Performa Bobot Badan Starter dan Grower Hasil Silang Balik (Backcross) antara Itik Pekin Alabio (PA) dan Alabio Pekin (AP) dengan Tetuanya

ABSTRACT

Starter and Grower Body Weight Performance of The Back crossed of Pekin
Alabio (PA) and Alabio Pekin (AP) Ducks to Their Parental Line
Arifani, S., R. R. Noor and L. H. Prasetyo
Backcrossis amethodof selectionby crossingbackthe progenywith oneof its parent
linein order to produceoffsprings that similar to their parents. The purpose of this
study was to evaluate thematernal effect of the live weight and feed convertion.
Alabioduckshadpreviouslycrossed withPekin ducksinBalai Penelitian Ternak Ciawi,
Bogor. Twelve Alabio Alabio Pekin (AAP), 17 Alabio Pekin Alabio(APA) and 28
Pekin Alabio Pekin (PAP) had been randomly selected and evaluated. The body
weight and growth curve of PAP show the best result when compared to the others.
The PAP has the smallest value of feed convertion and it indicates that PAP ducks
are more efficient in converting feed into meat. The maternal effect didn’t affectbody
weight of AAP, butaffectedthe feed convertion of AAP and APA.
Keywords:ducks, backcross, maternal effect, growth

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Populasi itik di Indonesia semakin berkembangnamun perkembangan ini
tidak diikuti dengan produksidari daging itik yang dihasilkan. Konsumsi daging itik

di Indonesia semakin meningkat dan menyebabkan tingginya permintaan akan
daging itik. Itik lokal di Indonesia merupakan itik jenis petelur, sehingga perlu
disilangkan dengan itik non lokal yakni pedaging, guna mendapatkan sifat-sifat yang
diinginkan dalam hal ini adalah bobot badan.
Penelitian inimenggunakan itik lokal Alabioselain dikarenakan dikenal
sebagai itik petelur yang memiliki produksi telur yang tinggi, juga dapat
dimanfaatkan dagingnya. Daging itik Alabio sering dimanfaatkan sebagai konsumsi
masyarakat Indonesia.Di sisi lain, penggunaan itik Pekin sebagai itik yang
disilangkan dengan Alabio dikarenakan itik yang berasal dari daratan China ini selain
memiliki daya adaptasi yang tinggi, itik pedaging ini juga terkenal dengan produksi
telur tinggi sepanjang tahunnya.
Metode persilangan yang digunakan dalam menyilangkanitik petelurAlabio
dengan itik pedaging yakni Pekin adalah metode silang balik (backcross).Menurut
Suryo(2008), backcross ialah perkawinan antara individu F1 dengan induk betina
atau jantan. Silang balik merupakan salah satu metode dengan menyilangkan kembali
anak dengansalah satu tetuanya dalam rangka mencapai keturunan yang mirip
dengan tetuanya. Persilangan akan menurunkan sejumlah proporsi darah pada
keturunan. Pada Grading Up, keturunan hasil silangan pertama disilangkan kembali
dengan salah satu tetua yang memiliki keunggulan secara terus menerus hingga hasil
produksinya mendekati salah satu produksi tetuanya. Proporsi darah tetua akan

semakin meningkat seiring dengan persilangan yang dilakukan (Brahmantio dan
Raharjo, 2005).
Balai Penelitian Ternak Ciawi telah menyilangkan itik Pekin dengan Alabio
yang kemudian didapatkan data hasil persilangan berupa Pekin Alabio (PA) dan
AlabioPekin (AP).Dalam penelitian ini keturunan dari persilangan pertama (F1)
yakni PA dan AP disilangkan dengan masing-masing tetua yakni Alabio dan Pekin
untuk mendapatkan sifat yang diinginkan yang didapat dari masing-masing tetua

terutama sifat kuantitatif berupa performa bobot badan itik.Bobot badan dapat
dipengaruhi secara langsung oleh genetik dan efek maternal maupun faktor
lingkungan (Bihan-Duval et al., 2001; Koerhuis dan Thompson, 1997; Velleman et
al., 2003).Persilangan resiprok pada babi menunjukkan bahwa efek maternal penting
untuk laju pertumbuhan pasca sapih dan komposisi karkas (Ahlschwede dan
Robison, 1971).Pengetahuan mengenai korelasi genetik antara pengaruh langsung
dan pengaruh maternal pada pertumbuhan daging anak sangat penting

dalam

mendesain program breeding yang tepat (Chapman, 1985).
Pertumbuhan pada ternak dapat diartikan sebagai pertumbuhan dalam bobot

badan sampai dewasa kelamin. Menurut Lawrence (1980), pertumbuhan merupakan
kenaikan dalam ukuran, maka terjadi pula perubahan bobot tubuh sehingga
pertumbuhannya sering dikaitkan dengan berat hidup. Davies menjelaskan definisi
pertumbuhan secara mudah yakni “perubahan dalam ukuran” dimana dapat diukur
sebagai panjang, volume atau berat.Masa hidup hewan dapat dibagi menjadi masa
percepatan dan perlambatan pertumbuhan.Umumnya masa percepatan terjadi
sebelum ternak mengalami pubertas (dewasa kelamin) yang kemudian setelahnya
terjadi perlambatan (Susanti, 2003).Laju pertumbuhan ternak dapat diamati pada
kurva pertumbuhan pada fase starter dan grower.Pengamatan pada kedua fase ini
dilakukan untuk mengetahui pada fase manakah terjadi titik infleksi.Lasley (1978)
menjelaskan titik kurva pertumbuhan, sebagai tempat bertemunya percepatan
pertumbuhan dengan perlambatan dinamakan titik infleksi.
Parameter yang diperhatikan dalam penelitian ini adalah bobot badan itik
pada periode starter (1 hari – 8 minggu) serta periode grower (8 – 16 minggu).
Periode starter merupakan periode dimana itik sedang mengalami pertumbuhan yang
pesat, dan periode grower merupakan masa itik mengalami perkembangan anatomis
dan fisiologis pada anggota tubuhnya. Oleh karena itu,

perlu diperhatikan


pertumbuhan itik yang disilangkan tersebut.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi muncul tidaknya efek maternal
terhadap bobot badan yang dihasilkan. Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui titik infleksi dari kurva pertumbuhan itik.Selain itu, untuk mengetahui
proporsi darah yang diturunkan pada keturunan hasil backcross.

TINJAUAN PUSTAKA
Ternak Itik
Ternak itik merupakan ternak unggas penghasil telur yang cukup potensial di
samping ayam. Kelebihan ternak itik adalah lebih tahan dibandingkan dengan ayam
ras sehingga dalam pemeliharaannya pun mudah dan tidak banyak mengandung
resiko. Populasi itik di Indonesia memang tidak sebanyak populasi ayam. Pada tahun
2011, populasi ayam Kampung sudah mencapai sekitar 274,8 juta ekor. Ayam
pedaging mencapai populasi tertinggi yakni 1,041 juta ekor, sedangkan ayam petelur
populasinya sebesar 110,3 juta ekor. Sementara itu, populasi itik pada tahun yang
sama hanya sekitar 49,3 juta ekor (Direktorat Jendral Peternakan, 2012).
Rose (1997) menggambarkan taksonomi itik sebagai berikut :
Kingdom


: Animalia,

Filum

: Chordata,

kelas

: Aves,

ordo

: Anseriformes,

famili

: Anatidae,

genus


: Anas, Carina, Anser

spesies

: Anas platyrhynchos (domestic ducs)
Carina moschata (Muscovy duck)

Itik merupakan jenis unggas air (waterfowl) karena unggas ini suka berenang
di perairan. Menurut Wasito dan Rohaeni (1994), ternak itik mempunyai kelebihan
dibanding ternak unggas lain. Kelebihan tersebut yaitu:
a. Itik mampu mempertahankan produksi lebih lama dibanding ayam sehingga
dapat mengurangi biaya penggantian itik setiap tahunnya.
b. Pada sistem pemeliharaan sederhana, itik mampu berproduksi dengan baik
(itik gembala yang dipelihara di sawah dengan kandang sederhana dari
bambu dan sebagian ditutup atap jerami mampu berproduksi dengan baik).
c. Angka kematian (mortalitas) itik pada umumnya kecil, sehingga itik dikenal
sebagai unggas yang tahan terhadap penyakit.
d. Itik bertelur pada pagi hari sehingga pengumpulan telur hanya dilakukan satu
kali. Waktu kosong pada siang dan sore hari dapat digunakan peternak untuk
melakukan kegiatan-kegiatan lain.


e. Itik dapat memanfaatkan pakan berkualitas rendah. Apabila pakan ini
diberikan ke unggas lain maka kemungkinan unggas tersebut tidak mampu
berproduksi.
f. Produksi telur asin hanya dapat dibuat dari telur itik. Sementara itu daging
itik juga sangat populer di beberapa tempat seperti di Kalimantan dan Bali.
Itik Alabio
Terdapat beberapa jenis itik domestik yang banyak dikembangkan di
Indonesia. Jenis itik terbagi menjadi beberapa tipe yakni itik pedaging, petelur dan
itik ornamental atau hias. Itik Alabio (Anas platyrhynchos borneo) merupakan itik
petelur asli Indonesia. Itik ini berasal dan berkembang pesat di daerah Kalimantan
Selatan, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Itik ini dinamakan itik Alabio
karena itik yang berasal dari Amuntai - Kalimantan Selatan ini banyak dipasarkan di
Kecamatan Alabio (Windhyarti 2003). Namun menurut Suharno dan Amri (2002),
sebenarnya yang menghasilkan itik itu bukanlah Kecamatan Alabio, melainkan Desa
Mamar Tegalsari. Di desa ini banyak terdapat pembibit-pembibit itik. Namun
demikian, karena pemasarannya banyak dilakukan di Alabio maka nama Alabio lebih
melekat sebagai nama itik ini.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2006) mengkarakteristikkan itik
Alabio sebagai berikut:

a. Postur tubuh agak miring dibandingkan dengan itik jenis lain.
b. Warna bulu cenderung agak cerah, dari cokelat muda sampai abu-abu dengan
bercak cokelat sampai kehitaman yang semakin ke punggung semakin gelap.
c. Warna paruh dan kaki kekuningan.
d. Perbedaan jenis kelamin, dapat dilihat dari warna bulunya. Itik jantan berbulu
abu-abu kehitaman dan pada ujung ekor terdapat bulu yang melengkung
keatas, sedangkan warna bulu itik betina cokelat muda keabu-abuan dengan
ujung bulu sayap, ekor, dada, leher dan kepala sedikit kehitaman.
Srigandono (1986) menambahkan, telur itik Alabio mempunyai ciri-ciri berwarna
hijau keabu-abuan serta kerabang agak tebal. Selain itu, itik Alabio berjalan agak
membungkuk.

Itik Alabio merupakan jenis itik yang banyak dikembangkan dikarenakan
produksi telurnya yang tinggi dan dapat dimanfaatkan dagingnya. Keunggulan itik
Alabio selain mempunyai daya tahan tubuh yang cukup kuat terhadap penyakit
(sehingga berumur panjang), tingkat produksi telurnya bervariasi yakni itik Alabio
yang dipelihara secara tradisional (digembalakan) menghasilkan telur 130 butir/
tahun). Bila dipelihara secara intensif dapat berproduksi antara 200-250 butir
telur/tahun. Menurut Gunawan et al. (1994), berat telur rata-rata itik Alabio sekitar
65-70 g/butir.


Gambar 1. Itik Alabio
Saat dewasa bobot badan itik jantan dapat mencapai 1,75 kg dan bobot badan
betina dapat mencapai 1,6 kg (Suharno dan Setiawan, 2001). Menurut Wasito dan
Rohaeni (1994), masa dewasa itik Alabio betina adalah pada umur enam bulan
dengan masa betelur 8-10 bulan per tahun dan dapat mencapai umur 4,5 tahun,
setelah itu itik Alabio di afkir.
Itik Pekin
Itik Pekin merupakan ternak yang telah dikenal sejak 200 tahun yang lalu di
daerah dataran Cina. Menurut Samosir (1983), itik ini merupakan tipe pedaging yang
banyak dikenal dan disebut green duck serta sangat prolific (subur). Itik Pekin
memiliki kepala yang besar dan lebar dengan paruh yang pendek, lebar dan ujungnya
berwarna kuning akan tetapi ada yang berwarna putih. Leher itik Pekin gemuk,
pendek dan tegak. Dada itik Pekin besar, agak melengkung dan membusung dengan
badan yang lebar jika dilihat dari belakang (Samosir, 1983). Ekor itik Pekin

mengembang dengan baik dan pada bagian ujungnya mengarah keatas, itik jantan
memiliki dua atau tiga bulu bergulung pada bagian atas.

Gambar 2. Itik Pekin

Karakterisitik itik Pekin tidak berbeda dengan itik Aylesbury dengan bulu
cerah yang seragam, yakni kekuningan, kuning jernih, krem atau putih. Paruh, kaki
dan telapak kaki itik ini berwarna oranye cerah dan mata berwarna biru gelap
(McArdle, 1961). Menurut Samosir (1983), pada itik jantan ditemukan bulu-bulu
leher tengah yang agak panjang, sedangkan di atas kepala kadang-kadang ditemukan
bulu-bulu seperti jambul. Di Amerika Serikat, itik dapat disamakan sebagai broiler
pada ayam. Itik ini menghasilkan karkas yang sangat baik dan daging itik Pekin
tumbuh sangat cepat.
Tabel 1. Bobot Standar Itik Pekin
Jenis

Berat

Jantan dewasa

9 lbs (4,086 kg)

Betina dewasa

8 lbs (3,632 kg)


Jantan muda

8 lbs (3,632 kg)

Betina muda

7 lbs (3,178 kg)

Sumber : Samosir (1983).

Menurut Setioko et al. (2004), bobot itik Pekin jantan dewasa berkisar 4,0 –
5,0 kg/ekor, sedangkan bobot itik Pekin betina berkisar 2,5 – 3,0 kg/ ekor.

Suparyanto (2006) menjelaskan itik Pekin yang disilangkan dengan itik Alabio
memiliki bobot hidup saat akan dipotong sebesar 2,1 kg, sedangkan bobot hidup itik
Pekin yang disilangkan Mojosari sebesar 1,9 kg. Itik Pekin selain memiliki bobot
yang besar juga lebih ekonomis. Wiederhold dan Pingel (1997) mengatakan, bahwa
bobot komersial itik Pekin terjadi lebih cepat yakni berkisar pada rentang umur 5
minggu.
Pertumbuhan
Pertumbuhan pada ternak dapat diartikan sebagai pertumbuhan dalam bobot
badan sampai dewasa kelamin. Menurut Lawrence (1980), pertumbuhan merupakan
kenaikan dalam ukuran, maka terjadi pula perubahan bobot tubuh sehingga
pertumbuhannya sering dikaitkan dengan berat hidup. Davies (1982) menjelaskan
definisi pertumbuhan secara mudah yakni “perubahan dalam ukuran” dimana dapat
diukur sebagai panjang, volume atau berat. Pertumbuhan pada hewan adalah
gabungan dari pertumbuhan bagian-bagian komponen tubuh. Hal ini dikarenakan
komponen-komponen tubuh hewan tumbuh pada laju yang berbeda. Kurva
pertumbuhan dari suatu makhluk hidup umumnya berbentuk sigmoid. Kurva
pertumbuhan sigmoidal terbentuk karena umur tidak menyebabkan peningkatan berat
tubuh, tapi memberi kesempatan kepada ternak untuk tumbuh, mencapai dewasa dan
berinteraksi dengan lingkungan (Williams,1982).
Pertumbuhan mulanya berlangsung sangat cepat (akselerasi) kemudian menurun
dan cenderung konstan. Setioko et al. (2004) dalam penelitiannya menjelaskan
kemampuan dan keragaan produksi itik Pekin Alabio (PA) sangat ditentukan oleh
keragaan pertumbuhan awal pada periode starter. Umumnya pada saat memasuki
fase gower, slope pertumbuhan menunjukkan linear negatif. Soeparno (1992)
menjelaskan pada persamaan Gompertz, logaritma kadar laju pertumbuhan spesifik
terhadap waktu atau umur bisa menghasilkan slope linear negatif. Kadar laju
pertumbuhan spesifik dapat dinyatakan sebagai perbandingan antara spesies konstan
dengan umur (Swatland, 1984). Setelah terjadi deselerasi atau penurunan kecepatan
pertumbuhan kenaikkan berat tubuh akan didominasi oleh peningkatan deposisi
lemak yang terjadi kira-kira sepertiga dari berat akhir (Prescott, 1976).

Bobot Badan
Dalam pemeliharaan sebuah peternakan, bobot badan merupakan salah satu
sifat kuantitatif yang sangat diperhatikan. Bobot badan merupakan sifat yang
memiliki nilai ekonomis tinggi. Selain bobot badan, sifat kuantitatif yang dapat
diukur pada itik adalah produksi telur, puncak produksi telur, bobot tetas, dewasa
kelamin, bobot badan dewasa serta beberapa sifat lain yang kesemuanya menentukan
produktivitas. Bobot badan dapat dipengaruhi secara langsung oleh genetik dan efek
maternal maupun faktor lingkungan (Bihan-Duval et al., 2001; Koerhuis dan
Thompson, 1997; Velleman et al., 2003).
Sifat kuantitatif dikontrol oleh banyak pasangan gen yang aksinya bersifat
aditif. Biasanya hubungan antar alel yang paling umum adalah kodominan atau
dominan tidak penuh (Noor, 2010). Selain itu, lingkungan memiliki pengaruh yang
besar terhadap sifat kuantitatif. Hal ini dapat dilihat berdasarkan penelitian Susanti et
al. (1998) yang menggunakan populasi lapangan serta Brahmantio dan Prasetyo
(2001) yang menggunakan populasi seleksi dalam memperoleh rataan bobot badan.
Bobot badan itik Mojosari umur sehari (bobot DOD) yang diperoleh Susanti et al.
(1998) nyata lebih rendah daripada itik Alabio, sedangkan rataan bobot badan dod
yang diperoleh Brahmantio dan Prasetyo (2001) menunjukkan bahwa itik Alabio
lebih tinggi dibandingkan itik Mojosari.
Titik Infleksi
Laju pertumbuhan pada makhluk hidup memiliki dua fase yakni fase akselerasi
(meningkat) dan fase deselerasi. Saat fase akselerasi pertumbuhan pada ternak terus
meningkat dengan cepat dan ketika memasuki fase deselerasi kecepatan
pertumbuhan menurun dan cenderung konstan. Umumnya masa percepatan terjadi
sebelum ternak mengalami pubertas (dewasa kelamin) yang kemudian setelahnya
terjadi perlambatan (Susanti, 2003). Titik pertemuan pada fase akselerasi dan
deselerasi dinamakan titik infleksi. Lasley (1978) menjelaskan titik kurva
pertumbuhan,

sebagai

tempat

bertemunya

kecepatan

pertumbuhan

dengan

perlambatan dinamakan titik infleksi. Selama pertumbuhan dan perkembangan,
bagian-bagian dan komponen tubuh mengalami perubahan. Jaringan-jaringan tubuh
mengalami pertumbuhan yang berbeda dan mencapai pertumbuhan maksimal dengan
kecepatan yang berbeda pula (Soeparno,1992). Brody (1964) menjelaskan bahwa

fungsi dari titik infleksi selama ini dijadikan dasar untuk mengukur optimalisasi
pertumbuhan juga merupakan ukuran tingkat efisiensi usaha yang dicapai.
Penelitian yang dilakukan Christiandrianto (1991) menemukan bahwa itik
Alabio memiliki titik infleksi pada minggu keempat. Sedangkan Indradjaja (1986)
menyatakan, bobot badan itik Tegal terus meningkat sampai minggu kelima,
setelahnya pertambahannya mengecil.
Silang Balik (Backcross)
Persilangan merupakan salah satu cara selain seleksi dalam memperbaiki
mutu genetik ternak. Noor (2010) menyatakan terdapat banyak jenis persilangan
yang dapat diaplikasikan pada ternak yakni, persilangan resprokal, silang balik
(backcross), dan lain-lain. Silang balik adalah perkawinan antara individu F1 dengan
induknya betina atau jantan (Suryo, 2008). Vogel (2009) menambahkan pemuliaan
backcross memungkinkan peternak untuk mentransfer suatu sifat yang diinginkan
seperti transgen dari satu varietas (induk donor, DP) ke dalam dasar genetik dari
tetua berulang (RP). Silang balik dapat meningkatkan sifat-sifat genetik yang
diinginkan misalnya bobot badan dan bobot telur. Menurut Hardjosubroto (2001),
maksud dari silang balik adalah untuk memperoleh komposisi gen oleh salah satu
tetuanya agar di dalam keturunannya lebih besar dari komposisi gen tetua lainnya.
Hasil penelitian Susanti et al. (1998) menunjukkan rataan pertambahan bobot badan
itik Mojosari Alabio (MA) hasil silang balik lebih tinggi dibandingkan galur
murninya (AA dan MM).
Proporsi Darah
Proporsi darah merupakan persentase darah yang diturunkan kepada
keturunannya. Dalam perkawinan biasa yakni misalnya antara ternak bangsa P
dengan ternak bangsa Q, maka hasil silangannya akan mempunyai komposisi darah
(½ P; ½ Q). Dalam perkawinan silang balik, hasil silangan ini dikawinkan kembali
dengan bangsa P sehingga akan dihasilkan keturunan dengan komposisi atau
proporsi darah (¾ P; ¼ Q).
Grading Up pada ternak, dilakukan dengan cara keturunan hasil silangan
pertama disilangkan kembali dengan salah satu tetua yang memiliki keunggulan
secara terus menerus hingga hasil produksinya mendekati salah satu produksi

tetuanya. Proporsi darah tetua akan semakin meningkat seiring dengan persilangan
yang dilakukan (Brahmantio dan Raharjo, 2005). Lasley (1978) menjelaskan,
keturunan dari silang balik (backcross) yang pertama akan memiliki sekitar 75% gen
dari salah satu tetua dan 25% dari tetuanya yang lain.
Tabel 2. Persentase Pewarisan oleh Dua Bangsa Secara Berturut-turut Terhadap
Keturunan Hasil Persilangan
Generasi
Bangsa Jantan
Persentase dari Tiap Bangsa Terhadap Anak
1

Bangsa 2

50% bangsa 1
50% bangsa 2

2

Bangsa 1

75% bangsa 1
25% bangsa 2

3

Bangsa 2

37,5% bangsa1
62,5% bangsa 2

4

Bangsa 1

68,7% bangsa 1
31,3% bangsa 2

5

Bangsa 2

34,4% bangsa 1
65,6% bangsa 2

6

Bangsa 1

67,2% bangsa 1
32,8% bangsa 2

7

Bangsa 2

33,6% bangsa 1
66,4% bangsa 2

8

Bangsa 1

66,8% bangsa 1
33,2% bangsa 2

9

Bangsa 2

33,4% bangsa 1
66,6% bangsa 2

10

Bangsa 1

66,7% bangsa 1
33,3% bangsa 2

Sumber : Lasley (1978)

Pengaruh Maternal (Maternal Effect)
Dalam suatu persilangan terdapat sebuah konsep bahwa masing-masing tetua
yang disilangkan menyumbangkan setengah sifat kepada keturunan atau generasi
yang berikutnya (terkecuali sex-linked genes dalam keturunan seks heterogametic).

Sering dikatakan bahwa tetua jantan menurunkan lebih dari satu setengah sifat
dibandingkan induk. Pernyataan-pernyataan ini tidak bertentangan ketika ditafsirkan
dalam konteks yang tepat. Kontribusi dari setiap tetua jantan ke generasi keturunan
berikutnya lebih baik dibandingkan kontribusi dari setiap satu induk, karena dengan
perkawinan poligami tiap-tiap tetua jantan memiliki lebih banyak menurunkan sifat
ke keturunan dibandingkan induk (Chapman, 1985).
Suatu penelitian dapat menggambarkan secara akurat kontribusi tetua jantan
dan induk terhadap generasi keturunan berikutnya dan penelitian yang lain
menggambarkan secara akurat terhadap genotipee individu, namun tidak secara
akurat menggambarkan efek hubungan dari tetua jantan dan induk terhadap fenotipe
individu bagi banyak sifat. Pada unggas juga, induk sering memiliki dampak yang
lebih besar pada fenotipe keturunannya daripada tetua jantan tersebut. Fenomena
dimana induk memberikan dampak yang lebih besar disebut "efek maternal".
Chapman (1985) mendefinisikan efek maternal sebagai pengaruh, kontribusi atau
dampak pada fenotipe dari sebuah individu yang disebabkan langsung oleh fenotipe
induknya. Bobot badan dapat dipengaruhi secara langsung oleh genetik dan efek
maternal maupun faktor lingkungan (Bihan-Duval et al., 2001; Koerhuis and
Thompson, 1997; Velleman et al., 2003). Efek maternal pada fenotipe keturunan
dapat disebabkan oleh perbedaan genetik atau perbedaan lingkungan antar induk,
atau dapat juga disebabkan oleh interaksi genetik dan lingkungan. Jadi, efek maternal
memiliki nilai heritabilitas, repeatabilitas dan korelasi genetik dengan ciri-ciri lain
yang menarik dalam produksi ternak. Efek maternal dapat muncul pada saat
pembuahan, selama kehamilan atau selama menyusui. Efek ini juga mungkin dapat
muncul melalui berbagai mekanisme biologis (Chapman, 1985).
Furr dan Nelson (1964) meneliti pada sapi dan Warren dan Renbarger (1963)
meneliti pada domba, bahwa perbedaan bobot sapih dipengaruhi oleh perbedaan
produksi susu antar induk. Lax dan Brown (1967) mengindikasikan, bahwa
perbedaan umur maternal mempengaruhi karakter produksi wool pada domba.
Persilangan resiprok pada babi menunjukkan bahwa efek maternal penting untuk laju
pertumbuhan pasca sapih dan komposisi karkas (Ahlschwede dan Robison, 1971).

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Kegiatan penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, dimulai dari bulan Agustus
2011 sampai dengan Desember 2011. Pengamatan penetasan telur, pemeliharaan
DOD sampai grower serta pengukuran bobot dilakukan di kandang itik Balai
Penelitian Ternak (Balitnak), Ciawi. Sementara pengolahan data dilakukan di IPB,
Dramaga Bogor.
Materi
Ternak dan Pakan
Populasi dasar (P0) yang digunakan adalah itik Alabio dan itik Pekin dengan
umur sekitar 4 bulan (menjelang bertelur) yang sudah dikoleksi di Balai Penelitian
Ternak sejak tahun 2010. Hasil persilangan yang didapatkan yakni PA betina dan AP
betina dikawinkan secara backcross seperti tercantum pada Gambar 3. Sebanyak
delapan ekor itik PA disilang balik dengan dua ekor jantan Alabio. Itik AP betina
yang diperoleh, sebanyak empat ekor betina AP di silang balik dengan satu jantan
Pekin dan sebanyak enam belas ekor betina AP di silang balik dengan empat ekor
jantan Itik Alabio.

PA ♀

Generasi F1

Generasi F2

AA ♂

X

PA ♀

APA

AP ♀

PP ♂X

X

PAP

APX♀

X

AA ♂

AAP

Gambar 3. Skema Persilangan Balik (Backcross) Itik PA dan AP dengan Tetuanya.
Jenis pakan yang diberikan untuk kedua jenis itik adalah sama sesuai standar
yang biasa diberikan di Balitnak, yaitu pakan yang dibuat sendiri komposisinya. Itik

AP dan PA diberi pakan sebanyak 250 gram per ekor per hari. Air minum diberikan
secara ad libitum.
Kandang dan Peralatan
a. Kandang starter
Kandang starter adalah kandang yang digunakan untuk pemeliharaan itik
umur 1 hari sampai 4 minggu dengan kapasitas sampai dengan 20 ekor. Setelah
berumur 4 minggu, itik di pindahkan ke kandang grower. Bahan kandang dari kawat
yang dilengkapi dengan alat pemanas listrik, tempat pakan dari kayu dan tempat
minum dari plastik.
b. Kandang grower
Kandang grower adalah kandang yang digunakan untuk pemeliharaan itik
umur 4 minggu sampai 18 minggu sebelum itik dipindahkan ke kandang individu.
Itik diberi nomor pada sayapnya (wing band) untuk memudahkan pencatatan dan
penimbangan, karena pengamatan dilakukan pada masing-masing individu itik. Alas
kandang berbahan semen dan diberi sekam, kandang juga dilengkapi tempat pakan
dari kayu dan tempat minum.
c. Peralatan
Peralatan yang digunakan berupa, tempat pakan, tempat minum, egg tray
untuk pengkoleksian telur sebelum dimasukkan kedalam mesin tetas, timbangan
manual, mesin tetas (hatchery), lampu, timbangan telur Mettle 210 dan alat-alat lain
yang dibutuhkan.
Prosedur
Sistem Perkawinan
Sistem perkawinan untuk menghasilkan keturunan populasi F1 dilakukan
dengan IB (Inseminasi Buatan). Selanjutnya dicatat nomor pejantan dan nomor
induknya, sehingga akan diketahui bapak dan induk dari masing-masing individu
keturunan F1 tersebut. Sistem perkawinan ini telah dilakukan sebelumnya oleh Balai
Penelitian Ternak Ciawi. Selanjutnya keturunan F1 disilangkan balik (backcross)
dengan sistem IB untuk mendapatkan generasi/keturunan F2. Kemudian dicatat dan
diberi penomoran pada keturunan F2.

Ransum
Ransum yang diberikan merupakan ransum komersial terdiri dari 2 macam
yaitu ransum starter (1 hari – 8 minggu) dan ransum grower (8-16 minggu). Susunan
ransum dan kandungan gizi yang digunakan disesuaikan dengan rekomendasi Balai
Penelitian Ternak yakni ransum starter terdiri dari 18-20% protein dengan energi
metabolis 3100 kkal/kg, Ca sebesar 0,60-1% dan P tersedia sebesar 0,60%. Ransum
yang diberikan untuk itik grower terdiri dari 14-15% protein dengan energi metabolis
2300 kkal/kg serta Ca 0,60-1% dan P tersedia sebesar 0,60%.
Metode Pengukuran Peubah Fenotipeik
1. Bobot badan starter diperoleh melalui penimbangan pada saat itik menetas.
2. Bobot badan starter ditimbang setiap minggunya dan diakumulasikan untuk
diperoleh bobot badan itik selama periode starter (1 hari – 8 minggu).
3. Bobot badan grower diperoleh melalui penimbangan pada saat itik berumur 8
– 16 minggu.
4.

Bobot badan grower ditimbang setiap dua minggu karena pertambahan bobot
badan pada fase ini umumnya tidak signifikan. Bobot yang diperoleh
kemudian diakumulasikan
Rancangan dan Analisis Data

Peubah yang Diamati
Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap peubah fenotipeik itik.
Peubah fenotipeik yang diamati adalah bobot badan pertama menetas (DOD), bobot
starter serta bobot badan grower. Disamping itu, dilakukan pengamatan pada peubah
lain yang berkorelasi dengan bobot badan yakni konsumsi pakan dan konversi pakan.
Perhitungan Standar Deviasi
Perhitungan dengan standar deviasi dilakukan pada bobot tetas (DOD) itik
AAP, APA dan PAP. Perhitungan ini ditujukan untuk mengetahui besarnya
penyebaran dari data yang diperoleh.

Keterangan :
Xi
= Data ke-i
= nilai rata-rata sampel
n
= banyaknya data
Analisis Regresi Model Kurva Pertumbuhan Itik
Kurva pertumbuhan itik berbentuk sigmoid (S), sehingga dalam pengolahan
datanya dilakukan dengan pengujian regresi non linear. Model geometri merupakan
model regresi non linear yang hampir sama dengan model eksponensial, karena dapat
dikembalikan pada model linear dengan jalan melakukan pengambilan logaritma
pada persamaannya (Irianto, 2004). Pengujian dengan persamaan regresi non linear
ditujukan untuk mengetahui besarnya slope kurva pertumbuhan itik sehingga dapat
dibandingkan dengan slope kurva pertumbuhan itik yang lain. Persamaan model
geometri dinyatakan dalam rumus:
Ŷ = aXb
Keterangan :
Ŷ
X
a
b

= Variabel terikat (bobot badan itik)
= Variabel bebas (umur itik)
= konstanta
= Koefisien arah regresi/ kemiringan garis regresi

Namun pada itik tertentu kurva pertumbuhan pada fase grower tidak
berbentuk linear dan pada pengamatan salah satu itik memiliki kurva parabola,
sehingga dalam pengujiannya menggunakan uji regresi parabola (polinomial) yang
dinyatakan dalam rumus:
Ŷ = a +bX +cX2
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Minitab 14. Hasil
yang diperoleh kemudian dilakukan uji anova (uji beda nyata). Rancangan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap karena pemberian
pakan serta lingkungan ternak dikandangkan adalah sama.
Yij = µ + Gi + εij
Keterangan :
Yij
= nilai pengamatan bobot badan/FCR pada genotipe ke-i dan ulangan ke-j
µ
= rataan umum
Pi
= Pengaruh genotipe itik ke-i
εij
= Pengaruh galat percobaan terhadap genotipe itik ke-i pada ulangan ke-j.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Laju pertumbuhan
Setioko et al. (2004) dalam penelitiannya menjelaskan kemampuan dan
keragaan produksi itik Pekin Alabio (PA) sangat ditentukan oleh keragaan
pertumbuhan awal pada periode starter. Bobot badan saat menetas (DOD) itik AAP
rata-rata sebesar 44,94 ± 4,48 g/ekor, sedangkan itik APA sebesar 44,01 ± 6,01
g/ekor dan itik PAP sebesar 45,55 ± 3,90 g/ekor. Bobot tetas ketiga jenis itik masih
lebih besar bila dibandingkan dengan bobot tetas tetuanya yakni Alabio, sebesar
39,12 ± 1,94 g, dan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan bobot tetas itik
Pekin 57,08 ± 1,49 g (Setioko et al., 2002).
Hasil pengamatan pertumbuhan bobot badan itik hasil backcross pada masa
starter (1 hari - 8 minggu) tercantum pada Gambar 4. Berdasarkan gambar terlihat
bahwa garis pertumbuhan berbentuk sigmoid (tidak linear), sehingga untuk
mengetahui perbedaannya dilakukan uji regresi non linear geometrik. Itik AAP
memiliki persamaan regresi Y= 30,060,9750 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar
94,5%, itik APA Y = 30,830,9790 dengan R2 sebesar 95,4%, dan itik PAP Y =
30,131,074 dengan R2 sebesar 95,1%.
Gambar 4 menunjukkan kurva pertumbuhan itik AAP berhimpitan dengan itik
APA. Persamaan regresi antara kedua jenis itik memiliki nilai koefisien regresi (b)
yang hampir sama. Selain itu, berdasakan uji statistik pada saat itik DOD hingga
minggu ke-8 tidak berbeda nyata (P>0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa itik AAP dan APA pada fase starter memiliki pertumbuhan yang tidak
berbeda.
Persamaan regresi dengan koefisien regresi (b) yang terbesar dimiliki oleh itik
PAP. Menurut Supranto (2000), nilai b adalah kemiringan dari garis regresi yakni
kenaikkan atau penurunan Y untuk setiap pengaruh X terhadap Y jika X naik satu
unit. Berdasarkan hal tersebut maka setiap peningkatan satu-satuan umur akan
menghasilkan peningkatan bobot badan itik PAP sebesar 1,074 gram. Selain itu,
Gambar 4 menunjukkan bahwa grafik bobot badan itik PAP pada masa starter
cenderung lebih besar tiap minggunya dibandingkan AAP dan APA. Hal ini dapat
diduga karena itik PAP merupakan hasil persilangan balik dengan tetua Pekin

sehingga proporsi darah Pekin lebih besar yakni sebesar 75%. Lasley (1978)
menjelaskan, keturunan dari silang balik (backcross) yang pertama akan memiliki
sekitar 75% gen dari salah satu tetua dan 25% dari tetuanya yang lain.

Gambar 4. Grafik Bobot Badan (BB) Itik AAP, APA dan Itik PAP Selama 16
Minggu
Keterangan : AAP [Alabio Alabio Pekin]; APA [Alabio Pekin Alabio]; PAP [Pekin Alabio Pekin].

Grafik bobot badan pada fase grower ketiga jenis itik dapat diamati pada
Gambar 4. Soeparno (1992) menjelaskan pada persamaan Gompertz, logaritma kadar
laju pertumbuhan spesifik terhadap waktu atau umur bisa menghasilkan slope linear
negatif. Kadar laju pertumbuhan spesifik dapat dinyatakan sebagai perbandingan
antara spesies konstan dengan umur (Swatland, 1984). Berdasarkan Gambar 4, dapat
dilihat bahwa grafik itik AAP dan APA dan itik PAP berbentuk non linear yang
dibuktikan pada diagram sebar yang dapat dilihat pada Lampiran 2, 4 dan Lampiran
6. Hal ini dikarenakan pada beberapa bangsa, slope pertumbuhan fase grower dapat
menunjukkan tidak linear. Oleh karena itu pengujian regresi itik AAP dan APA
dilakukan dengan regresi geometrik dan itik PAP dengan uji regresi parabola. Itik
AAP pada fase grower memiliki persamaan regresi Y = 2535,13-0,02560 dengan R2
sebesar 93,6%, itik APA memiliki persamaan regresi Y = 2027,68X-0,05834 dengan R2
sebesar 84.8% dan itik PAP memiliki persamaan regresi Y = 1341 + 39,05X 0,2047X2 dengan R2 sebesar 89,8%.

Persamaan regresi dan koefisien regresi (b) itik AAP dan APA menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata. Selain itu uji statistik menegaskan bahwa itik AAP dan
APA pada masa grower tidak berbeda nyata (P>0,05). Sedangkan kurva
pertumbuhan PAP pada fase grower jauh di atas itik AAP dan APA.
Berdasarkan kurva pertumbuhan ketiga jenis itik sejak DOD hingga umur 16
minggu (Gambar 4), terlihat bahwa kurva pertumbuhan berbentuk sigmoid. Kurva
pertumbuhan sigmoidal terbentuk karena umur tidak menyebabkan peningkatan berat
tubuh, tapi memberi kesempatan kepada ternak untuk tumbuh, mencapai dewasa dan
berinteraksi dengan lingkungan (Williams, 1982). Berdasarkan uji regresi geometrik,
itik AAP memiliki persamaan regresi Y= 34,75X0,9061 dengan koefisien determinasi
(R2) sebesar 94,5%, itik APA memiliki persamaan regresi Y= 36,31X0,9008 dengan
koefisien determinasi (R2) sebesar 94,8% dan itik PAP memiliki persamaan regresi
Y= 33,37X1,029 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 95,8%.
Kurva pertumbuhan itik AAP dan APA berdasarkan Gambar 4 saling
berhimpitan. Koefisien regresi (b) yang dimiliki itik AAP dan itik APA tidak terlalu
berbeda, selain itu, uji statistik menunjukkan sejak DOD hingga berumur 16 minggu
kedua itik tidak berbeda nyata (P>0,05). Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan
bahwa, efek maternal tidak mempengaruhi bobot badan itik. Chapman (1985)
mendefinisikan efek maternal sebagai pengaruh, kontribusi atau dampak pada
fenotipe dari suatu individu yang disebabkan langsung oleh fenotipe induknya. Efek
maternal pada fenotipe keturunan dapat disebabkan oleh perbedaan genetik atau
perbedaan lingkungan antar induk, atau dapat juga disebabkan oleh interaksi antara
genetik dan lingkungan. Namun pada kedua jenis itik hasil backcross ini tidak
ditemukan efek maternal. Hal ini menunjukkan bahwa induk AP dan PA adalah
sama, yakni tidak memberikan pengaruh atau kontribusi terhadap bobot badan
keturunannya.
Itik PAP memiliki kurva pertumbuhan tertinggi hingga umur 16 minggu. Hal ini
menunjukkan bahwa proporsi darah tetua Pekin yakni sebesar 75% yang terdapat
pada itik PAP mempengaruhi tingginya bobot badan PAP tiap minggu. Davies
(1982) menjelaskan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
komposisi tubuh ternak yakni nutrisi, genotipe, jenis kelamin, hormon dan kastrasi.
Berdasarkan genotipe, ternak bangsa besar akan memiliki bobot lahir lebih besar,

tumbuh lebih cepat setiap umur berapapun, dan akan mencapai dewasa kelamin pada
umur yang lebih tua. Itik Pekin merupakan itik dari bangsa besar dibandingkan
dengan itik Alabio. Hal inilah yang menjelaskan mengapa bobot badan itik PAP
masih terus meningkat dibandingkan itik AAP dan APA.
Masa hidup hewan dapat dibagi menjadi masa percepatan dan perlambatan
pertumbuhan. Lasley (1978) menjelaskan titik kurva pertumbuhan, sebagai tempat
bertemunya percepatan pertumbuhan dengan perlambatan dinamakan titik infleksi.
Selama pertumbuhan dan perkembangan, bagian-bagian dan komponen tubuh
mengalami perubahan. Jaringan-jaringan tubuh mengalami pertumbuhan yang
berbeda dan mencapai pertumbuhan maksimal dengan kecepatan yang berbeda pula
(Soeparno, 1992). Gambar 5 menunjukkan bahwa, ketiga jenis itik memiliki titik
infleksi yang sama yakni pada minggu ke-5. Kurva PBB itik AAP, APA dan PAP
mengalami akselerasi (meningkat) pada saat baru menetas hingga minggu ke-5,
sesudahnya terjadi deselerasi (menurun). Hal ini sesuai menurut Susanti (2003), yang
menyatakan umumnya masa percepatan terjadi sebelum ternak mengalami pubertas
(dewasa kelamin) yang kemudian setelahnya terjadi perlambatan.

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Badan (PBB) Itik AAP, APA dan Itik PAP.
Itik PAP mencapai titik infleksi pada minggu yang sama, namun dengan bobot
badan yang jauh lebih tinggi dibandingkan itik AAP dan itik APA. Hal ini

menunjukkan bahwa tetua jantan Pekin menghasilkan keturunan backcross dengan
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tetua Alabio. Christiandrianto
(1991) menemukan titik infleksi itik Alabio baik jantan dan betina pada minggu ke-4
dengan dengan bobot badan 514 gram dan betina 344 gram. Bila dibandingkan
dengan tetua jantan Alabio, hasil silang balik menunjukkan pertumbuhan yang lebih
baik karena walaupun titik infleksi yang dicapai lebih lama seminggu, namun bobot
badan yang dimiliki itik AAP dan APA jauh lebih besar. Selain itu, bila
dibandingkan dengan penelitian Indradjaja (1986) yang menemukan itik tegal
mencapai titik infleksi pada minggu minggu ke-5, itik AAP dan APA dan PAP
menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal ini dilihat dari titik infleksi yang dicapai itik
AAP, APA dan PAP pada minggu ke-5 dengan rataan bobot badan yang lebih tinggi
yakni masing-masing 1102,27 gram, 1121 gram dan 1533,40 gram dibandingkan
dengan bobot badan itik Tegal dalam penelitian Indradjaja yakni sekitar 700-750
gram. Hal ini menunjukkan bahwa hasil backcross itik AP dan PA dengan tetuanya
bila dibandingkan dengan itik bangsa lain menghasilkan pertumbuhan yang lebih
optimal. Brody (1964) menjelaskan bahwa fungsi dari titik infleksi selama ini
dijadikan dasar untuk mengukur optimalisasi pertumbuhan juga merupakan ukuran
tingkat efisiensi usaha yang dicapai.
Konversi ransum
Total konsumsi ransum dan konversi ransum disajikan pada Tabel 4. Total
konsumsi ransum adalah banyaknya ransum yang dikonsumsi tiap ekor itik selama
pemeliharaan. Tabel 4 menunjukkan itik PAP pada saat berumur 8 minggu memiliki
nilai FCR sebesar 2,77, yang artinya untuk memperoleh bobot badan sebesar 1 kg,
dibutuhkan pakan sebanyak 2,77 kg. Trisna et al. (2008) menemukan nilai FCR itik
Pekin berkisar 2,67 – 2,88, sedangkan Pingel (2011) menyatakan bahwa besarnya
konversi ransum itik Pekin berumur 4-7 minggu sebesar 2,88. Hal ini membuktikan
bahwa itik PAP memiliki kemampuan mengkonversi pakan seefisien tetua murninya
yakni itik Pekin. Sedangkan nilai FCR paling tinggi saat berumur 8 minggu dimiliki
oleh itik APA (4,22), yang artinya bila dibandingkan dengan kedua jenis itik lain, itik
ini diduga paling tidak efisien dalam mengubah pakan menjadi daging.
Tabel 4 menjelaskan bahwa konsumsi ransum total itik AAP hingga berumur
16 minggu adalah 13.908,7 g dan itik APA 18.731,05 g. Disamping itu, konversi

ransum kedua jenis itik berbeda yakni pada itik AAP sebesar 8,01 dan itik APA
sebesar 10,12. .Berdasarkan hal tersebut, dapat diduga induk AP dan PA memberikan
pengaruh maternal terhadap konversi ransum keturunannya yakni itik AAP dan APA.
Induk AP diduga menurunkan sifat yang diinginkan yakni menurunkan besarnya
nilai konversi ransum atau dengan kata lain meningkatkan efisiensi pakan. Hal ini
dikarenakan, besarnya konversi ransum itik AAP pada fase starter masih lebih
rendah yakni 3,35 bila dibandingkan dengan penelitian Subhan et al. (2010), yang
menemukan nilai FCR itik Alabio umur 8 minggu sebesar 3,75.
Tabel 4. Total Konsumsi Ransum dan Konversi Ransum Selama 16 Minggu Itik
AAP, APA dan Itik PAP
Peubah
Jenis itik1
AAP

APA

PAP

Konsumsi ransum total 8
minggu (gram/ekor)

5.712,88

7.318,3

7.607,21

Konversi ransum (FCR)
8 minggu

3,35

4,22

2,77

Konsumsi ransum total
16 minggu (gram/ekor)

13.908,37

18731,05

19.339,13

Konversi ransum (FCR)
16 minggu

8,01

10,12

6,28

1

Jenis itik AAP [A♂ x AP♀]; APA [A♂ x PA♂]; PAP [P♂ x AP♀]

Selama fase pemeliharaan Itik PAP mengkonsumsi pakan lebih banyak
dibandingkan kedua jenis itik lain, namun bobot badan serta PBB yang dihasilkan
lebih tinggi. Selain itu, itik PAP memiliki nilai FCR paling rendah Bila dilihat pada
saat itik berumur 16 minggu atau mencapai fase grower itik PAP memiliki nilai FCR
yang lebih rendah dibandingkan itik AAP dan APA. Hal ini menunjukkan bahwa itik
PAP diduga lebih efisien dalam mengkonversi pakan dibandingkan kedua jenis itik
lain. Konversi ransum selama selama 16 minggu memiliki nilai yang sangat tinggi
yang dimana dalam hal ini terjadi penurunan efisiensi pakan. Hal ini dikarenakan,
ketika itik mencapai fase deselerasi, pakan yang dikonsumsi tidak lagi seefisien
seperti pada saat fase starter, karena pada saat fase deselerasi, pembentukkan tulang,
daging serta organ tubuh telah maksimal dan konsumsi energi sebagian
diakumulasikan atau disimpan dalam bentuk lemak. Setelah terjadi deselerasi atau

penurunan kecepatan pertumbuhan (seperti yang ditunjukkan pada kurva sigmoidal),
kenaikkan berat tubuh akan didominasi oleh peningkatan deposisi lemak yang terjadi
kira-kira sepertiga dari berat akhir (Prescott, 1976).

PERFORMA BOBOT BADAN STARTER DAN GROWER HASIL
SILANG BALIK (BACKCROSS) ANTARA ITIK PEKIN
ALABIO (PA) DAN ALABIO PEKIN (AP)
DENGAN TETUANYA

SKRIPSI
SILVI ARIFANI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

PERFORMA BOBOT BADAN STARTER DAN GROWER HASIL
SILANG BALIK (BACKCROSS) ANTARA ITIK PEKIN
ALABIO (PA) DAN ALABIO PEKIN (AP)
DENGAN TETUANYA

SKRIPSI
SILVI ARIFANI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

RINGKASAN

SILVI ARIFANI. D14080308. 2012. Performa Bobot Badan Hasil Silang Balik
(Backcross) antara Itik Pekin Alabio (PA) dan Alabio Pekin (AP) dengan
Tetuanya.Skripsi.Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M. Rur. Sc.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. L. Hardi Prasetyo, M. Agr.
Persilangan itik lokal dengan itik non lokal telah banyak dilakukan
sebelumnya.Selain untuk meningkatkan mutu genetik itik lokal, juga untuk
meningkatkan produksi dari itik itu sendiri.Namun belum banyak dilakukannya
silang balik (backcross) dengan galur tetuanya.Oleh karena itu, dalam penelitian ini
dilakukan silang balik (backcross) antara itik petelur yakni alabio dan itik pedaging
yakni Pekin dengan tujuan untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan dalam hal
ini bobot badan.Silang balik merupakan salah satu metode dengan menyilangkan
kembali anak dengansalah satu tetuanya dalam rangka mencapai keturunan yang
mirip dengan tetuanya.
Penelitian ini menggunakan itik Alabio Pekin (AP) dan Pekin Alabio (PA)
yang sebelumnya telah dikoleksi di Balai Penelitian Ternak Ciawi. Itik AP dan PA di
backcross dengan tetua jantan Pekin dan Alabio yang kemudian dihasilkan keturunan
berupa itik AAP, APA dan itik PAP. Hal yang diamati adalah bobot badan starter
dan grower, pengaruh maternal, titik infleksi, proporsi darah serta konsumsi dan
konversi ransum.Data yang diperoleh dianalisis statistik yakni dengan uji regresi
serta Anova.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot badan itik AAP dan APA baik
pada fase starter hingga growertidak berbeda nyata.Hal ini menunjukkan bahwa
tidak ditemukan pengaruh maternal terhadap bobot badan yang dihasilkan.Berbeda
dengan konversi ransum, induk AP diduga memberikan pengaruh yang nyata
meningkatkan efisiensi pakan itik AAP.Itik PAP memiliki nilai koefisien regresi (b)
yang lebih besardibandingkan itik AAP dan APA.Hal ini menunjukkan bahwa
proporsi darah tetua Pekin yakni sebesar 75% yang terdapat pada itik PAP
mempengaruhi tingginya bobot badan PAP tiap minggu. Titik infleksi ketiga jenis
itik adalah sama yakni minggu ke-5, namun bobot badan ketika mencapai titik
infleksi yang dimiliki itik PAP lebih besar dibandingkan kedua jenis itik lainnya. Hal
ini menunjukkan bahwa galur tetua Pekin menghasilkan keturunan backcross dengan
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tetua Alabio. Selain itu, itik PAP
memiliki konversi ransum yang lebih rendah.Oleh karena itu, dapat diduga bahwa
itik ini lebih efisien dalam mengkonversi pakan dibandingkan itik AAP dan
APA.Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa galur tetua Pekin membawa
sifat-sifat yang diinginkan yang dapat diturunkan kepada keturunannya hasil silang
balik.Oleh karena itu tetua Pekin dapat dijadikan indukan yang baik untuk
selanjutnya menghasilkan produksi yakni bobot badan.
Kata-kata kunci: itik AAP, APA, PAP, pertumbuhan, pengaruh maternal, proporsi
darah

ABSTRACT

Starter and Grower Body Weight Performance of The Back crossed of Pekin
Alabio (PA) and Alabio Pekin (AP) Ducks to Their Parental Line
Arifani, S., R. R. Noor and L. H. Prasetyo
Backcrossis amethodof selectionby crossingbackthe progenywith oneof its parent
linein order to produceoffsprings that similar to their parents. The purpose of this
study was to evaluate thematernal effect of the live weight and feed convertion.
Alabioduckshadpreviouslycrossed withPekin ducksinBalai Penelitian Ternak Ciawi,
Bogor. Twelve Alabio Alabio Pekin (AAP), 17 Alabio Pekin Alabio(APA) and 28
Pekin Alabio Pekin (PAP) had been randomly selected and evaluated. The body
weight and growth curve of PAP show the best result when compared to the others.
The PAP has the smallest value of feed convertion and it indicates that PAP ducks
are more efficient in converting feed into meat. The maternal effect didn’t affectbody
weight of AAP, butaffectedthe feed convertion of AAP and APA.
Keywords:ducks, backcross, maternal effect, growth

PERFORMA BOBOT BADAN STARTER DAN GROWER HASIL
SILANG BALIK (BACKCROSS) ANTARA ITIK PEKIN
ALABIO (PA) DAN ALABIO PEKIN (AP)
DENGAN TETUANYA

SILVI ARIFANI
D14080308

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

Judul

: Performa Bobot Badan Starter dan Grower Hasil Silang Balik
(Backcross) antara Itik Pekin Alabio (PA) dan Alabio Pekin (AP)
dengan Tetuanya

Nama : Silvi Arifani
NIM

: D14080308

Menyetujui,
Pembimbing Utama,

(Prof. Dr. Ir. Ronny R. N., MRur.Sc.)
NIP.19610210 198603 1 003

Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. L.H. Prasetyo, M.Agr.)
NIP. 19510917 197901 1 001

Mengetahui:
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr,Sc. )
NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian : 28Mei 2012

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Oktober 1990 di Jakarta.Penulis
merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Zulnasri Johan
dan Ibu Atma Budi.
Penulis mengawali pendidikan taman kanak-kanak pada tahun 1993 di Taman
Kanak-kanak Muhammadiyah hingga tahun 1995. Pendidikan dasar dimulai penulis
pada tahun 1995 di Sekolah Dasar 01 Pagi Pondok Kopi Jakarta dan diselesaikan
pada tahun 2002.Penulis melanjutkan sekolah lanjutan tingkat pertama pada tahun
2002 hingga tahun 2005 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 139 Jakarta.Penulis
memulai pendidikan menengah atas pada tahun 2005 di Sekolah Menengah Atas
Negeri 71 Jakarta dan diselesaikan pada tahun 2008.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur
Seleksi Nasional Masuk Peguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Penulis
aktif dalam beberapa kegiatan lomba, kepanitiaan maupun organisasi.Penulis
mendapatkan juara 2 lomba cerpen yang diadakan Fakultas Ekologi Manusia pada
tahun 2008.Penulis juga telah menerbitkan beberapa cerpen pada beberapa majalah
di Indonesia.
Penulis aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Departemen
(BEM-D) dan menjabat sebagai sekretaris departemen Informasi dan Komunikasi
(Infokom), periode 2009-2010. Penulis juga aktif dalam organisasi Majalah Pangan
bernama EMULSI yang merupakan ikatan dari Departemen Teknologi Ilmu Pangan,
Departemen Ilmu Gizi, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dan
Departemen Teknologi Hasil Perairan. Penulis aktif dalam Organisasi EMULSI
sebagai fotografer periode 2009-2010 dan sebagai kartunis periode 20102011.Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Balai Embrio Transfer (BET)
Bogor, Jawa Barat pada tahun 2010.Penulis berkesempatan menjadi penerima
beasiswa BBM (Bantuan Belajar Mahasiswa) pada tahun 2011-2012.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrabbil’alamiin.
Puji dan syukur yang tiada habisnya Penulis panjatkan kepada kehadirat
Allah SWT atas segala rahmat, karunia, rizki dan nikmat yang telah diberikan
sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Performa Bobot
Badan Hasil Silang balik antara Itik Pekin Alabio (PA) dan Alabio Pekin (AP)
dengan Tetuanya”. Skripsi ini merupakan hasil penelitian pengukuran bobot badan di
Balai Penelitian Ternak Ciawi untuk mengetahui bagaimana performans keturunan
dari itik yang telah disilangkan balik.Penulis berharap skripsi ini dapat memberi
informasi mengenai pertumbuhan itik dan dapat dijadikan referensi yang baik dalam
pengembangan ternak itik di Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu
dalam penulisan skripsi ini.Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi
ini masih banyak sekali terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna.Oleh
karena itu, Penulis memohon maaf bilamana masih terdapat kesalahan dalam
penulisan skripsi ini.Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang peternakan.

Bogor, Juni 2012

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ..................................................................................................

i

ABSTRACT .....................................................................................................

ii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................

iii

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................

iv

RIWAYAT HIDUP .........................................................................................

v

KATA PENGANTAR .....................................................................................

vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................

vii

DAFTAR TABEL .............................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................

xi

PENDAHULUAN ................................................................