BAB 10 Masyarakat Madani

BAB 10
Masyarakat Madani
Pengertian Masyarakat Madani
Menurut mantan Perdana Menteri Malaysia, masyarakat madani adalah sebuah sistem
sosial yang tumbuh berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
individu dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri yang khas:
kemajemukan budaya, hubungan timbal balik, dan sikap saling memahami dan menghargai.
Menurut Anwar menjelaskan watak Masyarakat Madani yang ia maksudkan sebagai guiding
ideas, dalam melaksanakan ide-ide yang mendasari keberadaannya, yaitu prinsip moral, keadilan
kesamaan, musyawarah, dan demokrasi.
Menurut Dawam Rahardjo mendefinisikan Masyarakat Madani sebagai proses
penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurutnya, dalam
Masyarakat Madani, warga negara bekerja sama membangun ikatan sosial, jaringan produktif,
dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat nonnegara. Selanjutnya, dasar utama dari Masyarakat
Madani adalah pesatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup,
menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup
dalam suatu persaudaraan.
Menurut Azyumardi Azra, Masyarakat Madani lebih dari sekedar gerakan prodemokrasi, karena ia juga mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas dan ber-tamaldun.
Menurut Nurcholish Madjid, sesuai makna akar katanya yang berasal dari kata tamaldun (Arab)
atau civilty (Inggris), istilah Masyarakat Madani mengandung makna toleransi, kesediaan
pribadi-pribadi untuk menerima pelbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial. Dari

paparan di atas, tampak egas nuansa peradaban dan moralitas begitu kuat dalam perumusan dan
cita ideal Masyarakat Madani.

Sejarah Singkat Masyarakat Sipil
Sejarah awal masyarakat sipil tidak bisa dilepaskan dari filsuf Yunani Aristoteles (384322 M) yang memandang konsep masyarakat sipil sebagai sistem kenegaraan atau identik
dengan negara itu sendiri. Konsep masyarakat sipil pada masa ini dikenal sebagai istilah
koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam
berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinia politike yang
dikemukakan oleh Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis
dan etis di mana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum.
Romawi Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) mengistilahkan masyarakat sipil dengan
societies civilizes, yiatu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain dengan tradisi
politik kota sebagai komponen utamanya. Istilah yang digunakan Cicero lebih menekankan pada
konsep negara kota, yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya

yang menjelma menjadi entitas yang terorganisir. Rumusan Cicero ini lebih menekankan konsep
civily atau kewargaan dan urbanity, atau budaya perkotaan.
Thomas Hobbes dan John Locke memandang perkembangan Civil Society sebagai
kelanjutan dari evolusi masyarakat yang berlangsung secara alamiah. Menurut Hobbes, sebagai
entitas negara masyarakat sipil mempunyai peran untuk meredam konflik dalam masyarakat.

Menurut John Locke, kehadiran masyarakat sipil adalah untuk melindungi kebebasan dan hak
milik setiap warga negara.
Menurut Adam Ferguson mengkontekstualisasikan wacana masyarakat sipil dengan
konteks sosial dan politik di Skotlandia dengan perkembangan kapitalismenya yang berdampak
pada krisis sosial. Ferguson lebih menekankan visi etis pada masyarakat sipil dalam kehidupan
sosial. Menurut Thomas Paine memaknai pengertian masyarakat sipil sebagai sesuatu yang
berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antithesis negara. G. W. F.
Hegel, Karl Max, dan Antonio Gramsci menyimpulkan masyarakat sipil merupakan elemen
ideologis kelas dominan. Hegel memandang masyarakat sipil sebagai kelompok subordinatif
terhadap negara. Karl Max memandang masyarakat sipil sebagai masyarakat borjuis. Antonio
Gramsci berpendapat bahwa masyarakat sipil erupakan tempat perebutan posisi hegemoni di
luar kekuatan negara, aparat mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsensus.
Konsepsi masyarakat sipil ala Tocqueville ini dipdukan pula oleh Rahardjo dengan
pandangan Hannah Arendt dan Juergen Habermas tentang ruang publik yang bebas. Menurut
keduanya, dengan adanya ruang publik yang terbebaslah, maka setiap individu warga negara
dapat dan berhak melakukan kegiatan secara merdeka.
Tata kepemerintahan yang baik itu merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya
proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol
yang dilakukan oleh tiga komponen, yakni pemerintah, rakyat, dan usahawan. Keitga komponen
ini mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat.


Komponen rakyat harus memperoleh peran yang utama. Dalam sistem yang demokratis
kekuasaan tidak hanya di tangan penguasa melainkan di tangan rakyat. Peran sektor swasta
mendukung terciptanya proses keseimbangan kekuasaan dalam koridor tata kepemerintahan
yang baik. Suatu ketika peran sektor swasta ini bisa berada di atas.

Agar suatu sistem dan tata cara dalam mekanisme kepemerintahan berada dalam posisi
seimbang, selaras, kohesif, dan kongruen di mana peran rakyat sangat menentukan dapat terjadi,
kedudukan komponen dalam kerangka Masyakarat Madani adalah berada di tenha-tengah yang
dapat menghubungkan ketiga komponen tersebut. Sepeti yang diperlihatkan dalam gambar
berikut.

Gambar di atas menunjukkan bahwa moral menghubungkan dan bertaut erat pada ketiga
komponen, pemerintah, swasta, dan rakyat atau masyarakat madani yang saling berinteraksi
menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Moral juga harus menjadi landasan bagi rakyat
untuk berperan dalam menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Moral merupakan
operasionalisasi dari sikap dan pribadi seseorang yang beragama. Peranan moral kepada tiga
komponen atau pleku tata kepemerintahan yang baik dalam kerangka Masyarakat Madani dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.


Karakteristik Masyarakat Madani
Beberapa unsur pokok yang harus dimiliki oleh Masyarakat Madani yaitu wilayah publik
yang bebas, demokrasi, toleransi, kemajemukan, dan keadilan sosial.

1. Wilayah Publik yang Bebas
Wilayah publik yang bebas adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk
mengemukakan pendapat warga masyarakat. Di wilayah ruang publik ini semua warga negara
memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial dan politik tanpa rasa takut
dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di luar masyarakat sipil. Ruang publik dapat diartikan

sebagai wilayah bebas di mana semua warga negaramemiliki akses penuh dalam kegiatan yang
bersifat publik.

2. Demokrasi
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan masyarakat sipil yang
murni. Tanpa demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. Secara umum, demokrasi
adalah suatu tatanan sosial-politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga
negara.

3. Toleransi

Toleransi adalah sikap saling menghargai menghormati perbedaan pendapat. Menurut
Nurcholish Madjid toleransi adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu.
Jika toleransi menghasilkan asanya tata cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai
kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari
pelaksanaan ajaran yang benar.

4. Kemajemukan
Kemajemukan merupakan prasyarat lain bagi masyarakat sipil. Kemajemukan tidak
hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima kenyataan sosial yang beragam.
Tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai
suatu yang alamiah dan rahmat Tuhan.

5. Keadilan Sosial
Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas hak
dan kewajiban setiap warga negarayang mencakup seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik,
pengetahuan, dan kesempatan. Dengan pengertian lain, keadilan sosial adalah hilangnya
monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok atau
golongan tertentu.

Masyarakat Madani di Indonesia: Paradigma dan Praktik

Selain berperan sebagai organisasi perjuangan penegakan HAM dan perlawanan terhadap
kekuasaan kolonial, organisasi berbasis Islam, seperti Syarikat Islam (SI, Nahdlatul Ulama (NU),
dan Muhammadiyah, telah menunjukan kiprahnya sebagai komponen masyarakat sipil yang
penting dalam sejarah perkembangan masyarakat sipil di Indonesia. Terdapat beberapa strategi
yang ditawarkan kalangan ahli tentang bagaimana seharusnya bangunan Masyarakat Madani di
Indonesia:

Pertama, pandangan integrasi nasional dan politik. Pandangan ini menyatakan bahwa
sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam kenyataan hidup sehari-hari dalam
masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
Kedua, pandangan reformasi sistem politik demokrasi, yakni pandangan yang
menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada
pembangunan ekonomi.
Ketiga, paradigma membangun Masyarakat Madani sebagai basis utama pembangunan
demokrasi. Pandangan ini merupakan paradigma alternatif di antara dua pandangan yang
pertama yang dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi. Pandangan ini lebih menekankan
proses pendidikan dan penyadaran politik warga negara, khususnya kalangan kelas menengah.
Setidaknya tiga paradigma ini dapat dijadikan acuan dalam pengembangan demokrasi di
masa transisi sekarang melalui cara:
1. Memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah

untuk berkembang menjadi kelompok Masyarakat Madani yang mandiri secara politik
dan ekonomi.
2. Mereformasi sistem politik demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lembaga
demokrasi yang ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi.
3. Penyelenggaraan pendidikan politik bagi warga negara secara keseluruhan.

Gerakan Sosial untuk Memperkuat Masyarakat Madani
Iwan Gardono mendefinisikan gerakan sosial sebagai aksi organisasi atau kelompok
masyarakat sipil dalam mendukung atau menentang perubahan sosial. Pada dasarnya bentuk
perilaku politik kolektif non-kelembagaan yang secara potensial berbahaya karena mengancam
stabilitas cara hidup yang mapan. Selain definisi gerakan sosial yang berada di ranah masyarakat
sipil, maka para aktof atau kelompok yang terlibat pun perlu diperjelas pengertian dan
cakupannya.

Organisasi Nonpemerintah dalam Ranah Masyarakat Madani
Istilah organisasi nonpemerintah adalah terjemahan harfiah NGO (Non-Govermental
Organization) yang telah lama dikenal dalam pergaulan internasional. Istilah NGO dapat
diartikan atau dituduh sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau bekerja sama dengan
pemerintah. Dalam arti umum, pengertian organisasi nonpemerintah mencakup semua organisasi
masyarakat yang berada di luar struktur dan jalur formal pemerintah, dan tidak dibentuk oleh

atau merupakan bagian dari birokrasi pemerintah.
LP3ES mendefinisikan organisasi nonpemerintah sebagai organisasi atau kelompok
dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah.