnote al-Qur`ân dan Terjemahnya yang diterbitkan
oleh Departemen Agama RI pada ayat tersebut. Contoh sikap pengharaman lainnya,
silakan lihat QS al-An'âm/6: 138, 139 dan 140. a
7
Shâlih al-Fauzân, Al-Ath'imah wa Ahkâm ash-Shaidi wa adz-Dzabâ`h, Cetakan II,
(Riyadh: Maktabah al-Ma'ârif, 1419 H./1999 M.), hal. 26.
8
As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân Fî Tafsîr Kalâm a-Mannan, juz I, hal. 246 dan
As-Suyuthi dan Al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlain, juz II, hal. 279.

Page 3 of 7

sisi. Namun, telah diberitakan oleh Allah, bahwa ada dosa yang lebih tinggi derajat
keburukannya dibandingkan syirik. Dosa itu ialah berdusta atas nama Allah.
Karena, sebenarnya, seluruh maksiat berawal dari kedustaan atas nama Allah.
Allah berfirman:

َ َْ َْ َ َ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َْ َ َ َ َ َ َ َْ َِ َ َ َ َ َ َ ْ ُ
‫يا‬
‫غ ابِغ ْ ِا‬
‫اح ا‬
‫اْ ا اواْ ا‬
ِ ‫ق ا ا ِإّ ا احر ام ارّا اال‬
ِ ‫ش اما اظ ار ا ِم ا اوما ابط ا او‬
َ َ َ ََ ُ َُ ْ ََ ً َْ ُ
َُِْ َْ َ َ
ُ ْ ُ ْ َ َ ِ َْ
‫اّا اما ا ا ايز ال ابِ ِا اس طانا اوأ ا‬
‫لا‬
‫اّ اما ا ا‬
‫ن ا ق ا اَا ا ِا‬
‫اَ ا اوأ ا‬
ِ ِ‫ْك ا اب‬
ِ ‫ن ات‬
َ ََْ
‫ع ُ ا‬
‫ن‬
“Katakanlah: "Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) memersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengadaadakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui." (QS al-An'âm/7: 33)
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah mengatakan: "Allah mengharamkan berkata
atas nama Allah tanpa dasar ilmu dalam urusan fatwa atau hukum pengadilan. Dia
mengkategorikannya termasuk perkara haram yang terbesar. Bahkan
menempatkannya di urutan pertama9.
Pangkal Dari Suatu Musibah
Berfatwa merupakan kedudukan yang penting. Dalam fatwa ini,
seseorang mencoba untuk menyelesaikan masalah yang dihadapai seseorang atau
masyarakat. Karena kuatnya pengaruh tindakan –-- pemberian fatwa -- ini, maka
tidak ada yang boleh menyampaikan fatwa kecuali orang-orang yang memang
telah mencapai kemampuan ilmiah tertentu, bukan sembarang orang.10
Ancaman Berat Terhadap Pelaku yang Berdusta Mengatasnamakan Allah
Manakala suatu perbuatan salah sudah menempati level yang sangat
membahayakan, maka tak aneh jika balasannya pun sangat berat. Untuk perbuatan
dusta atas nama Allah dengan menghalalkan atau mengharamkan secara
serampangan, maka Allah telah menetapkan balasannya sebagaimana tertera
dalam firman-Nya (QS an-Nahl /16: 116-117)
Allah menyampaikan ancaman terhadap perbuatan dusta yang mengatas
namakan nama-Nya dalam hukum-hukum syar'i. Juga terhadap pernyataan
mereka tentang perkara yang tidak diharamkan dengan pernyataan: "ini haram",
atau pada perkara yang tidak dihalalkan dengan pernyataan: "ini halal". Ayat ini
menjadi penjelasan dari Allah, bahwa seorang hamba tidak boleh mengatakan
halal atau haram, kecuali setelah mengetahui bahwa Allah menghalalkan atau
mengharamkannya.11
9

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I'lâm al-Muwaqqi'în, juz II, hal. 73.
Al-‘Utsaimin, Kitâb al-'Ilmi, juz I, hal. 75.
11
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I'lâmul-Muwaqqi'iin, juz II, hal. 73-74.
10

Page 4 of 7

Mereka tidak akan beruntung di dunia maupun di akhirat. Dan pasti
Allah akan menampakkan kehinaan mereka. Meskipun mereka menikmati hidup
dengan nyaman di dunia ini, akan tetapi itu hanyalah kenikmatan sekejap. Tempat
kembali mereka adalah neraka. Di sana, bagi mereka siksaan yang pedih.12
Pengendalian Berkata Atas Nama Allah Tanpa Ilmu
Di tengah masyarakat, kita dapat menyaksikan banyak bertebaran fatwafatwa tanpa dasar yang dibenarkan. Anehnya, orang-orang berusaha menahan diri
berbicara (berpendapat) dalam disiplin ilmu-ilmu umum di hadapan para ahlinya.
Konkretnya, seorang yang bukan dokter merasa tidak nyaman berbicara dalam
masalah-masalah kedokteran di hadapan dokter. Atau bukan arsitek merasa tidak
nyaman berbicara tentang arsitektur di hadapan seorang insinyur. Namun, sikap
serupa tidak disaksikan dalam urusan-urusan agama. Sifat merasa lebih
mengetahui terlalu menonjol. Padahal mereka meyakini Allah Maha Mendengar
segala perkataan, Maha Melihat saat mengeluarkan hukum, penilaian maupun
fatwa.13
Pendapat-pendapat ganjil pun mengemuka. Bahkan terkadang sangat
menggelikan, hingga benar-benar memerlihatkan betapa dangkal ilmu yang
dimilikinya. Kekacauan sudah menjalar dimana-mana. Jadi, solusi "problematika
sosial" yang sudah mewabah dan tak bisa dianggap ringan ini -- yang juga
merupakan solusi bagi seluruh masalah -- ialah menanamkan rasa takut kepada
Allah dan meningkatkan kadar ketakwaan, hingga terbentuk mentalitas wajib
menahan diri tidak berbicara atau tidak menjawab dan tidak mengeluarkan fatwa
jika benar-benar tidak mengetahui apa-apa, atau hanya setengah tahu. Dan
hendaklah dimengerti, bahwa Allah-lah yang berhak menetapkan dan
menciptakan (al-khalq wa al-amr). Tidak ada pencipta selain-Nya. Tidak ada
syariat bagi makhluk selain syariat-Nya. Dia-lah yang berhak mewajibkan sesuatu,
mengharamkannya, menganjurkan dan menghalalkan.
Oleh karena itu, jika seseorang ditanya permasalahan yang tidak
diketahuinya, hendaklah dengan lantang menjawab tanpa malu-malu dan
mengatakan "aku tidak tahu, aku belum tahu, tanya orang lain saja". Jawaban
seperti ini justeru menunjukkan kesempurnaan akalnya, kebaikan iman dan
ketakwaannya, serta kesopanan di hadapan Allah.14
Kehati-Hatian Generasi Salaf dalam Masalah Ini15
Dahulu, para generasi Ulama Salaf, mereka bersikap wara` (berhati-hati
dan menjaga diri) dalam mengeluarkan pernyataan "ini halal dan itu haram",
lantaran takut terhadap ayat di atas. Selain itu, ialah untuk menunjukkan tingginya
sopan santun mereka di hadapan Allah dan Rasul-Nya, yang berhak menetapkan
hukum atas umat manusia, padahal mereka mengetahui dalil penghalalan atau
pengharamannya dengan jelas.
12

As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân Fî Tafsîr Kalâm al-Mannan, hal. 451.
Husain al-'Awayisyah, Hashâ`id al-Alsun, hal. 51.
14
Al-‘Utsaimin, Kitâb al-'Ilmi, hal. 77.
15
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I'lâm al-Muwaqqi'în, juz II, hal. 75-77 dan AsySyinqithi, Adhwâ` al-Bayân, juz III, hal. 347.
13

Page 5 of 7

Imâm Mâlik meriwayatkan dengan sanadnya dari Qabîshah bin Dzuaib,
bahwasanya ada seorang lelaki yang bertanya kepada 'Utsmân bin 'Affân
radhiyallâhu ‘anhu mengenai dua perempuan bersaudara yang sebelumnya
berstatus sebagai budak. 'Utsmân radhiyallâhu ‘anhu menjawab: "Sebuah ayat
menghalalkannya, dan ayat lain telah mengharamkannya. Adapun saya, tidak suka
untuk melakukannya."16
Imam al-Qurthubi meriwayatkan, bahwa “Ad-Dârimi berkata dalam

Musnad-nya: Harun telah memberitahukan kepada kami dari Hafsh dari alA'masy, ia berkata: "Aku belum pernah mendengar Ibrâhîm (an-Nakha`i) berkata
'(Ini) halal atau haram,' akan tetapi ia mengatakan (bila menghukumi): 'Dahulu,
orang-orang tidak menyukainya. Atau dahulu, orang-orang menyukainya'."17
Ibnu Wahb berkata dari Imam Mâlik: "Tidaklah menjadi kebiasaan orangorang (sekarang) atau orang-orang yang telah berlalu, juga bukan menjadi
kebiasaan orang-orang yang aku ikuti untuk mengatakan 'ini halal, itu haram'.
Mereka tidak berani untuk melakukannya. Kala itu, mereka hanya mengatakan
nakrahu kadzâ (kami tidak menyukainya), narâhu hasanan (kami melihatnya
baik), nattaqî hadza (kami menghindarinya), walâ narâ hâdzâ (kami tidak
berpandangan demikian)".18
Dalam riwayat lain: "Mereka tidak mengatakan 'ini halal atau haram'.
Tidakkah engkau mendengar Allah berfirman (yang artinya): Katakanlah:
"Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu
kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah
Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan
saja terhadap Allah?" QS Yûnus/10: 59 -- lantas beliau berkata: "Yang halal adalah
semua yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yang haram adalah semua yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya".19
Kesimpulan dan Pelajaran Yang Bisa Kita Peroleh
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan dan diperoleh pelajaran
sebagai berikut:
1. Setiap orang dilarang untuk menetapkan ‘halal dan haram’-nya sesuatu tanpa
dasar syar'i atau (tanpa) alasan yang yang dapat dipertanggungjawabkan secara
syari’ah. Atau, denga kata lain: “bersikap hati-hati dan teliti untuk menetapka
halal-haramya sesuatu.
2. Setiap orang diharamkan berdusta atas nama Allah.
3. Orang yang berdusta atas nama Allah dinyatakan oleh Allah sebagai orang yang
16

Isnadnya shahîh. Lihat: Imam Malik bin Anas, al-Muwaththa’, juz II, hal. 538,
Asy-Syafi’i, al-Umm, juz V, hal. 3. Dinukil dari catatan kaki di dalam kitab I'lâm alMuwaqqi'în, juz II, hal. 75. Dalam riwayat ini, 'Utsmân bin ‘Affân radhiyallâhu ‘anhu,
dengan kehati-hatiannya, menisbatkan penghalalan dan pengharaman kepada nash alQur`ân, bukan kepada dirinya.
17
Lihat: Al-Jâmi li Ahkâm al-Qur`ân, juz X, hal. 195.
18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an, vol.
7, hal. 376.
19
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Maâd, juz V, hal. 276

Page 6 of 7

tidak akan beruntung di akhirat kelak. Sementara di dunia, ia akan dirundung
oleh kehinaan.
4. Setiap orang ‘wajib’ menjaga lisannya, antara lain denga cara berhati-hati dalam
berbicara.

Wallâhu A'lamu bi ash-Shawâb.
Yogyakarta, 1 Mei 2016

Page 7 of 7