Daya Tetas Telur Itik Alabio dan Persilangan Cihateup-Alabio dengan Bahan Sanitasi Alami

DAYA TETAS TELUR ITIK ALABIO DAN PERSILANGAN
CIHATEUP-ALABIO DENGAN BAHAN
SANITASI ALAMI

NUR RIZA ARIFANI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

2

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daya Tetas Telur Itik
Alabio dan Persilangan Cihateup-Alabio dengan Bahan Sanitasi Alami adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015

Nur Riza Arifani
NIM D14124001

4

ABSTRAK
NUR RIZA ARIFANI. Daya Tetas Telur Itik Alabio dan Persilangan CihateupAlabio dengan Bahan Sanitasi Alami. Dibimbing oleh RUKMIASIH dan ASEP
GUNAWAN.
Daya tetas itik lebih rendah dibandingkan dengan ayam dan puyuh.
Kerabang telur yang kotor dapat menyebabkan rendahnya daya tetas. Penggunaan
desinfektan bertujuan untuk menekan perkembangan bakteri pada kerabang telur.
Jeruk nipis merupakan desinfektan alami yang biasa digunakan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui daya tetas telur itik Alabio (A) dan persilangan
Cihateup-Alabio (CA) dengan menggunakan bahan sanitasi alami air perasan

jeruk nipis untuk perendaman telur.
Data bobot telur, indeks bentuk telur, fertilitas, daya tetas, bobot tetas, dan
kematian embrio dianalisis secara deskriptif. Hubungan bobot telur dengan bobot
tetas dianalisis dengan uji korelasi dan regresi. Bobot telur dan fertilitas telur itik
CA lebih tinggi dari bobot telur itik Alabio. Indeks bentuk telur itik Alabio lebih
besar dari telur itik CA. Daya tetas itik persilangan Cihateup-Alabio (CA) lebih
tinggi dari telur itik Alabio. Kematian embrio yang paling tinggi terjadi pada
periode hatcher (>25 hari). Analisi regresi menunjukkan hubungan yang erat
antara bobot telur dan bobot tetas. Bobot telur yang tinggi menghasilkan bobot
tetas yang tinggi.
Kata kunci: daya tetas, fertilitas, itik alabio, itik persilangan cihateup-alabio

ABSTRACT
NUR RIZA ARIFANI. Egg Hatchabality of Alabio Duck and Cihateup-Alabio
Crossbreeds With Natural Sanitation Material. Supervised by RUKMIASIH and
ASEP GUNAWAN.
Hatchability of duck lower than the chicken and quail. Dirty egg shell can
cause low hatchability. The use of disinfectants is aimed to suppress the growth of
bacteria on the eggshell. Lemon is a natural disinfectants. This research was
aimed to determine hatchability of Alabio (A) and Cihateup-Alabio (CA)

crossbreed duck eggs by using natural sanitary materials of lemon juice for
soaking eggs.
Egg weight, egg shape index, fertility, hatchability, hatching weight, and the
death of the embryo were analyzed descriptively. The correlation between egg
weight and hatching weight was subjected to regression analyses. Egg weight and
egg fertility of CA duck was higher than Alabio duck. Alabio duck egg shape
index was greater than that of CA duck. Hatchability of CA eggs was higher than
that of Alabio duck. The most high embryo mortality occurred in the period of
hatcher (> 25 days). Regression analyses revealed strong correlation between egg
weight and hatching weight. The high egg weight produces a high hatching
weight.
Key words: alabio duck, cihateup-alabio crossbreeds, fertility, hatchability

DAYA TETAS TELUR ITIK ALABIO DAN PERSILANGAN
CIHATEUP-ALABIO DENGAN BAHAN
SANITASI ALAMI

NUR RIZA ARIFANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
Pada
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

6

Judul Skripsi : Daya Tetas Telur Itik Alabio dan Persilangan Cihateup-Alabio
dengan Bahan Sanitasi Alami
Nama
: Nur Riza Arifani
NIM
: D14124001


Disetujui oleh

Dr Ir Rukmiasih, MS
Pembimbing I

Dr agr Asep Gunawan, SPt MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Muladno, MSA
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

8

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih

dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai April 2014 ini
ialah Daya Tetas Telur Itik Alabio dan Persilangan Cihateup-Alabio dengan
Bahan Sanitasi Alami.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Rukmiasih, MS dan Dr agr Asep
Gunawan, SPt, MSc selaku pembimbing skripsi atas waktu, saran, dan bimbingan
yang telah diberikan serta Prof Em Peni S Hardjosworo, MSc yang banyak
memberikan masukan selama penelitian, Eka Koswara, SPt yang telah banyak
memberikan pembelajaran terkait teknis lapang, dan Bapak Jamhar yang telah
banyak membantu selama penelitian berlangsung. Tidak lupa penulis ucapkan
terima kasih kepada Ir Lucia Cyrilla ENSD MSi selaku dosen penguji dan bapak Dr Ir
Jakaria, SPt MSi selaku dosen pembimbing akademik. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ibu, alm ayah, adik, dan seluruh keluarga, atas segala doa
serta kasih sayangnya. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih atas bantuan dan
dukungan teman-teman penelitian Muhammad Ridho Iskandar, Yulia Ningsih,
dan Kristian Stevanus Ginting. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna
bagi civitas akademika peternakan pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
Bogor, Januari 2015

Nur Riza Arifani


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot dan Indeks Bentuk Telur
Fertilitas dan Daya Tetas
Kematian Embrio
Hubungan Bobot Telur dengan Bobot Tetas
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
vii
1
1
1
1
2
2
2
2
2
5
5
6
8
10
11

11
13
14

viii

DAFTAR TABEL
1

Bobot telur, indeks bentuk telur dan bobot telur itik Alabio (A) dan
persilangan Cihateup-Alabio (CA)
2 Persentase fertilitas dan daya tetas telur itik Alabio (A) dan
persilangan Cihateup-Alabio (CA)
3 Suhu dan kelembaban mesin tetas selama penetasan
4 Kematian embrio itik Alabio (A) dan itik persilangan CihateupAlabio (CA)
5 Hubungan antara bobot telur dengan bobot tetas itik Alabio (A) dan
itik persilangan Cihateup-Alabio (CA)

5
6

7
9
10

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data daya tetas itik Alabio dan itik CA
2 Data kematian embrio telur itik Alabio dan CA

13
13

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Itik lokal Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan serta
dimanfaatkan sebagai penghasil daging unggas selain daging ayam. Produksi
daging itik di Indonesia sebanyak 28 183 ton pada tahun 2011 dan meningkat
sebanyak 30 053 ton pada tahun 2012 (Direktorat Jendral Peternakan 2012).
Konsumsi daging itik yang semakin meningkat tiap tahun perlu diimbangi dengan

peningkatan populasi Day Old Duck (DOD). Populasi itik lokal pada tahun 2012
sebanyak 46 989 522 ekor jauh lebih rendah dibandingkan ayam ras pedaging
yaitu 1 266 902 718 ekor dan ayam ras petelur yaitu 130 539 437 ekor (Direktorat
Jenderal Peternakan 2012). Upaya untuk meningkatkan populasi itik dengan
menyediakan bibit itik yang baik dan unggul secara berkesinambungan dapat
dilakukan mulai dari penetasan telur itik yang efisien untuk menghasilkan bibit
yang berkualitas.
Indikator keberhasilan proses penetasan dapat dicirikan oleh daya tetas yang
tinggi. Suhu selama penetasan, kelembaban, penyediaan udara dan kebersihan
kerabang merupakan faktor yang dapat mempengaruhi daya tetas. Daya tetas telur
itik lebih rendah dibandingkan dengan telur ayam dan puyuh. Penyebab
rendahnya daya tetas telur itik diantaranya karena kerabang telur yang kotor.
Telur itik umumnya lebih kotor dibandingkan dengan telur ayam maka sebelum
telur dieramkan harus dibersihkan terlebih dahulu untuk memperoleh daya tetas
yang lebih tinggi (North dan Bell 1990). Telur yang kotor dapat menyebabkan
bakteri/mikroorganisme berkembangbiak. Penggunaan desinfektan bertujuan
untuk mengurangi jumlah bakteri pada kerabang telur. Jeruk nipis merupakan
desinfektan alami yang biasa digunakan. Perasan jeruk nipis pada lama
perendaman 5 dan 10 menit dengan konsentrasi 5% efektif menurunkan jumlah
bakteri Salmonella sampai 96.43% dan bakteri Escherichia coli 57.38% secara
menyeluruh pada dada karkas ayam broiler (Rahardjo 2012). Penggunaan air
perasan jeruk nipis untuk perendaman telur diharapkan dapat meningkatkan daya
tetas telur itik dengan menekan perkembangan bakteri yang ada di kerabang telur.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur daya tetas dan kematian embrio
pada telur itik Alabio (A) dan persilangan Cihateup-Alabio (CA) dengan
menggunakan perasan jeruk nipis sebagai bahan sanitasi alami untuk perendaman
telur.
Ruang Lingkup Penelitian
Daya tetas telur itik lebih rendah dibandingkan daya tetas telur ayam dan
puyuh. Salah satu penyebab rendahnya daya tetas diantaranya karena kerabang
telur yang kotor. Kerabang telur yang kotor dapat meningkatkan kontaminasi
bakteri pada telur. Berdasarkan hal itu, penggunaan air perasan jeruk nipis
digunakan sebagai desinfektan alami bertujuan untuk menekan perkembangan
bakteri pada kerabang telur. Kajian ini lebih difokuskan pada penggunaan air

2

perasan jeruk nipis diharapkan dapat meningkatkan daya tetas telur dan
menurunkan kematian embrio.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2014.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penetasan Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor.
Bahan
Telur yang digunakan pada penelitian ini didapatkan dari itik Alabio (A)
dan persilangan antara itik Cihateup dengan itik Alabio (CA). Bahan-bahan lain
yang digunakan yaitu air perasan jeruk nipis dan Enciform–RM sebagai bahan
fumigasi.
Alat
Mesin tetas yang digunakan adalah mesin tetas manual dengan kapasitas 3
tray dengan masing- masing tray berkapasitas 60-70 butir telur. Sumber panas
yang digunakan dalam mesin ini berasal dari listrik. Peralatan mesin tetas yang
digunakan terdiri atas lampu penerangan, bak air, termohigrometer. Peralatan
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain jangka sorong, timbangan digital,
teropong telur, alat spray, wadah dan tempat fumigasi telur.
Prosedur
Prosedur penetasan yang dilakuan adalah sanitasi mesin tetas dan peralatan
yang akan digunakan, seleksi dan sanitasi telur tetas, setting mesin dan telur tetas,
pendinginan telur tetas, pengontrolan suhu dan kelembaban mesin tetas.
Sanitasi Mesin dan Peralatan
Mesin tetas dan peralatan yang akan digunakan dibersihkan dan disanitasi
dengan disinfektan kemudian dikeringkan. Mesin tetas difumigasi menggunakan
Enciform–RM. Fumigasi dilakukan bersamaan dengan semua peralatan yang
akan digunakan misalnya tray, nampan air dan sprayer serta alat ukur
termohigrometer.
Seleksi dan Sanitasi Telur Tetas
Telur tetas yang diberi perlakuan, dicuci menggunakan air hangat bersuhu
35 oC. Kemudian direndam menggunakan larutan 50 ml air perasan jeruk nipis
untuk 1 liter air hangat dengan suhu 37-39 °C selama 10 menit. Telur tetas lalu
ditiriskan sampai kering. Telur kemudian diberi nomor, ditimbang bobotnya,
diukur panjang dan lebarnya untuk mengetahui indeks telur.
Telur tetas yang tidak diberi perlakuan perendaman diberi nomor, ditimbang
bobotnya, diukur panjang dan lebarnya untuk mengetahui indeks telur. Telur
difumigasi menggunakan Enciform – RM dengan dosis 1 kg 285 m-3.

3

Setting Mesin dan Telur Tetas
Mesin tetas disetting pada suhu 38-39 °C dan kelembaban 60%-70%.
Sprayer yang telah diisi larutan air jeruk nipis untuk penyemprotan dimasukkan
ke dalam mesin tetas agar suhu tetap hangat.
Telur tetas disusun pada tray dengan memberi sekat yang terbuat dari kertas
pada telur dengan perlakuan berbeda. Setiap mesin tetas terdapat 3 tray dan setiap
tray diisi oleh satu rumpun itik.
Pendinginan dan Peneropongan Telur serta Pemutaran Telur
Pendinginan telur dimulai pada umur 17-25 hari, sebanyak 2 kali sehari
yaitu pada pagi dan sore hari. Selanjutnya pada periode hatcher (>25 hari),
pendinginan dilakukan sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pagi, siang dan sore
hari. Pendinginan dilakukan dengan cara mengeluarkan telur dari mesin tetas,
menyemprotnya dengan larutan 50 ml air perasan jeruk nipis dan 1 liter air hangat
bersuhu 35 °C lalu dibiarkan di luar mesin tetas selama 5 menit.
Peneropongan telur dilakukan setiap minggu untuk mengetahui
perkembangan dan kematian embrio selama proses inkubasi. Peneropongan
pertama dilakukan pada hari ke-7 untuk penentuan telur fertil hidup, fertil mati
dan infertil (kosong). Telur fertil mati dan infertil dikeluarkan dari mesin tetas.
Pemutaran telur dilakukan 3 kali sehari dimulai pada hari ke-3 hingga hari
ke-25, yaitu pada pagi pukul 07.00 WIB, siang pukul 12.00 WIB dan sore hari
pukul 17.00 WIB. Setelah telur mencapai umur penetasan 17-25 hari telur diputar
sebanyak 2 kali yaitu pada pagi dan sore hari.
Peubah
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah bobot telur, indeks telur,
bobot tetas, fertilitas, daya tetas, dan kematian embrio. Fertilitas menunjukkan
persentase telur yang fertil dari sejumlah telur yang ditetaskan dalam persen.
Daya tetas merupakan perbandingan antara telur yang menetas dengan jumlah
telur yang fertil dalam persen. Kematian embrio menunjukan persentase jumlah
embrio yang mati dari telur yang fertil. Rumus untuk menghitung indeks bentuk
telur, fertilitas, daya tetas, dan kematian embrio yaitu :
Indeks Telur
Fertilitas
DayaTetas
Kematian Embrio
Analisis Data
Data bobot telur, indeks bentuk telur, fertilitas, daya tetas, kematian embrio,
dan bobot tetas diolah secara deskriptif. Nilai rataan dan simpangan baku dari
peubah yang diamati selama penetasan pada telur itik Alabio dan telur itik
persilangan Cihateup-Alabio, dihitung berdasarkan Mattjik dan Sumertajaya
(2002).

4

̅


̅



Keterangan :

̅
Xi
N
SB

: Rataan
: Data ke-i
: Banyak data
: Simpangan baku

Analisis regresi linier dilakukan untuk mengetahui hubungan antara bobot
telur dengan bobot tetas dan koefisien determinasinya untuk melihat kekuatan
hubungan tersebut (Steel dan Torrie 1995). Model matematika yang digunakan:
Yij

α + β Xi + εij

Keterangan :
Yij
α
β
Xi

εij

: Bobot tetas
: Intersep
: Koefisien regresi
: Bobot telur ke-i (i= 1, 2, 3, ...., n)
: Galat ke-i

Analisis korelasi yang digunakan adalah analisis korelasi linear menurut
Walpole (1995) yang akan menggambarkan hubungan antara dua peubah yang
diukur. Adapun peubah yang dianalisis adalah korelasi antara bobot telur dengan
bobot tetas dengan formula sebagai berikut :

Keterangan :
X
Y
n
r











= Sifat pertama (Bobot Telur)
= Sifat kedua (Bobot Tetas)
= Jumlah pengamatan
= Koefisien korelasi





5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot dan Indeks Bentuk Telur
Karakteristik telur tetas yang digunakan pada penelitian ini meliputi bobot
telur dan indeks telur. Rataaan bobot telur, indeks bentuk telur dan bobot tetas
pada itik Alabio (A) dan persilangan Cihateup-Alabio (CA) disajikan pada Tabel
1.
Tabel 1 Bobot telur, indeks bentuk telur dan bobot telur itik Alabio (A) dan
persilangan Cihateup-Alabio (CA)
Perlakuan Telur Tetas
Rumpun Itik
Variabel
A
CA
Tanpa Pencucian dan
61.73±2.40
72.33±3.44
Perendaman
Bobot Telur (g)
Pencucian dan
65.81±1.81
71.41±3.20
Perendaman
Rataan±SD
63.77±2.89
71.41±0.65
Tanpa Pencucian dan
81.83±0.75
79.17±0.75
Perendaman
Indeks Bentuk
Pencucian dan
Telur (%)
81.33±1.03
79.50±0.55
Perendaman
Rataan±SD
81.58±0.35
79.33±0.24
Bobot telur itik CA lebih tinggi jika dibandingkan dengan bobot telur itik
Alabio. Hal ini sesuai dengan penelitian Prasetyo et al. (2000), bobot telur itik
CA lebih tinggi jika dibandingkan dengan bobot telur itik Alabio yaitu sebesar
56.39 g pada umur 7 bulan. Ukuran telur mempunyai nilai heritabilitas yang
tinggi, peningkatan mutu genetik dalam bobot badan dapat meningkatkan bobot
telur yang dihasilkan (Lestari et al. 2013). Menurut Nggobe (2003), bobot telur
itik Alabio berkisar antara 65 g sampai 70 g. Menurut Gunawan (2001) bobot
telur dipengaruhi oleh lingkungan, genetik, makanan, komposisi telur, periode
bertelur, umur unggas dan bobot badan induk.
Telur itik CA memiliki bentuk lebih panjang karena indeks telur yang
didapat sekitar 79.33%, sedangkan telur itik Alabio memiliki bentuk lebih bulat
karena indeks yang didapat lebih besar dari 81.58%. Indeks bentuk telur yang
mencerminkan bentuk telur sangat dipengaruhi oleh sifat genetik, bangsa, juga
dapat disebabkan oleh proses-proses yang terjadi selama pembentukan telur,
terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus (Dharma et al. 2001).
Indeks bentuk telur itik CA pada penelitian ini lebih besar dari penelitian yang
dilakukan Diniati (2013) yaitu sebesar 78.63%. Menurut Dharma et al. (2001),
nilai indeks telur yang lebih kecil dari 79% akan memberikan penampilan lebih
panjang, sedangkan nilai indeks telur yang lebih besar dari 79% akan memberikan
penampilan yang lebih bulat. Telur tetas yang seragam akan meminimalkan
perbedaan laju metabolisme dan evaporasi telur selama berada dalam mesin tetas.

6

Fertilitas dan Daya Tetas
Rataan fertilitas dan daya tetas telur itik Alabio (A) dan persingannya
Cihateup-Alabio (CA) disajikan pada Tabel 2. Fertilitas dapat diketahui dengan
candling (peneropongan telur).
Tabel 2 Persentase fertilitas dan daya tetas telur itik Alabio (A) dan persilangan
Cihateup-Alabio (CA)
Rumpun Itik
Perlakuan Telur
Variabel
Tetas
A
CA
Tanpa Pencucian
57.73±20.94
93.12±12.44
dan Perendaman
Fertilitas (%)
Pencucian dan
67.33±18.28
90.54±15.37
Perendaman
Rataan±SD
62.53± 6.79
91.83± 1.82
Tanpa Pencucian
49.76±15.46
64.22±15.08
dan Perendaman
Daya Tetas (%)
Pencucian dan
60.67± 8.66
66.52±10.80
Perendaman
Rataan±SD
55.21± 7.72
65.37± 1.63
Tanpa Pencucian
37.80± 4.72
43.83± 2.58
dan Perendaman
Bobot Tetas (g)
Pencucian dan
39.90± 5.06
43.48± 2.44
Perendaman
Rataan±SD
38.85± 1.49
43.66± 0.25
Fertilitas telur itik CA pada penelitian ini lebih tinggi dari itik Alabio.
Fertilitas telur itik Alabio pada penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh Darmawati (2013) sebesar 95.67%. Fertilitas telur itik CA
pada penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakuan oleh
Matitaputty (2012) sebesar 95.19%. Hal ini karena itik yang digunakan pada
penelitian Matitaputty (2012) berumur 9 bulan sedangkan itik CA yang digunakan
pada penelitian ini berumur lebih dari 12 bulan. Penyebab semakin rendahnya
produksi telur diduga karena umur itik yang semakin tua dan sudah melewati
puncak produksi (Darajah 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas
adalah jumlah induk yang dikawini oleh satu pejantan, umur induk, panjang
waktu penyimpanan antara saat bertelur sampai telur tersebut ditetaskan dan
kemampuan pengelolaan telur yang dihasilkan (Ensminger 1992).
Daya tetas telur itik Alabio pada perlakuan pencucian dan perendaman
dengan larutan air perasan jeruk nipis lebih tinggi dari daya tetas telur tanpa
pencucian dan perendaman. Hal ini karena telur itik Alabio terkena kotoran dan
sekam yang basah sehingga telur mudah terkontaminasi oleh bakteri atau
mikroorganisme yang dapat menurunkan daya tetas. Bakteri atau mikroorganisme
pada telur itik umumnya lebih banyak dibandingkan dengan telur ayam, sebelum
telur dieramkan harus dibersihkan terlebih dahulu untuk memperoleh daya tetas
yang lebih tinggi (North dan Bell 1990). Kondisi kerabang telur yang kotor akan
menutupi pori-pori kerabang telur sehingga proses pertukaran oksigen selama
penetasan akan terganggu dan menyebabkan daya tetas telur rendah. Jeruk nipis

7

mengandung sejumlah asam organik seperti asam sitrat yang merupakan
komponen utama, kemudian asam malat, asam laktat dan asam tartarat yang
berfungsi sebagai antibakteri (Rahardjo 2012). Rataan persentase daya tetas telur
itik CA pada penelitian ini lebih tinggi dari itik Alabio. Daya tetas telur itik CA
pada penelitian lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan oleh Matitaputty
(2012) sebesar 61.00%. Persentase daya tetas telur itik Alabio (55.21%) pada
penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian (Darmawati 2013) sebesar 52.26%.
Manfaat dari persilangan timbal balik antara Cihateup jantan dengan Alabio
betina (CA) terlihat adanya fenomena heterosis sebesar 58.55% pada sifat daya
tetas yang tinggi apabila dibandingkan dengan itik persilangan Alabio jantan
dengan Cihateup betina (AC) yang hanya menghasilkan heterosis sebesar 8.98%.
Nilai persentase heterosis terhadap daya tetas dari kedua itik persilangan ini, di
atas rata-rata daya tetas tetua murni AA dan itik CC (Matitaputty 2012). Daya
tetas akan turun dengan lamanya waktu penyimpanan telur (Matitaputty 2012).
Menurut Harun et al. (2001), rendahnya daya tetas telur itik dapat terjadi karena
stres panas metabolisme akibat aktivitas pertumbuhan embrio. Keberhasilan
penetasan sangat dipengaruhi oleh keterampilan operator mesin tetasnya (Noyansa
2004).
Bobot tetas telur itik CA memiliki bobot tetas yang lebih tinggi
dibandingkan itik Alabio. Hal ini karena bobot telur itik CA lebih tinggi dari
bobot telur itik Alabio. Lestari et al. (2013) menyebutkan bobot telur dapat
digunakan sebagai indikator bobot tetas. DOD yang ditetaskan dari telur yang
lebih kecil, bobot tetasnya akan lebih kecil dibandingkan dengan DOD dengan
anakan yang berasal dari telur yang besar. North dan Bell (1990) menyatakan
bahwa suhu di atas atau di bawah optimum akan menurunkan daya tetas,
menghasilkan embrio yang lemah dan anak ayam yang kualitasnya rendah,
sedangkan kelembaban yang terlalu tinggi menyebabkan anak ayam menetas lebih
lama, bobot lebih besar dan lembek pada daerah abdomen.
Suhu dan Kelembaban Mesin Tetas
Rataan suhu dan kelembaban mesin tetas selama penetasan disajikan pada
Tabel 3. Suhu dan kelembaban mesin tetas adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi daya tetas. Penetasan yang dilakukan pada mesin tetas manual
sering terjadi fluktuasi suhu dan kelembaban. Suhu memegang peranan yang
sangat penting dalam penetasan telur karena mempengaruhi perkembangan
embrio di dalam telur.
Tabel 3 Suhu dan kelembaban mesin tetas selama penetasan
Periode
Setter
0-7 hari
8-25 hari
Hatcher
>25 hari

Suhu Mesin (oC)

Kelembaban (%)

37.95±0.14
38.08±0.17

73.95±0.54
73.93±0.62

37.63±0.05

76.00±0.71

Suhu mesin tetas pada periode setter dalam penelitian ini berkisar antara
37.95 oC-38.08 oC dan pada periode hatcher sekitar 37.63 oC. Rataan suhu

8

penetasan pada penelitian ini sesuai dengan yang disarankan Mulyantini (2010)
yaitu antara 37.20 oC -38.20 oC untuk periode setter tetapi lebih tinggi dari yang
disarankan untuk periode hatcher yaitu sekitar 37.00 oC -37.50 oC. Menurut
Kortlang (1985) secara umum suhu terlalu tinggi memiliki efek buruk pada daya
tetas daripada suhu yang terlalu rendah.
Frekuensi buka tutup pintu mesin tetas untuk melakukan pemutaran telur
yang terlalu sering dapat menyebabkan penurunan suhu mesin tetas karena terjadi
transfer panas ke lingkungan yang memiliki suhu lebih rendah. Frekuensi buka
tutup mesin yang tinggi menyebabkan suhu mesin tetas menjadi lebih rendah dan
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai suhu dan kelembaban
optimal karena menggunakan lampu pijar sebagai sumber panas (Darajah 2013).
Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian embrio ataupun
abnormalitas embrio, sedangkan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan normal
dari embrio (Wulandari 2002). Menurut Kortlang (1985), suhu ideal yang
disarankan untuk periode setter pada itik adalah 37.3 oC dan selama periode
hatcher 36.9 oC. Bila suhu terlalu rendah itik yang dihasilkan akan berukuran
besar dan bulunya lembut serta penetasan menjadi lambat (Kortlang 1985). Suhu
pada periode hatcher diturunkan karena pada periode ini embrio sudah dapat
menghasilkan panas sendiri akibat proses metabolisme yang meningkat selama
proses penetasan.
Kelembaban pada penelitian ini sesuai dengan yang disarankan Kortlang
(1985) yaitu diatas 60% pada periode setter, tetapi pada periode hatcher
kelembaban mesin lebih rendah dari yang disarankan yaitu 80%-85%.
Kelembaban udara berfungsi mengontrol penguapan cairan dari dalam telur
(Kortlang 1985). Kelembaban berfungsi untuk mengurangi kehilangan cairan dari
dalam telur selama proses penetasan, membantu pelunakan kulit telur pada saat
akan menetas sehingga anak unggas mudah memecahkan kulit telur. Penyusutan
cairan yang terlalu tinggi akibat kelembaban yang terlalu rendah akan
mengakibatkan DOD dehidrasi dan anak yang dihasilkan lemah. Sebaliknya,
penyusutan isi telur yang rendah akibat kelembaban yang terlalu tinggi
mengakibatkan anak yang dihasilkan terlalu besar dan abdomennya terlalu
lembek. Suhu yang tinggi menyababkan kematian embrio ataupun abnormalitas
embrio sedangkan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan normal dari embrio
dan menjaga cairan dalam telur serta merapuhkan kerabang telur (Wulandari
2002). Pada hari ke 26-28 atau periode hatcher merupakan masa kritis
perkembangan embrio pada masa tersebut (hari ke 26-27) embrio berusaha untuk
meretakkan kerabang (Fujiwati et al. 2012).
Kematian Embrio
Kematian embrio disebabkan oleh faktor suhu dan kelembaban yang tidak
optimal untuk perkembangan embrio (lihat tabel 3). Rataaan kematian embrio
pada itik Alabio (A) dan persilangan Cihateup-Alabio (CA) disajikan pada Tabel
4.

9

Tabel 4 Kematian embrio itik Alabio (A) dan itik persilangan Cihateup-Alabio
(CA)
Rumpun Itik
Perlakuan
Variabel
Penetasan
A
CA
Tanpa Pencucian
50.71±16.36
35.78±15.08
dan Perendaman
Kematian
Pencucian dan
Embrio (%)
39.33± 8.66
33.48±10.80
Perendaman
Rataan±SD
44.79± 7.72
34.63± 1.63
Kematian embrio pada telur alami lebih tinggi dari telur dengan perlakuan
pencucian dan perendaman. Menurut Mulyantini (2010) suhu yang optimal yaitu
antara 37.20 oC -38.20 oC untuk periode setter dan sekitar 37.00 oC -37.50 oC
untuk periode hatcher. Harun et al. (2001) menyatakan tingginya kematian
embrio disebabkan variasi ukuran telur yang ditetaskan karena perbedaan laju
metabolisme dan evaporasi di dalam mesin tetas. Panas yang dihasilkan pada
proses metabolisme embrio dan akumulasi panas dapat menyebabkan stres panas
pada embrio, sehingga meningkatkan kematian embrio dan menurunkan daya
tetas telur itik. Kematian embrio yang cukup tinggi diduga karena aktivitas
pertumbuhan embrio yang menyebabkan perubahan panas (Brahmantiyo dan
Prasetyo 2001).
30.96
22.80
20.34

17.21

15.44

14.97

13.07
9.76

9.05
4.78
0.93

0
Alabio

CA

Alabio

Alami

CA
Perlakuan

0-7 hari

8-25 hari

>25 hari

Gambar 1 Kematian embrio (%) berdasarkan perlakuan pada umur telur berbeda
Kematian embrio dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kematian awal (3 hari7 hari), kematian pertengahan (8 hari-24 hari) dan kematian akhir (>25 hari).
Suhu dan kelembaban yang tidak mencapai atau melebihi suhu dan kelembaban
optimal untuk perkembangan embrio menjadi penyebab utama kematian embrio.
Kematian embrio pada periode awal penetasan yang rendah karena penyimpanan
telur kurang dari 7 hari sehingga kualitas telur masih baik. Kematian di awal
penetasan umumnya disebabkan kondisi dan lama penyimpanan telur, sperma
jantan dan umur induk betina (Setioko 2005). Kematian embrio pada periode

10

akhir lebih tinggi dari periode awal dan pertengahan penetasan. Kematian embrio
yang tinggi pada periode akhir penetasan karena suhu pada periode hatcher lebih
tinggi dari yang disarankan Mulyantini (2010) yaitu sekitar 37.00 oC -37.50 oC.
Hal ini terjadi karena proses metabolisme embrio ditambah dengan akumulasi
panas dapat menyebabkan stres panas pada embrio. Brahmantiyo dan Prasetyo
(2001), kematian embrio yang cukup tinggi diduga karena aktivitas pertumbuhan
embrio yang menyebabkan perubahan panas.
Hubungan Bobot Telur dengan Bobot Tetas
Hubungan antara bobot telur dengan bobot tetas itik Alabio dan CA
disajikan pada Tabel 5. Analisis regresi dan korelasi menunjukkan hubungan
yang sangat nyata (P25 hari.
Hubungan antara bobot tetas dan bobot telur menunjukkan korelasi positif yang
mengindikasikan semakin tinggi bobot telur akan menghasilkan bobot tetas yang
tinggi.
Saran
Penetasan telur sebaiknya dilakukan pada induk yang sudah terseleksi agar
menghasilkan fertilitas dan daya tetas yang tinggi. Penggunaan alat mesin tetas
yang lebih stabil dalam pengaturan suhu. Suhu dan kelembaban mesin tetas
selama penetasan harus di kontrol agar suhu dan kelembaban lebih stabil.

DAFTAR PUSTAKA
Andaruwati D. 2014. Daya tetas telur persilangan entok dengan itik alabio dan
entok dengan itik cihateup [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Brahmantiyo B, Prasetyo LH. 2001. Pengaruh bangsa itik Alabio dan Mojosari
terhadap performans reproduksi. Prosiding Lokakarya Unggas Air I
Pengembangan Agribisnis unggas air sebagai peluang usaha baru. Bogor
(ID): Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB. 6 – 7
Agustus 2001. Ciawi : 73 – 78.
Darajah F. 2013. Pengaruh frekuensi pendinginan yang berbeda terhadap daya
tetas telur itik persilangan cihateup alabio [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Darmawati D. 2013. Daya tetas telur itik cihateup dan alabio [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Dharma YK, Rukmiasih, Hardjosworo PS. 2001. Ciri-ciri fisik telur tetas itik
Mandalung dan rasio jantan dengan betina yang dihasilkan. Lokakarya
Nasional Unggas Air. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. hlm 208-212.
Diniati. 2013. Pengaruh waktu dimulainya pendinginan selama penetasan
terhadap daya tetas telur itik persilangan cihateup alabio [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
2013.
Statistik
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Alnindra Dunia Perkasa.
Ensminger ME. 1992. Poultry Science. 3rd Ed. Illionis (US): Cab International.
Gunawan H. 2001. Pengaruh bobot telur terhadap daya tetas serta hubungan
antara bobot telur dan bobot tetas itik mojosari [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.

12

Harun MAS, Veeneklaas RJ, Visser MGH, Van Kampen. 2001. Artificial
incubation of Muscovy Duck eggs: why some eggs hatch and others do not.
Poult Sci. 80:219-224.
Kortlang CFHF. 1985. The incubation of duck egg. In : Duck Production Science
and World Practice. Farrel, DJ dan Stapleton P. Editor. New England (AU):
University of New England, pp. 168-177.
Lestari E, Ismoyowati, Sukardi. 2013. Korelasi antara bobot telur dengan bobot
tetas dan perbedaan susut bobot pada telur entok (Cairrina moschata) dan
itik (Anas plathyrinchos). JIP. 1(1):163-169.
Matitaputty PR. 2012. Peningkatan produksi karkas dan kualitas daging itik
melalui persilangan antara itik Cihateup dengan itik Alabio [disertasi].
Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Press.
Mulyantini NGA. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. Yogyakarta (ID) :
Gadjah Mada University Press.
Nggobe M. 2003. Perkembangan bobot dan penampilan embrio itik alabio dan
hasil persilangannya dengan entok jantan sebagai pedoman untuk menduga
umur embrio [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
North MO, Bell DD. 1990. Commercial Chicken Production Manual. Fourth
Edition. London (EU): The AVI Publishing Co. Inc. Westport, Connecticut.
Noyansa D. 2004. Karakteristik penetasan dari itik mojosari, alabio dan
persilangannya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Prasetyo LH, Susanti T, Purba M. 2000. Pengembangan bibit niaga itik local
sebagai suatu usahatani. Laporan bagian proyek rekayasa teknologi
peternakan ARMP-II. Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak.
Rahardjo A H. 2012. Efektivitas jeruk nipis dalam menurunkan bakteri
Salmonella dan Escherichia Coli pada dada karkas ayam broiler.
Universitas Jenderal Sudirman. Semarang (ID): Vol. 2 Nomor 3 Edisi
Desember 2012.
Steel RG, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri B, editor.
Jakarta (ID): Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari:
Principles and procedures of statistics
Setioko AR. 2005. Fertilitas dan kematian embrio pada perkawinan silang entog
jantan dan itik betina. Lokakarya Nasional Unggas Air II. Di dalam:
Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan
menengah unggas air. Bogor (ID): 16-17 November 2005. Ciawi. 271-280.
Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Terjemahan Bambang, S. Ed. Ke-3.
Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wulandari A. 2002. Pengaruh indeks dan bobot telur itik tegal terhadap daya tetas,
kematian embrio dan hasil tetas [skripsi]. Purwokerto (ID): Fakultas
Peternakan Universitas Jenderal Soedirman.

13

LAMPIRAN
Lampiran 1 Data daya tetas itik Alabio dan itik CA
Jenis
Itik

Alabio

CA

Perlakuan
Periode
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6

Pencucian dan Perendaman (%)
61.54
60.00
69.23
70.83
48.15
54.29
72.22
75.00
80.00
62.50
55.56
53.85

Tanpa pencucian dan
Perendaman (%)
25.00
38.10
66.67
59.09
58.06
51.61
52.94
87.50
72.22
66.67
44.44
61.54

Lampiran 2 Data kematian embrio telur itik Alabio dan CA
Jenis
Itik

Alabio

CA

Perlakuan
Periode
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6

Pencucian dan Perendaman (%)
38.46
40.00
30.77
29.17
51.85
45.71
27.78
25.00
20.00
37.50
44.44
46.15

Tanpa pencucian dan
Perendaman (%)
75.00
61.90
33.33
40.91
41.94
48.39
47.06
12.50
27.78
33.33
55.56
38.46

14

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bojonegoro, Jawa Timur pada tanggal 2 Desember
1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak
Untung dan Ibu Tri Handayani.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 1 Kedungadem dan
berhasil menyelesaikan pendidikan dasar tersebut pada tahun 2003. Selanjutnya
penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP
Negeri 1 Kedungadem dan lulus pada tahun 2006. Kemudian penulis melanjutkan
ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 2 Bojonegoro dan lulus pada
tahun 2009.
Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program
Keahlian Teknologi dan Manajemen Ternak, Program Diploma III (D3), Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Penulis telah melaksanakan Praktik Kerja Lapangan selama dua kali yakni
PKL pertama pada tahun 2011 di UD Dony Farm, Magelang, Jawa Tengah
selama satu setengah bulan dan PKL kedua di PT QL Trimitra Cipanas, Cianjur,
Jawa Barat selama sepuluh minggu pada tahun 2012.
Pada tahun 2012 penulis lulus Program Diploma III (D3) dan melanjutkan
kuliah S1 di Institut Pertanian Bogor melalui jalur alih jenis dan diterima di
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.