Performa Produksi Dan Kualitas Karkas Itik Cihateup-Alabio (Ca) Generasi Dua (G2).

PERFORMA PRODUKSI DAN KUALITAS KARKAS ITIK
CIHATEUP-ALABIO (CA) GENERASI DUA (G2)

FITRIANI EKA PUJI LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Performa Produksi dan
Kualitas Karkas Itik Cihateup-Alabio (CA) Generasi Dua (G2) adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015
Fitriani Eka Puji Lestari
NIM D151120071

RINGKASAN
FITRIANI EKA PUJI LESTARI. Performa Produksi dan Kualitas Karkas
Itik Cihateup-Alabio (CA) Generasi Dua (G2). Dibimbing Oleh JAKARIA dan
RUKMIASIH.
Produksi daging itik sebesar 31 000 ton atau hanya menyumbangkan
1.65% dari ketersediaan daging unggas di Indonesia pada tahun 2013. Rendahnya
produksi daging itik disebabkan karena itik yang dibudidayakan lebih banyak itik
lokal dilakukan oleh masyarakat secara tradisional dengan sistem pemeliharaan
ekstensif. Itik lokal secara umum pertumbuhannya lambat, produksi daging
rendah dan efisiensi pakan rendah serta memiliki aroma/bau amis/anyir (off-odor)
yang kuat dibandingkan dengan daging ayam, sehingga menjadi penolakan bagi
sebagian masyarakat yang kurang menyukai daging itik. Upaya peningkatan
produksi daging dengan intensitas off-odor yang rendah telah dilakukan, salah
satunya diperoleh dengan cara menyilangkan antar rumpun itik lokal Indonesia.
Persilangan antara itik cihateup jantan dan itik alabio betina menghasilkan
performa pertumbuhan dan produksi daging yang lebih baik dibandingkan dengan

tetua dan persilangan timbal baliknya dengan intensitas off odor yang lebih rendah,
hal inilah yang menjadi nilai tambah itik persilangan CA tersebut. Pengamatan
lebih lanjut CA generasi kedua dilakukan guna mengetahui profil produksi dan
kestabilan nilai tambah tersebut.
Penelitian ini dilakukan selama 10 bulan sejak bulan September 2013
sampai Juni 2014 di Laboratorium Kandang Blok B, Fakultas Petenakan, Institut
Pertanian Bogor dan Laboratorium Kandang Program Diploma IPB. Analisis
sensori dilaksanakan di Laboratorium Organoleptik Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Analisis lemak dan asam lemak dilakukan di laboratorium
terpadu IPB Baranangsiang. Itik yang digunakan adalah hasil persilangan cihateup
jantan dan alabio betina (CA) generasi satu (G1) sebanyak 80 ekor itik CA betina
dan 20 ekor itik CA jantan. Itik jantan dan betina yang digunakan berumur 30
minggu yang berasal dari kota Bogor dan dikawinkan secara alami. Koleksi telur
dilakukan setiap 5 hari sekali sebanyak 4 periode dan ditetaskan menggunakan
mesin tetas. Itik CA generasi dua (G2) yang diamati berjumlah 109 ekor yang
dipelihara hingga umur 10 minggu. Pemeliharaan dilakukan dalam kandang boks
berukuran 1x1x1 m3. Pemberian pakan dilakukan tiga kali dalam sehari, jenis
pakan yang digunakan yaitu pakan ayam broiler buatan pabrik. Analisis sensori,
analisis lemak dan asam lemak dilakukan terhadap daging dada dan paha yang
berasal dari 8 ekor itik cihateup jantan, 9 ekor itik alabio jantan dan 19 ekor itik

CA G2 jantan. Analisis sensori dilakukan oleh 80 orang panelis tidak terlatih.
Data reproduksi, produksi itik CA, profil lemak dan asam lemak itik cihateup,
alabio dan CA G2 diolah menggunakan bantuan Microsoft Excel dan dibahas
secara deskriptif, sedangkan data sensori (intensitas off odor dan tingkat
kesukaan) daging itik cihateup, alabio dan CA G2 diolah dengan menggunakan
Analisis Varian (ANOVA). Hasil pengolahan data yang berbeda diuji lanjut
dengan menggunakan uji Duncan dengan menggunakan bantuan Program SAS
9.1.3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fertilitas itik CA sebesar 74%, daya
tetas sebesar 59% dan rataan bobot tetas sebesar 42.24 ± 5.29 g/ekor. Rataan
konsumsi pakan total itik CA generasi dua yang dipelihara selama 10 minggu

i
sebesar 7 352.32 ± 39.5 g/ekor, rataan pertambahan bobot total sebesar 1 272.24
± 149.87 g/ekor, bobot akhir yang diperoleh sebesar 1 330.33 ± 143.65 g dan
rataan konversi pakan 5.7. Rataan persentase karkas terhadap bobot hidup sebesar
60.28 ± 2.07 %, rataan bobot dada itik CA G2 sebesar 210.85 ± 34.02 g atau
25.75 ± 2.53 % dari bobot karkas dengan persentase daging dada sebesar 82.83 ±
2.63 % dari bobot dada utuh, sedangkan rataan bobot paha sebesar 211.90 ± 29.39
g atau 25.93± 2.25 % dari bobot karkas dengan persentase daging paha sebesar

81.81 ± 2.08 % dari bobot paha utuh. Berdasarkan hasil uji laboratorium yang
dilakukan, itik silangan alabio dan cihateup generasi dua memiliki komposisi
asam lemak tidak jenuh yang lebih rendah sehingga rasio asam lemak tidak jenuh
dan asam lemak jenuh pada itik silangan menjadi lebih rendah dibandingkan
dengan itik alabio dan cihateup. Hal ini diduga membuat tingkat kesukaan
terhadap aroma daging bagian dada itik silangan lebih baik dibandingkan dengan
tingkat kesukaan aroma daging itik alabio.
Kata kunci: Itik CA G2, Kualitas Karkas, Produksi, Reproduksi

SUMMARY
FITRIANI EKA PUJI LESTARI. Production Performance and Carcass
Quality of Cihateup-Alabio (CA) Duck on Second Generation (G2). Supervised
by JAKARIA and RUKMIASIH.
Indonesia duck meat production in 2013 was 31 000 tons or just donate
1.65% of the availability of poultry meat in Indonesia. The reasons for the low
production of duck meat are the used of local duck that were reared traditionally
with extensive rearing system. Local duck generally have characteristic: slow
growth, low meat production, low feed efficiency, and duck meat has a strong offodor compared with chicken meat where as the off-odor become the refusal for
several people who didn’t like the duck meat. The efforts to increase meat
production with lower off-odor intensity has been done, one of them was obtained

by crosseding among the local ducks in Indonesia. The crosseding among the
male cihateup and the female alabio duck (CA) resulting better growth
performance, meat production, and lower off-odor intensity compared with their
parents and the reciprocal crossed. These results that become the added value of
the CA crossed duck. Further observations on the second generation of CA needs
to be conducted to determine the production profile and the stability of those
added value.
This research was conducted for 10 months, from September 2013 until
Juni 2014 in Block B poultry housing Laboratory of Faculty of Animal Science,
and poultry housing Laboratory of Diplome Programme, Bogor Agricultural
University. Sensory analysis was carried out at Organoleptic Laboratory Faculty
of Animal Science, and fat analysis and fatty acid in Baranangsiang Laboratory,
Bogor Agricultural University. A total of 80 female and 20 male at 30 weeks old
CA ducks (first generation/G1) from Bogor, West Java, were used for this
research. Egg collection was done every 5 days as much as 4 replicates. The eggs
were hatched using the incubator/ hatching machine to obtained the second
generation (G2) of CA duck. A total of 109 CA duck G2 were reared until 10
weeks old at 1 x 1 x 1 m box cage. Feed were given three times a day. Feed that
used was industrial feed for commercial broiler. Breast and thigh duck meat from
8 male cihateup, 9 male alabio, and 19 male CA G2 ducks were used for sensory,

fat, and fatty acid analysis. Sensory analysis conducted on 80 untrained panelists.
The data obtained (reproduction, production, fat and fatty acid profiles of cihateup,
alabio and CA G2) were processed by using Microsoft Excell with description
analysis. The data obtained from sensory analysis (off odor intensity and hedonic
level) were processed using Analysis of Varian (ANOVA) and Duncan Test use
software SAS 9.1.3 portable version.
The result showed that the CA duck have 74% of fertility, 59 % of
hacthability, and the average hatch weight were 42.24 ±5.29 g/duck. Feed
consumption average of CA G2 ducks for 10 weeks were 7 352.32±39.5 g/duck,
with the total weight gain average of 10 weeks duck were 1 272.24 ± 149.87
g/duck, final weight were 1 357.64 ± 156.26 g with the feed conversion ratio
average at 5.7 . The average of carcass percentage were 60.28 ± 2.07%, average of
breast weight were 210.85 ± 34.02 g or 25.75 ± 2.53% from carcass weight and
meat breast were 82.83 ± 2.63% from whole breast weight. The average of thight
weight were 211.9 ± 29.39 g or 25.93 ± 2.25% from carcass weight with the thight

v
meat percentage were 81.81 ± 2.08% from whole thight weight. The level of
preference for breast- duck meat flavour from CA was better than alabio. The
ratio of unsaturated : saturated fatty acid in crossed breed duck (CA) was lower

then in cihateup and alabio. According to the result for the crossed breed duck
cihateup-alabio (CA) in second generation (G2), it has lower composition of
unsaturated fatty acids. It was believed to make the level of preference for the
breast meat flavour of CA better than alabio.
Key words: CA G2 duck, Carcass quality, Production, Reproduction

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERFORMA PRODUKSI DAN KUALITAS KARKAS ITIK
CIHATEUP-ALABIO (CA) GENERASI DUA (G2)

FITRIANI EKA PUJI LESTARI


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Rudi Afnan, SPt, MSc, Agr

PRAKATA
Assalamualaikum Wr, Wb. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis sampaikan kepada
junjungan nabi besar Muhammad SAW, rasul akhir zaman.
Tesis dengan judul Performa Produksi dan Kualitas Karkas Itik CihateupAlabio (CA) Generasi Dua (G2) ini merupakan tugas akhir dalam memperoleh

gelar Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor (IPB). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok
B Ilmu Produksi Ternak Unggas, Laboratorium Organoleptik Fakultas Peternakan
IPB, Laboratorium Kandang Program Diploma IPB dan analisis sampel daging
itik dilaksanakan di Laboratorium Terpadu IPB Baranangsiang sejak bulan
September 2013 hingga Juni 2014.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayah dan
Ibu tercinta, Bapak Haryono dan Ibu Sri Redjeki serta adik dan keluarga yang
telah mendukung secara mental, spiritual, materi dan curahan kasih sayang.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada komisi
pembimbing Dr Jakaria, SPt, MSi dan Dr Ir Rukmiasih, MS yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam penelitian hingga terselesaikannya tesis
ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Emeritus. Dr
Peni S. Hardjosworo, MSc atas saran dan masukan dalam menyelesaikan tesis ini.
Kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas Beasiswa Unggulan saat penulis
melaksanakan sekolah di Pascasarjana IPB, kepada tim redaktur Jurnal Terapan
Program Diploma IPB yang telah banyak membantu dalam publikasi jurnal ilmiah.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Pascasarjana IPB, ketua,
sekertaris dan staf terkait Program Studi Pascasarjana Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan atas kesempatan, bimbingan dan bantuannya selama penulis
menempuh pendidikan di Program Studi Pascasarjana IPB.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Eka Koswara, SPt, Anita
Rahman, SPt, Isnaini Pujianti, SPt, kepada teman seperjuangan Danang
Priyambodo, SPt, Irma, SPt, MSi dan Tya Amalianingsih SPt, MSi atas diskusidiskusi yang sangat membantu, seluruh rekan-rekan Pascasarjana IPTP 2012-2013,
Program Alih Jenis IPTP 2008, Program Keahlian Teknologi dan Manajemen
Ternak Diploma IPB 2005, Ir Andi Murfi, MSi, Gilang Ayuningtyas, SPt, Yuni
Resti, SPt, Dudi Firmansyah, SPt, Setiawan, AMd, Fariz AM Kurniawan, SPt,
Pria Sembada, SPt, MST, MSi dan seluruh staf dan tim dosen Program Keahlian
Teknologi dan Manajemen Ternak Diploma IPB, Ida Raodah, SE, Fahrudin
Darlian, SPt, terima kasih atas hubungan persaudaraan serta kerjasama yang baik
selama ini, mohon maaf atas segala kesalahan. Kepada Pak Hamzah, Pak Jamhar,
Mas Ijul dan seluruh rekan-rekan di kandang atas segala bantuan dan kerja sama
selama penelitian dan kepada seluruh pihak yang telah membantu selama
pelaksanaan penelitian hingga terselesaikannya tesis ini, penulis mengucapkan
terima kasih. Semoga tesis ini bermanfaat.
Wassalamualaikum Wr, wb
.
Bogor, Agustus 2015
Fitriani Eka Puji Lestari


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Perumusan Masalah

1
1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Itik Lokal
Seleksi Tetua
Flavour

3
3
5
6

3 MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Materi Penelitian
Ternak
Kandang dan Peralatan
Pakan
Metode
Tahap Penelitian
Persiapan Kandang, Mesin Tetas dan Penetasan
Pemeliharaan, Analisis Sensori dan Pengambilan Data
Analisis Lemak dan Asam Lemak
Peubah yang Diamati
Analisis Data

8
8
8
8
8
9
9
9
10
10
11
11
12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Penetasan
Karakteristik Performa
Karakteristik Produksi Karkas
Sensori Daging Itik
Profil Asam Lemak

12
12
14
18
20
22

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

24
24
24

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

29

DAFTAR TABEL
1 Nutrien pakan itik induk percobaan
2 . Nutrien pakan anak itik percobaan
3 Performa penetasan itik CA selama lima periode penetasan
4 Performa itik CA umur 10 minggu
5 Produksi karkas itik CA G2 pada umur potong 10 minggu
6 Intensitas off odor daging itik alabio, cihateup dan silangannya
umur 10 minggu
7 Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma daging itik alabio,
cihateup dan silangannya umur 10 minggu
8 Kandungan lemak dan asam lemak daging bagian dada dan
paha pada itik cihateup, alabio dan silangan

9
9
12
15
18
20
20
23

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Itik cihateup jantan
Itik alabio betina
(a) itik CA jantan dan (b) itik CA betina
Grafik performa penetasan pada 5 periode penetasan yang berbeda
Grafik konsumsi pakan itik CA G2 selama 10 minggu
Pertambahan bobot badan Itik CA G2 selama 10 minggu
Grafik bobot badan itik CA G2 selama 10 minggu

3
4
5
13
15
17
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Form Uji Skalar Garis Analisis Sensori Daging Itik
Form Uji Hedonik Analisis Sensori Daging Itik
Hasil Analisis Sidik Ragam Intensitas Bau Daging Dada
Hasil Analisis Sidik Ragam Tingkat Kesukaan Bau Daging Dada
Hasil Analisis Sidik Ragam Intensitas Bau Daging Paha
Hasil Analisis Sidik Ragam Tingkat Kesukaan Bau Daging Paha

30
31
32
32
33
33

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
(2013), produksi daging secara nasional pada tahun 2013 sebesar 2 827 800 ton,
dari jumlah ketersediaan tersebut, 1 880 300 ton berasal dari ternak unggas (ayam
broiler, ayam ras petelur, ayam buras, itik dan entog, puyuh dan merpati). Sebesar
287 400 ton (15.3%) ketersediaan daging unggas berasal dari ayam lokal, 70 700
ton (3.8%) berasal dari ayam ras petelur afkir dan 1 479 800 ton (78.7%) berasal
dari daging ayam broiler, sedangkan daging itik hanya menyumbangkan 31 000
ton (1.65%).
Rendahnya produksi daging itik bila dibandingkan dengan unggas lainnya
seperti ayam broiler disebabkan karena masih jarangnya industri peternakan yang
membudidayakan ternak itik sehingga sebagian besar peternakan itik di Indonesia
masih dilakukan secara tradisional oleh masyarakat dengan pemeliharaan secara
ekstensif. Itik-itik yang dipelihara pun umumnya adalah itik lokal yang
pertumbuhannya lambat, produksi daging rendah dan efisiensi pakan yang rendah.
Indonesia memiliki banyak rumpun itik lokal yang tersebar di seluruh nusantara
namun dari keseluruhan rumpun itik yang dimiliki, belum ada rumpun itik khusus
pedaging seperti halnya itik pekin yang berasal dari Cina. Daging itik yang umum
dikonsumsi masyarakat berasal dari itik betina afkir atau itik jantan yang
dipelihara selama 10-12 minggu yang biasa disebut dengan itik potong. Selain
produksi daging yang rendah, daging itik memiliki aroma/bau amis/anyir (offodor) yang lebih kuat bila dibandingkan dengan daging ayam. Hal ini menjadi
penolakan mengkonsumsi daging itik bagi sebagian masyarakat yang kurang
menyukai aroma (off odor) tersebut. Penelitian mengenai upaya penurunan
intensitas off odor pada daging itik perlu dilakukan guna meningkatkan kesukaan
masyarakat terhadap daging itik.
Penelitian upaya meningkatkan produksi daging itik dengan intensitas off
odor yang rendah telah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian ini menggunakan
itik-itik lokal dengan berbagai perlakuan, baik dengan memodifikasi pakan
(penambahan antioksidan alami atau sintesis) ataupun memodifikasi secara
genetik (melakukan silangan antar rumpun). Salah satu itik lokal yang banyak
digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut adalah itik alabio dan cihateup.
Itik alabio adalah itik khas dari Kalimantan Selatan dan telah memiliki standar
sifat kualitatif berdasarkan Badan Standadrisasi Nasional Indonesia, sehingga ciriciri secara kualitatif sudah dapat diketahui dengan jelas. Daging itik alabio
memiliki bau yang khas, didominasi bau lemak (fatty). Sementara itik cihateup
yang merupakan itik khas dari Tasikmalaya yang potensial untuk dikembangkan.
Itik cihateup merupakan itik gunung yang mampu beradaptasi dengan lingkungan
dingin dan mampu bertahan hidup di dataran tinggi. Ciri-ciri fenotipik itik
cihateup adalah memiliki warna bulu pencilled pada jantan dan laced pada betina
dengan paruh dan kaki (shank) mayoritas berwarna hitam, dengan bentuk badan
seperti botol. Daging itik cihateup memiliki bau dominan berupa bau fishy atau
amis.

2
Penelitian mengenai upaya peningkatan produksi daging itik dengan
intensitas off-odor yang rendah dilakukan oleh Matitaputty et al. (2011), yang
melaporkan bahwa produktivitas daging yang cukup baik diperoleh dari silangan
antara itik cihateup jantan dengan itik alabio betina, selanjutnya itik silangan
tersebut diberi nama itik CA. Bobot potong itik CA jantan pada umur 8 minggu
mencapai 1 412.80 g dengan persentase karkas 63.74% dan konversi pakan
sebesar 2.54. Konversi ini lebih rendah bila dibandingkan dengan angka konversi
itik yang lainnya seperti alabio (2.79), cihateup (2.83) dan AC (2.66). Intensitas
off-odor itik CA lebih rendah dan tingkat penerimaan panelis terhadap aroma
daging lebih tinggi dibandingkan dengan alabio dan cihateup. Penelitian lanjutan
mengenai keturunan silangan antar CA telah dilakukan guna mengkaji kestabilan
produktivitas itik CA baik dalam produksi daging maupun intensitas off-odor.
Diharapkan dari hasil penelitian ini didapat informasi itik yang memproduksi
daging tinggi dengan intensitas off-odor yang rendah.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengevaluasi
performa reproduksi, pertumbuhan dan kualitas karkas itik hasil silangan antar itik
cihateup-alabio (CA) generasi dua (G2).

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah mendapatkan informasi dasar data performa
reproduksi, pertumbuhan, kualitas karkas itik cihateup, alabio dan silangan yang
diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah kedua jenis rumpun itik tersebut.

Perumusan Masalah
Rendahnya produksi daging itik lokal bila dibandingkan dengan ayam ras
disebabkan karena pertumbuhan yang lambat, produksi daging yang rendah dan
efisiensi pakan yang rendah. Selain itu daging itik lokal memiliki intensitas off
odor yang kuat bila dibandingkan dengan daging ayam. Hal ini menyebabkan
penolakan bagi konsumen yang tidak menyukai off odor daging itik. Beberapa
penelitian upaya meningkatkan produksi daging itik dengan intensitas off-odor
yang rendah telah dilakukan, salah satu hasil penelitian tersebut melaporkan
bahwa hasil persilangan antara itik cihateup jantan yang disilangkan dengan itik
alabio betina (CA) menghasilkan itik dengan pertumbuhan, perdagingan dan
intensitas off-odor yang relatif lebih baik dibandingkan dengan tetuanya. Hal ini
dapat menjadi nilai tambah untuk itik cihateup, alabio dan menjadi potensi itik
sumber daging di Indonesia. Pengamatan nilai tambah ini perlu dilakukan pada
generasi 2 (G2), guna mengetahui profil produksi dan kestabilan nilai tambah
tersebut pada generasi berikutnya.

3
2 TINJAUAN PUSTAKA

Itik Lokal

Itik termasuk dalam kelompok unggas air (waterfowl) yang mempunyai
klasifikasi sebagai berikut: kelas Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae,
subfamili Anatinae, rumpun (tribe) Anatini, genus Anas, spesies Anas
plathyrhynchos (Achwanu 1997). Itik cihateup berasal dari Desa Cihateup,
Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Selain
dikembangkan di daerah asalnya, itik cihateup juga telah dikembangkan di daerah
Garut. Daerah Cihateup berada pada ketinggian 378 m di atas permukaan laut
(dpl) yang merupakan dataran tinggi, sehingga itik tersebut disebut juga dengan
itik gunung. Daya adaptasi terhadap lingkungan dingin baik, sehingga itik tersebut
sangat sesuai dipelihara untuk daerah dingin atau pegunungan (Wulandari 2005).
Secara umum ciri-ciri fisik itik cihateup mirip dengan itik-itik jawa lainnya,
seperti itik karawang, itik cirebon ataupun itik tegal. Walaupun demikian, secara
genetik terdapat sedikit keragaman di antara itik-itik tersebut (Muzani 2005). Bulu
itik cihateup berwarna coklat, sedangkan paruh dan shank berwarna hitam. Warna
itik cihateup jantan dewasa lebih gelap, bahkan bulu di sekitar kepala mengarah
kehitaman, akan tetapi betina memiliki warna bulu yang lebih cerah. Bentuk
badan itik cihateup serupa dengan itik jawa pada umumnya, yaitu berbadan
langsing seperti botol, dengan leher bulat panjang. Jika berjalan lebih tegak
dibandingkan dengan itik alabio. Postur itik cihateup jantan dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1 Itik cihateup jantan
Beberapa ukuran tubuh itik cihateup, misalnya lingkar dada lebih besar dari
itik cirebon maupun itik mojosari, hal ini dapat menjadi indikasi bahwa itik
cihateup memiliki potensi penghasil daging yang lebih baik daripada itik cirebon
dan mojosari (Muzani 2005). Itik jantan cihateup lebih efisien dalam
memanfaatkan ransum untuk pertumbuhan dibandingkan dengan itik betina.
Kemampuan pertumbuhan yang cukup baik pada ternak jantan terlihat dari bobot
potong itik cihateup yang berumur 14 minggu, berkisar antara 1 470-1 550 g/ekor
dengan nilai konversi ransum sekitar 6.7. Rataan bobot telur itik cihateup yang

4
berasal dari Tasikmalaya sebesar 68 g dengan indeks telur 80.19%, fertilitas itik
cihateup sebesar 61% dengan kemampuan daya tetas telur itik sebesar 65.12%
(Wulandari et a., 2005).
Itik alabio merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal yang
mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Itik ini telah lama dipelihara dan
berkembang di Kalimantan Selatan. Itik Alabio semula digembalakan di daerah
persawahan, rawa-rawa dan sungai (Suryana 2011). Itik ini merupakan salah satu
rumpun itik lokal yang sudah cukup lama dikenal. Meskipun tergolong sebagai
jenis itik penghasil telur, itik alabio jantan juga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber penghasil daging. Itik ini telah lama dipelihara dan berkembang di
Kalimantan Selatan (Suryana 2011). Menurut Randa (2007), itik alabio jantan
memiliki persentasi karkas yang lebih besar dari itik cihateup.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 2009a), itik alabio memiliki
ciri-ciri antara lain postur tubuh tegak membentuk sudut 70º, paruh berwarna
kuning sampai kuning jingga dengan bercak hitam pada bagian ujung, terdapat
bulu putih membentuk garis mulai dari pangkal paruh sampai ke bagian belakang
kepala dan bulu kepala bagian atas berwarna hitam, kaki berwarna kuning jingga,
bulu leher bagian depan berwarna putih, bulu dada berwarna coklat kemerahan,
bulu punggung dan perut berwarna abu-abu dengan bercak coklat, bulu sayap
sekunder berwarna biru kehijauan dan mengkilap, bulu ekor berwarna coklat
bercak hitam. Ciri-ciri itik alabio betina dapat dilihat seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Itik alabio betina
Menurut Syaifudin (2013), rataan konsumsi itik alabio selama umur
pemeliharaan 0-8 minggu sebesar 4 141.33 g/ekor pada jantan dan 4 136.5 g/ekor
pada itik alabio betina. Rataan bobot akhir alabio jantan umur 8 minggu sebesar
1 302.23 g dan betina sebesar 1 225.38 g dengan konversi pakan sebesar 3.22
pada itik alabio jantan dan 3.55 pada itik alabio betina. Menurut Suryana (2011),
itik alabio bertelur pertama kali saat berumur 6-6.5 bulan (24-26 minggu) dengan
rataan bobot telur pertama sebesar 60.21 g, fertilitas itik alabio berkisar antara
87.30 - 96.50% dengan kemampuan daya tetas telur sebesar 50.84 - 60.44% dan
bobot tetas day old duck (DOD) berkisar antara 40.65 - 43.92 g.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas itik lokal khususnya
sebagai penghasil daging yaitu dengan jalan kawin silang (crossedbreeding).
Persilangan antar dua galur atau rumpun ternak yang berbeda sering digunakan
dalam suatu sistem produksi untuk memanfaatkan keunggulan hibrida (heterosis)
dari hasil persilangan. Persilangan ini diharapkan dapat menghasilkan itik hibrida
(G1) yang memiliki performa yang lebih baik dari tetuanya. Itik CA adalah itik

5
persilangan antara itik jantan cihateup dan itik betina alabio. Berdasarkan hasil
penelitian Matitaputty (2012), Itik dengan genotip CA merupakan itik dengan
performa terbaik bila dibandingkan dengan itik persilangan alabio x alabio,
cihateup x cihateup atau persilangan antara itik alabio jantan x cihateup betina.
Selain itu itik persilangan CA memperlihatkan keunggulan dan memberi manfaat
terbaik untuk sifat daya tetas dengan menunjukkan nilai heterosis yang tinggi di
atas tetua murni yaitu cihateup dan alabio. Gambar 3 menunjukkan gambar itik
CA jantan dan betina.

(a)

(b)

Gambar 3 (a) Itik CA jantan dan (b) itik CA betina

Seleksi Tetua
Seleksi individu paling berguna untuk sifat-sifat yang dapat diukur pada
kedua jenis kelamin sebelum dewasa atau sebelum umur perkawinan pertama.
Salah satu sifat yang dapat diukur adalah laju pertumbuhan. Catatan penampilan
produksi diperlukan untuk menghasilkan program yang efektif, catatan produksi
tersebut dibuat pada seluruh populasi seleksi yang akan dilakukan (Warwick
1990). Namun seleksi individu memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya
adalah sifat-sifat yang nampak pada jenis kelamin tertentu seperti produksi telur
atau sifat-sifat induk (maternal) pada betina, pada ternak jantan yang akan
diseleksi tidak dapat dipilih berdasarkan penampilannya sendiri. Selain itu bila
ingin melakukan seleksi berdasarkan catatan produksi telur atau kualitas induk
baru dapat dilakukan setelah dewasa, sehingga bila seleksi dilakukan sebelum
dewasa harus digunakan beberapa kriteria selain penampilan individu (Warwick
1990). Seleksi individu sangat penting dilakukan, seluruh genotipe dari individu
yang dipilih akan diturunkan pada generasi berikutnya. Setiap individu memiliki
rangkaian gen baik gen-gen yang dikehendaki maupun gen-gen yang kurang
dikehendaki. Seleksi ditujukan pada ternak-ternak yang kemungkinannya paling
besar mempunyai genotipe paling baik, sampai teknik rekombinan DNA
memungkinkan untuk mengubah genotipe atau menentukan gen yang akan
diwariskan pada keturunannya. Genotipe yang dipilih adalah genotipe yang paling
sesuai dengan tujuan seleksi dengan mempertimbangkan lingkungan tempat
ternak tersebut akan dipelihara.
Seleksi berdasarkan silsilah adalah seleksi individu yang sebagian atau
secara keseluruhan berdasarkan atas informasi tetuanya. Informasi silsilah

6
merupakan alat seleksi yang berguna selama catatan produksi dilakukan secara
valid. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu manajemen
pemeliharaan dan lingkungan pemeliharaan antara tetua dan keturunannya harus
dilakukan pada lingkungan yang sama agar memperoleh data produksi yang valid.
Setelah seleksi dilakukan, hal selanjutnya yang penting diperhatikan
adalah sistem perkawinan yang akan dilakukan untuk memperoleh keturunan yang
sesuai dengan yang diharapkan. Sistem perkawinan yang banyak diketahui adalah
perkawinan individu-individu yang berkerabat (inbreeding) dan perkawinan
individu-individu tak berkerabat (outbreeding). Perkawinan berkerabat apabila
perkawinan tersebut terjadi pada individu-individu yang mempunyai satu atau
lebih nenek moyang bersama. Dengan definisi luas ini, apabila leluhurnya
ditelusur hingga beberapa generasi kebelakang, satu ternak dari satu bangsa atau
species memiliki kemungkinan berkerabat. Untuk itu, biasanya ternak-ternak
dianggap berkerabat bila mempunyai nenek moyang yang sama pada 4-6 generasi
pertama dari silsilahnya. Ternak-ternak yang tidak mempunyai moyang bersama
pada empat sampai enam generasi pertama dari silsilahnya dianggap mempunyai
kekerabatan yang sama seperti kekerabatan antara ternak-ternak acak dalam
populasi. Perkawinan interse merupakan perkawinan antar sesama jenis dari
spesies itu sendiri. Dalam sistem semacam ini berkembang biak, betina G1 yang
dikawinkan dengan jantan G1 dari jenis yang sama (Warwick 1990).

Flavour
Flavour didefinisikan sebagai keseluruhan kesan (sensasi) yang diterima
oleh indera manusia pada saat makan atau minum. Kesan yang diterima ini sangat
kompleks dan saling mempengaruhi antara satu kesan dengan kesan lainnya, akan
tetapi aromalah yang menjadi pusat perhatian. Secara umum aroma suatu
makanan atau minuman merupakan salah satu faktor utama yang menjadi
perhatian diterimanya suatu makanan atau minuman (Apriyantono 1997).
Daging dan produk daging merupakan bahan pangan yang bergizi tinggi,
terutama pada komposisi protein khususnya asam amino essensial dan nonessensial yang dibutuhkan oleh manusia. Karakteristik sensori daging pun mudah
diterima oleh konsumen, karakteristik tersebut meliputi, aroma, flavour, dan
lainnya yang mempengaruhi tingkat kesukaan daging. Karakteristik sensori flavor
pada daging merupakan sensasi kompleks yang meliputi bau, rasa dan tekstur.
Bau atau aroma tidak selalu sesuai dengan keadaan aslinya. Menurut
Apriyantono dan Farid (2001), penyimpangan bau/aroma dari bau/aroma normal
diistilahkan dengan off-flavour. Off-flavour ini dapat menjadi mempengaruhi
tingkat penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Off-flavour dapat terjadi
akibat kontaminasi dari luar ataupun dapat berasal dari dalam bahan pangan itu
sendiri seperti akibat terjadinya oksidasi lipid, reaksi kecoklatan non enzimatis
dan aktifitas enzimatis. Penyimpangan bau atau rasa tersebut terbentuk selama
pengolahan dan penyimpanan, penyebabnya berasal dari perubahan yang terjadi
pada komponen yang ada dalam makanan tersebut. Jika penyebab penyimpangan
bau atau rasa tersebut berasal dari luar dan terserap ke dalam makanan disebut
taint.

7
Penyebab off-flavor pada daging ini disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya adalah perbedaan genetik, pakan, perubahan kimia (oksidasi lemak),
reaksi yang diinduksi oleh aktivitas dan akibat pengolahan. Pada daging unggas,
perbedaan off-flavour dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti perbedaan jenis
unggas, umur dan jenis kelamin, off-flavour akibat perbedaan pakan, off-flavour
akibat perubahan kimia, dan akibat pengolahan pangan.
Secara genetik, daging memiliki komposisi penyusun daging yang
berbeda. Seperti yang dilaporkan Ali et al. (2007), persentase protein pada daging
dada ayam nyata lebih tinggi dibandingkan dengan daging dada itik yaitu secara
berturut-turut 22% dan 20%, sementara persentase lemak pada daging dada itik
nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan persentase lemak daging dada ayam
yaitu secara berturut-turut 1.84% dan 1.05%. Matitaputty (2012) melaporkan
bahwa ada perbedaan nyata pada kandungan lemak antara itik cihateup, alabio dan
persilangan keduanya. Persilangan itik cihateup jantan dan alabio betina atau
sebaliknya memiliki kandungan lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan
tetuanya. Selain perbedaan protein dan lemak, komposisi lain yang mempengaruhi
flavour daging adalah kandungan myoglobin (kadar pigmen daging) dan pigmen
darah (haemoglobin). Menurut Apriyantono dan Farid (2001), kandungan
myoglobin dan haemoglobin dapat mempercepat laju oksidasi lemak yang dapat
menyebabkan ketengikan dan off-flavour selama penyimpanan, sementara
kandungan asam lemak dalam daging juga dapat menghasilkan flavour yang
berbeda pula. Selain komposisi daging, umur dan jenis kelamin ternak dapat
mempengaruhi flavour daging yang dihasilkan. Menurut Mattitaputty (2012),
secara genetik aroma bau amis/anyir yang dominan pada ternak jantan diduga
akibat dari pengaruh gen-gen yang ada di kromosom kelamin Z.
Selain faktor diatas, faktor berikutnya yang menyebabkan off-flavour pada
ternak unggas adalah pakan. Ternak unggas, banyak memakan makanan yang
mengandung protein dan lemak yang tinggi. Apabila pakan banyak mengandung
asam lemak tidak jenuh, maka akan mudah terbentuk volatil hasil degradasi lipid,
seperti heksanal, dekadienal, dekanal. Komponen-komponen volatil turunan lipid
ini sangat berperan untuk menghasilkan off-odor (bau yang tidak sedap) pada
daging seperti bau tengik, langu, fatty dan fishy. Berdasarkan penelitian
Matitaputty (2012), itik cihateup memiliki komponen off-odor dominan berbau
fishy atau amis sedangkan itik alabio memiliki komponen off-odor dominan
berbau fatty atau berlemak. Berdasarkan hasil penelitian Rukmiasih (2011),
pemberian daun beluntas sebanyak 1-2% dalam pakan, sangat nyata dapat
menurunkan off-odor pada daging itik. Berdasarkan hasil penelitian Randa (2007),
pemberian antioksidan berupa vitamin C sebanyak 250 mg/kg dan E dalam pakan
sebanyak 400 IU/kg nyata dapat menurunkan off-odor daging itik.
Pengujian flavour dapat dilakukan dengan pengujian sensori atau
pengujian panca indra (atau biasa yang dikenal dengan pengujian organoleptik)
dan ditunjang dengan pengujian labolatorium komposisi daging yang dianalisis.
Pengujian ini menggunakan manusia sebagai objek analisis sekaligus sebagai
penentu hasil atau data yang diperoleh dengan mengedepankan metode ilmiah
untuk menjelaskan fenomena sensori. Analisis sensori merupakan disiplin ilmu
yang membutuhkan standarisasi dan pengendalian yang tepat pada setiap tahap,
mulai dari persiapan contoh, pengukuran respon, analisis data dan interpretasi
hasil (Setyaningsih et al. 2010)

8
Analisis Sensori adalah suatu proses identifikasi, pengukuran ilmiah,
analisis, dan interpretasi atribut-atribut produk melalui lima panca indra manusia.
Analisis sensori pada dasarnya bersifat subjektif dan objektif. Analisis objektif
ingin menjawab pertanyaan dasar dalam penilaian kualitas suatu produk, yaitu
pembeda dan deskripsi, sementara subjektif berkaitan dengan kesukaan atau
penerimaaan. Tujuan analisis sensori adalah untuk mengetahui respon atau kesan
yang diperoleh pancaindra manusia terhadap suatu rangsangan yang ditimbulkan
oleh suatu produk. Analisis sensori umumnya digunakan untuk menjawab
pertanyaan mengenai kualitas suatu produk dan pertanyaan yang berhubungan
dengan pembedaan, deskripsi, dan kesukaan atau penerimaan (afeksi)
(Setyaningsih et al. 2010).

3 MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Pemeliharaan ternak itik dilakukan di Laboratorium Kandang Blok B,
Fakultas Petenakan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Kandang Program
Diploma IPB. Analisis sensori dilaksanakan di laboratoriun organoleptik Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan analisis lemak dan asam lemak
dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Baranangsiang Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini dilaksanakan selama 10 bulan dari bulan September 2013 hingga
Juni 2014.

Materi Penelitian
Ternak
Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah itik hasil persilangan
Cihateup jantan dan Alabio betina (CA) G1 berjumlah 80 ekor itik CA betina
berumur 30 minggu dan 20 ekor itik CA jantan berumur 30 minggu yang berasal
dari kota Bogor. Itik CA G2 yang diamati berjumlah 109 ekor yang terdiri atas 51
ekor itik CA betina dan 58 ekor itik CA jantan.
Kandang dan Peralatan
Kandang induk yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang
kelompok dengan sistem litter yang berukuran 3 x 3 m2 sebanyak 2 unit kandang
dengan sekam setinggi 5-10 cm. Sementara pemeliharaan anak dilakukan di dalam
boks berukuran 1 x 1 x 1m dengan tinggi kandang dari lantai ±50 cm, dengan
kepadatan kandang maksimum 15 ekor/m3. Saat DOD, kandang diberi pemanas
berupa lampu neon 60 watt diberikan hingga itik berumur 2 minggu. Peralatan
yang digunakan selama pemeliharaan itik adalah tempat makan, tempat minum,
timbangan, ember dan peralatan potong yang digunakan saat pemotongan itik.

9
Pakan
Pakan yang diberikan selama penelitian adalah pakan komersial buatan
pabrik. Pemberian pakan diberikan tiga kali dalam sehari yaitu pada pukul 07.30
12.00 WIB dan 16.00 WIB dan pemberian air minum dilakukan ad libitum. Pada
induk, pakan diberikan sebanyak 150 g/ekor/hari. Kandungan nutrien pakan itik
induk yang digunakan disajikan pada Tabel 1 dan kandungan pakan anak itik
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1 Nutrien pakan itik induk percobaan
Zat-zat Makanan

Kandungan nutrisi (%)

Bahan Kering
Abu
Protein
Serat Kasar
Lemak
Kalsium/Ca
Fosfor/P

87
14
17
6
3
3.0-4.2
0.6-1.0

Keterangan : Pakan Komersil Gold Coin (105-M)

Tabel 2 Nutrien pakan anak itik percobaan
Zat-zat Makanan
Kadar Air maksimal (%)
Protein (%)
Lemak minimal (%)
Serat kasar maksimal (%)
Abu maksimal (%)
Kalsium/Ca minimal (%)
Fosfor/P minimal (%)
Energi Metabolis (KKal/kg)

Kandungan nutrisi
13
21-23
5
6
7
0.9
0.6
2900-3000

Keterangan : Pakan Komersil Caroen Pokphand (CP-BR511)

Metode Penelitian
Tahap Penelitian
Sebelum dilakukan perkawinan antar itik CA, induk itik baik CA jantan
maupun CA betina diseleksi terlebih dahulu. Seleksi dilakukan berdasarkan
pengamatan secara fisik yaitu induk dengan ciri-ciri berbadan tegap, sehat dan
lincah serta induk dengan bobot badan 80% tertinggi dari seluruh bobot badan itik
CA yang ada. Setelah dilakukan seleksi pada itik jantan dan betina, kemudian
dilakukan pencampuran antara CA jantan dan CA betina dengan perbandingan
jantan-betina yaitu 1 : 4. Telur-telur dikoleksi dan ditetaskan setelah 1 minggu
pencampuran jantan dan betina. Pengumpulan telur tetas dilakukan setiap 5 hari.
Hasil pengumpulan telur selama 5 hari kemudian dieram dalam mesin tetas.
Kelompok pengoleksian telur dihitung sebagai ulangan dan dilakukan sebanyak 4
kali ulangan.

10

Persiapan Kandang, Mesin Tetas dan Penetasan
Mesin tetas yang digunakan dalam keadaan bersih dan baik. Sebelum telur
dimasukkan, mesin tetas difumigasi terlebih dahulu dengan dosis 3 kali kekuatan.
Setelah itu mesin tetas dinyalakan selama beberapa jam agar suhu di dalam mesin
tetas stabil. Selanjutnya telur-telur yang siap ditetaskan dimasukkan ke dalam
mesin tetas kemudian difumigasi dengan dosis 2 kali kekuatan.
Selama penetasan berlangsung, telur diputar sebanyak 3 kali dalam sehari,
suhu dan kelembaban mesin tetas selalu dijaga guna menghindari terjadinya
perubahan suhu yang tinggi pada telur. Pada hari ke 7,14,21 dan 25 dilakukan
candling telur untuk mengetahui telur-telur yang fertil dan hidup, telur-telur yang
tidak dibuahi dan tidak berkembang dikeluarkan dari mesin tetas. Pada hari ke -25,
telur dipindahkan dari rak setter ke rak hatcher. Telur yang tidak menetas dan sisa
kerabang, dikeluarkan dari mesin hatcher
Kandang dan peralatan dibersihkan terlebih dahulu, peralatan lain seperti
tempat pakan dan tempat air minum dicuci hingga bersih. Boks tempat
pemeliharaan anak diberi lampu 60 watt sebagai indukan dan dinyalakan 4 jam
sebelum digunakan serta diberi terpal pada bagian sisi untuk melindungi anak itik
dari angin dan menjaga agar udara di dalam boks tetap hangat.
Pemeliharaan, Analisis Sensori dan Pengambilan Data
DOD yang menetas dikeluarkan dari mesin tetas beberapa saat setelah
bulunya kering kemudian diberi identitas dengan cara pemberian nomor sayap
(wing band) dan selanjutnya ditimbang untuk mengetahui bobot tetas (bobot awal).
Pada awal pemeliharaan, itik diberi penghangat dengan menggunakan
lampu bohlam yang berukuran 60 watt untuk 10-20 ekor anak itik. Pemberian
penghangat dilakukan selama 2 minggu hingga bulu pin (bulu sayap) telah
tumbuh. Itik dipelihara hingga berumur 10 minggu. Pengamatan pertumbuhan
dilakukan dengan cara melakukan penimbangan pada individu ternak setiap
minggu. Itik dipotong pada umur 10 minggu kemudian dilakukan pemisahan dada
dan paha dan pemisahan daging dan tulang (deboning).
Daging itik yang digunakan berasal dari 8 ekor itik cihateup jantan, 9 ekor
itik alabio jantan dan 19 ekor itik silangan jantan dan daging yang digunakan
adalah daging bagian dada dan paha. Masing-masing daging dada dan paha
dengan kulit digiling menggunakan grinder kemudian dihomogenisasi dengan
menggunakan food processor. Penggunaan daging untuk analisis sensori
dilakukan dengan cara daging ditimbang dalam sebuah botol berukuran 5 ml
seberat 1 g dan ditambahkan air sebanyak 2 g, kemudian dipanaskan dalam 150 cc
air selama 5 menit dari air mendidih, sedangkan untuk sampel analisis lemak dan
asam lemak, setelah daging dihomogenisasi dengan food processor, daging
ditimbang sebanyak 50 g dalam plastic sheet, kemudian segera dibekukan untuk
selanjutnya dilakukan analisis lemak dan asam lemak di laboratorium terpadu IPB
Baranang Siang.
Sampel kontrol standar untuk analisis sensori terbuat dari kaldu kelenjar
minyak itik cihateup jantan dewasa (bagian tunggir). Pertama tunggir dipotong
kecil-kecil, kemudian ditambah air dengan perbandingan 1 bagian tunggir dengan
10 bagian air, kemudian direbus hingga 30 menit dalam keadaan panci tertutup.
Kaldu yang dihasilkan dimasukan ke dalam botol 5 ml sebanyak 3 ml.

11
Perbandingan air dan tunggir 1:10 masih memungkinkan panelis dapat
membedakan aroma menyimpang dari sampel kontrol.
Analisis sensori dilakukan dengan membandingkan masing-masing daging
dada dan daging paha pada ketiga rumpun itik. Pengujian intensitas off odor
menggunakan uji skalar garis (intensitas bau) dan tingkat kesukaan aroma daging
itik dilakukan dengan uji hedonik (tingkat kesukaan) dari panelis tidak terlatih.
Pengujian terhadap intensitas off odor, tingkat kesukaan dan komposisi asam
lemak dilakukan dengan membandingkan daging bagian dada dari ketiga rumpun
dan paha dari ketiga rumpun itik yang berbeda. Jumlah panelis yang digunakan
pada analisis sensori ini sebanyak 80 – 85 orang, dengan masing-masing panelis
melakukan 3 ulangan uji skalar dan uji hedonik dengan kode sampel yang diacak.
Nilai uji skalar dari 0-15 dengan nilai 15 menunjukkan off odor yang tertinggi.
Nilai uji hedonik dari 1-6 dengan nilai 6 menunjukkan panelis sangat menyukai
aroma daging itik.
Analisis Lemak dan Asam Lemak
Analisis lemak dan asam lemak dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB
Baranangsiang. Ekstrasi lemak dilakukan dengan ekstrasi lemak bebas dengan
pelarut non polar dengan alat Soxhlet. Pengujian dilakukan dengan cara
menimbang 7-10 g sampel bahan kering kemudian dimasukan ke dalam
selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Selongsong kertas yang berisi
sampel disumbat menggunakan kapas, kemudian dimasukan ke dalam alat soxhlet
yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah
dikeringkan dan diketahui bobotnya. Selanjutnya diekstrak dengan petrolium eter
atau pelarut lemak lainnya selama kurang lebih enam jam. Setelah enam jam,
pentrolium eter disuling dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pengering
pada suhu 105 oC. Selanjutnya lemak kering didinginkan dan ditimbang.
Pengeringan ini dilakukan hingga beberapa kali ulngan sampai tercapai bobot
tetap. Kemudian dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Kadar lemak (%) =
Keterangan : W = Bobot sampel (g)
W1 = Bobot labu sebelum ekstraksi (g)
W2 = Bobot labu sesudah ekstraksi (g)
Analisis asam lemak dilakukan dengan metode Gas Cromatografi (GC).
Sampel yang digunakan adalah lemak yang berasal dari analisis lemak.

Peubah yang Diamati

1.
2.

Peubah yang diamati meliputi:
Karakteristik penetasan meliputi: fertilitas, daya tetas telur, bobot tetas hasil
perkawinan interse itik CA
Karakteristik performa produksi meliputi: bobot badan (g), konsumsi pakan
(g), pertambahan bobot badan (g), dan konversi pakan.

12
3.

4.
5.

Karakteristik produksi karkas meliputi: bobot potong umur 10 minggu (g),
persentase karkas dari bobot potong (%), persentase dada dan paha dari bobot
karkas (%), persentase daging dada dan paha dari bobot dada dan paha utuh
(%).
Analisis sensori (intensitas off odor dan tingkat kesukaan) daging itik
persilangan CA G2 dibandingkan dengan itik alabio dan cihateup murni.
Analisis lemak dan asam lemak daging itik persilangan CA G2 dibandingkan
dengan itik alabio dan cihateup murni.

Analisis Data
Karakteristik penetasan, performa, karkas dan hasil analisis lemak dan
asam lemak dianalisis dengan menggunakan microsoft excel dan dibahas secara
deskriptif. Data sensori (intensitas off odor dan tingkat kesukaan panelis terhadap
aroma daging itik) yang diperoleh, diolah dengan menggunakan Analisis Varian
(ANOVA) dan diuji lanjut Duncan (Setyaningsih 2010) dengan menggunakan
bantuan Program SAS, sedangkan hasil analisis lemak dan asam lemak
dibandingkan secara deskriptif.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Penetasan
Performa penetasan yang diamati meliputi fertilitas telur, daya tetas dan
bobot tetas telur itik hasil persilangan antar itik CA. Tabel 3 menunjukkan
performa penetasan itik CA G2 selama 4 periode penetasan dan Gambar 4
menunjukkan grafik performa penetasan pada ke lima periode yang berbeda.
Tabel 3 Performa penetasan itik CA G2 selama empat periode penetasan
Total
(Butir)

Variabel
Banyaknya telur
masuk/dieram
Fertilitas
Menetas
Rataan
bobot
telur
Rataan
bobot
tetas
Keterangan:

1)

Rataan
386
273
179

Persentase
(%)

96.5±52.28 butir/periode
68.25±69.37 butir/periode 70.73 ± 34.91)
44.75±46.87 butir/periode
65.57 ± 6.412)

-

65.5 ± 5.50 gram/periode

-

42.24 ± 5.29 gram/periode

Persentase berdasarkan telur masuk/dieram, 2)Persentase berdasarkan telur fertil

Dari Tabel 3 diketahui bahwa total telur yang digunakan dalam penelitian
ini sebanyak 386 butir. Jumlah telur relatif meningkat selama empat periode
penetasan, banyaknya telur yang diproduksi pada periode pertama sebanyak 58
butir, periode ke dua sebanyak 69 butir, periode ke tiga sebanyak 86 butir dan
produksi telur tertinggi berada di periode ke empat dengan jumlah telur sebanyak

13
173 butir. Menurut Suryana et al. (2010), produksi telur akan meningkat seiring
dengan penambahan umur itik dan pemberian pakan yang memadai. Grafik
persentase ferilitas, daya tetas dan kematian embrio selama penetasan disajikan
pada Gambar 4.
92% 94%

100%
90%
80%

73%

70%

60%

60%

68%
59%

50%
32%

27%

30%
20%

41%

40%

40%

32%

17%

10%
0%
fertilitas (%)
Periode ke 1

daya tetas (%)
Periode ke 2

Periode ke 3

telur mati (%)
Periode ke 4

Gambar 4 Grafik performa penetasan pada 4 periode penetasan yang
berbeda
Gambar 4 menunjukkan fertilitas telur di awal periode penetasan masih
rendah yaitu berkisar antara 17.24 - 31.88% dan meningkat pada periode
penetasan ke tiga dan ke empat yaitu berkisar antara 92 - 94%. Hal ini
membuktikan bahwa lamanya pencampuran jantan dan betina dapat
mempengaruhi fertilitas telur. Pada periode pertama, telur itik dikoleksi setelah
dilakukan pencampuran jantan dan betina selama satu minggu, pengumpulan telur
dilakukan setiap lima hari. Semakin lama pencampuran maka semakin tinggi
kesempatan itik jantan mengawini itik betina sehingga fertilitas semakin
meningkat. Berdasarkan hasil penelitian Matitaputty (2012), fertilitas telur hasil
persilangan antar itik cihateup jantan dan itik alabio betina (menghasilkan CA
generasi 1) yaitu sebesar 95.19% ± 1.99% dengan perbandingan jantan : betina
yang digunakan sebesar 1:4 perbandingan jantan dan betina ini sama dengan
perbandingan jantan dan betina pada perkawinan itik CA G1 (menghasilkan CA
G2). Penelitian lain menunjukkan fertilitas telur itik alabio dan cihateup murni
dengan perbandingan jantan dan betina 1:10 secara berturut-turut yaitu sebesar
95.67% dan 74.50% (Darmawati 2013). Setioko et al. (2004) melaporkan fertilitas
telur itik hasil persilangan pekin jantan dan alabio betina dengan menggunakan
metode perkawinan buatan (IB) sebesar 92.81%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi fertilitas adalah kebakaan/pewarisan seperti bangsa dan galur, juga
faktor lingkungan dan faktor-faktor manajemen termasuk diantaranya adalah
perbandingan jantan-betina dan lama pencampuranjantan ke kelompok betina.
Sementara persentase daya tetas selama empat periode penetasan berkisar
antara 59.5 – 72.7 %. Menurut Suryana et al. (2010) temperatur dan kelembaban
merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan penetasan telur. Tinggirendahnya temperatur dapat disebabkan oleh panas dalam alat penetas kurang
stabil. Matitaputty (2012) melaporkan bahwa daya tetas telur itik hasil persilangan

14
cihateup jantan dan alabio betina adalah sebesar 61 ± 3.88%, daya tetas ini lebih
rendah bila dibandingkan dengan daya tetas telur itik hasil persilangan antar itik
CA yaitu sebesar 65.57 ± 6.41%. Penelitian lain melaporkan daya tetas telur itik
hasil persilangan pekin jantan dan alabio betina dengan menggunakan metode
perkawinan buatan (IB) sebesar 72.94% (Setioko et al. 2004). Lasmin