Peningkatan produksi karkas dan kualitas daging itik melalui persilangan antara itik cihateup dengan itik alabio

(1)

DAGING ITIK MELALUI PERSILANGAN ANTARA

ITIK CIHATEUP DENGAN ITIK ALABIO

PROCULA RUDLOF MATITAPUTTY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan ProduksiKarkas dan Kualitas Daging itik melalui Persilangan antara itik Cihateup dengan itik Alabio adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Procula Rudlof. Matitaputty NRP. D161080101


(3)

Procula Rudlof Matitaputty. Duck Meat and Carcass Quality Improvement through Cihateup Duck and Alabio Duck Hybridization. Supervised by : Ronny R. Noor, Peni S. Hardjosworo and C.Hanny Wijaya.

A study on hybridization Alabio duck of south borneo native’s with Cihateup west java native’s duck were done to generate hybrid duck (F1). This hybrid duck were expected to have high yield on growth and also carcass and meat production. The aims of this study were to evaluate heterocyst phenomenon, determined hybrid combination, determined the effect of hybridization on performance of reproduction, carcass production, fatty acids compositions and also the alteration of duck meat sensor. This study were done in three stages. The first was done to determine the reproduction aspects generated from duck hybridization such as fertility, hatchability, death of embryo and sex proportion. Group completely randomized designed were implemented with 4 hybridization groups of duck; CC duck [Cihateup ♂ x Cihateup ♀], AA duck [Alabio ♂ x

Alabio ♀], AC hybrid duck [Alabio ♂ x Cihateup ♀] and CA hybrid duck

[Cihateup ♂ x Alabio ♀]. Each group has 4 replication based on periods of hatching time. Data were analysed statistically with analysis of variance (Anova), and Duncantest. The result shows that hatchability percentage of CA duck were higher (P<0.05) with 58.55% of heterocyst than other groups. CA duck’s death of embryo also lowest with -36.62% heterocyst than other groups while AC ducks has low hatchability and high death of embryo, this resulted on lower heterocyst value. Second stage were held to learn biological response of first generation of young drakes from those 4 ducks groups. Completely randomized designed with 4 ducks group as treatment (AA, CC, AC and CA ducks) and 6 replications, each replication consists of 5 ducks. Data were analysed statistically with analysis of variance (Anova), and Duncan test. The result show that CA hybrid duck has high heterocyst in some traits such as final liveweight, daily gain, feed conversion, carcass weight, percentage of chest meat which higher statistically (P<0.05) than AC or its purebreed. AC hybrid were dominant on thigh commercial carcass cut percentage and thigh meat percentage, which high statistically (P<0.05) compare to the others. Third stage were done to learn the alteration of fatty acids composition and the sensors alteration on duck meat off-flavor. Hedonic sensor analysis were designed using Minitab ver 14 and carry on with Kruska Wallis test, while off- odor intensity were analysed using QDA descriptively. The result shows that fat composition in AC hybrid duck and CA were lower than their purebreed. AC hybrid duck has lowest composition of saturated fatty acids (23.83%) and unsaturated fatty acids (49.20%) than the others group. Sensor test show that meat smells of AC hybrid duck were highly preferable (P<0.05) compare to the others. Nevertheless, all groups has in significant result on flavor. Result on QDA test shows that off-odor intensity (fishy, rancid, fatty, beany, moldy, earthy) of AC group were lowest compare to others group.


(4)

RINGKASAN

PROCULA R MATITAPUTTY. Peningkatan produksi karkas dan kualitas daging itik melalui persilangan itik Cihateup dengan itik Alabio. Dibimbing oleh RONNY R NOOR, PENI S HARDJOSWORO dan C HANNY WIJAYA.

Pemanfaatan itik jantan lokal berpotensi untuk dikembangkan sebagai itik potong karena dapat menghasilkan daging yang merupakan sumber protein hewani alternatif bagi masyarakat selain dari ternak ruminansia dan unggas lainnya. Permintaan produk itik berupa daging semakin meningkat tiap tahunnya, namun tidak diikuti dengan penyediaan itik potong yang berkualitas dan kontinyu sehingga seringkali mengalami kekurangan stok. Dengan melakukan program seleksi yang ketat untuk tujuan mendapatkan itik potong melalui pembentukan galur baru, dapat dilakukan persilangan antar jenis itik untuk menghasilkan itik hibrida. Diharapkan dari itik hibrida ini adalah kecepatan pertumbuhan dan produksi karkas serta daging lebih tinggi dari kedua tetua murninya. Persilangan antar dua galur atau bangsa ternak yang berbeda sering digunakan dalam suatu sistem produksi untuk memanfaatkan keunggulan hibrida (heterosis) dari hasil persilangan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan persilangan antara itik Alabio asal Kalimantan Selatan dengan itik Cihateup asal Jawa Barat, yang memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dan memiliki keunggulan masing-masing dalam produksi karkas dan flavor daging. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi fenomena heterosis dan mengetahui kombinasi persilangan yang terbaik untuk beberapa sifat yang diamati berupa perkembangan reproduksi itik, pertumbuhan performa itik, produksi karkas dan daging, kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak serta mengetahui perubahan sensori daging yang terjadi akibat persilangan. Dalam menjawab tujuan penelitian ini maka dilakukan penelitian dalam beberapa tahapan. Penelitian tahap pertama untuk mengetahui sifat-sifat reproduksi berupa fertilitas, daya tetas, kematian embrio dan nisbah kelamin yang terjadi akibat persilangan dua jenis itik. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri atas 4 kelompok itik yakni itik CC [Cihateup ♂ x Cihateup ♀], itik AA [Alabio ♂ x Alabio ♀], itik AC [persilangan Alabio ♂ x Cihateup ♀] dan itik CA [persilangan Cihateup ♂ x

Alabio ♀] dan 4 ulangan berdasarkan periode masuknya telur ke mesin tetas. Telur tetas yang digunakan masing-masing jenis itik sebanyak 352 butir untuk itik CC; 241 butir itik AA; 258 butir itik persilangan AC dan 437 butir itik persilangan CA. Data dianalisis secara statistik dengan menggunakan analysis of variance (Anova), dilanjutkan dengan uji Duncan. Penelitian tahap kedua untuk mengetahui respons biologis keempat kelompok jenis itik jantan muda (AA, CC, AC dan CA) umur 0 sampai 8 minggu pemeliharaan, hasil turunan F1. Rancangan yang digunakan untuk penelitian tahap kedua yakni Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri atas 4 perlakuan yakni empat jenis itik (AA, CC, AC dan itik CA) dengan 6 ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 5 ekor itik jantan. Data dianalisis secara statistik dengan menggunakan Analysis of variance (Anova), jika perlakuan berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan. Penelitian tahap ketiga untuk mengetahui perubahan komposisi asam-asam lemak dan perubahan sensori berupa off-flavor daging itik, yang terjadi akibat persilangan. Dalam menganalisis kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak digunakan daging itik bagian


(5)

panelis dan intensitas off-odor menggunakan daging bagian paha yang sudah direbus. Rancangan yang digunakan untuk analisis sensori tingkat kesukaan menggunakan Minitab versi 14 dan dilanjutkan dengan uji Kruska Wallis, sedangkan intensitas off-odor dengan QDA secara deskriptif. Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut :

1. Persilangan dua galur itik, Alabio dengan Cihateup menghasilkan itik persilangan CA dengan persentase daya tetas yang tinggi (61.00%) dan kematian embrio yang rendah (39.00%), terbukti dengan tingkat heterositas yang dimiliki cukup tinggi untuk masing-masing sifat (58.55%) untuk daya tetas dan (-36.62%) untuk kematian embrio, sementara itik persilangan AC memiliki daya tetas yang rendah dan kematian embrio yang tinggi sehingga meghasilkan tingkat heterositas yang rendah pula. Hal ini menunjukkan bahwa persilangan antar dua galur dapat menghasilkan jenis itik hibrida yang berbeda dalam penampilan untuk sifat-safat reproduksi yang dimiliki.

2. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa itik persilangan AC dan itik CA lebih unggul untuk beberapa sifat yang menonjol dari segi pertumbuhan dan performa dibandingkan dengan tetua murni. Itik persilangan CA menunjukkan tingkat heterosis yang cukup tinggi pada beberapa sifat antara lain bobot hidup akhir (BHt) (7.06%), pertambahan bobot hidup (PBH) (7.32%), konversi ransum (-9.61%), bobot karkas (9.24%) serta persentase daging dada (3.02%) dan secara statistik lebih besar (P<0.05) dari itik persilangan AC, maupun tetua murni yakni itik AA dan CC. Sementara pada itik persilangan AC hanya unggul pada dua sifat antara lain persentase potongan karkas komersial bagian paha (10.14%) dan persentase daging paha (3.12%), nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan itik yang lain. Itik persilangan AC dan CA menampilkan keunggulan diatas rata-rata tetua murni pada beberapa sifat dan bernilai ekonomis, ini membuktikan bahwa ada efek heterosis yang terjadi akibat persilangan. Prediksi untuk menghasilkan bentuk persilangan yang lain, juga telah diteliti, maka kombinasi persilangan yang terbaik dalam menghasilkan pertumbuhan yang baik, produksi karkas dan daging yang tinggi adalah kombinasi persilangan antara betina dari hasil persilangan CA dengan Cihateup jantan melalui persilangan backcross.

3. Daging itik umumnya memiliki bau, terutama yang memberi sensasi penyimpangan (off-odor) yakni bau amis/anyir. Oksidasi lemak merupakan penyebab kerusakan daging yang dimanifestasikan dalam bentuk perubahan flavor. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kandungan lemak itik persilangan AC (6.98%) dan itik CA (6.46%) lebih rendah dari tetua murni. Sementara pada komposisi asam-asam lemak terlihat bahwa itik persilangan AC memiliki jumlah persentase komposisi asam-asam lemak yang paling rendah antara lain asam lemak jenuh (23.83%) dan asam lemak tidak jenuh (49.20%) dibandingkan dengan ketiga jenis itik yang lain. Untuk analisis sensori menunjukkan bahwa nilai penerimaan pada aroma daging itik AC lebih tinggi dan disukai (P<0.05) dibandingkan dengan aroma pada itik yang lain, tetapi pada penerimaan rasa daging, keempat kelompok itik ini tidak berbeda.


(6)

Hasil pengujian QDA terhadap intensitas off-odor (bau amis, tengik, lemak, langu, tanah dan jamur) memperlihatkan bahwa keempat jenis itik memiliki tingkat intensitas off-odor berbeda. Secara deskripsi itik persilangan AC memiliki tingkat intensitas off-odor untuk semua atribut yang diteliti paling rendah dibandingkan ketiga jenis itik yang ada. Hal ini sejalan dengan hasil kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak oleat, linoleat dan linolenat, itik AC yang lebih rendah dan hasil uji hedonik untuk tingkat penerimaan aroma.


(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

PENINGKATAN PRODUKSI KARKAS DAN KUALITAS

DAGING ITIK MELALUI PERSILANGAN ANTARA

ITIK CIHATEUP DENGAN ITIK ALABIO

PROCULA RUDLOF MATITAPUTTY

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Mayor Ilmu

Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Penguji pada Ujian Tertutup :

1. Dr. Ir. Hardy L Prasetyo. M.Sc

(Staf Peneliti Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor)

2. Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri. M.Agr.Sc

(Staf Pengajar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor-Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka :

1. Dr. Ir. Bess Tiesnamurti, M.Sc

(Kapala Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak Litbang Pertanian Kementrian Pertanian-Bogor)

2. Dr. Ir. Pius P Ketaren, M.Sc


(10)

Judul Penelitian : Peningkatan Produksi Karkas dan Kualitas Daging Itik melalui Persilangan antara Itik Cihateup dengan Itik Alabio

Nama : Procula Rudlof Matitaputty

NRP : D161080101

Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc Ketua

Prof.Em. Dr. Peni S. Hardjosworo,M.Sc Prof. Dr. Ir.C.Hanny Wijaya, M.Agr Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(11)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Penyayang, atas segala berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menulis disertasi ini. Judul yang dipilih pada penelitian ini ialah Peningkatan Produksi Karkas dan Kualitas Daging Itik Melalui Persilangan antara Itik Cihateup dengan Itik Alabio.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc selaku ketua komisi pembimbing, atas dukungan moril, saran dan arahan sejak awal penelitian hingga penulisan disertasi ini. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Prof. (Em). Dr. Peni S Hardjosworo, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. C Hanny Wijaya, M.Agr, selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga selama penulisan hingga penyelesaian disertasi ini.

Dalam kesempatan ini juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian dan Sekretaris Badan Penelitian Pengembangan Pertanian selaku Ketua Komisi Pembinaan Tenaga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor. Juga kepada Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) Bogor dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku yang telah memberikan dorongan dan restu kepada penulis untuk melanjutkan ke jenjang Program Doktor di Sekolah Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Badan Litbang Kementrian Pertanian yang telah memberi bantuan beasiswa program Doktor, juga kepada program KKP3T kerjasama perguruan tinggi dengan litbang pertanian atas bantuan dana penelitian.

Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Rarah Ratih Aji Maheswari, DEA, selaku koordinator program Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc selaku Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor atas dorongan dan semangat yang diberikan selama mengikuti pendidikan di Fakultas Peternakan IPB. Kepada Dr. Rukmiasih, Ms, Dr. Paini Sri Widyawati, Dr. Tabita Naomi Ralahalu MSi, Eka Koswara, SPt, Laeli Komalasari SP, Isak Silamba SP, MSi, dan teman-teman angkatan 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya.

Disertasi ini saya persembahkan untuk isteri tercinta Jacqueline Latuny, anak-anakku Eiden Fredsa dan Gidion Methew yang selalu memberikan semangat dan doa selama penulis melaksanakan pendidikan di IPB, juga tak lupa kepada ayahanda Ledrick H. Matitaputty (alm) dan ibunda Anatje Silooy yang sangat saya cintai dan hormati karena lewat didikan dan kedisplinan yang penulis


(12)

dapatkaan selama ini, membuat penulis menjadi orang yang lebih tegar dan lebih bermanfaat, juga kepada bapak mertua (alm), ibu mertua beserta seluruh keluarga Yohanis (alm) dan Lenny, Nona dan Arie; Ferry dan Hanna; Butje dan Lenny; Jemmy dan Sundary, Leo dan Diana, Nona dan Bill di Amerika; Tonny dan Cindy, Abraham dan semua saudara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu penulis mengucapkan terima kasih, kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua kebaikan dan kemurahan yang diberikan selama ini.

Semoga disertasi ini dapat memberikan informasi baru dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan, khususnya di dunia peternakan dan bermanfaat bagi yang membacanya. Terima kasih.

Bogor, Januari 2012

Procula Rudlof Matitaputty


(13)

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 14 April 1967, sebagai anak ke Sembilan dari 10 orang bersaudara dari pasangan Ledrick Hendrik Matitaputty (Alm) dan Anatje Matitaputty/Silooy.

Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 2000 penulis diterima di program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2002. Di tahun 2008, mendapat kesempatan melanjutkan ke program Doktor pada perguruan tinggi yang sama dengan mendapat beasiswa dari Litbang Pertanian Kementerian Pertanian.

Penulis sementara ini bekerja sebagai staf peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, sejak tahun 1998 sampai sekarang.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xviii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Kerangka Pemikiran ... 4

Tujuan Penelitian ... 7

Manfaat Penelitian ... 7

Hipotesis Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA ……... 9

Itik Lokal ………... 9

Itik Cihateup (Anas plathyrynchos javanica)……... 11

Itik Alabio (Anas plathyryncos borneo) ………... 14

Persilangan (Crossbreeding) dan Heterosis ... 16

Karakteristik Penetasan ... 18

Pertumbuhan dan Bobot Badan ... 22

Konsumsi dan Konversi Ransum ……… 22

Karkas dan Daging Itik ……… 23

Flavor Daging ……… 27

Off-Flavor karena Faktor Perbedaan Genetik …….. 29

Off-Flavor karena Faktor Pakan ……… 30

Oksidasi Lipid ... 31

Analisis Sensori ... 34

PEFORMA REPRODUKSI DAN NILAI HETEROSIS ITIK ALABIO,CIHATEUP DAN HASIL PERSILANGANNYA …... 39

Pendahuluan ……... 39

Materi dan Metode Penelitian ... 40

Hasil dan Pembahasan ... 44

Simpulan ... 49

PENINGKATAN PERFORMA DAN PRODUKSI KARKAS ITIK MELALUI PERSILANGAN ITIK ALABIO DENGAN CIHATEUP ……….……… 51

Pendahuluan ………. 51


(15)

Hasil dan Pembahasan ... 59

Simpulan ... 72

PERBAIKAN KUALITAS SENSORI DAGING ITIK MELALUI HASIL PERSILANGAN ITIK ALABIO DENGAN CIHATEUP ……….……….. 75

Pendahuluan .……….. 75

Materi dan Metode Penelitian ... 77

Hasil dan Pembahasan ... 84

Simpulan …... 91

PEMBAHASAN UMUM ..……….……… 93

SIMPULAN DAN SARAN ..………. 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Performa produksi dan reproduksi itik Cihateup jantan

dan betina ... 12

2. Ukuran tubuh itik Cihateup betina dan jantan ... 13

3. Performa produksi itik Alabio betina ... 15

4. Karakteristik ukuran tubuh itik Alabio jantan dan betina ... 16

5. Perbandingan kualitas karkas itik peking, Muscovy dan persilangannya (jantan umur 12 minggu) ... 24

6. Persentase fertilitas itik AA, CC, AC dan itik CA ... 44

7. Persentase daya tetas itik AA, CC, AC dan itik CA ... 45

8. Persentase kematian embrio itik AA, CC, AC dan itik CA ... 46

9. Persentase nisbah kelamin itik AA, CC, AC dan itik CA ... 47

10. Nilai persentase heterosis fertilitas, daya tetas dan kematian embrio itik persilangan AC dan itik CA ... 48

11. Urutan berdasarkan nilai rataan yang tertinggi dan terendah untuk sifat-sifat yang diamati ... 49

12. Perhitungan pendugaan parameter pada crossbreeding ... 55

13. Rataan ukuran tubuh itik Alabio dan Cihateup umur 12 bulan… 61

14. Rataan bobot hidup awal (BHo), bobot hidup akhir (BHt) dan pertambahan bobot hidup (PBH) itik AA, CC, AC dan itik CA ... 62

15. Rataan konsumsi ransum kumulatif dan konversi ransum itik AA, CC, AC dan itik CA ... 64

16. Rataan bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan bagian-bagian potongan karkas komersial itik AA, CC, AC dan itik CA ... 66

17. Rataan persentase daging dan tulang itik AA, CC, AC dan itik CA ... 68

18. Nilai persentase (%) heterosis itik persilangan AC dan itik CA ... 69

19. Urutan jenis itik berdasarkan nilai rataan untuk setiap sifat yang diamati ... 70

20. Prediksi performa dan persentase potongan karkas pada berbagai persilangan antara itik Alabio dengan itik Cihateup ... 71

21. Kandungan lemak daging paha itik AA, CC, AC dan itik CA ... 84


(17)

22. Komposisi asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tidak

jenuh (ALTJ) ... 86 23. Nilai tingkat kesukaan (hedonik) daging itik bagian paha ... 87


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Alur kerangka pikir dalam menigkatkan produksi karkas dan

kualitas daging pada itik lokal ... 6

2. Itik Mallard berkepala hijau ... 9

3. Itik Indian Runner ... 10

4. Kerangka tubuh itik ... 10

5. Penampilan fisik itik Cihateup betina dan jantan serta warna bulu sayap ... 13

6. Penampilan fisik itik Alabio betina dan jantan serta warna bulu sayap ... 15

7. Proses penetasan telur itik (a) seleksi telur tetas; (b) fumigasi; (c) periode setter; (d) candling; (e) periode hatcher; (f) sexing ... 43

8. Penimbangan DOD jantan umur satu hari dan kandang indukan (brooder) untuk pemeliharaan sampai umur 3 minggu ... 58

9. Kandang pemeliharaan, pembesaran itik, penimbangan itik umur delapan minggu dan tempat proses pemotongan itik .... 58

10. Grafik bobot hidup (BH) itik AA, CC, AC dan itik CA ... 63

11. Grafik pertambahan bobot hidup (PBH) itik AA, CC, AC dan itik CA ... 64

12. Pengujian sensori terhadap atribut aroma dan rasa daging itik bagian paha ... 83

13. Atribut off-odor daging itik bagian paha dari masing-masing jenis itik ... 89

14. Hubungan antara kualitas atribut off-odor itik AA, CC, AC dan itik CA berdasarkan Analisis Komponen Utama (AKU) ... 90


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Lembaran kuisioner seleksi panelis ... 115

2. Format lembaran uji aroma sederhana dan uji rasa dasar ... 117

3. Format lembaran uji hedonik ... 118

4. Format lembaran uji segitiga ... 119

5. Format lembaran uji QDA ... 120

6. Sidik ragam persentase fertilitas itik AA, CC, AC dan itik CA ... 121

7. Sidik ragam persentase daya tetas itik AA, CC, AC dan itik CA ... 121

8. Sidik ragam persentase kematian embrio itik AA, CC, AC dan itik CA ... 121

9. Sidik ragam persentase nisbah kelamin jantan itik AA, CC, AC dan itik CA ... 122

10. Sidik ragam persentase nisbah kelamin betina itik AA, CC, AC dan itik CA ... 122

11. Sidik ragam bobot hidup awal itik jantan AA, CC, AC dan itik CA umur 8 minggu ... 122

12. Sidik ragam bobot hidup akhir itik jantan AA, CC, AC dan itik CA umur 8 minggu ... 123

13. Sidik ragam pertambahan bobot hidup itik jantan AA, CC, AC dan Itik CA umur 8 minggu ... 123

14. Sidik ragam konsumsi ransum itik AA, CC, AC dan CA umur 0 – 8 Minggu ... 123

15. Sidik ragam konversi ransum itik AA, CC, AC dan CA umur 0 – 8 Minggu ... 124

16. Sidik ragam persentase karkas itik AA, CC, AC dan itik CA umur 8 minggu ... 124

17. Sidik ragam persentase potongan komersial bagian dada itik AA, CC, AC dan itik CA ... 124

18. Sidik ragam persentase potongan komersial bagian paha itik AA, CC, AC dan itik CA ... 125

19. Sidik ragam persentase potongan komersial bagian punggung itik AA, CC, AC dan CA ... 125


(20)

20. Sidik ragam persentase potongan komersial bagian pinggul itik

AA, CC, AC dan CA ... 125 21. Sidik ragam persentase potongan komersial bagian sayap itik AA,

CC, AC dan CA ... 126 22. Sidik ragam persentase daging dada itik AA, CC, AC dan itik

CA ... 126 23. Sidik ragam persentase daging paha itik AA, CC, AC dan itik

CA ... 126 24. Sidik ragam persentase tulang dada itik AA, CC, AC dan itik

CA ... 127 25. Sidik ragam persentase tulang paha itik AA, CC, AC dan itik

CA ... 127 26. Sidik ragam rasio daging : tulang dada itik AA, CC, AC dan

itik CA ... 127 27. Sidik ragam rasio daging : tulang paha itik AA, CC, AC dan

itik CA ... 127 28. Uji hedonik atribut aroma dan rasa daging paha

rebus itik AA, CC, AC dan CA dengan Kruska Wallis ... 128 29.Pengukuran atribut off-odor daging itik bagian paha

berdasarkan metode QDA dari masing-masing jenis itik ... 128 30.Pengukuran bagian-bagian tubuh itik ... 129


(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging unggas merupakan salah satu sumber protein hewani yang mudah diperoleh masyarakat selain telur, karena harganya yang terjangkau untuk diperoleh. Daging unggas air, khususnya itik di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai salah satu sumber alternatif penghasil daging selain ayam pedaging, ayam kampung dan ayam petelur. Secara nasional konsumsi daging itik per kapita per tahun relatif masih rendah yakni sebesar 0,11kg/th dibandingkan daging ayam kampung sudah mencapai 0,65kg/th (Ditjenak dan Keswan 2010). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2010) populasi itik tahun 2010 sebanyak 45.292 juta ekor dengan tingkat penyebaran tertinggi berada di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Aceh Darusalam. Populasi itik yang cukup besar ini, belum mampu berperan sebagai sumber pangan andalan karena produktivitasnya masih rendah dan memiliki keragaman genetik yang tinggi, sehingga perlu suatu upaya perbaikan kearah yang lebih baik.

Peran itik lokal, baru sebatas sebagai sumber telur, sedangkan dagingnya belum banyak dimanfaatkan, hal ini juga yang memperlambat kepopuleran daging itik. Harus disadari bahwa Indonesia tidak memiliki itik tipe pedaging seperti halnya itik peking asal negara China. Itik-itik lokal yang ada ditangan masyarakat merupakan itik tipe petelur. Sebagai penghasil telur, itik-itik lokal tergolong cukup tinggi produksinya, oleh karenanya karakteristik bentuk badannya ramping serta kecil sementara perototan (daging) sangat rendah.

Mengingat tuntutan akan daging itik semakin besar dan ada kecenderungan untuk terus meningkat, maka tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan peluang usaha itik potong dengan memanfaatkan itik jantan petelur dengan sistem pemeliharaan intensif, dan dalam waktu 8 sampai 10 minggu sudah bisa dijual. Pemanfaatan itik jantan petelur sebagai sumber penghasil daging yang potensial dengan jalan pemeliharaan seperti ini masih jarang dilakukan. Pada hal ketersediaan itik jantan petelur cukup banyak dihasilkan saat penetasan. Peluang untuk memperoleh itik jantan sebesar 50% : 50% artinya saat menetas rasio antara


(22)

2

jantan dan betina sama jumlahnya, sehingga peluang untuk memperoleh itik jantan sangat besar.

Pemeliharaan itik jantan petelur sebagai itik potong masih dilakukan dalam jumlah relatif sedikit dan umumnya masih ekstensif. Dampak dari sistem pemeliharaan ini adalah pertumbuhan itik lambat dan kualitas daging yang dihasilkan rendah. Pada hal harga jual itik maupun produknya berupa daging memiliki harga yang mahal dipasaran dan tidak kalah bersaing dengan daging unggas lain seperti daging ayam kampung dan ayam pedaging.

Faktor yang menjadi persoalan utama penyebab rendahnya permintaan daging itik yakni masih banyak konsumen yang belum terbiasa dengan rasa dan bau khas daging itik, terutama yang memberi sensasi penyimpangan (off-flavor) seperti bau amis/anyir. Namun dibeberapa daerah yang menjadi sentra penghasil itik, pemanfaatan daging itik sebagai bahan pangan tradisional bahkan pangan nasional sudah sangat populer, misalnya itik betutu merupakan masakan khas dari Bali, gulai itik hijau dari Sumatera Barat, panggang sultan dari Kalimantan Selatan, itik goreng, opor itik dan itik asap dari Jawa Tengah dan masih banyak lagi menu masakan dari tiap-tiap daerah dengan ciri khasnya masing-masing.

Perkembangan pasar akhir-akhir ini menunjukkan adanya peningkatan konsumsi daging itik, karena daging itik sudah menjadi makanan favorit mulai dari kelas bawah sampai atas. Hal ini dapat dilihat dengan semakin berkembangnya usaha-usaha warung makan, restoran dan hotel yang menyajikan menu khusus daging itik, baik dari itik lokal maupun itik impor dengan berbagai macam variasi masakan dari harga yang rendah sampai yang mahal. Restoran Cina dan di beberapa hotel berbintang di Jakarta menyediakan menu khusus dari olahan daging itik seperti plum duck, duck balls, steam duck, tasty duck, pot cooked duck dan bebek Cina bumbu hong, yang berasal dari daging itik peking yang harus diimpor dengan harga yang mahal.

Peningkatan konsumsi daging itik yang terjadi semenjak dua tahun terakhir perlu diimbangi dengan peningkatan ketersediaan itik potong. Hal ini akan membuka peluang usaha baru dibidang produksi itik potong dengan memanfaatkan itik jantan petelur dalam jumlah besar maupun usaha berupa itik olahan dalam berbagai bentuk masakan.


(23)

Berkembangnya usaha itik potong di tanah air, menyebabkan banyaknya itik-itik betina juga ikut dipotong untuk memenuhi permintaan daging itik yang semakin meningkat. Hal ini merupakan permasalahan yang sementara dihadapi peternak itik potong, dan berusaha berpikir untuk bagaimana dapat menghasilkan itik-itik yang berpotensi sebagai penghasil daging dalam waktu yang cepat. Selama ini pengembangan dan proses seleksi untuk mendapatkan itik potong yang produktif sebagai penghasil daging berjalan lamban jika dibandingkan dengan ayam ras yang sudah lebih maju.

Upaya perbaikan produktivitas itik lokal dapat dilakukan melalui perbaikan genetik maupun non genetik. Kawin silang (crossbreeding) merupakan salah satu cara yang umumnya sudah dikenal masyarakat bahkan sudah digunakan dalam industri peternakan sebagai alat untuk memperbaiki produktivitas ternak, jika fenotip yang dikehendaki merupakan kombinasi dari galur-galur yang ada, atau untuk memperbaiki efisiensi produksi melalui penggunaan galur tetua jantan atau betina yang spesifik.

Perkawinan antar kelompok dapat dilakukan antar galur, rumpun, maupun antar bangsa dan biasanya dilakukan sebagai strategi produksi untuk memanfaatkan keunggulan hibrida yang disebut heterosis. Penelitian-penelitian yang dapat menjadi landasan bagi aplikasi teknologi persilangan untuk mendapatkan itik potong masih belum banyak diteliti di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi hasil-hasil temuan dari beberapa penelitian sebelumnya.

Atas dasar pertimbangan di atas, telah dilakukan penelitian dengan menyilangkan dua jenis itik yakni itik Cihateup yang berasal dari Jawa Barat dan itik Alabio asal Kalimantan Selatan yang memiliki sifat-sifat unggul dalam produksi daging. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan itik potong yang memiliki performa dan produksi karkas yang tinggi serta penampilan kualitas daging yang kurang bau amis, sehingga dapat mengangkat kepopuleran daging itik lokal sekaligus dapat mengurangi ketergantungan daging itik impor dari luar.


(24)

4

Kerangka Pemikiran

Itik lokal yang ada di Indonesia umumnya merupakan itik tipe petelur. Sebagai itik tipe petelur, produksi telur yang dihasilkan tergolong tinggi, konversi ransum untuk telur lebih baik dibandingkan untuk daging. Hal ini sesuai dengan bentuk badan itik lokal yang merupakan tipe petelur yakni ramping dan kecil.

Saat ini, telah diupayakan untuk menghasilkan daging itik melalui pengembangan itik-itik yang berpotensi sebagai penghasil daging, seperti pemanfaatan itik jantan petelur, entok dan mandalung (serati) namun kurang berhasil. Hal ini diduga karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap itik potong. Dibandingkan dengan ayam kampung pemanfaatan daging itik lokal masih sangat rendah, karena tingkat penerimaan sebagian besar masyarakat terhadap daging itik lokal masih kurang, walaupun di beberapa daerah daging itik lokal merupakan hidangan unggulan.

Upaya peningkatan konsumsi daging itik sebaiknya didasarkan pada penyebab kurang diterimanya daging itik oleh konsumen. Beberapa penyebab yang dapat diutarakan adalah warna daging merah, tekstur alot dan aromanya yang khas. Aroma daging itik merupakan penyebab yang kurang disukai oleh konsumen. Walaupun daging itik mempunyai bau khas yang oleh konsumen dikategorikan mempunyai sensasi off-odor, namun ternyata intensitasnya berbeda antar jenis itik.

Selain faktor-faktor di atas, kemungkinan konsumsi daging itik yang rendah karena ketersediaan itik potong sendiri yang masih kurang, dan usaha pengembangan itik potong juga berjalannya lamban. Semuanya ini ikut mempengaruhi rendahnya konsumsi dan kepopuleran daging itik itu sendiri. Lain halnya dengan itik impor seperti peking, yang memiliki sifat pertumbuhan cepat dan kualitas daging yang baik, dan usaha pengembangannya yang sudah maju.

Sampai saat ini, belum ada usaha pembibitan untuk menghasilkan itik potong yang ditangani dengan baik oleh instansi pemerintah maupun swasta semuanya masih diusahakan secara tradisional oleh masyarakat, dengan memanfaatkan itik dari hasil penetasan. Begitu pula dengan hasil produk berupa daging yang di pasarkan umumnya berasal dari itik yang sudah tua dengan cara pemeliharaan tradisional, sehingga daging yang dihasilkan kualitasnya rendah.


(25)

Sumber daging itik yang di pasarkan sebagian besar berasal dari itik jantan petelur yang muda maupun yang tua bahkan itik betina yang sudah habis masa bertelur (afkir).

Upaya untuk menjawab permasalahan tersebut, dilakukan suatu penelitian terhadap itik-itik lokal yang ada di Indonesia yang berpotensi sebagai itik potong. Hardjosworo et al. (2001) menyatakan bahwa potensi untuk mengembangkan produksi daging, dari unggas air lokal sangat besar karena teknologinya tidak sulit dikuasai dan mudah dilakukan, misalnya teknologi persilangan. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan melakukan kawin silang (crossbreeding) untuk menghasilkan itik jantan hibrida yang memiliki performa dan produksi karkas yang tinggi serta citarasa daging yang kurang bau amis/anyir.

Itik Cihateup asal Jawa Barat dan itik Alabio asal Kalimantan Selatan, memiliki keunggulan masing-masing dalam hal produksi karkas dan daging. Itik Cihateup, dibandingkan itik Alabio mempunyai kelebihan dalam hal persentase karkas yaitu bagian-bagian yang berdaging tebal (dada dan paha) lebih besar. Namun dari segi penampilan dan aroma, daging itik Cihateup mempunyai kelemahan yaitu warna daging lebih merah gelap dan bau amis yang tajam dibandingkan itik Alabio (Randa et al. 2007).

Hubungan kekerabatan antara itik lokal berguna untuk pengembangan perbibitan itik ke depan, demikian pula dengan jarak genetik yang merupakan tingkat perbedaan gen (perbedaan genom) di antara suatu populasi atau spesies. Hetzel (1985) melaporkan bahwa jerak genetik itik Cihateup dengan itik Alabio jauh, bila dibandingkan hubungan antara itik Cihateup dengan itik-itik yang ada di pulau Jawa. Menurut Noor (2008) ternak yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan jika disilangkan maka keturunannya cenderung menampilkan performa yang lebih baik dari rataan performa tetuanya untuk sifat-sifat tertentu dan ini biasanya disebut hybrid vigor. Heterosis dinyatakan ada jika rataan performa ternak hasil persilangan melebihi rataan tetua murninya.

Pada Gambar 1 terlihat alur kerangka pikir suatu permasalahan yang dihadapi itik lokal dan pemanfaatnya sebagai sumber daging di masyarakat. Permasalahan yang ditemui baik dari segi produksi karkas, kualitas daging, tingkat konsumsi daging dan usaha pengembangan itik potong hingga sekarang ini


(26)

6

belum dapat dipecahkan. Harapan dari penelitian ini dapat memecahkan masalah yang dihadapi itik lokal sebagai sumber daging alternatif.

Penelitian ini bertujuan mempelajari fenomena heterosis dari persilangan dan menentukan kombinasi persilangan yang terbaik dalam menghasilkan produksi dan kualitas daging serta melihat perubahan performa secara fisik maupun kimia akibat persilangan.

Gambar 1 Alur kerangka pikir dalam menigkatkan produksi karkas dan kualitas daging pada itik lokal

Itik lokal (tipe petelur)

Itik betina Itik jantan

SUMBER DAGING Sebagai itik potong

Crossbreeding : untuk meningkatkan produktivitas itik jantan lokal sebagai itik potong; menghasilkan itik jantan siap potong dengan kualitas daging yang kurang bau amis/anyir.

Meningkatkan minat dan daya beli konsumen terhadap daging itik lokal, sekaligus mengurangi ketergantungan daging itik impor.

Mengembangkan usaha itik jantan potong melalui penyediaan bibit itik potong.

PEMECAHAN MASALAH

Pemanfaatan

Itik petelur Itik betina afkir Itik pejantan Itik potong

Ketersediaan itik potong sangat terbatas sementara permintaan daging itik terus meningkat. Produksi daging itik lokal rendah, dagingnya alot, dan bau anyir/amis tajam. Pengembangan usaha itik potong, berjalan lamban.


(27)

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari fenomena heterosis pada persilangan timbal balik (reciprocal) antara itik Cihateup dan itik Alabio untuk beberapa sifat produksi karkas dan kualitas daging.

2. Menentukan kombinasi persilangan antara itik Cihateup dan Alabio, yang terbaik dalam produksi karkas dan kualitas daging.

3. Mengetahui perubahan performa secara fisik meliputi pertumbuhan, konversi pakan, produksi karkas, potongan komersial karkas, daging serta secara kimia meliputi perubahan kandungan lemak, asam-asam lemak dan perubahan sensori berupa aroma dan rasa daging yang terjadi akibat persilangan.

Manfaat Penelitian

1. Menghasilkan informasi ilmiah tentang salah satu cara dalam meningkatkan produksi karkas dan kualitas daging pada itik lokal. 2. Sebagai dasar pembentukan galur sintetik itik potong di Indonesia. 3. Meningkatkan kepopuleran dan minat konsumen terhadap daging itik

sekaligus memberikan kesempatan bagi pengusaha, masyarakat untuk berusaha di bidang usaha unggas air yakni itik potong.

Hipotesis Penelitian

1. Persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan Alabio dapat meningkatkan produksi karkas dan kualitas daging dibandingkan dengan tetuanya.

2. Itik hibrida, hasil persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan Alabio dapat memberikan cita rasa (flavor) daging yang kurang bau amis/anyir.


(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Itik Lokal

Berdasarkan klasifikasi zoologis, itik berada dalam kelas: Aves, ordo: Anseriformes, famili: Anatidae, genus: Anas, dan spesies: platyrhynchos. Para ahli sejarah perkembangan unggas telah sepakat bahwa itik Mallard (Gambar 2) merupakan tetua itik, yang menurunkan itik-itik yang dibudidaya sekarang ini, yang juga disebut Common mallard atau Green headed mallard karena warna bulu kepala yang jantan adalah hijau. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa itik yang ada di Indonesia merupakan itik pendatang yang telah mengalami domestikasi. Dibandingkan dengan leluhurnya, ternak itik yang dibudidayakan saat ini telah banyak mengalami perubahan dalam bentuk badan, penampilan luar dan tingkah laku. Hal ini merupakan akibat, kemampuan itik dalam beradaptasi dengan lingkungan dimana itik tersebut berkembangbiak dan akibat campur tangan manusia selama proses domestikasi (Crawford 1993).

Pada tahun 1876 kapten kapal Skotlandia selain membawa teh, juga membawa Indian runner dari Malaysia, ke Dumfriesshire, Skotlandia. Itik ini berkembangbiak sebagai itik petelur produktif di Skotlandia, Belgia dan Belanda, dan digunakan juga untuk menghasilkan itik hibrida melalui persilangan dengan Muscovy. Pada abad kedua puluh, dilakukan kontes di Inggris, dengan menampilkan itik ini karena produksi telurnya dapat mencapai 300 butir telur per tahun. Itik Indian runner juga diperkenalkan di Amerika Utara pada abad kedua puluh (Dohner 2001).


(29)

Itik lokal yang ada di Indonesia merupakan keturunan dari itik Indian Runner. Ciri khas dari itik Indian Runner adalah memiliki badan relatif langsing dan mampu berdiri tegak, serta larinya cepat, untuk itulah mengapa ada alasan itik tersebut dinamakan Indian Runner (Gambar 3).

Paruh

Kepala

Leher

Punggung

Femur Humerus

Radius

Ulna Metacarpus

Jari ketiga

Sternum

Tibia

Tarsometatarsus Gambar 3 Itik Indian Runner


(30)

11

Itik terdiri atas tipe pedaging dan tipe petelur. Kedua tipe tersebut dapat dibedakan dari postur tubuhnya. Dada itik tipe pedaging lebih mendekati sejajar dengan lantai, sedangkan itik tipe petelur lebih tegak lurus terhadap lantai. Itik yang ada di Indonesia, umumnya dimanfaatkan sebagai penghasil telur, sementara dagingnya belum banyak dimanfaatkan.

Di Indonesia saat ini terdapat berbagai bangsa itik lokal yang telah beradaptasi dengan baik pada lingkungan tempat mereka dikembangkan. Penamaan bangsa-bangsa itik lokal tersebut umumnya berdasarkan letak geografis dan lingkungan serta sistem pemeliharaan yang berbeda-beda di masing-masing wilayah asalnya. Selain itu diduga telah terjadi diferensiasi genetik yang mengarah pada terbentuknya bangsa-bangsa yang memiliki ciri-ciri fisik dan tingkat produksi yang berbeda-beda pula.

Itik memiliki kemampuan beradaptasi yang cukup tinggi, sehingga dapat hidup pada lingkungan barunya. Kemampuan tersebut menurut Hardjosworo (1995), merupakan sifat genetik yang bernilai tinggi pada ternak lokal. Setiap itik lokal mempunyai karakteristik morfometrik berbeda yang diperlihatkan dengan ukuran dan bentuk satu dengan yang lain. Terbentuknya karakteristik fenotipik ini kemungkinan disebabkan oleh seleksi alam yang dialami itik di daerah asalnya dalam waktu yang lama.

Beberapa jenis itik lokal yang banyak dipelihara masyarakat di Pulau Jawa di antaranya adalah itik Tegal, itik Mojosari, itik Magelang, itik Cirebon, dan itik Cihateup, sementara itik yang ada di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan ada itik Alabio, di Sumatera ada itik pegagan, di Bali ada itik Bali, dan masih banyak lagi ternak itik yang tersebar di seluruh Indonesia, dan diberi nama sesuai dengan asal daerahnya.

Itik Cihateup (Anas platyrhynchos Javanica)

Sesuai dengan namanya itik ini berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Selain berkembang di Kabupaten Tasikmalaya, itik ini juga berkembang baik di Kabupaten Garut. Itik Cihateup betina memiliki potensi yang cukup besar sebagai itik petelur, dengan kemampuan produksi sekitar 200 butir/tahun dan daya tetas telur 65.1%. Itik Cihateup jantan berpotensi sebagai penghasil daging karena kemampuan


(31)

pertumbuhan yang baik. Bobot potong itik pejantan berkisar antara 1398-1550g, dengan nilai konversi ransum sekitar 4.57- 6.7 (Wulandari et al. 2005). Tabel 1 memperlihatkan performa produksi dan reproduksi itik Cihateup jantan dan betina.

Itik Cihateup memiliki kemiripan dengan itik-itik lainnya yang ada di Jawa, seperti itik Kerawang, itik Cirebon, maupun itik Tegal. Walaupun demikian, secara genetik terdapat keragaman di antara itik-itik tersebut (Muzani et al. 2005). Lebih dekatnya kesamaan sifat antara itik Cihateup dengan beberapa itik di sekitar Jawa Barat dan Jawa Tengah dibandingkan dengan itik Alabio, sebab dalam dendogram jarak genetik antara itik Cihateup dengan itik-itik lokal yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah lebih dekat kekerabatannya dibandingkan dengan itik Alabio dari Kalimantan Selatan (Hetzel 1986).

Tabel 1 Peforma produksi dan reproduksi itik Cihateup jantan dan betina

Uraian Jantan Betina

pH semen (itik umur 28 minggu) 7.81)

- Warna semen (itik umur 28 minggu) putih susu-putih cream1) - Konsistensi semen (itik umur 28 minggu) sedang1)

-

Bobot telur (g) (itik umur 20 minggu) - 68.02)

Indeks telur (%) - 80.192)

Indeks telur (%) - 81.051)

Fertilitas (%) (kawin scr alami) - 36.752)

Fertilitas (%) (dengan IB) - 90.941)

Daya tetas (%) - 65.122)

Rasio jantan:betina 12) 22)

Rasio jantan:betina 11)

11) Bobot meri jantan (g) (umur 1 hari) 32.451)

-

Bobot meri betina (g) (umur 1 hari) - 33.331)

Bbt bdn pertama bertelur (g) - 1503.171)

Umur masak kelamin (hari) - 145.751)

Bobot badan 8 minggu (g) 9723) 951.13)

Bobot badan 18 minggu (g) 1452.03)

1486.73)

Bobot badan 14 minggu (g) 15912) 13882)

1)Suretno 2007; 2)Wulandari et al. 2005; 3)Susanti dan Prasetyo 2007

Muzani et al. (2005) menyatakan bahwa itik Cihateup memiliki beberapa ukuran tubuh seperti ukuran lingkar dada yang lebih besar dibandingkan dengan itik Cirebon dan Mojosari dan itu dapat dijadikan salah satu indikator bahwa itik Cihateup memiliki potensi sebagai penghasil daging. Tabel 2 memperlihatkan ukuran tubuh itik Cihateup betina dan jantan.


(32)

13

Tabel 2 Ukuran tubuh itik Cihateup betina dan jantan

Uraian Betina Jantan

Panjang paruh (cm) 6.21)

6.71)

Lebar paruh (cm) 2.81) 2.91)

Tinggi kepala (cm) 4.01) 4.01)

Panjang kepala (cm) 6.61) 6.71)

Panjang leher (cm) 19.61)-21.82) 22.11)

Panjang sayap (cm) 29.22) -

Lingkar dada (cm) 28.82) -

Dalam dada (cm) 14.72) -

Panjang badan (cm) 22.92) -

Lingkar tarsometatarsus (cm) 4.32) -

Panjang dada (cm) 10.42) -

Panjang jari ke-3 (cm) 7.82) -

Panjang tarso (cm) 4.92) -

Panjang tibia (cm) 11.22) -

Panjang femur (cm) 7.52) -

Panjang maxilla (cm) 5.82) -

1)

Wulandari et al. 2005;2)Muzani et al. 2005

Gambar 5 Penampilan fisik itik Cihateup betina dan jantan serta warna bulu sayap Itik Cihateup betina : memiliki

warna bulu coklat kemerahan bertotol coklat tua, paruh dan kaki hitam

Itik Cihateup jantan : memiliki warna bulu coklat keabuan sampai kehitaman dibagian punggung dan leher, ekor hitam, kaki dan paruh hitam

Warna bulu sayap itik Cihateup betina coklat kemerahan dengan totol coklat

Warna bulu sayap itik Cihateup jantan, coklat keabuan sampai kehitaman


(33)

Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo)

Sesuai dengan namanya, itik Alabio adalah unggas air lokal yang berkembang di daerah Kabupaten Amuntai Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan. Itik Alabio merupakan salah satu galur itik lokal yang sudah lama dikenal masyarakat Indonesia. Umumnya itik ini dipelihara dengan sistem semi intensif sesuai geografis di Kalimantan yang memiliki banyak sungai dan rawa. Kondisi alam tersebut sangat mendukung dalam perkembangan itik Alabio. Meskipun tergolong sebagai itik petelur, itik Alabio jantan juga mempunyai potensi besar sebagai penghasil daging, karena memiliki postur tubuh yang besar.

Secara morfologi, itik Alabio mudah dibedakan dengan itik lokal dari Jawa pada umumnya. Beberapa karakteristik yang dimiliki itik Alabio adalah kalau berdiri tidak terlalu tegak dan membuat sudut 45º dengan dasar tanah. Itik Alabio jantan dewasa warna kepala bagian atas hitam kelam mengkilat, warna bulu bagian dada coklat cerah, sedangkan bulu bagian punggungnya ke abu-abuan dan di ujung-ujung sayapnya terdapat kombinasi warna hijau kebiru-biruan mengkilap (Suryana 2011). Pada bagian ujung ekor terdapat bulu yang melengkung ke atas dan kaki serta paruhnya berwarna kuning jingga. Pada itik betina, memiliki warna coklat kelam di bagian kepala, dada kecoklatan, badan berwarna coklat totol-totol, kaki berwarna kuning, bagian atas mata berwarna cerah dengan garis kelam menyerupai alis mata. Paruh berwarna kuning jingga dengan bintik hitam pada ujungnya (Setioko dan Istiana 1999; Suryana 2011).

Menurut Suparyanto (2005) itik Alabio mempunyai fenotipik yang berbeda dengan galur itik lokal lainnya, yakni pada pola warna bulunya dan memiliki warna bulu yang khas. Itik Alabio bila dipelihara secara intensif dapat berproduksi telur sekitar 214-250 butir/ekor/tahun, dengan puncak produksi 92.70% dengan bobot badan pertama bertelur 1693.8g, bobot telur pertamanya 58.4g-63.88g dan dewasa kelamin umur 150.3-179 hari (Rohaeni dan Setioko 2001; Gunawan et al. 1994; Susanti 2003; Purba dan Manurung 1998). Menurut Susanti et al. (1998) bobot badan itik Alabio jantan dan betina umur 8 minggu dapat mencapai 1233 dan 1050g/ekor. Tabel 3 memperlihatkan performa produksi itik Alabio betina.


(34)

15

Tabel 3 Peforma produksi itik Alabio betina

Uraian Betina

Bobot putih telur (g) 42.191)

Bobot kuning telur (g) 17.981)

Haugh Unit (HU) 91.741)

Bobot telur (g) 56.392)-60.111)

Tebal kerabang (mm) 35.923)-36.332)

Rataan produksi telur (% duck-day) minggu 1–32 57.84)

Bobot badan pertama bertelur (g) 1630.272)

Umur pertama bertelur (minggu) 24.272)

1)

Prasetyo et al. 2001; 2)Prasetyo dan Susanti 2000; 3)Purba et al. 2006; 4)Susanti et al. 2005

Mengingat peranan itik Alabio yang cukup besar di pedesaan, bukan saja sebagai sumber pangan berupa telur dan daging, tetapi yang terpenting adalah dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan dapat membantu masyarakat dalam pemenuhan gizi berupa protein hewani. Pemerintahan daerah provinsi Kalimantan

Gambar 6 Penampilan fisik itik Alabio betina dan jantan serta warna bulu sayap Itik Alabio betina : memiliki

warna bulu coklat kemerahan, bertotol coklat tua, paruh dan kaki kuning

Itik Alabio jantan : memiliki warna bulu keabuan dibagian punggung dan leher, ekor hitam, kaki dan paruh kuning

Warna bulu sayap itik Alabio betina coklat bertotol, dan sebagian berwarna hijau kebiruan

Warna bulu sayap itik Alabio jantan,keabuan dan ada sebagian warna hijau kebiruan


(35)

Selatan berupaya untuk tetap menjaga kelestarian itik Alabio, bahkan telah menjadikannya sebagai salah satu sumber plasma nutfah daerah bahkan nasional (Suryana 2011; Deptan 2006). Hardjosworo (1995), mengatakan bahwa ternak lokal yang telah mengalami seleksi alam maupun buatan oleh manusia memiliki daya adaptasi baik dengan lingkungannya. Tabel 4 memperlihatkan karakteristik ukuran tubuh itik Alabio jantan dan betina.

Tabel 4 Karakteristik ukuran tubuh itik Alabio jantan dan betina

Uraian Betina Jantan

Panjang paruh (cm) 5.81) 6.61)

Lebar paruh (cm) 2.51) 2.71)

Panjang leher (cm) 19.61) 22.31)

Lebar dada (cm) 8.21) 8.71)

Lingkar dada (cm) 28.31) 29.11)

Dalam dada (cm) 8.21) 8.51)

Panjang punggung (cm) 18.31) 20.21)

Panjang sayap (cm) 26.31)-27.42) 24.31)-28.62)

Panjang tibia (cm) 10.11)-11.12) 10.561)-10.62)

Panjang femur (cm) 5.11)-6.52) 6.51)-5.92)

Panjang tarsometatarsus (cm) 6.71) 6.51)

Lingkar tarsometatarsus (cm) 4.61) 4.71)

Panjang jari ke-3 (cm) 5.41) -6.22) 3.71)-5.82)

1)

Susanti dan Prasetyo 2007; 2)Wahono 2005

Persilangan (Crossbreeding) dan Heterosis

Itik peking, angsa (geese, swan) dan mule duck merupakan sumber-sumber daging dari ternak unggas air yang sudah diterima oleh masyarakat di luar negeri. Indonesia dengan jumlah populasi itik yang cukup tinggi dapat memanfaatkan itik lokal tidak hanya sebagai penghasil telur tetapi juga penghasil daging. Potensi untuk mengembangkan produksi daging itik sangat besar karena teknologinya tidak sulit untuk diterapkan.

Upaya meningkatkan produktivitas itik lokal, baik produksi telur maupun daging telah banyak dilakukan penelitian maupun pengkajian dengan teknologi persilangan. Teknologi persilangan, misalnya antara entok jantan dengan itik betina lokal atau sebaliknya, yang disebut itik mandalung (serati) (Hardjosworo et al. 2001; Setioko et al. 2002; Setioko 2003; Suparyanto 2005), juga persilangan antara itik Alabio dengan Mojosari yang disebut itik MA (Prasetyo et al. 2005),


(36)

17

dilakukan untuk menghasilkan dan meningkatkan produktivitas itik lokal sebagai itik potong unggul.

Perkawinan silang adalah perkawinan antar individu yang tidak berkerabat, baik dalam kelompok genotipe yang sama maupun antar kelompok genotipe berbeda. Perkawinan antar kelompok genotipe yang berbeda dapat dilakukan antar galur, rumpun, maupun antar bangsa, dan biasanya dilakukan sebagai strategi produksi untuk memanfaatkan keunggulan hibrida, yang disebut heterosis dan nilai dari heterosis dapat bernilai positif atau negatif (Noor 2008).

Persilangan yang mugkin dilakukan pada dua bangsa unggas menurut Noor (2001) adalah persilangan reciprocal, backcross, sintetik optimum atau sintetik seimbang. Persilangan beckcross dilakukan pada ternak betina hasil biak silang yang dikawinkan dengan ternak jantan dari salah satu bangsa tetua; persilangan sintetik seimbang/optimum merupakan bangsa baru yang dihasilkan dengan cara mencampur gen-gen dari sejumlah bangsa tetuanya. Hasil prediksi dari setiap persilangan dapat dilakukan apabila telah diperoleh parameter-parameter seperti direct additive effect, maternal additive effect, direct dominance effect dan maternal dominance effect.

Beberapa perkawinan silang antar bangsa pada itik lokal, telah berhasil menunjukkan adanya tingkat heterosis yang nyata untuk beberapa sifat produksi telur. Prasetyo dan Susanti (2000), telah melakukan penelitian dengan menyilangkan itik Mojosari dan itik Alabio (MA), hasil persilangannya mampu menunjukkan keunggulan yang dinyatakan dalam nilai heterosis pada produksi telur sampai 3 bulan sebesar 11.7%. Selanjutnya Ketaren et al. (2000) melaporkan bahwa itik persilangan tersebut menghasilkan rataan produksi telur setahun sebesar 69.4% dan FCR 4.1. Hal ini mengindikasikan bahwa itik MA memiliki rataan produksi telur yang lebih baik dibandingkan dengan itik-itik lokal yang ada di Indonesia dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai bibit niaga.

Persilangan antar itik Tegal dan itik Mojosari yang diteliti oleh Prasetyo (2007) tidak menimbulkan adanya heterosis, sehingga disimpulkan bahwa persilangan antar ke dua jenis itik tersebut tidak akan memberikan keuntungan. Noor (2008) mengatakan bahwa laju peningkatan heterozigositas akibat silang luar tergantung pada perbedaan genetik dari tetuanya. Makin jauh hubungan


(37)

kekerabatan antara kedua ternak tersebut, maka makin sedikit kesamaan gen-gennya dan makin besar pula tingkat heterozigositasnya.

Karakteristik Penetasan

Menetaskan telur itik pada mesin tetas setidaknya agak sedikit lebih sulit daripada menetaskan telur ayam. Hal ini dikarenakan waktu yang dibutuhkan untuk menetaskan telur itik lebih lama yakni sekitar 28 hari dibandingkan ayam hanya 21 hari. Pori-pori kerabang telur itik lebih besar dari telur ayam, sehingga mudah bagi bakteri masuk, apalagi keberadaan kandang itik yang selalu basah dan lembab dapat mempercepat pertumbuhan bakteri pada kerabang telur akibatnya telur cepat rusak (Kortlang 1985). Selanjutnya dikatakan pula bahwa keberhasilan suatu penetasan haruslah memperhatikan hal-hal seperti temperatur selama periode setter dan periode hatcher, kelembaban mesin tetas, pemutaran telur tetas, dan ventilasi mesin tetas.

Informasi mengenai karakteristik penetasan pada ternak itik masih jarang di lakukan dan dipublikasi, pada hal informasi seperti ini menjadi sangat penting untuk menghasilkan DOD yang berkualitas dan bernilai ekonomis. Karakteristik penetasan yang perlu menjadi diperhatikan antara lain fertilitas, daya tetas, kematian embrio dan nisbah jenis kelamin.

Fertilitas. Fertilitas telur merupakan perbandingan antara telur yang bertunas dengan total telur tetas yang dimasukkan ke dalam mesin penetasan. Fertilitas merupakan persentase telur yang memperlihatkan adanya perkembangan embrio tanpa memperhatikan telur itu menetas atau tidak dari sejumlah telur yang dierami. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah perbandingan jantan dan betina, umur induk, panjang waktu penyimpanan telur untuk ditetaskan dan pengelolaan telur yang dilakukan (Ensminger 1992). Telur-telur yang ditetaskan, fertil dan infertil dapat diketahui dengan melakukan peneropongan (candling). Peneropongan dapat dilakukan pada hari ketiga - ketujuh dengan memperhatikan pembuluh darah dalam telur (North dan Bell 1990).

Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) dalam penelitiannya melihat pengaruh bangsa itik terhadap performa reproduksi untuk sifat fertilitas pada itik Alabio diperoleh sebesar 79.18% dan Mojosari 74.97% yang dilakukan melalui


(38)

19

inseminasi buatan (IB). Hasil ini tidak menunjukkan perbedaan, bertarti fertilitas tidak dipenagruhi oleh bagsa itik, akan tetapi terhadap daya tetas berpengaruh sangat nyata. Selanjutnya Prasetyo et al. (2000) melaporkan bahwa fertilitas itik persilangan antara itik Mojosari dengan Alabio (MA), maupun reciprocal (AM) yang di IB maupun kawin secara alam masing-masing diperoleh sebesar 82.19%, dan 72.71% untuk yang di IB, sementara 75.23% dan 84.30% untuk yang kawin secara alami. Disini terlihat bahwa peran teknologi melalui proses perkawian baik secara alami atau IB sangat berpengaruh dan sangat penting untuk dapat menigkatkan tingkat fertilitas telur itik.

Hasil perkawinan antara pejantan entok (E) dengan betina itik Peking x Alabio (PA) maupun Peking x Mojosari (PM) menghasilkan itik Serati yang diberinama EPA dan EPM, menunjukkan angka fértilitas sebesar 74.14% untuk EPA dan 69.78% untuk EPM (Sopiyana dan Prasetyo 2007). Namun demikian hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai fertilitas tetuanya yaitu itik silangan Pekíng x Alabio (PA) dan Pekíng x Mojosari (PM) dimana angka fertilitasnya adalah 92.2% untuk PA dan 93.8% untuk PM (Suparyanto 2005). Begitu pula Setioko et al. (2004) yang juga melakukan persilangan antara 2 bangsa yakni itik Peking dengan itik Alabio mendapatkan angka fertilitas sebesar 92.81% masih lebih tinggi dari perkawinan 3 bangsa yang dilakukan Sopiyana dan Prasetyo (2007).

Wulandari (2005) melaporkan tingkat fertilitas telur itik Cihateup asal Tasikmalaya dan Garut dengan sistem perkawian secara alami masing-masing sebesar 36.19% dan 61%, sedangkan Suretno (2007) melaporkan bahwa fertilitas itik Cihateup asal Tasikmalaya dan asal Garut dengan inseminasi buatan (IB) masing-masing sebesar 90.94% dan 90.75%. Perbedaan proses perkawinan baik secara alami maupun IB sangat mempengaruhi tingkat fertilitas telur tetas yang diperoleh.

Daya tetas. Daya tetas adalah persentase telur yang menetas dari total telur yang fertil. Daya tetas akan turun dengan lamanya waktu penyimpanan telur. Telur yang baik untuk ditetaskan dan memiliki daya tetas paling baik bila telur baru disimpan selama satu sampai empat hari. Pada telur ayam yang disimpan selama 1 sampai 3 hari dengan suhu penyimpanan telur 30ºC dapat menghasilkan


(39)

daya tetas sebesar 77.1%, akan tetapi jika telur tetas disimpan selama 5 sampai 7 hari dengan suhu penyimpanan 15ºC dapat menghasilkan daya tetas 76.2% (Kortlang 1985). Disini terlihat begitu besar peranan suhu penyimpanan terhadap daya tetas telur.

Daya tetas perkawinan 3 bangsa antara pejantan entok (E) dengan betina itik PA maupun betina itik PM untuk menghasilkan itik Serati menunjukkan persentase sebesar 47.67% (EPA) dan 59.64% (EPM) (Sopiyana dan Prasetyo 2007). Sementara daya tetas persilangan 2 bangsa antara itik Mojosari dengan Alabio (MA) maupun reciprocal (AM) dengan jalan di IB maupun yang kawin secara alami masing-masing menunjukkan sebesar 48.13%; 39.86% untuk yang di IB dan 29.90%; 31.15% untuk kawin alam (Prasetyo et al. 2000).

Kematian embrio. Reproduksi tidak hanya tergantung pada jumlah telur yang dihasilkan dan fertilitasnya, tetapi juga pada jumlah kematian embrio selama diinkubasi atau sebelumnya. Ngobe (2003) melaporkan bahwa keberhasilan perkembangan embrio sangat dipengaruhi oleh faktor (1) temperatur dan kelembaban mesin tetas, (2) lama penyimpanan telur, (3) nutrisi, (4) kerabang dan pori-pori telur dan (5) genetik.

Selanjutnya menurut Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) bahwa kematian embrio yang cukup tinggi diduga karena terjadinya perubahan panas metabolisme embrio yang diakibatkan aktivitas pertumbuhan embrio. Hasil penelitian Sopiyana dan Prasetyo (2007) mendapatkan tingkat kematian embro pada itik EPA (Entok x Peking Alabio) dan EPM (Entok x Peking Mojosari) yang diinseminasi buatan dengan semen entok menghasilkan kematian embrio masing-masing sebesar 32.1% dan 22.8%.

Harun et al. (2001) dalam penelitiannya menggunakan mesin tetas buatan untuk menetaskan telur entok dengan penyemprotan air dan pendinginan selama 30 menit, berkesimpulan bahwa (1) tingkat laju metabolisme embrio sangat penting dalam keberhasilan penetasan telur; (2) kemampuan menetas dari telur diduga dipengaruhi morfologi telur seperti panjang telur; (3) suhu mesin tetas 37.5ºC dengan penyemprotan air dan pendinginan.

Nisbah kelamin. Dari sejumlah pasang kromosom di dalam sel tubuh bangsa burung terdapat sepasang kromosom yang menetukan jenis kelamin


(40)

21

individu. Kromosom ini disebut kromosom seks Z dan W. Individu jantan memiliki sepasang kromosom seks Z yang disebut homogametik (ZZ). Individu betina akan memiliki satu kromosom Z dan satu kromosom W yang disebut heterogametik (ZW). Selama proses spermatogenesis, individu betina akan menghasilkan dua macam gamet yaitu gamet Z dan gamet W, sedangkan individu jantan hanya menghasilkan 1 macam gamet yaitu gamet Z.

Noor (2008) menyatakan bahwa penentuan jenis kelamin pada bangsa burung berlawanan dengan penentuan jenis kelamin pada mamalia. Itik yang merupakan unggas air, termasuk dalam bangsa burung memiliki kromosom seks untuk jantan ZZ dan betina ZW.

Tetua ♂ ZZ ♀ ZW

Gamet Z Z Z W

F1 ZZ : ZW

½ : ½

Sampai saat ini belum ada metode yang dapat menentukan jenis kelamin embrio dari mulai telur yang dihasilkan sampai menetas. North (1984) menyatakan bahwa bentuk telur, posisi kantong udara atau faktor lain tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin.

Suretno (2006) melaporkan bahwa persentase meri jantan dan meri betina itik Cihateup asal Tasikmalaya dalam penelitiannya masing-masing 48.91% dan 51.09%, lebih banyak meri betinanya dari meri jantan, sedangkan Cihateup asal Garut persentase meri jantan dan meri betina masing-masing 57.41% dan 42.59%, sementara Dharma et al. (2001) melaporkan bahwa nisbah kelamin jantan dan betina pada Mandalung yaitu 61.16% : 38.84%. Peluang untuk mendapatkan jenis kelamin jantan dan betina adalah sama pada saat pembuahan, namun selama telur berada dalam mesin tetas, dan terjadi kematian selama pertumbuhan embrio tidak


(41)

sama sehingga rasio yang diperoleh pada saat menetas dari masing-masing perlakuan bervariasi.

Pertumbuhan dan Bobot Badan

Pada kondisi ideal bentuk kurva pertumbuhan untuk semua spesies ternak adalah serupa yaitu mengikuti pola kurva pertumbuhan sigmoidal (Soeparno 1998). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa pertumbuhan mula-mula terjadi sangat lambat, kemudian mengalami akselerasi yaitu pertumbuhan yang cepat setelah itu mengalami deselerasi yaitu pertumbuhan yang berangsur-angsur menurun. Pengukuran pertumbuhan dapat mengacu pada pertambahan bobot badan. Bobot badan merupakan salah satu sifat yang memiliki nilai ekonomis dan bersifat kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen (Stansfield 1983).

Hasil penelitian Harahap (1993) dengan menggunakan pakan ayam broiler (R1) dan pakan ayam broiler + dedak (R2) yang diberikan ke entok, itik lokal, mandalung 1 (itik jantan x entok betina) dan mandalung 2 (entok jantan x itik betina) menunjukkan bahwa mandalung 1, mandalung 2 dan itik mengalami pertambahan bobot badan tertinggi pada minggu keempat, sedangkan entok pada minggu kelima. Penelitian pada mandalung juga, yang diberi imbuhan pakan avilamisina menghasilkan pertambahan bobot badan tertinggi pada minggu keempat (330.83g), dengan peningkatan bobot hidup 22.8 kali dari bobot awalnya (36.42g) lebih baik dari yang tidak diberi imbuhan pakan (Matitaputty 2002).

Peningkatan bobot badan sangat penting dan berkaitan erat dengan produksi daging. Itik MA jantan hasil persilangan Mojosari jantan x Alabio betina yang dihasilkan di Balai Penelitian Ternak Ciawi, mampu mencapai bobot badan 1.3 kg pada umur 8 minggu (Prasetyo et al. 2005). Pada mandalung umur 10 minggu yang diberi imbuhan pakan avilamisina dalam ransum menghasilkan bobot hidup sebesar 2.209 kg, sementara yang tidak diberi imbuhan pakan hanya mencapai 2.061 kg (Matitaputty 2002).

Konsumsi Ransum dan Konversi Ransum

Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun untuk produksi. Rukmiasih (2011)


(42)

23

dalam penelitiannya melihat pengaruh pemberian beluntas dalam pakan terhadap konsumsi pakan/ekor/ minggu pada itik jantan umur 4-10 minggu menunjukkan bahwa konsumsi pakan itik jantan yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2% dalam pakan tidak berbeda dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tepung daun beluntas dalam pakan tidak menurunkan palatabilitas pakan.

Konversi ransum berguna untuk mengukur produktivitas ternak, sebab konversi ransum merupakan perbandingan antara ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Nilai konversi ransum menunjukkan kemampuan seekor ternak untuk mengubah pakan menjadi produk yang dihasilkan. Semakin kecil nilai konversi ransum berarti semakin efisien ternak tersebut dalam memanfaatkan ransum yang diperoleh untuk menaikan bobot badan per satuan berat. Jika nilai konversi ransum tinggi menunjukkan bahwa semakin banyak ransum yang dibutuhkan berarti kurang efisien ternak tersebut dalam memanfaatkan ransum untuk menaikan bobot badan per satuan berat.

Beberapa penelitian tentang konversi ransum pada itik Alabio dan Cihateup sangat beragam. Wulandari et al. (2005) dalam penelitiannya melaporkan bahwa konversi ransum itik Cihateup jantan cenderung lebih rendah daripada itik betina, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa itik jantan lebih efisien dalam memanfaatkan pakan untuk pertumbuhan dibanding dengan itik betina. Pada itik Alabio konversi ransum selama 10 minggu pemeliharaan sebesar 8.8 lebih rendah dibandingkan dengan itik Cihateup yakni 8.92 akan tetapi setelah ditambahkan lemak sapi, konversi ransumnya turun menjadi 7.75 untuk itik Alabio dan 7.90 untuk itik Cihateup (Randa 2007).

Karkas dan Daging Itik

Karkas merupakan bagian tubuh unggas setelah dikurangi bulu, darah, kepala, kaki dan organ dalam. Produksi karkas dapat dilihat dari bobot tubuh, semakin tinggi bobot tubuh maka produksi karkas semakin meningkat. Nilai seekor ternak ditentukan oleh persentase karkas, banyaknya proporsi bagian karkas yang bernilai tinggi dan rasio antara daging dan tulang serta kadar lemak.


(43)

Soeparno (1998) mengatakan bahwa kualitas karkas dan daging sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti genetik, jenis kelamin, umur dan pakan. Selain itu juga dalam proses penanganan pascapanen seperti proses pelayuan, proses pemasakan, pH karkas dan daging, lemak dan proses penyimpanan juga turut mempengaruhi. Sementara bagi kualitas daging seperti warna daging, keempukan, tekstur, aroma dan cita rasa turut juga berpengaruh terhadap daging yang dihasilkan.

Perbandingan persentase karkas, otot dada, paha dan lemak dari itik Peking, Muscovy, dan persilangannya pada umur 12 minggu (Tabel 5).

Tabel 5 Perbandingan kualitas karkas itik Peking, Muscovy dan persilangannya (jantan umur 12 minggu)

Parameter Peking (P) Persilangan (P x M) Muscovy (M) Bobot hidup (Kg)

Karkas(%) Otot dada(%) Otot paha (%)

Lemak abdominal(%) Lemak subcutan (%)

2776.0 60.6 10.8 15.4 2.3 6.1 3102.0 61.8 14.1 15.9 1.2 3.9 3753.0 62.6 13.7 17.0 2.9 4.3 Sumber : Leclercq dan de Carville (1985)

Matitaputty (2002), melaporkan bahwa persentase karkas mandalung yang dipelihara selama 10 minggu adalah sebesar 55.14% dengan bobot karkas 1101.2g dan bobot potong 1991.17g. Selanjutnya persentase daging dan tulang bagian dada masing-masing sebesar 79.77% daging : 20.23% tulang; paha atas sebesar 87.16% daging : 12.84% tulang dan paha bawah sebesar 78.09g daging : 21.91g tulang. Muryanto (2002) melaporkan bahwa persilangan ayam kampung dengan ayam ras petelur dengan umur pemotongan 12 minggu, menghasilkan bobot karkas dan persentase karkas masing-masing sebesar 757.3g dan 58.8%. Hasil yang diperoleh masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mandalung yang memiliki bobot potong dan karkas yang tinggi dan umur pemotongan yang relatif pendek yakni 10 minggu.

Retailleau (1999) dalam penelitiannya melihat produksi karkas itik jantan Alabio umur 10 minggu dan itik Peking jantan dan betina umur 8 minggu, menunjukkan bahwa produksi karkas itik jantan Alabio 60.69%, sedangkan itik Peking jantan 66.55% dan betina 67.26%. Hasil ini memperlihatkan produksi


(44)

25

karkas itik lokal lebih rendah dari itik Peking, karena pada itik Pekin sudah dilakukan pemuliaan khusus untuk produksi daging.

Daging itik mempunyai konsumen yang masih rendah, karena kesukaan konsumen terhadap daging itik tidak seperti kesukaan terhadap daging ayam. Daging itik merupakan salah satu sumber protein hewani, karena memiliki kandungan protein dengan kualitas yang baik. Hal ini didukung oleh Jun et al. (1996), yang menyatakan bahwa kadar protein daging itik berkisar antara 18.6 – 19% dan kandungan lemak berkisar antara 2.7–6.8%. Damayanti (2003) melaporkan bahwa kandungan lemak daging dada dan paha itik lokal umur 8 minggu masing-masing sebesar 3.84% dan 8.47%, sedangkan kulit dada dan kulit paha berturut-turut sebesar 59.32% dan 52.67%.

Hustiany (2001) dalam penelitiannya pada itik Jawa afkir (12 bulan) mendapatkan kandungan lemak daging dada itik betina dengan dan tanpa kulit masing-masing 9.46% dan 1.53%, sedangkan kandungan lemak daging pahanya dengan dan tanpa kulit masing-masing 12.21% dan 4.16%. Chartrin et al. 2006, melaporkan bahwa kandungan lemak daging dada itik pekin umur 14 minggu ialah sebesar 4.81%.

Menurut Srigandono (1997), komposisi nutrisi daging itik tidak berbeda jauh bila dibandingkan dengan daging ayam. Kandungan protein daging itik sebesar 20.8% dan daging ayam sebesar 21.4%. Kandungan lemaknya adalah dua kali lebih tinggi dari daging ayam (8.2% vs 4.8%), tetapi kandungan tersebut masih jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan kandungan lemak ternak ruminansia seperti sapi (17%), domba (22.4%) dan babi (32%).

Komposisi kimia daging unggas, selain spesies, bergantung pada umur, pakan, dan jenis kelamin. Kandungan abu, protein dan lemak daging itik pekin umur 6 minggu lebih rendah (P<0.01) daripada umur 7, 8, dan 9 minggu (Erisir et al. 2009). Demikian pula pada itik pekin A44, kandungan protein dan lemak pada umur 7 dan 8 minggu lebih rendah daripada umur 9 minggu (Witak 2007). Kandungan lemak pada daging unggas sangat bervariasi jumlahnya dan ditentukan oleh umur, jenis kelamin dan spesies unggas. Menurut Rukmiasih et al. (2010) semakin bertambahnya umur unggas, maka kadar lemak akan semakin tinggi. Perlemakan pada unggas sebagian besar menyebar di bawah kulit. Hal ini


(45)

dapat kita lihat pada unggas air seperti itik memiliki kulit yang tebal yang disebabkan karena penyebaran lemak di bawah kulit (lemak subkutan).

Menurut Smith et al. (1993) daging itik sebagian besar mengandung serabut merah dan sebagian kecil mengandung serabut putih. Pada bagian dada itik, serabut merah sebanyak 84% dan serabut putih sebanyak 16%. Perbedaan macam serabut otot penyusun daging tersebut, akan berpengaruh pada komposisi daging, sifat biokimiawi dan karakteristik sensori serta nilai ekonomis. Daging yang sebagian besar terdiri atas serabut merah mempunyai kadar protein yang lebih rendah dan kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging yang tersusun serabut putih (Soeparno 1998).

Berdasarkan pengamatan histologi pada serabut otot itik dan entog, yang dilakukan Sudjatinah (1998), diketahui bahwa ukuran serabut otot dipengaruhi oleh jenis unggas. Pada umur yang sama, ukuran serabut otot itik lebih besar dibandingkan dengan entog. Namun menurut Anggraeni (1999) diameter serabut otot tidak hanya dipengaruhi oleh jenis unggas tetapi juga dipengaruhi oleh umur ternak. Semakin tua itik dan entog, diameter serabut ototnya semakin besar. Otot yang berdiameter kecil akan menghasilkan daging dengan penampilan yang halus dan empuk, sebaliknya otot yang semakin besar akan menghasilkan daging yang berpenampilan kasar dan liat.

Penelitian yang berhubungan dengan pasca panen daging itik sudah banyak dilakukan. Abubakar (2007) melaporkan bahwa penyimpanan karkas itik selama lima jam pada suhu kamar dan suhu rendah (15º – 18ºC) tidak mempengaruhi keempukan daging itik. Daya ikat airnya terjadi peningkatan dalam tiga jam penyimpanan, tetapi pH nya semakin turun sejak jam pertama hingga jam keempat penyimpanan. Penelitian lain tentang pengaruh Curring dan pengasapan terhadap mutu dan cita rasa daging itik tua, hasilnya menunjukkan bahwa aroma tidak berbeda nyata sedangkan warna, keempukan dan rasa berbeda nyata. Daging itik curring paling disukai konsumen dengan kadar garam 3.86% dan kadar air 60.15%.

Febriana (2006) melaporkan bahwa sifat organoleptik daging dan sosis dari itik yang mendapat tepung daun beluntas (Pluchea indica L) dalam pakan sebanyak 1% dan 2%, dapat menurunkan intensitas bau daging itik dan meningkatkan kesukaan


(46)

27

panelis terhadap sosis daging itik karena rasa dan tekstur sosis yang lembut. Nasution (2003) melaporkan bahwa penggunaan jeruk nipis dengan konsentrasi 1% memberikan mutu bakso itik yang lebih baik, akan tetapi dari segi penampilan warnanya kurang disukai konsumen. Sementara penelitian yang dilakukan Triyantini (1998) pada pembuatan dendeng itik menyatakan bahwa, dengan penambahan bumbu kunyit, jahe, sereh dan lengkuas, ternyata masih kurang disukai oleh konsumen.

Flavor Daging

Analisis sensori adalah suatu proses identifikasi, pengukuran ilmiah, analisis dan interpretasi atribut-atribut produk melalui lima pancaindra manusia; indra penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba, dan pendengaran. Analisis sensori juga melibatkan suatu pengukuran yang dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Pengetahuan terhadap bau, rasa atau citarasa (flavor) menjadi penting karena diketahui bahwa kesukaan atau penerimaan manusia terhadap suatu bahan pangan bukan semata-mata ditentukan oleh nilai nutrisinya saja, akan tetapi sangat dipengaruhi pula oleh keberadaannya untuk menimbulkan rangsangan, sehingga menghasilkan suatu sensasi citarasa terhadap bahan pangan tersebut. Rangsangan cita rasa ini menjadi sangat penting dan yang paling umum dalam memberi pengaruh dan kesan awal ketika akan mengambil keputusan untuk mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi bahan pangan itu.

Winarno (2008) mejelaskan bahwa citarasa bahan pangan sesungguhnya terdiri dari tiga komponen yaitu bau, rasa dan rangsangan mulut. Dalam hal bau lebih banyak sangkut pautnya dengan alat panca indra pencium. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus. Rasa berbeda dengan bau dan lebih banyak melibatkan panca indra lidah. Penginderaan cecapan dapat dibagi menjadi empat cecapan utama yaitu asin, asam, manis dan pahit. Selain komponen citarasa, komponen rangsangan mulut juga penting, karena timbulnya perasaan seseorang setelah orang itu menelan makanan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa flavor adalah kesan gabungan yang diterima oleh indera manusia, yang terdiri dari utamanya bau dan


(47)

rasa yang dipengaruhi pula oleh konsistensi (tekstur) dan akustik (bunyi bahan pangan sewaktu dikunyah) (Winarno 2008).

Flavor didefinisikan sebagai sensasi kompleks yang dikomposisikan oleh citarasa, bau dan tekstur. Dari ketiga faktor ini, bau merupakan hal yang paling penting, jika tidak ada bau, maka satu atau empat sensasi teste utama lainnya (pahit, manis, asin atau asam) akan menjadi dominan. Hal ini didukung juga oleh Lawrie (1995) yang menyatakan bahwa flavor adalah sensasi yang kompleks; melibatkan bau dan rasa/taste, tekstur, suhu dan pH, dimana bau sangat berperan penting. Bau dan rasa paling sukar untuk didefinisikan secara objektif. Flavor termasuk salah satu sifat sensori penting yang dapat mempengaruhi daya terima (akseptabilitas) terhadap bahan pangan (Shahidi 1998).

Menurut Winarno (2008) senyawa kimia yang berkontribusi pada flavor secara garis besar dipengaruhi oleh dua senyawa yaitu komponen volatil dan non volatil. Komponen volatil adalah komponen yang memberikan sensasi bau melalui reseptor pada hidung, memberikan top notes yang menguap dengan cepat. Komponen non volatil memberikan sensasi pada rasa yaitu asam, asin, manis dan pahit. Komponen ini tidak memberikan sensasi bau tetapi menjadi media untuk komponen volatil dan membantu menahan penguapan volatil.

Pengaruh flavor terhadap penerimaan daging oleh konsumen sangat memegang peranan penting. Keputusan konsumen untuk memilih jenis daging sangat dipengaruhi oleh flavor daging tersebut, terlepas dari faktor-faktor lain seperti budaya dan ekonomi. Berdasarkan aturan atau norma-norma yang berlaku secara religi atau istiadat, konsumen dibatasi untuk tidak mengkonsumsi daging-daging tertentu. Demikian juga dengan pertimbangan ekonomis, konsumen terpaksa harus memilih daging yang lebih terjangkau harganya.

Flavor yang diinginkan dan dibentuk oleh daging akan diproduksi saat daging diolah atau dimasak. Pemanasan, selama proses pemasakan, akan terjadi pemecahan protein, lemak, gula, vitamin dan komponen lain yang satu sama lain karena adanya panas saling berinteraksi melalui reaksi pencoklatan Maillard dan menghasilkan flavor daging yang jelas.

Proses memasak yang berbeda, juga akan memberikan profil flavor yang berbeda meskipun berasal dari tipe daging yang sama. Tipe dan jumlah komponen


(1)

Lampiran 21 Sidik ragam persentase potongan komersial bagian sayap itik AA, CC, AC dan CA

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat Kuadrat tengah

Fhit Peluang

Model 3 16.67331250 5.55777083 6.04* 0.0042

Galat 20 18.39675000 0.91983750

Total 23 35.07006250

*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.48)

Lampiran 22 Sidik ragam persentase daging dada itik AA, CC, AC dan itik CA

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat Kuadrat tengah

Fhit Peluang

Model 3 30.99555 10.33185 5.96* 0.0045

Galat 20 34.66803 1.73340

Total 23 65.66358

*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.47)

Lampiran 23 Sidik ragam persentase daging paha itik AA, CC, AC dan itik CA

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat Kuadrat tengah

Fhit Peluang

Model 3 36.4274333 12.14247778 46.54* <.0001

Galat 20 5.21856667 0.26092833

Total 23 41.6460000

*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.87)


(2)

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat Kuadrat tengah

Fhit Peluang

Model 3 30.99555000 10.33185000 5.96* 0.0045

Galat 20 30.99555000 1.73340167

Total 23 65.66358333

*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.47)

Lampiran 25 Sidik ragam persentase tulang paha itik AA, CC, AC dan itik CA

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat Kuadrat tengah

Fhit Peluang

Model 3 36.42743333 12.14247778 46.54 * <.0001

Galat 20 36.42743333 0.26092833

Total 23 41.64600000

*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.87)

Lampiran 26 Sidik ragam rasio daging : tulang dada itik AA, CC, AC dan itik CA

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat Kuadrat tengah

Fhit Peluang

Model 3 5.13488333 1.71162778 6.04* 0.0042

Galat 20 5.66430000 0.28321500

Total 23 10.79918333

*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.48)

Lampiran 27 Sidik ragam rasio daging : tulang paha itik AA, CC, AC dan itik CA

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat Kuadrat tengah

Fhit Peluang

Model 3 7.05361250 2.35120417 45.40* <.0001

Galat 20 1.03585000 0.05179250

Total 23 8.08946250

*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.87)


(3)

Lampiran 28 Uji hedonik atribut aroma dan rasa daging paha rebus itik AA, CC, AC dan itik CA dengan Minitab Ver 14

nonparametric “Kruska Wallis

Kruskal-Wallis Test on Aroma Itik N Median Ave Rank Z 1 87 5.170 205.9 3.36 2 87 4.830 174.6 0.01 3 87 4.500 143.0 -3.37 4 87 4.830 174.5 0.00 Overall 348 174.5 H = 16.98 DF = 3 P = 0.01

H = 17.04 DF = 3 P = 0.01 (adjusted for ties)

Kruskal-Wallis Test on Rasa

Itik N Median Ave Rank Z 1 87 5.170 179.1 0.50 2 87 5.000 177.4 0.31 3 87 5.000 166.3 -0.88 4 87 5.000 175.2 0.07 Overall 348 174.5

H = 0.84 DF = 3 P = 0.839

H = 0.85 DF = 3 P = 0.838 (adjusted for ties)

Lampiran 29 Pengukuran atribut off-odor daging itik bagian paha berdasarkan metode QDA dari masing-masing jenis itik

Jenis Itik1

Atribut off-odor Rancid (Tengik) Fishy (Amis) Fatty (Lemak) Mouldy (Jamur) Baeny (Langu) Earthy (Tanah)

AA 2,02 7,59 9,95 4,15 2,17 2,20

CC 2,70 9,91 8,53 5,47 2,45 2,79

AC 0,85 3,12 4,34 2,43 0,65 1,62

CA 2,24 6,60 7,21 2,57 1,35 2,05

1Jenis itik : AA (Alabio♂ x Alabio♀); CC (Ciahteup♂ x Cihateup♀); AC (Alabio♂ x Cihateup♀);


(4)

(5)

1. Lebar paruh 2. Panjang paruh

3. Tinggi kepala 4. Panjang kepala

5. Panjang leher 6. Panjang punggung


(6)

9. Panjang sternum 10. Panjang tibia