Keefektifan Cendawan Endofit untuk Menekan Infeksi Chilli veinal mottle virus pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.)

2

KEEFEKTIFAN CENDAWAN ENDOFIT UNTUK MENEKAN
INFEKSI CHILLI VEINAL MOTTLE VIRUS PADA TANAMAN
CABAI (Capsicum annuum L.)

ARIF MARWANTO

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

3

ABSTRAK

ARIF MARWANTO. Keefektifan cendawan endofit untuk menekan infeksi
Chilli veinal mottle virus pada tanaman cabai (Capsicum annuum L.) Dibimbing
oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT.
Cabai merupakan salah satu jenis komoditas hortikultura penting di

Indonesia karena memiliki nilai ekonomi dan konsumsi yang tinggi. Infeksi Chilli
veinal mottle virus merupakan salah satu kendala terhadap produktivitas cabai
nasional. Penelitian bertujuan mengevaluasi potensi 3 jenis cendawan endofit (H1,
H5, dan H12) dalam menekan infeksi ChiVMV dan meningkatkan pertumbuhan
tanaman cabai. Cendawan endofit diberikan melalui perlakuan benih dan
penyemprotan daun pada tanaman cabai varietas TM88. Inokulasi virus dilakukan
secara mekanis dan deteksi virus menggunakan metode Double Antibody
Sandwich ELISA (DAS ELISA). Rancangan percobaan adalah rancangan acak
lengkap dengan 4 perlakuan cendawan endofit (cendawan isolat H1, H5, H12 dan
tanpa cendawan endofit) masing-masing diulang 3 kali. Pengamatan dilakukan
terhadap tinggi tanaman, volume akar, dan kejadian penyakit. Analisis data
menggunakan analisis ragam (ANOVA) dilanjutkan dengan uji Duncan taraf 5%.
Perlakuan cendawan endofit (H1, H5, dan H12) dapat menekan perkembangan
ChiVMV berdasarkan nilai absorbansi ELISA yang lebih rendah daripada
perlakuan tanpa cendawan endofit, terutama perlakuan cendawan endofit H5.
Walaupun demikian perlakuan cendawan endofit tidak dapat menekan persentase
kejadian penyakit. Berdasarkan pertumbuhan tinggi tanaman hanya perlakuan
cendawan endofit H5 saja yang dapat meningkatkan tinggi tanaman hingga umur
tanaman 4 minggu setelah tanam.
Kata kunci: cabai, cendawan endofit, ChiVMV, ELISA


3

ABSTRACT

ARIF MARWANTO. Effectiveness of endophytic fungi to suppress Chilli vein
mottle virus infection in chilli pepper (Capsicum annuum L.) Supervised by SRI
HENDRASTUTI HIDAYAT.
Chillipepper is an important horticultural commodity in Indonesia because
of it’s economics and consumption value. Infection of Chilli veinal mottle virus
(ChiVMV) is a constraint to chillipepper production. This research is conducted to
evaluate the potency of 3 isolates of endophytic fungi (H1, H5, and H12) to
suppress ChiVMV infection and to improve growth of chillipepper. The
endophytyic fungi was applied through seed treatment and leaf spray on
chillipepper variety TM88. Virus inoculation was done mechanically and virus
detection was conducted using Double Antibody Sandwich ELISA (DAS ELISA).
Experiment was conducted using randomized complete design with 4 treatments
of endophytic fungi i.e. fungi isolate H1, H5, aH12, and without endophytic fungi
each with 3 replication. Observation was made for disease incidence, plant
height, and root volume. Data analysis was conducted using ANOVA followed

by Duncan test at 5%. ELISA absorbance value indicated that treatment of
endophytic fungi (H1, H5, and H12) can suppress ChiVMV, although the disease
incidence is still high. Endophytic fungi isolate H5 tends to improve plant growth
showed by its potency to increase plant height up to 4 weeks after planting.
Keywords: chillipepper, ChiVMV, ELISA, endophytic fungi

3

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

7


KEEFEKTIFAN CENDAWAN ENDOFIT UNTUK MENEKAN
INFEKSI CHILLI VEINAL MOTTLE VIRUS PADA TANAMAN
CABAI (Capsicum annuum L.)

ARIF MARWANTO

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

8


Judul Skripsi

Nama Mahasiswa
NIM

: Keefektifan Cendawan Endofit untuk Menekan Infeksi
Chilli veinal mottle virus pada Tanaman Cabai (Capsicum
annuum L.)
: Arif Marwanto
: A34080062

Disetujui oleh

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.

Ketua Departemen

Tanggal lulus:

3

PRAKATA

Puji syukur ke hadapan Allah SWT atas rakhmat dan karunia-Nya penulis
mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Keefektifan Cendawan
Endofit untuk Menekan Infeksi Chilli Veinal Mottle Virus pada Tanaman
Cabai (Capsicum annuum).
Penulisan skripsi merupakan syarat lulus dari Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung
dari Desember 2011 sampai Juni 2012 bertempat di Laboratorium Virologi
Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor dan di rumah kaca, Kebun Percobaan Cikabayan, Darmaga.
Penulis menyampaikan rasa terimakasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir.
Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. selaku pembimbing skripsi, atas segala kesabaran,
bimbingan, pengkayaan wawasan, kritik, saran, serta dukungan moril yang sangat

besar, serta bantuan pendanaan hingga penelitian selesai.
Rasa hormat setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua
tercinta, ibunda Susanti dan ayahanda Kuncung (Alm) yang telah mencurahkan
kasih sayang, bimbingan, doa, bantuan selama menempuh pendidikan dan selalu
memberi yang terbaik bagi putra-putrinya dan berusaha mendorong anak-anaknya
untuk menempuh pendidikan tertinggi. Khususnya bagi ibunda kata terimakasih
tidaklah cukup, ibu adalah ibu terbaik di seluruh dunia, saya sangat bangga
memiliki ibu seperti beliau. Semoga Allah SWT selalu memberi ampunan dan
maghfirah-NYA, Amien. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan untuk orang
tua angkat saya bapak H. Rilo Pambudi dan ibu Hj. Ida Mukidah yang telah
mendidik, membimbing saya dalam menyelesaikan sekolah. Semoga kebaikan
bapak/ibu diterima oleh Allah SWT. Terimakasih saya ucapkan kepada Bapak
Ruly selaku Pembimbing Akademik yang telah memberi motivasi dan arahan
kepada saya selama menempuh kuliah di IPB.
Kepada teman-teman anggota Laboratorium Virologi mbak Dama, Tuti,
Miftah, Ita, Yudia, Titin, Nisa, Dita, Lestari dan pak Edi dan juga temen
seperjuangan Rado, Prio, Yasin, Aris, Saipul, Busyairi, Jack yang telah memberi
bantuan selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis ucapkan banyak
terimakasih. Yang tersayang ketiga adikku, Anggi Sabrani, Tri Wibowo, dan
Kristilia Ramadani atas kesabaran, doa, pengertian dan segala pengorbanan yang

telah diberikan selama ini. Kepada yang tersayang teman terdekat saya Mutiara
Ashri yang telah rela berkorban, membantu penelitian dan meluangkan waktu
serta tak pernah lelah untuk memberi motivasi dan nasihat bagi penelitian saya,
saya ucapkan terimakasih atas doa, kasih sayang, dan dorongan semangat selama
ini. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada pihak yang memberikan
beasiswa diantaranya yaitu IPB, PPA, Pijar, Alumni IPB, dan Penelitian BNI,
yang telah memberikan bantuan selama ini, sehingga saya bisa menyelesaikan
masa studi di IPB.
Semoga penelitian ini bermanfaat bagi umat manusia dan ilmu pengetahuan.
Bogor, 06 November 2012
Arif Marwanto

3

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

viii


DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

3


Hipotesis Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3

BAHAN DAN METODE

4

Tempat dan Waktu Penelitian

4

Bahan

4


Persiapan Tanaman Inang Sumber Inokulum Virus

4

Metode Inokulasi Virus Secara Mekanis

4

Inokulasi Cendawan Endofit

4

Inokulasi ChiVMV pada Tanaman Uji

5

Deteksi ChiVMV Menggunakan Metode ELISA

5

Rancangan Percobaan dan Peubah Pengamatan

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Pengaruh Perlakuan Cendawan Endofit Terhadap Gejala dan
Titer ChiVMV pada Tanaman Cabai

7

Pengaruh Perlakuan Cendawan Endofit Terhadap Tinggi dan
Pertumbuhan Akar Tanaman Cabai
KESIMPULAN DAN SARAN

10
15

Kesimpulan

15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

19

11

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Rata-rata nilai absorbansi hasil ELISA pada tanaman cabai dengan
perlakuan cendawan endofit berdasarkan jenis gejala ChiVMV

9

2 Kejadian penyakit belang pada tanaman cabai dengan perlakuan
cendawan endofit

9

3 Perkembangan tinggi tanaman cabai terinfeksi ChiVMV pada
perlakuan cendawan endofit

10

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Respon tanaman cabai varietas TM88 terhadap infeksi ChiVMV.
(A) tidak menunjukkan gejala, (B) gejala ringan, (C) gejala berat

7

2 Pertumbuhan akar tanaman cabai terinfeksi ChiVMV dengan
perlakuan cendawan endofit

11

3 Volume akar tanaman cabai terinfeksi ChiVMV dengan perlakuan
cendawan endofit

12

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Bahan dan Cara Membuat PDB

20

2 Bahan dan Cara Membuat PDB

21

3 Cara Penggunaan Hemositometer

22

3

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman cabai merupakan salah satu jenis tanaman pertanian yang
memiliki nilai ekonomi yang cukup potensial. Cabai merupakan tanaman
hortikultura yang menduduki peringkat tertinggi di Indonesia, berdasarkan
produktivitasnya (BPS 2012). Konsumsi masyarakat akan cabai cukup tinggi,
tetapi produktivitas tanaman cabai masih sangat rendah. Produktivitas cabai di
Indonesia baru mencapai 5.60 ton/ha pada tahun 2010, sedangkan pada tahun
2011 produktivitas cabai mengalami peningkatan menjadi 6.19 ton/ha (BPS
2012). Produktivitas cabai tertinggi dicapai oleh provinsi Jawa Barat sebesar
12.50 ton/ha, sedangkan yang memiliki produktivitas cabai terendah yaitu
provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 2.38 ton/ha (BPS 2012). Hal tersebut tentu
saja bukan kabar yang menggembirakan, dikarenakan potensi produktivitas cabai
nasional dapat mencapai 10 ton/ha (Suwandi et al. 1989). Produktivitas cabai
nasional masih rendah dan harus segera ditingkatkan, karena populasi penduduk
di Indonesia semakin hari akan semakin bertambah dan kebutuhan cabai pun akan
semakin meningkat.
Tanaman cabai dapat dibudidayakan di dataran rendah maupun di dataran
tinggi, pada lahan sawah maupun tegalan dengan ketinggian 0-1000 m di atas
permukaan laut. Kemasaman tanah juga berpengaruh terhadap pertumbuhan
cabai. Tingkat kemasaman (pH) tanah yang baik untuk pertumbuhan cabai yaitu
antara 5.5 sampai 6.8. Jika tanaman cabai merah ditanam pada kondisi pH lebih
dari 7 maka akan terjadi kekurangan salah satu unsur hara yaitu besi (Fe).
Kekurangan unsur hara besi akan menyebabkan tanaman cabai menjadi klorosis,
yakni daun akan menguning dan tanaman cabai menjadi kerdil. Tanaman cabai
yang ditanam pada kondisi pH kurang dari 5, akan menyebabkan tanaman cabai
tumbuh kerdil yang disebabkan kekurangan unsur hara kalsium (Ca) dan
2magnesium (Mg) ataupun keracunan mangan (Mn) dan almunium (Al) (Knott
1962).
Banyak masalah yang sering dihadapi petani cabai diantaranya yaitu adanya
musim hujan yang menyebabkan terhambatnya penanaman cabai. Masalah lain
adalah kurangnya strategi penangan pasca panen yang dilakukan petani ketika
terjadi panen yang melimpah, sehingga membuat harga cabai menurun drastis.
Selain itu ada beberapa faktor abiotik yang menghambat penanaman cabai yaitu
suhu, kelembaban udara, curah hujan, dan kesuburan tanah (Rostini 2011). Selain
faktor abotik terdapat faktor biotik yang sangat mempengaruhi pertumbuhan
cabai. Faktor biotik yang sering menjadi masalah yaitu gangguan OPT
(Organisme Penggangu Tanaman), yang terdiri dari hama dan patogen. Hama
yang sering menyerang tanaman cabai yaitu ulat tanah (Agrotis sp.), ulat buah
(Helicoverpa armigera), lalat buah (Bactrocera dorsalis), ulat grayak (Spodoptera
sp.), thrips (Thrips tabaci), kutu daun persik (Myzus persicae), dan nematoda
bintil akar (Meloidogyne sp.) (Rostini 2011). Beberapa penyakit cabai yang
disebabkan oleh cendawan diantaranya yaitu rebah kecambah (Phytium sp.,
Phytophthora sp.), mati pucuk dan busuk buah (Colletotrichum capsisci), bercak
daun (Cercospora capsici), hawar daun dan busuk akar (Alternaria solani), hawar
bunga (Choanephora cucurbitarum), busuk akar (Sclerotium rolfsii), layu

3
(Fusarium solani). Penyakit yang disebabkan oleh bakteri yaitu penyakit layu
(Ralstonia solanacearum) merupakan salah satu penyakit yang penting (Panda
2007). Menurut Dolores (1996) virus yang banyak menginfeksi cabai diantaranya
Alfalfa mosaic virus (AMV), Cucumber mosaic virus (CMV), Curly top virus
(CTV), Pepper mottle virus (PepMov), Potato virus X (PVX), Potato virus Y
(PVY), Spotted wilt virus (TSWW), Tobacco etch virus (TEV), Tobacco mosaic
virus (TMV), Tobacco rattle virus (TRV), Tobacco ringspot virus (TRSV). Virus
yang menginfeksi tanaman cabai di Indonesia diantaranya yaitu CMV, Chilli
veinal mottle virus (ChiVMV), Tomato mosaic virus (ToMV), TEV, AMV dan
PVY (Sulyo et al. 1995).
Yoon (1987) melaporkan bahwa ChiVMV merupakan salah satu jenis virus
yang umum menginfeksi tanaman cabai di Asia dan merupakan salah satu virus
utama cabai. ChiVMV pertama kali dilaporkan oleh Burnett pada tahun 1947 pada
C. annuum di Malaysia (Ong 1995). Infeksi ChiVMV menyebabkan tanaman
cabai menjadi berkurang produktivitasnya serta dapat menurunkan kualitas dan
kuantitas hasil cabai. Serangan virus ini menjadi terasa semakin penting, ketika
kerugian yang dihasilkan cukup besar. Infeksi ChiVMV menyebabkan daun
menampakkan gejala belang-belang hijau gelap, daun memiliki bentuk yang tidak
beraturan, mengalami malformasi dan menjadi kerdil. Kadang-kadang buah juga
menjadi belang-belang atau terhambat perkembangannya sehingga produksi dan
kualitasnya menjadi rendah (Ong 1995; Sulyo et al. 1995).
Upaya untuk menekan infeksi ChiVMV telah dilakukan diantaranya yaitu
melalui penggunaan benih bebas virus, penanaman tanaman perangkap, pola
tanam tumpang sari, pemusnahan sisa tanaman sakit, pemanfaatan musuh alami
serangga vektor, rotasi tanaman, dan eradikasi gulma yang merupakan tanaman
inang alternatif. Cara pengendalian tersebut harus dilakukan secara terpadu agar
dapat mengendalikan penyakit dengan baik (Broadbent 1964). Pengendalian
penyakit tanaman dengan menggunakan cendawan endofit saat ini sedang banyak
diteliti, agar penggunaan bahan kimiawi berkurang sehingga dampak kerusakan
terhadap lingkungan juga tertekan.
Cendawan endofit adalah cendawan yang dapat hidup dalam jaringan
tanaman inang yang sehat dan tidak menimbulkan gejala penyakit (Caroll 1990).
Cendawan endofit sangat berpotensi dalam menekan perkembangan penyakit,
karena cendawan endofit dapat hidup di dalam jaringan tanaman sehingga dapat
menghambat langsung pertumbuhan patogen (Niere 2002). Pengendalian dengan
menggunakan cendawan endofit merupakan salah satu jenis pengendalian secara
hayati yang potensial, antara lain karena keberadaan cendawaan endofit sangat
berlimpah, beragam, mudah dan banyak ditemukan dari tanaman pertanian
maupun gulma rumput-rumputan. Cendawan endofit dapat meningkatkan
kemampuan tanaman untuk bertahan hidup pada kondisi jaringan tanaman yang
sudah terinfeksi patogen, khususnya patogen tular tanah (Sinclair dan Cerkauskas
1996). Sifat cendawan endofit adalah bermutualisme dengan tanaman inang dan
tidak menyebabkan gejala, sehingga berpotensi digunakan sebagai agens
pengendalian (Doss dan Welty 1995). Cendawan endofit menghasilkan metabolit
yang dapat menghambat perkembangan dari patogen. Mekanisme lain dari
cendawan endofit yaitu dapat menginduksi ketahanan tanaman inang terhadap
penyakit dan hama (Mejia et al. 2004).

3
Dilaporkan oleh Hermawati (2007), bahwa cendawan endofit Nigrospora
sp., strain HS1 dan HS2 pada tanaman cabai dapat menekan pertumbuhan
populasi Aphis gossypii yang menjadi vektor beberapa jenis virus dengan cara
menurunkan keperidian dan memperpanjang siklus hidup kutudaun tersebut.
Cendawan endofit yang diisolasi dari Meadow ryegrass (Lolium pratense) dapat
digunakan untuk mengendalikan perkembangan Barley yellow dwarf virus
(BYDV). Tanaman gandum yang diberi perlakuan cendawan endofit tersebut
menunjukkan penurunan tingkat serangan BYDV (Lehtonen et al. 2006).
Informasi mengenai potensi cendawan endofit dalam menekan infeksi ChiVMV
diperlukan untuk menyusun strategi pengendalian ChiVMV yang lebih
menyeluruh.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah mengevaluasi potensi 3 jenis cendawan endofit
(H1, H5, dan H12) dalam menekan infeksi ChiVMV dan meningkatkan
pertumbuhan tanaman cabai.

1.
2.

Hipotesis Penelitian
Cendawan endofit dapat menekan perkembangan ChiVMV.
Cendawan endofit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai.

Manfaat penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan rekomendasi penggunaan
cendawan endofit sebagai salah satu strategi pengendalian ChiVMV sehingga
membantu petani dalam mengendalikan ChiVMV. Bila infeksi ChiVMV dapat
ditekan diharapkan produktivitas tanaman cabai akan meningkat.

3

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di rumah
kaca, Kebun Percobaan Cikabayan, Darmaga. Penelitian dilaksanakan dari bulan
Desember 2011 sampai bulan Juni 2012.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah cendawan endofit
(H1, H5 dan H12) yang sudah dibiajkan di Laboratorium Klinik Tanaman,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
benih cabai TM88, polibag, tanah steril, dan bahan-bahan untuk Enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA).
Persiapan Tanaman Inang Sumber Inokulum Virus
Tanaman yang digunakan untuk perbanyakan sumber inokulum virus adalah
Capsicum annum varietas TM88. Benih tanaman cabai disemai didalam nampan
yang berisi media tanah steril, setelah 2 minggu bibit yang tumbuh dipindahkan
ke polibag yang berisi media tanah steril. Selama masa pertumbuhan bibit
dipelihara dengan baik di rumah kaca. Tanaman yang siap diinokulasi adalah
tanaman yang berumur relatif muda yaitu telah memiliki daun muda yang telah
membuka penuh. Inokulasi virus dilakukan secara mekanis.
Metode Inokulasi Virus Secara Mekanis
Sumber inokulum virus adalah ChiVMV isolat Cikabayan yang merupakan
koleksi Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Daun cabai terinfeksi ChiVMV
digerus dalam mortar steril, dan ditambahkan dengan larutan penyangga fosfat
0,01 M (pH 7) sebanyak 5 ml untuk setiap 1 g daun (1:5 b/v). Cairan perasan
(Sap) yang diperoleh segera digunakan untuk inokulasi ke tanaman. Setiap
tanaman diinokulasi pada 2 helai daun termuda yang telah membuka penuh (33
hari setelah semai). Sebelum inokulasi daun diberi karborundum pada bagian
permukaan atas, kemudian sap dioleskan dengan telunjuk jari tangan pada
permukaan daun yang dimulai dari daun bagian bawah didekat pertulangan daun
ke bagian atas secara searah dengan tidak mengulangi pada daerah yang sama.
Segera setelah pengolesan sap dilakukan pembilasan sisa-sisa yang masih melekat
pada permukaan daun tanaman uji menggunakan air mengalir.
Inokulasi Cendawan Endofit
Koloni cendawan endofit yang telah ditumbuhkan pada media Potato
Dextrose Agar (PDA) (Lampiran 1) dipindahkan kedalam erlenmeyer yang sudah
berisi media Potato Dextrose Broth (PDB) (Lampiran 2) menggunakan jarum
inokulasi sebanyak satu cork borer. Erlenmeyer yang berisi cendawan endofit
digoyang pada shaker dengan kecepatan 100 rpm selama 14 hari. Koloni
cendawan endofit yang tumbuh, selanjutnya dicuci dengan aquades dan
dikeringkan dengan menggunakan vacuum pump. Koloni cendawan endofit yang

53
telah kering kemudian dihancurkan dengan blender selama 30 menit. Penentuan
kerapatan miselia cendawan dilakukan dengan pengamatan mikroskopis cahaya
dan menggunakan hemositometer (Lampiran 2).
Cendawan endofit yang telah diketahui kerapatan miselianya kemudian
diencerkan dengan aquades, sehingga diperoleh kerapatan miselia 10⁵cfu/ml.
Inokulum cendawan endofit tersebut disemprotkan pada daun tanaman uji yang
berumur 1 minggu setelah tanam (MST). Tanaman yang sudah diberi perlakuan
kemudian disungkup dengan sungkup plastik selama 24 jam. Setelah melewati
waktu 24 jam sungkup kembali dibuka dan pemeliharaan tanaman uji dilakukan
kembali di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, Darmaga, Institut Pertanian
Bogor.
Inokulasi ChiVMV pada Tanaman Uji
Inokulasi ChiVMV pada tanaman cabai uji dilakukan pada bibit cabai yang
telah diberi perlakuan cendawan endofit dipesemaian. Benih cabai diletakkan
dalam tabung reaksi yang sudah berisi aquades, kemudian dipanaskan pada suhu
55°C selama 20 menit. Benih dikeluarkan dari dalam tabung reaksi, kemudian
dibekam pada suspensi cendawan endofit selama 12 jam di dalam cawan petri.
Benih selanjutnya disemai pada nampan yang sudah berisi media tanah steril dan
dipelihara dengan baik sampai siap digunakan untuk inokulasi.
Inokulasi ChiVMV pada bibit cabai TM88 dilakukan dua kali yaitu
inokulasi pertama pada kotiledon ketika bibit cabai berumur 33 hari setelah semai
atau ketika bibit cabai sudah memiliki 2 helai daun yang telah membuka penuh,
dan inokulasi kedua dilakukan satu minggu setelah inokulasi pertama. Metode
inokulasi dilakukan seperti metode inokulasi virus secara mekanis yang telah
diuraikan sebelumnya. Inokulasi dilakukan 1 minggu setelah penyemprotan
cendawan endofit atau 2 MST setelah pindah tanam.
Deteksi ChiVMV Menggunakan Metode ELISA
Deteksi ChiVMV terhadap sampel tanaman uji yang diambil dari rumah kaca
menggunakan Double Antibody Sandwich ELISA (DAS ELISA) menurut petunjuk
dari DSMZ (Clark dan Adams 1977). Antibodi ChiVMV diencerkan dalam
coating buffer dengan konsentrasi 1:1000 dan dicampur secara merata. Antibodi
dan coating buffer selanjutnya dimasukkan kedalam platmikrotiter sebanyak 100
µl/sumuran. Platmikrotiter kemudian dimasukkan kedalam kotak plastik dan
diinkubasi pada suhu 37°C selama 2 sampai 4 jam. Setelah proses inkubasi
selesai, platmikrotiter dicuci menggunakan larutan phosphate buffer saline tween
(PBST) sebanyak 3 sampai 4 kali. Sumuran platmikrotiter selanjutnya diisi
dengan 100 µl/sumuran sap tanaman terinfeksi virus, kemudian diinkubasi pada
suhu 4°C semalaman. Platmikrotiter dicuci lagi dengan PBST sebanyak 5 sampai
7 kali. Immunoglobulin antibody G alkaline phosphatase (IgGAP) yang
diencerkan dengan buffer conjugate dengan konsentrasi 1:1000 dimasukan
kedalam platmikrotiter sebanyak 100µl/sumuran kemudian diinkubasi pada suhu
37°C selama 4 jam. Platmikrotiter dicuci dengan PBST sebanyak 5 sampai 7 kali.
Platmikrotiter yang sudah dicuci kemudian ditambahkan larutan Purine
Nucleoside Phosphorylase (PNP) yang sudah dimasukan tablet PNP (1 tablet/5
ml) sebanyak 100 µl/sumuran dan diinkubasi selama 15 sampai 60 menit pada
suhu ruang. Hasil ELISA diamati menggunakan spektrofotometer (ELISA reader)

6

3

pada panjang gelombang 405 nm, setiap 15 menit sekali hingga mencapai menit
ke-60.
Rancangan Percobaan dan Peubah Pengamatan
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap karena unit percobaan
yang digunakan relatif homogen. Percobaan terdiri dari 4 perlakuan yaitu
pemberian cendawan endofit isolat H1, H5, H12, dan tanpa cendawan endofit
(kontrol) dengan 3 ulangan untuk setiap perlakuan. Unit percobaan yang akan
digunakan yaitu 4 perlakuan dan 3 ulangan dan masing-masing ulangan terdiri
dari 25 tanaman uji, dengan jumlah total 300 tanaman. Data yang diperoleh
dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) menggunakan program
Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1 dan dilanjutkan dengan uji Duncan
taraf 5%.
Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, volume akar, dan kejadian
penyakit. Pengamatan tinggi tanaman uji dilakukan setiap seminggu sekali
sebanyak 6 kali pengamatan. Pengukuran tinggi dilakukan dari permukaan tanah
hingga pucuk tertinggi daun paling muda dengan menggunakan penggaris dan
meteran baju. Pengukuran volume akar yaitu dengan mencabut tanaman uji,
kemudian dipotong dengan menggunakan gunting. Akar yang sudah dipotong
kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur yang telah diisi air, selanjutnya
kenaikan air yang terjadi dihitung volumenya. Pengukuran volume akar
dilakukan pada hari terakhir pengamatan keseluruhan.
Kejadian penyakit ChiVMV pada setiap tanaman sampel dihitung dengan
menggunakan rumus :
x100%
Keterangan: KP, kejadian penyakit; A, jumlah sampel positif yang
terinfeksi ChiVMV; B, jumlah sampel yang diuji.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Perlakuan Cendawan Endofit terhadap Gejala dan Titer ChiVMV
pada Tanaman Cabai
Tanaman cabai varietas TM88 yang terinfeksi ChiVMV menunjukkan
gejala yang ringan yaitu hanya terdapat mosaik pada permukaan daun dan tidak
merubah bentuk daun. Umumnya gejala muncul pada 10 hari setelah inokulasi
(HSI) dan terus berkembang sejalan dengan pertumbuhan tanaman. Gejala infeksi
ChiVMV yang lebih parah dilaporkan oleh Siriwong et al. (1995), Wang et al.
(2006), dan Asniwita et al. (2012) yaitu daun cabai menjadi kecil, belang hijau
gelap, dan malformasi daun. Gejala infeksi virus dapat beragam mulai dari jenis
gejala ringan sampai berat, diantaranya dipengaruhi oleh kultivar tanaman.
Kultivar cabai yang tahan atau toleran, umumnya hanya menunjukan gejala
mosaik atau belang yang ringan atau tidak bergejala, sedangkan kultivar yang
rentan akan menunjukan gejala mosaik berat sampai terjadi malformasi daun
(Sulyo dan Duriat 1996). Menurut Agrios (2005) keparahan gejala yang
disebabkan oleh infeksi virus tergantung oleh beberapa hal diantaranya yaitu umur
tanaman ketika terjadi infeksi virus, lingkungan yang mendukung terhadap
perkembangan virus, virulensi dari virus yang menyerang tanaman tersebut, serta
keberadaan serangga sebagai agen pembawa virus.
Perlakuan cendawan endofit isolat H1, H5, dan H12 pada tanaman cabai
sebelum inokulasi ChiVMV ternyata dapat menimbulkan keragaman respon
tanaman terhadap infeksi ChiVMV. Respon tanaman yang muncul dapat
dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu tidak menunjukkan gejala, gejala ringan, dan
gejala berat (Gambar 1). Tanaman yang tidak bergejala memiliki bentuk, warna
dan memiliki ukuran daun yang sama dengan tanaman sehat. Tanaman cabai
dengan gejala ringan memiliki bentuk daun normal, pada permukaan daun
terdapat warna hijau yang tidak merata atau berwarna lebih tua tapi hanya sedikit
muncul di permukaan daun. Tanaman cabai yang bergejala berat mengalami
perubahan bentuk daun (malformasi), pertulangan daun menebal, terdapat bercakbercak hijau lebih tua dari pada warna aslinya, ukuran daun mengecil dan
permukaan daun tidak rata atau bergelombang.

A

B

C

Gambar 1 Respon tanaman cabai varietas TM88 terhadap infeksi ChiVMV. (A)
tidak menunjukkan gejala, (B) gejala ringan, (C) gejala berat.

8

3

Rata-rata masa inkubasi ChiVMV pada tanaman cabai yang diberi
perlakuan cendawan endofit sebelum inokulasi virus adalah 4 hari. Masa inkubasi
tersebut tergolong singkat dan tidak berbeda dengan masa inkubasi ChiVMV pada
tanaman kontrol (tanpa perlakuan cendawan endofit). Terjadinya masa inkubasi
yang singkat dapat disebabkan oleh faktor tingkat virulensi virus yang tinggi
(Goodman et al. 1986). Opriana (2009) melaporkan, bahwa ChiVMV isolat
Cikabayan dapat digolongkan sebagai isolat yang virulen. Beberapa varietas cabai
telah dievaluasi sifat ketahanannya terhadap ChiVMV Cikabayan yaitu varietas
Jatilaba, Helem, Keriting Bogor, Tit Super, Beauty Bell, Gelora, dan IPBC
Tanjung dapat digolongkan varietas yang rentan, karena kejadian penyakitnya
berkisar 68-10%. Untuk varietas VC246, PBC496, Keriting Sumatera dapat
digolongkan sebagai varietas yang tahan, karena kejadian penyakitnya hanya
berkisar 12-20% (Opriana 2009). Varietas cabai TM88 belum pernah diuji sifat
ketahanannya terhadap ChiVMV, sehingga hasil penelitian ini memberikan
informasi yang baru mengenai respon varietas TM88 terhadap ChiVMV.
Berdasarkan pengukuran nilai absorbansi ELISA, terdapat perbedaan antara
tanaman yang menunjukkan gejala ringan atau berat (Tabel 1). Nilai absorbansi
ELISA tanaman tidak bergejala menunjukkan reaksi negatif, kecuali perlakuan
cendawan endofit isolat H5. Nilai absorbansi ELISA tanaman yang bergejala
ringan tidak jauh berbeda dengan tanaman yang bergejala berat, dan disimpulkan
tanaman-tanaman tersebut positif terinfeksi ChiVMV. Bila dibandingkan, nilai
absorbansi ELISA tanaman-tanaman yang diberi perlakuan cendawan endofit
cenderung lebih rendah daripada tanaman-tanaman yang tidak diberi perlakuan
cendawan endofit. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa perlakuan cendawan
endofit dapat menekan perkembangan ChiVMV dalam jaringan tanaman,
terutama cendawan endofit isolat H5. Kejanggalan terjadi untuk pengukuran nilai
absorbansi ELISA dimana tanaman tidak bergejala tetapi memberikan reaksi
positif ELISA. Hal tersebut diduga disebabkan kondisi lingkungan seperti suhu
dan cahaya yang tidak sesuai membuat suatu gejala menjadi tidak muncul atau
gejala terselubung (masking symptom) (Semangun 1991). Lebih lanjut Zitter
(1984) menjelaskan bahwa gejala masking muncul disebabkan oleh suhu yang
terlalu tinggi. Menurut Agrios (2005) gejala masking muncul disebabkan oleh
kondisi suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah.
Kejadian penyakit akibat infeksi ChiVMV bervariasi pada setiap perlakuan
cendawan endofit. Penghitungan kejadian penyakit ChiVMV dilakukan dengan
dua cara yaitu berdasarkan gejala yang muncul dan pengukuran hasil ELISA.
Berdasarkan gejala yang muncul, kejadian penyakit tertinggi (97%) tercatat pada
perlakuan tanpa cendawan endofit, dilanjutkan perlakuan cendawan endofit isolat
H12 (96%) dan sendawan endofit isolat H1 dan H5 (86%). Berdasarkan hasil
ELISA, nilai kejadian penyakit tertinggi tercatat pada perlakuan tanpa cendawan
endofit dan cendawan endofit isolat H12 (86%), dilanjutkan perlakuan cendawan
endofit isolat H1 dan H5 (78%). Nilai kejadian penyakit berdasarkan gejala
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan hasil ELISA (Tabel 2). Hal tersebut
terjadi karena setiap tanaman yang menghasilkan gejala tidak selalu mengandung
titer virus ChiVMV dalam jumlah yang tinggi, tetapi memunculkan ekpresi gejala
yang parah. Oleh karena itu pengujian secara serologi perlu dilakukan dan sangat
dianjurkan agar kepastian adanya infeksi virus (ChiVMV) benar-benar akurat dan
pasti.

93
Taufik (2005) melaporkan infeksi ganda antara ChiVMV dan CMV pada
tanaman cabai di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat. Menurut
Subekti (2005) infeksi ganda antara ChiVMV dan CMV akan menyebabkan
konsentrasi ChiVMV didalam tanaman cenderung lebih tinggi, dari pada infeksi
ChiVMV secara tunggal. Berdasarkan pengukuran kejadian penyakit dapat
disimpulkan bahwa jumlah tanaman bergejala lebih tinggi dibandingkan dengan
jumlah tanaman terinfeksi (Tabel 2). Hal tersebut dapat terjadi karena gejala
mosaik yang dihasilkan oleh virus tidak hanya disebabkan oleh ChiVMV saja
tetapi ada beberapa virus lain yang menyebabkan munculnya gejala mosaik pada
tanaman uji. Beberapa virus penyebab mosaik diantaranya CMV dan TMV
(Habazar dan Hidrayani 2005), selain itu ada beberapa anggota potyvirus
penyebab gejala mosaik pada cabai diantaranya yaitu PVY, Tobacco etch virus
(TEV), Pepper mottle virus (PMV), Pepper veinal mottle virus (PvMV)
(Narayanasamy 2011). Bastian (2008) melaporkan ChiVMV sering ditemukan
bersama dengan CMV dalam menginfeksi cabai dari pada keberadaan virus lain.
Perlakuan cendawan endofit tidak berpengaruh terhadap perkembangan
penyakit ChiVMV, dikarenakan cendawan endofit tidak dapat menekan
perkembangan serangan ChiVMV. Perlakuan tanpa cendawan endofit dan perlaku
Tabel 1 Rata-rata nilai absorbansi hasil ELISA pada tanaman cabai dengan
perlakuan cendawan endofit berdasarkan jenis gejala infeksi ChiVMV
Perlakuan Cendawan
Endofit
H1
H5
H12
Tanpa cendawan endofit

Tidak Bergejala

Jenis Gejala
Gejala Ringan

Gejala Berat

0.322
2.612
0.212
0.451

1.517
0.99
1.519
1.745

1.01
0.539
1.447
1.672

Nilai absorbansi ELISA ≥ 0.501 menunjukan reaksi positif terhadap antiserum ChiVMV
Nilai absorbansi kontrol negatif = 0.255

Tabel 2 Kejadian penyakit belang pada tanaman cabai dengan perlakuan
cendawan endofit
Perlakuan

Kejadian Penyakit ᵃ
(%)

Jumlah Tanaman Terinfeksi
ChiVMV ᵇ (%)

H1

86

78

H5

86

78

H12

96

86

Tanpa cendawan endofit

97

86

a)
b)

Kejadian penyakit ditentukan berdasarkan gejala muncul.
Jumlah tanaman terinfeksi ditentukan berdasarkan hasil ELISA.

10

3

an dengan cendawan endofit menghasilkan nilai persentase kejadian penyakit
yang sangat besar (Tabel 2).
Pengaruh Perlakuan Cendawan Endofit terhadap Tinggi dan Pertumbuhan
Akar Tanaman Cabai.
Respon pertumbuhan tinggi tanaman cabai varietas TM88 untuk setiap
perlakuan berbeda-beda baik yang menggunakan perlakuan cendawan endofit
yaitu H1, H5, dan H12 maupun yang tidak menggunakan perlakuan cendawan
endofit. Perlakuan cendawan endofit sebelum inokulasi ChiVMV menyebabkan
perbedaan pada pertumbuhan tinggi tanaman yaitu pada perlakuan cendawan
endofit isolat H5, terutama pada awal pertumbuhan tanaman (Tabel 3). Tanaman
yang diinokulasi cendawan endofit isolat H5 tumbuh lebih cepat dibandingkan
tanaman yang diinokulasi cendawan endofit isolat H1, H12 atau tanpa perlakuan
cendawan endofit. Perlakuan cendawan endofit isolat H5 memberikan pengaruh
pada peningkatan tinggi tanaman yaitu dari umur tanaman 1 MST hingga umur
tanaman 4 MST, tetapi mulai 5 MST pengaruhnya cenderung berkurang.
Perlakuan cendawan endofit isolat H1 dan H12 tidak memberikan pengaruh pada
peningkatan tinggi tanaman. Berdasarkan pengukuran tinggi tanaman dapat
disimpulkan bahwa diantara tiga isolat cendawan endofit yang diuji hanya isolat
H5 yang memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap perkembangan tinggi
tanaman.
Setelah dilakukan pengujian dengan statistika disimpulkan bahwa perlakuan
cendawan endofit berbeda nyata dengan ketiga perlakuan yang lainnya, sehingga
dapat dikatakan bahwa perlakuan cendawan endofit H5 dapat mempercepat
pertumbuhan tinggi tanaman. Peran cendawan endofit bagi pertumbuhan tinggi
tanaman sangat penting dan telah banyak para peneliti yang melaporkan bahwa
perlakuan cendawan endofit dapat menginduksi pertumbuhan tinggi tanaman. Rik
Tabel 3 Perkembangan tinggi tanaman cabai terinfeksi ChiVMV pada perlakuan
cendawan endofit
Perlakuan

1MST

2MST

3MST

4MST

5MST

6MST

H12

4.78±1.09b

7.23±1.14b

11.46±1.52b

17.89±2.75b

25.99±4.30b

34.12±4.68c

H1

5.17±1.26b

7.53±1.35b

12.06±1.73b

18.26±2.82b

25.63±4.32b

34.38±5.42bc

H5

8.32±1.15a

12.07±1.57a

18.21±2.85a

25.39±4.63a

33.19±7.15a

38.70±9.41a

Tanpa cendawan
endofit

4.61±0.95b

7.17±1.11b

12.42±1.40b

20.13±2.41b

30.09±4.83a

38.03±6.28ab

ᵃAngka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
Duncan pada taraf 5%

11
3
mawati (2011) melaporkan Tricoderma sp. IIb1 dan Phoma sp. Ia3 dapat
meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman tetapi tidak memberi perbedaan nyata
terhadap diameter batang dan jumlah daun.
Menurut Khairy (2012) cendawan endofit Nigrospora, Penicillium, dan
Acremonium dapat memacu pertumbuhan bibit padi yaitu dengan memacu
pertumbuhan bibit, akar bibit dan daya perkecambahan, tetapi perlakuan
cendawan endofit tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman dan
pengendalian terhadap serangan hama padi di lapang. Walaupun demikian tidak
semua cendawan endofit dapat memacu pertumbuhan tinggi tanaman dan juga
tidak semua cendawan endofit yang memiliki spesies yang sama dapat menekan
perkembangan penyakit pada penyakit yang berbeda, dan sifat cendawan endofit
ini lebih spesifik.
Perlakuan cendawan endofit sebelum inokulasi ChiVMV tidak
menyebabkan perbedaan terhadap pertumbuhan akar tanaman cabai. Perlakuan
tanpa cendawan endofit cenderung menyebabkan pertumbuhan akar yang lebih
baik dibandingkan tanaman dengan perlakuan cendawan endofit (Gambar 2).
Tanaman yang diberi perlakuan tanpa cendawan endofit memiliki
pertumbuhan rambut-rambut akar yang sangat banyak dan melebar. Sementara
tanaman yang diberi perlakuan cendawan endofit (H1, H5, dan H12) memiliki
perkembangan akar yang sangat buruk, ditandai dengan hanya memilki sedikit
rambut-rambut akar dan ukurannya sangat pendek. Cendawan endofit yang
diberikan ke tanaman uji tampaknya tidak memberi pengaruh sebagai penginduksi
pertumbuhan akar.

A

B

C

D

Gambar 2 Pertumbuhan akar tanaman cabai terinfeksi ChiVMV dengan perlakuan
cendawan endofit. Tanpa perlakuan cendawan endofit (A), cendawan
endofit H1 (B), cendawan endofit H5 (C), cendawan endofit H12 (D).

12

3

Hasil pengukuran volume akar menunjukkan tidak ada perbedaan antara
perlakuan tanpa cendawan endofit dengan perlakuan cendawan endofit (Gambar
3). Volume akar pada tanaman tanpa perlakuan cendawan endofit mencapai nilai
tertinggi (2,80 ml), sedangkan volume akar terkecil (1,89 ml) terdapat pada
perlakuan cendawan endofit isolat H12. Tanaman dengan perlakuan cendawan
endofit isolat H1 dan H5 masing-masing memiliki besar volume akar yaitu 2,64
ml dan 2,09 ml. Setelah dilakukan pengujian secara statistika didapatkan hasil
bahwa perlakuan cendawan endofit tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa
cendawan endofit. Sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan ketiga cendawan
endofit yaitu H1, H5, dan H12 tidak dapat merangsang perkembangan akar
tanaman cabai varietas TM88.
Menurut Istikorini (2008) terdapat beberapa cendawan endofit yang dapat
menginduksi perkembangan akar, tinggi tanaman, bobot kering, bobot basah
brangkasan, dan menekan kejadian penyakit antraknosa yaitu Acremonium sp RJ3,
F. solani CJ1 dan F. oxysporum CB5. Dampak dari penggunaan cendawan endofit
tersebut muncul 24 hari setelah inokulasi. Pertumbuhan akar menjadi lebih baik
disebabkan oleh keberadaan cendawan endofit yang dapat menyebabkan jumlah
rambut akar, percabangan rambut akar dan akar lateral meningkat. Akar lateral
dapat memperluas daerah penyerapan unsur hara oleh tanaman sehingga
kebutuhan nutrisi lebih cepat, sehingga menyebabkan pertumbuhan akar
meningkat (Vasudevan et al. 2002).

Gambar 3 Volume akar tanaman cabai terinfeksi ChiVMV dengan perlakuan
cendawan endofit

133
Keefektifan pengendalian hayati sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya yaitu pengaruh inang tanaman, faktor abiotik, mikro-iklim, sifat fisik
dan kimia permukaan tanaman, lingkungan, dan populasi mikroba. Inang tanaman
sangat berpengaruh terhadap keefektifan agens antagonis dalam menekan
perkembangan patogen, disebabkan oleh kondisi inang tanaman tertentu yang
dapat menyediakan relung lingkungan yang sesuai dan nutrisi yang dibutuhkan
oleh agens antagonis yang berasal dari eksudat akar, biji, bunga dan daun tanaman
inang, sehingga jika kondisi tersebut terpenuhi maka agens antagonis dapat
berkembangbiak dan menekan patogen. Faktor abiotik juga sangat berpengaruh
terhadap perkembangan agens antagonis yaitu faktor suhu, tekanan udara dan
kondisi lapang, jika kondisi tersebut sesuai dengan kebutuhan agens antagonis
maka perkembangan agens antagonis akan lebih pesat sehingga patogen dapat
ditekan perkembangannya. Sifat fisik dan kimia permukaan tanaman juga sangat
berpengaruh terhadap perkembangan agens antagonis yaitu elemen makro dan
mikro, gula, gula alkohol, senyawa pektat, asam amino, dan asam organik, jika
sifat fisik dan kimia sesuai dengan kondisi agens antagonis maka hal tersebut
dapat mempercepat perkembangan agens antagonis dan proses pengendalian
pathogen pun dapat terjadi dengan efektif. Populasi mikroba asli juga sangat
berpengaruh terhadap perkembangan agens antagonis, karena pada permukaan
tanaman inang mikroba yang hidup sangat banyak dan persaingan untuk
berkembang biak dan hidup sangat ketat, jika agens antagonis tidak dapat
bertahan hidup maka proses penekanan patogen tidak akan efektif dan patogen
akan terus berkembang biak. Semua kondisi tersebut harus terpenuhi agar
perkembangbiakan agens antagonis dapat terjadi dengan cepat dan pesat dan tentu
saja agens antagonis harus hidup, sehingga dapat dengan mudah menekan
perkembangan patogen pembawa penyakit (Soesanto 2008).
Penyakit belang yang disebabkan oleh ChiVMV pada tanaman cabai di
Indonesia telah dilaporkan oleh Taufik (2005) yaitu di daerah Pasirwaru Jawa
Barat, Bulakparen dan Kresek Jawa Tengah, Gowa, Baraka, Sudu dan Kalosi
Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil deteksi sampel cabai yang dikumpulkan
terjadi penyebaran ChiVMV yang semakin luas yaitu di Cikabayan Jawa Barat,
Keradenan Jawa Tengah, Belung Jawa Timur, Panggong Kalimantan Tengah,
Tanah Datar Sumatera Barat dan Aceh Tengah (Opriana 2009).
Banyak faktor yang menyebabkan cepat meluasnya penyebaran ChiVMV,
diantaranya pola budidaya tanaman yang dilakukan di lapang. Petani cenderung
menggunakan satu macam kultivar secara terus-menerus bahkan dalam areal yang
cukup luas (Taufik 2005). Infeksi ChiVMV lebih banyak ditemukan pada lahan
yang menggunakan pola budidaya monokultur dan tumpang sari, baik pada daerah
dataran rendah maupun daerah dataran tinggi. Di Indonesia rata-rata pola
penanaman cabai dengan cara monokultur walaupun ada juga yang tumpang sari.
Pola tanam dengan cara monokultur sangat rawan terserang penyakit (Goodman
1986).
Selain faktor diatas penyebaran ChiVMV yang semakin cepat ini
disebabkan oleh faktor penting yaitu serangga vektor. Serangga vektor merupakan
agen penular virus ChiVMV yang sangat potensial dan cepat, karena serangga ini
memiliki kemampuan untuk berpindah tempat dengan sayapnya, walaupun tidak
dengan cepat. Serangga yang biasa menjadi vektor adalah dari kelompok kutu
daun (Aphididae: Homoptera). Beberapa kutu daun yang dilaporkan dapat

14

153

menularkan ChiVMV secara non persisten adalah Aphis craccivora, A. gossypii,
A. spiraecola, Myzus persicae, Toxoptera citricidus, Hystreroneura setariae dan
R. maydis (Pracaya 2003). Dengan demikian kutu daun memegang perananan
penting dalam penyebaran ChiVMV.
Adapun cara pengendalian yang lain yang dapat digunakan yaitu dengan
menggunakan mulsa, hal ini dapat dilakukan karena pada kondisi udara yang
tenang biasanya kutu daun suka dengan kondisi pertanaman yang berwarna hijau.
Akan tetapi setiap kutu daun memiliki prevalensi warna yang berbeda-beda
tergantung dari spesiesnya. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, hampir
semua kutu daun menghindari pantulan cahaya perak. Karena sifat dari kutu daun
yang tidak menyukai warna perak maka mulsa plastik yang berwarna perak dapat
digunakan untuk mengendalikan kutu daun sebagai vektor ChiVMV. Selain
dengan mulsa dapat menggunakan tanaman yang lebih tinggi untuk menghalangi
datangnya kutu daun yang memiliki sifat penularan non persisten. Pengendalian
yang paling penting yaitu mengusahakan agar kutu daun dengan tanaman cabai
tidak terjadi kontak secara langsung, sehingga virus pun tidak dapat menular dan
menyerang tanaman cabai (Blackman dan Eastop 2000).

3

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Cendawan endofit isolat H1, H5, dan H12 dapat menekan konsentrasi (titer)
ChiVMV didalam jaringan tanaman cabai varietas TM88. Walaupun demikian
persentase kejadian penyakit tidak berbeda nyata antara perlakuan cendawan
endofit dan tanpa cendawan endofit. Cendawan endofit isolat H5 berpengaruh
nyata meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman terutama pada awal
pertumbuhan. Semua cendawan endofit yang diuji tidak berpengaruh terhadap
perkembangan akar tanaman cabai varietas TM88.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perlakuan cendawan endofit
isolat H5, karena isolat tersebut memiliki potensi yang baik sebagai agens
biokontrol. Diharapkan pengujian cendawan endofit isolat-isolat yang lain dapat
dilakukan, untuk mencari isolat yang lebih baik sehingga dapat digunakan dalam
strategi pengendalian virus tanaman cabai.

3

DAFTAR PUSTAKA

[ BPS] Badan Pusat Statistika. 2012. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas

Cabai tahun 2009-2011 [Internet]. [ diunduh 2012 Okt 2]. Tersedia pada:
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php.
[ BPS] Badan Pusat Statistika. 2012. Produksi sayur di Indonesia [Internet]. [
diunduh
2012
Okt
15].
Tersedia
pada:
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php.
Agrios George N. 2005. Plant pathology.5th ed. New York (USA): Elsevier
Academic Press.
Asniwita, Hidayat SH, Suastika G, Sujiprihati S, Susanto S, Hayati I. 2012.
Eksplorasi isolat lemah chili veinal mottle potyvirus pada pertanaman cabai
di Jambi, Sumatera Barat, dan Jawa Barat. J Hort. 22(2):181-186.
Bastian M. 2008. Prevelensi virus penyebab penyakit mosaik pada cabai besar
(Capsicum annuum L.) di Kabupaten Bogor, Cianjur dan Bandung provinsi
Jawa Barat[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Blackman RL, Eastop VF. 2000. Aphids on the World’s Crop. An Identification
and Information Guide 2ⁿͩ eds. New York : John Wiley and Sons.
Broadbent L. 1964. Control of plant virus disease. Dalam: Corbett MK, Sisler
HD, editor. Plant Virology. Gainesville: University of Florida Press.
Caroll GC. 1990. Fungal endophytes in vascular plants. Trans. Mycol. Soc. Japan.
31: 103-116
Clark MF, Adams AN. 1977. Characteristics of the microplate method of enzyme
linked Immunosorbent assay for the detection of plant viruses. J. Gen. Virol.
34(3): 475-483. DOI 10.1099/0022-1317-34-3-475.
Dolores LM. 1996. Management of pepper viruses. Proceeding of the AVNET II
Midterm Workshop AVRDC, ADB and PCARRD.
Doss RP, Welty RE. 1995. A PCR-based prosedure for detection of Acremonium
coenophilum in tall fescue. Phytopathology 85: 913-914
Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1986. The Biochemistry and Physiology of
plant disease. University of Missouri Press. Columbia.
Habazar T dan Hidrayani. 2005. Penyakit Virus Kuning Keriting Daun Pada
Cabai Dan Teknik Pengendaliannya. Diskusi Pemecahan Masalah Aktual
Upaya Pengendalian Virus Kuning Keriting Daun (Yellow Leaf Curl Virus)
pada Cabai di Padang, Sumatera Barat tgl 28 Mei 2005. 16 hal
Hermawati H. 2007. Pengaruh cendawan endofit terhadap biologi dan
pertumbuhan populasi Aphis gossypii Glov. (Homoptera: Aphididae) pada
tanaman cabai [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Istikorini Y. 2008. Potensi cendawan endofit untuk mengendalikan penyakit
antraknosa pada cabai (Capsicum annuum L.) [disertasi]. Bogor (ID):
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Knott JE. 1962. Hand book vegetable growers. John Willey and Sons, Inc. New
York, London, Sydne. Hlm. 28-46.

173
Khairy M. 2012. Pengaruh cendawan endofit terhadap hama dan pertumbuhan
padi di lapangan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Lehtonen PT, Helander M, Siddiqui SA, Lehto K and Saikkonen K. Endophytic
fungus decreases plant virus infections in meadow ryegrass ( Lolium
pratense)[internet]. 2006. Biol. Lett. 2: 620-623. Tersedia pada:
rsbl.royalsocietypublishing.org
Mejia, L.C., Rojas, E.I., Maynard, Z., Arnold, A.E., Kyllo, D., Robbins, N., and
Herre, E.A. 2004. Inoculation of beneficial endophytic fungi into
Theobromae cacao tissues. Online Publication. 8 pp.
Narayanasamy P. 2011. Microbial Plant Pathogens –Detection and Disease
Diagnosis: Viaral and Viroid Pathogens. Vol 2. India (IND): Grand Parade
Apartment.
Niere B. 2002. Banana Endophyte: Potential for Pest Biocontrol. IITA-ESARC.
Kampala, Uganda.
Ong CA. 1995. Symptomatic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the
AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC.
Opriana E. 2009. Metode deteksi untuk pengujian respon ketahanan beberapa
genotipe cabai terhadap infeksi chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV)
[tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Panda H. 2007. Aromatic Plants Cultivation, Processing And Uses. Delhi (IND):
Asia Pacific Business Press
Pracaya. 2003. Hama Penyakit Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rikmawati N. 2011. Eksplorasi cendawan endofit pada kacang panjang (Vigna
sinensis (L.) savi ex has) dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman
[tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rostini N. 2011. Jurus Bertanam Cabai Bebas Hama dan Penyakit. Jakarta:
AgroMedia Pustaka.
Semangun H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sinclair JB, Cerkaukas RF. 1996. Latens infection vs endophytic colonization by
fungi. Di dalam: Redlin SC, Carris LM, editors. Endophytic Fungi in
Grasses and Woody Plant. St Paul Minnesota: The American
Phytopathological Society. P 3-29.
Siriwong P, Kittipakorn K, Ikegami M. 1995. Characterization of chili veinal
mottle virus isolated from pepper in Thailand. Plant Pathology 44: 718-727.
Soesanto L. 2008. Pengentar pengendalian hayati penyakit tanaman. 1st ed. Jakarta
(ID): Raja Grafindo Persada.
Subekti D, Hidayat SH, Nurhayati E, Sujiprihati S. 2006. Infeksi Cucumber
mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman cabai. Hayati. 13(2):53-57.
Sulyo Y, Duriat AS, Gunaeni N, Korlina. 1995. Confirmation of Potentially
Important Pepper Viruses in Indonesia. Di dalam: Shanmugasundaram S,
Cabangbang V, editor. Management of Mayor Viruses of Pepper.
Proceeding on the AVNET II Midterm Workshop organized ny AVRDC,
ADB, and PCARRD; Los Banos, 21-25 Februari 1995. Shanhua, Tainan,
Taiwan: Asian Vegetable Research and Development Center. Pulb. no. 95438. Hlm 175-180.

18

3

Sulyo Y, Duriat AS. 1996. Field evaluation of pepper accessions for resistance to
viruses. Proceeding of the AVNET II Final Workshop Philippines. AVRDCTainan. Taiwan: Hlm. 36-47.
Suwandi N, Nurtika SS. 1989. Bercocok tanam sayuran dataran rendah. Balai
Penelitian Hortikultura Lembang dan Proyek ATA 395, Lembang. Hlm 3.13.6.
Taufik M. 2005. Cucumber mosaic virus dan chilli veinal mottle potyvirus:
karakteristik isolat cabai dan strategi pengendaliannya [disertasi]. Bogor
(ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Vasudevan P, Reddy MS, Kavitha S, Velusamy P, Paulraj RSD. 2002. Role of
biological preparations in enhancement of rice seedling growth and grain
yield. Curr. Sci. 83: 1140-1143.
Wang J, Liu Z, Niu S, Pen