Penghambatan Layu Fusarium Pada Benih Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Yang Dienkapsulasi Alginat-Kitosan Dan Tapioka Dengan Bakteri Kitinolitik

(1)

PENGHAMBATAN LAYU Fusarium PADA BENIH CABAI

MERAH (Capsicum annuum L.) YANG DIENKAPSULASI

ALGINAT-KITOSAN DAN TAPIOKA DENGAN BAKTERI

KITINOLITIK

SKRIPSI

AFFAN INDARWAN

070805028

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

PENGHAMBATAN LAYU Fusarium PADA BENIH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) YANG DIENKAPSULASI ALGINAT-KITOSAN DAN

TAPIOKA DENGAN BAKTERI KITINOLITIK

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

AFFAN INDARWAN 070805028

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PENGHAMBATAN LAYU Fusarium PADA BENIH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) YANG DIENKAPSULASI ALGINAT-KITOSAN DAN TAPIOKA DENGAN BAKTERI KITINOLITIK

Kategori : SKRIPSI

Nama : AFFAN INDARWAN

Nomor Induk Mahasiswa : 070805028

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan, Desember 2011

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc NIP. 19651101 199103 1 002 NIP. 19640409 199403 1 003

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP. 19630123 199003 2 001


(4)

PERNYATAAN

PENGHAMBATAN LAYU Fusarium PADA BENIH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) YANG DIENKAPSULASI ALGINAT-KITOSAN DAN

TAPIOKA DENGAN BAKTERI KITINOLITIK

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2011

AFFAN INDARWAN 070805028


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang atas limpahan rahmat kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “PENGHAMBATAN LAYU Fusarium PADA BENIH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) YANG DIENKAPSULASI ALGINAT-KITOSAN DAN TAPIOKA DENGAN BAKTERI KITINOLITIK”

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc selaku Dosen Pembimbing II atas bimbingan, arahan serta dukungannya dalam pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Kiki Nurtjahja, M.Sc dan Ibu Dra. Isnaini Nurwahyuni, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Ibu Masitta Tanjung, S.Si, M.Si selaku Pembimbing Akademik. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan Drs. Kiki Nurtjahja, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU. Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc selaku Kepala Laboratorium Mikrobiologi, Seluruh Staf Pengajar Departemen Biologi FMIPA USU. Alm. Bapak Sukirmanto, Ibu Nurhasni Muluk, Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku staf pegawai Departemen Biologi FMIPA USU.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda tercinta AKP. Iskandar HR dan Ibunda tercinta Indrawati, Adinda Haffidz Irfansyah, terima kasih telah memberikan rumah yang nyaman bagi penulis dan My beloved Silviana Roza yang telah baik, sabar, tulus menanti penulis dan seluruh keluarga yang telah memberikan doa, perhatian, dukungan serta cinta dan kasih sayangnya kepada penulis.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman seperjuangan penelitian bakteri kitinase mirza dan asril, teman–teman seperjuangan di Mikrobiologi (Nila, Resti, Ria, Alex, Mishel, Helmi, Laura, alex). Teman-teman Bengkel Fotografi Sains (Chay, Maika, Irma, Putri, Dwi, Eka, Sirma, Novi, Dwi). Teman–teman BIOPALAS (Chay, Desy, Juve, Jayana, Reymond, Gilang). Teman-teman Asisten LIDA (Anti, Maika, Dwi, Asril, Aini, Rini, Opi, Ahri, Eka, Mela, Bobby). Teman- teman “Like D’Ants Crew” angkatan 2007 (Siti, Else, Natal, Anggun, Hotda, Elis, Tika, Nia, Nisa, Eka, Risa, Maria, Farid, Sari) atas semangat kebersamaannya. Kepada senior 2005 spesial Kak Diana dan Bang Andi, terima kasih atas semangatnya dan senior 2006 (Zulpan, Nikmah, Ami, Jane, Siti, Nana, Sari). Teman-teman SD AL-ULUM (Heldi, Hany, Sarah, Fauzi, Dipa, Brian) Semoga jalan-jalan kita selanjutnya lebih jauh lagi dan terima kasih kepada Balai Besar POM (Kak Okta dan Kak Ikuten) yang telah mengijinkan penulis untuk melaksanakan magang dan yang lain yang tidak bisa penulis jabarkan satu persatu.


(6)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skipsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2011


(7)

PENGHAMBATAN LAYU Fusarium PADA BENIH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) YANG DIENKAPSULASI ALGINAT-KITOSAN DAN

TAPIOKA DENGAN BAKTERI KITINOLITIK ABSTRAK

Penelitian tentang penghambatan layu Fusarium pada benih cabai merah (Capsicum annuum L.) yang dienkapsulasi alginat-kitosan dan tapioka dengan bakteri kitinolitik telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi FMIPA USU, Medan dari bulan April hingga Agustus 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui viabilitas bakteri kitinolitik dalam enkapsulasi benih cabai merah bahan pelapis alginat-kitosan dan tapioka serta mengetahui potensi bakteri kitinolitik dalam bentuk enkapsulasi pada benih cabai merah sebagai pengendali hayati terhadap infeksi jamur F. oxysporum. Dua isolat bakteri kitinolitik terenkapsulasi alginat-kitosan dan tapioka memiliki viabilitas yang tinggi dalam menghambat layu Fusarium, namun mengalami penurunan viabilitas yang cukup drastis pada hari ke- 30. Semua bakteri kitinolitik terenkapsulasi yang diuji mampu menghambat jamur F. oxysporum penyebab layu Fusarium pada kecambah cabai merah. AlBK15 memiliki kemampuan tertinggi yaitu 72,22%, diikuti AlBK 17 yaitu 50%, TaBK 15 yaitu 44,44%, serta TaBK 17 yaitu 27,78% dengan penampakan kecambah yang sehat. Kedua bakteri kitinolitik terenkapsulasi ini berpotensi sebagai agen pengendali hayati.


(8)

INHIBITION OF Fusarium WILT ON CHILI (Capsicum annuum L.) SEEDS ENCAPSULATED ALGINATE-CHITOSAN AND TAPIOCA WITH

CHITINOLYTIC BACTERIA

ABSTRACT

A study on inhibiton of Fusarium wilt on chili (Capsicum annuum L.) alginate-chitosan and tapioca encapsulated seeds with bacteria chitinolytichas been conducted in Laboratory of Microbiology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Sumatera Utara, Medan from April to August 2011. The research was aimed to investigate the viability of chitinolytic isolates in encapsulated alginate-chitosan and tapioca chili seed and to investigate the potential of encapsulated bacteria on chili seeds as biological control of fungal infection F. oxysporum. Two bacterial isolates chitinolytic alginate-chitosan and tapioca encapsulated have high viability in inhibiting of Fusarium wilt, however the viablity decreased sharply after day 30. All encapsulated chitinolytic bacteria seed enabled to reduce dumping off the chili seed. Alginate-chitosan encapsulated seed with BK 15 showed to reduce dumping off by 72,22% followed by alginate-chitosan encapsulated with BK 17 by 50%, and tapioca encapsulated with BK 15 and BK 17 by 44,44% and 27,78%, respectively. This result indicated that BK 15 and BK 17 might be used as potential biological control agent of dumping off caused by F. oxysporum.


(9)

DAFTAR ISI Halaman PERSETUJUAN PERNYATAAN PENGHARGAAN ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ii iii iv vi vii viii x xi

Bab 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang 1.2 Permasalahan 1.3 Tujuan 1.4 Hipotesis

1.5 Manfaat

1 1 3 3 3 3

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Layu Fusarium pada Cabai 2.2 Kitin dan Bakteri Kitinolitik

2.3 Agen Pengendali Hayati 2.4 Enkapsulasi

2.4.1 Alginat 2.4.2 Tapioka

4 4 5 6 6 7 9

Bab 3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan

3.3 Isolat Bakteri, Fungi dan Benih

3.4 Perbanyakan dan Pembuatan Suspensi Bakteri Kitinolitik 3.5 Pembuatan Benih Cabai Merah Terenkapsulasi Alginat

Bakteri Kitinolitik

3.6 Pembuatan Benih Cabai Merah Terenkapsulasi Tapioka- Bakteri Kitinolitik

3.7 Asai Viabilitas Bakteri Kitinolitik Dalam Enkapsulasi 3.8 Asai Patogenitas F. oxysporum

3.9 Penghambatan Serangan F. oxysporum pada Benih Cabai

10 10 10 10 11 11 12 12 13 13

Bab 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Viabilitas Bakteri Kitinolitik Dalam Enkapsulasi 4.2 Uji Patogenitas F. oxysporum

4.3 Penghambatan Serangan F. oxysporum pada Benih Cabai

15 15 17 18


(10)

Bab 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 5.2 Saran

25 25 25


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Mekanisme pembentukan gel alginat 8 Gambar 2. Jumlah bakteri kitinolitik dalam enkapsulasi 15 Gambar 3. Perbandingan kecambah sehat dan yang terserang rebah

kecambah 17

Gambar 4. Persentase rebah kecambah yang diinokulasi Fusarium dengan perlakuan bakteri kitinolitik (Waktu penyimpanan

benih hari ke- 0) 18

Gambar 5. Persentase pengurangan rebah kecambah yang diinokulasi

Fusarium dengan perlakuan bakteri kitinolitik 19 Gambar 6. Persentase rebah kecambah yang diinokulasi Fusarium

dengan perlakuan bakteri kitinolitik (Waktu penyimpanan

benih hari ke- 30) 20

Gambar 7. Tinggi kecambah yang diinokulasi Fusarium dengan

perlakuan bakteri kitinolitik 21

Gambar 8. Berat kering tanaman dengan perlakuan bakteri kitinolitik 23 Gambar 9. Reisolasi dari kecambah yang rebah 24


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Pembuatan Koloidal Kitin dengan Cara Hidrolisis Parsial dan Pembuatan Kitin Agar.

30

Lampiran 2. Pembuatan Benih Cabai Terenkapsulasi Alginat-bakteri Kitinolitik dan Tapioka

31

Lampiran 3. Asai Patogenitas F. oxsporum, Reisolasi dan Penghambatan Serangan F. oxsporum pada Benih

Cabai 32

Lampiran 4. Data Total Kecambah yang Rebah 34 Lampiran 5. Data Rata-rata Tinggi Kecambah dari Minggu ke-1

Sampai Minggu ke-4 36

Lampiran 6. Data Viabilitas Cabai Terenkapsulasi (CFU/ml) 36 Lampiran 7. Data Persentase Rebah Kecambah 36 Lampiran 8. Lokasi Penelitian, Benih Cabai Merah Terenkapsulasi

dan Kegiatan Penelitian 38

Lampiran 9. Uji Viabilitas Bakteri Kitinolitik Dalam Enkapsulasi. 39

Lampiran 10. Isolat F. oxysporum 39


(13)

PENGHAMBATAN LAYU Fusarium PADA BENIH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) YANG DIENKAPSULASI ALGINAT-KITOSAN DAN

TAPIOKA DENGAN BAKTERI KITINOLITIK ABSTRAK

Penelitian tentang penghambatan layu Fusarium pada benih cabai merah (Capsicum annuum L.) yang dienkapsulasi alginat-kitosan dan tapioka dengan bakteri kitinolitik telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi FMIPA USU, Medan dari bulan April hingga Agustus 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui viabilitas bakteri kitinolitik dalam enkapsulasi benih cabai merah bahan pelapis alginat-kitosan dan tapioka serta mengetahui potensi bakteri kitinolitik dalam bentuk enkapsulasi pada benih cabai merah sebagai pengendali hayati terhadap infeksi jamur F. oxysporum. Dua isolat bakteri kitinolitik terenkapsulasi alginat-kitosan dan tapioka memiliki viabilitas yang tinggi dalam menghambat layu Fusarium, namun mengalami penurunan viabilitas yang cukup drastis pada hari ke- 30. Semua bakteri kitinolitik terenkapsulasi yang diuji mampu menghambat jamur F. oxysporum penyebab layu Fusarium pada kecambah cabai merah. AlBK15 memiliki kemampuan tertinggi yaitu 72,22%, diikuti AlBK 17 yaitu 50%, TaBK 15 yaitu 44,44%, serta TaBK 17 yaitu 27,78% dengan penampakan kecambah yang sehat. Kedua bakteri kitinolitik terenkapsulasi ini berpotensi sebagai agen pengendali hayati.


(14)

INHIBITION OF Fusarium WILT ON CHILI (Capsicum annuum L.) SEEDS ENCAPSULATED ALGINATE-CHITOSAN AND TAPIOCA WITH

CHITINOLYTIC BACTERIA

ABSTRACT

A study on inhibiton of Fusarium wilt on chili (Capsicum annuum L.) alginate-chitosan and tapioca encapsulated seeds with bacteria chitinolytichas been conducted in Laboratory of Microbiology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Sumatera Utara, Medan from April to August 2011. The research was aimed to investigate the viability of chitinolytic isolates in encapsulated alginate-chitosan and tapioca chili seed and to investigate the potential of encapsulated bacteria on chili seeds as biological control of fungal infection F. oxysporum. Two bacterial isolates chitinolytic alginate-chitosan and tapioca encapsulated have high viability in inhibiting of Fusarium wilt, however the viablity decreased sharply after day 30. All encapsulated chitinolytic bacteria seed enabled to reduce dumping off the chili seed. Alginate-chitosan encapsulated seed with BK 15 showed to reduce dumping off by 72,22% followed by alginate-chitosan encapsulated with BK 17 by 50%, and tapioca encapsulated with BK 15 and BK 17 by 44,44% and 27,78%, respectively. This result indicated that BK 15 and BK 17 might be used as potential biological control agent of dumping off caused by F. oxysporum.


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk dalam s cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari tanaman yang sehat serta bebas dari hama dan penyakit. Penggunaan benih yang unggul dan bermutu tinggi merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan produksi tanaman yang menguntungkan secara ekonomis (Syamsuddin 2003). Akan tetapi, penanaman cabai dihadapkan dengan berbagai masalah, diantaranya teknis budidaya, kekurangan nutrisi, serta serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit yang sering menyerang cabai adalah layu Fusarium. Famili Solanaceae (tomat, kentang, cabai dan tanaman lainnya) diinfeksi oleh jamur yang dapat menyebabkan layu Fusarium dan layu Verticillium. Organisme penyebab penyakit biasanya masuk melalui akar muda dan kemudian tumbuh dan berkembang sehingga akan mengkolonisasi bagian pembuluh dari akar dan batang, bagian pembuluh batang tersumbat dan gagal menyalurkan air ke daun (Miller et al. 1986).

Di Indonesia penyakit layu sudah lama dikenal, tetapi umumnya orang menduga bahwa penyakit ini hanya satu jenis yaitu yang disebabkan oleh bakteri (Pseudomonas solanacearum). Bahkan dalam laporan-laporan terdahulu penyebab penyakit layu selalu disebut sebagai penyakit bakteri. Di negara-negara lain sudah lama dikenal bahwa sebagian dari penyakit layu pada tanaman Solanaceae disebabkan oleh Fusarium (Semangun 1996).

Oleh karena fungisida sintetik berpengaruh negatif terhadap lingkungan, akhir-akhir ini penggunaan mikroorganisme antagonis sebagai agensia alternatif pengendali berbagai jenis patogen tanaman semakin banyak diteliti dan


(16)

dikembangkan (Sutariati & Wahab 2010), salah satu penanganan layu Fusarium yaitu dengan menggunakan bakteri yang mampu memproduksi enzim kitinase. Di antara bakteri kitinolitik adalah Aeromonas hydrophila, A. caviae, Pseudomonas maltophila, Bacillus licheniformis, B. circulans, Vibrio furnissii, Xanthomonas spp., dan Serratia marcescens (Gohel et al. 2003). A. caviae dan S. marcescens mampu menghambat pertumbuhan miselia F. oxysporum pada kecambah tomat (Prihatna 2003). Beberapa contoh penelitian yaitu bakteri kitinolitik dengan Fusarium oxysporum dan Alternaria solani (Ferniah et al. 2003).

Enkapsulasi adalah proses pembentukan kapsul yang menyelubungi suatu bahan. Bahan yang diselubungi umumnya disebut bahan inti atau bahan aktif. Bahan inti tersebut dapat berbentuk padat, cair atau gas. Enkapsulasi dapat dilakukan pada sel bakteri sebagai bahan inti (Frazier dan Westhoff 1998). Beberapa penelitian yang menggunakan bakteri sebagai bahan inti yaitu Lactobacillus casei dan Bifidobacterium bifidum terenkapsulasi kalsium alginat (Kim et al. 1996), Lactobacillus plantarum terenkapsulasi susu skim dan gum arab (Rizqiati et al. 2009) dan Methylobacterium spp. terenkapsulasi beberapa komposisi bahan pelapis (alginate, gum arab) (Eka et al. 2008). Kapsulasi dengan menambahkan subtansi prebiotik dalam produk merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk meningkatkan viabilitas organisme pada produk (Kneifel et al. 1993). Berdasarkan kemampuan bakteri kitinolitik yang telah diuji dalam menghambat perkembangan jamur patogen seperti F. oxysporum (Irawati 2008), diperlukan pengujian enkapsulasi benih cabai merah dengan memanfaatkan isolat bakteri kitinolitik yang potensial dengan menggunakan bahan pembawa seperti alginat dan tapioka sebagai bahan pelapis benih (enkapsulasi) cabai merah. Dalam penelitian ini perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai enkapsulasi bahan pelapis alginat dan tapioka terhadap benih cabai merah dengan memanfaatkan isolat bakteri kitinolitik yang potensial sebagai pengendali hayati jamur patogen.


(17)

1.2 Permasalahan

Bakteri kitinolitik dalam enkapsulasi pada benih cabai merah diharapkan mampu menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum. Untuk itu perlu dilakukan pengujian bahan pelapis benih yang baik untuk melapisi benih cabai merah dan bakteri kitinolitik.

1.3Tujuan

1. Untuk mengetahui viabilitas bakteri kitinolitik dalam enkapsulasi benih cabai merah bahan pelapis alginat-kitosan dan tapioka.

2. Untuk mengetahui potensi bakteri kitinolitik dalam bentuk enkapsulasi pada benih cabai merah sebagai pengendali hayati terhadap infeksi jamur F. oxysporum.

1.4Hipotesis

1. Viabilitas bakteri kitinolitik dalam enkapsulasi alginat-kitosan dan tapioka pada benih cabai merah tetap tinggi.

2. Bakteri kitinolitik dalam enkapsulasi alginat-kitosan dan tapioka pada benih cabai merah tetap mampu menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum.

3. Viabilitas benih cabai yang dienkapsulasi alginat-kitosan dan tapioka dengan bakteri kitinolitik tetap tinggi.

1.5 Manfaat

Dapat meningkatkan kualitas benih cabai merah terhadap serangan jamur patogen khususnya jamur F. oxysporum.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Layu Fusarium pada Cabai

Moekasan et al. (2005) dan Setiowati et al. (2005) melaporkan bahwa penyakit utama cabai merah adalah: rebah kecambah (damping off), bercak daun cercospora (Cercospora sp.), busuk buah antraknos (Colletotrichum sp.), layu fusarium (Fusarium oxysporum), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum), embun tepung (Leveillula taurica), dan kompleks virus. Layu Fusarium biasa menyerang pada area penanaman cabai (Prajnanta, 1999). Gejala serangan ditandai dengan memucatnya tulang daun sebelah atas, kemudian diikuti dengan merunduknya tangkai. Daun tampak terkulai dan seluruh tanaman menjadi layu, warna daun tidak lagi hijau segar, melainkan hijau pucat (Setiadi 1996). Kadang-kadang kelayuan didahului dengan menguningnya daun, terutama daun-daun bawah, kelayuan dapat terjadi sepihak. Pada batang kadang-kadang terbentuk akar adventif. Pada tanaman yang masih sangat muda penyakit dapat menyebabkan tanaman mati secara mendadak, karena pada pangkal batang terjadi kerusakan atau kanker menggelang, sedangkan tanaman dewasa yang terinfeksi sering dapat bertahan terus dan membentuk buah tetapi hasilnya sangat sedikit dan kecil-kecil (Semangun 1996).

Fusarium memiliki konidiofor yang bercabang maupun tidak, mikrokonidia bersepta 0 hingga 2, terbentuk lateral pada fialid yang sederhana, atau terbentuk pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang pendek, umumnya terdapat dalam jumlah banyak sekali, terdiri dari aneka bentuk dan ukuran, berbentuk ovoid–elips sampai silindris, lurus atau sedikit membengkok, dan berukuran (5,0-12,0) x (2,2-3,5) nm. Makrokonidia jarang terdapat pada beberapa strain, terbentuk pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang atau dalam sporodokhia, bersepta 3-5, berbentuk fusiform, sedikit membengkok, meruncing pada kedua ujungnya dengan sel kaki


(19)

berbentuk pediselata, umumnya bersepta 3. Khlamidiospora terdapat dalam hifa atau dengan konidia, berwarna hialin, berdinding halus atau agak kasar, berbentuk semi bulat dengan diameter 5,0-15 nm, terletak terminal atau interkalar, dan berpasangan atau tunggal (Gandjar et al. 1999).

2.2 Kitin dan bakteri kitinolitik

Kitin merupakan polimer golongan karbohidrat yang dihasilkan dari limbah hasil laut khususnya golongan udang, kepiting dan kerang. Secara hayati polimer polisakarida ini disintesis hampir satu miliar ton per tahun di dunia. Kadar kitin dalam kulit udang dan kepiting sekitar 40-60 persen, sedangkan pada dinding sel fungi 22-44 persen. Kitin yang diperoleh dari berbagai sumber memiliki struktur sama, kecuali ikatannya dengan protein dan kalsium karbonat yang merupakan dua komponen lain pada kulit udang (Rahayu et al. 2003). Kitin pada fungi berbentuk mikofibril yang memiliki panjang yang berbeda tergantung pada spesies dan lokasi selnya. Mikrofibril merupakan struktur utama dari sel fungi yang terdiri atas jalinan rantai polisakarida yang saling bersilangan membentuk anyaman. Kandungan kitin pada fungi bervariasi dari 4-9% berat kering sel (Rajarathanam et al. 1998). Pada bakteri, kitinase diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sementara pada tanaman kitinase digunakan untuk melawan jamur patogen maupun parasit. Degradasi kitin menjadi monomer glukosamin memerlukan enzim endokitinase dan eksokitinase yang bekerja sinergistik dalam dua tahap (Rahayu et al. 2003).

Beberapa bakteri tanah mempunyai aktivitas kitinolitik. Bakteri kitinolitik dapat memecah kitin penyusun dinding sel kapang sehingga potensial menghambat pertumbuhan kapang patogen pada tanaman (Ferniah et al. 2003). Genus bakteri yang sudah banyak dilaporkan menghasilkan kitinase antara lain Aeromonas, Alteromonas, Chromobacterium, Enterobacter, Ewingella, Pseudoalteromonas, Pseudomonas, Serratia, Vibrio (Chernin et al. 1998), Bacillus (Pleban et al. 1997), Pyrococcus (Gao et al. 2003).


(20)

2.3 Agen pengendali hayati

Pengertian agen hayati (biokontrol) menurut FAO adalah mikroorganisme, baik yang terjadi secara alami seperti bakteri, cendawan, virus dan protozoa, maupun hasil

rekayasa genetik (genetically modified microorganisms) yang digunakan untuk

mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan. Agen hayati tidak hanya meliputi mikroorganisme, tetapi juga organisme yang ukurannya lebih besar dan dapat dilihat secara kasat mata seperti predator atau parasitoid untuk membunuh serangga. Dengan demikian, pengertian agen hayati perlu dilengkapi dengan kriteria menurut FAO yaitu organisme yang dapat berkembang biak sendiri seperti parasitoid, predator, parasit, arthropoda pemakan tumbuhan, dan patogen (Supriadi 2006).

Pengendalian penyakit layu Fusarium cukup sulit karena patogen bersifat soil inhabitant, dan dapat bertahan sangat lama di dalam tanah tanpa adanya tanaman inang, sehingga rotasi tanaman menjadi tidak efektif. Pengendalian penyakit dengan mengaplikasikan fungisida sintetik ke dalam tanah hanya dapat menekan penyakit layu Fusarium untuk beberapa bulan saja (Alabouvette et al. 1996), namun banyak masalah yang lebih merugikan bagi kehidupan manusia secara langsung atau tidak langsung, terjadinya pencemaran lingkungan, residu yang sulit terdegradasi, residu pada makanan hasil pertaniandan terjadinya resistensi penyakit merupakan beberapa efek penggunaan fungisida sintetis (Ferniah et al. 2003). Cara pengendalian biologi yang baik, salah satu caranya adalah dengan enkapsulasi.

2.4Enkapsulasi

Pengemasan telah berkembang sejak lama, sebelum manusia membuat kemasan, alam sendiri telah menyajikan kemasan misalnya jagung terbungkus seludang, buah-buahan terbungkus kulitnya, buah kelapa terlindung baik oleh sabut dan tempurung, polongan terbungkus kulit polong (Harris 2001). Salah satu metode enkapsulasi adalah dengan menerapkan metode enhancement. Seed coating merupakan salah satu metode enhancement, yakni metode untuk memperbaiki mutu benih menjadi lebih baik dengan penambahan bahan kimia pada coating yang dapat mengendalikan dan


(21)

meningkatkan perkecambahan (Copeland dan McDonald 1995). Ilyas (2003) menyatakan bahwa penggunaan seed coating dalam industri benih sangat efektif karena dapat memperbaiki penampilan benih, meningkatkan daya simpan, mengurangi risiko tertular penyakit dari benih di sekitarnya, dan dapat digunakan sebagai pembawa zat aditif, misalnya antioksidan, anti mikroba, repellent, mikroba antagonis, zat pengatur tumbuh dan lain-lain.

Enkapsulasi adalah suatu proses pembungkusan (coating) suatu bahan inti, dalam hal ini adalah bakteri sebagai bahan inti dengan menggunakan bahan enkapsulasi tertentu, yang bermanfaat untuk mempertahankan viabilitasnya dan melindungi dari kerusakan akibat kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (Wu et al. 2000). Pacifico et al. (2001) menyatakan bahwa untuk komponen yang bersifat peka seperti mikroorganisme, dapat dienkapsulasi untuk meningkatkan viabilitas dan umur simpannya. Bahan yang umum digunakan untuk enkapsulasi adalah berbagai jenis polisakarida dan protein seperti pati, alginat, gum arab, gelatin, karagenan, albumin dan kasein. Penggunaan bahan untuk enkapsulasi perlu dipertimbangkan, karena masing-masing bahan mempunyai karakter yang berbeda

dan belum tentu cocok dengan bahan inti yang akan dienkapsulasi (Desmond et al. 2002).

2.4.1Alginat

Alginat adalah polisakarida anionik berasal dari rumput laut coklat yang bersifat biokompatibel dan biodegradabel terdiri dari β-D Manuronat dan α–L Guluronat yang dihubungkan dengan ikatan (1-4) dengan berbagai perbandingan G / M (Gambar 1) Alginat yang tersedia secara komersial adalah dalam bentuk garamnya yaitu natrium alginat (Wang et al. 2006). Keunikan natrium alginat yaitu perubahannya menjadi hidrogel dengan 95% molekul air di dalamnya, yang merupakan syarat penting untuk penggunaan dalam menjebak senyawa. Ketika natrium alginat bertemu dengan kation divalent seperti Ca+2 menghasilkan pembentukan gel dimana residu G dari alginat yang mengikat ion Ca+2 (Wang et al. 2006).


(22)

Gambar 1. Mekanisme pembentukan gel alginat

Beberapa contoh penelitian yang menggunakan alginat sebagai bahan enkapsulasi, seperti yang dilakukan oleh Purwandhani et al. (2007) melakukan enkapsulasi sel menggunakan metoda pelapisan (coating), dengan dua metode, yaitu metoda ekstrusi dan emulsi. Pada masing-masing metoda dilakukan enkapsulasi satu lapis (single coating) dan dua lapis (double coating). Metoda satu lapis menggunakan alginat dan metoda dua lapis yaitu menggunakan protein (susu skim) sebagai lapis yang pertama dan alginat sebagai lapisan kedua. Eka et al. (2008) melakukan enkapsulasi benih menggunakan isolat Methylobacterium spp. yang telah diinkubasi selama 7 hari pada rotary shaker. Bahan coating yang digunakan berupa arabic gum dan alginat dilarutkan pada inokulan Methylobacterium TD-L2 dan TD-J10.


(23)

2.4.2Tapioka

Pati merupakan karbohidrat yang tersebar dalam tanaman terutama tanaman berklorofil. Bagi tanaman pati merupakan cadangan makanan untuk masa pertumbuhan dan pertunasan yang terdapat pada biji, batang dan pada bagian umbi tanaman. Banyaknya kandungan pati pada tanaman tergantung asal pati tersebut, misalnya pati yang berasal dari biji beras mengandung pati 50-60 %. Pati telah lama digunakan baik sebagai bahan makanan maupun non-food seperti perekat, dalam industri tekstil, polimer atau sebagai bahan tambahan dalam sediaan farmasi. Penggunaan pati dalam bidang farmasi sebagai formula sediaan tablet, baik sebagai bahan pengisi, penghancur maupun sebagai bahan pengikat (Winarno 1986).

Pati telah banyak digunakan sebagai bahan biopolimer yang mampu membentuk matriks dalam pembuatan edibel film. Semakin banyak pati yang digunakan, maka semakin rapat matriks film yang terbentuk. Hal ini berdampak pada peningkatan nilai tensile strength film. Salah satu pati yang banyak digunakan sebagai bahan baku edibel film yaitu pati tapioka. Wijayanti (2010) menyatakan bahwa potensi tepung tapioka sebagai campuran bahan pembawa pada pupuk biologis yang dihasilkan melalui enkapsulasi menggunakan natrium alginat dan viabilitas A. brasilense di dalam kapsul Ca-alginat hasil enkapsulasi, selain itu juga mengetahui formula bahan pembawa (perbandingan konsentrasi antara natrium alginat dan tepung tapioka) terbaik sehingga mampu mempertahankan viabilitas A. brasilense selama masa simpan.


(24)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan dari bulan April sampai Agustus 2011 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan Petri, benang wol, pipa kaca, Erlenmeyer, hotplate, objek glass, cover glass, ose bengkok, bunsen, handspray, aluminium foil, kertas label, thermometer, kamera digital, gunting, pipet serologi, propipet, tabung reaksi, pipet tetes, gelas ukur, timbangan analitik, oven, autoklaf, inkubator fungi, neraca, label tempel, clingwrap, indikator pH, spatula, dan inkubator bakteri. Sedangkan bahan yang digunakan adalah natrium alginat, kitosan, CaCl2, tapioka, gliserol, media potato dextrosa agar/broth (PDA/B), nutrient agar (NA), 0,9% NaCl, CH3COOH, larutan Mac Farland, akuadest steril, serbuk kitin, larutan garam, agar, spritus, koloidal kitin.

3.3 Isolat Bakteri, Fungi dan Benih

Isolat bakteri kitinolitik yang digunakan adalah koleksi Laboratorium Mikrobiologi yang merupakan bakteri tanah yang berasal dari daerah Bangka yaitu Enterobacter sp. (BK 15) dan Bacillus sp. (BK 17). F. oxysporum yang digunakan berasal dari Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA USU. F. oxysporum diremajakan pada media PDA. Pada umur 7 hari dibuat suspensi sporanya


(25)

dengan konsentrasi ~106 sel/ml (Patonah 2008). Benih yang digunakan adalah benih cabai merah komersial yang telah tersertifikasi.

3.4Perbanyakan dan Pembuatan Suspensi Bakteri Kitinolitik

Biakan bakteri disubkultur dalam media NA dan diinkubasi pada 30oC selama ± 2 hari. Hasil subkultur biakan bakteri diambil dengan jarum ose dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml akuades steril. Setelah itu dihomogenkan dengan cara divorteks dan disamakan kekeruhannya dengan standart Mac Farland sehingga diperoleh suspensi bakteri dengan kerapatan sel ~108 CFU/ml.

3.5 Pembuatan Benih Cabai Merah Terenkapsulasi Alginat-kitosan-Bakteri Kitinolitik

Metode enkapsulasi yang digunakan merupakan modifikasi dari Nurwidada (2010). Proses enkapsulasi diawali dengan perbanyakan bakteri kitinolitik pada media NA pada 30oC selama 24 jam. Hasil subkultur biakan bakteri diambil dengan jarum ose dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml akuades steril. Setelah itu dihomogenkan dengan cara divorteks dan disamakan kekeruhannya dengan standar Mac Farland sehingga diperoleh suspensi bakteri dengan kerapatan sel ~108 CFU/ml. Setelah itu dilakukan pembuatan larutan kitosan yaitu dengan menambahkan serbuk kitosan 1% dilarutkan dalam 10 ml CH3COOH 1%. Seribu benih cabai merah direndam dalam 10 ml suspensi bakteri kitinolitik dengan kerapatan sel ~108 CFU/ml selama 30 menit, kemudian ditambahkan gliserol 3 ml, dan alginat 3%, semua bahan dicampur dan ditambahkan akuades steril sampai volumenya menjadi 100 ml. Campuran tersebut diteteskan pada larutan kitosan 1% yang telah dilarutkan dalam 10 ml CH3COOH 1% + CaCl2 2% menggunakan pipa kaca. Gel yang terbentuk dipindahkan ke dalam larutan NaCl fisiologis (0,9%) untuk mengompakkan struktur gel. Gel-gel yang terbentuk selanjutnya dimasukkan ke air destilasi steril dan diputar secara perlahan selama satu jam untuk menghilangkan residu CaCl2, lalu dikeringanginkan.


(26)

3.6Pembuatan Benih Cabai Merah Terenkapsulasi Tapioka-Bakteri Kitinolitik

Metode enkapsulasi yang digunakan merupakan modifikasi dari Mardhia (2010). Proses enkapsulasi diawali dengan perbanyakan bakteri kitinolitik pada media NA pada 30oC selama 24 jam. Hasil subkultur biakan bakteri diambil dengan jarum ose dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml akuades steril. Setelah itu dihomogenkan dengan cara divorteks dan disamakan kekeruhannya dengan standart Mac Farland sehingga diperoleh suspensi bakteri dengan kerapatan sel ~108 CFU/ml. Seribu benih cabai merah direndam ke dalam 10 ml suspensi bakteri kitinolit ik dengan kerapatan sel ~108 CFU/ml selama 30 menit, kemudian ditambahkan 3 ml gliserol, dan pati 4% tapioka. Semua bahan dicampur kemudian ditambahkan akuades steril sampai volumenya menjadi 100 ml lalu dikeringanginkan.

3.7Asai Viabilitas Bakteri Kitinolitik Dalam Enkapsulasi

Jumlah koloni kultur bakteri kitinolitik ditentukan dengan menggunakan standard plate count. Cabai merah terenkapsulasi diambil, kemudian digerus lalu dicampurkan dengan 10 ml akuades steril, dipipet sebanyak 0,1 ml lalu ditumbuhkan pada media MGMK (Suryanto 2001). Jumlah koloni bakteri kitinolitik yang tumbuh dihitung pada media MGMK yang ditandai dengan terdapatnya zona bening di sekitar koloni. Perhitungan jumlah koloni dilakukan pada hari ke- 0, 15, dan 30 dengan menggunakan perbedaan suhu penyimpanan yang berbeda pada suhu 26o

C-30o C dan suhu dalam kulkas suhu 4o

C.

Perlakuan benih berupa enkapsulasi alginat-kitosan (Al), tapioka (Ta) dgn suhu penyimpanan berupa suhu ruang (SR) dan suhu kulkas (SK), sehingga kombinasi perlakuan adalah AlBK15 SR, AlBK15 SK, AlBK17 SR, AlBK17 SK, TaBK15 SR, TaBK15 SK, TaBK17 SR dan TaBK17 SK.


(27)

3.8 Asai Patogenitas F. oxysporum

Biakan F. oxysporum yang telah diremajakan di cawan petri selama 7 hari diinokulasikan pada 100 ml media Glucose yeast broth (GYB) di dalam labu erlenmeyer 250 ml dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 10 hari. Sebanyak 100 ml suspensi biakan F. oxysporum dicampur dengan 500 g campuran tanah dan kompos steril (nisbah 3:1) di dalam nampan plastik berukuran 30 cm x 22 cm x 10 cm (Suryanto 2010). Pada tiap nampan ditanam 30 benih cabai terenkapsulasi lalu ditutup dengan plastik lalu diamati selama 30 hari. Benih yang ditanam pada media yang tidak diinokulasi F. oxysporum digunakan sebagai kontrol (-) sedangkan benih yang ditanam pada media yang diinokulasi F. oxysporum digunakan sebgai kontrol (+). Peubah yang diamati adalah tanaman yang terserang rebah kecambah selama masa persemaian 30 hari. Persentase rebah kecambah dihitung dari jumlah kecambah yang rebah dibagi jumlah seluruh kecambah yang tumbuh.

Reisolasi ulang dilakukan terhadap F. oxysporum dengan memotong jaringan pada pangkal batang kecambah yang menunjukkan gejala rebah kecambah. Jaringan tersebut didesinfeksi dengan larutan 2% NaClO, dicuci dengan air steril sebanyak tiga kali dan ditanam pada media PDA. Isolat yang diperoleh diuji kembali patogenitasnya.

3.9 Penghambatan Serangan F. oxysporum pada Benih Cabai

Biakan F. oxysporum yang telah diremajakan di cawan petri selama 7 hari diinokulasikan pada 100 ml media PDB di dalam labu erlenmeyer 250 ml dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 10 hari. Sebanyak 100 ml suspensi biakan F. oxysporum dicampur dengan 500 g campuran tanah dan kompos steril (nisbah 3:1) di dalam nampan plastik berukuran 30 cm x 22 cm x 10 cm. Ke dalam tiap nampan ditanam 30 benih cabai terenkapsulasi lalu ditutup dengan plastik lalu diamati selama 30 hari. Benih yang ditanam pada media yang tidak diinokulasi F. oxysporum digunakan sebagai kontrol. Peubah yang diamati adalah tanaman yang terserang rebah


(28)

kecambah, tinggi tanaman, jumlah daun, dan berat kering kecambah selama persemaian 30 hari. Pengurangan persentase rebah kecambah dihitung dari rumus :

Pengurangan rebah kecambah =

[ {∑ (Kontrol(-)-∑(Kontrol(+)} - ∑ kecambah rebah] [∑ (Kontrol(-)-∑(Kontrol(+)]


(29)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Viabilitas Bakteri Kitinolitik Dalam Enkapsulasi

Untuk melihat viabilitas sel bakteri kitinolitik dalam enkapsulasi benih ditentukan dengan menggunakan metode standard plate count menggunakan media MGMK (Suryanto 2001). Perhitungan jumlah koloni dilakukan pada hari ke- 0, 15 dan 30 (Gambar 2). 1046 304 6026 1094 296 6116 4112 545 6102 4084 545 6332 1292 372 6026 1276 364 6116 746 304 6102 506 202 6332 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000

Hari ke- 0 Hari ke- 15 Hari ke- 30 Waktu pe nyimpanan be nih (hari)

J um la h s e l ba kt e r i t e r e nka ps ul a si ( C F U /be ni h) TaBK15 SR TaBK17 SR AlBK15 SR AlBK17 SR TaBK 15 SK TaBK 17 SK AlBK 15 SK AlBK 17 SK

Gambar 2. Jumlah bakteri kitinolitik dalam enkapsulasi

Dari Gambar 2 terlihat bahwa jumlah sel bakteri terenkapsulasi pada benih mengalami penurunan. Hasil pengamatan mulai hari ke- 0, 15 dan 30 menunjukkan bahwa jumlah bakteri tertinggi pada hari ke- 0 terdapat pada TaBK15 yaitu 6332


(30)

CFU/benih, diikuti AlBK15 yaitu 6116 CFU/benih, lalu AlBK17 yaitu 6102 CFU/benih dan TaBK17 yaitu 6026 CFU/benih. Jumlah bakteri pada hari ke- 15 menunjukkan penurunan jumlah bakteri kitinolitik mengenkapsulasi benih tertinggi, seperti yang terjadi pada AlBK17 SK yaitu 506 CFU/benih dan penurunan yang tidak terlalu drastis pada AlBK15 SR yaitu 4112 CFU/benih dan AlBK17 SR yaitu 4084 CFU/benih, dikarenakan kondisi AlBK15 SR dan AlBK17 SR masih dalam keadaan baik pada saat terenkapsulasi, sedangkan jumlah bakteri kitinolitik yang tertinggi pada hari ke- 30 terdapat pada AlBK15 SR dan AlBK17 SR yaitu 545 CFU/benih, diikuti TaBK15 SK yaitu 372 CFU/benih, TaBK17 SK yaitu 364 CFU/benih, lalu TaBK15SR dan Albk15 SK yaitu 304 CFU/benih, TaBK17 SR yaitu 296 CFU/benih dan AlBK17 SK yaitu 202 CFU/benih. Benih cabai yang terenkapsulasi bakteri ktinolitik pada hari ke- 30 pada saat ditumbuhkan pada media tanam tidak menunjukkan pertumbuhan yang baik dikarenakan telah mengalami rebah kecambah pada minggu ke- 2 (Gambar 6).

Penurunan viabilitas kemungkinan dikarenakan perubahan kadar air benih terenkapsulasi selama penyimpanan. Salah satu tujuan pelapisan benih (seed coating) adalah untuk mempertahankan kadar air benih selama penyimpanan (Kuswanto 1996). Metode enkapsulasi benih dengan menggunakan mikroorganisme yang digunakan masih kurang baik. Seperti diketahui metode penunjang enkapsulasi yaitu pengeringan semprot dan pengeringan beku. Reyed (2007) menyatakan bahwa pengeringan beku merupakan pengeringan dengan pembekuan karena adanya perubahan dari bentuk es dalam bahan yang beku langsung menjadi uap air tanpa mengalami proses pencairan terlebih dahulu (sublimasi), keuntungan dari pengeringan beku adalah dapat mengurangi kerusakan struktur biologi sel dan (Robinson 1990) menyatakan bahwa pengeringan semprot sebagai suatu proses perubahan bahan dari bentuk cair ke bentuk partikel-partikel oleh suatu proses penyemprotan bahan ke dalam medium kering yang panas.


(31)

4.2 Uji Patogenitas F. oxysporum

Dari hasil uji patogenitas F. oxysporum terhadap benih cabai merah diperoleh bahwa F. oxysporum penyebab patogen, meski tidak terlalu tinggi persentase rebah kecambahnya hanya 56,67%. Reisolasi ulang jamur ini pada pangkal batang kecambah yang rebah (gejala serangan dapat dilihat pada Gambar 3), menunjukkan bahwa F. Oxysporum penyebab rebah kecambah. Gejala serangan ditandai dengan memucatnya tulang daun sebelah atas, kemudian diikuti dengan merunduknya tangkai. Daun tampak terkulai dan seluruh tanaman menjadi layu, warna daun tidak lagi hijau segar, melainkan hijau pucat (Setiadi 1996). Pada Gambar 3 di bawah ini dapat dilihat perbedaan kecambah yang sehat dengan kecambah yang terserang layu Fusarium.

1

2

a b

Gambar 3. Perbandingan kecambah (a) kecambah sehat umur 30 hari, dengan (b) kecambah terserang layu Fusarium umur 25 hari, (1) daun yang berwarna hijau pucat dan layu terserang layu Fusarium, (2) pangkal batang yang mengecil dan kering terserang layu Fusarium.

Gejala awal dari penyakit layu Fusarium adalah pucat tulang-tulang daun, terutama daun-daun atas, kemudian dikuti dengan menggulungnya daun yang lebih tua (epinasti) karena merunduknya tangkai daun, dan akhirnya tanaman menjadi layu keseluruhan (Agrios 1988). Kadang-kadang kelayuan didahului dengan menguningnya daun, terutama daun-daun bawah. Kelayuan dapat terjadi sepihak. Pada batang kadang-kadang terbentuk akar adventif. Pada tanaman yang masih sangat muda penyakit dapat menyebabkan tanaman mati secara mendadak, karena pada pangkal batang terjadi kerusakan atau kanker menggelang, sedangkan tanaman


(32)

0 10 20 30 40 50 60 70

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Umur ke cambah

K e c a m ba h r e ba h ( % )

KONTROL (-) KONTROL (-) Alginat

KONTROL (-) Tapioka KONTROL (+)

AlBK 15 AlBK 17

TaBK 15 TaBK 17

dewasa yang terinfeksi sering dapat bertahan terus dan membentuk buah tetapi hasilnya sangat sedikit dan kecil-kecil (Semangun 1996). Patogen menyerang jaringan akar yang luka atau terinfeksi. Batang yang terserang akan kehilangan banyak cairan dan berubah warna menjadi kecoklatan, tetapi bagian bawah daun menjadi kuning tua atau layu, merambat ke bagian dalam secara cepat sehingga seluruh permukaan daun menguning (Ditlin 2009).

4.3 Penghambatan Serangan F. oxysporum pada Benih Cabai

Benih cabai yang telah terenkapsulasi bakteri kitinolitik ditumbuhkan pada medium tanah yang telah diberikan suspensi Fusarium. Pengamatan dilakukan terhadap persentase rebah kecambah, tinggi kecambah, jumlah daun dan berat kering dari minggu ke-0 sampai minggu ke-4.

ersenta

Kecambah yang ditumbuhkan pada tanah yang mengandung Fusarium sangat rentan terserang layu Fusarium. Hal ini terlihat pada perlakuan Kontrol (+) kecambah mengalami layu Fusarium (Gambar 4).

Gambar 4. Persentase rebah kecambah yang diinokulasi Fusarium dengan perlakuan bakteri kitinolitik (Waktu penyimpanan hari benih hari ke- 0)


(33)

50 44.44 27.78 72.22 0 10 20 30 40 50 60 70 80

AlBK 15 AlBK 17 TaBK 15 TaBK 17

Bakte ri e nkapsulasi

P e ng ur a ng a n r e ba h ke c a m ba h ( % )

Dari Gambar 4 terlihat bahwa benih mulai mengalami layu setelah memasuki hari ke-14 pengamatan dan terus meningkat jumlahnya sampai hari ke-30 (Lampiran 4). Persentase rebah kecambah tertinggi yaitu pada kontrol (+) mencapai 56,67% dari total kecambah yang tumbuh, sedangkan pada kontrol (-) tidak mengalami rebah kecambah. Perlakuan menggunakan bakteri kitinolitik, persentase rebah kecambah cenderung menurun dibandingkan Kontrol (+). Persentase rebah kecambah terendah yaitu pada AlBK 15 hanya 16,67%, diikuti AlBK 17 dengan nilai 30%, TaBK 15 yaitu 33,33% dan TaBK 17 yaitu 43,33%. Penurunan rebah kecambah dengan perlakuan bakteri kitinolitik mengenkapsulasi tertinggi dicapai oleh AlBK 15 yang memiliki kemampuan menurunkan rebah kecambah sampai 72,22%, diikuti AlBK 17 yaitu 50%, TaBK 15 yaitu 44,44%, serta TaBK 17 yaitu 27,78% (Gambar 5).

Gambar 5. Persentase pengurangan rebah kecambah yang diinokulasi Fusarium dengan enkapsulasi bakteri kitinolitik

Benih cabai yang telah terenkapsulasi bakteri kitinolitik pada waktu penyimpanan hari ke- 30 ditumbuhkan pada medium tanah yang telah diberikan suspensi Fusarium. Kecambah yang ditumbuhkan pada tanah yang mengandung Fusarium sangat rentan terserang layu Fusarium. Hal ini terlihat pada seluruh perlakuan kecambah mengalami layu Fusarium (Gambar 6).


(34)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Umur Ke cambah

K ec a m ba h R eba h ( %

) AlBK 15

AlBK 17 TaBK 15 TaBK 17

Gambar 6. Persentase rebah kecambah yang diinokulasi Fusarium dengan perlakuan bakteri kitinolitik (Waktu penyimpanan benih hari ke- 30)

Dari Gambar 6 terlihat bahwa benih mulai mengalami layu setelah memasuki hari ke- 6 pengamatan dan terus meningkat jumlahnya sampai hari ke- 30 (Lampiran 4). Persentase rebah kecambah sangat tinggi pada seluruh perlakuan benih terenkapsulasi bakteri kitinolitik, dimana semua perlakuan persentase rebah kecambahnya sebesar 100%. Hal ini disebabkan sudah sangat sedikitnya jumlah bakteri kitinolitik yang terenkapsulasi pada benih cabai pada waktu penyimpanan hari ke- 30 (Gambar 2).

Kemampuan bakteri Enterobacter Sp. (BK 15) dan Bacillus Sp. (BK 17) tersebut disebabkan karena aktivitas kitinase dalam menghambat pertumbuhan hifa dan perkembangan dari fungi patogen F. oxysporum. Kitinase merupakan enzim yang mampu menghambat perkembangan jamur patogen dengan menghidrolisis polimer kitin sebagai salah satu komponen dinding sel hifa cendawan (Gohel et al. 2003). Menurut Muharni (2009) kitinase merupakan enzim yang mendegradasi kitin menjadi N-asetilglukosamin, degradasi kitin dapat dilakukan oleh organisme kitinolitik dengan melibatkan enzim kitinase. Organisme pendegradasi kitin umumnya berasal dari kelompok mikroorganisme, diantaranya adalah dari kelompok bakteri. Bakteri yang dilaporkan memiliki aktivitas kitinolitik seperti, Vibrio furnissi, Serratia marcescens,


(35)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Minggu ke- 1 Minggu ke- 2 Minggu ke- 3 Minggu ke- 4

Waktu T ing g i ke c a m ba h ( c m )

KONTROL (-) KONTROL (-) Alginat

KONTROL (-) Tapioka KONTROL (+)

AlBK 15 AlBK 17

TaBK 15 TaBK 17

Bacillus circulans dan Pseudomonas aeruginosa. Bakteri kitinolitik pada bidang pertanian berfungsi sebagai biokontrol terhadap fungi patogen maupun serangga hama yang umumnya memiliki komponen kitin pada dinding selnya (Chernin et al. 1998).

Oku (1994) menyatakan bahwa peranan enzim kitinase dalam pertahanan tanaman terhadap serangan patogen meliputi penghambatan pertumbuhan fungi dengan secara langsung menghidrolisis dinding miselia dan melalui pelepasan elisitor endogen oleh aktivitas kitinase yang kemudian memicu reaksi ketahanan sistemik pada inang. Oleh sebab itu, kitinase dikenal sebagai salah satu protein anti cendawan (Boller 1985, Gohel et al. 2003, Wang et al. 2005). Pada tumbuhan enzim kitinase ini digunakan sebagai pertahanan melawan serangan organisme patogen yang mengandung kitin (Fujii & Miyashita 1993). Aktivitas kitinase yang rendah pada jaringan tanaman sehat dapat diinduksi dengan adanya kitin pada jaringan tersebut, sehingga aktivitas kitinase meningkat tajam oleh pelukaan atau infeksi cendawan (Graham & Sticlen 1994).

Selain persentase rebah kecambah, dilihat juga pengaruh perlakuan pengendalian tanaman dengan bakteri kitinolitik terhadap rata-rata ketinggian kecambah setiap minggu. Hasil pengamatan disajikan dalam Gambar 7 di bawah ini.

Gambar 7. Tinggi kecambah yang diinokulasi Fusarium dengan perlakuan bakteri kitinolitik


(36)

Dari Gambar 7, terlihat bahwa hasil pengamatan mulai minggu pertama sampai minggu ke-4 menunjukkan pola kecambah yang sama untuk setiap parameter penambahan tinggi, kecuali pada Kontrol (+) karena banyak kecambah mengalami penghambatan pertumbuhan dan kematian. Pada pengamatan minggu ke-4 (Lampiran 5) diperoleh kecambah tertinggi yaitu pada AlBK15 yaitu 9,4 cm dan terendah pada Kontrol (+) yaitu 6,08 cm. Kecambah tertinggi yang didapat setelah pengamatan minggu ke-4 yaitu AlBK15 yaitu 9,4 cm. Biasanya benih siap ditanam di kebun setelah tingginya mencapai 10-15 cm atau sudah berumur 1-1,5 bulan (Setiadi 1996).

Pada pengamatan jumlah daun tidak diperoleh adanya perbedaan jumlah daun dari masing-masing perlakuan. Jumlah daun sampai akhir pengamatan adalah 4 helai. Menurut Prajnanta (1999), pada umur 15-17 hari setelah semai bibit telah memiliki 2 helai dan memiliki 1 kuncup daun, pada umur 18-21 hari setelah semai di dataran rendah atau 21-30 hari di dataran tinggi, bibit sudah memiliki 3-4 helai daun sejati. Saat ini merupakan waktu yang ideal untuk penanaman ke lahan. Jumlah daun yang sedikit ini sebab bibit yang tumbuh seharusnya dipindahkan ke ruang yang lebih luas, biasanya dengan menggunakan polibag. Menurut Prajnanta (1999) dan Setiadi (1996), biasanya 1-2 minggu setelah penanaman benih, benih sudah mulai bertunas. Pada hari ke-10 atau ke-11 bibit mengeluarkan kuncup daun. Pada saat ini bibit siap dipindahkan ke polibag.

Hasil pengukuran berat kering (Gambar 8) menunjukkan AlBK15 memiliki berat kering tertinggi yaitu 4,2 mg, diikuti Kontrol (-) sebesar 3,77 mg, kemudian Kontrol (-) alginat sebesar 3,71 mg, diikuti kontrol (-) tapioka sebesar 3,66 mg dan yang paling rendah adalah Kontrol (+) yaitu 2,42 mg.


(37)

3.77 3.71 3.66 2.42 4.2 3.44 3.24 2.84 1 2 3 4 KONTROL (-) KONTROL (-) Alginat Kontrol (-) Tapioka

Kontrol (+) AlBK 15 AlBK 17 TaBK 15 TaBK 17

Perlakuan B e r at k e r in g t an am an ( m g)

Gambar 8. Berat kering tanaman dengan perlakuan bakteri kitinolitik

Dengan rendaman bibit menggunakan bakteri kitinolitik dihasilkan bibit yang sehat dengan ukuran batang yang gemuk dan berat kering yang tinggi yaitu pada AlBK15 dengan tinggi 4,2 mg bahkan lebih tinggi dibandingkan Kontrol (-) yaitu 3,77 mg. Menurut Nawangsih et al. (2001), bibit yang tumbuh normal batang dan daunnya berwarna hijau segar. Satu pasang daun pemula ditopang oleh batang yang gemuk dan segar, sedangkan bibit yang terserang jamur batangnya kecil d

an berdaun kerdil. Persemaian perlu dijaga dari serangan hama dan penyakit, diantaranya adalah jamur yang menyerang bagian pangkal batang (Setiadi 1996). F. oxysporum menyebabkan batang mengecil dan mengering.

Reisolasi F. oxysporum dilakukan pada kecambah yang mengalami rebah dengan memotong jaringan pada pangkal batang kecambah. Dari beberapa kecambah yang rebah keseluruhannya dapat diisolasi kembali jamur patogen. Melalui pengamatan langsung dan mikroskopis jamur hasil isolasi menunjukkan ciri yang sama dengan F. oxysporum.


(38)

a

b

Gambar 9. Hasil reisolasi dari kecambah yang rebah setelah 3 hari masa inkubasi. a) miselium F. oxysporum. (b) pangkal batang kecambah cabai terserang F. oxysporum.


(39)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Semua bakteri kitinolitik yang mengenkapsulasi alginat-kitosan dan tapioka yang diuji mengalami penurunan viabilitas yang cukup drastis pada hari ke- 30.

2. Semua bakteri kitinolitik mengenkapsulasi biji bacai yang diuji mampu menghambat jamur F. oxysporum penyebab layu Fusarium pada kecambah cabai merah, yang terbaik dalam menghambat F. oxysporum adalah AlBK15 yang memiliki kemampuan tertinggi yaitu 72,22%, diikuti AlBK 17 yaitu 50%, TaBK 15 yaitu 44,44%, serta TaBK 17 yaitu 27,78% dengan penampakan kecambah yang sehat dan kedua bakteri kitinolitik terenkapsulasi ini sangat berpotensi sebagai agen pengendali hayati.

5.2 Saran

Perlu adanya penelitian dan perhatian lebih lanjut terhadap bahan pelapis benih sehingga bisa digunakan untuk pengendalian jamur rebah kecambah sebagai salah satu cara untuk mendapatkan bibit cabai merah yang terlindung dari penyakit rebah kecambah.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Alabouvette R, P Lemanceau, C Steinberg. 1996. Biological Control of Fusarium Wilts. Opportunities for Developing A Comercial Product. hlm.193-211.

Boller T. 1985. Introduction of Hydrolase as a Defense Reaction Against Pathogens. Cell. and Mol. Biol Plant Stress. 70: 247-263.

Chernin LS, KW Michael, MT Jacquelyn, H Shoshan, WB Barrie, W Cheat, SAB Gordon, Stewart. 1998. Chitinolytic Activity in Chromobacterium violaceum. 65: 25-37.

Copeland LO & MB McDonald. 1995. Principles of Seed Science and Technology, 3rd edition. Chapman and Hall. New York. 409.

Desmond C, C Stanton, GFK Collins, RP Ross. 2002. Improved Survival of Lactobacillus paracasei NFBC 338 in Spray Dried Powders Containing Gum Acacia. J Appl Microbiol 93:1003-1012.

Ditlin. 2009. 123456789/20373/4/Chapter%20II.pdf. Diakses tanggal 8 september 2011).

Eka, PSW Eny, S Selly. 2008. Pengaruh Komposisi Bahan Pelapis Dan Methylobacterium spp. Terhadap Daya Simpan Benih Dan Vigor Bibit Kacang Panjang (Vigna sinensis L.). Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Ferniah RS, S Purwantisari, S Pujiyanto. 2003. Uji Potensi Bakteri Kitinolitik sebagai Pengendali Hayati Patogen Kapang Penyebab Penyakit Tanaman Kentang (Solanum tuberosum). Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Diponegoro. Semarang

Frazier WC & DC Westhoff. 1998. Food microbiology. New York. Mc Graw-Hill Book Co.

Fujii T & K Miyashita. 1993. Multiple Domain Structure in a Chitinase Gene of Streptomyces lividans. J Gen Microbiol. 139: 677-686.

Gandjar I, AS Robert, T Karin, A Oetari, I Santoso. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Depok. hlm. 66.

Gao J, MW Bauer, KR Shockley, MA Pysz, RM Kelly. 2003. Growth of hiperthermophilic Archaeon Pyrococcus furiosus on Chitin Involves Two Family 18 Chitinases. Appl. Environ. 69: 3119-3128.


(41)

Gohel V, A Singh, M Vimal, D Ashwini, HS Chhatpar. 2003. Bioprospecting and Antifungal Potential of Chitinolytic Microorganism. African J Biotechnol. 5: 54-72.

Graham LS & MB Sticlen. 1994. Plant Chitinases. Can. J. Bot. 72: 1057-1083.

Harris H. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible Film Dari Pati Tapioka Untuk Pengemas Lempuk. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 3.2

Ilyas S. 2003. Teknologi Pelapisan Benih. Makalah Seminar Benih Pellet. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Hlm 16.

Irawati N. 2008. Potensi Bakteri Kitinolitik Lokal Dalam Pengendalian Fungi Patogen Tumbuhan. Skripsi. USU. Medan. hlm. 22-25.

Kim KI, YJ Baek, YH Yoon. 1996. Effects of rehydration media and immobilisation in calcium-alginate on the survival of Lactobacillus casei and Bifidobacterium bifidum. J Dairy Sci 18:193–198.

Kneifel W, D Jaros, F Erhard. 1993. Microflora and acidification properties of yoghurt and yoghurt related products fermented with commercially available starter cultures. Int J Food Microbiol. 18:179–189.

Kuswanto H. 1996. Dasar-dasar Teknologi Produksi dan Sertifikasi Benih. Edisi ke-1. ANDI. Yogyakarta. Hlm 190.

Mardhia Y. 2010. Aktivitas Antibakteri Edible Film Dari Pati Tapioka Yang Di Inkorporasi Dengan Minyak Atsiri Daun Attarasa [Litsea Cubeba(Lour.) Pers.]. Skripsi. USU. Medan.

Miller AS, CR Randall, MR Richard. 1986. Fusarium and Verticillium Wilts of Tomato, Potato, Pepper, and Eggplant.The Ohio State University.

Moekasan TK, L Prabaningrum, ML Ratnawati. 2005. Penerapan PHT pada Sistem Tanam Tumpanggilir Bawang Merah dan Cabai. Monografi No. 19. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang. hlm. 44

Muharni. 2009. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Penghasil Kitinase dari Sumber Air Panas Danau Ranau Sumatera Selatan. Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, Indonesia. Jurnal Penelitian Sains. Edisi Khusus Desember. 09: 12-15.

Nawangsih AA, HP Imdad, A Wahyudi. 2001. Cabai Hot Beauty. Jakarta. Penebar Swadaya. hlm.27-28.

Nurwidada W. 2010. Karakteristik Mikrobiologis Granul Kultur Starter Dengan Sinbiotik Terenkapsulasi Untuk Menghasilkan Yogurt Dan Dadih Sinbiotik. Pascasarjana. IPB .bogor


(42)

Oku H. 1994. Plant Pathogenesis and Disease Control. London: Lewis Pulb.

Pasifico CJ, W Wu, M Fraley. 2001. Sensitive substance encapsulation. US Patent 6, 251-478.

Patonah S. 2008. Penggunaan Bakteri Kitinolitik Untuk Menghambat Penyakit Layu Fusarium pada Benih Cabai Merah (Capsicum annuum L.). Skripsi. USU. Medan

Pelczar MJ & ESC Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid 1. Jakarta. UI-Press. hlm. 19.

Pleban S, L Chernin, I Chet. 1997. Chitinolytic Activity of Endophitic Strain of Bacillus cereus. Lett. Appl. 25: 284-288.

Prajnanta F. 1999. Agribisnis Cabai Hibrida. Cetakan ke-7. Jakarta. Penebar Swadaya. hlm. 117-118.

Prihatna C. 2003. Antagonisme Serratia marcescens DS-8 dan Aeromonas caviae WS7b terhadap Fusarium oxysporum. Skripsi. IPB. Bogor. Hlm. 6.

Purwandhani SN, M Suladra, ES Rahayu. 2007. Stabilitas Thermal Agensia Probiotik L. Acidophillus SNP 2 Terenkapsulasi Metode Ekstrusi Dan Emulsi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Rahayu S, FM Suhartati, EA Rimhawauto, N Iriyanti. 2003. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Kitinolitik Asal Rumen. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Purwookerto

Rajarathanam S, MNJ Shashriekha, Z Bano. 1998. Biodegradative and Biosynthetic Capacities of Mushrooms. Present and Future Strategies. Crit. Rev.18: 91-23.

Reyed MR. 2007. Novel hybrid entrapment approach for probiotic cultures and its application during lyophlization. int. J. Biol. Anthr. 3: 2

Rizqiati HB, Jenie SL, Nurhidayat N, Nurwitri CC. 2009. Karakteristik Mikrokapsul Probiotik Lactobacillus plantarum yang Dienkapsulasi Dengan Susu Skim dan Gum Arab. 34 [2]

Robinson RK. 1990. Dairy Mikrobiology. Volume ke- 2. The microbiology of milks. London. Applied sciense publisher

Sastrosupadi A. 2004. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Edisi Revisi. Cetakan Kelima. Yogyakarta. Kanisius. Hal. 53 & 57

Semangun H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Hlm. 562.


(43)

Setiowati W, BK Udiarto, A Muharam. 2005. Pengenalan dan Pengendalian Hama Penting pada Tanaman Cabai Merah. Panduan Teknis PTT Cabai Merah No. 3. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang. hlm. 56

Supriadi. 2006. Analisis Risiko Agen Hayati Untuk Pengendalian Patogen Pada Tanaman. J. Litbang Pertanian. 25: 1-6.

Suryanto D. 2001. Selection and Characterization of Bacterial Isolates for Monocyclic Aromatic Degradation. Disertasi. IPB. Bogor.

Suryanto D. Patonah, E Munir. 2010.control of Fusarium wilt of chili with chitinolytic bacteria. HAYATI Journal of Biosciences. 17(1):5-8

Sutariati GAK & A Wahab. 2010. Isolasi dan Uji Kemampuan Rizobakteri Indigenous sebagai Agensia Pengendali Hayati Penyakit pada Tanaman Cabai. Puslitbang Hortikultura.

Syamsuddin. 2003. Pengendalian Penyakit Terbawa Benih (Seedborne disease) pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L) Menggunakan Agen Biokontrol dan Ekstrak Botani. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana/S3. IPB. Bogor.

Wang W, X Liu, Y Xie, H Zhang, W Yu, Y Xiong, W Xie, X Ma. 2006. Microencapsulation using natural polysaccharides for drug delivery and cell implantation. 16, 3252 – 3267

Wijayanti G. 2010. Viabilitas Azospirillum brasilense Pada Enkapsulasi Menggunakan Campuran Natrium Alginat Dan Tepung Tapioka. Universitas Dipenegoro. Semarang

Winarno FG. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta. Penerbit Gramedia.

Wu W, WS Roe, VG Gimino, V Seriburi, DE Martin, SE Knapp. 2000. Low melt encapsulation with high laurate canola oil. US. Patent 6 153-326.


(44)

LAMPIRAN FLOWSHEET

Lampiran 1: Pembuatan Koloidal Khitin Dengan Cara Hidrolisis Parsial (Rodriquez-Kabana et al. 1983 ).

Dihaluskan

Dilarutkan dalam 180 ml 10N HCl sambil diaduk dengan pengaduk magnetik selama 1,5-2 jam.

Dituang ke dalam erlenmeyer yang berisi 2 liter air.

Dibiarkan semalam kemudian bagian yang bening dipisahkan dari endapannya.

Dicuci sampai pH suspensi khitin antara 5,5-6 Diambil 10 ml kemudian dikeringkan pada suhu 80oC. Dihitung berat keringnya.

Pembuatan Khitin Agar (Singh et al., 1999)

Komposisi medium

K2HPO4 0,7 g

KH2PO4 0,3 g

MgSO4.7H2O 0,5 g

FeSO4.7H2O 0,01 g

ZnSO4 0,001g

MnCl2 0,001g

Koloidal kitin 0,2%

Agar 2% (b/v)

Cara Pembuatan

1. Dicampur semua bahan, kemudian ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi 1 liter.

2. Diatur pH sampai mencapai 6,8 dengan menambahkan NaOH

3. Disterilkan media dengan menggunakana autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.

20 g Crab shell chitin

Suspensi Kitin

hasil


(45)

Lampiran 2 : Pembuatan Benih Cabai Terenkapsulasi Alginat-kitosan-Bakteri Kitinolitik

Direndam selama 30 menit pada suspensi bakteri kitinolitik Ditambahkan gliserol 3 ml

Ditambahkan alginat 3%

Semua bahan dicampur kemudian ditambahkan akuadest steril sampai volume 100 ml.

Di teteskan dalam campuran larutan kitosan + CaCl2 dengan pipa kaca

Di rendam dalam NaCl 0,9%

Dimasukkan ke akuadest steril dan diputar secara perlahan selama1 jam Di keringanginkan

Pembuatan Benih Cabai Terenkapsulasi Tapioka-Bakteri Kitinolitik

Direndam selama 30 menit pada suspensi bakteri kitinolitik Ditambahkan gliserol 3 ml

Ditambahkan tapioka 4%

Semua bahan dicampur kemudian ditambahkan akuadest steril sampai volume 100 ml.

Di keringanginkan Benih cabai

Kapsulasi alginat

Benih cabai

Kapsulasi Tapioka


(46)

Lampiran 3 : Asai Patogenitas F. Oxysporum, Reisolasi dan Penghambatan Serangan

F.Oxysporum Pada Benih Cabai

Diambil sebanyak 100 ml

Dicampur dengan 500 gram campuran tanah dan kompos steril (3:1) di dalam nampan plastik

Ditanam 30 buah benih cabai dalam tiap nampan Ditutup dengan plastik

Diamati tanaman yang terserang rebah kecambah selama 30 hari

Reisolasi

Dipotong jaringan pada pangkal batang Didesinfeksi dengan larutan NaClO 2% Dicuci dengan air steril sebanyak 3 kali Ditanam pada PDA

Diamati

Penghambatan Serangan F.oxysporum pada Benih Cabai

Diambil sebanyak 100 ml

Dicampur dengan 500 gram campuran tanah dan kompos steril (3:1) di dalam nampan plastik

Ditanam 30 buah benih cabai yang telah terenkapsulasi bahan pelapis alginat dan tapioka

Ditutup dengan plastik

Diamati tanaman yang terserang rebah kecambah selama 30 hari

Suspensi Biakan F. oxysporum

Hasil

Kecambah Cabai Terinfeksi Layu

Hasil

Suspensi Biakan

F. oxysporum


(47)

Penyiapan Media Tanam

Disaring

Dimasukkan ke dalam plastik tahan panas Disterilkan dengan menggunakan autoklaf

pada suhu 121oC selama 15 menit. (Suryanto 2010)

Tanah + Kompos (3:1)

Media Tanam Steril


(48)

Lampiran 4. Data Total Kecambah yang Rebah (Benih Terenkaspulasi Bakteri Kitinolitik Penyimpanan Hari ke- 0)

Jumlah kecambah yang rebah

PERLAKUAN Hari ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

KONTROL (-) KONTROL (-) Alginat KONTROL (-) Tapioka

KONTROL (+) 2 4 6 7 8 9 10 10 12 12 13 13 14 15 15 17 17 17 17

AlBK 15 1 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 5 5 5 5 5 5

AlBK 17 1 1 1 3 3 3 3 5 5 5 5 5 6 6 8 8 8 9 9 9 9 9 9

TaBK 15 1 1 2 3 3 4 4 5 5 6 7 7 7 8 8 8 8 9 9 10 10 10 10

TaBK 17 2 2 2 3 4 4 4 5 5 7 7 9 9 9 10 12 12 12 13 13 13 13 13

Data Total Kecambah yang Rebah (Benih Terenkaspulasi Bakteri Kitinolitik Penyimpanan Hari ke- 30)

Jumlah kecambah yang rebah

PERLAKUAN Hari ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

KONTROL (-) KONTROL (-) Alginat KONTROL (-) Tapioka

KONTROL (+) 2 4 6 7 8 9 10 10 12 12 13 13 14 15 15 17 17 17 17

AlBK 15 3 7 7 11 15 19 24 26 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

AlBK 17 3 8 9 12 16 18 25 27 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

TaBK 15 3 7 7 11 17 19 22 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30


(49)

Data Total Kecambah yang Bertahan Hidup dari Serangan Rebah Kecambah

Jumlah Kecambah Yang bertahan hidup

PERLAKUAN Hari ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

KONTROL (-) 8 11 15 20 23 29 29 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

KONTROL (-) Alginat 9 15 18 19 24 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

KONTROL (-) Tapioka 8 16 18 20 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29

KONTROL (+) 9 18 29 29 29 29 29 27 25 23 22 21 20 19 19 17 17 16 16 15 14 14 12 12 12 12

AlBK 15 6 16 19 28 29 29 29 28 28 28 28 27 27 27 27 27 26 26 26 25 25 25 25 25 25

AlBK 17 5 17 16 19 29 27 27 27 27 25 25 25 25 25 24 24 22 22 22 21 21 21 21 21 21

TaBK 15 6 18 20 29 28 27 27 26 26 25 25 24 23 23 23 22 22 22 22 21 21 20 20 20 20


(50)

Lampiran 5. Data Rata-rata Tinggi Kecambah dari minggu ke-1 sampai minggu ke-4

Tinggi Kecambah (cm)

PERLAKUAN Minggu ke-

1 2 3 4

KONTROL (-) 2,34 4,69 6,78 8,71

KONTROL (-) Alginat 2,42 4,54 6,34 8,62 KONTROL (-) Tapioka 2,52 4,56 6,26 8,44

KONTROL (+) 2,45 3,58 4,72 6,08

AlBK 15 4,6 6,2 7,7 9,4

AlBK 17 3,7 5,6 6,8 8,6

TaBK 15 3,7 5,4 7,4 8,8

TaBK 17 3,5 5,2 6,4 8,2

Lampiran 6. Data Viabilitas Cabai Terenkapsulasi (CFU/ml)

Hari ke- PERLAKUAN

0 15 30

TaBK15 SR 633,2 104,6 30,4

TaBK 15 SK 633,2 129,2 37,2

TaBK17 SR 602,6 109,4 29,6

TaBK 17 SK 602,6 127,6 36,4

AlBK15 SR 611,6 411,2 54,5

AlBK 15 SK 611,6 74,6 30,4

AlBK15 SR 610,2 408,4 54,5

AlBK 15 SK 610,2 50,6 20,2

Lampiran 7. Data Persentase Rebah Kecambah

Perlakuan Persentase rebah kecambah (%)

KONTROL (-) 0

KONTROL (-) Alginat 0

KONTROL (-) Tapioka 0

Kontrol (+) 56,67

AlBK 15 16,67

AlBK 17 30

TaBK 15 33,33


(51)

Data Penurunan Persentase Rebah Kecambah

Perlakuan Persentase rebah kecambah (%)

AlBK 15 72,22

AlBK 17 50

TaBK 15 44,44


(52)

Lampiran 8 : Lokasi Penelitian, Benih Cabai merah Terenkapsulasi dan Kegiatan Penelitian.

Benih Cabai Merah Terenkapsulasi. (a) Tapioka (b) Alginat-kitosan.

a b

Kegiatan Penelitian. (a) Mengukur Tinggi Tanaman,(b) Pengeringan Kecambah Cabai dan (c) Perhitungan Berat Kering kecambah Cabai.


(53)

Lampiran 9 : Uji Viabilitas Bakteri Kitinolitik Dalam Enkapsulasi. (a) TaBK15 hari ke- 0, (b) TaBK15 hari ke- 15, (c) TaBK15 hari ke- 30, (d) Alginat BK 15 ke- 0, (e) Alginat BK 15 ke- 15, (f) Alginat BK 15 ke- 30, (g) TaBK17 hari ke- 0, (h) TaBK17 hari ke- 15, (i) TaBK17 hari ke- 30, (j) Alginat BK 17 ke- 0, (k) Alginat BK 17 ke-15 dan (k)Alginat BK 17 ke- 30

a b c

d e f

g h i

i j k

Lampiran 10 : Isolat F. oxysporum a. Ditumbuhkan pada Media PDA,b. GYB, c. Spora Bulan Sabit (Perbesaran 40x10), Setelah 7 Hari Masa Inkubasi


(54)

Lampiran 11 : Kecambah Usia 3-4 Minggu. (a) Kontrol (-), (b) Kontrol (+), (c) Kontrol (-) Alginat, (d) Kontrol (-) Alginat, (e) TaBK15, (f) TaBK17, (g) AlBK15 dan (h) AlBK17

a b c d e f g h


(1)

Data Total Kecambah yang Bertahan Hidup dari Serangan Rebah Kecambah

Jumlah Kecambah Yang bertahan hidup

PERLAKUAN Hari ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 KONTROL (-) 8 11 15 20 23 29 29 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 KONTROL (-) Alginat 9 15 18 19 24 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 KONTROL (-) Tapioka 8 16 18 20 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 KONTROL (+) 9 18 29 29 29 29 29 27 25 23 22 21 20 19 19 17 17 16 16 15 14 14 12 12 12 12 AlBK 15 6 16 19 28 29 29 29 28 28 28 28 27 27 27 27 27 26 26 26 25 25 25 25 25 25 AlBK 17 5 17 16 19 29 27 27 27 27 25 25 25 25 25 24 24 22 22 22 21 21 21 21 21 21 TaBK 15 6 18 20 29 28 27 27 26 26 25 25 24 23 23 23 22 22 22 22 21 21 20 20 20 20 TaBK 17 8 14 24 28 27 27 26 26 26 25 25 23 23 21 21 21 20 18 18 18 17 17 17 17 17


(2)

Lampiran 5. Data Rata-rata Tinggi Kecambah dari minggu ke-1 sampai minggu ke-4

Tinggi Kecambah (cm)

PERLAKUAN Minggu ke-

1 2 3 4

KONTROL (-) 2,34 4,69 6,78 8,71

KONTROL (-) Alginat 2,42 4,54 6,34 8,62

KONTROL (-) Tapioka 2,52 4,56 6,26 8,44

KONTROL (+) 2,45 3,58 4,72 6,08

AlBK 15 4,6 6,2 7,7 9,4

AlBK 17 3,7 5,6 6,8 8,6

TaBK 15 3,7 5,4 7,4 8,8

TaBK 17 3,5 5,2 6,4 8,2

Lampiran 6. Data Viabilitas Cabai Terenkapsulasi (CFU/ml)

Hari ke- PERLAKUAN

0 15 30

TaBK15 SR 633,2 104,6 30,4

TaBK 15 SK 633,2 129,2 37,2

TaBK17 SR 602,6 109,4 29,6

TaBK 17 SK 602,6 127,6 36,4

AlBK15 SR 611,6 411,2 54,5

AlBK 15 SK 611,6 74,6 30,4

AlBK15 SR 610,2 408,4 54,5

AlBK 15 SK 610,2 50,6 20,2

Lampiran 7. Data Persentase Rebah Kecambah

Perlakuan Persentase rebah kecambah (%)

KONTROL (-) 0

KONTROL (-) Alginat 0

KONTROL (-) Tapioka 0

Kontrol (+) 56,67

AlBK 15 16,67

AlBK 17 30

TaBK 15 33,33


(3)

Data Penurunan Persentase Rebah Kecambah

Perlakuan Persentase rebah kecambah (%)

AlBK 15 72,22

AlBK 17 50

TaBK 15 44,44


(4)

Lampiran 8 : Lokasi Penelitian, Benih Cabai merah Terenkapsulasi dan Kegiatan Penelitian.

Benih Cabai Merah Terenkapsulasi. (a) Tapioka (b) Alginat-kitosan.

a b

Kegiatan Penelitian. (a) Mengukur Tinggi Tanaman,(b) Pengeringan Kecambah Cabai dan (c) Perhitungan Berat Kering kecambah Cabai.


(5)

Lampiran 9 : Uji Viabilitas Bakteri Kitinolitik Dalam Enkapsulasi. (a) TaBK15 hari ke- 0, (b) TaBK15 hari ke- 15, (c) TaBK15 hari ke- 30, (d) Alginat BK 15 ke- 0, (e) Alginat BK 15 ke- 15, (f) Alginat BK 15 ke- 30, (g) TaBK17 hari ke- 0, (h) TaBK17 hari ke- 15, (i) TaBK17 hari ke- 30, (j) Alginat BK 17 ke- 0, (k) Alginat BK 17 ke-15 dan (k)Alginat BK 17 ke- 30

a b c

d e f

g h i

i j k

Lampiran 10 : Isolat F. oxysporum a. Ditumbuhkan pada Media PDA,b. GYB, c. Spora Bulan Sabit (Perbesaran 40x10), Setelah 7 Hari Masa Inkubasi


(6)

Lampiran 11 : Kecambah Usia 3-4 Minggu. (a) Kontrol (-), (b) Kontrol (+), (c) Kontrol (-) Alginat, (d) Kontrol (-) Alginat, (e) TaBK15, (f) TaBK17, (g) AlBK15 dan (h) AlBK17

a b c d e f g h