Penentuan pH dan suhu optimum aktivitas kitinase Bacillus cereus I.5 dan pengujian kitinase dalam mendegradasi eksoskeleton kutu bertepung putih (Ferrisia virgata Cockerell)

ABSTRAK
DIANIA RAHMAWATI. Penentuan pH dan Suhu Optimum Aktivitas Kitinase Bacillus
cereus I.5 dan Pengujian Kitinase dalam Mendegradasi Eksoskeleton Kutu Bertepung Putih
(Ferrisia virgata Cockerel). Dibimbing oleh NISA RACHMANIA MUBARIK dan ALINA
AKHDIYA.
Bacillus cereus I.5 merupakan isolat bakteri kitinolitik yang telah diisolasi dari perakaran
tanaman cabai. Enzim kitinasenya dapat diaplikasikan sebagai agen biokontrol terhadap hama
tanaman. Pemekatan enzim salah satunya dengan cara pengendapan protein oleh amonium
sulfat diketahui dapat meningkatkan aktivitas enzim spesifik. Tujuan penelitian ini ialah untuk
menentukan pH dan suhu optimum aktivitas kitinase Bacillus cereus I.5 dan menguji
kemampuannya dalam mendegradasi kitin pada eksoskeleton hama tanaman jarak kutu
bertepung putih Ferrisia virgata. Aktivitas enzim tertinggi dihasilkan pada pemekatan dengan
amonium sulfat pada tingkat kejenuhan 10%, yaitu 20 kali dibandingkan enzim ekstrak
kasarnya. Aktivitas enzim spesifik meningkat dari 0,039 unit/mg dalam bentuk enzim ekstrak
kasarnya menjadi 0,778 unit/mg setelah enzim dipekatkan. Aktivitas kitinase B. cereus I.5 yang
terukur lebih tinggi terdapat pada pH 7,0 dan suhu 55 oC meskipun aktivitas kitinase terukur
pula pada pH 5,0-9,0 dan pada suhu 26-≤55 oC . Aplikasi kitinase ekstrak kasar dan hasil
pemekatan dalam mendegradasi kitin eksoskeleton Ferrisia virgata bekerja lebih baik jika
diinkubasi terlebih dahulu pada suhu optimumnya.
Kata kunci: kitinase, amonium sulfat, pH, kutu bertepung putih


ABSTRACT
DIANIA RAHMAWATI. Determination of Optimum pH and Temperature of Chitinase
Activity of Bacillus cereus I.5 and Tested Its Ability to Degrade the Exoskleton of Striped
Mealy Bug (Ferrisia virgata Cockerell). Supervised by NISA RACHMANIA MUBARIK and
ALINA AKHDIYA.
Bacillus cereus I.5 is one of chitinolytic bacteria isolated from chilli rhizosphere. The
chitinase could be apply as a biocontrol of plant pest. One method to precipitate enzyme by
using ammonium sulphate. It could increase specific activity enzyme. This research was
conducted
to
determine
optimum pH and
temperature
of chitinase activity of
Bacillus cereus I.5 and tested its ability to degrade chitin exoskeleton of Ferrisia virgata
Cockerell, one of Jatropha’s pest. Enzyme activity was obtained at the 10% ammonium sulphate
saturation level, which is 20 times higher compared to crude enzyme. Specific enzyme activity
increased from 0,039 U/mg of crude extract to 0,778 U/mg after ammonium sulphate
precipitation. Chitinase of B. cereus i.5 showed highest activity at pH 7,0 and 55 °C although
the enzyme also showed its activity at pH 5,0-9,0 and temperature 26-≤55 oC. Application of

crude chitinase and the enzyme after ammonium sulphate precipitation on degrading of chitin
Ferrisia virgata showed it worked better if incubated firstly at its optimum temperature.
Keywords: chitinase, ammonium sulphate, pH, striped mealy bug

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia tanaman jarak merupakan
salah satu tanaman yang sangat berpotensi
sebagai sumber bahan bakar alternatif
pengganti bahan bakar minyak (BBM).
Potensi jarak sebagai sumber bahan bakar
alternatif
disebabkan
oleh
tingginya
kandungan minyak dalam biji yang
merupakan bahan baku biodiesel. Selain itu,
tanaman jarak juga tahan terhadap kekeringan,
dan dapat ditanam di lahan kritis (Hambali et
al. 2006)

Keberadaan hama merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi tingkat
produksi tanaman jarak. Salah satu jenis
serangga hama yang umumnya menyerang
tanaman jarak yaitu kutu bertepung putih
(Ferrisia virgata Cockerell). Hama ini
menyerang bagian daun, buah, atau bagian
pucuk dengan cara menghisap cairan tanaman
sehingga menimbulkan gejala daun atau
pucuk menjadi kuning, kering, dan akhirnya
mati.
Serangan
pada
tangkai
buah
mengakibatkan kelayuan sehingga buah
menjadi gugur. Hama F. virgata memiliki
kisaran inang cukup banyak, yaitu tanaman
jarak, kakao, kopi, dan jeruk (Dadang 2006).
Serangan hama ini dapat menurunkan tingkat

produksi tanaman jarak. Oleh karena itu,
diperlukan penanganan yang baik agar
serangan hama tersebut dapat diminimalkan.
Salah satu upaya untuk mengurangi
serangan hama tersebut ialah melalui
penggunaan agen biokontrol. Selain dapat
mengurangi serangan hama, upaya ini dapat
mengurangi jumlah residu kimia yang
diakibatkan oleh penggunaan pestisida yang
dapat merusak lingkungan, serta dapat
meminimalkan terjadinya resistensi serangga
(hama) akibat penggunaan pestisida tersebut.
Eksoskeleton serangga tersusun dari
lapisan kutikula yang dapat dibedakan
menjadi lapisan epikutikula dan lapisan
prokutikula. Lapisan prokutikula ini tersusun
oleh protein dan kitin (Hogenkamp 2006,
Schwarz & Moussian 2007). Kitin dapat
diurai menjadi oligomer dan monomernya
oleh enzim kitinase dapat menghidrolisis

ikatan glikosidik β-1,4 kitin (Lonhienne et al.
2001).
Enzim kitinase dihasilkan oleh bakteri
yang biasa disebut dengan bakteri kitinolitik.
Salah satu bakteri yang dapat menghasilkan
enzim kitinase ialah Bacillus cereus. Hasil
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

enzim kitinase ekstrak kasar B. cereus I.5
dapat mendegradasi kitin eksoskeleton
Bemisia tabaci (Mahagiani 2008). Untuk
mengetahui potensi bakteri ini dalam
mengendalikan hama jarak, perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui aktivitas dan
karakterisasi kitinase B. cereus I.5 dalam
mendegradasi kitin pada eksoskeleton
Ferrisia virgata.
Tujuan
Penelitian
ini

bertujuan
untuk
menentukan pH dan suhu optimum aktivitas
kitinase Bacillus cereus I.5 dan menguji
kemampuan
enzim
tersebut
dalam
mendegradasi kitin eksoskeleton hama
tanaman jarak kutu bertepung putih (Ferrisia
virgata Cockerell).
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Maret 2010 hingga Oktober 2010 di
Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium
Mikroteknik, Departemen Biologi, FMIPA,
IPB.

BAHAN DAN METODE
Bahan

Bahan yang digunakan antara lain
bakteri Bacillus cereus (I.5) koleksi
laboratorium
Mikrobiologi,
Departemen
Biologi, FMIPA, IPB. Serangga hama
tanaman jarak Ferrisia virgata yang diambil
dari daun tanaman jarak di rumah kaca PAU,
IPB.
Metode
Peremajaan
dan
Penyimpanan
Kultur. Bacillus cereus I.5. Isolat I.5
diremajakan pada media agar-agar nutrien
(NA) dengan cara digores kuadran, kemudian
diinkubasi pada suhu 37o C selama 48 jam.
Kultur yang telah diremajakan digunakan
sebagai biakan kerja dan disimpan pada suhu
10 o C.

Produksi dan Pemekatan Kitinase.
Sebanyak 1 lup kultur B. cereus I.5
diinokulasikan ke dalam 25 ml media
produksi kitin (Lampiran 1) kemudian
diinkubasi pada inkubator bergoyang pada
suhu 37 oC (Toharisman 2004). Setelah 15
jam, kultur cair tersebut diambil 1 ml untuk

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia tanaman jarak merupakan
salah satu tanaman yang sangat berpotensi
sebagai sumber bahan bakar alternatif
pengganti bahan bakar minyak (BBM).
Potensi jarak sebagai sumber bahan bakar
alternatif
disebabkan
oleh
tingginya
kandungan minyak dalam biji yang

merupakan bahan baku biodiesel. Selain itu,
tanaman jarak juga tahan terhadap kekeringan,
dan dapat ditanam di lahan kritis (Hambali et
al. 2006)
Keberadaan hama merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi tingkat
produksi tanaman jarak. Salah satu jenis
serangga hama yang umumnya menyerang
tanaman jarak yaitu kutu bertepung putih
(Ferrisia virgata Cockerell). Hama ini
menyerang bagian daun, buah, atau bagian
pucuk dengan cara menghisap cairan tanaman
sehingga menimbulkan gejala daun atau
pucuk menjadi kuning, kering, dan akhirnya
mati.
Serangan
pada
tangkai
buah
mengakibatkan kelayuan sehingga buah

menjadi gugur. Hama F. virgata memiliki
kisaran inang cukup banyak, yaitu tanaman
jarak, kakao, kopi, dan jeruk (Dadang 2006).
Serangan hama ini dapat menurunkan tingkat
produksi tanaman jarak. Oleh karena itu,
diperlukan penanganan yang baik agar
serangan hama tersebut dapat diminimalkan.
Salah satu upaya untuk mengurangi
serangan hama tersebut ialah melalui
penggunaan agen biokontrol. Selain dapat
mengurangi serangan hama, upaya ini dapat
mengurangi jumlah residu kimia yang
diakibatkan oleh penggunaan pestisida yang
dapat merusak lingkungan, serta dapat
meminimalkan terjadinya resistensi serangga
(hama) akibat penggunaan pestisida tersebut.
Eksoskeleton serangga tersusun dari
lapisan kutikula yang dapat dibedakan
menjadi lapisan epikutikula dan lapisan
prokutikula. Lapisan prokutikula ini tersusun

oleh protein dan kitin (Hogenkamp 2006,
Schwarz & Moussian 2007). Kitin dapat
diurai menjadi oligomer dan monomernya
oleh enzim kitinase dapat menghidrolisis
ikatan glikosidik β-1,4 kitin (Lonhienne et al.
2001).
Enzim kitinase dihasilkan oleh bakteri
yang biasa disebut dengan bakteri kitinolitik.
Salah satu bakteri yang dapat menghasilkan
enzim kitinase ialah Bacillus cereus. Hasil
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

enzim kitinase ekstrak kasar B. cereus I.5
dapat mendegradasi kitin eksoskeleton
Bemisia tabaci (Mahagiani 2008). Untuk
mengetahui potensi bakteri ini dalam
mengendalikan hama jarak, perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui aktivitas dan
karakterisasi kitinase B. cereus I.5 dalam
mendegradasi kitin pada eksoskeleton
Ferrisia virgata.
Tujuan
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menentukan pH dan suhu optimum aktivitas
kitinase Bacillus cereus I.5 dan menguji
kemampuan
enzim
tersebut
dalam
mendegradasi kitin eksoskeleton hama
tanaman jarak kutu bertepung putih (Ferrisia
virgata Cockerell).
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Maret 2010 hingga Oktober 2010 di
Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium
Mikroteknik, Departemen Biologi, FMIPA,
IPB.

BAHAN DAN METODE
Bahan
Bahan yang digunakan antara lain
bakteri Bacillus cereus (I.5) koleksi
laboratorium
Mikrobiologi,
Departemen
Biologi, FMIPA, IPB. Serangga hama
tanaman jarak Ferrisia virgata yang diambil
dari daun tanaman jarak di rumah kaca PAU,
IPB.
Metode
Peremajaan
dan
Penyimpanan
Kultur. Bacillus cereus I.5. Isolat I.5
diremajakan pada media agar-agar nutrien
(NA) dengan cara digores kuadran, kemudian
diinkubasi pada suhu 37o C selama 48 jam.
Kultur yang telah diremajakan digunakan
sebagai biakan kerja dan disimpan pada suhu
10 o C.
Produksi dan Pemekatan Kitinase.
Sebanyak 1 lup kultur B. cereus I.5
diinokulasikan ke dalam 25 ml media
produksi kitin (Lampiran 1) kemudian
diinkubasi pada inkubator bergoyang pada
suhu 37 oC (Toharisman 2004). Setelah 15
jam, kultur cair tersebut diambil 1 ml untuk

menginokulasi 100 ml media yang sama.
Selanjutnya media yang telah diinokulasi
tersebut diinkubasi pada suhu yang sama.
Setelah 36 jam kultur disentrifus
pada
kecepatan 6000 rpm (8400 g), pada suhu 4oC,
selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh
masing-masing sebanyak 10 ml ditambah
(NH4)2SO4 sedikit demi sedikit sambil diaduk
dengan pengaduk magnet sampai tingkat
kejenuhan (10%-70% dengan selang 10%)
(Lampiran 2). Setiap perlakuan tingkat
kejenuhan amonium sulfat yang berbeda
menggunakan
wadah
yang
terpisah.
Supernatan yang telah diberi amonium sulfat
kemudian disimpan semalam pada suhu 10 oC,
lalu disentrifus 8400 g pada suhu 4oC, selama
15 menit. Pelet protein diambil dan dilarutkan
dengan 1 ml bufer fosfat 50 mM pH 7,0.
Pengukuran Aktivitas Kitinase dan
Kadar Protein. Aktivitas enzim kitinase
supernatan dan enzim hasil pemekatan diukur
dengan metode Spindler (1997). Satu unit
aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah
enzim yang membebaskan 1 µmol gula
pereduksi N-asetilglukosamin (NAG) per
menit. Kadar protein dalam supernatan dan
enzim hasil pemekatan diukur dengan metode
Bradford (1976) (Lampiran 3). Sebagai
standar monomer hasil hidrolisis digunakan
larutan N-asetilglukosamin, sedangkan untuk
standar pada pengukuran protein digunakan
larutan Bovin Serum Albumin (BSA).
Penentuan pH dan Suhu Optimum
Aktivitas Kitinase. Pengukuran aktivitas
kitinase pada berbagai pH dilakukan dalam
rentang pH 5,0-9,0 (selang 1 unit) dengan
menggunakan bufer yang sesuai (bufer sitrat
50 mM pH 5,0, bufer fosfat 50 mM pH 6,08,0, dan bufer glisin-NaOH 50 mM pH 9,0).
Sedangkan untuk penentuan suhu optimum,
dilakukan pengukuran aktivitas kitinase pada
pH optimum tetapi dengan suhu inkubasi yang
bervariasi (26, 45, 50, 55, 60, dan 65 oC).
Uji
Aktivitas
Kitinase
dalam
Mendegradasi Kitin Eksoskeleton Ferrisia
virgata. Supernatan dan enzim pekat masingmasing diinkubasi pada suhu ruang (±26 oC)
dan pada suhu optimum selama 30 menit.
Sebanyak 20 µl sampel enzim yang telah
diinkubasi tersebut dimasukkan ke dalam
tabung mikro yang masing-masing telah diisi
2 ekor kutu bertepung putih. Sebagai kontrol,

digunakan 20 µl akuades steril sebagai
pengganti cairan enzim.
Penguraian kitin pada eksoskeleton
serangga diamati setiap hari selama 4 hari
berturut-turut
dengan
menggunakan
mikroskop cahaya pada perbesaran 400x dan
mikroskop stereo dengan perbesaran 100x.
Masing-masing kutu yang akan diamati dan
telah diberi perlakuan enzim maupun kontrol
difiksasi dengan etanol 70% selama 10 menit.
Selanjutnya didehidrasi dengan etanol
bertingkat (80%, 95%, 100%) masing-masing
selama 10 menit. Setelah dijernihkan dengan
xilol, kutu kemudian diletakkan pada gelas
objek dan ditutup dengan kaca penutup yang
bagian tepi-tepinya diberikan perekat entellan
(Nurdebyandaru et al. 2010).

HASIL

Aktivitas Kitinase Ekstrak Kasar dan
Enzim Hasil Pemekatan dengan Amonium
Sulfat
Hasil pemekatan enzim ekstrak kasar
dengan menggunakan amonium sulfat mulai
konsentrasi
10%-70%
menunjukkan
kecenderungan kenaikan perolehan kadar
protein seiring dengan kenaikan tingkat
konsentrasi amonium sulfat yang ditambahkan
ke dalam enzim ekstrak kasar. Hasil
pengukuran aktivitas kitinase dan aktivitas
spesifik tertinggi enzim hasil pemekatan
dicapai pada tingkat kejenuhan amonium
sulfat 10% (Gambar 1, Lampiran 4).
Nilai unit aktivitas kitinase tertinggi
yang dicapai yaitu 0, 344 unit/ml dan aktivitas
enzim spesifiknya 0, 778 unit/mg. Sedangkan
aktivitas kitinase ekstrak kasar yaitu 0,034
unit/ml dengan aktivitas spesifik sebesar
0,039 unit/mg. Nilai aktivitas spesifik kitinase
dapat menyatakan tingkat kemurnian enzim
tersebut. Kemurnian enzim kitinase hasi
pemekatan dengan amonium sulfat tingkat
kejenuhan 10% meningkat sebesar 20 kali
dibandingkan dengan
enzim ekstrak
kasarnya (Gambar 1).

menginokulasi 100 ml media yang sama.
Selanjutnya media yang telah diinokulasi
tersebut diinkubasi pada suhu yang sama.
Setelah 36 jam kultur disentrifus
pada
kecepatan 6000 rpm (8400 g), pada suhu 4oC,
selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh
masing-masing sebanyak 10 ml ditambah
(NH4)2SO4 sedikit demi sedikit sambil diaduk
dengan pengaduk magnet sampai tingkat
kejenuhan (10%-70% dengan selang 10%)
(Lampiran 2). Setiap perlakuan tingkat
kejenuhan amonium sulfat yang berbeda
menggunakan
wadah
yang
terpisah.
Supernatan yang telah diberi amonium sulfat
kemudian disimpan semalam pada suhu 10 oC,
lalu disentrifus 8400 g pada suhu 4oC, selama
15 menit. Pelet protein diambil dan dilarutkan
dengan 1 ml bufer fosfat 50 mM pH 7,0.
Pengukuran Aktivitas Kitinase dan
Kadar Protein. Aktivitas enzim kitinase
supernatan dan enzim hasil pemekatan diukur
dengan metode Spindler (1997). Satu unit
aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah
enzim yang membebaskan 1 µmol gula
pereduksi N-asetilglukosamin (NAG) per
menit. Kadar protein dalam supernatan dan
enzim hasil pemekatan diukur dengan metode
Bradford (1976) (Lampiran 3). Sebagai
standar monomer hasil hidrolisis digunakan
larutan N-asetilglukosamin, sedangkan untuk
standar pada pengukuran protein digunakan
larutan Bovin Serum Albumin (BSA).
Penentuan pH dan Suhu Optimum
Aktivitas Kitinase. Pengukuran aktivitas
kitinase pada berbagai pH dilakukan dalam
rentang pH 5,0-9,0 (selang 1 unit) dengan
menggunakan bufer yang sesuai (bufer sitrat
50 mM pH 5,0, bufer fosfat 50 mM pH 6,08,0, dan bufer glisin-NaOH 50 mM pH 9,0).
Sedangkan untuk penentuan suhu optimum,
dilakukan pengukuran aktivitas kitinase pada
pH optimum tetapi dengan suhu inkubasi yang
bervariasi (26, 45, 50, 55, 60, dan 65 oC).
Uji
Aktivitas
Kitinase
dalam
Mendegradasi Kitin Eksoskeleton Ferrisia
virgata. Supernatan dan enzim pekat masingmasing diinkubasi pada suhu ruang (±26 oC)
dan pada suhu optimum selama 30 menit.
Sebanyak 20 µl sampel enzim yang telah
diinkubasi tersebut dimasukkan ke dalam
tabung mikro yang masing-masing telah diisi
2 ekor kutu bertepung putih. Sebagai kontrol,

digunakan 20 µl akuades steril sebagai
pengganti cairan enzim.
Penguraian kitin pada eksoskeleton
serangga diamati setiap hari selama 4 hari
berturut-turut
dengan
menggunakan
mikroskop cahaya pada perbesaran 400x dan
mikroskop stereo dengan perbesaran 100x.
Masing-masing kutu yang akan diamati dan
telah diberi perlakuan enzim maupun kontrol
difiksasi dengan etanol 70% selama 10 menit.
Selanjutnya didehidrasi dengan etanol
bertingkat (80%, 95%, 100%) masing-masing
selama 10 menit. Setelah dijernihkan dengan
xilol, kutu kemudian diletakkan pada gelas
objek dan ditutup dengan kaca penutup yang
bagian tepi-tepinya diberikan perekat entellan
(Nurdebyandaru et al. 2010).

HASIL

Aktivitas Kitinase Ekstrak Kasar dan
Enzim Hasil Pemekatan dengan Amonium
Sulfat
Hasil pemekatan enzim ekstrak kasar
dengan menggunakan amonium sulfat mulai
konsentrasi
10%-70%
menunjukkan
kecenderungan kenaikan perolehan kadar
protein seiring dengan kenaikan tingkat
konsentrasi amonium sulfat yang ditambahkan
ke dalam enzim ekstrak kasar. Hasil
pengukuran aktivitas kitinase dan aktivitas
spesifik tertinggi enzim hasil pemekatan
dicapai pada tingkat kejenuhan amonium
sulfat 10% (Gambar 1, Lampiran 4).
Nilai unit aktivitas kitinase tertinggi
yang dicapai yaitu 0, 344 unit/ml dan aktivitas
enzim spesifiknya 0, 778 unit/mg. Sedangkan
aktivitas kitinase ekstrak kasar yaitu 0,034
unit/ml dengan aktivitas spesifik sebesar
0,039 unit/mg. Nilai aktivitas spesifik kitinase
dapat menyatakan tingkat kemurnian enzim
tersebut. Kemurnian enzim kitinase hasi
pemekatan dengan amonium sulfat tingkat
kejenuhan 10% meningkat sebesar 20 kali
dibandingkan dengan
enzim ekstrak
kasarnya (Gambar 1).

Gambar 1 Pengaruh tingkat kejenuhan amonium sulfat terhadap aktivitas kitinase B. cereus I.5.
Pengukuran aktivitas enzim pada pH 7,0 dan suhu 55 oC. Keterangan: 0 merupakan
enzim ekstrak kasar (tanpa pemekatan dengan ammonium sulfat) merupakan kontrol
perlakuan.

pH dan Suhu Optimum Aktivitas Kitinase
Hasil optimasi pH menunjukkan bahwa
enzim ekstrak kasar masing-masing memiliki
aktivitas yang relatif sama pada kisaran pH
5,0-8,0. Aktivitas enzim hasil pemekatan
amonium sulfat tingkat kejenuhan 10% tidak
terukur pada pH 9,0. Hasil pengukuran
aktivitas kitinase tertinggi pada ekstrak kasar
dan hasil pemekatan amonium sulfat 10%
terdapat pada pH 7,0 (Gambar 2, Lampiran 5).

Hasil optimasi suhu menunjukkan
bahwa enzim aktif bekerja pada suhu kamar
(26oC), dan pada suhu 45oC hingga 55 oC,
enzim juga aktif bekerja. Aktivitas enzim
ekstrak kasar dan hasil pemekatan amonium
sulfat tingkat kejenuhan 10 % tidak terdeteksi
pada suhu 60 oC dan 65 oC. Nilai akivitas
kitinase tertinggi diperoleh pada suhu 55oC
(Gambar 3, Lampiran 5).

Gambar 2 Pengaruh pH terhadap aktivitas kitinase B. cereus I.5 enzim ekstrak kasar
dan enzim hasil pemekatan dengan amonium sulfat 10%.

Gambar 3 Pengaruh suhu terhadap kitinase B. cereus I.5 enzim ekstrak kasar dan enzim hasil
pemekatan dengan amonium sulfat 10%.
satu hari dalam mendegradasi kutu
eksoskeleton F. virgata dibandingkan dengan
enzim ekstrak kasar. Inkubasi enzim pada
suhu optimum 55oC baik ekstrak kasar
maupun enzim hasil pemekatan amonium
sulfat tingkat kejenuhan 10% memberikan
hasil lebih baik yaitu proses yang lebih cepat
dalam mendegradasi kitin eksoskeleton F.
virgata dibandingkan dengan enzim yang
diinkubasi pada suhu ruang.

Aktivitas Kitinase B. cereus I.5 dalam
Mendegradasi Kitin Eksoskeleton Ferrisia
virgata
Kutu-kutu F. virgata yang telah diberi
perlakuan dengan cairan enzim ekstrak kasar
maupun hasil pemekatan diinkubasi pada suhu
ruang. Hasil yang diperoleh terjadi penipisan
pada lapisan eksoskeleton (Gambar 4,
Lampiran 6).
Enzim hasil pemekatan amonium sulfat
tingkat kejenuhan 10% bekerja lebih cepat

(a)

(a)

++
(b)

++
(b)*

+++
(c)

+++
(c)*

+++
(d)

+++
(e)

+++
(d)*

+++
(e)*

Gambar 4 Pengamatan preparat kutu dengan mikroskop cahaya menggunakan perbesaran 400x
(a-e), dan mikroskop stereo dengan perbesaran 100x (a-e*) yang telah diinkubasi 3
hari pada suhu ruang (± 26 oC). Hasil perlakuan tanpa enzim/kontrol (a), perlakuan
dengan enzim ekstrak kasar (b), perlakuan dengan enzim ekstrak kasar yang terlebih
dahulu diinkubasi pada suhu 55oC (c), perlakuan dengan enzim hasil pemekatan 10%
(d), dan perlakuan dengan enzim hasil pemekatan 10% yang diinkubasi terlebih
dahulu pada suhu 55oC (e).

PEMBAHASAN
Enzim kitinase yang dihasilkan oleh
isolat I.5 ini memiliki nilai aktivitas enzim
yang masih relatif rendah, sebesar 0,034
unit/ml dengan nilai aktivitas enzim
spesifiknya 0,039 unit/mg, dibandingkan
dengan kitinase ekstrak kasar yang diproduksi
oleh bakteri Bacillus sp. lainnya yang diukur
dengan perlakuan yang sama (Tabel 1).
Berdasarkan pada kemampuan aktivitasnya
dalam mendegradasi lapisan/komponen kitin
Aphis gosypii, kitinase isolat Bacillus 1.21 dan
II.14 (Tabel 1) memiliki aktivitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kitinase B. cereus
I.5. Aktivitas enzim B. cereus yang rendah
disebabkan antara lain ekstrak kasar masih
bercampur dengan protein dan senyawa lain
dari media atau metabolit lain yang dihasilkan
bakteri selama pertumbuhannya sehingga
diperlukan pemurnian untuk memisahkannya
dari senyawa-senyawa lainnya (Yurnaliza
2002). Tingkat kemurnian suatu enzim
diketahui dari aktivitas enzim spesifik tersebut
yang semakin meningkat (Septiningrum &
Moeis 2008).
Tabel 1 Aktivitas enzim ekstrak kasar kitinase
Bacillus I.21 dan II.14
Bakteri
Kitinolitik

Aktivitas
Aktivitas
(U/ml) Spesifik (U/mg)

Bacillus sp. I.21 0,364
Bacillus sp. II.14 0,441

0,082
0,187

Sumber

Mahagiani (2008)
Nurdebyandaru
et al.
(2010)

Pemurnian parsial enzim dapat dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu: ultrafiltrasi,
liofiliasi, dan pengendapan protein dengan
amonium sulfat, aseton, etanol, atau polietilen
glikol (Scopes 1994). Proses purifikasi dapat
meningkatkan kemurnian enzim, sehingga
meningkatkan nilai aktivitas enzimnya,
demikian pula dengan nilai aktivitas enzim
spesifiknya. Pemurnian enzim dengan cara
pengendapan protein dengan amonium sulfat
paling banyak dilakukan karena selain mudah
didapatkan, amonium sulfat juga memiliki
harga yang relatif murah, serta bersifat
menstabilkan enzim (Scopes 1994).
Pemekatan enzim kitinase isolat I.5
dilakukan dengan cara pengendapan protein
menggunakan amonium sulfat. Kehadiran
garam amonium sulfat pada konsentrasi
tertentu berpengaruh pada kelarutan protein.
Pengendapan protein dengan menggunakan
amonium sulfat terjadi saat kelarutan ionik
meningkat sehingga kelarutan protein
menurun (salting out). Sebaliknya, salting in

terjadi ketika kekuatan ionik larutan rendah
(Scopes 1994).
Setelah
dipekatkan,
dengan
menggunakan amonium sulfat, aktivitas enzim
spesifik kitinase B. cereus I.5 meningkat
dibandingkan enzim ekstrak kasarnya.
Aktivitas enzim spesifik tertinggi diperoleh
dari hasil pemekatan dengan amonium sulfat
pada tingkat kejenuhan 10%, enzim spesifik
meningkat dari 0,039 unit/mg menjadi 0,778
unit/mg. Pemekatan juga dapat meningkatkan
kemurnian suatu enzim. Tingkat kemurnian
suatu enzim dapat dihitung dengan cara
membagi nilai enzim spesifik hasil pemurnian
dengan nilai enzim spesifik ekstrak kasarnya
(Minch 1989).
Aktivitas enzim unit/ml dan aktivitas
spesifik enzim hasil pemekatan dengan
amonium sulfat tercapai pada tingkat
kejenuhan 10%. Aktivitas kitinase kemudian
menurun setelah tingkat pemekatan pada
kejenuhan 10%. Sedangkan kadar protein
yang diperoleh makin meningkat seiring
dengan meningkatnya kejenuhan amonium
sulfat yang ditambahkan ke enzim. Pada
tingkat kejenuhan ammonium sulfat 60% dan
70%, kadar protein yang diperoleh melebihi
kadar protein pada enzim ekstrak kasar. Hal
ini dapat disebabkan oleh adanya interaksi
senyawa lain misalnya bufer fosfat cenderung
memberikan
intervensi
pada
pereaksi
Bradford (Bradford 1976).
Berdasarkan
hasil
karakterisasi,
diketahui bahwa enzim hasil pemekatan tidak
mengalami pergeseran pH maupun suhu
optimum. Uji aktivitas enzim yang dilakukan
pada suhu di atas 55 oC menunjukkan
hilangnya aktivitas kitinase. Hal ini
disebabkan oleh adanya pengaruh panas
terhadap stabilitas enzim. Panas menyebabkan
kerusakan enzim karena mengakibatkan
terjadinya denaturasi protein. Protein yang
terdenaturasi oleh panas akan kehilangan
struktur uniknya sehingga sifat-sifat kimia,
fisik, dan biologinya berubah (Abun 2005).
Rahayu et al. (2004) melaporkan bahwa
kisaran suhu optimal untuk aktivitas kitinase
termostabil bersifat cukup luas dengan kisaran
45-85 oC.
Pengukuran aktivitas enzim ekstrak
kasar dan enzim pekat pada berbagai pH
menunjukkan bahwa aktivitas kitinase terjadi
pada pH netral, yaitu pH 7,0 (Mahagiani
2008). Aktivitas kitinase B. cereus I.5 berada
pada kisaran pH 4,0-10, namun memiliki
aktivitas yang baik pada kisaran pH 5,0-8,0
dengan pH optimumnya pada pH 7,0.

Aktivitas kitinase yang tinggi pada pH
optimum disebabkan oleh terjadinya ionisasi
asam-asam amino pada sisi aktif enzim,
sehingga terjadi interaksi yang optimum
antara enzim dengan substrat (Pujiyanto
2001). Hasil penelitian Toharisman (2004)
menunjukkan enzim-enzim pendegradasi kitin
bekerja optimum pada pH asam hingga
netral, namun diketahui pula bahwa ada
beberapa enzim yang yang optimum bekerja
pada pH alkali (Tabel 2). Enzim kitinase asal
isolate B. cereus I.5 yang terukur pada
penelitian ini memiliki nilai aktivitas yang
cenderung sama pada pH 5,0-8,0 dan kisaran
suhu 26 oC, 45 oC, 50 oC, dan 55 oC baik
ekstrak kasar maupun hasil pemekatan dengan
amonium sulfat pada tingkat kejenuhan 10%.
Tabel 2 pH dan suhu optimum kitin berbagai
bakteri kitinolitik
Bakteri
Kitinolitik
B. circulansWL-12

pH
Suhu
Optimum Optimum

Diacu dari *

65oC

Watanabe et al.
(1992)
Vibrio sp.
5,0
40 C Takahasi et al.
(1993)
Enterobacter sp. G-1 7,0
40oC
Park et al.
(1997)
Streptomyces RC1071 8,0
40oC
Gomes et al.
(2001)
Bacillus sp.
8,0
40oC
Purwani et al.
(2002)
Keterangan: *Sumber: Toharisman et al .(2004)
4,5

o

Enzim kitinase merupakan enzim
pendegradasi kitin. Kitin terdapat pada
eksoskeleton arthropoda seperti insekta, ketam
dan udang. Telah diketahui sebelumnya
bahwa 80% komponen eksoskeleton serangga
tersusun atas senyawa kitin. Dalam pengujian
enzim diperoleh hasil pengamatan yang
menunjukkan bahwa kedua enzim baik
ekstrak kasar maupun dan enzim pekat dapat
mendegradasi kitin dari kutu tersebut. Hal ini
terlihat dari preparat kutu yang semakin
transparan
karena
terjadi
penipisan
eksoskeleton
serangga
hama
tersebut
(Lampiran 6).
Eksoskeleton kutu kontrol tanpa
perlakuan enzim tampak sangat berbeda
dengan
kutu
yang
ditetesi
enzim.
Eksoskeleton kutu kontrol tetap terlihat gelap
sampai hari ketiga inkubasi. Sedangkan kutu
yang diberi enzim, eksoskeletonnya semakin
transparan dan tampak berlubang-lubang
halus. Semakin transparan preparat kutu
menandakan semakin tipisnya eksoskeleton.
Penipisan eksokleton tersebut merupakan
akibat degradasi komponen kitin oleh aktivitas
kitinase Bacillus cereus I.5. Oleh karena itu,

semakin transparan eksoskeleton kutu berarti
semakin banyak kitin yang terdegradasi
(Nurdebyandaru et al. 2010).
Degradasi
eksoskeleton
terbaik
ditunjukkan oleh perlakuan menggunakan
enzim yang telah dipekatkan. Perlakuan
dengan enzim ekstrak kasar maupun enzim
pekat yang telah diinkubasi pada suhu
optimum 55 oC memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan
enzim yang
diinkubasi pada suhu ruang. Hal ini terlihat
dari degradasi eksoskeleton yang mencapai
lapisan lebih dalam dan proses penguraian
kitin lebih cepat satu hari untuk enzim yang
telah diinkubasi sebelumnya pada suhu
optimum 55 oC.
Aplikasi kitinase sebagai agen biokontrol
dapat diantaranya dapat dilakukan dengan
cara penyemprotan secara langsung larutan
kitinase pada tanaman, atau dengan cara
penaburan kitin di sekitar tanaman untuk
menginduksi sekresi kitinase oleh mikrob
yang tergolong kitinolitik (Metcalfe et al.
2002). Cara lainnya yaitu dengan penyisipan
gen kitinase terhadap tanaman sehingga dapat
meningkatkan ketahanan terhadap serangan
patogen, seperti yang telah dilaporkan Koga
(2005) tanaman stroberi transgenik yang telah
disisipi oleh gen kitinase lebih tahan terhadap
serangan cendawan patogen. Fakamizo et al.
(1996) juga melaporkan bahwa serangan
patogen oleh Fusarium dapat ditekan karena
degradasi dinding selnya oleh aktivitas
kitinase B. pumilus.

SIMPULAN
Aktivitas enzim B. cereus I.5 meningkat
dari 0,034 U/ml menjadi 0,344 U/ml setelah
dipekatkan menggunakan amonium sulfat
pada tingkat kejenuhan 10%. Pemekatan
tersebut juga meningkatkan aktivitas spesifik
enzim dari 0,039 U/mg menjadi 0,778 U/mg.
Suhu aktivitas kitinase B. cereus I.5 berada
pada rentang suhu 26-55oC, sedangkan pH
aktivitas enzim kasarnya berada pada rentang
pH 5,0-9,0 dan enzim hasil pemekatan
amonium sulfat 10% pada rentang pH 5,0-8,0.
Pengukuran aktivitas kitinase yang terukur
sedikit lebih tinggi baik pada enzim ekstrak
kasar
maupun enzim hasil pemekatan
amonium sulfat 10% pada pH 7,0 dan suhu
55oC. Kitinase B. cereus I.5 dapat
mendegradasi
komponen
kitin
pada
eksoskeleton Ferrisia virgata. Inkubasi
kitinase pada suhu 55oC sebelum aplikasi

Aktivitas kitinase yang tinggi pada pH
optimum disebabkan oleh terjadinya ionisasi
asam-asam amino pada sisi aktif enzim,
sehingga terjadi interaksi yang optimum
antara enzim dengan substrat (Pujiyanto
2001). Hasil penelitian Toharisman (2004)
menunjukkan enzim-enzim pendegradasi kitin
bekerja optimum pada pH asam hingga
netral, namun diketahui pula bahwa ada
beberapa enzim yang yang optimum bekerja
pada pH alkali (Tabel 2). Enzim kitinase asal
isolate B. cereus I.5 yang terukur pada
penelitian ini memiliki nilai aktivitas yang
cenderung sama pada pH 5,0-8,0 dan kisaran
suhu 26 oC, 45 oC, 50 oC, dan 55 oC baik
ekstrak kasar maupun hasil pemekatan dengan
amonium sulfat pada tingkat kejenuhan 10%.
Tabel 2 pH dan suhu optimum kitin berbagai
bakteri kitinolitik
Bakteri
Kitinolitik
B. circulansWL-12

pH
Suhu
Optimum Optimum

Diacu dari *

65oC

Watanabe et al.
(1992)
Vibrio sp.
5,0
40 C Takahasi et al.
(1993)
Enterobacter sp. G-1 7,0
40oC
Park et al.
(1997)
Streptomyces RC1071 8,0
40oC
Gomes et al.
(2001)
Bacillus sp.
8,0
40oC
Purwani et al.
(2002)
Keterangan: *Sumber: Toharisman et al .(2004)
4,5

o

Enzim kitinase merupakan enzim
pendegradasi kitin. Kitin terdapat pada
eksoskeleton arthropoda seperti insekta, ketam
dan udang. Telah diketahui sebelumnya
bahwa 80% komponen eksoskeleton serangga
tersusun atas senyawa kitin. Dalam pengujian
enzim diperoleh hasil pengamatan yang
menunjukkan bahwa kedua enzim baik
ekstrak kasar maupun dan enzim pekat dapat
mendegradasi kitin dari kutu tersebut. Hal ini
terlihat dari preparat kutu yang semakin
transparan
karena
terjadi
penipisan
eksoskeleton
serangga
hama
tersebut
(Lampiran 6).
Eksoskeleton kutu kontrol tanpa
perlakuan enzim tampak sangat berbeda
dengan
kutu
yang
ditetesi
enzim.
Eksoskeleton kutu kontrol tetap terlihat gelap
sampai hari ketiga inkubasi. Sedangkan kutu
yang diberi enzim, eksoskeletonnya semakin
transparan dan tampak berlubang-lubang
halus. Semakin transparan preparat kutu
menandakan semakin tipisnya eksoskeleton.
Penipisan eksokleton tersebut merupakan
akibat degradasi komponen kitin oleh aktivitas
kitinase Bacillus cereus I.5. Oleh karena itu,

semakin transparan eksoskeleton kutu berarti
semakin banyak kitin yang terdegradasi
(Nurdebyandaru et al. 2010).
Degradasi
eksoskeleton
terbaik
ditunjukkan oleh perlakuan menggunakan
enzim yang telah dipekatkan. Perlakuan
dengan enzim ekstrak kasar maupun enzim
pekat yang telah diinkubasi pada suhu
optimum 55 oC memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan
enzim yang
diinkubasi pada suhu ruang. Hal ini terlihat
dari degradasi eksoskeleton yang mencapai
lapisan lebih dalam dan proses penguraian
kitin lebih cepat satu hari untuk enzim yang
telah diinkubasi sebelumnya pada suhu
optimum 55 oC.
Aplikasi kitinase sebagai agen biokontrol
dapat diantaranya dapat dilakukan dengan
cara penyemprotan secara langsung larutan
kitinase pada tanaman, atau dengan cara
penaburan kitin di sekitar tanaman untuk
menginduksi sekresi kitinase oleh mikrob
yang tergolong kitinolitik (Metcalfe et al.
2002). Cara lainnya yaitu dengan penyisipan
gen kitinase terhadap tanaman sehingga dapat
meningkatkan ketahanan terhadap serangan
patogen, seperti yang telah dilaporkan Koga
(2005) tanaman stroberi transgenik yang telah
disisipi oleh gen kitinase lebih tahan terhadap
serangan cendawan patogen. Fakamizo et al.
(1996) juga melaporkan bahwa serangan
patogen oleh Fusarium dapat ditekan karena
degradasi dinding selnya oleh aktivitas
kitinase B. pumilus.

SIMPULAN
Aktivitas enzim B. cereus I.5 meningkat
dari 0,034 U/ml menjadi 0,344 U/ml setelah
dipekatkan menggunakan amonium sulfat
pada tingkat kejenuhan 10%. Pemekatan
tersebut juga meningkatkan aktivitas spesifik
enzim dari 0,039 U/mg menjadi 0,778 U/mg.
Suhu aktivitas kitinase B. cereus I.5 berada
pada rentang suhu 26-55oC, sedangkan pH
aktivitas enzim kasarnya berada pada rentang
pH 5,0-9,0 dan enzim hasil pemekatan
amonium sulfat 10% pada rentang pH 5,0-8,0.
Pengukuran aktivitas kitinase yang terukur
sedikit lebih tinggi baik pada enzim ekstrak
kasar
maupun enzim hasil pemekatan
amonium sulfat 10% pada pH 7,0 dan suhu
55oC. Kitinase B. cereus I.5 dapat
mendegradasi
komponen
kitin
pada
eksoskeleton Ferrisia virgata. Inkubasi
kitinase pada suhu 55oC sebelum aplikasi

PENENTUAN pH DAN SUHU OPTIMUM AKTIVITAS KITINASE
Bacillus cereus I.5 DAN PENGUJIAN KITINASE DALAM
MENDEGRADASI EKSOSKELETON KUTU BERTEPUNG PUTIH
(Ferrisia virgata Cockerell)

DIANIA RAHMAWATI

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

meningkatkan kemampuan enzim tersebut
dalam mendegradasi kitin eksoskeleton F.
virgata.

DAFTAR PUSTAKA
Abun. 2005. Protein dan asam amino pada
unggas [skripsi]. Bandung: Universitas
Padjajaran.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive
method for the quantitation of
microgram quantities of protein
utilizing the principle of protein dye
binding. Anal Biochem 72: 248-254.
Dadang. 2006. Pengenalan hama utama dan
potensial
tanaman
jarak
pagar
(Jatropha curcas Linn.). Di dalam:
Dadang, editor. Hama dan Penyakit
Tanaman Jarak Pagar (Jatropha
carcass Linn) Potensi Kerusakan dan
Teknik Pengendaliannya. Prosiding
workshop; Bogor, 5-6 Desember 2006.
Bogor: Pusat Penelitian dan Bioenergi
LPPM-IPB. hlm 8-16.
Fakamizo TY, Honda H, Ouchi S, Goto S.
1996. Chitinous component of cell wall
of Fusarium oxysporum, its structure
deduced from chitosanase digestion.
Bioschi Biotech Biochem 60: 17051708.
Hambali et al. 2006. Jarak Pagar Penghasil
Tanaman Biodiesel. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Hogenkamp DG. 2006. Chitin metabolism in
insect: chitin synthases and beta-nacetylglucosaminidases
[disertasi].
Manhattan:
Biochemistry
Post
Graduate School, Kansas State
University.
Koga D. 2005. Application of chitinase in
agriculture. J Met Mater Miner 15: 3336.
Lonhienne et al. 2001. Cloning, sequences,
and characterizm of two chitinase
genes from the Antarctic Athrobacter
sp. Strain TAD20: isolation and partial
characterization of the enzymes. J
Bacterial 183: 1773-1779.
Mahagiani I. 2008. Isolasi enzim kitinase dari
bakteri perakaran tanaman cabai dan
aplikasinya pada kutu kebul [skripsi].
Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.

Metcalfe AC, Krsek M, Gooday GW, Prosser
J, Wellington EMH. 2002. Molecular
analysis of a bacterial chitinolitic
community in an upland pasture. Appl
Anviron Microbiol 68: 5042-5050.
Minch
MJ.
1989.
Experiments
in
Biochemistry: Project and Procedures.
New Jersey: Englewood Cliffs.
Mubarik et al. 2010. Chitinolytic bacteria
isolated from chili rhizosphere:
chitinase characterization and its
application as biocontrol for whitefly
(Bemisia tabaci Genn.). Am J Agric
Biol 5: 430-435.
Nurdebyandaru N. Mubarik NR, Prawasti TS.
Chitinolytic bacteria isolated from chili
rhizosphere: chitinase characterization
and application as biocontrol for Aphiis
gosyppi. Microbiol Indones 4: 103107.
Pujiyanto S. 2001. Isolasi dan karakterisasi
bakteri kitinolitik serta kloning shotgun
gen kitinase dari ekosistem air hitam,
Kalimantan Tengah [tesis]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Rahayu et al. 2004. Study of thermostable
chitinase enzymes from Indonesian
Bacillus K-29-14. J. Microbiol.
Biotechnol. 14: 647-652.
Scharz H, Moussian B. 2007. Electron
microscopic and genetic dissection of
arthropod cuticle differentiation. Di
dalam: Mendez-Villaz, Diaz J, editor.
Modern research and Educational
Topics in Microscopy. Tuebingen:
Formatex. hlm 316-325.
Spindler KD. 1997. Chitinase and chitosanase
assays. Di dalam: Muzarelli RAA, MG
Peter, editor. Chitin Handbook.
Grottamare: Alda Tecnografica. hlm
229-235.
Scopes RK. 1994. Protein Purification,
Principles and Practice. Ed. ke-2. New
York: Springer-Verlag.
Septiningrum K, Moeis RM. 2009. Isolasi dan
karakterisasi xilanase dari Bacillus
circulans. Berita Selulosa 44(1): 3140.
Toharisman A. 2004. Purification and
characterization
of
thermostable
chitinases from Bacillus licheniformis
MS-2 [disertasi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Yurnaliza. 2002. Senyawa Kitin dan Kajian
Aktivitas
Enzim
Mikrobial
Pendegradasinya [disertasi]. Medan:
Universitas Sumatera Utara.

PENENTUAN pH DAN SUHU OPTIMUM AKTIVITAS KITINASE
Bacillus cereus I.5 DAN PENGUJIAN KITINASE DALAM
MENDEGRADASI EKSOSKELETON KUTU BERTEPUNG PUTIH
(Ferrisia virgata Cockerell)

DIANIA RAHMAWATI

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

ABSTRAK
DIANIA RAHMAWATI. Penentuan pH dan Suhu Optimum Aktivitas Kitinase Bacillus
cereus I.5 dan Pengujian Kitinase dalam Mendegradasi Eksoskeleton Kutu Bertepung Putih
(Ferrisia virgata Cockerel). Dibimbing oleh NISA RACHMANIA MUBARIK dan ALINA
AKHDIYA.
Bacillus cereus I.5 merupakan isolat bakteri kitinolitik yang telah diisolasi dari perakaran
tanaman cabai. Enzim kitinasenya dapat diaplikasikan sebagai agen biokontrol terhadap hama
tanaman. Pemekatan enzim salah satunya dengan cara pengendapan protein oleh amonium
sulfat diketahui dapat meningkatkan aktivitas enzim spesifik. Tujuan penelitian ini ialah untuk
menentukan pH dan suhu optimum aktivitas kitinase Bacillus cereus I.5 dan menguji
kemampuannya dalam mendegradasi kitin pada eksoskeleton hama tanaman jarak kutu
bertepung putih Ferrisia virgata. Aktivitas enzim tertinggi dihasilkan pada pemekatan dengan
amonium sulfat pada tingkat kejenuhan 10%, yaitu 20 kali dibandingkan enzim ekstrak
kasarnya. Aktivitas enzim spesifik meningkat dari 0,039 unit/mg dalam bentuk enzim ekstrak
kasarnya menjadi 0,778 unit/mg setelah enzim dipekatkan. Aktivitas kitinase B. cereus I.5 yang
terukur lebih tinggi terdapat pada pH 7,0 dan suhu 55 oC meskipun aktivitas kitinase terukur
pula pada pH 5,0-9,0 dan pada suhu 26-≤55 oC . Aplikasi kitinase ekstrak kasar dan hasil
pemekatan dalam mendegradasi kitin eksoskeleton Ferrisia virgata bekerja lebih baik jika
diinkubasi terlebih dahulu pada suhu optimumnya.
Kata kunci: kitinase, amonium sulfat, pH, kutu bertepung putih

ABSTRACT
DIANIA RAHMAWATI. Determination of Optimum pH and Temperature of Chitinase
Activity of Bacillus cereus I.5 and Tested Its Ability to Degrade the Exoskleton of Striped
Mealy Bug (Ferrisia virgata Cockerell). Supervised by NISA RACHMANIA MUBARIK and
ALINA AKHDIYA.
Bacillus cereus I.5 is one of chitinolytic bacteria isolated from chilli rhizosphere. The
chitinase could be apply as a biocontrol of plant pest. One method to precipitate enzyme by
using ammonium sulphate. It could increase specific activity enzyme. This research was
conducted
to
determine
optimum pH and
temperature
of chitinase activity of
Bacillus cereus I.5 and tested its ability to degrade chitin exoskeleton of Ferrisia virgata
Cockerell, one of Jatropha’s pest. Enzyme activity was obtained at the 10% ammonium sulphate
saturation level, which is 20 times higher compared to crude enzyme. Specific enzyme activity
increased from 0,039 U/mg of crude extract to 0,778 U/mg after ammonium sulphate
precipitation. Chitinase of B. cereus i.5 showed highest activity at pH 7,0 and 55 °C although
the enzyme also showed its activity at pH 5,0-9,0 and temperature 26-≤55 oC. Application of
crude chitinase and the enzyme after ammonium sulphate precipitation on degrading of chitin
Ferrisia virgata showed it worked better if incubated firstly at its optimum temperature.
Keywords: chitinase, ammonium sulphate, pH, striped mealy bug

PENENTUAN pH DAN SUHU OPTIMUM AKTIVITAS KITINASE
Bacillus cereus I.5 DAN PENGUJIAN KITINASE DALAM
MENDEGRADASI EKSOSKELETON KUTU BERTEPUNG PUTIH
(Ferrisia virgata Cockerell)

DIANIA RAHMAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Judul

: Penentuan pH dan Suhu Optimum Aktivitas Kitinase
Bacillus cereus I.5 dan Pengujian Kitinase dalam
Mendegradasi Eksoskeleton Kutu Bertepung Putih
(Ferrisia virgata Cockerell)

Nama

: Diania Rahmawati

Nomor Pokok

: G34060742

Menyetujui:

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si
NIP. 19671127 199302 2 001

Alina Akhdiya, M.Si
NIP 19681208 200112 2 001

Mengetahui,
Ketua Departemen Biologi

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si.
NIP. 19641002 198903 1 002

Tanggal lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian yang dilaporkan dalam karya ilmiah ini
dilakukan mulai Maret 2010 sampai dengan Oktober 2010, di Laboratorium Mikrobiologi dan
Laboratorium Mikroteknik, Departemin Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor. Judul yang diambil dalam penelitian ini adalah Penentuan pH
dan Suhu Optimum Aktivitas Kitinase Bacillus cereus I.5 dan Pengujiannya untuk
Mendegradasi Eksoskeleton Kutu Bertepung Putih (Ferrisia virgata Cockerell).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Nisa Rachmania Mubarik dan Ibu Alina
Akhdiya atas bimbingan dan arahan yang diberikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
pula kepada Bapak Tri Atmowidi selaku wakil komisi pendidikan atas saran dan masukan yang
diberikan. Penulis ucapkan pula terima kasih kepada Ibu Taruni yang telah memberikan
kesempatan untuk bekerja di laboratorium Mikroteknik dan atas informasinya dalam aplikasi
enzim kitinase terhadap serangga hama, serta kepada Ibu Tini atas arahan dalam pengerjaan
aplikasi. Tak lupa penulis ucapkan rasa terima kasih kepada kedua orang tua dan kakak-kakak
tercinta atas doa, perhatian, kasih sayang, dan dukungan yang diberikan selama ini. Terima
kasih penulis ucapkan pula kepada staf dan teknisi laboratorium dan teman-teman di
Laboratorium Mikrobiologi atas bantuan dan kerja sama, serta kepada semua sahabat-sahabat
tersayang yang setia mendukung dan mendampingi selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor,

Januari 2011

Diania Rahmawati

RIWAYAT HIDUP
Diania Rahmawati dilahirkan di Cianjur pada tanggal 02 Mei 1988 sebagai anak keenam
dari 6 bersaudara dari pasangan Ibu Hj. Siti Rochmah dan Bapak H. EM. Yusuf (Alm.).
Penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 2 Cianjur pada tahun 2006, kemudian
melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2006.
Setelah menjalani masa Tingkat Persiapan Bersama, penulis diterima di Departemen Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama masa perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah program
studi Biologi yaitu Mikrobiologi Dasar pada tahun ajaran 2010/2011. Penulis juga pernah
menjadi panitia pendamping Posdaya sebagai salah satu kegiatan sosial LPPM-IPB dalam
pembinaan desa dan lingkungan pada tahun 2007-2008 di desa Cibeureum, Cibeber, Cianjur.
Selain itu penulis melakukan studi lapang dengan judul Autekologi Phaius flavus dan
Sphatologlottis sp. sebagai Tumbuhan Langka di Taman Wisata Situ Gunung pada tahun 2008,
serta pernah melakukan praktik lapang di PT Pasir Tengah dengan judul Proses Pengolahan
Limbah Sapi di PT. Pasir Tengah, Citampele, Cianjur pada tahun 2009.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... viii
PENDAHULUAN...............................................................................................................
Latar Belakang ..............................................................................................................
Tujuan ..........................................................................................................................
Waktu dan Tempat ........................................................................................................

1
1
1
1

BAHAN DAN METODE
Bahan ...........................................................................................................................
Metode..........................................................................................................................
Peremajaan dan Penyimpanan Kultur Bacillus cereus I.5.........................................
Produksi dan Pemekatan Kitinase. ..........................................................................
Pengukuran Aktivitas Kitinase dan Kadar Protein. ..................................................
Penentuan pH dan Suhu Optimum Aktivitas Kitinase. .............................................
Uji Aktivitas Kitinase dalam Mendegradasi Kitin Eksoskeleton Ferrisia virgata .....

1
1
1
1
2
2
2

HASIL
Aktivitas Kitinase Ekstrak Kasar dan Enzim Hasil Pemekatan dengan Amonium Sulfat..
pH dan Suhu Optimum Aktivitas Kitinase. ....................................................................
Aktivitas Kitinase B. cereus I.5 dalam Mendegradasi Eksoskeleton Ferrisia virgata.......

2
3
4

PEMBAHASAN ................................................................................................................

5

SIMPULAN .......................................................................................................................

6

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................

7

LAMPIRAN………………………………………………………………..………………..

8

DAFTAR TABEL
Halaman
1.
2.

Aktivitas enzim ekstrak kasar kitinase Bacillus I.21 dan II. 14...........................
pH dan suhu optimum kitin berbagai bakteri kitinolitik.......................................

5
6

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1
2
3
4

Pengaruh tingkat kejenuhan amonium sulfat terhadap aktivitas kitinase
B. cereus I.5…………………………………………………………………..….
Pengaruh pH terhadap aktivitas kitinase B. cereus I.5 enzim ekstrak kasar
dan enzim hasil pemekatan dengan amonium sulfat 10%………...……..………
Pengaruh suhu terhadap aktivitas kitinase B. cereus I.5 enzim ekstrak kasar
dan enzim hasil pemekatan dengan amonium sulfat 10%………….……………
Pengamatan preparat kutu dengan mikroskop cahaya menggunakan perbesaran
400x, dan mikroskop stereo dengan perbesaran 100x yang telah diinkubasi 3
hari pada suhu ruang (± 26 oC)……………………….………………………….

3
3
4

4

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Komposisi media dan reagen yang digunakan………...………………………...
Jumlah (gram) amonium sulfat yang ditambahkan
pada enzim
(untuk 1 Liter) (Scopes 1994)………………………………………..………….
Metode pengukuran aktivitas kitinase (Spindler 1997) dan pengukuran
kadar protein (Bradford 1976)………………..………………………………..…
Hasil uji pemekatan kitinase B. cereus I.5 dengan amonium sulfa…...…………
Data karakterisasi pH dan suhu……….……….……………………....…………
Pengamatan mikroskopik uji degradasi kitin kutu Ferrisia virgata…..…………

9
10
11
13
14
15

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia tanaman jarak merupakan
salah satu tanaman yang sangat berpotensi
sebagai sumber bahan bakar alternatif
pengganti bahan bakar minyak (BBM).
Potensi jarak sebagai sumber bahan bakar
alternatif
disebabkan
oleh
tingginya
kandungan minyak dalam biji yang
merupakan bahan baku biodiesel. Selain itu,
tanaman jarak juga tahan terhadap kekeringan,
dan dapat ditanam di lahan kritis (Hambali et
al. 2006)
Keberadaan hama merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi tingkat
produksi tanaman jarak. Salah satu jenis
serangga hama yang umumnya menyerang
tanaman jarak yaitu kutu bertepung putih
(Ferrisia virgata Cockerell). Hama ini
menyerang bagian daun, buah, atau bagian
pucuk dengan cara menghisap cairan tanaman
sehingga menimbulkan gejala daun atau
pucuk menjadi kuning, kering, dan akhirnya
mati.
Serangan
pada
tangkai
buah
mengakibatkan kelayuan sehingga buah
menjadi gugur. Hama F. virgata memiliki
kisaran inang cukup banyak, yaitu tanaman
jarak, kakao, kopi, dan jeruk (Dadang 2006).
Serangan hama ini dapat menurunkan tingkat
produksi tanaman jarak. Oleh karena itu,
diperlukan penanganan yang baik agar
serangan hama tersebut dapat diminimalkan.
Salah satu upaya untuk mengurangi
serangan hama tersebut ialah melalui
penggunaan agen biokontrol. Selain dapat
mengurangi serangan hama, upaya ini dapat
mengurangi jumlah residu kimia